Anda di halaman 1dari 15

PBK (Penilaian Berbasis Kelas)

A. Penilaian/Evaluasi
Tabel penilaian kemampuan pemahaman dan perancangan teks tanggapan deskriptif.
Penilaian proyek atau penilaian kognitif dan psikomotorik
Skala penilaian
Indikator Deskriptor
1 2 3 4
Pengetahuan 1) Menalar dan tepat dalam menentukan  ✓
mengenai sejarah sejarah, pengertian dan jenis-jenis prosa
prosa fiksi. fiksi
2) Ketepatan dalam berfikir terhadap sejarah, ✓ 
pengertian dan jenis-jenis prosa fiksi 
Merencanakan 1) Kesesuaian judul dengan dengan informasi  ✓
pengamatan dan yang ingin disampaikan.
menyusun hasil
2) Ketepatan waktu pengumpulan proyek ✓ 
pengamatan.
pengamatan yang telah ditentukan.

Tabel penilaian teman sejawat atau penilaian sikap/penilaian afektif.

No Indikator Skala penilaian


1 2 3 4
1. Religius ✓
2. Tanggung jawab ✓
3. Percaya diri ✓
4. Kerjasama ✓
5. Santun ✓
berbahasa

Penialaian sikap setiap peserta didil dapat mengguanakan rumus berikut.

Nilai= jumlah skor x 100 =...................


12
Mengetahui, Lhokseumawe, 10 November
2021
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran Bhs
Indonesia
LEMBAR PENGAMATAN SIKAP
(Pertemuan sesi 2)
Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester: VII/2
Tahun Ajaran:
Waktu Pengamatan:
Sikap yang diinteraksikan dan dikembangkan adalah perilakau religious, jujur, tanggung
jawab, dan santun.
Indikatorperkembangan sikap perilaku religious, jujur, tanggung jawab, dan santun
1. BT (belum tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh
dalam menyelesaikan tugas
2. MT (mulai tampak) jika menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum ajeg/konsisten
3. MB (mulai berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas yang cukup sering dan mulai ejeg/konsisten
4. MK (membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan ajeg/konsisten

Bubuhkan tanda pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan

No Nama Siswa Religius Percaya Diri


Tanggung Santun
Jawab Berbahasa
B M M M B M M M B M M M B M M M
T T B K T T B K T T B K T T B K
1 Anisa Febriana 3
2 Aprilia Khaira 2
3 Azahara 2
4 Dinda Novia 3 4 3 3
5 Eva Maulina 3 3
6 Febriani Siregar 2 3 3
7 Intan Nurul Fajri
8 Isnaini
9 Khairul Mauliza 3
10 Liza Rahmati
11 Mauliza Fhonna
12 Mawaddah Warahmah 3
13 Nayla Rahmatun Nisa 2
14 Nirma Fauziah 4 3 4 3
15 Nurya Shinta
16 Rifka Fitrah
17 Rizka Fajri 3 3
18 Rizka MAuliana
19 Rozzatul Muna 3 3
20 Siti Aisyah
21 Sultina
22 Susi Karmila
23 Wirda Wati 3
24 Kartika Marpaung

LEMBAR PENGAMATAN SIKAP


(Micro saat Zoom)
Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester: VII/2
Tahun Ajaran:
Waktu Pengamatan:
Sikap yang diinteraksikan dan dikembangkan adalah perilakau religious, jujur, tanggung
jawab, dan santun.
Indikatorperkembangan sikap perilaku religious, jujur, tanggung jawab, dan santun
1. BT (belum tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh
dalam menyelesaikan tugas
2. MT (mulai tampak) jika menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum ajeg/konsisten
3. MB (mulai berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas yang cukup sering dan mulai ejeg/konsisten
4. MK (membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan ajeg/konsisten

Bubuhkan tanda pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan

No Nama Siswa Religius Percaya Diri Tanggung Santun


Jawab Berbahasa
B M M M B M M M B M M M B M M M
T T B K T T B K T T B K T T B K
1 Anisa Febriana
2 Aprilia Khaira
3 Azahara
4 Dinda Novia
5 Eva Maulina 2
6 Febriani Siregar
7 Intan Nurul Fajri
8 Isnaini
9 Khairul Mauliza 2
10 Liza Rahmati
11 Mauliza Fhonna
12 Mawaddah Warahmah
13 Nayla Rahmatun Nisa 2 2 3
14 Nirma Fauziah
15 Nurya Shinta 2
16 Rifka Fitrah
17 Rizka Fajri
18 Rizka MAuliana
19 Rozzatul Muna
20 Siti Aisyah
21 Sultina
22 Susi Karmila
23 Wirda Wati

Judul Buku : Jalan Tak Ada Ujung


Penulis : Mochtar Lubis
Periode : 1945

Guru Isa hendak berangkat ke sekolah. Ia melewati sebuah warung. Ia melihat istrinya
di sana, kemudian merunduk. Ia tahu kalau istrinya hendak mengutang beras lagi di warung
Pak Damrah. Guru Isa kembali berjalan, sayang, para serdadu Nica (No Indonesian Cares
About)—serdadu Sich Hindia Belanda dan para penentang kebijakan Sukarno—yang berada
di dalam sebuah truk datang berkeliling gang. Mereka melintasi jalan yang hendak dilalui
guru Isa. Lantas orang-orang dalam warung tadi berlarian, refleks guru Isa pun mengikuti. Ia
bersembunyi pada salah satu rumah yang berada di dekatnya.
Serdadu Nica, setiap kali melihat orang yang berlarian dan hendak bersembunyi, lekas
saja mengokang senjata dan menembakkan peluru panasnya secara membabi-buta. Dalam
satu kesempatan, salah satu anggota Nica berkata, “Mampus lu, anjing Soekarno! Mau
merdeka? Ini merdeka!”—(hal.06). Nahasnya tak ada yang berani melawannya. Sembari
menembaki mereka terus berjalan. Entah ditembakkan ke berapa, tepat berada di pandangan
Guru Isa, serdadu Nica itu menembak seorang perempuan Tionghoa yang halaman rumahnya
ia pakai untuk bersembunyi. Guru Isa gemetar takut tertangkap. Meski setelah itu para
serdadu keparat kembali ke dalam truk dan melanjutkan perjalanan. Sejak saat itu, guru Isa
selalu merasa kalah, dan ketakutan selalu berada selangkah di belakangnya, menjadi bayang-
bayang yang menghantuinya ke manapun ia berjalan, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi.
Setiap kali hendak tidur, ia selalu gusar.
Entah bisa dibilang nasib buruk atau baik, dalam keadaan guru Isa yang dalam
ketakutan, ada seorang pemuda bernama Hazil yang menemuinya. Mula-mula mereka ada
kecocokan pada hobi yang dimilikinya. Hazil datang kepadanya karena ia senang menggesek
biola, dan seseorang membawanya kepada Guru Isa, si pemain biola terbaik di sekolah
tempatnya mengajar. Akan tetapi, karena intensitas Hazil datang ke rumah Guru Isa, pada
akhirnya ia mengajak juga guru yang lugu dan berperangai kaku dalam bergaul itu untuk
tergabung dalam gerakan perjuangan yang mereka dirikan. Lagi-lagi karena ketidakenakan
serta kurang beraninya ia menolak ajakan Hazil, maka ia menurutinya. Hingga di kemudian
hari ia ditunjuk sebagai pemimpin gerakan. Dan sejak saat itu berpikir bahwa pada akhirnya
semua ibarat jalan. Apa yang ia kerjakan dan putuskan adalah jalan. Jalan tak ada ujung.
Penggalian karakter yang sedemikian detil itu berhasil merasuk ke dalam benak
pembaca. Betapa Guru Isa adalah orang yang sangat pendiam dan selalu memendam segala
perasaannya. Ia penuh keragu-raguan sampai membuat ia harus menjadi orang lain.
Berperang, bertarung secara fisik adalah bukan guru Isa yang ia sendiri tahu. Ia hanya
seorang guru. Guru sekolah dasar. Selama ia bersama Hazil, ia hanya orang yang berpura-
pura; pura-pura berani, pura-pura berontak. Ia sekali pernah berucap pada istrinya, Fatimah,
“aku tidak suka pada orang yang berpura-pura”.
Guru Isa menaruh kekaguman pada Hazil ketika pemuda itu menggesek biola
pinjaman darinya. Ada karakter baru yang ia lihat, bukan sebagai pemuda pemberontak,
tetapi pemuda yang berhasil memberikan ekspresi positif. Sayangnya, kekagumannya itu tak
berlangsung lama. Ketika guru Isa sedang terbaring sakit, sudah sejak jauh hari ternyata Hazil
pernah bertukar pandang secara diam-diam dengan Fatimah. Mereka menaruh rasa satu sama
lain. Hingga tiba sebuah kesempatan, saat mereka berdua di dapur, mereka pun
melenggangkan nafsu birahinya masing-masing. Bibir keduanya saling berpagut, tak peduli
lagi kalau di dalam rumah itu ada orang lain selain mereka, yakni suaminya Fatimah.
Bahkan, alih-alih menyesali perbuatannya—karena memang Fatimah sudah tak
menaruh gairah lagi dengan guru Isa—mereka malah semakin menjadi. Puncaknya ketika
guru Isa sedang mengajar, Hazil datang menemui Fatimah. Mereka berhubungan layaknya
suami istri di kamar guru Isa. Kebiasaan Hazil selalu menaruh pipa rokoknya di bawah
bantal. Ia akan selalu diingatkan Fatimah untuk tidak lupa mengambil pipa rokoknya.
Sepandai apapun kau menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium juga. Begitulah
aksioma bersabda. Dan benar saja, ketika malam hari, saat guru Isa hendak tidur, tangannya
tanpa sengaja mendapati sebuah pipa di bawah bantalnya. Kegeraman guru Isa pun dirasakan
oleh pembaca tentunya. Lebih-lebih dengan keputusan Guru Isa untuk tidak memperpanjang
masalah dan tidak menanyakannya. Bahkan pipa itu ia simpan dalam laci kerjanya dan tak
butuh bertanya apa pun pada kedua tersangka.
Kebohongan demi kebohongan pun mulai terbangun. Satu kebohongan timbul
menutupi kebohongan lainnya. Hazil dengan kawannya Rahmat setelah berhasil
menyelundupkan senjata dan granat, mereka merencanakan untuk menyerang serdadu Hindia
Belanda yang ramai berada di bioskop. Hazil meminta Guru Isa untuk ikut dan memastikan
keduanya setelah penyerangan akan baik-baik saja. Setelah mengangguki, terjadilah
segalanya. Granat berhasil meledak meski hanya dua serdadu saja yang tewas. Hazil dan
Rahmat aman, tentara belum berhasil melacak siapa pelakunya. Sayang hanya berlaku satu
Minggu saja. Minggu berikutnya Hazil tertangkap dan membuat guru Isa ketakutan. Hari-hari
berikutnya ia tidak bisa terlelap. Selalu saja membayangi kalau suatu waktu para tentara
datang menjemputnya. Tetapi sesekali ia berpikir akan aman. Sebab Hazil dan Rahmat
sebelum melakukan aksi itu, bila tertangkap nanti tidak akan menyebut-nyebut nama Guru
Isa. Sayangnya Hazil hanyalah orang bodoh yang tak tahu rasa terima kasih. Karena
ketidaktahanannya oleh hukuman dan penyiksaan yang dilakukan serdadu Nica padanya,
maka ia pun mengatakan kalau masih ada dua orang lagi kawan yang berkomplot dengannya.
Yakni guru Isa dan Rahmat.
Rahmat berhasil kabur keluar kota. Sedangkan guru Isa tak berdaya apa-apa saat
digelendang tentara ke jeruji besi. Ia sungguh tak menyangka, Hazil si pemuda yang ia
kagumi ternyata menelan ludahnya sendiri. Ia berkhianat padanya.

Judul : Khotbah di Atas Bukit


Penulis : Kuntowijoyo
Periode : 1970

Seorang laki-laki tua (65 tahun) pensiunan pegawai negeri. Barman yang ingin
menyepi di masa tuanya memutuskan hidup di villa di perbukitan. Apa yang akan kau
bayangkan dengan vila di bukit? Tentu saja udara segar, keheningan dan pemandangan hiijau.
Suasana sejuk dan damai. Ketenangan dan ketentraman.
Bobi, anaknya menyediakan fasilitas itu. Sebagai anak yang berbakti, Bobi juga
menyertakan ‘perawat’ bagi sang ayah. Popi namanya, perempuan muda, berkulit kuning,
tinggi semampai, tak terlampau kurus atau pula gemuk, cukup proporsional, dan tentu saja
cantik. Segera Barman dan Popi resmi menjadi suami istri. Popi adalah perempuan mantan
tuna susila. Meski demikian ia, seorang yang cerdas: sarjana filsafat. Popi juga pandai
memasak dan paham dengan Barman dengan dalam. Mereka berdua seolah pasangan suami
istri yang sudah lama menikah.
Hubungan Barman dan Popi sangat mesra dan intim sekali. Barman bahkan
mengerahkan seluruh detik hidupnya untuk berdua dengan Popi, demi bermanja dan
bercengkerama dengan istri terakhirnya itu.
Suatu hari Barman bertemu dengan Humam di bukit. Humam lelaki yang ‘mirip’
dengannya. Barman menjalin persahabatan dengan Humam. Banyak pelajaran yang didapat
Barman dari Humam.
Persahabatan Barman dengan Humam menyebabkan hubungan Barman dengan Popi
agak merenggang. Barman juga sempat iri kepada Humam saat ia melihat wajah Humam
lebih bercahaya daripada dia. Dia merasa seolah ada yang kurang dari diriinya. Makanya dia
terus belajar kepada Humam. “Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang.
Kebahagaiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” Itulah salah satu sabda
Humam yang senantiasa diingat Barman. Barman makin intens mendengarkan ceramah-
ceramah Humam yang terasa menyegarkan dirinya.
Tak lama kemudian Humam meninggal. Ia meninggal di atas kursi dalam keadaan
tersenyum. Setelah kematian Humam, Barman menjalankan ajaran Humam dan menyebarkan
ajarannya kepada penduduk sekitarnya. Penduduk pun banyak yang berdatangan. Tetapi
ketika orang-orang sampai di bukit, Barman justru bingung. Akhirnya, Barman mampu
mengucapkan khotbahnya dengan mengatakan bahwa “Hidup ini tidak berharga untuk
dilanjutkan, maka bunuhlah dirimu”. Setelah Barman meninggal, Popi pun meninggalkan
rumah itu dan ia menemui seorang laki-laki dengan melepaskan hasratnya yang selama ini ia
pendam pada orang yang disayanginya.
“Hidupilah Hidup, jangan berfikir!” Di akhir novel ini, Popi digambarkan
meninggalkan villa dan hidup bersama seseorang yang baru dikenalnya di dalam truk
pengangkut sayur-sayuran dari bukit menuju kota.

Judul Buku : Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )


Pengarang : Marah Rusli
Periode : Balai pustaka 1920

Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dikatakan itulah
titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya
hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seorang
pedagang yang terkemuka di kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang
pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih.
Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal
itu tidak dikehendaki oleh rentenir seperti Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan
keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik
Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan
tak sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan
yang dinanti-nantikannya. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tak
berdaya agar melunasi semua hutangnya. Boleh hutang tersebut dapat dianggap lunas,
asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya, puterinya, kepada Datuk
Maringgih.
Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak
sanggup lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang
ditawarkan oleh Datuk Maringgih.
Siti Nurbaya menangis menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik dan muda
belia harus menikah dengan Datuk Maringgih yang tua bangka dan berkulit kasar seprti kulit
katak. Lebih sedih lagi ketika ia teringat Samsulbahri, kekasihnya yang sedang sekolah di
stovia, Jakarta. Sungguh berat memang, namun demi keselamatan dan kebahagiaan
ayahandanya ia mau mengorbankan kehormatan dirinya dengan.
Samsulbahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya,
terlebih karena Siti Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan tentang nasib yang
dialami keluarganya. Pada suatu hari ketika Samsulbahri dalam liburan kembali ke Padang, ia
dapat bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi istri Datuk
Maringgih. Pertemuan itu diketahui oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi keributan.
Teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya yang tengah terbaring karena sakit keras.
Baginda Sulaiman berusaha bangkit, tetapi akhirnya jatuh tersungkur dan menghembuskan
nafas terakhir.
Mendengar itu, ayah Samsulbahri, yaitu Sultan Mahmud yang kebetulan menjadi
penghulu kota Padang, malu atas perbuatan anaknya. Sehingga Samsulbahri harus kembali ke
Jakarta dan ia berjanji untuk tidak kembali lagi kepada keluargannya di Padang. Datuk
Maringgih juga tidak tinggal diam, karena Siti Nurbaya diusirnya.
Siti Nurbaya yang mendengar bahwa kekasihnya diusir orang tuanya, timbul niatnya
untuk pergi menyusul Samsulbahri ke Jakarta. Tetapi niatnya itu diketahui oleh kaki tangan
Datuk Maringih. Karena itu dengan siasat dan fitnahnya, Datuk Maringgih dengan bantuan
kaki tangannya dapat memaksa Siti Nurbaya kembali dengan perantaraan polisi.
Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal dunia karena memakan lemang beracun
yang sengaja diberikan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu
terdengar oleh Samsulbahri sehingga ia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh
diri. Akan tetapi mujurlah karena ia tak meninggal. Sejak saat itu Samsulbahri tidak
meneruskan sekolahnya dan memasuki dinas militer.
Sepuluh tahun kemudian, dikisahkan dikota Padang sering terjadi huru-hara dan
tindak kejahatan akibat ulah Datuk Maringgih dan orang-orangnya. Samsulbahri yang telah
berpangkat Letnan dikirim untuk melakukan pengamanan. Samsulbahri yang mengubah
namanya menjadi Letnan Mas segera menyerbu kota Padang. Ketika bertemu dengan Datuk
Maringgih dalam suatu keributan tanpa berpikir panjang lagi Samsulbahri menembaknya.
Datuk Maringgih jatuh tersungkur, namun sebelum tewas ia sempat membacok kepala
Samsulbahri dengan parangnya.
Samsulbahri alias Letnan Mas segera dilarikan ke rumah sakit. Pada saat-saat terakhir
menjelang ajalnya, ia meminta dipertemukan dengan ayahandanya. Tetapi ajal lebih dulu
merenggut sebelum Samsulbahri sempat bertemu dengan orangtuanya.

Judul : Di Bawah Lindungan Ka'bah


Pengarang : Hamka
Periode : Pujangga Baru 1933
Hamid adalah seorang anak yatim dan miskin. Dia kemudian diangkat oleh keluarga
Haji Jafar yang kaya-raya. Hamid dianggap sebagai anak mereka sendiri, Mereka sangat
menyayanginya sebab Hamid sangat rajin, sopan, berbudi, serta taat beragama.
Hamid sangat menyayangi Zainab. Begitu pula dengan Zainab. Ketika keduanya
beranjak remaja, dalam hati masing-masing mulai tumbuh perasaan lain. Suatu perasaan yang
selama ini belum pernah mereka rasakan. Hamid merasakan bahwa rasa kasih sayang yang
muncul terhadap Zainab melebihi rasa sayang kepada adik, seperti yang selama ini dia
rasakan. Zainab juga ternyata mempuanyai perasaan yang sama seperti perasaan Hamid.
Hamid tidak berani mengutarakan isi hatinya kepada Zainab sebab dia menyadari
bahwa di antara mereka terdapat jurang pemisah yang sangat dalam. Zainab merupakan anak
orang terkaya dan terpandang, sedangkan dia hanyalah berasal dari keluarga biasa dan
miskin.
Tanpa memberi tahu siapa pun, Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar,
Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia
lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah “jatuh tertimpa tangga pula”.
Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke rahmatullah,
tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini
tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam
kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai
keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat
membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya.
Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat
mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani
mengutarakan rasa cintanya itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu
mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat
bumi dengan langit, rasanya tak mungkin keduanya bersatu. Meninggalkan kampung
halamanya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut
pikiran Hamid.
Dari Medan, Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura dan akhirnya ia sampailah
di tanah suci, Mekah. Di Mekah ia tinggal dengan seorang Syekh, yang pekerjaanya
menyewakan tempat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di kota suci itu. Pada musim haji, banyaklah orang
datang dari berbagai penjuru. Tanpa diduganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat
Syekh itu. Orang yang baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut
ilmu agama di Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari
kampung halaman-terutama berita tentang Zainab-yang sejak ditinggalkan Hamid dan tidak
jadi dikawinkan dengan saudara ayahnya itu, kini sedang dalam keadaan sakit-sakitan. Hamid
sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus menyelesaikan ibadah hajinya
yang tinggal beberapa hari. Ia bermaksud segera pulang ke kampung. Sementara itu Saleh,
teman Hamid, segera mengirim surat kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya yang
segera pula memberitahukannya kepada Zainab. Alangkah senang hati Zainab mengetahui
bahwa orang yang dicintainya ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diterima Zainab
makin hari makin parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk orang
yang dikasihinya.
Surat yang dikirim Zainab diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat
mempengaruhinya. Dua hari setelah itu, bersamaan keberangkatan para jemaah haji ke
Arafah guna mengerjakan wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian, Hamid
tetap menjalankan perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah, suhu badanya semakin tinggi. Apalagi di Arafah,
udaranya sangat panas. Hamid tak mau menyentuh makanan sehingga badanya menjadi
lemah. Pada saat yang sama, surat dari Rosna diterima Saleh yang menerangkan bahwa
Zainab telah wafat. Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui bahwa ada surat
dari kampunganya. Firasatnya begitu kuat pada berita surat yang disembunyikan Saleh.
Hamid menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian
Zainab. “O, jadi Zainab telah mendahului kita?” tanyanya pula.
Ketika akan berangkat ke Mina, Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa
mengupah orang Badui untuk membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil
Haram-kemudian mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali. Tepat di antara pintu ka’bah dan
batu hitam, kedua orang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya,
memegang kiswah sambil memanjatkan doa yang panjang: “Ya Rabbi, Ya tuhanku, Yang
maha Pengasih dan Penyayang!” Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat
kemudian, Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.

Anda mungkin juga menyukai