Anda di halaman 1dari 4

GENERASI MUDA DALAM PEWARISAN NILAI PANCASILA TOLERANSI AGAMA DI TANAH

WONOSOBO

Oleh: Yogi Handika

(Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Jakarta)

Pancasil telah memasuki umur 74 Tahun untuk menjadi monumen bukti


toleransi umat beragama. Memasuki kini di era modren banyak memberikan
perubahan terhadap tatanan hidup mayarakat, hingga memasuki masa Revolusi
4.0 (Four Point Zero). Bisa dilihat dari bidang pendidikan berkembangnya
teknologi e-learning, teknologi robotik yang merambah ke ranah industri,
pemasaran berbasis online, sampai keterbukaan informasi secara luas yang mudah
sekali diakses oleh generasi muda. Tatanan yang begitu entrik ini sangat memberi
manfaat, namun dilain sisi ternyata dapat menjadi bom waktu bagi generasi muda.

Permasalahan yang sering dihadapi ialah banyaknya generasi muda yang


mengkonsumsi hate speech dan provokasi negatif imbas dari kurangnya
pengawasan terhadap konten yang mengandung unsur SARA dan budaya
Westernisasi. Implikasinya hingga terjadi konflik antar umat beragama dan aliran
kebudayaan di tengah generasi muda. Berdasarkan laporan kebebasan beragama
dan berkeyakinan yang diterbitkan oleh The Wahid Institut tahun 2013
menyebutkan masih dijumpai 106 tindak intoleransi beragama. Intoleransi yang
dilakukan antara lain penutupan tempat ibadah, pemaksaan keyakinan
penghentian kegiatan keagamaan dan kriminalisasi atas dasar agama.
Permasalahan ini semua jelas sangat jauh dari nilai-nilai toleransi, kesatuan umat,
dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang terejawantahkan di dalam
Pancasila. Permasalahan ini menjadi agen pembunuh untuk generasi muda dalam
pelestarian budaya dan nilai-nilai toleransi umat beragama seperti telah
ditanamkan oleh pendahulu.

Konflik yang terus terjadi jika hanya mengandalkan hukum saja tidak bisa
menjamin kebebasan berekspresi; supaya setiap orang bisa menyatakan
pikirannya tanpa ada sanksi, maka harus ada semangat toleransi di seluruh
masyarakat. Agar berbagai konflik yang terjadi dapat dimusyawarahkan dan tidak
adanya provokasi negatif.

Pancasila dahulu digaungkan oleh para leluhur yang terejawantahkan


kedalam lima sila. Setiap sila termaktub pembelajaran mengenai kesatuan
beragama, penghargaan atas hak asasi, dan pemberian hak keadilan didepan
hukum. Nilai kesatuan umat dan hak asasi tidak hanya sebatas retorika belaka,
namun dapat dilihat dari sejarah pembentukan Pancasila yang diprakarsai oleh
berbagai penganut agama dan aliran kebudayaan. Seperti pada pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang beranggotakan dari berbagai etnis, meliputi 40 orang Jawa dan Ke-23 orang
non Jawa yang terdiri 7 Sunda, 4 Tionghoa, 3 Padang, 2 Madura, serta masing-
masing 1 dari tanah Batak, Indo-Belanda, Arab, Banten, Lampung, Ambon, dan
Minahasa. Dan jika diperhatikan pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang dijalankan oleh berbagai etnis pula seperti dari Tionghoa, diwakili
Yap Twan Bing (Solo). Minangkabau (Hatta), Ambon (Latuharhary), Minahasa
(Sam Ratulangie), Banjar (AA Hamidhan), Aceh (Teuku Mohammad Hasan),
Melayu (Abdul Abbas), dan Bugis (Andi Pangerang Pettarani). Dari setengah
tokoh pergerakan diatas ialah beragama non Muslim dan memiliki aliran
kebudayaan berbeda.

Harmonisasi heterogen agama dan aliran kebudayaan masih dapat


dirasakan di Kabupaten Wonosobo pada era modren kini. Wonosobo memiliki
generasi muda dengan rentang usia 15-30 tahun sebanyak 208.935 jiwa, 750 ribu
penduduk beragama Islam dan 8.000 penduduk memeluk Kristen, berdasarkan
data statistik laporan Disdukcapil pada tahun 2018. Disana juga terdapat aliran
kebudayaan seperti Kejawen yang masih berkembang.Potensi demografi ini
membuat Kabupaten Wonosobo dapat mahsyur dengan gelar “Surganya Toleransi
Beragama”.

Keharmonisan antara budaya dan aliran kepercayaan juga


termanifestasikan kedalam sebuah budaya lokal yang disebut Hamerti Kitri.
Hamerti berarti mensyukuri semua rahmat dari Sang Pencipta. Rangkaian
kegiatan Hamerti Kitri yakni, Ambirat Pepeteng, Dolanan Bocah, Rias Tenong,
Bersih Makam, Pengambilan Air 7 Sumber, penyembelihan hewan qurban,
sarasehan budaya, ziarah kubur pepunden, kirab tenong atau gunungan, doa
syukur jentik manis, dan Emblek Dhem. Walaupun terbalut bermacam budaya dan
agama, mayoritas muslim disana tidaklah menyalahkan syariat Islam dan jauh dari
unsur syirik, sedangkan pesan-pesan Islam disampaikan dengan baik tanpa adanya
konflik.

Dalam rangka mempererat rasa harmonisasi disaat pacndemi generasi


muda yang tergabung kedalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sering
melakukan dialog agama dan membantu masyarakat. Diantara pemuda lintas
agama pun berbagi peran di tengah masyarakat. Pemuda nonmuslim bertugas
menjaga keamanan lingkungan yang ditinggal pergi salat tarawih di masjid.
Begitupun sebaliknya pada perayaan Natal dan Waisak. Kegiatan lainnya hajatan
dan membangun rumah warga dilakukanpun bersama-sama, bergotong royong,
tanpa membedakan agama.

Jika dilihat tingkat pendidikan dan ekonomi warga Wonosobo jauh rendah
dari tingginya toleransi mereka. Generasi muda umumnya hanya mengenyam
pendidikan rata-rata 6 tahun saja. Tahun 2015, Wonosobo diberi predikat sebagai
daerah paling miskin di Jawa Tengah karena angka kemiskinan mencapai 22,08
persen. Kemisikinan ini tidaklah melunturkan rasa toleransi generasi muda, malah
menjadi pecutan untuk mereka mencari solusi baik kedepannya. Ini menjadi
tamparan keras bagi generasi muda Indonesia yang lain memiliki kemapanan
pendidikan dan ekonomi, namun rendah dalam rasa moderisasi beragama.
Kemiskinan hanyalah masalah peringkat, kuantitas dan pengukuran semata yang
tidak menggambarkan identitas diri. Kualitas dan kekayaan daerah ini tercermin
dari cara hidup, tingkat toleransi masyarakat terhadap keberagaman, dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kekayaan keanekaragaman disempurnakan oleh remah ripah elok
jinawinya, akan membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi warga negara, jika
generasi muda mampu menjadi garda terdepan untuk menjaga nilai-nilai toleransi
umat dan hak asasi manusia. Apalagi Indoensia kini tengah dirundu wabah,
keikutsertaan generasi muda tanpa membandingkan aliran dan golongan agama
sangat membantu untuk membawa perbaikan ekonomi dan kesehatan masyarakat
lebih cepat. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pernah berkata “Tugas Maha
Besar generasi kita adalah mewariskan toleransi bukan kekerasan.” Impact dari
tingginya rasa aware toleransi ini bukanlah angan-angan atau impian semata,
namun sudah diwujudkan oleh generasi muda di Kabupaten Wonsobo.

Indonesia memiliki generasi muda yang bermayoritaskan Muslim.


Menjadi tantangan bagi mereka untuk menanamkan nilai moderisasi beragama
dan aliran kebudayaan seperti generasi muda Wonosobo. Perkataan Ralph W.
Sockman mantan Pastor dari New York menjadi cerminan bagi generasi muda
Muslim ditengah heterogennya umat beragama di Indonesia“Ujian terhadap
keberanian datang ketika kita berada di tengah kelompok minoritas. Ujian
terhadap toleransi hadir ketika kita berada di kelompok mayoritas.” Bagi muslim
toleransi merupakan identitas penting yang tidak boleh di tinggalkan.

Pengaruh globalisasi kedepan janganlah memperburuk rasa toleransi


sebagai nilai-nilai Pancasila di generasi muda. Potensi globaslisasi dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan rasa moderisasi beragama dengan tolong
menolong, menyampaikan informasi baik, dan bersilaturahmi. Sehingga tujuan
lahirnya Pancasila dapat tetap menjadi pedoman generasi muda dalam bersikap
ditengah masyarakat. Semua generasi muda Indonesia harus bersatu padu seperti
pahlawan kemerdekaan diatas. Tidak hanya untuk memperoleh kemerdekaan,
namun juga membuktikan bahwa Indonesia memiliki rasa moderat tinggi terhadap
umat beragama dan aliran di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai