Anda di halaman 1dari 3

OPINI

PMA China, Impor & Tuduhan


UE
Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Periode 2016-2021
Kamis, 03/02/2022 02:00 WIB

“We encourage competitive Chinese producers of iron and steel, cement and
plate etc. to shift their operation to ASEAN countries to meet the local need of
infrastructure development through investment, leasing and loan, lending so as
to achieve mutual benefit.” (PM China Li Keqiang pada KTT Asean-China ke-17,
2014).

Li Keqiang benar. China melakukan ekspansi industri melalui skema Belt and
Road Initiative (BRI) secara masif. Uni Eropa (UE) berang dan melabel strategi
itu sebagai upaya pengalihan kelebihan kapasitas domestik dengan
memberikan subsidi transnasional. UE berpandangan subsidi itu sebagai
praktik ilegal yang dilarang oleh WTO-Subsidy and Countervailing Measures
Agreement (SCMA).

Subsidi transnasional adalah subsidi lintas batas negara. Ditafsirkan UE


sebagai bantuan pembiayaan dari pemerintah kepada industri yang
melakukan ekspansi ke negara ketiga. Definisi ini diperluas mencakup kerja
sama G2G dalam pembangunan kawasan industri di negara tujuan investasi.

UE meyakini ini adalah solusi permasalahan over capacity China yang


diwujudkan dalam bentuk fasilitasi kepada perusahaan asal negara itu yang
berminat untuk relokasi.

Fasilitas tidak hanya terbatas pada infrastruktur tetapi juga permodalan.


Lembaga keuangan China diwajibkan menyalurkan berbagai pembiayaan
dalam bentuk loans, export guarantees dan export insurance ke perusahaan
yang melakukan relokasi. Pada 2019 UE menginisiasi penyelidikan anti-
subsidi untuk impor produk fiber glass fabrics asal Mesir dan China.

Produk ini dihasilkan oleh perusahaan China yang berinvestasi di kawasan


industri di Mesir sekaligus buah dari BRI. Penyelidikan tersebut berakhir
dengan pengenaan bea masuk imbalan sebesar 17%—30,7% dan 10,9%.

Pada tahun yang sama UE juga melakukan penyelidikan anti-subsidi terhadap


impor stainless steel hot-rolled flat products dan stainless steel cold-rolled flat
products asal Indonesia dan China. Penyelidikan produk pertama dihentikan
tetapi untuk produk kedua masih berlangsung.

Pada Juni 2020 UE menerbitkan payung hukum penguatan penyelidikan


subsidi transnasional. Instrumen subsidi awalnya digunakan oleh negara maju
untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur.

Namun beberapa negara menyadari bahwa instrumen ini lebih banyak


digunakan untuk memperkuat daya saing ekspor dan merebut pangsa pasar
dunia. Oleh karena itu, dunia berunding untuk mendisiplinkan instrumen
subsidi ini dan menghasilkan Perjanjian SCMA pada perundingan Putaran
Uruguay.

SCMA mendefinisikan subsidi yang terhadapnya dapat dilakukan penyelidikan


sebagai bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah/badan publik,
memberikan manfaat, dan bersifat spesifik.

SCMA juga menetapkan jenis subsidi yang dilarang dalam tata perdagangan
internasional. Subsidi ini didefinisikan sebagai kontribusi finansial yang
diberikan oleh pemerintah/badan publik untuk meningkatkan kinerja ekspor
dan tujuan substitusi impor.

Dua kategori subsidi ini ilegal karena secara langsung memengaruhi


perdagangan dan merugikan kepentingan negara mitra. Adapun lanskap
perdagangan internasional terus berubah dinamis. Kebijakan subsidi tidak
lagi menjadi ranah domestik, karena telah diwarnai isu rantai pasok global,
overcapacity dan investasi lintas batas negara.

Semakin banyak ditemukan praktik subsidi yang bernuansa lintas negara.


Misalnya insentif pembiayaan kredit dalam bentuk fasilitasi export buyer
insurance dan export buyer credit. Perubahan ini menuntut penyempurnaan
ketentuan perjanjian SCMA.

Modal asing (PMA) merupakan komponen penting dalam pembiayaan


pembangunan. Namun, karena pengguliran isu subsidi transnasional ini
terkait dengan investasi China di Tanah Air maka pemerintah perlu
mewaspadai reaksi UE terhadap produk impor yang dihasilkan oleh produsen
yang berafiliasi ke Negeri Tirai Bambu.

Produsen tersebut pada umumnya berorientasi ekspor dengan modal,


pembiayaan operasional, dan tenaga kerja dipasok langsung dari China. Untuk
mencegah pengenaan bea masuk yang berdampak pada turunnya daya saing
produk ekspor Indonesia ke UE, pemerintah perlu berargumentasi untuk
sejumlah isu.

Pertama, artikel 1 SCMA tidak mengatur pembatasan lokasi perusahaan


penerima subsidi. Subsidi transnasional dapat dipermasalahkan apabila
dikategorikan ke dalam jenis subsidi terlarang sebagaimana diatur Artikel 3
SCMA.

Artikel 2 SCMA mengindikasikan bahwa subsidi yang memberi manfaat


kepada penerima di luar wilayah teritorial tidak dapat disebut sebagai subsidi
yang bersifat spesifik kecuali ia masuk ke dalam jenis subsidi yang dilarang.

Kedua, subsidi masih diperlukan oleh negara berkembang. Pembukaan WTO


Agreement (1994) jelas mengamanatkan tujuan pendiriannya yaitu
meningkatkan standar hidup dan pertumbuhan ekonomi anggota. Tujuan ini
tertuang dalam SCMA dan hanya diberlakukan untuk anggota WTO yang
merupakan negara berkembang.

Ketiga, mengupayakan agar skema BRI dikenakan eksklusi dari disiplin SCMA
dengan memanfaatkan pasal-pasal fleksibilitas negara berkembang. Lokasi
perusahaan penerima yang berada di luar China dan status negara
berkembang adalah contoh argumentasi yang dapat dikembangkan.

Editor : Inria Zulfikar

Anda mungkin juga menyukai