Anda di halaman 1dari 9

ARTIKEL

KETIDAKSERASIAN DALAM BERBAHASA


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia
Dosen pengampu:
Indah Nurmahanani, M.Pd dan Tanzilia Nur Fajriati S.Hum., M.Pd

Disusun oleh:
Dzulfa Nurfirdaus, Rifa Aminah Salsabila
Email : dzulfafirdaus@upi.edu, rifaaminahs@upi.edu

Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Purwakarta

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

2021
Abstrak

Artikel ini membahas tentang keserasian bahasa Indonesia yang berfungsi


sebagai alat komunikasi manusia pada kegiatan sehari-harinya. Bahasa yang baik dan
benar tentu adalah bahasa yang sesuai dengan PUEBI tetapi bahasa yang tepat belum
tentu serasi dengan PUEBI karena ada faktor lain yang harus diperhatikan agar bahasa
yang digunakan dapat dikatakan tepat dalam konteksnya. Perkembangan aturan ejaan
bahasa Indonesia juga perlu diperhatikan karena perkembangan tersebut memiliki
perbedaan tersendiri. Dengan penilitian melalui kuisioner kita dapat mengetahui apakah
PUEBI telah digunakan oleh para mahasiswa dalam penulisan karya ilmiahnya. dan
dengan artikel ini kami harap banyak orang terbantu dalam mengetahui perbedaan juga
perkembangan ejaan yang ada di Indonesia.
Kata kunci: ketidakserasian, bahasa indonesia, ejaan, PUEBI, EYD, perubahan.

Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi bahasa
yang paling penting adalah fungsi komunikasi. Sebagai mahasiswa, kita sering
dihadapkan pada penulisan berbagai karya ilmiah. Untuk itu diperlukan suatu lembaga
yang dapat mendukung penulisan ilmiah, yaitu penulisan bahasa Indonesia, khususnya
penulisan. Bahasa baku adalah varian yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian
besar anggota masyarakat yang menggunakannya sebagai bahasa resmi dan sebagai
dasar norma kebahasaan saat menggunakannya (Arifin dan Tasai, 2010). Oleh karena
itu, ketika menulis karya ilmiah baik dalam buku teks, buku akademik, maupun format
penulisan akademik lainnya, berbagai standar penulisan digunakan sebagai standar
penulisan.
Bahasa yang benar adalah yang serasi dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI), tetapi bahasa yang tepat, belum tentu serasi dengan PUEBI. Dalam
masyarakat, penggunaan bahasa baku biasa disebut sebagai bahasa yang baik dan benar.
Menggunakan bahasa yang baik dan benar sudah lama menjadi harapan para peminat
dan pelatih bahasa. Di Indonesia. Tentu saja, persyaratan akademik adalah bahasa yang
tidak menghasilkan kesalahan aturan. Muslich (2010: 9) menyatakan bahwa
penggunaan bahasa mengikuti aturan baku. Atau apa yang dianggap baku
menghasilkan bahasa yang benar (Tribana, 2012: 19).
Bahasa baku tidak selalu merupakan bahasa yang tepat dan benar. Bahasa baku
terkait Dengan penggunaan bahasa menurut aturan, bahasa yang benar dan baik adalah
Penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks penggunaan bahasa seperti lokasi,
suasana, dan waktu Siapa yang harus diberitahu kepada siapa (Tribana, 2012:2). Kata-
kata yang baik digunakan Bahasa Indonesia yang mengutamakan fungsi komunikasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010) menyatakan bahwa ejaan adalah aturan
Cara membuat bunyi berupa huruf dan penggunaan tanda baca. saya akan menjelaskan
tingkat wacana. Menurut “Kamus Besar Indonesia IV Online” (2016) Ini adalah aturan
untuk menulis bunyi (kata, kalimat, dll.) dalam tulisan (huruf) dan menggunakan tanda
baca. Arti kata mengeja berbeda dengan ejaan. Ejaan adalah tindakan membaca huruf,
Suku kata atau kata-kata; ejaan adalah seperangkat aturan yang jauh lebih luas Ini
masalah pengucapan. Ejaan menentukan keseluruhan ejaan suatu bahasa Gunakan
huruf, kata, dan tanda baca sebagai bahan. Ejaan memiliki aturan berikut: Pengguna
bahasa harus mengikuti, terutama karena alasan keteraturan dan keseragaman formal
dalam bahasa tulisan. Keteraturan bentuk mempengaruhi akurasi dan kejelasan makna.
Sejarah ejaan bahasa Indonesia yang dominan di negeri ini telah mengalami
beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka. Notasi yang pertama kali digunakan
adalah notasi Van Ophuijsen (1901-1947). Setelah dua tahun merdeka, pemerintah
Indonesia saat itu mulai mengembalikan ejaan bahasa Indonesia. Ini kemudian dikenal
sebagai Soewan Dispelling atau Republik (1947-1972). Perbedaan kedua ejaan tersebut
terletak pada deskripsi vokal, konsonan, dan apostrof (`). Butuh banyak usaha dan
waktu yang lama untuk mensosialisasikan ejaan terbaru waktu itu. Transisi dari Ejaan
van Ophuijsen ke Ejaan Soewandi tidak semudah seperti sekarang ini, karena tidak
mudah untuk berkomunikasi dengan wilayah yang luas.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penelitian kuantitatif digunakan sebagai desain penelitian.
Metode kuantitatif dapat digunakan untuk menangkap pentingnya perbedaan kelompok
atau hubungan antara variabel yang diperiksa. Studi kuantitatif umumnya studi sampel
besar. Dalam penelitian ini, digunakan metode kuisioner dan studi literatur.
Kajian Pustaka
Pada tahun 2015, EYD (Ejaan yang Disempurnakan) diganti menjadi PUEBI
(Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Perubahan tertuang dalam Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 50
Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Pengejaan di Indonesia. Alasan perubahan ini
adalah sebagai berikut:
1. Ada berbagai kemajuan ilmiah ilmu pengetahuan
Teknologi dan seni terus berkembang, dan bahasa Indonesia semakin
banyak digunakan baik secara lisan maupun tulisan. Ini adalah salah satu alasan
mengapa Anda perlu mengubah ejaan bahasa Indonesia.

2. Peningkatan bahasa Indonesia


Untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,
ejaan bahasa Indonesia perlu diperbaiki.
Setidaknya ada lima hal yang membedakan antara PUEBI dan EYD. Kelima
perbedaan tersebut dibagi menjadi dua sub-bab ejaan: penggunaan huruf dan
penggunaan tanda baca. Perbedaan pertama adalah pada vokal diakritik [e]. Dalam
PUEBI, diakritik vokal e memiliki tiga contoh pengucapan yang berbeda. Notasi
sebelumnya, EYD, hanya menunjukkan dua pengucapan [e] sebagai contoh. Diakritik
pertama yang ditampilkan dalam EJD adalah [é] (taling close) dengan kata "lezat",
"action", dan "sore". Diakritik kedua adalah pengucapan vokal [ê] (pepet) dari kata
gold, hit, dan type. Pengucapan vokal [e] yang tidak ditampilkan dalam EYD adalah
pengucapan diakritik ketiga, vocal [è] (taling open) dengan kata military, ember, short.
Perbedaan kedua antara PUEBI dan EYD adalah adanya tambahan diftong [ei].
Jika EYD memiliki tiga diftong sebelumnya, PUEBI telah mengumpulkan empat
informasi tentang diftong dalam bahasa Indonesia: ai, au, oi dan ei. Diftong [ei]
tambahan ini ditampilkan karena kata serapan seperti survey, eigendom, dan geyser. Di
KBBI, penelitian berarti "teknologi penelitian dengan menetapkan batas-batas yang
jelas dalam data". "Deteksi; Tanda Baca", Eigenendom KBBI mengandung kata dalam
bidang hukum yang berarti "hak mutlak atas suatu benda". Milik; milik'. Geyser juga
berarti "mata air panas yang mengeluarkan uap air atau gas yang disemprotkan ke
udara" dalam KBBI. Masih ada di ayat "Menggunakan Huruf", tetapi perbedaan ketiga
adalah ada aturan penulisan huruf besar. Aturan sebelumnya mewajibkan penggunaan
huruf kapital untuk nama seseorang, gelar kehormatan, leluhur, dan akronim agama.
Selain itu, aturan terbaru PUEBI mencakup ketentuan untuk menggunakan huruf besar
untuk huruf pertama nama panggilan di samping nama-nama tersebut. Contoh julukan
yang dimaksud adalah Jendral Kancil, Dewa Pedang, dan lain sebagainya. Aturan
penulisan sub-bab yang menggunakan karakter yang tidak ada dalam EJD adalah aturan
penulisan yang dicetak tebal. PUEBI menjelaskan bahwa huruf tebal digunakan untuk
menekankan tulisan yang dicetak miring. Tebal juga digunakan untuk menyorot bagian-
bagian esai, seperti judul buku, bab, dan subbab.
Perbedaan selanjutnya antara PUEBI dan EYD adalah penggunaan tanda baca.
Tanda baca harus diperhitungkan, terutama dalam bahasa tertulis. Dalam EJD, yang
dibuka pada tahun 1972, titik koma PUEBI (;) tidak sepenuhnya diekspor. Pada aturan
sebelumnya, titik koma (;) hanya digunakan untuk memisahkan klausa setara yang
serupa. Selain itu, terdapat aturan yang menggantikan tanda hubung untuk memisahkan
padanan kalimat dalam frasa majemuk. Selain kedua peraturan tersebut, peraturan
tambahan akan diajukan ke PUEBI. Aturan lain adalah bahwa titik koma (;) digunakan
di akhir frasa berupa frasa untuk memisahkan detail kalimat yang sudah menggunakan
koma.

Hasil dan Pembahasan


Bab ini menjelaskan temuan dan deskripsi hasil. Hasil survei disajikan dalam
bentuk grafik dan penjelasan yang merangkum hasil survei. Grafik dan penjelasan
disusun menurut jenis subdiskusi untuk membantu pembaca memahami hasil survei ini.
Pembahasan yang dibahas dalam bab ini adalah: (1) Perbedaan cara berbahasa
pada zaman dulu dan sekarang. (2) Perkembangan Ejaan (3) Hasil kuisioner tentang
EYD dan PUEBI. Urutan pembahasan ini dirancang untuk memudahkan pembaca
melihat dan memahami pembahasan hasil penelitian ini secara runtut.
Perbedaan Cara Berbahasa Pada Zaman Dulu dan Sekarang
Perubahan internal Bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah perubahan yang
terjadi di dalam bahasa itu sendiri. Tentang sistem tata bahasa. Perubahan ini dapat
menimpa sistem fonologis (dengan pola intonasi kalimat). pola kata prosodik, pola
rangkaian frasa dalam sebuah kalimat. Perubahan itu dimulai dari perilaku penutur
Kecenderungan untuk saling beradaptasi dan berinovasi dalam kehidupan sehari-hari
terus berlanjut Dalam kelompok masyarakat yang akrab. Setelah perubahan pertama ini
dari waktu ke waktu, Perubahan lain dalam rantai yang pada akhirnya membedakan
bahasa satu sama lain sehingga timbul ketidakserasian (Poedjosoedaqrmo, 2006, 2008).
Perubahan terjadi silih berganti ketika Indonesia yang dulu dikenal sebagai
negara kepulauan didatangi oleh bangsa Eropa, terutama penjajah Belanda. Saat ini,
bahasa tulisan Jawa dipengaruhi oleh huruf latin. Tentu saja, perubahan kursus ini tidak
terjadi begitu saja, butuh waktu ratusan tahun untuk menjadi bahasa yang kita kenal
sekarang. Pada zaman dahulu, sebelum Ejaan Sempurna (EYD), orang Indonesia
menggunakan aksara yang berbeda dari yang mereka lakukan sekarang.
Oleh karena itu, pada saat ini setelah era kolonial, bahasa tersebut masih
berkembang dan akan sulit untuk dibaca dalam beberapa literatur kuno. Pada tahun
1972 Indonesia mulai menggunakan EYD sebagai bahasa baku.
Pengenalan huruf saat ini dari kata-kata kuno dapat berubah seperti huruf.
Misalnya, Djakarta menjadi Jakarta dan Djembatan menjadi Jembatan.
Kemudian huruf J diganti dengan Y. Misalnya Jogjakarta menjadi Yogyakarta
dan Jang menjadi Yang. Kemudian huruf TJ diganti dengan C. Misalnya Tjinta menjadi
Cinta dan Pantjasila menjadi Pancasila. Kemudian huruf OE diganti dengan U.
Misalnya, Goeroe menjadi guru dan Boekoe menjadi buku. Kemudian huruf NJ menjadi
NY. Misalnya, Njonja menjadi Nyonya dan Tanja menjadi Tanya. Kemudian huruf SJ
diubah menjadi SY. Misalnya, Moesjawarah menjadi Musyawarah dan Sjair menjadi
Syair. Selanjutnya karakter CH menjadi KH. Misalnya, Chaasiat sekarang Khaasiat,
Chalayak sekarang Audiens, dan ada beberapa perubahan lainnya.
Tentu ada beberapa alasan perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dalam penggunaan bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini, antara lain
fleksibilitas, penggunaan huruf yang berlebihan, dan tentu saja alasan yang lebih
praktis. Sekarang, selama Anda mempelajari dasar-dasarnya, Anda dapat dengan mudah
membaca tulisan suci di media cetak atau elektronik tanpa takut salah paham atau
disalahgunakan. Tentu saja, itu hanya bisa dipelajari melalui pelatihan.
Ragam bahasa yang ada di Indonesia berbeda-beda dari segi bahasa tergantung
pemakaian, topik pembicaraan, dan medianya. Dewasa ini kita mengenal ragam bahasa
Indonesia, dengan ragam baku, percakapan, hormat, kasar, lisan, formal, dan tulisan.
Masing-masing varietas ini memiliki kegunaannya sendiri. Misalnya, bahasa
kultivasi standar yang digunakan oleh orang-orang terpelajar termasuk dalam penelitian
ilmiah yang baik dan biasanya digunakan dalam urusan publik. Berbagai percakapan
yang terjadi ketika dua orang atau lebih berbagi percakapan dan mendiskusikan objek
terkait.
Pada zaman dahulu, bahasa Indonesia belum beragam dalam pengucapan dan
penulisan seperti sekarang ini. Saat itu masyarakat masih menggunakan bahasa daerah,
sehingga belum terlalu terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang sudah disusun pada waktu itu hanya digunakan oleh
mereka yang masih sekolah pada waktu itu. Sekalipun karena faktor globalisasi bahasa
Indonesia sudah sampai ke pelosok ajarannya, namun penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar pada zaman dahulu lebih baik daripada sekarang.
Oleh karena itu, pada zaman yang lebih modern, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dapat semakin dibatasi. Penggunaan bahasa menjadi lebih sehari-
hari dan berasimilasi dengan bahasa dunia lain yang lebih populer seperti Inggris, Arab,
Prancis, Jepang dan Cina. Hal ini dapat diprediksi karena pendidikan bahasa Indonesia
sendiri masih dipandang sebelah mata oleh pendidikan saat ini. Bahasa Indonesia adalah
bahasa ibu, sehingga anak-anak dapat mengetahuinya meskipun tidak diajarkan.
Itu, tentu saja, salah. Padahal, bahasa Indonesia sendiri yang harus dilestarikan
dalam kurikulum saat ini agar tidak menambah jumlah bahasa asing dibandingkan
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia jauh tertinggal dari bahasa Inggris yang kini
digunakan masyarakat sebagai bahasa dunia.
Kemahiran bahasa Inggris diperlukan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi di
dalam dan luar negeri. Jadi sungguh ironis bahwa anak-anak yang fasih berbahasa
Inggris dianggap sebagai pengecualian, meskipun nilai bahasa Indonesianya rendah.
Mata pelajaran bahasa Indonesia diajarkan di sekolah dasar dan bahkan di
perguruan tinggi, tetapi penggunaan bahasa Indonesia secara umum dan sopan mulai
terkikis. Namun, kami menemukan bahwa jauh lebih banyak orang yang belajar bahasa
asing daripada bahasa Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia masih
lemah di mata dunia dan rakyatnya sendiri.
Perkembangan Ejaan

• Ejaan van Ophuisjen


Ini adalah panduan ejaan resmi pertama yang diterbitkan pada tahun
1901. Saat itu, Fyi Indonesia masih bernama Melayu. Sesuai dengan namanya,
ejaan ini ditulis oleh seorang Belanda bernama Charles A. van Ophuijsen dan
didukung oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma`moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim.
• Ejaan Soewandi
Setelah digunakan pada tanggal 19 Maret 1947, ejaan ini menggantikan
notasi van Ophuijsen dengan undang-undang Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Republik Indonesia No. 264/Bhg.A.
Mengapa disebut ejaan Suwandi? benar sekali! Komposernya adalah Bapak
Raden Soe Wandy yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pendidikan dan Kebudayaan. Oh iya, ejaan ini disebut juga dengan ejaan
republik. Pembaruan ejaan Soewandi adalah pada penggunaan diftong
(gabungan dua vokal) oe diubah menjadi huruf u dan penghapusan tanda kutip.
Apostrof ini diubah menjadi huruf k atau tidak ditulis sama sekali.
• Ejaan Pembaharuan
Pada Konferensi Bahasa Indonesia II yang diadakan di Medan tahun
1954, M. Profesor Yamin menyarankan untuk memperbaiki ejaan Soe Wandy.
Reformasi yang diusulkan oleh panitia yang diketuai oleh Prijono dan E.
Katoppo ini meliputi standarisasi fonem satu huruf dan ejaan ay, aw, dan oy
diftong ai, au, dan oi. Selain itu, tanda hubung tidak digunakan pada kata-kata
berulang yang memiliki makna tunggal, seperti kupu-kupu dan arun-alun.
• Ejaan Melindo
Melindo adalah singkatan dari Melayu Indonesia. Draft ejaan ini dibuat
pada tahun 1959 bekerja sama dengan Indonesia dan Federasi Malaya, dalam hal
ini Malaysia. Perubahan yang diusulkan pada mantra ini tidak jauh berbeda
dari mantra yang diperbarui. Ejaan Melindo ini bertujuan untuk membakukan
ejaan yang digunakan di kedua negara. Faktanya, Indonesia dan Malaysia
memiliki bahasa yang mirip. Sayangnya, karena ketegangan politik antara
Indonesia dan Malaysia saat itu, ejaan ini tidak bisa diformalkan.
• Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan)
Ejaan ini merupakan lanjutan dari ejaan Melindo, tapi bukan. Panitia
yang masih campuran Indonesia dan Malaysia ini dibentuk pada tahun 1967.
Isinya tidak jauh berbeda dengan ejaan yang diperluas (dibahas nanti), hanya
beberapa aturan yang berbeda.
• Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Notasi ini berlaku dari tahun 1972 hingga 2015. Dari rangkaian mantra
"sebelumnya" di atas, EYD adalah yang paling permanen. Ejaan ini juga
mengatur secara lengkap kaidah penulisan bahasa Indonesia, meliputi unsur
serapan, tanda baca, penggunaan kata, dan pengucapan huruf "e". Penggunaan
huruf kapital dan huruf miring. Selain itu, huruf “f”, “v”, “q”, “x”, dan “z” diisi
dengan unsur resmi bahasa asing milik bahasa Indonesia.
• Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Pengejaan Bahasa
Indonesia, EBI resmi diadopsi sebagai ejaan baru bahasa Indonesia. Ia
mengatakan penggunaan bahasa Indonesia lebih luas karena latar belakang
pengenalan ejaan baru ini berasal dari perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Notasi ini meningkatkan EYD, terutama dalam hal
penambahan diftong, penggunaan huruf besar, dan huruf tebal.
Hasil Kuisioner

Gambar 1.1 Hasil Kuisioner

Dalam kuisioner yang di buka untuk 22 peserta yang terdiri dari mahasiswa.
Dapat terlihat bahwa masih banyak ketidakserasian mereka pada penggunaan ejaan
dalam berbahasa Indonesia. Padahal, pada 26 November 2016, EYD diubah menjadi
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Meskipun telah beroperasi selama
beberapa tahun, banyak yang masih mengabaikan pedoman baru tentang cara menulis
ejaan dalam bahasa Indonesia ini. Sekitar 36,4% diantara mereka masih belum paham
dan belum mengikuti peraturan ejaan Bahasa Indonesia yang terbaru di tetapkan.
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menerbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Panduan
ini bertujuan untuk menyempurnakan pedoman umum (PUEYD) untuk memperbaiki
ejaan bahasa Indonesia. Panduan ini bertujuan untuk memperhitungkan perkembangan
pesat Indonesia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Panduan ini merupakan edisi
ke-4 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No. 50 tanggal 26 November 2016. Dengan adanya pedoman baru ini, diharapkan bisa
terbiasa dengan pedoman saat ini yaitu PUEBI.

Kesimpulan
Bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan karena memilik fungsi
utama sebagai alat komunikasi. Adapun untuk mahasiswa bahasa yang baik dan benar
tentu saja sangat penting jika dihadapkan dengan penulisan berbagai karya ilmiah.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI). Dan perlu diketahui bahwa bahasa yang tepat belum tentu serasi
dengan PUEBI karena bahasa yang tepat harus sesuai dengan kontels penggunaanya
seperti lokasi, suasana, waktu, serta dengan siapa kita berbicara.
Selanjutnya ada ejaan. KBBI menyatakan bahwa ejaan adalah aturan cara
membuat bunyi berupa huruf dan penggunaan tanda baca. Sejarah ejaan bahasa
Indonesia mengalami beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka. Mulanya notasi
yang digunakan adalah notasi Van Ophuijsen lalu berubah menjadi ejaan Soewandi atau
ejaan Republik, lalu berkembang dan diperbaharui dengan ejaan Pembaharuan, ejaan
Melindo, ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan), ejaan EYD (Ejaan Yang
Disempurnakan) yang dipakai hingga tahun 2015, dan yang berlaku saat ini yaitu
PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Setiap perkembangan ejaan tersebut memiliki perubahan dan perbaikan yang
selaras dengan perkembangan zaman. Adapun perbedaan antara EYD dan PUEBI
diantaranya terletak pada penambahan diftong [ei], penggunaan huruf kapital untuk
nama julukan, penggunaan huruf bercetak tebal, serta penjelasan tentang tanda baca titik
koma(;) yang sebelumnya tidak diekspor dengan luas.
Hasil penelitian yang kami dapatkan dari pengisian kuisioner yang telah kami
jalankan adalah adanya sebagian mahasiswa yang masih memakai Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) dalam penulisan karya tulis ilmiahnya. Padahal, sejak 26
November 2016 EYD diubah menjadi PUEBI. Oleh karena itu, kami penulis berharap
bahwa PUEBI ini akan lebih terbiasa dipakai dalam penulisan karya tulis ilmiah oleh
para mahasiswa agar sesuai dengan ejaan yang digunakan pada saat ini.

Daftar Pustaka
Zaenal Arifin, S. Amran Tasai. (2010). Cermat Berbahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.
Astuti, Fauzia. (2019). Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia: dari Djadoel
sampai Kekinian.

Anda mungkin juga menyukai