Anda di halaman 1dari 5

Perpajakan

Rangkuman Mata Kuliah


Bea Materai dan PBB

Disusun Oleh:

Olivia Cleverly
A031191159

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
Arti dan Penggunaan Bea Materai
Dikutip dari laman Wikipedia, Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas
dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan.
Sedangkan mengutip dari laman DJP, Bea Meterai merupakan pajak atas dokumen
yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat
oleh satu pihak.

Fungsi Materai
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, disebutkan
kalau fungsi materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk
dokumen tertentu. Jadi pada dasarnya, bea meterai adalah pajak atau objek
pemasukan kas negara yang dihimpun dari dana masyarakat yang dikenakan
terhadap dokumen tertentu.
Karena itu, dokumen berharga yang dibubuhi meterai akan dianggap sah selama
memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Jika dokumen tersebut ingin
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, harus dilunasi bea meterai yang
terutang.
Namun, bukan berarti setiap dokumen perlu dibubuhi meterai. Jika tidak dibubuhi
meterai, tidak akan menjadikannya sebagai tidak sah. Tetapi, dokumen itu tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Subjek Bea Materai


Salah satu definisi bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat
dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau
diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak. Lalu,
siapa yang dimaksudkan ‘pihak’ dalam definisi ini?
1. Pihak yang menerima atau mendapatkan manfaat dokumen, kecuali pihak
yang bersangkutan menentukan berbeda.
2. Jika dokumen dibuat secara sepihak, seperti kuitansi, bea meterai terutang
oleh penerima kwitansi.
3. Jika dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian,
masing-masing pihak terutang bea meterai.
Dokumen yang Dikenakan Bea Materai
Bea Materai sering digunakan dalam penandatanganan surat berharga. Namun,
surat berharga seperti apa yang dikenakan materai? Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai, berikut ini daftar dokumen yang dikenakan materai.
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang
bersifat perdata.
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya.
4. Surat yang memuat jumlah uang, di antaranya: Surat yang menyebutkan
penerimaan uang, surat yang menyatakan pembukuan uang atau
penyimpanan uang dalam rekening di bank, surat yang berisi pemberitahuan
saldo rekening di bank, surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang
seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan.
5. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep.
6. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Pengendalian, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan,
surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari
maksud semula.

Nilai Meterai dan Perbedaan Penggunaannya


1. Nilai Meterai Rp6.000
a. Dokumen yang disebutkan pada poin sebelumnya (poin 1-6).
b. Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga
seperti wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai
harga nominal lebih dari Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp1.000.000.
d. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal
lebih dari Rp1.000.000.

2. Nilai Meterai Rp3.000


a. Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga
seperti wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai
harga nominal lebih dari Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
sampai dengan Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
b. Cek dan bilyet giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga
nominal sampai dengan Rp1.000.000.
d. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000.

Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang
muncul karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi
seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat
dari padanya. Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak
yang bersifat kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan
objek yaitu bumi dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut
menentukan besarnya barang.
Contoh objek bumi adalah sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan,
tambang.
Contoh objek bangunan adalah rumah tinggal, bangunan usaha, gedung bertingkat,
pusat perbelanjaan, pagar mewah, kolam renang, jalan tol.

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan


Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal
berikut ini:
1. Mempunyai hak atas bumi.
2. Memperoleh manfaat atas bumi.
3. Memiliki bangunan.
4. Menguasai bangunan.
5. Memperoleh manfaat atas bangunan.

Undang-Undang yang Mengatur Pajak Bumi dan Bangunan


Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan. Kemudian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah
diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Sedangkan, untuk PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan
(PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan


Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih
sama, yakni sebesar 0,5%.

Anda mungkin juga menyukai