Pada aras PDRD, terdapat perubahan persentase range tarif (misalnya Pajak
Kendaraan Bermotor dan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan) dan
formulasi pajak hingga perubahan nomenklatur (fusi nomenklatur sejumlah
pajak menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu).
Hal ini menghadirkan sejumlah potensi implikasi terhadap pelaku usaha dan
masyarakat sipil berupa kenaikan biaya pajak yang harus dibayarkan.
Kekhawatiran itu beranjak dari fakta problematik: Pemda gemar memasang
tarif pajak dengan persentase tertinggi dari range yang diatur.
Proses perubahan tarif di daerah tidak dapat dieksekusi secara instan oleh
Pemda. Proses penyusunan Perda memakan waktu lama. Kini UU HKPD
mengamanatkan penyusunan Perda terkait pajak daerah harus melalui
mekanisme evaluasi oleh pemerintah pusat dalam kurun waktu tertentu.
Jelas hal ini mengundang resistensi dari pemda. Pelajaran penting dari
persoalan di atas adalah perlunya strategi implementasi yang clear dalam
pemberlakuan UU HKPD. Masa transisi menjadi momentum ‘sakral’ bagi
pemda untuk mulai menata kembali regulasi fiskal daerah.
Perda PDRD sebagai daya dukung ekosistem investasi dan daya saing daerah
seyogyanya menjadi prioritas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda).
Produktivitas legislasi DPRD di daerah menjadi penentu dalam agenda
transisi regulasi fiskal daerah.