(Bagian I)
Oleh : Trisna Rahmah, S.Si, M.Sc
1. Pendahuluan
Vektor penyakit adalah binatang yang dapat menularkan/
memindahkan dan atau menjadi sumber penularan penyakit terhadap
manusia seperti serangga, tikus, anjing, kucing, babi, kera atau binatang
lainnya.
Serangga merupakan salah satu binatang yang berperan sebagai
vektor penyebab penyakit. Penularan penyakit oleh serangga dilakukan
dengan cara mekanik dan biologik. Penularan secara mekanik berlangsung
dari penderita suatu penyakit kepada orang lain dengan perantaraan bagian
luar alat-alat tubuh serangga. Penularan secara biologik terjadi setelah
parasit yang diisap serangga mengalami proses biologik di dalam tubuh
serangga yang berfungsi sebagai vektor (Safar. R, 2009).
Penyakit tular vektor merupakan penyakit yang menular melalui
hewan perantara (vektor). Penyakit tular vektor diantaranya adalah malaria,
arbovirosis seperti dengue, chikungunya, Japanese B. encephalitis (radang
otak), filariasis limfatik (kaki gajah), pes (sampar), dan demam semak (scrub
typhus). Penyakit tersebut hingga kini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup
tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini
dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologi dan sosial budaya (Kemenkes,
2011).
Penanggulangan penyakit tular vektor selain dengan pengobatan
terhadap penderita, juga dilakukan upaya-upaya pengendalian vektor
termasuk upaya mencegah kontak dengan vektor guna mencegah penularan
penyakit (Kemenkes, 2012).
Masalah yang dihadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia
antara lain geografi dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman
vektor, belum terindentifikasikannya spesies vektor (pemetaan sebaran
vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan
pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten
beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, logistik maupun biaya
operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian vektor
(Kemenkes, 2011).
2. Pengendalian Vektor
Kemenkes RI menyatakan bahwa upaya pengendalian vektor perlu
dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional agar
sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian lingkungan
terjaga. Prinsip-prinsip pengendalian vektor meliputi :
1
Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor
setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem dan perilaku masyarakat
yang bersifat spesifik local (evidence based).
a. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor
dan program terkait, LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta
masyarakat.
b. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan
metode non kimia dan menggunakan pestisida secara rasional serta
bijaksana.
c. Pengendalian vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan
prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
2
hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah,
sekolah, kantor atau pekuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung
plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar,
kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, tempurung kelapa, ban-ban
bekas, dan semua bentuk container yang dapat menampung air bersih
(Sembel. DT, 2009).
3
c. Faktor cahaya
Faktor cahaya juga mempengaruhi aktifitas Aedes sp. Aedes sp betina
aktif menghisap darah manusia biasanya pada pagi dan siang hari yaitu
antara pukul 09.00-10.00 WIB dan 16.00-17.00 WIB.
d. Faktor Hayati
Faktor hayati adalah yang ada di lingkungan dan dapat menghambat
perkembangan Aedes sp, seperti serangga predator, organisme lainnya
(bakteri, jamur, dan virus).
4
2.1.1.4. Penyakit yang ditularkan oleh Aedes sp
Penyakit- penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes sp adalah seperti
pada tabel di bawah ini :
5
Menurut Kementerian Kesehatan RI, Untuk menunjang keberhasilan
pengendalian Aedes sp diperlukan survei entomologi yang mengamati
perilaku dari Aedes sp, lingkungan, cara-cara pengendalian vektor dan cara-
cara menilai hasil pengendalian vektor.
Tujuan survei entomologi Aedes sp adalah untuk mencari cara
pemberantasan Aedes sp yang tepat, memantau sifat-sifat perilaku dan
kerentanan terhadap insektisida pada periode tertentu, sesuai dengan situasi
kondisi setempat guna pengendalian vektor yang dilakukan. Berdasarkan
kegiatan pokok survei entomologi Aedes maka tujuan survei utama adalah :
a. Tujuan pengumpulan data terkait adalah : untuk menentukan lokasi
survei, mengetahui penyebaran/stratifikasi penyakit, mengetahui
kaitan/hubungan nyamuk/vektor dengan faktor-faktor lain.
b. Tujuan survei telur/pemasangan ovitrap adalah : untuk mendeteksi
adanya Aedes sp, untuk mengevaluasi hasil pemberantasan vektor, dan
bisa juga dipakai sebagai salah satu cara pemberantasan vektor melalui
pemberantasan telurnya.
c. Tujuan survei larva/jentik adalah : untuk mengetahui jenis larva/jentik
yang ada di konteiner, mengetahui tempat perindukan yang potensial,
mengukur index-index larva/jentik (CI, HI dan BI yang mengacu pada
ketentuan WHO), mencari cara pemberantasan jentik yang cocok, menilai
hasil pemberantasan jentik dan untuk mengukur kerentanan larva/jentik
terhada insektisida.
d. Tujuan survei nyamuk dewasa adalah : Mengetahui jenis nyamuk Aedes
yang ada di rumah atau lokasi tersebut, mengukur kepadatan Aedes sp,
memperkirakan umur Aedes (pembedahan/pemeriksaan ovarium),
memperkirakan musim penularan, menentukan cara pemberantasan
vektor, mengukur kerentanan Aedes terhadap insektisida, menilai hasil
pemberantasan vector dan mengumpulkan nyamuk guna keperluan lain
(taxonomi dan inventarisasi).
e. Tujuan survei lain adalah : untuk uji efikasi insektisida yang akan
digunakan dalam kegiatan pengendalian Aedes sp, untuk menguji
peralatan aplikasi insektisida berdasarkan situasi kondisi di Indonesia,
dan untuk survei lain-lain sehubungan dengan pengendalian nyamuk
Aedes sp.
6
menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat
nyamuk, dan lain-lain.
b. Pengendalian secara mekanik, yaitu dengan cara menggunakan net atau
kawat kasa pada ventilasi rumah, memakai pakaian yang menutupi tubuh
guna menghindari gigitan nyamuk.
c. Pengendalian dengan insektisida yaitu untuk menurunkan populasi
nyamuk dewasa dengan pengasapan, menurunkan populasi jentik/larva
nyamuk dengan larvasida (Sembel, DT, 2009). Pengendalian ini dapat
juga dilakukan dengan zat metabolik sekunder dari tumbuhan, misalnya
dari tanaman Tagetes erecta, Serai Wangi, Lavender (Rahmah T, 2013 ;
Nurarifin M. 2014 ; Perdani YH, 2015).
d. Pengembangan Infrastruktur kesehatan melalui pemberdayaan dan
peningkatan pendidikan masyarakat, pembangunan pusat-pusat
kesehatan masyarakat, peningkatan ketrampilan dan keahlian tanaga
pengendali vektor.
e. Penggunaan zat penolak serangga seperti memakai repellent anti
nyamuk.
f. Pengendalian hayati seperti memasukkan ikan pemakan jentik ke bak-
bak penampungan air dan menggunakan agen hayati lainnya seperti
predator, bakteri dan jamur.
7
2.1.2.1. Siklus hidup dan perilaku Anopheles sp
Siklus hidup Anopheles sp sama dengan siklus hidup pada Aedes sp.
Namun berbeda dengan Aedes sp, tempat perindukan Anopheles sp
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar garam, kejernihan dan flora.
Tempat perindukan Anopheles di air payau terdapat di muara-muara sungai
yang tertutup hubungannya ke laut dan rawa-rawa adalah cocok untuk
perindukan Anopheles sundaicus dan An. subpictus. Sedangkan tempat
perindukan air tawar berupa sawah, mata air, terusan, kanal, genangan, di
tepi sungai, bekas jejak kaki, roda kendaraan dan bekas lobang galian cocok
untuk tempat berkembang biak An. aconitus, An. maculatus dan An.
balabarcescis. nyamuk Anopheles dapat terbang mencapai 0,5-2 km.
Nyamuk Anopheles betina mencari darah pada waktu malam hari,
sedangkan Aedes betina aktif mencari darah pada pagi dan sore hari.
Anopheles betina dewasa menghisap darah di dalam dan di luar rumah,
menghisap darah manusia dan hewan. Anopheles betina istirahat untuk
menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara pada saat
sebelum dan sesudah mencari darah. Tempat istirahat yang disukai yaitu
tempat-tempat yang teduh, lembab dan aman. An. aconitus hanya
istirahat/hinggap di tempat dekat tanah, sedangkan An. sundaicus di tempat-
tempat yang lebih tinggi (Kemenkes 2, 2013).
8
pemberantasan vektor yang dilakukan. Pada survei entomologi malaria ada 4
kegiatan pokok yaitu : mengumpulkan dan mempelajari data terkait, survei
jentik/larva, survei nyamuk dewasa dan survei cara-cara pemberantasan
vektor serta dampak pemberantasan vektor.
Tujuan mengumpulkan dan mempelajari data terkait adalah :
Mengetahui hubungan vektor dengan parasit, hubungan vektor dengan
lingkungan fisik, hubungan vektor dengan lingkungan biologi, hubungan
vektor dengan manusia, menentukan lokasi survei, menentukan cara dan
waktu survei, menentukan cara pemberantasan vektor dan cara menilai hasil
pemberantasan vektor.
Sedangkan tujuan survei jentik/larva Anopheles sp adalah : untuk
mengetahui jenis jentik, kepadatan jentik, bionomik jentik, penyebaran
jentik, tempat perindukan yang potensial, musim kepadatan jentik,
kerentanan jentik terhadap insektisida, dinamika pertumbuhan jentik,
hubungan kepadatan jentik dengan nyamuk dewasa, menentukan cara
pemberantasan jentik, menilai hasil pemberantasan jentik, dan pengumpulan
jentik guna keperluan lain (taxonomi, pembuatan spesimen jentik dan uji
efikasi larvasida).
Tujuan survei nyamuk dewasa Anopheles sp adalah untuk mengetahui
jenis nyamuk, kepadatan nyamuk, menentukan vektor, mengetahui bionomik
nyamuk, musim penularan nyamuk, penyebaran nyamuk, kerentanan vektor
terhadap insektisida, menilai hasil pemberantasan vektor dan
mengumpulkan nyamuk guna keperluan lain-lain.
Kemudian tujuan survei cara-cara pemberantasan vektor dan dampak
pemberantasan vektor adalah untuk mengetahui kekuatan pestisida
terhadap vektor, mengetahui kemampuan peralatan aplikasi pestisida
berdasarkan situasi kondisi setempat, mengetahui daya larut pestisida yang
digunakan, mempelajari cara memperoleh/memperbanyak/membawa dan
cara aplikasi agent kontrol, untuk mempelajari cara pemberantasan vektor
dan mengatasi masalah-masalah yang terjadi akibat adanya pemberantasan
vektor (Kemenkes 3, 2013).
9
c. Pengendalian secara hayati, dengan menggunakan predator pemangsa
jentik nyamuk, bakteri, dan jamur.
d. Pengendalian dengan cara memanipulasi lingkungan yaitu membersihkan
tanaman yang mengapung di tempat-tempat perindukan nyamuk seperti
ganggang laut dan lumut secara serentak dilakukan oleh seluruh
masyarakat.
Pengendalian malaria membutuhkan koordinasi dengan berbagai
elemen seperti Kementrian Kesehatan/ Dinas Kesehatan tingkat propinsi dan
kabupaten, organisasi internasional (misalnya WHO), agen-agen pemerintah
dan non pemerintah, sektor-sektor privat dan masyarakat.
Aktivitas-aktivitas utama yang dapat dilakukan untuk intervensi
pengendalian malaria antara lain adalah pendidikan kesehatan terhadap
komunitas untuk diberi informasi tentang apa yang harus dilakukan untuk
mencegah dan mengobati malaria, pelatihan dan supervisi petugas
kesehatan, serta menyediakan peralatan dan bahan untuk memberi
kesempatan kepada petugas dan masyarakat melakukan intervensi malaria
(Sembel. DT, 2009).
2.2. Lalat
Lalat merupakan salah satu jenis serangga pengganggu dan dapat
menjadi serangga penular penyakit. Keberadaan lalat di suatu area dapat
dijadikan sebagai indikator bahwa area tersebut tidak bersih/tidak hygienis.
Keberadaan lalat dan perilakunya dilingkungan manusia dapat menimbulkan
kesan jijik.
Adapun penyakit-penyakit yang ditularkan oleh lalat antara lain
disentri, kolera, typus diare dan lainnya yang berkaitan dengan kondisi
10
sanitasi buruk. Penularan penyakit tersebut terjadi secara mekanis, di mana
kulit, tubuh dan kaki-kakinya yang kotor merupakan tempat menempelnya
mikroorganisme penyakit, yang kemudian lalat tersebut hinggap di makanan.
Oleh karena demikian besar penyebaran penyakit yang dapat ditularkan
melalui lalat, maka perlu dilakukan penegndalian lalat dengan cermat
(Kemenkes, 2014).
11
d. Drosophila melanogaster (lalat buah).
Lalat buah meletakkan telurnya dekat dengan permukaan bahan-bahan
yang meragi (fermentasi) seperti buah-buahan, wadah sampah yang
kotor, sisa-sisa sayuran atau kotoran pada saluran air. Larva makan pada
permukaan bahan-bahan yang meragi dan setelah matang, larva akan
bergerak ke tempat yang kering untuk berubah menjadi pupa.
Kemampuan reproduksi dari lalat buah sangat besar dan dapat
menempuh jarak 10 km dalam 24 jam.
e. Calliphora sp (lalat hijau).
Lalat ini biasanya ditemukan cukup banyak pada lingkungan dekat
dengan timbunan sampah organic dekat pemotongan hewan atau
pengolahan daging ternak. Telur diletakkan pada daging hewan mati atau
tumpukan sayuran busuk. Larva muda akan menuju bagian dasar
tumpukan sampah untuk berkembang menjadi pupa (Kemenkes, 2014).
12
Tindakan pengendalian dilakukan bila adanya keluhan dari awak
kapal, penumpang, masyarakat sekitar tempat-tempat yang potensial sebagai
sarang lalat dan pertimbangan-pertimbangan estetika atau kesehatan.
Pengendalian lalat dapat dilakukan secara :
a. Non kimiawi
Pengendalian non kimiawi antara lain meliputi sanitasi, penghalang fisik,
perangkap lem, perangkap umpan, perangkap cahaya dan pengendalian
secara hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator.
b. Secara kimiawi
Pengendalian secara kimiawi meliputi umpan beracun, penyemprotan
dengan menggunakan insektisida.
(Kemenkes, 2014).
b.3. Kecoak
Kecoak merupakan salah satu jenis serangga pengganggu. Keberadaan
kecoak di suatu area dapat dijadikan sebagai indikator bahwa area tersebut
tidak bersih/tidak hygienis. Kecoak dapat hidup di dalam rumah, restoran,
hotel, rumah sakit, gudang, kantor, perpustakaan dan lain-lain. Keberadaan
kecoak dan perilakunya di lingkungan manusia dapat menimbulkan kesan
jijik dan kotor.
Kecoak mempunyai peranan yang penting dalam penularan penyakit,
antara lain sebagai vektor mekanik bagi organisme patogen (Streptococcus,
Salmonella), sebagai inang perantara bagi beberapa species cacing,
menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, gatal-gatal
dan pembengkakan kelopak mata, sehingga kecoak berperan dalam
penyebaran penyakit disentri, diare, kolera, virus hepatitis A dan Polio pada
anak-anak.
Kecoak serangga berbentuk oval dan pipih dorsoventral. Kepalanya
tersembunyi di bawah pronotum, antenna panjang dan 3 pasang kaki.
13
b.3.2. Survei Entomologi kecoak
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam survei entomologi kecoak
adalah survei pengamatan terhadap keberadaan/kepadatan populasi kecoak
di tempat-tempat umum, pemukiman dan angkutan umum dengan melihat
secara visual tanda-tanda sebagai berikut :
a. Terdapat kotoran dan kapsul telur kecoak.
b. Terdapatnya kecoak dewasa (mati/hidup) diseluruh ruangan yang akan
diperiksa.
14
a. Rattus rattus diardii (tikus atap, tikus hitam Eropa).
b. Rattus tanezumi (tikus rumah).
c. Ratus exulans (tikus ladang).
d. Rattus argentiventer (tikus sawah).
e. Rattus tiomaticus (tikus belukar).
f. Rattus norvegicus (tikus got).
g. Bandicota indica (wirok besar).
h. Bandicota bengalensis (wirok kecil).
i. Mus muculus (mencit).
Dari beberapa spesies tikus tersebut yang paling penting diketahui adalah
Rattus rattus diardii, Rattus norvegicus, dan Mus muculus.
Tabel. 3. Ciri-Ciri Rattus rattus diardii, Rattus norvegicus, dan Mus muculus.
Jenis
Rattus rattus diardii Rattus norvegicus Mus muculus
Umur dewasa 68 hari 75 hari 42 hari
Masa bunting 20-22 hari 22-24 hari 19-21 hari
Berat 40-300 gr 150-600 gr 10-21 gr
Kepala dan Badan Bentuk hidung hidung tumpul, hidung runcing,
kerucut lbh besar dari badan besar, badan kecil, 6-10 cm
ukuran mata, badan pendek, 18-25 cm
kecil, 16-21 cm
Ekor lebih panjang dr lebih pendek dari sama atau lebih
tubuh, warna tua tubuh, rambut panjang dari tubuh,
merata, tidak pendek, 16-21 cm tdk berambut, 7-11
berambut, 19-25 cm cm
Telinga besar, tegak, tipis dan adingi kecil, Besar dan tegak, 15
tidak berambut separuh tertutup mm
bulu
Bulu punggung abu-abu punggung abu-abu abu-abu kecoklatan
kecoklatan kecoklatan
Habitat di semak-semak atau Di lubang dalam selalu dalam
di atap, lubang pohon, tanah, adi, got, di bangunan,
dalam rumah. luar rumah sarangnya ading
dinding, lapisan
atap dan laci.
Kemampuan memanjat, menggigit menggali lubang, pemanjat, menggali
benda yang keras berenang dan lubang dan
menyelam, menggigit
menggigit benda
keras
Sumber : Kemenkes, 2015
15
dewasa bersifat parasitik, sedangkan pradewasa hidup di sarang, tempat
berlindung atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus.
b. Kutu
Kutu adalah serangga dari ordo Anoplura, yang selama hidupnya
menempel pada rambut inangnya. Kutu tidak bersayap dan di ujung
kakinya terdapat kuku besar untuk bergantung pada rambut inang.
c. Caplak.
Caplak adalah sejenis ektoparasit binatang dan termasuk ke dalam jenis
laba-laba.
d. Tungau
Tungau bergerak aktif, berwarna putih kekuningan atau kecoklatan,
berukuran 0,5-2 mm. Banyak ditemukan di seluruh tubuh tikus di badan
bagian atas dan bawah. Larva tungau berukuran 0,5 mm, berkaki tiga
pasang, bergerak pasif menempel berkelompok di bagian dalam daun
telinga atau pangkal ekor rodensia, bersifat adingic, sedangkan tungau
dewasa hidup bebas.
16
Tabel 4. Jenis-Jenis Penyakit Yang telah Dilaporkan Secara Klinis Atau
Serologis Pada Manusia Dan Hewan Rodensia Reservoir Di
Indonesia
Penyakit Penyebab Penyakit Vektor Cara Penularan
Pes Bakteri Yersinia pestis Pinjal Melalui gigitan
Murine typus Rickettsia mooseri Tungau melalui sisa hancuran
trombikulid tubuh pinjal terinfeksi
lewat luka garukan
Scrub typus Rickettsia Tungau melalui gigitan tungau
tsutsugamushi trombikulid
Spotted fever Rickettsia conorii Caplak melalui gigitan caplak
group rickettsiae
Leptospirosis bakteri Leptospira spp melalui selaput ading
atau luka di kulit, bila
terpapar oleh air yang
tercemar urine tikus
Salmonelosis bakteri Salmonella spp melalui gigitan tikus
atau pencemaran
makanan
Demam gigitan bakteri Spirillum atau melalui luka gigitan
tikus Streptococcus tikus
Trichinosis Cacing Trichinella Tidak langsung,
spiralis memakan hewan
pemakan tikus
Angiostongiliasis Cacing Angiostrongilus Dengan cara memakan
sejenis keong yang
menjadi inang
perantara penyakit ini
Demam Berdarah Virus Hantavirus spp melalui udara yang
Korea tercemar feses, urine
atau ludah tikus yang
infektif
Sumber : Kemenkes, 2015
17
b. Identifikasi tikus.
Identifikasi tikus merupakan penetapan atau penentuan jenis tikus
berdasarkan ciri-ciri morfologinya
c. Pengambilan sampel darah untuk sero survei.
Sero survei bertujuan untuk mendeteksi antibody agent penyakit dari
serum tikus.
d. Pengambilan organ dalam.
Jaringan organ tikus yang sering digunakan dalam mendeteksi dan
mengisolasi adanya agent penyakit adalah paru-paru, speel dan ginjal.
e. Survei tikus mati tidak dibunuh (rat fall).
Survei ini dilakukan selama survei tikus dilakukan. Jika ditemukan rat fall,
maka petugas harus mencari kemungkinan tikus mati lainnya pada radius
200 meter, karena rat fall sangat erat hubungannya dengan epizootic
Selain survei pengamatan tikus, dilakukan juga survei ektoparasit pada tikus,
yang bertujuan untuk mengetahui jenis ektoparasit, populasi, kesukaan
ektoparasit pada terhadap inangnya dan untuk mengetahui sebaran jenis
ektoparasit (Kemenkes, 2015).
[Trisna Rahmah]
18
Daftar Pustaka
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johson, N.F. 1992. An Introduction to the Study of
Insects. 6th ed. 670-674 p. The Ohio State University.
19
Kemenkes, 2015. Pedoman Pengendalian Tikus dan Mencit. Kemenkes RI
Dirjen PP&PL, Jakarta.
WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Long Lasting of
Mosquito Larvacidal. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13.
Womack, M. 1993. The Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats, Vol.
5(4):4.
20