Anda di halaman 1dari 2

Pandangan Ajaran Buddhisme Terhadap Ritual Dengan Mengorbankan Hewan

Oleh Alvin Tanoto , 2106640064

Judul Artikel : Dilarang Selama Kependudukan, Timor Leste Hidupkan Lagi Ritual yang Libatkan
Pengorbanan
Penulis : Amirullah
Data Publikasi : Sabtu, 20 November 2021, 15:05, Aceh TribunNews
Setelah Timor Leste lepas dari kependudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Timor Leste terpantau telah mempraktikan kembali ritual yang sempat dilarang oleh pemerintahan
Indonesia saat Timor Leste masih menjadi bagian dari negara Indonesia. Ritual tersebut merupakan
bagian dari upacara peresmian tara bandu desa, atau hukum adat yang secara kolektif disebut
Maubere. Hukum ini mengatur bagaimana orang berinteraksi dengan lingkungan mereka.

Berdasarkan laporan Mongabay.id, sekitar 150 pria, wanita, dan anak-anak berkumpul di desa
Biacou, Utara Timor Leste tepatnya di tempat suci yang biasa disebut Oho-no-rai. Belasan pria
mengenakan sarung tradisional dan hiasan kepala berbulu berdiri di sekitar tiang kayu tempat seekor
kambing diikat, sementara sisanya duduk melingkar di dekatnya, menonton.

Mereka memulai ritual dengan penyambutan baikana, para undangan penting termasuk
pejabat dari Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste, kepala desa dan otoritas politik lokal
dan regional lainnya, pendeta Katolik setempat, perwakilan polisi dan militer, dan perwira yang
berasal dari Organisasi Pangan dan Pertanian Program PBB Regional Fisheries Mata Pencaharian
untuk Asia Selatan dan Tenggara (RFLP), yang menasihati para pemimpin Biacou dalam
merumuskan peraturan.

Ritual dipimpin oleh Francisco Talimeta, sang tetua desa. Talimeta memulai ritualnya dengan
memercikkan air ke kambing dan merapalkan doa. Dia kemudian membunuh hewan itu dengan
menusuk jantungnya menggunakan tombak besi yang tajam. Pengorbanan itu memicu tepuk tangan
dan sorak-sorai di antara orang banyak. Dipercaya bahwa tumpahan darah membuat tempat itu lulik,
atau suci, dan memungkinkan berkomunikasi dengan roh leluhur. Talimeta meneliti jeroan kambing
untuk mencari tanda-tanda bahwa Rai na'in dan Tasi na'in, roh Maubere tanah dan roh laut, masing-
masing, menyetujui niat desa untuk memperbaharui hukum tara bandu.

Menemukan bukti yang menguntungkan, ia berkomunikasi langsung dengan roh dan


kemudian menawarkan mereka makanan, daun pinang, dan tuak sebagai ucapan terima kasih.
Segera setelah itu, Talimeta mengorbankan seekor babi dengan cara yang sama. Sekali lagi, darah
tumpah dan kerumunan bersorak. Talimeta menemukan tanda-tanda bahwa roh darat dan roh laut
juga setuju lewat jeroan babi, dan kemudian mengucapkan terima kasih lagi dan memberikan
persembahan. Pengorbanan dan doa Rai na'in dan Tasi na'in menandai momen penting dalam
sejarah Biacou, dan mungkin Timor-Leste sendiri, yaitu kebangkitan tara bandu lokal setelah hampir
empat dekade tidak digunakan.

Dari berita di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di Timor Leste terdapat ritual yang
menggunakan hewan sebagai persembahannya dengan cara membunuh hewan tersebut. Lalu,
bagaimana pandangan agama Buddha terhadap peristiwa tersebut? Agama Buddha mengkritisi dan
menentang ritual kurban hewan apa pun alasannya. Ritual kurban hewan merupakan ritual kurban
yang kejam dan melanggar nilai agama Buddha pada sila pertama Pancasila Buddhis yaitu tidak
diperbolehkannya untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup dengan alasan apapun. Dalam
Ujjaya Sutta (Aṅguttara Nikāya 4.39), dikisahkan seorang brahmana bernama Ujjaya bertanya
kepada Sri Buddha mengenai apakah Beliau memuji bentuk pengorbanan (ritual kurban). Sri Buddha
menjawab bahwa Beliau tidak memuji pengorbanan dengan kekejaman saat ternak, kambing-
kambing, domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi dibunuh, saat berbagai makhluk digiring untuk
disembelih.

Alih-alih bermanfaat dan berpahala besar, ritual kurban hewan yang tindakan intinya
melakukan pembunuhan justru menimbulkan penderitaan. Bukan saja menimbulkan penderitaan bagi
hewan yang menjadi kurban tetapi juga akan menimbulkan penderitaan bagi mereka yang melakukan
ritual kejam tersebut, cepat atau lambat. Banyak kisah dan penjelasan dalam Kitab Suci Tripitaka
mengenai dampak dari kebiasaan membunuh makhluk hidup termasuk hewan. “Siapa pun yang
membunuh makhluk hidup menciptakan bahaya dan ancaman baik di kehidupan sekarang dan di
kehidupan yang akan datang, dan mengalami sakit mental dan kesedihan.” – Dutiyavera Sutta
(Aṅguttara Nikāya 9.28)

Agama Buddha melihat bahwa hewan memiliki kehidupan yang juga berharga, lantaran
mereka juga memiliki kesadaran dan juga perasaan seperti manusia meskipun dalam kondisi yang
lemah. Karena adanya kesadaran dan perasaan tersebut, maka para hewan juga berhak terbebas
dari rasa sakit baik fisik maupun batin. Dan karena itulah pula membunuh mereka akan berakibat
munculnya penderitaan pada si pelaku.

Ritual kurban hewan akan ada selama manusia tidak bisa peka melihat dan memahami
hakikat kehidupan dengan benar dan selama pandangan keliru dalam diri seseorang menganggap
bahwa ritual kurban hewan sebagai ritual yang indah dan bermanfaat, maka ia tidak akan bebas dari
penderitaan. Untuk itu umat Buddhis selalu diajarkan untuk mengurangi dan akhirnya meninggalkan
tindakan membunuh hewan atas nama persembahan dana makanan baik kepada anggota sangha
maupun kepada leluhur.

Anda mungkin juga menyukai