Anda di halaman 1dari 3

OPINI

Masa Transisi Krusial


Keuangan Pusat-Daerah
Eduardo Edwin Ramda, Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Kamis, 27/01/2022 02:00 WIB

Palu pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan


Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) telah diketuk. Persoalannya, ketuk palu di
tengah produktivitas legislasi daerah yang cenderung lamban berpotensi
menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan masyarakat terdampak.

Pada aras PDRD, terdapat perubahan persentase range tarif (misalnya Pajak
Kendaraan Bermotor dan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan) dan
formulasi pajak hingga perubahan nomenklatur (fusi nomenklatur sejumlah
pajak menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu).

Hal ini menghadirkan sejumlah potensi implikasi terhadap pelaku usaha dan
masyarakat sipil berupa kenaikan biaya pajak yang harus dibayarkan.
Kekhawatiran itu beranjak dari fakta problematik: Pemda gemar memasang
tarif pajak dengan persentase tertinggi dari range yang diatur.

Ekspektasi terhadap UU ini cukup tinggi, yaitu menuntaskan persoalan


kemandirian fiskal daerah. Faktanya, sebagian besar daerah masih
menghasilkan PAD yang rendah. Laporan BPK terkait kemandirian fiskal
menunjukkan bahwa pada 2020 tidak ada pemda dengan kondisi sangat
mandiri. Data ini menegaskan bahwa reformasi fiskal daerah dari masa ke
masa nyatanya belum mereduksi persoalan ketergantungan fiskal daerah.

Proses perubahan tarif di daerah tidak dapat dieksekusi secara instan oleh
Pemda. Proses penyusunan Perda memakan waktu lama. Kini UU HKPD
mengamanatkan penyusunan Perda terkait pajak daerah harus melalui
mekanisme evaluasi oleh pemerintah pusat dalam kurun waktu tertentu.

Dampaknya, mekanisme harmonisasi produk hukum perpajakan daerah yang


butuh waktu menyisakan ruang kosong transisi. Lalu, bagaimana praktik
pemungutan pajak daerah di masa transisi ?
Pemerintah menegaskan terdapat beberapa klasul dalam UU HKPD yang
bersifat transisi. Masa transisi ditetapkan lima tahun. Selain itu, UU ini
mengamanatkan terbitnya peraturan turunan dalam dua tahun pasca
pengesahan. Detail implementasi akan termaktub dalam peraturan
pemerintah sebagai peraturan turunan atas UU HKPD.

Sejauh mana pemerintah dapat mengeksekusi penerbitan beragam peraturan


turunan yang terdampak akibat reformasi pada klasul beleid ini? Proses
transisi regulasi fiskal daerah perlu mengambil sejumlah pelajaran penting
dari implementasi UU Cipta Kerja yang bermasalah.

Proses penyusunan peraturan turunan UU sapu jagat di daerah masih


terhambat, bahkan sebagian besar daerah belum menyiapkan draf peraturan
pelaksanaannya. Aturan tersebut juga memuat ketentuan terkait fiskal daerah
yang merupakan angin segar bagi pelaku usaha dalam konteks perbaikan
ekosistem investasi daerah. Di sisi lain klasul ini menjadi puting beliung
tatkala implementasinya menghadapi benturan dengan dinamika di daerah.

Dalam kasus praktik pemungutan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung


(PBG), pasca perubahan nomenklatur (yang sebelumnya Izin Mendirikan
Bangunan) Kemendagri justru menerbitkan SE No: 011/5976/SJ. Salah satu
pokoknya, jika pemda belum menetapkan Perda tentang Retribusi PBG
sampai enam bulan setelah PP 16/2021 berlaku, retribusi PBG harus disetor
ke kas negara.

Jelas hal ini mengundang resistensi dari pemda. Pelajaran penting dari
persoalan di atas adalah perlunya strategi implementasi yang clear dalam
pemberlakuan UU HKPD. Masa transisi menjadi momentum ‘sakral’ bagi
pemda untuk mulai menata kembali regulasi fiskal daerah.

Perda PDRD sebagai daya dukung ekosistem investasi dan daya saing daerah
seyogyanya menjadi prioritas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda).
Produktivitas legislasi DPRD di daerah menjadi penentu dalam agenda
transisi regulasi fiskal daerah.

Dalam rangka menghadirkan kepastian terhadap pelaku usaha dan


masyarakat, harus ada kejelasan mengenai pemungutan pajak dan skema
transfer daerah. Contohnya, praktik pemungutan opsen. Peraturan turunan
wajib menjelaskan secara clear definisi dan konteksnya, apakah opsen
menghadirkan pungutan tambahan yang membebani pelaku usaha atau bagi
hasil antar pemda?
Selain itu, bagaimana maksud Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya dalam klasul
transfer keuangan daerah. Tak kalah penting adalah menghadirkan ruang
deliberatif pada proses penyusunan berbagai peraturan turunan. Keterbukaan
akses bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam proses legislasi peraturan
daerah menjadi modalitas utama dalam menghasilkan produk hukum yang
berkualitas untuk menghindari distorsi.

Diskursus mengenai perpajakan bukan soal willingness to pay tetapi


menitikberatkan pada ability to pay sebagai indikator penentu dalam upaya
peningkatan PAD. Pengaturan tarif dan mekanisme perpajakan diharapkan
sejalan dengan upaya penguatan daya saing dan pembenahan ekosistem
investasi di daerah.

Di sinilah peran masa transisi, di mana proses penyesuaian implementasi UU


HKPD dapat dikalkulasikan secara presisi sesuai dengan kesiapan
penerapannya di daerah.

Editor : Inria Zulfikar

Anda mungkin juga menyukai