Anda di halaman 1dari 9

Merealisasikan Birrul Walidain

A. Makna birrul walidain


Kata “Birrul walidain” berasal dari dua kata, yaitu “Al-birr” dan “Al walidain”. Secara
bahasa, birr dapat diartikan sebagai kebaikan. Dan walidain berarti kedua orangtua. Jadi
birrul walidain berarti berbuat baik kepada kedua orangtua.
Hakikat manusia sebagai hamba Allah SWT adalah menjalankan semua perintah-Nya
dan menjauhi semua larangan-Nya. Salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh
seorang Muslim adalah birrul walidain. Birrul walidain adalah bagian dari etika seorang
Muslim untuk berbakti kepada kedua orangtua. Birrul walidain menjadi kewajiban setiap
anak dalam kerangka taat kepada perintah Allah.
Birrul walidain tidak terpaku pada berbuat baik atau adab kepada orangtua saja, tapi
dapat juga meliputi hal-hal seperti berikut :
- Mengatakan / mengajak pada kebaikan atau kebenaran, dengan cara yang baik.
Seperti arti kata al-birr yakni kebaikan. Hal ini menjadi salah satu bentuk bakti
seorang anak kepada orangtua. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. At-Tahrim ayat
6 yang memerintahkan kita untuk menjaga diri dan dan keluarga dari siksa api
neraka.
- Memohon doa kepada orangtua. Ketika kita sedang mengalami suatu peristiwa
maupun tidak, hendaknya senantiasa meminta doa kepada orangtua. Contoh halnya
seperti minta didoakan supaya sidang skripsinya lancar, presentasinya lancar, dan
sebagainya.

B. Dalil tentang berbakti kepada orangtua


1. Dalam Q.S. Al-Isra ayat 23 disebutkan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Disebutkan pula dalam Q.S. Luqman ayat 14 yang artinya, “Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu.”
3. Dalam potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud berbunyi, “Dari
Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Apakah
amal perbuatan yang paling utama?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Melaksanakan
sholat pada waktunya.’ Kemudian aku bertanya, ‘Lalu apa lagi?’ Rasulullah SAW

1
menjawab, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Rasulullah
menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orangtua’ ….”

Maka dapat kita ketahui bahwa berbakti kepada kedua orangtua merupakan
perintah dari Allah. Sebagai anak kita memang wajib memperlakukan kedua orangtua
dengan baik untuk membalas budi mereka, meskipun jasa kedua orangtua tidak mungkin
terbalas. Tetapi yang wajib kita ketahui adalah, berbakti kepada orangtua bukan sekedar
untuk membalas budi, tetapi memang perintah dari Allah. Jadi, bagaimanapun sifat atau
perlakuan orangtua terhadap kita, kita tetap wajib untuk berbakti. Karena Allah
memerintahkan demikian.

C. Bakti anak laki-laki kepada ibunya setelah menikah


1. Berbakti kepada ibu
Berbakti bisa diwujudkan dengan menghormati, bersikap sopan,
menyegerakan panggilannya, dan lain sebagainya. Seorang laki-laki yang telah
menikah seringkali mengesampingkan, bahkan melupakan ibunya hanya karena
sudah memiliki keluarga sendiri. Padahal kalau kita mau menyadari, kewajiban anak
laki-laki meski sudah menikah adalah, tetap memerhatikan kedua orang tuanya
dengan baik. Oleh sebab itu, janganlah mengabaikan kewajiban sebagai anak laki laki
kepada orang tuanya. Supaya ridho Allah selalu menyertai keluarga saudaraku
semuanya.
2. Bersikap Adil Terhadap Nafkah Ibu dan istri
Hal yang satu ini seringkali menjadi pemicu konflik dalam keluarga. Selain
berkewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, laki-laki yang sudah menikah
tetap berkewajiban untuk memberi nafkah kepada orangtuanya.
3. Merawat Dengan Baik
Dalam QS. Luqman ayat 14, Allah SWT sudah berfirman, "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu".
Dari ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa, seorang anak wajib merawat
orang tua yang telah lanjut usia dengan sabar dan penuh pengharapan ridho dari
Allah.
Meski kebanyakan yang merawat orangtua adalah anak perempuan, tapi
bukan berarti anak laki-laki tidak boleh atau kehilangan tanggung jawab untuk
merawat orangtuanya.
Akan tetapi masih banyak kita menemui, di saat tubuh orangtua kita sudah
mulai menua, ingatan tidak setajam waktu muda, dan kondisi tubuh yang mulai
lemah, justru kita tidak mau dibuat repot olehnya. Sehingga yang banyak terjadi,

2
orangtua malah dikirimkan ke panti jompo untuk dirawat orang lain atau bahkan ada
juga yang dibuang ke hutan.
4. Meringankan Beban Ibunya
Seorang ibu berhak mendapatkan perlindungan dari anak laki lakinya,
sekalipun orang tua laki laki kita masih hidup dan masih sehat. Apabila kita mampu
meringankan beban seorang ibu, maka insyaallah, Allah SWT akan memudahkan
jalan dari saudaraku semuanya, supaya kebutuhan orangtua kita bisa terpenuhi.
Kalaupun tidak bisa dengan kekayaan, setidaknya bisa kita lakukan dengan kasih
sayang.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
anha, Beliau bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Siapakah yang berhak terhadap
seorang wanita?’ Rasulullah menjawab, ‘Suaminya (apabila sudah menikah)’. Aisyah
bertanya lagi, ‘Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?’ Rasulullah
menjawab, ‘Ibunya’. (HR. Muslim).
5. Selalu Menjaga Perasaan Ibu
Dari Abdullah bin 'Amru radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah SAW
pernah bersabda: "Ridho Allah tergantung pada ridho orang tua, dan murka Allah
tergantung pada murka orang tua." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim). Seorang anak
hendaknya selalu menjaga perasaan orang tuanya, terutama adalah perasaan
seorang ibu. Meski kita dalam kondisi tidak baik sekalipun, sebisa mungkin
tunjukkanlah senyum terindah saat bertemu orangtua kita.
Hal ini semata mata kita lakukan hanyalah untuk menentramkan hatinya. Di
kala hati orangtua tenteram, pikiran menjadi tenang, dan doa kebaikan dari orangtua
akan terus mengalir kepada kita.

D. Bakti anak perempuan kepada ayahnya dan suaminya setelah menikah


Dalam sebuah hadits disebutkan, “Diriwayatkan dari Aisyah ra. Beliau bertanya
kepada Rasulullah SAW, ‘Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?’ Rasulullah
menjawab, ‘Suaminya (apabila sudah menikah)’. Aisyah bertanya lagi, ‘Siapakah yang berhak
terhadap seorang laki-laki?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibunya’. (HR. Muslim)
Sebelum menikah, yang bertanggung jawab dan berhak atas anak perempuan adalah
ayahnya. Tanggung jawab ini meliputi dunia dan akhirat. Di akhirat nanti, ayah akan
bertanggung jawab atas putrinya. Bukan berarti dosa anak perempuan itu ditanggung oleh
ayahnya. Tapi ayah akan diminta pertanggung jawabannya atas putrinya, misalkan anak
perempuannya melakukan kesalahan. Seperti contoh di sekolah, ada anak yang sudah
berkali-kali melakukan kesalahan sampai orangtuanya dipanggil ke sekolah. Atau misalnya
anaknya ditahan di kepolisian, kemudian orangtuanya dipanggil untuk menebus.
Setelah ijab qabul, artinya hak dan kewajiban sang ayah kepada anak perempuannya
telah diserahkan kepada sang suami. Setelah menikah, istri wajib menaati suaminya di atas
ayahnya. Misalnya sang ayah meminta putrinya untuk mengunjunginya. Tapi sang suami

3
tidak mengizinkan, maka sang istri wajib menaati suaminya. Karena kini ia sudah menjadi
milik suaminya. Begitu pun suaminya, ia akan diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti
apabila istrinya melakukan kesalahan seperti tidak menutup aurat.
Namun tentunya menaati suami tidak menyebabkan anak perempuan tidak boleh
berbakti kepada ayahnya. Yang namanya bakti itu tetap ada. Namun hak-hak sang ayah
terhadap anak perempuannya terbatas. Contohnya, yang tadinya sang ayah bisa meminta
anak perempuannya untuk membantunya kapan saja, tapi setelah menikah ayahnya tidak
berhak lagi. Contohnya lagi, orangtua boleh meminta uang kepada anak laki-lakinya yang
sudah menikah. Tapi tidak kepada anak perempuannya yang sudah menikah. Meskipun
tidak ada dalil yang melandasinya, tetapi berdasarkan adabnya memang demikian. Karena
kewajiban perempuan yang sudah menikah adalah membantu suaminya untuk menafkahi
orangtua dari suaminya. Tapi bukan berarti anak perempuan yang sudah menikah tidak
boleh menafkahi atau memberi uang kepada orangtuanya.
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang istri mengerjakan sholat lima waktu,
berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, niscaya
ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.”
Dalam hadits yang lain disebutkan, “Wanita mana saja yang telah meninggal dunia
lantas suaminya ridho padanya, maka ia akan masuk ke dalam surga Allah SWT.” (HR.
Tirmidzi). Kedua hadits ini menunjukkan bahwa ridho suami juga menjadi kunci utama bagi
seorang istri untuk meraih surga.
Saat ijab qabul, sang ayah menyerahkan anaknya kepada suaminya. Maka ridho
seorang wanita bukan hanya kepada orangtuanya lagi, melainkan ridho yang paling utama
adalah ridho suaminya.
Dalam hadits dikatakan, “Ada 3 orang yang tidak akan diterima pahala sholatnya
oleh Allah SWT dan tidak pula diangkat kebaikan mereka ke langit ialah hamba perempuan
(istri) yang lari dari tuannya hingga ia kembali, seorang istri yang dimurkai suaminya hingga
dia memaafkannya, dan orang yang mabuk hingga ia tersadar kembali.”
Taat kepada suami bernilai sama seperti berjihad di jalan Allah. Dalam sebuah hadits
dikisahkan pada zaman Rasulullah, ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah dan
bertanya. Laki-laki yang perang di jalan Allah kemudian mati syahid akan mendapat pahala
besar. Kemudian apa amalan perempuan agar bisa mendapat pahala seperti laki-laki yang
perang di jalan Allah? Yaitu dengan taat kepada suami maka pahala yang didapat seimbang
depan pahala perang membela agama Allah.

E. Kisah ibu yang masuk surga karena ketaatan anak perempuannya kepada suaminya
Kisah ini ditulis dalam kitab Uqudulujian karya Syaikh Nawawi Al-Bantani. Pada masa
Rasulullah SAW, ada seorang istri yang shalihah yang sangat taat kepada suaminya. Suatu
hari, suaminya hendak pergi berjihad untuk agama. Sebelum pergi, sang suami berpesan
kepada istrinya, “Wahai istriku, aku akan pergi untuk berjihad meninggikan kalimat-kalimat
Allah. Sebelum aku kembali pulang dari berjihad, jangan pergi kemana pun dan jangan

4
keluar dari rumah ini.” Setelah berpesan kepada istrinya, berangkatlah si suami menuju
medan jihad.
Beberapa hari kemudian, sang istri mendapat kabar bahwa ibunya sedang sakit parah.
Orang yang diutus itu mengatakan pada wanita itu untuk segera menjenguk ibunya. “Ibumu
saat ini sedang sakit keras, jenguklah dia sekarang.”
Tapi wanita itu dengan gelisah menjawab, “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,
bukannya tidak mau menjenguk, tapi saya dilarang keluar rumah sebelum suami saya
pulang, tolong sampaikan permohonan maaf dan salam saya pada Ibu.”
Malam berlalu dan suami yang berjihad belum juga pulang. Keesokan harinya datang
kembali seorang utusan, yang mengabarkan bahwa ibu wanita tersebut telah meninggal
dunia. Betapa sedih wanita ini mendengar kabar ibunya yang meninggal dunia, bahkan di
saat-saat terakhirnya dia tidak berada di sampingnya.
Utusan tersebut berkata, “Sekarang Ibumu telah tiada, datanglah untuk memberikan
penghormatan terakhir sebelum beliau akan dikuburkan hari ini.” Namun wanita ini
menjawab, “Bukannya saya tidak mencintai ibu saya, tapi saya memegang amanah suami
saya untuk tidak keluar rumah sampai dia pulang dan memberi saya izin.”
Dengan berat utusan tersebut pulang. Karena kesal dan heran dengan sikap wanita
tersebut yang tidak mau datang walaupun ibunya sakit keras hingga meninggal dunia, si
utusan pun akhirnya mengadukan permasalahan ini kepada Rasulullah SAW, “Wahai
Rasulullah, wanita itu sangat keterlaluan, dari mulai ibunya sakit hingga meninggal dunia dia
tidak mau datang untuk menemui ibunya.”
Rasulullah SAW bertanya “Kenapa dia tidak mau datang menemui ibunya?”
“Wanita itu mengatakan bahwa dia tidak mendapat izin untuk keluar rumah sebelum
suaminya pulang berjihad.” Jawab utusan yang mengadu ke Rasulullah SAW tersebut.
Lalu Rasulullah SAW tersenyum, kemudian Beliau berkata, “Dosa-dosa ibu wanita
tersebut diampuni oleh Allah SWT karena dia mempunyai seorang putri yang sangat taat
terhadap suaminya”.
Itulah kisah seorang istri yang sholehah yang patuh dan taat kepada suaminya yang
pada akhirnya mampu mengantarkan ibunya ke surga karena dosa-dosa ibunya telah di
ampuni oleh Allah SWT lantaran memiliki anak yang sholehah yang taat kepada suami.
Tanggung jawab ayah atau suami sebagai kepala keluarga itu memang berat. Apabila
ada anggota keluarganya yang melakukan kesalahan, anaknya, saudara perempuannya, atau
istrinya, di akhirat nanti dia akan diminta pertanggung jawaban. Tapi kalau di dalam
keluarga itu berhasil mendidik anak perempuan yang sholehah, ibunya yang masuk surga.
Jadi jangan iri kalau laki-laki memang dijanjikan bidadari di surga.

F. Berbakti kepada orangtua yang sudah bercerai


Kita sebagai anak mungkin belum bisa memahami dan menerima keputusan mereka
untuk berpisah, tapi kita harus selalu berusaha untuk menghargai dan memahami

5
keputusan tersebut, mungkin semua jalan terbaik telah ditempuh tapi belum ada solusi
terbaik yang mereka temukan selain dari perpisahan.
1. Lapangkanlah dan bukalah hati untuk memaafkan
Tidak ada seorang anak yang tidak tersakiti oleh perceraian kedua
orangtuanya. Banyak kasus yang dapat merugikan seorang anak karena perceraian.
Saat masih kecil mungkin kita belum mengerti dengan kondisi mereka. Tapi saat kita
sudah mulai remaja, dewasa kita mulai sedikit demi sedikit memahami kenapa
keputusan untuk berpisahlah yang diambil oleh kedua orang tua kita, saat itu juga
bukalah pintu maaf lebar-lebar dalam hati kita. Dengan membuka pintu maaf
memudahkan kita untuk menerima semuanya dan menjaga tali silaturahim di antara
kita dan kedua orang tua kita.
2. Bergaulah dengan orang-orang positif
Sebagai anak kita akan kebingungan dan kehilangan orientasi karena ada
jarak komunikasi dengan orang tua yang telah berpisah. Sulit juga bagi mereka untuk
mengarahkan langsung harus seperti apa kita. Oleh karena itu, bergaulah dengan
orang-orang yang positif, maka lingkungan kita pun akan selalu positif.
3. Tetap menjaga komunikasi dan silaturrahim walaupun salah satu dari mereka
menikah lagi.
Ada kekecewaan besar saat kita tahu ayah atau ibu kita menikah lagi. Jika kita
sudah membuka pintu maaf, hal ini pun lebih mudah kita terima, walau perlu waktu
untuk mengobati kekecewaan. Jangan sampai kita memutuskan silahturahim.
Kalau belum bisa bertemu ya tidak usah bertemu. Saat Ini banyak hal yang
bisa memfasilitasi komunikasi mulai dari chat atau sms, kemudian kita coba via
telepon. Kalau memungkinkan untuk bertemu, pada saat kita siap bertemulah
dengan keluarga baru ayah atau ibu kita.
4. Doakan mereka
Ada banyak kondisi yang membuat kita tidak bisa bertemu dengan orang tua
yang telah berpisah. Jangankan bertemu untuk berkomunikasi pun susah. Ada satu
hal yang bisa dilakukan yaitu mendoakan mereka. Bahkan saat orang tua kita
meninggal masih bisa mendoakannya.
Sebagaimana hadits Nabi, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah
amalannya kecuali tiga perkara yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau
do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Sebagaimana disebutkan pula dalam Q.S. Al-Isra ayat 24 yang artinya, “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah : ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Meskipun memang keadaan tidak sama seperti dulu, dan sulit untuk dapat
melapangkan hati. Tetapi kewajiban berbakti kepada orangtua tidak lepas meski ada
perceraian. Hubungan suami istri memang bisa putus. Tapi hubungan anak dengan orangtua

6
tidak bisa putus. Selamanya gelar bin dan binti itu akan mengikut sampai ke akhirat, tidak
bisa digantikan dengan orang lain.
Misalkan ada kejadian seperti berikut, ketika orangtua bercerai kemudian si anak
ikut dengan bapaknya, sehingga si anak tidak satu rumah lagi dengan ibunya. Nah beberapa
tahun kemudian ketika ibu kandungnya ini sudah renta, apakah si anak tetap berkewajiban
untuk merawatnya? Jawabannya adalah iya.
Kejadian lain lagi. Misalkan sang ibu meninggal atau orangtuanya bercerai, dan si
anak ikut dengan bapaknya. Kemudian bapaknya menikah lagi dengan seorang janda yang
juga membawa anak. Kemudian ketika ibu tirinya nanti tua renta, siapakah yang
bertanggung jawab untuk merawatnya? Anak kandung yang dibawa oleh wanita ataukah
anak tirinya yang dibawa oleh suaminya? Tentu semua anaknya berkewajiban untuk
merawatnya, namun tentu lebih wajib lagi bagi anak kandungnya untuk merawatnya.
Meskipun kami belum menemukan dalil atau aturan tentang hal demikian, namun secara
adab tentu kewajiban merawat orangtua tidak bisa lepas hanya karena status tiri.

G. Contoh kejadian menolak perintah batil dari orangtua dan menasihati orangtua
Pada bahasan sebelumnya kita membahas bahwa berbakti kepada kedua orangtua
merupakan kewajiban karena perintah Allah. Jadi bagaimanapun kondisi, sifat, atau
perlakuan orangtua terhadap kita, kita tetap wajib berbakti. Tapi bukan berarti kita harus
menaati semua perintah dari orangtua sampai perintah yang menyalahi aturan agama.
Di dalam Q.S. Luqman ayat 15 disebutkan, “Dan apabila keduanya memaksamu
untuk menyekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada ilmu padanya, jangan taati
keduanya dan bergaul lah dalam kehidupan dunia dengan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan
ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku ….”
Apabila seorang anak hendak menolak perintah orangtua yang dilarang agama, maka
haruslah tetap dengan kata-kata yang sopan dan santun, jadi dibawa santai tanpa berkata
kasar kepada orangtua.
Pada bahasan sebelumnya juga dibahas bahwa mengajak orangtua pada kebaikan
merupakan salah satu bentuk bakti seorang anak kepada orangtuanya. Dalam potongan Q.S.
At-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Perliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka …” ayat ini menjadi landasan pula dalam menyampaikan
kebenaran ataupun menasihati orangtua.
Contohnya pada kejadian berikut,
Ada seorang ayah yang suka minum minuman keras bahkan hampir setiap hari. Sang ayah
pun mengajak anaknya untuk ikut minum bersamanya. Si anak menolak, namun bukan
hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan perbuatan untuk mengajak ayahnya pada
kebenaran. Meskipun kejadian ini biasanya terjadi kebalikannya, yaitu ayah yang
menghadapi anaknya yang suka minum, tapi anggaplah kejadiannya seperti ini.
Contoh usaha yang bisa dilakukan oleh sang anak adalah seperti menemani ayahnya
duduk saat ayahnya sedang minum, atau meluangkan waktu untuk lebih dekat dengan

7
ayahnya. Mungkin sesekali sang anak ikut minum juga. Dari pendekatan ini, ayah dan anak
itu jadi memiliki lebih banyak waktu bersama untuk melakukan pekerjaan bersama yang
lebih bermanfaat. Sang ayah yang tadinya minum setiap hari, mulai mengurangi
frekuensinya jadi seminggu dua kali dan seterusnya. Tidak lupa juga sangat anak senantiasa
mendoakan kebaikan untuk orangtua.

KESIMPULAN

Birrul walidain berarti berbuat baik kepada kedua orangtua. Birrul walidain wajib
dilakukan oleh setiap anak kepada orangtuanya, baik sebelum atau sesudah menikah,
kepada orangtua kandung maupun tiri.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Diriwayatkan dari Aisyah ra. Beliau bertanya
kepada Rasulullah SAW, ‘Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?’ Rasulullah
menjawab, ‘Suaminya (apabila sudah menikah)’. Aisyah bertanya lagi, ‘Siapakah yang berhak
terhadap seorang laki-laki?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibunya’. (HR. Muslim).
Seandainya para istri memahami hadits ini, maka ia akan memahami bahwa anak
laki-laki adalah milik ibunya, begitu pun suaminya yang merupakan milik ibunya. Sehingga
istri tidak akan cemburu apabila suaminya sangat patuh atau lebih mementingkan ibunya
dibanding istrinya.
Berbeda dengan istri yang sudah bukan lagi tanggung jawab ayahnya. Sedangkan
laki-laki yang sudah menikah tetap milik ibunya. Namun jika ibu dari suami ini juga
memahami bahwa anak laki-laki nya sudah memiliki keluarga sendiri, tentunya sang ibu juga
menghargai hal tersebut dengan tidak menuntut banyak dari anaknya.
Sang istri juga akan memahami perannya untuk membantu suaminya dalam
memberi nafkah untuk orangtua suami. Sehingga sang istri tidak merasa iri terhadap harta
yang diberikan suami kepada orangtuanya.
Setelah menikah, kewajiban perempuan berpindah kepada suaminya. Jika para ayah
memahami hal ini, maka ia akan memahami batasan haknya terhadap anak perempuannya
yang telah menjadi milik suaminya.
Hal ini menjadi prinsip yang penting untuk ditumbuhkan di masyarakat. Jika semua
pihak memahami posisi dan batasan haknya, serta menghormati peran masing-masing
pihak, maka pertengkaran antara menantu dan mertua bisa dihindari atau diminimalisir
sehingga tercipta kerukunan.
Satu lagi hal penting yang harus diingat adalah, berbakti kepada kedua orangtua
adalah perintah dari Allah. Jadi, berbakti kepada orangtua bukan sekedar untuk membalas
budi, tetapi memang perintah dari Allah. Jadi bagaimanapun sifat, kondisi, atau perlakuan
orangtua terhadap kita, kita tetap wajib untuk berbakti. Karena Allah memerintahkan
demikian.

8
Dan kenapa sih kita bahas tentang ini. Yang banyak menekankan soal pernikahan
dan hal yang agak sensitif seperti perceraian. Jadi bahasan kita ini adalah perluasan dari
kelompok sebelumnya yang sudah membahas tentang akhlak kepada orangtua. Selain itu,
hal-hal tadi itu seringkali jadi permasalahan dalam keluarga. Tentang perubahan hak /
tanggung jawab yang berhubungan dengan bakti pada orangtua, dari sebelum menikah dan
setelah menikah. Dan diharapkan, pembahasan ini dapat menambah pengetahuan kita
untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Anda mungkin juga menyukai