Anda di halaman 1dari 38

Pada bab-bab sebelum ini telah dibahas berbagai tinjauan aspek

keragaman dan keterbatasan manusia secara individu, mulai dari aspek

antropometri, biomekanika, fisiologi, pengindraan dan kognitif, dan bagaimana

memanfaatkan informasi keterbatasan manusia tersebut dalam perancangan sistem

kerja dalam lingkup suatu stasiun kerja. Berbagai peneliti kemudian

mengembangkan konsep ergonomi dalam konteks organisasi perusahaan dan

bahkan lebih makro lagi, yakni masyarakat dan teknologi. Sistem kerja tidak lagi

berupa stasiun kerja (manusia dan alat kerja) namun dapat berupa organisasi

perusahaan. Dalam hal konteks yang lebih makro init maka terdapat kebutuhan

untuk melihat sistem kerja sebagai sistem terbuka, yang dipengaruhi oleh

organisasi dan lingkungan eksternal. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai

sistem sosioteknik, yang melihat sistem dalam 5 komponen secara terintegrasi,

yaitu (1) subsistem personel, (2) subsistem teknologi, (3) subsistem lingkungan

internal, (4) subsistem lingkungan eksternal, dan (5) subsistem organisasi.

A. Tujuan Ergonomi Makro

Ergonomi makro merupakan pendekatan sistem sosioteknik secara top-

down dalam menganalisis, merancang, atau memperbaiki sistern kerja

danorganisasi kerja kemudian mengharmonisasikan perancangan tersebut ke

dalam elemen-elemennya secara keseluruhan. Cakupan kajian ergonomi makro

rapliputi struktur otganisasi, kehijakan organisasi, tata kelola proses kerja, sistem

komunikasi, kerjasama tim, perancangan partisipasi, hingga evaiuasi teknologi

dan alih teknologi.


Ergonomi makro mengupayakan adanya keseimbangan antara faktor-

faktor dalam sistem kerja dan organisasi kerja. Terjadinya perubahan pada salah

satu elemen sistem kerja aken memengaruhi elemen-e:emen yang lain, sehingga

jika semua elemen yang ada tidak dirancang secara sistem, maka akan terjadi

ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan masalah pada

keselamatan, produktivitas, efisiensi, dan kualitas. Tujuan yang ingin dicapai oleh

ergonomi makro adalah untuk mengoptimalkan rancangan sistem kerja dalam

kaitannya dengan sistem sosioteknik, dan kemudian membawa karakteristik hasil

rancangan tersebut ke level yang lebih bawahnya (mikro) sehingga tercipta sistem

Kerja yang harmonis.

B. Sejarah Ergonomi Makro

Munculnya istilah ergonomi makro tidak dapat dilcpaskan dari Hal W.

Hendrick yang pertama kali mencetuskannya pada 1984, Konsep ergonomi makro

muncul seiring dengan ketidakmampuan organisasi untuk berubah menyesuaikan

dengan kecepatan perubahan teknologi. Pertemuan tahunan Human Factors

Society di Amerika Serikat atau yang sekarang lebih dikenal dengan HFES

(Human Factors and Ergonomics Society) pada tahun 1980 sebenarnya telah

mengidentifikasi adanya kebutuhan akan pentingnya ergonomi makro. Dalam

pertemuan tersebut komite ini menemukan beberapa perkembangan dalam

manajeinen organisasi dan teknologi yang perlu diantisipasi, diantaranya adalah

sebagai berikut.
1. Kemunculan teknologi-teknologi baru yang secara mendasar akan

mengubah cara kerja, contohnya mikroelektronika, otomatisasi, dan

perkembangan komputer.

2. Peningkatan jumlah tenaga keja kantoran (white collar) yang memiliki

tingkat pendidikan dan pengalaman yang lebih kompleks sehingga

membutuhkan organisasi yang lebih adaptif.

3. Adanya keinginan dari pekerja untuk dapat lebih berpartisipasi dalarn

pengambilan keputusan terkait dengan pekerjaan yang di!akukannya,

ingin memiliki pekerjaan yang bermakna karena lebih partisipatif, serta

ingin memiliki hubungan sosial di lingkungan tempat kerja.

4. Kurang efektifnya intervensi ergonomi mikro (dengan pendekatan bottom-

up) untuk tujuan organisasi dalam mengurangi jumiah cedera dan

kecelakaan serta meningkatkarj produktivitas.

5. Adanya tuntutan yang semakin tinggi pada produk dan tempat kerja untuk

memperhatikan aspek keselamatan dan rancangan yang ergonomis

Perkembangan di atas kemudian direspons oleh para ahli ergonomi dengan

mengintegrasikan rancangan organisasi dan faktor manajemen dalam konteks

ergonomi, yang memunculkan subdisiplin ergonomi makro.

Dalam berbagai referensi, salah satu contoh klasik yang dimunculkan

menggambarkan pentingnya pendekatan sosioteknik adalah studi yang dilakukan

oleh Tavistock Institute of Human Relation di Inggris, yang kemudian dikenal

sebagai Tavistock Study. Studi ini dilakukan pada area tambang. Sebelum tahun

1950-an, pekerja tambang bekerja berkelompok dengan menggunakan alat kerja


secara manual. Setiap kelompok memiliki kontrol secara internal terhadap apa

yang mereka lakukan dan masing-masing pekerja melakukan pekerjaan beragam

dan saling bergantian (rotasi). Kepuasan kerja terutama yang berkaitan dengan

kebutuhan sosial saat bekerja terpenuhi.

Sesudah Perang Dunia ke-2, teknologi pertambangan mulai berubah.

Pekerja melakukan pekerjaan yang sangat spesifik dan rotasi pekerjaan Ergonomi

Makro tidak memungkinkan. Peluang untuk interaksi sosial menjadi terbatas.

Tanpa disangka, teknologi yang diharapkan akan memacu efisiensi, malah

mengakibatkan semakin tingginya breakdown produksi dan absen kerja. Hal ini

karena rancangan sistem kerja tidak sesuai dengan karakteristik Psikososial dan

budaya pekerja. Akhirnya, suatu sistem kombinasi diterapkan, kombinasi antara

teknologi baru dan karakteristik psikososial kerja (yang dulu dirasakan saat sistem

manual dilakukan) untuk meningkatkan variasi kerja dan kontrol pekerja terhadap

pekerjaannya. Akhirnya, sistem kombinasi ini mampu memberikan produktivitas

yang lebih baik dari dua sistem sebelumnya. Studi ini menyimpulkan bahwa

teknologi yang sama dengan rancangan organisasi yang berbeda akan memberikan

hasil yang berbeda.

Berbagai kasus yang serupa kemudian bermunculan. Dalam industri

manufaktur misalnya, ketika ergonomi (mikro) diaplikasikan, maka sistem kerja

yang dirancang akan berdasarkan pada dimensi tata letak dan beban kerja. Pekerja

pun diberikan istirahat yang cukup secara fisiologi. Namun, ketika pengaturan

kerja tidak memungkinkan adanya variasi kerja dan malah menimbulkan kerja

yang monoton (melakukart hal yang sama berulang-ulang), kebutuhan keahlian


yang rendah, dan adanya standarisasi kerja (sehingga tidak dimungkinkan

dilakukannya inovasi kerja) maka akan berdampak pada motivasi kerja dan

produktivitas. Ergonomi makro, akan menyoroti aspek organisasi kerja terlebih

dahulu, baru kemudian dilanjutkan pada aspek mikro.

C. Hubungan Ergonomi Mikro dengan Ergonorni Makro

Sebagaimana yang dibahas pada bagian sebelumnya, ergonomi

mengoptimalkan interaksi manusia dengan komponen sistem lainnya dalam suatu

sistem kerja melalui lima lingkup kajian, yakni:

 manusia-mesin/perangkat keras: hardware ergonomics,

 manusia-lingkungan; environment ergonomics,

 manusia-perangkat lunak: cognitive ergonomics,

 manusia-pekerjaan: work design ergonomics,

 manusia-organisasi: macro ergonomics,

Empat fokus kajian pertama menekankan pada individu atau level

subsistem (ergonomi mikro) sedangkan fokus kajian kelima menekankan pada

sistem kerja keseluruhan (ergonomi makro). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa ergonomi makro merupakan bagian terpisah dan berbeda dengan ergonomi

mikro dalam hal penekanan pada fokus kajiannya. Dalam kaitannya dengan

perancangan sistem kerja, keterkaitan ergonomi makro dan ergonomi mikro dapat

digambarkan sebagai berikut. "Pendekatan ergonomi makro digunakan untuk

menentukan karakteristik Perancangan sistem kerja secara keseluruhan, yang

selanjutnya rancangan tersebut dibawa ke dalam level ergonomi mikro. Penentuan

karakteristik Perancangan sistem kerja secara keselutuhan akan menentukan


karakteristik rancangan pekerjaan dan hubungan manusia dengan subsistem lain

pada lingkup kajian ergonomi mikro. Hasil perancangan dengan ergonomi makro

yang efektif akan menggerakkan aspekeaspek rancangan ergonomi mikro

sehingga terjadi kesesuaian secara kcseturuhan." Dalam hat ini Hendrick dan

Kleiner (2001) mengungkapkan: “When micro ergonomics design is not

compotiblc with macro dcsign, the whole will be LESS than sum of the parts."

“When good macro level design is carried through to micro design, the whole will

be MORE than the sum of the parts."

Keilmuan ergonomi makro telah ditetapkan dalam berbagai halt walaupun

masih sangat terbatas, misalnya:

 Aplikasi dalam mengurangi risiko cedera otot-rangka (Hendrik & Kleiner,

2002)

 Aplikasi dalam manajemen hazard (Hendrik & Kleiner, 2002),

 Aplikasi dalam pengembangan sistem training (Hendrik & Kleiner, 2002),

 Aplikasi dalam perubahan organisasi (Hendrik & Kleiner, 2001),

 Aplikasi dalam keselamatan penerbangan (Hendrik & Kleiner, 2002),

 Aplikasi dalam keselamatan pasien (Hallock dkk, 2006),

 Aplikasi dalam industri konstruksl (Haro & Kleiner, 2008).

Dalam berbagai penelitian di atas, penerapan ergonomi makro dengan

menggunakan metode dan pendekatan yang unik dan variatif, dibandingkan

dengan metode ergonomi mikro yang telah dibahas pada bab-bab sebelum ini.

D. Metode-Metode Ergonomi Makro


Secara umum, beberapa metode yang biasa digunakan dalam penelitian

ergonomi makro (Hendik & Kleiner, 2001) adalah sebagai betikut.

1. Metode field Study

field study merupakan teknik observasi secara sistematik atau naturalistik

dengan melakukan penelitian pada kondisi yang sebenarnya. Dalam tahapan awal

studi ergonomi makro, pendekatan 'ini digunakan untuk mengidentifikasi.

karakteristik strukturai organisasi yang dapat meningkatkan maupun menghambat

efektivitas fungsi organisasi dan untuk mengumpulkan data tentang potensi

potensi modifikasi rancangan organisasi untuk perbaikan. Metode ini juga dapat

dilakukan untuk mengidentifikasi penyimpangan dan variansi dalam suatu

organisasi perusahaan. Biasanya, data diperoleh melalui wawancara kuesioner,

pengukuran kinerja organisasi, dan keluhan pekerja atau pelanggan. Keuntungan

utama metode field study ini adalah hasil pengamatan yang realistis. Kelemahan

metode ini adalah proses observasi yang lama karena harus menunggu suatu

proses atas kejadian terjadi secara alami.

2. Metode Survei dengan Kuesioner

Survei kuesioner dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi dalam

berbagai aspek sistem kerja, seperti tugas, kondisi organisasi, isu lingkungan,

teknologi, dan karakteristik individual pekerja berdasarkan persepsi, pengalaman,

atau pengetahuan responden. Survei kuesioner ini juga memungkinkan

pengumpuian informasi dalam berbagai bentuk keluaran, seperti kualitas

kehidupan kerja (termasuk kepuasan kerja), tekanan fisik dan psikologis,

kesehatan fisik dan mental yang dialatni pekcrja, dan lain-lain. Survei kuesioner
ini dapat digunakan pada tahap diagnosis (mencari permasalahan saat ini), tahap

evaluasi (misatlnya melihat efek perubahan suatu intervensi), dan tahap

monitoring (misalnya memonitor opini pekerja selama implementasi

perubahan/intervensi). Keuntungan utama dari metode- survei kuesioner ini

adalah peneliti dapat mennperoieh data dalam jumlah besar dengan biaya yang

relatif murah dan waktu yang relatif cepat. Survei kuesioner juga dapat

memberikan data terstruktur yang dapat dinilai dan dianalisis secara baku. Namun

tantangan dalam menggwnakan metode ini adalah memastikan atas ukur

kuesioner tersebut valid.

3. Metode Wawancara

Metode wawancara di dalam ergonomi makro digunakan untuk

mengidentifikasi akar masalah pada sistem kerja dan sistem organisasi secara utuh

dan mendalam pada umumnya, wawancara dimulai dengan mengarahkan

partisipan pada diskusi secara bertahap, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan

transisi dan pertanyaan kunci yang lebih fokus. Metode wawancara memiliki

beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode pengumpulan data secaca

kualitatif Iainnya, di antaranya pengumpulan data yang kaya dan sangat informatif

dan pewawancara dapat membangun hubungan dengan responden sehingga

responden dapat leluasa menggambarkan opini dan pengalamannya. Seperti

halnya metode penguynpulan data secara kualitatif Iainnya, metode wawancara

juga memiliki kekurangan. Kekurangan tcrscbut di antaranya: (1) proses

wawancara dapat tnenjadi sangat tnahal dan menghabiskan waktu, (2) dapat

menjadi bias akibat sudut pandang pewawancara yang dapat memengaruhi


bagaimana suatu pcrtanyaan diajukan sehingga juga memengaruhi respons

partisipan, (3) kesulitan dalarn penarikan kesirnpulan daftar data yang diperoleh

karena data bersifat kuatitatif,

4. Metode Focus Group

Saat ini fokus group menjadi salah satu metode utama yang digunakan

untuk memperoleh informasi berharga secara berkelompok. Dalam suatu fokus

group, sekumpulan individu sating berbagi dan berinteraksi dalam menanggapi

suatu kasus atau masalah, misalnya berkaitan dengan suatu sistem kerja. Diskusi

yang berlangsung dapat diarahkan untuk menggali intervensi yang dapat dibangun

untuk perbaikan kondisi kerja, dan lebih lanjut rnemperbaiki fungsi organisasi

secara keseluruhan. Focus group juga dapat membantu dalam perancangan dan

implementasi intenuensi atau perubehan yang diusuikan untuk memperbaiki

kondisi kerja pada grup yang lebih besar. Penggunaan metode fokus group

memiliki beberapa keuntungan di antaranya: (1) peneliti dapat mengobsevasi

proses dan interaksi di antara partisipan (2) pendapat yang dibuat oteh salah satu

orang dapat berkembang berdasarkan masukan dari partisipan lain, serta (3) data

dari sejumlah orang dapat diperoleh dengan lebih ekonomis dan efisien

dibandingkar. dengan metode wawancara secara namun, beberapa tantangan

dalam pelaksanaan focus group adalah: (1) kehadiran pewawancara atau fasilitator

dapat memengaruhi perilaku partisipan, (2) kondisi grup dapat menekan respons
individu dan membentuk pemikiran kolektif, (3) satu atau beberapa orang tertentu

dalam grup dapat menjadi lebih dominan datipada partisipan lainnya.

5. Ergonomi Partisipasi

Ergonomi partisipasi merupakan salah satu pendekatan dalam ergonomi

makro untuk mengimplementasikan teknologi pada sistem organisasi yang

membutuhkan keterlibatan pengguna akhir dalam sistem untuk peningkatan dan

implementasi teknologi. Ergonomi partisipasi adalah suatu filosofi baru dalam

perancangan, peningkatan, dan pengoperasian organisasi dengan melibatkan

karyawan. Ergonomi partisipasi menuntut adanya keterlibatan pekerja secara aktif

dalam melengkapi pengetahuan tentang ergonomi dan prosedur di tempat kerja.

E. MEAD (Macro Ergonomics Analysis and Design)

Perlu dicatat bahwa ergonomi makro bukanlah filosofis semata, tapi ia

juga merupakan subdisiplin, metode, dan bersifat aplikatif. Seperti halnya

subdisiplin ilmu ergonomi lainnya, ergonomi makro juga memiliki metodologi

implementasi yang unik. Salah satu metodologi yang cukup jelas menggambarkan

tahapan implementasi ergonomi makro adalah Macro-Ergonomics Analysis and

Design (MEAD), seperti yang diusulkan Hendrick and Kleiner (2002). Evaluasi

dan perancangan sistem kerja dengan menggunakan kerangka MEAD mengikuti

seputuh langkah berikut.

1. Mengamati sistem organisasi secara internal dan eksternal

Pengamatan internal sistem difokuskan pada visi, misi, dan prinsip dasar

organisasi kerja. Pengamatan terhadap faktor lingkungan eksternal menjadi

penting karena dalam sistem sosioteknik, faktor eksternal perlu diperhitungkan


untuk mendapatkan suatu join optimization yang optimal. Pada tahapan ini, sistem

digambarkan secara utuh mulai dari input, proses, output, vendor, mekanisme

umpan balik, dan kontroi internal. Setelah itu, semua stakeholder ditentukan

berikut dengan harapan harapan mereka Suatu ketimpangan (gap) akan didapatkan

jika tidak terdapat kesesuaia antara harapan stakeholder dengan keberlangsungan

organisasi saat ini.

2. Mendefinisikan tipe sistem operasi kerja dan ekspektasi kinerja

Tahapan Ini dilakukan untuK mendapatkan kondisi optimal rancangan

sistem operasi kerja dengan mempertimbangkan aspek kompleksitas, sentralisasi,

dan formalisasi organisasi kerja. Pada tahap init diperlukan penentuan kriteria

kesuksesan operasi produksi (produk atau jasa) yang dapat diambil dari tujuh

kriteria, yaitu efisiensi, efektivitas, produktivitast kualitas, kualitas kehidupan

kerja, inovasi, dan segi keuangan (profit). Dalam hal ini, setiap ukuran dapat

berupa kualitatif dan kuantitatif. Contoh ukuran performansi dapat dilihat pada

Gambar 9.1,
Gambar 9.1 kriteria performansi dalam suatu sistem

3. Mendefinisikan unit operasi dan proses kerja

Pada tahapan init aliran transformasi yang terjadi digambarkan, termasuk

aliran material dan stasiun kcrja. Unit operasi dapat didefinisikan berdasarkan

produk, fungsi dan potongan proses kerja. Dalam kondisi yang lebih kompleks,

penambahan organisasi (horizontal dan vertikal) mungkin ditakukan. Setiap

unit operasi atau departemen memiliki tujuan input, transformasi, dan output

tersendiri. Gambaran makro semua proses diperlukan sebelum melihat lebih

detail yang akan bermanfaat dalarn melekukan task analysis.

4. Mengidentifikasi variansi yang terjadi


Variansi didefinisikan sebagai deviasi atau penyimpangan dari operasi,

kondisi, spesifikasi, atau norma standar yang tidak diperkirakan atau diinginkan.

Identifikasi variansi dilakukan dengan menggunakan proses bisnis yang

menggambarkan proses-proses yang terjadi saat ini dan analisis tugas secara detail

yang berkaitan dengan proses bisnis. Tipe-tipe variansi yang biasa terjadi antara

lain: kualitas, biaya, jadwal, kesehatan dan keselamatan serta non-value added

(tidak memberikan nilai tambah).

5. Membuat matriks variansi

Dari variansi-variansi yang diperoleh pada taheoan sebelumnya diperoleh

beberapa variansi yang menjadi variansi kunci. Variansi kunci adaiah variansi

yang memberikan dampak signifikan pada kriteria performansi dan atau paling

berinteraksi dengan variansi lainnya sehingga melipatgandakan pengaruhnya.

Tujuan langkah ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara variansi-

variansi yang terjadi selama transformasi proses kerja sehlngga dapat ditentukan

pengaruh antara satu variansi dengan variansi lainnya.

6. Membuat tabel kendali variansi kunci dan jaringan peran

Tujuan langkah ini adalah untuk menemukan bagaimana variansi yang

terjadi dikendalikan pada kondisi saat ini dan siapa personel yang bertanggung

jawab untuk mengendalikan variansi tersebut. Tabel kendali variansi kunci terdiri

atas:

 unit operasi di mana variansi yang terjadi dikendalikan atau dikoreksi

 siapa orang yang bertanggung jawab


 apa kegiatan pengendalian yang telah dilakukan saat unit apa interface, tools,

atau teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung pengendalian

 apa komunikasi, informasi, isemampuan khusus, atau pengetahuan yang

dibutuhkan dalam pengendalian variansi kunci tersebut.

7. Menunjukkan alokasi fungsi dan rancangan bersama

Pada tahap ini, ditentukan spesifikasi untuk perancangan level organisasi

yang meliputi kompteksitas, sentralisasi, dan formalisasi serta dihasilkan struktur

organisasi yang spesifik. Perancangan atau perbaikan rancangan bergantung pada

level sistem kerja yang dianalisis prosesnya. Perancangan atau perbaikan

rancangan dapat dilakukan pada level organisasi maupun pada level kelompok,

atau pada kedua level tersebut.

8. Memahami persepsi mengenai peran dan tanggung jawab

Pada tahap ini dilakukan identifikasi mengenai bagaimana tanggapan

Pekerja terhadap peran yang dijalankannya saat ini dan kemudian dibandingkan

dengan peran yang seharusnya dijalankan. Gap yang terjadi dalam kedua hal

tersebut dapat dikurangi dengan ergonomi partisipasi, pelatihan, komunikasi,

perancangan interface, atau perancangan alat.

9. Merancang atau memperbaiki subsistem pendukung dan interface

Tahap ini bertujuan untuk menentukan subsistem pendukung yang

diperlukan dan memengaruhi sistem sosioteknik produksi yang ada. Selanjutnya,

dilakukan perbaikan dan penyesuaian dengan subsistem lain, termasuk lingkungan

internal.

10. Implementasi, iterasi, dan penyempurnaan


Pada tahapan terakhir dari metode MEAD ini, solusi yang telah dirancang

pada tahapan-tahapan sebelumnya diterapkan pada sistem, kemudian dievaluasi

secara berkala sebagai daqar untuk melakukan perbaikan yang terus-menerus.

F. Perancangan Organisasi dalam Perspektif Ergonomi Makro

Salah satu aspek utama dalam implementasi ergonomi makro pada suatu

sistem kerja adalah perancangan organisesi kerja. Robbins (1990) mendefinisikan

organisasi sebagai suatu entitas sosial yang saling berkoordinasi dengan batasan

yang dapat diidentifikasi secara relatif dan menjalankan fungsi untuk mencapai

satu atau lebih tujuan. Daft (2004) mendefinisikan organisasi sebagai entitas

sosial yang memiliki tujuan tertentu, dirancangkan sebagai sistem yang terstruktur

dan terkoordinasi, serta terhubung dengan lingkungan eksternal. Jones (2004)

mendefinisikan organisasi sebagai sebuah alat yang digunakan beberapa individu

untuk mengoordinasikan aktivitasnya vang bertujuan untuk mencapai tujuan

bersama. Hendrick (1997) mendefinisikan perancangan organisasi sebagai

perancangan struktur organisasi sistem kerja dan terkait dengan proses untuk

mencapai tujuan organisasi.

Dalam sudut pandang ergonomi makro, sebagai bagian dari proses

perancangan sistem, perancangan organisasi melibatkan beberapa hal berikut.

1. Mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai oleh sistem.

2. Membuat pengukuran efektivitas organisasi secara eksplisit dan menggunakan

pengukuran tersebut sebagai kriteria untuk mengevaluasi alternatif-alternati


3. Mengembangkan perancangan komponen utama struktur organisasi secara

sistematis.

4. Mempertimbangkan variabel sistem, yaitu teknologi, personnel, dan

lingkungan eksternal yang relevan secara sistematis sebagai moderator dari

struktur organisasi.

5. Memutuskan tipe umum struktur organisasi untuk sistem.

1. Tujuan Organisasi

Szilagyi dan Wallace dalam Hendrick (1997) mengklasifikasikan tujuan

organisasi berdasarkan kriteria, fokus, dan kerangka waktu.

a. Berdasarkan kriteria. Terdapat 6 kriteria yang biasa digunakan, yaitu:

1) Produktivitas. Tujuan produktivitas biasa diukur berdasarkan output per

unit atau per pekerja dalam organisasi. Contohnya. unit yang diproduksi

per pekeria per hari, biaya per unit produksi, atau pendapatan yang

diperoleh per pekerja.

2) Paser (market). Tujuan ini dapat didefinisikan dalam cara yang berbeda.

Contohnya, peningkatan market share atau target peningkatan jumlah

penjualan.

3) Sumber daya (resources). Organisasi terkadang menentukan tujuannya

berdasarkan pada perubahan sumber daya yang dimilikinya. Sebagai

contoh, mengurangi hutang jangka panjang sebanyak 200 juta dalam 5

tahun (tujuan berdasarkan sumber daya finansial), peningkatan kapasitas

sebesar 30% (tujuan berdasarkan sumber daya fisik), penurunan tingkat

turn over sebanyak 5% (tujuan bcrdasarkan sumber daya manusia).


4) Keuntungan (profitability). Keuntungan yang diperoleh tampak melalui

rasio keuangan, seperti pendapatan bersih atau return on investment.

5) Inovasi (innovation). Karena perkembangan teknologi yang sangat cepat,

pengembangan produk baru untuk mempertahankan posisi persaingan

organisasi menjadi semakin penting. Tujuan inovasi akan dapat

mengembangkan sesuatu yang baru, proses manufaktur yang lebih efisien,

dan lainnya.

6) Tanggung jawab sosial (social responsibility). Contoh dari tujuan

berdasarkan tanggung jawab sosial antara lain dengan meningkatkan

kualitas kerja dan mengurangi polusi.

b. Berdasarkan fokus. Terdapat tiga kategori yang biasa digunakan, yaitu:

1) Maintenance goals, Tujuan ini biasanya dinyatakan sebagai level spesifik

dari suatu aktivitas atau kegiatan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Contohnya, perusahaan airline akan memiliki sekurang-kurangnya 80%

pesawatnya dalam perbaikan pada satu waktu.

2) Improvement goals. Tujuan yang menggunakan kata kerja kemungkinan

merupakan improvement goal karena mengindikasikan perubahan

spesifikyang diinginkan. Contohnya, "meningkatkan" market share,

"mengurangi" kecelakaan, atau "meningkatkan" return on investment

3) Development goals. Tujuan ini mirip dengan improvement goal, namun

mengacu pada bentuk-bentuk pertumbuhan, ekspansi, pembelajaran,

atau 'kemajuan. Contohnya, meningkatkan jumlah produk baru yang

dikenalkan, meningkatkan level pendidikan manajer, atau meningkatkan


kapasitas pabrik.

c. Berdasarkan jangka waktu

Klasifikasi berdasarkan jangka waktu akan sangat bermanfaat ketika pengaruh

lingkungan pada kompleksitas dipertimbangkan dalam perancangan organisasi.

Berdasarkan jangka waktu, tujuan organisasi diklasifikasikan dalam 3 kategori,

yaitu:

1) Tujuan jangka pendek (short-term goals). Periode waktu tujuan jangka

pendek ini adalah 12 bulan. Contohnya, target produksi.

2) Tujuan jangka menengah (intermediate-term goals). Periode waktu tujuan

jangka menengah. ini adalah 1-3 tahun dan biasanya dimiliki oleh

orgamsasi penjualan.

3) Tujuan jangka panjang (long-term goals). Periode waktu tujuan jangka

panjang ini adalah lebih dari 3 tahun. Contohnya, target penelitian dan

pengembangan.

2. Kriteria Efektivitas Organisasi

Terdapat berbagai kriteria efektivitas organisasi yang dapat digunakan.

Beberapa di antaranya menurut Campbell dalam Hendrick (1997) adalah sebagai

berikut.

 Efektivitas secara keseluruhan.

 Produktivitas

 Efisiensi, yaitu rasio yang menggambarkan perbandingan antara beberapa

aspek unit performansi dengan biaya yang timbul dari performansi tersebut.
 Profit, yaitu jumlah keuntungan dari penjualan setelah dikurangi semua biaya

dan obligasi. Persentase return on investment atau persentase return on total

safes biasa digunakan sebagai definisi alternatif.

 Kualitas

 Kecelakaan, yaitu frekuensi kecelakaan yang terjadi selama bekerja yang dapat

menyebabkan lost time.

 Pertumbuhan, yang direpresentasikan oleh peningkatan variabel-variabel,

seperti kapasitas pabrik, aset, penjualan, profit, market share, dan jumlah

inovasi. Pertumbuhan menggambarkan perbandingan antara kondisi organisasi

saat ini dengan masa lalu.

 Tingkat ketidakhadiran, biasanya didefinisikan sebagai tingkat ketidakhadiran

tanpa izin, namun masih banyak definisi-definisi lainnya (contoh:

ketidakhadiran versus frekuensi kehadiran).

 Turnover

 Kepuasan kerja

 Motivasi, yaitu kekuatan dari kecenderungan seorang individu untuk terlibat

dalam aksi tujuan atau kegiatan dalam pekerjaan.

Perlu dicatat bahwa berbagai kriteria di atas akan berbeda antar organisasi.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menentukan kombinasi kriteria

efektivitas yang relevan untuk dijadikan pijakan evaluasi dan kemudian

melakukan pembobotan berdasarkan tingkat kepentingan kriteria tersebut.

3. Dimensi Struktur Organisasi


Robbins (1990) mendefinisikan struktur organisasi sebagai struktur

koordinasi formal dari pola interaksi anggota organisasi. Struktur organisasi

menggambarkan bagaimana tugas dialokasikan, diiaporkan, mekanisme

koordinasi formal, serta pola interaksi yang akan diikuti. Inti dari dimensi struktur

organisasi mencakup tiga komponen, yaitu sebagai berikut.

A. Kompleksitas

Kompleksitas merupakan tingkat diferensiasi dan integrasi yang terdapat

dalam organisasi. Diferensiasi danat didefinisikan sebagai tingkatan di mana

organisasi dibagi menjadi bagian-bagian; sedangkan integcasi didefinisikan

sebagai jumlah alat atau mekanisme yang ada untuk mengintegrasikan bagian-

bagian dalam organisasi untuk tujuan komunikasi, koordinasi, dan kontrol.

Diferensiasi dibagi menjadi 3, yaitu diferensiasi horizontal, vertikal, dan spasial.

Diferensiasi horizontal mengacu pada tingkat spesialisasi dan

departemensialisasi pekerjaan yang dirancang dalam struktur organisasi.

Spesialisasi pekerjaan akan mengarahkan pada tingkat kompleksitas yang tinggi

karena membutuhkan metode kontrol yang rumit dan mahal. Diferensiasi vertikal

ditunjukkan Oleh panjangnya hierarki. Diferensiasi vertika! diukur berdasarkan

jumlah level yang memisahkan posisi eksekutif dengan pekerjaen yang secara

langsung terlibat dalam output sistem. Secara umum semakin besar ukuran

organisasi, maka kebutuhan diferensiasi vertikal juga meningkat. Faktor kunci

dalam hubungan diferensiasi vertikal adalah adanya span of control. Diferensiasi

spasial meliputi tingkat diferensiasi sebuah fasilitas organisasi terpisah secara

geografis. Secara umum kompleksitas meningkat seiring dengan peningkatan


jumlah unit yang terpisah secara geografis, jarak rata-rata unit-unit tersebut

dengan kantor pusat, dan peningkatan proporsi pekerja pada unit-unit yang

terpisah.

Seiring dengan meningkatnya diferensiasi organisasi, maka kebutuhan

integrasi juga meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan diferensiasi organisasi

akan menyebabkan kesulitan dalam komunikasi, koordinasi, dan kontrol juga

meningkat. Beberapa mekanisme integrasi yang biasa ditemui adalah dengan

adanya peraturan dan prosedur formal, tim komite, kantor integrasi sistern, sena

sistem informasi dan pendukung keputusan yang terkomputerisasi.

B. Formalisasi

Formalisasi dapat didefinisikan sebagai ukuran standardisasi pekerjaan

dalam organisasi. Secara umum semakin sederhana dan/atau berulang suatu

pekerjaan dalam sistem, maka sennakin besar kebutuhan formalisasi untuk

efektivitas sistem yang terintegrasi. Semakin besar profesionalisme (pendidikan,

pelatihan, atau kebutuhan pengalaman) yang dirancang pada sistem, maka

semakin kecil kebutuhan formalisasis

Tingkat stabilitas dan prediktabiiitas atau ketidakpastian dan perubahen

lingkungan eksternal dalam organisasi juga dapat tnemengaruhi tingkat

formalisasi yang dirancang secara ergonomis peda sistem kerja. Secara semakin

tinggi ketidakpastian lingkungan maka semakin tinggi pula kebutuhan akan

formalisasi yang rendah dan profesionalisme yang tinggi. Dari perspektif

ergonomi makro, hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan tingkat

formalisasi organisasi adalah: (1) stabilitas relatif lingkungan eksternal di mana


organisasi dan unit-unit kerjanya berinteraksi, (2) tingkat formalisasi dan

profesiona!iqme yang optimal untuk sistem tnertja:aaken fungsinya.

C. Sentralisasi

Sentralisasi diartikan sebagai tingkat konsentrasi pengambitan keputusan

pada individu, unit, atau level (biasanya tinggi di organisasi) yang memberikan

pekerja (biasanya rendah di organisasi) input minimal pada keputusan

memengaruhi pekerjaannya. Sentralisasi hanya berkaitan pada struktur organisasi

yang formal dan bersangkutan dengan otoritas formal. Jika keputusan

didelegasikan pada level bawah, namun terdapat peraturan dan mekanisme formal

untuk membatasi keputusan yang diambil pada level bawah, maka sebenarnya

tingkat sentralisasi tetaplah tinggi.

Secara umum sentralisasi diperlukan: (1) ketika perspektif yang

komprehensii diperlukan seperti pada pengambilan keputusan-keputusan strategis,

(2) ketikkeputusan yang diambil memberikan keuntungan yang signifikan secara

ekonomis, (3) untuk keputusan finansial, hukum, dan keputusan lain yang akan

lebih efektif jika dilakukan dengan sentralisasi, (4) ketika beropeasä pada

lingkungan eksternal relevan yang sangat stabil dan dapat diprediksi.

Desentralisasi diperlukan: (1) ketika rancangan pekerjaan yang diberikan

oleh manajer akan memberikan beban atau melebihi kapasitas proses Pengolahan

informasi pada manusia dan kapasitas pengambilan keputusan, (2) dengan tujuan

untuk memungkinkan organisasi dapat merespon perubahan atau kondisi yang

tidak terprediksi dengan cepat saat kondisi tersebut terjadi, (3) untuk memberikan

"grass root' input sampai pengambilan keputusan dengan lebih detail, (4) untuk
memberikan motivasi dan kepuasan kerja intrinsik kepada karyawan, (5) untuk

mengurangi stress dan masalah kesehatan lainnya yang dapat timbul akibat

kurangnya kontrol personal dengan memberikan pekerja keleluasaan untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait pekerjaannya, (6) untuk

mendapatkan komitmen pekerja yang lebih besar untuk mendukung pengambilan

keputusan dengan melibatkan pekerja di dalam proses pengambilan keputusan

tersebut, (7) untuk lebih mernanfaatkan kapasitas mental dan pengetahuan

mendetail pekeria atas pekerjaannya, dan (8) untuk menyediakan kesempatan

pelatihan yang lebih besar untuk level manajemen bawah.

G. Sistem Sosioteknik sebagai Moderator Perancangan Organisasi

Untuk melakukan perancangan organisasi dibutuhkan analisis yang

sistematis mengenai karakteristik kunci teknologi, personel subsystem, dan

lingkungan eksternal yang relevan pada organisasi. Perancangan organisasi

dengan konsep ergonomi makro harus memperhatikan hal-hal berikut. (1) harus

berbasis pada manusia (human centered), (2) harus menggunakan pendekatan

manusiawi dalam perancangan alokasi tugas dan fungsi, (3) harus

mempertimbangkan variabel sistem sosioteknik yang relevan dalam implikasinya

pada perancangan organisasi dan sistem kerja perancangan pekerjaan, proses kerja

yang spesifik, dan interface manusia sistem. Seperti tetah disebutkan sebelumnya,

perancangan struktur organisasi dan proses terkait melibatkan pertimbangan tiga

komponen utama sistem sosioteknik yang berinteraksi dan memengaruhi

optimalitas perancangan organisasi.

1. Subsitem Teknologi
Perancangan subsistem teknlogi mendefinisikan tugas tugas yang harus

dikerjakan. Teknologi sebagai salah satu faktor dalam perancangan organisasi

didefiniskan dalam empat cara yang berbeda, yaitu: (1) menurut mode produksi

atau production technology, (2) Menurut performansi individu dalam mengubah

suatu objek atau knowladge base technology, (3) menurut strategi yang dipilih

untuk mengurangi ketidakpastian yang dipengaruhi oleh teknologi atau

technologycal uncertainly, (4) menurut tingkat otomasi, keteraturan aliran

pekerjaan, dan spesifikasi kuantitatif aktivitas pekerjaan atau work flow

integration.

Telah terdapat model umum untuk masing masing kriteria tersebut sebelumnya,

yaitu sebagai berikut.

a. Woodward: Production technologi

Woodward mengidentifikasi 3 mode teknologi, yaitu (1) Produksi unit, (2)

Produksi masal, (3) Produksi Proses.

Struktur Mode Poduksi

organisasi Unit Massal Proses

Kompleksitas

Diferensiasi Rendah Sedang Tinggi

vertikal

Diferensiasi Rendah Tinggi Sedang

Horizontal

Formalisasi Rendah Tinggi Rendah

Sentralisasi Rendah Tinggi Rendah


Tabel 9.1 Perancangan Oganisasi WoodWard (Sumber : Hendrick, 1997)

Menurut Woodward, terdapat tiga variabel struktur organisasi yang

meningkat seiring dengan peningkatan kompleksitas organisasi, yaitu (1) tingkat

diferensiasi vertikal, (2) rasio optimal personel staff front desk pada lini industri,

(3) span of control pada level top manajemen.

b. Perrow: Knowledge-Based Technology

Perrow mendefinisikan teknologi sebagai suatu kegiatan yang bertujuan

untuk mengubah objek. Kegiatan ini membutuhkan suatu bentuk pengetahuan

teknis. Dengan pendekatan ini, Perrow mengidentifikasikan 2 dimensi: task

variability, yaitu jum:ah pengecualian yang dihadapi dalam pekerjaan dan task

analyzability, yaitu tipe prosedur pencarian yang tersedia untuk merespon.

pengecualian-pengecualian dalam pekerjaan. Prosedur ini memiiiki range dari

tidak terdefinisi dengan baik sampai terdefinisi dengan baik.

Tabel 9.2 Klasiflkasi teknologi Perrovb (Sumber: Hendrick, 1997)

TASK VARIABILITY
Rutin dengan sedikit Variasi tinggi dengan banyak
Problem analizyability

Teridentifikasi dengan

pengecualian pengecualian
baik dan dapat
dianalisis

ROUTINE ENGINEERING
dengan baik dan tidak
Tidak teridentifikasi

dapat dianalisis
CRAFT NONROUTINE

Routine technology memiliki sedikit pengecualian dan masalah yang

sudah terdefinisi dengan baik. Kategori ini cocok untuk produksi massal. Routine

technology mengakomodasi dengan baik prosedur koordinasi dan kontrol yang

terstandar serta diasosiasikan dengan formalisasi dan sentralisasi yang tinggi.

Nonroutine technology memiliki banyak pengecualian dan masalah yang sulit

dianalisis, contohnya pada operasi pesawat. Teknologi ini membutuhkan

fleksibilitas dan desentralisasi serta formalisasi yang rendah.

Engineering technology memiliki banyak pengecualian, tapi dapat

ditangani dengan menggunakan proses rasional-logis yang didefinisikan dengan

baik. Karakteristik ini diasosiasikan dengan tingkat sentralisasi sedang, tapi

membutuhkan fleksibilitas sehingga membutuhkan formalisasi rendah. Craft

technology biasanya melibatkan tugas-tugas yang rutin, namun memiliki masalah

pada pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan pengalaman judgement,

dan intuisi. Oleh karena itu, masalah harus diselesaikan oleh orang yang memiliki

keahlian tertentu. Craft technology membutuhkan desentralisasi dan formalisasi

yang rendah.

c. Thompson: Technological Uncertainty


Thompson mendemonstrasikan bahwa tipe teknologi akan menentukan

strategi untuk mengurangi ketidakpastian. Thompson mengidentifikasi 3 tipe

teknologi berdasarkan tugas yang dikerjakan oleh organisasi,

1. Long-linked technology, dicirikan oleh adanya interdependensi dan keterkaitan

dari unit-unitnya. Contoh organisasi tipe ini adalah lini assembly pada

perakitan mobil. Karena melibatkan tahapan-tahapan yang tetap dan repetitif,

ketidakpastian utama organisasi tipe ini adalah pada Sisi input dan output. Oleh

karena itu manajemen merespons ketidakpastian dengan mengontrol input dan

output. Hal tersebut dipenuhi dengan melakukan perencanaan, penjadwalan,

dan membutuhkan tingkat kompleksitas dan formalisasi struktur organisasi

yang sedang.

2. Mediating technology, dicirikan oleh adanya tautan klien pada Sisi input dan

output yang melakukan fungsi mediasi atau pertukaran. Ringkasnya, mediator

(seperti bank, perusahaan utilitas, dan kantor pos) menautkan unit-unit yang

sating independen. Karakteristik mediating technology adalah adanya

interdependensi unit-unif- berbeda yang mengumpul atau paralel. Unit-unit

dependen ini saling terhubung rnelalui adanya aturan, regulasi, dan prosedur

opecasi standar (SOP). Oleh karena itu tipe organisasi ini membutuhkan

kompleksitas yang rendah dan formalisasi tinggi.

3. Intensive technology, dicirikan dengan tanggapan yang disesuaikan dengan

beragam kemungkinan. Tipe ini melibatkan berbagai macam teknik yang

dituliskan untuk mengubah suatu objek dari satu kondisi ke kordisi lainnya.

Contoh tipe ini adalah rurmah sakit di mana objek yang dibuah adalah pasien.
Teknik yang dapat digunakan bervariasi dan dipilih berdasarkan kondisi pasien

dan respons atas teknik yang digunakan sebelumnya. Ketidakpastian utama

adalah objek itu sendiri. Fleksibilitas respons seperti banyaknya alternatif

adalah suatu keharusan untuk mendapatkan sistem yang efektif. Tipe teknologi

ini beroperasi paling baik dengan tingkat kompleksitas tinggi dan formalisasi

rendah.

Model Thompson ini tidak pernah diuji secara empiris. Tidak adanya

data menyebabkan pembuatan kesimpulan pasti terkait validitas model tidak

mungkin dilakukan.

d. Aston: Work-How Integration

1. Model ini membagi teknologi ke dalam 3 karakteristik dasar, yaitu: Otomasi

peralatan di mana aktivitas dijalankan oleh mesin-mesin

2. Kekakuan alur kerja di mana urutan aktivitas kerja tidak fleksibel

3. Evaluasi khusus di mana aktivitas kerja dapat dinilai secara spesifik dan dapat

dikuantifikasi.

Secara umum semakin tinggi integrasi alur kerja maka tingkat spesialisasi

formalisasi, dan desentralisasi otoritas operasional juga akan meningkat untuk

dapat berfungsi optimal. Dua hal utama yang dapat diperoleh dari model ini

adalah ukuran organisasi berperan sebagaj moderator efek integrasi kerja

(integrasi alur kerja (teknologi) menjadi relatif lebih kuat pada Organisasi yang

lebih kecil) dan jika teknologi memengaruhi struktur organisasi, teknologi hanya

akan memengaruhi beberapa hal saja dan merniliki pengaruh yang lebih kecil
pada organisasi dibandingkan dengan dua komponen utama sistem sosioteknik

lainnya (subsistem personel dan lingkungan eksternal yang relevan).

2. Subsistem Personel

Terdapat 3 karakteristik utama subsistem personel terkait dengan

perancangan organisasi, yaitu profesionalisme, karakteristik demografi, dart aspek

psikososial.

a. Proiesionalisme

Formaiisasi dapat ditempatkan dalam pekerjaan atau terlepas cari

pekerjaan. Jika formalisasi ditempatkan dalam pekerjaan, maka formalisasi

tersebut merupakan formalisasi eksternal. Aturan, prosedur dan interface manusia-

sistem dirancang untuk membatasi keleluasaan pekerja, terutama untuk posisi

yang tidak membutuhkan keahlian atau membutuhkan keahlian sedang.

Sebaliknya, profesionalisme rnenghasilkan formalisasi internal yang ditampilkan

dalam perilaku dalam melakukan pekerjaannya sebagai bagian integral dari

pendidikan atau pelatihan yang dimiliki. Dari sudut pandang ergonomi makro,

terdapat trade-off antara formalisasi pada sistem kerja dengan profesionalisme

pekerjaan dalam proses perancangan sistem kerja. Ketika pekerjaan dirancang

untuk orang dengan pelatihan profesionaldan berpcndidikan, maka sistem kerja

harus dirancang dan diintegrasikan untuk memungkinkan tingkat formalisasi

rendah dengan membecikan cukup keleluasaan bagi pekerja.

b. Karakteristik Demografi
Terdapat beberapa karakteristik demografi tenaga kerja yang akan

membentuk subsistem personel organisasi dan potensial berinteraksi dengan

perancangan organisasi di antara sebagai berikut.

1. Peningkatan jumlah tenaga kerja wanita

Sampai saat ini tidak ada indikasj bagaimana perubahan demografi jumlah

tenaga kerja wanita dapat memengaruni perancangan organisasi.

2. Tenaga kerja 'abu-abu'

Jumlah tenaga kerja yang profesional menuntut organisasi dirancang untuk

mengakomodasi tingkat formalisasi yang rendah dan desentralisasi pembuatan

keputusan.

3. Pergeseran sistem nilai

Pekerja baru akan memiliki nilai yang berbeda pekerja terdahulu. Berdasarkan

penelitian Yankelovich dalam Hendrick (1997), pekerja baru memiliki dua

penekanan terkait dengan pekerjaannya, yaitu diakui secara individl-tal dan

kesempatan untuk bekerja bersama orang-orang yang diinginkannya. Hat ini

akan memengaruhi perancangan organisasi dalam hal kebutuhan desentralisasi

dan formalisasi yang rendah serta perancangan profesionalisme yang lebih

besar untuk pekerjaan individu dan interface manusia-sistem.

4. Keragaman budaya tenaga kerja

Untuk mengakomodasi keragaman budaya tenaga kerja, organisasi harus

memiliki budaya yang kuat. Dari segi perencangan organisasi dibutuhkan

desentratisasi beberapa aspek pembuatan keputusan untuk rnemungkinkan


kontrol pekerja terhadap kelompok kerjanya. Selain itu penggunaan ergonomi

partisipasi dalam perancangan atau modifikasi sistem kerja juga dibutuhkan.

c. Aspek Psikososial

Harvey, Hunt. dan Schroder membagi tenaga kerja ke dalam 2

karakteristik psikososiat, yaitu abstrak dan konkret. Orang abstrak dicirikan

dengan pengalaman dalam eksposur aktif untuk keragaman yang tinggi dalam

membangun tingkatan diferensiasi dan integrasi konseptual yang tinggi.

Sebaliknya, orang konkret dicirikan dengan pendekatan pemikiran tertutup untuk

menghadapi pengalaman baru dan/atau rendahnya eksposur untuk keragaman

yang tinggi membawa pada pembangunan diferensiasi yang terbatas dan integrasi

pada satu konsep realitas. Fungsi konkret secara relatif dikarakterisasikan dengan

kebutuhan strukturisasi dan pemberian perintah serta toleransi terhadap

ambiguitas yang rendah untuk stabilitas dan konsistensi, absolutism, otorisasi,

paternalism, dan etnosentrisme. Orang konkret melihat pandangan, nilai, norma,

dan struktur institusi sebagai sesuatu yang relatif statis dan tidak berubah-ubah.

Orang abstrak dikarakterisasikan dengan kebutuhan strukturisasi dan penugasan

yang rendah serta toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi, kepercayaan yang

terbuka, pemikiran relatif, empati, dan orientasi terhadap manusia yang kuat.

Orang abstrak-memiliki konsep dinamis mengenai dunianya dan berekspekstasi

bahwa pandangan, nilai, norma, dan struktur institusinya akan berubah.

Kelompok kerja atau manajer dengan karakteristik konkrit dapat berfungsi

dengan baik pada tingkat sentralisasi, diferensiasi vertikal, dan fomalisasi yang

tinggi atau rancangan oganisasi mekanik. Sebaliknya sekelompok kerja atau


manajer dengan karakteristik abstrak dapat berfungsi dengan baik pada suatu

tingkat sentralisasi, diferensiasi vertikal, dan formalisasi yang rendah atau

rancangan organisasi organik.

3. Lingkungan Eksternal yang Relevan

Lingkungan eksternal yang relevan didefinisikan sebagai bagian dari

tingkungan eksternal organisesi yang dapat memberikan pengaruh positif maupun

negatif pada efektivitas organisasi. Negandhi mengidentifikasi lima lingkungan

eksternal yang berpengaruh signifikan pada fungsi organisasi yaitu:

 Sosio-ekonomi, meiputi tingkat stabilitas. kompetisi serta kesediaan material

dan pekerja,

 Edukasi, meliputi kesediaan fasilitas dan program serta tingkat edukasi aspirasi

pekerja,

 Politik, meliputi tingkat stabilitas pofitik dan kebijakan pemerintah yang

berpengaruh pada orgarisasi,

 Budaya, meliputi status sosial, nilai dan perilaku dalam bekerja, manajemen

dan lainnya,

 Hukum, meliputi lingkungan hukum legal yang berpengaruh pada organisasi

Hal terpenting dalam perancanoan organisasi adalah bahwa semua

lingkungen eksternal yang relevan dapat diwakili oleh dua dimensi utama. yaitu

perubahan dan kompleksitas. Tingkat perubahan menggambarkan dinamis atau

stabilnya lingkungan tugas sedangkan tingkat kompleksitas menggambarkan

sedikit atau banyaknya komponen-komponen lingkungan tugas.

Tingkat perubahan
Pro

Stabil Dinamis
S
b Ketidakpastian rendah Ketidakpastian sedang tinggi
l  Stabil lingkungan dapat  Dinamis, lingkungan tidak
e diprediksi dapat diprediksi
m  Produk dan servis sedikit  Produk dan servis sedikit
ederhana

 Pelanggan, suplier dan  Pelanggan suplier dan


a kompetitor terbatas kompetitor terbatas
n  Kebutuhan pengetahuan rumit  Kebutuhan pengetahuan
a yang minimal rumit yang minimal
l (Industi kontainer) (Industri makanan cepat
i saji)
z Ketidakpastian rendah-sedang Ketidakpastian tinggi
y  Stabil, lingkungan dapat  Stabil, lingkungan dapat
a diprediksi diprediksi
b  Produk dan servis banyak  Produk dan servis banyak
Kompleks

i
 Memiliki beberapa  Memiliki beberapa
l
pelanggan,suplier dan pelanggan,suplier dan
i
kompetitor kompetitor
t
 Kebutuhan pengetahuan rumit  Kebutuhan pengetahuan
y
tinggi rumit tinggi
(poduk makanan (Industri komputer)

Tabel 9.3 Dimensi lingkungan duncan (Sumber: Hendrick,1997)

Terdapat beberapa model empiris yang menggambarkan keterkaitan antara

perancangan organisasi dan kondisi lingkungan eksternal yang relevan, di

entaranya sebagai berikut.

a. Burns dan Stalker: Model ketidakpastian lingkungan

Burns dan Stalker membagi organisasi ke dalam 2 tipe struktur organisasi,

yaitu mekanik dan organik. Struktur mekanik digunakan untuk organisesi yang

relatif stabil dengan karakteristik kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi

tinggi, memiliki tugas-tugas yang rutin, perilaku yang terprogram, dan lambat

dalam merespons perubahan. Struktur organik digunakan untuk organisasi yang

tidak stabil dan memiliki lingkungan yang kompleks dengan karakteristik

fleksibilitas dan kemampuan adaptasi, lebih berdasarkan keahlian dan


pengetahuan daripada otoritas dan posisi, pertukaran informasi dibandingkan

pemberian perintah secara langsung dari atasant tanggung jawab yang tidak

terdefinisi, diferensiasi, desentralisasi, dan formalisasi rendah.

b. Lawrence dan Lorsh: Subunit lingkungan dan kompleksitas rancangan

Lawrence dan Lorsh mengidentifikasi lima variabel utama yang dapat

dinilai terkait dengan subunit lingkungan untuk menentukan level optimal dari

diferensiasi horizontal, yaitu: (1) ketidakpastian informasi (rendah, sedang, tinggi)

(2) rentang waktu umpan balik (pendek, sedang, panjang), (3) pola orientasi

tujuan (fokus pada tugas), (4) pola orientasi waktu (pendek, sedang, panjang), (5)

pola hubungan interpersonal (tugas atau sosial). Secara umum semakin tinggi

ketidaksamaan fungsi pada satu atau lebih dimensi tersebut, maka semakin kuat

kecenderungan untuk rnembaginya ke dalam sub-subunit untuk fungsi yang

efektif.

H. Macroergonomics Analysis of Structure (MAS)

Metode MAS mengombinasikan secara empiris model analitik yang

dikembangkan untuk mengetahui efek dari tiga elemen utama sistem sosioteknik,

yaitu subsistem teknologi, subsistem personel, dan lingkungar, eksterna! yang

relevan pada elemen utama yang keempat, yaitu struktur organisasi sistem kerja.

Dengan metode ini, analisis terhadap karakteristik utagna dari tiga elemen sistem

sosioteknik dan rancangan dasar struktur sistern kerja untuk efektivitas fungsinya

dapat ditentukan. Hasil analisis MAS dapat dibandingkan dengan struktur sistern

kerja yang telah ada untuk kernudian dapat diiakukan koreksi atau perbaikan

terhadap struktur sistem) kerja tersebut. Selain itu hasil dari model ini juga dapat
menjadi panutan daiarn rnenentukan perbaikan apa yang perlu dilakukan untuk

mendapatkan fungsi sistern kerja yang lebih optimal.

I. Penelitian Ergonomi Makro di Indonesia

Penelitian mengenai ergonomi makro ,telah dilakukan baik pada industri

manufaktur maupun jasa dengad menggunakan metode-metode ergonomi makrot

seperti ergonomi partisipasi, kuesioner, dan MEAD (Macro-ergonomics Analysis

and Design). Penelitian mengenai ergonomi makro dengan metode MEAD pada

proses pelayanan kesehatan dilakukan oleh Grisanti Gadesiwati pada tahun 2011.

Penelitian dilakukan untuk menganalisis permasalahan kesehatan dan keselamatan

pasien pada dua penyedia layanan kesehatan yang memiliki karakteristik

pelayanan berbeda, yaitu satu melayani pasien rawat inap dan lainnya melayani

pasien rawat jalan dan dengan ukuran organisasi yang berbeda. Dari penelitian

yang dilakukan Grisanti Gadesiwati tersebut diperoleh beberapa hasil yang dapat
menunjukkan keunikan ergonomi makro sebagai bagien dari ilmu ergonomi,

sebagai berikut.

1. Analisis dan perancangan organ;sasi dengan ergonomi makro menggunakan

framework metode MEAD (Macro-Ergonomics Analysis and Design) dapat

mengakomodasi perbedaan kebutuhan organisasi berdasarkan karakteristiknya.

Hal ini menegaskan ergonomi makro sebagai bagian ilmu ergonomi yang

mengakomodasi perancangan sistem kerja sesuai dengan faktor manusia di

dalamnya.

2. Masalah terkait keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang

diselesaikan dengan menggunakan pendekatan ergonomi tradisional dapat

menjadi tidak optimal disebabkan oleh hal-hal berikut.

 Identifikasi rnasalah ergonomi yang belum tentu merupakan masalah utama

dan perpengaruh signifikan pada peningkatan keseiamatan pasien dalam

pelayanan kesehatan. Identifikasi masalah yang salah nantinya dapat

menyebahkan tidak optimalnya solusi secara dihasllkan. Solusi yang benar

untuk masalah yang salah diidentifikasi tidak dapat memberikan

peningkatan keselamatan pasien yang optimal.

 Tidak dilakukan kajian terhadap proses pelayanan pasien secara keseluruhan

sehingga yang terkait dengan hubungan antar bagian dalam organisasi tidak

dapat diidentifikasi. Tidak dilakukannya kajian terhadap keseluruhan proses

pelayanan pasien ini juga dapat menyebabkan solusi yang diberikan tidak

dapat berjalan optimal karena perancangan solusi hanya dilakukan secara

parsial
 Perancangan hanya dilakukan secara teknis tanpa mempertimbangkan

komponen-komponen Iain dalam organisasi seperti lingkungan eksternal,

subsistem teknologi, subsistem personel, dan subsistem organisasi sehingga

mungkin saja solusi atau perancangan yang dilakukan tidak dapat

memberikan hasil yang optimal.

Masalah-masalah tidak optimalnya perancangan dengan pendekatan ergonomi

tradisional seperti disebutkan di atas dapat diatasi dengan menggunakan

pendekatan ergonomi makro yang mengkaji keseluruhan komponen-komponen

sistem sosioteknik dan kemudian mengharmonisasikan keseluruhan rancangan

yang dibuat sehingga efektivitas sistem kerja dapat dicapai. Hal ini sesuai

dengan temuan Human Factors and Ergonomics Society pada 1980 yang

menyatakan bahwa ergonomi makro dapat menjawab ketidakmampuan

intervensi ergonomi tradisional (ergonomi mikro) untuk memenuhi harapan

berkurangnya jumlah kecelakaan dan cedera serta peningkatan produktivitas.

3. Secara umum dibandingkan dengan dua pendekatan perubahan organisasi

secara evoiusioner lainnya, yaitu pendekatan TQM (Total Quality

Management) serta pendekatan pekerja dan kelompok kerja yang fieksibel,

perancangan organisasi dengan ergonomi makro memiliki keiebihan dalam hal

perhatian terhadap keseturuhan komponen sistem sosioteknik yang terdapat

dalam organisasi baik dalam proses analisis maupun perancangan organisasi.

Dengan demikian, diharapkan tercapainya harmonisasi antara keseluruhan

rancangan aspek sistem sosioteknik sehingga dapat dihasilkan organisasi yang

efektif. Seiain itu, efektivitas organisasi juga diharapkan dapat dicapai melalui
penyesuaian rancangan organisasi terhadap kemampuan, keterbatasan, dan sifat

manusia sebagai anggota organisasi, bukan sebaliknya memaksakan manusia

untuk menyesuaikan diri dengan organisasi yang dirancang.

4. Skema tahapan analisis dan perancangan ergonomi makro adalah sebagai

berikut.

Anda mungkin juga menyukai