Anda di halaman 1dari 20

VEKTOR PENYEBAB PENYAKIT DAN PENGENDALIANNYA

(Bagian I)
Oleh : Trisna Rahmah, S.Si, M.Sc

1. Pendahuluan
Vektor penyakit adalah binatang yang dapat menularkan/
memindahkan dan atau menjadi sumber penularan penyakit terhadap
manusia seperti serangga, tikus, anjing, kucing, babi, kera atau binatang
lainnya.
Serangga merupakan salah satu binatang yang berperan sebagai
vektor penyebab penyakit. Penularan penyakit oleh serangga dilakukan
dengan cara mekanik dan biologik. Penularan secara mekanik berlangsung
dari penderita suatu penyakit kepada orang lain dengan perantaraan bagian
luar alat-alat tubuh serangga. Penularan secara biologik terjadi setelah
parasit yang diisap serangga mengalami proses biologik di dalam tubuh
serangga yang berfungsi sebagai vektor (Safar. R, 2009).
Penyakit tular vektor merupakan penyakit yang menular melalui
hewan perantara (vektor). Penyakit tular vektor diantaranya adalah malaria,
arbovirosis seperti dengue, chikungunya, Japanese B. encephalitis (radang
otak), filariasis limfatik (kaki gajah), pes (sampar), dan demam semak (scrub
typhus). Penyakit tersebut hingga kini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup
tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini
dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologi dan sosial budaya (Kemenkes,
2011).
Penanggulangan penyakit tular vektor selain dengan pengobatan
terhadap penderita, juga dilakukan upaya-upaya pengendalian vektor
termasuk upaya mencegah kontak dengan vektor guna mencegah penularan
penyakit (Kemenkes, 2012).
Masalah yang dihadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia
antara lain geografi dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman
vektor, belum terindentifikasikannya spesies vektor (pemetaan sebaran
vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan
pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten
beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, logistik maupun biaya
operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian vektor
(Kemenkes, 2011).

2. Pengendalian Vektor
Kemenkes RI menyatakan bahwa upaya pengendalian vektor perlu
dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional agar
sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian lingkungan
terjaga. Prinsip-prinsip pengendalian vektor meliputi :

1
Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor
setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem dan perilaku masyarakat
yang bersifat spesifik local (evidence based).
a. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor
dan program terkait, LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta
masyarakat.
b. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan
metode non kimia dan menggunakan pestisida secara rasional serta
bijaksana.
c. Pengendalian vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan
prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Pengendalian vektor dapat dilakukan secara terpadu antara lain


menggunakan satu atau kombinasi beberapa metode, yaitu :
a. Metode pengendalian fisik dan mekanis adalah upaya-upaya untuk
mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan
populasi vektor secara fisik dan mekanis yaitu : modifikasi dan
manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemasangan kelambu,
memakai baju lengan panjang, penggunaan hewan sebagai umpan
nyamuk, pemasangan kawat kasa.
b. Metode pengendalian hayati (biologi) adalah dengan menggunakan
musuh alami misalnya predator pemakan jentik, bakteri, virus, fungi,
manipulasi gen.
c. Metode pengendalian secara kimia misalnya penyemprotan, larvasida,
kelambu berinsektisida, space spray (pengkabutan/fogging), insektisida
rumah tangga (penggunaan repelen, anti nyamuk bakar, dll) (Kemenkes,
2011).

2.1. Pengendalian Nyamuk


Nyamuk termasuk dalam sub famili Culicinae, dan Culicidae,
merupakan vektor atau penular utama dari penyakit-penyakit arbovirus
(demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis, dan lain-lain),
serta penyakit-penyakit nematoda (filariasis), riketsia, dan protozoa
(Malaria). Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk
meskipun sebagian besar dari spesies-spesies nyamuk ini tidak berasosiasi
dengan penyakit virus (arbovirosis) dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis-
jenis nyamuk yang menjadi vektor utama biasanya adalah Aedes sp, Culex sp,
Anopheles sp, dan Mansonia sp (Sembel. DT, 2009).
Pengendalian nyamuk bertujuan untuk menekan populasi nyamuk,
hingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit dan untuk menghindari
kontak antara vektor dan manusia (Safar. R, 2009).

2.1.1. Nyamuk Aedes sp


Aedes sp aktif pada waktu siang hari, biasanya meletakkan telur dan
berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air

2
hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah,
sekolah, kantor atau pekuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung
plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar,
kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, tempurung kelapa, ban-ban
bekas, dan semua bentuk container yang dapat menampung air bersih
(Sembel. DT, 2009).

2.1.1.1. Siklus hidup Aedes sp


Siklus hidup Aedes sp terdiri dari empat stadium, yaitu stadium telur,
stadium larva, stadium pupa dan stadium dewasa. Aedes sp meletakkan telur-
telurnya di dekat air bersih dan akan menetas menjadi larva 1 sampai 2 hari
dalam air bersih tersebut. Telur tersebut dapat bertahan hingga 1 bulan
dalam suasana kering. Stadium larva berkembang selama 5 hari, kemudian
berubah menjadi stadium pupa. Perkembangan larva akan terhambat pada
air yang dingin dan makanan yang terbatas. Pupa Aedes sp berbentuk koma.
Pupa tidak memerlukan makanan, namun membutuhkan oksigen untuk
bernapas (Supartha, 2008). Aedes sp stadium dewasa berwarna hitam
kecoklatan, ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Aedes sp betina
memerlukan darah untuk memperoleh protein yang diperlukan untuk
memproduksi telur. Sedangkan Aedes sp jantan tidak menghisap darah dan
memperoleh energi dari sari tumbuhan. Perkembangan Aedes sp dari telur ke
dewasa membutuhkan waktu 7-9 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi
lingkungan tidak mendukung (Borror et al. 1992).

2.1.1.2. Faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan Aedes sp


Perkembangan Aedes sp dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
yaitu :
a. Faktor suhu, makanan dan kelembaban
Telur Aedes sp tidak tahan pada daerah beriklim dingin, tahan pada
suasana kering. Larva Aedes sp sangat dipengaruhi oleh suhu air dan
makanan. Larva akan mati pada suhu di bawah 10°C, di atas 44°C. Aedes sp
dewasa akan mati pada dibawah titik beku dan tidak dapat bertahan dengan
baik pada suhu 5°C. Siklus gonotropik Aedes sp lebih pendek dan masa hidup
lebih lama pada suhu 29°C, kelembaban 75%. Pemberian pakan buatan
dapat menurunkan angka kematian dan mempercepat pertumbuhan larva
Aedes sp (Womeck, 1993 ; Hallimuddin, 1997 ; Supartha, 2008).

b. Faktor curah hujan


Curah hujan mempunyai hubungan yang erat dengan laju peningkatan
populasi Aedes sp. Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti kaleng,
gelas plastik, ban dan wadah bekas lainnya yang dibuang disembarang
tempat. Ketika musim hujan barang bekas tersebut akan terisi air hujan dan
menjadi tempat Aedes sp bertelur, dalam waktu 9-12 hari telur-telur tersebut
akan menjadi dewasa. Dengan demikian populasi nyamuk akan meningkat
drastis pada awal musim hujan (Supartha, 2008).

3
c. Faktor cahaya
Faktor cahaya juga mempengaruhi aktifitas Aedes sp. Aedes sp betina
aktif menghisap darah manusia biasanya pada pagi dan siang hari yaitu
antara pukul 09.00-10.00 WIB dan 16.00-17.00 WIB.

d. Faktor Hayati
Faktor hayati adalah yang ada di lingkungan dan dapat menghambat
perkembangan Aedes sp, seperti serangga predator, organisme lainnya
(bakteri, jamur, dan virus).

2.1.1.3. Distribusi Aedes sp


Aedes sp berasal dari Brazil dan Ethiopia, sampai saat ini Aedes aegypti
sudah ada di selurah dunia, terutama daerah tropik dan subtropik di daerah
Asia, Afrika, Amerika dan Eropa. Penyebaran Ae. aegypti terutama
disebabkan oleh perdagangan internasional ban bekas, terdapat telur Ae.
aegypti yang tersimpan pada ban bekas tersebut. Di Indonesia nyamuk ini
tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Imago
Ae. aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah
±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat
berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu
rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut
(WHO, 2005 ; WHO, 2009).

4
2.1.1.4. Penyakit yang ditularkan oleh Aedes sp
Penyakit- penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes sp adalah seperti
pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Penyakit Yang Ditularkan Aedes sp


Nama Penyebab Vektor Penyeba Gejala
Penyakit Utama ran
Demam Virus Dengue Aedes Endemik Demam selama
Dengue dan fever/DEN-1, aegypti di Negara 3-5 hari, sakit
DHF/DBD DEN-2, DEN- dan Aedes tropis kepala, rasa tidak
3 dan DEN-4 albopictus enak pada badan,
muntah-muntah,
status spt
terguncang,
ketidaktenangan.
Chikungunya Virus Aedes sp, Afrika, Gejala awal spt
Chikungunya Culex sp, India, Asia flu, sakit kepala,
Mansonia Tenggara kedinginan,
sp demam (> 40°C),
sakit pada
persendian, mual
dan muntah-
muntah.
Demam Togavivirida Aedes Amerika Sakit kepala,
Kuning e (Alfavirus) aegypti Selatan sakit otot,
(Yellow dan Afrika demam, muntah,
Fever). mata wajah dan
lidah menjadi
merah, penyakit
kuning.
Demam Zika Flavivirus Aedes Afrika dan Demam, sakit
aegypti Asia, kepala, nyeri
Amerika sendi, mata
Selatan, merah, ruam dan
Amerika kelelahan.
Tengah,
Karibia
Ensefalitis La Bunyavirus Aedes- Amerika Demam, sakit
Crosse triseriatus Serikat kepala, mual,
muntah dan
mengantuk.
Ensefalitis Togavirus Aedes, Amerika Demam, sakit
Kuda Culex, Serikat, pada otot, sakit
Timur(Easter Anopheles Argentina kepala yang
n Equine dan dan bertambah
Encephalitis) Mansonia. Carribean. parah, serangan
mendadak dan
koma.
Ensefalitis Togavirus Aedes Bagian Demam, sakit
Kuda Barat melanimon Barat kepala, mual,
(Western , Aedes Amerika muntah, tidak
Equine dorsalis, Serikat dan enak badan,
Encephalitis) Aedes Kanada. kehilangan
campestris, kemampuan
Culex untuk makan,
tarsalis. tanda-tanda
pembengkakan
otak.
Sumber : Sembel. DT, 2009

2.1.1.5. Survei Entomologi Aedes sp

5
Menurut Kementerian Kesehatan RI, Untuk menunjang keberhasilan
pengendalian Aedes sp diperlukan survei entomologi yang mengamati
perilaku dari Aedes sp, lingkungan, cara-cara pengendalian vektor dan cara-
cara menilai hasil pengendalian vektor.
Tujuan survei entomologi Aedes sp adalah untuk mencari cara
pemberantasan Aedes sp yang tepat, memantau sifat-sifat perilaku dan
kerentanan terhadap insektisida pada periode tertentu, sesuai dengan situasi
kondisi setempat guna pengendalian vektor yang dilakukan. Berdasarkan
kegiatan pokok survei entomologi Aedes maka tujuan survei utama adalah :
a. Tujuan pengumpulan data terkait adalah : untuk menentukan lokasi
survei, mengetahui penyebaran/stratifikasi penyakit, mengetahui
kaitan/hubungan nyamuk/vektor dengan faktor-faktor lain.
b. Tujuan survei telur/pemasangan ovitrap adalah : untuk mendeteksi
adanya Aedes sp, untuk mengevaluasi hasil pemberantasan vektor, dan
bisa juga dipakai sebagai salah satu cara pemberantasan vektor melalui
pemberantasan telurnya.
c. Tujuan survei larva/jentik adalah : untuk mengetahui jenis larva/jentik
yang ada di konteiner, mengetahui tempat perindukan yang potensial,
mengukur index-index larva/jentik (CI, HI dan BI yang mengacu pada
ketentuan WHO), mencari cara pemberantasan jentik yang cocok, menilai
hasil pemberantasan jentik dan untuk mengukur kerentanan larva/jentik
terhada insektisida.
d. Tujuan survei nyamuk dewasa adalah : Mengetahui jenis nyamuk Aedes
yang ada di rumah atau lokasi tersebut, mengukur kepadatan Aedes sp,
memperkirakan umur Aedes (pembedahan/pemeriksaan ovarium),
memperkirakan musim penularan, menentukan cara pemberantasan
vektor, mengukur kerentanan Aedes terhadap insektisida, menilai hasil
pemberantasan vector dan mengumpulkan nyamuk guna keperluan lain
(taxonomi dan inventarisasi).
e. Tujuan survei lain adalah : untuk uji efikasi insektisida yang akan
digunakan dalam kegiatan pengendalian Aedes sp, untuk menguji
peralatan aplikasi insektisida berdasarkan situasi kondisi di Indonesia,
dan untuk survei lain-lain sehubungan dengan pengendalian nyamuk
Aedes sp.

2.1.1.6. Pengendalian Aedes sp


Menurut Sembel DT, (2009) ada beberapa cara pengendalian Aedes sp
yaitu :
a. Pengendalian dengan cara sanitasi lingkungan, merupakan pengendalian
secara tidak langsung. Program yang dicanangkan oleh pemerintah
Indonesia melalui Departemen Kesehatan ialah kegiatan 3M Plus
(menguras, mengubur, menutup) tempat-tempat/barang-barang yang
dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, plusnya memakai obat
nyamuk, memakai kelambu saat tidur, Menghindari kebiasaan

6
menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat
nyamuk, dan lain-lain.
b. Pengendalian secara mekanik, yaitu dengan cara menggunakan net atau
kawat kasa pada ventilasi rumah, memakai pakaian yang menutupi tubuh
guna menghindari gigitan nyamuk.
c. Pengendalian dengan insektisida yaitu untuk menurunkan populasi
nyamuk dewasa dengan pengasapan, menurunkan populasi jentik/larva
nyamuk dengan larvasida (Sembel, DT, 2009). Pengendalian ini dapat
juga dilakukan dengan zat metabolik sekunder dari tumbuhan, misalnya
dari tanaman Tagetes erecta, Serai Wangi, Lavender (Rahmah T, 2013 ;
Nurarifin M. 2014 ; Perdani YH, 2015).
d. Pengembangan Infrastruktur kesehatan melalui pemberdayaan dan
peningkatan pendidikan masyarakat, pembangunan pusat-pusat
kesehatan masyarakat, peningkatan ketrampilan dan keahlian tanaga
pengendali vektor.
e. Penggunaan zat penolak serangga seperti memakai repellent anti
nyamuk.
f. Pengendalian hayati seperti memasukkan ikan pemakan jentik ke bak-
bak penampungan air dan menggunakan agen hayati lainnya seperti
predator, bakteri dan jamur.

2.1.2. Nyamuk Anopheles sp


Anopheles sp dapat berbiak dalam kolam-kolam air tawar yang bersih,
air kotor, air payau, maupun air-air yang tergenang di pinggiran laut.
Anopheles sp merupakan vektor penyakit malaria meskipun tidak semua
jenis Anopheles dapat menjadi vektor yang baik (Sembel DT, 2009).
Jumlah nyamuk Anopheles ada kurang lebih 80 jenis, dan dari 80 jenis
ini kurang lebih 25 jenis yang menjadi vektor penyebab penyakit malaria.
Cara penularan penyakit malaria yang dibawa oleh Anopheles sp
adalah sbb :

Anopheles sehat mengisap darah


penderita malaria

Menghisap darah Anopheles


orang sehat mengandung parasit

orang ini menjadi


sakit malaria

7
2.1.2.1. Siklus hidup dan perilaku Anopheles sp
Siklus hidup Anopheles sp sama dengan siklus hidup pada Aedes sp.
Namun berbeda dengan Aedes sp, tempat perindukan Anopheles sp
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar garam, kejernihan dan flora.
Tempat perindukan Anopheles di air payau terdapat di muara-muara sungai
yang tertutup hubungannya ke laut dan rawa-rawa adalah cocok untuk
perindukan Anopheles sundaicus dan An. subpictus. Sedangkan tempat
perindukan air tawar berupa sawah, mata air, terusan, kanal, genangan, di
tepi sungai, bekas jejak kaki, roda kendaraan dan bekas lobang galian cocok
untuk tempat berkembang biak An. aconitus, An. maculatus dan An.
balabarcescis. nyamuk Anopheles dapat terbang mencapai 0,5-2 km.
Nyamuk Anopheles betina mencari darah pada waktu malam hari,
sedangkan Aedes betina aktif mencari darah pada pagi dan sore hari.
Anopheles betina dewasa menghisap darah di dalam dan di luar rumah,
menghisap darah manusia dan hewan. Anopheles betina istirahat untuk
menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara pada saat
sebelum dan sesudah mencari darah. Tempat istirahat yang disukai yaitu
tempat-tempat yang teduh, lembab dan aman. An. aconitus hanya
istirahat/hinggap di tempat dekat tanah, sedangkan An. sundaicus di tempat-
tempat yang lebih tinggi (Kemenkes 2, 2013).

2.1.2.2. Penyakit yang ditularkan oleh Anopheles sp


Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui Anopheles sp adalah seperti
pada Tabel di bawah ini :

Tabel 2. Penyakit Yang Ditularkan Anopheles sp


Nama Penyakit Penyebab Penyebaran Gejala
Malaria Plasmodium 100 negara miskin Dingin, gemetar,
falciparum, P. vivax, daerah tropis dan demam, sakit kepala,
P. malariae, P. ovale. subtropik. muntah, berkeringat
Indonesia. dingin, kelelahan,
pembesaran getah
bening.
Tropical Pulmonary W. bancrofti, Afrika, kep. Pasifik, Batuk kering,
Eosinophilia/ B. malayi India, Malaysia, mendesah, kesulitan
filariasis Filipina, Cina dan berbicara, kehilangan
Indonesia nafsu makan, tidak
enak badan,
kehilangan berat
badan
Sumber : Sembel. DT. 2009

2.1.2.3. Survei Entomologi Anopheles sp


Untuk menunjang program pemberantasan malaria melalui
pemberantasan vektornya diperlukan kegiatan entomologi malaria untuk
mempelajari ekologi vektor, bionomik vektor, cara-cara pemberantasan
vektor, cara-cara menilai hasil pemberantasan vektor dan dampak

8
pemberantasan vektor yang dilakukan. Pada survei entomologi malaria ada 4
kegiatan pokok yaitu : mengumpulkan dan mempelajari data terkait, survei
jentik/larva, survei nyamuk dewasa dan survei cara-cara pemberantasan
vektor serta dampak pemberantasan vektor.
Tujuan mengumpulkan dan mempelajari data terkait adalah :
Mengetahui hubungan vektor dengan parasit, hubungan vektor dengan
lingkungan fisik, hubungan vektor dengan lingkungan biologi, hubungan
vektor dengan manusia, menentukan lokasi survei, menentukan cara dan
waktu survei, menentukan cara pemberantasan vektor dan cara menilai hasil
pemberantasan vektor.
Sedangkan tujuan survei jentik/larva Anopheles sp adalah : untuk
mengetahui jenis jentik, kepadatan jentik, bionomik jentik, penyebaran
jentik, tempat perindukan yang potensial, musim kepadatan jentik,
kerentanan jentik terhadap insektisida, dinamika pertumbuhan jentik,
hubungan kepadatan jentik dengan nyamuk dewasa, menentukan cara
pemberantasan jentik, menilai hasil pemberantasan jentik, dan pengumpulan
jentik guna keperluan lain (taxonomi, pembuatan spesimen jentik dan uji
efikasi larvasida).
Tujuan survei nyamuk dewasa Anopheles sp adalah untuk mengetahui
jenis nyamuk, kepadatan nyamuk, menentukan vektor, mengetahui bionomik
nyamuk, musim penularan nyamuk, penyebaran nyamuk, kerentanan vektor
terhadap insektisida, menilai hasil pemberantasan vektor dan
mengumpulkan nyamuk guna keperluan lain-lain.
Kemudian tujuan survei cara-cara pemberantasan vektor dan dampak
pemberantasan vektor adalah untuk mengetahui kekuatan pestisida
terhadap vektor, mengetahui kemampuan peralatan aplikasi pestisida
berdasarkan situasi kondisi setempat, mengetahui daya larut pestisida yang
digunakan, mempelajari cara memperoleh/memperbanyak/membawa dan
cara aplikasi agent kontrol, untuk mempelajari cara pemberantasan vektor
dan mengatasi masalah-masalah yang terjadi akibat adanya pemberantasan
vektor (Kemenkes 3, 2013).

2.1.2.4. Pengendalian Anopheles sp


Tujuan pengendalian Anopheles sp di daerah-daerah endemis malaria
adalah menurunkan serendah-rendahnya dampak malaria terhadap
kesehatan masyarakat dengan menggunakan semua sumber daya yang
tersedia.
Pengendalian terhadap nyamuk Anopheles sp adalah :
a. Pengendalian dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya
menghindari dari gigitan nyamuk dengan menggunakan pakaian lengkap
(tangan dan kaki tertutup), memakai kelambu saat tidur, memakai anti
nyamuk dan menghindari mengunjungi lokasi yang rawan malaria.
b. Pengendalian secara kimia dengan menggunakan insektisida, larvasida,
anti nyamuk lainnya, dan memakai kelambu berinsektisida.

9
c. Pengendalian secara hayati, dengan menggunakan predator pemangsa
jentik nyamuk, bakteri, dan jamur.
d. Pengendalian dengan cara memanipulasi lingkungan yaitu membersihkan
tanaman yang mengapung di tempat-tempat perindukan nyamuk seperti
ganggang laut dan lumut secara serentak dilakukan oleh seluruh
masyarakat.
Pengendalian malaria membutuhkan koordinasi dengan berbagai
elemen seperti Kementrian Kesehatan/ Dinas Kesehatan tingkat propinsi dan
kabupaten, organisasi internasional (misalnya WHO), agen-agen pemerintah
dan non pemerintah, sektor-sektor privat dan masyarakat.
Aktivitas-aktivitas utama yang dapat dilakukan untuk intervensi
pengendalian malaria antara lain adalah pendidikan kesehatan terhadap
komunitas untuk diberi informasi tentang apa yang harus dilakukan untuk
mencegah dan mengobati malaria, pelatihan dan supervisi petugas
kesehatan, serta menyediakan peralatan dan bahan untuk memberi
kesempatan kepada petugas dan masyarakat melakukan intervensi malaria
(Sembel. DT, 2009).

2.1.3. Nyamuk Culex sp


Nyamuk Culex aktif pada waktu pagi, siang, sore dan malam. Nyamuk
Culex bertelur di selokan-selokan air bersih ataupun pada selokan air
pembuangan domestik yang kotor (air organik), serta ditempat-tempat
penggenangan air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah.
Jentik/larva nyamuk Culex sering kali terlihat dalam jumlah yang sangat
banyak di selokan-selokan air yang kotor (Sembel. DT, 2009).

2.1.3.1. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Culex


Nyamuk Culex dapat menularkan penyakit penyakit antara lain
Chikungunya, Encefalitis Kuda Timur, Encefalitis Kuda Barat, Encefalitis St.
Louis, Encefalitis Kuda Venezuela, Encefalitis Jepang (JE), Murray Valley
Encephalitis dan Lymphatic Filariasis (Sembel. DT, 2009).

2.1.3.2. Survei entomologi dan pengendalian Culex sp


Survei entomologi nyamuk Culex sp sama dengan survei entomologi
pada nyamuk lainnya. Sedangkan pengendalian Nyamuk Culex sp juga sama
dengan pengendalian pada nyamuk Aedes dan Anopheles.

2.2. Lalat
Lalat merupakan salah satu jenis serangga pengganggu dan dapat
menjadi serangga penular penyakit. Keberadaan lalat di suatu area dapat
dijadikan sebagai indikator bahwa area tersebut tidak bersih/tidak hygienis.
Keberadaan lalat dan perilakunya dilingkungan manusia dapat menimbulkan
kesan jijik.
Adapun penyakit-penyakit yang ditularkan oleh lalat antara lain
disentri, kolera, typus diare dan lainnya yang berkaitan dengan kondisi

10
sanitasi buruk. Penularan penyakit tersebut terjadi secara mekanis, di mana
kulit, tubuh dan kaki-kakinya yang kotor merupakan tempat menempelnya
mikroorganisme penyakit, yang kemudian lalat tersebut hinggap di makanan.
Oleh karena demikian besar penyebaran penyakit yang dapat ditularkan
melalui lalat, maka perlu dilakukan penegndalian lalat dengan cermat
(Kemenkes, 2014).

2.2.1. Jenis-jenis lalat


Diantara berbagai jenis lalat, yang merupakan masalah dalam bidang
kesehatan adalah :
a. Musca domestica (lalat rumah).
Ukuran lalat rumah ini relatif kecil (6-9 mm). berwarna abu-abu
kehitaman. Pertumbuhan telur samapi dewasa memerlukan waktu 12-14
hari di daerah tropis. Umur lalat rumah ini kurang lebih 1-2 bulan. Lalat
ini bertelur di tempat yang lembab dan banyak mengandung zat organik
seperti pada sampah, kotoran ternak, kotoran manusia, sisa sayuran dan
bentuk sampah busuk lainnya. Larva lalat ini sangat rakus dan aktif. Lalat
dewasa muda sudah siap kawin beberap saat setelah keluar dari pupa.
Lalat betina mampu bertelur sebanyak 2000 telur selama hidupnya.
Kadang-kadang lalt rumah ini bertelur pada luka hewan dan manusia,
sehingga belatung tumbuh dalam jaringan sekelilingnya, kejadian ini
disebut myasis (kemenkes, 2014). Penyakit yang dapat ditularkan oleh
lalat rumah adalah tipoid, kolera, disentri, tuberculosis, antraks, patek
(yaws) dan berbagai jenis cacing dan patogen penyakit lainnya (Sembel.
DT, 2009).
b. Sarcophaga sp (Lalat blirik/lalat daging).
Ukuran lalat ini lebih besar dari lalat rumah yaitu 11-15mm. Lalat betina
bersifat larvipar yang meletakkan larvanya pada bangkai, daging segar
atau yang telah dimasak, kotoran hewan dan pada luka terbuka.larva
akan memakan jaringan daging sampai stadium terakhir, setelah itu akan
pindah ke tempat yang terlindung dari predator (pasir dan tanah).
c. Chrysomya megacephala (Lalat hijau).
Biasanya lalat ini berkembang biak di bahan yang cair atau semi cair dari
hewan, termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah
penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah yang mengandung
kotoran hewan. Lalat ini banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang
berdekatan dengan kakus. Lala ini dilaporkan juga membawa telur cacing
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura yang menempel pada bagian luar
tubuhnya (Kemenkes, 2014). Lalat betina merupakan penyebab myasis
obligat yang meletakkan telurnya pada tepi luka yang terbuka dalam
jumlah 100-150 telur dalam satu kelompok. Umumnya betina akan
memilih luka yang mulai membusuk. Telur akan menetas 23-30 jam, dan
larvanya segera masuk ke dalam luka sambil memakan jaringan luka.
Stadium ini berlangsung selama 5-6 hari (Kemenkes, 2008).

11
d. Drosophila melanogaster (lalat buah).
Lalat buah meletakkan telurnya dekat dengan permukaan bahan-bahan
yang meragi (fermentasi) seperti buah-buahan, wadah sampah yang
kotor, sisa-sisa sayuran atau kotoran pada saluran air. Larva makan pada
permukaan bahan-bahan yang meragi dan setelah matang, larva akan
bergerak ke tempat yang kering untuk berubah menjadi pupa.
Kemampuan reproduksi dari lalat buah sangat besar dan dapat
menempuh jarak 10 km dalam 24 jam.
e. Calliphora sp (lalat hijau).
Lalat ini biasanya ditemukan cukup banyak pada lingkungan dekat
dengan timbunan sampah organic dekat pemotongan hewan atau
pengolahan daging ternak. Telur diletakkan pada daging hewan mati atau
tumpukan sayuran busuk. Larva muda akan menuju bagian dasar
tumpukan sampah untuk berkembang menjadi pupa (Kemenkes, 2014).

2.2.2. Survei Entomologi Lalat.


Survei entomologi pada lalat yang dapat dilakukan adalah kegiatan
pengamatan kepadatan lalat yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
kepadatan lalat dan sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat di
tempat-tempat umum, pemukiman dan angkutan umum. Data survei ini
dapat dipakai untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu tentang kapan,
di mana dan bagaimana pengendalian akan dilakukan. Demikian pula
sesudah pengendalian dilakukan, pengukuran tingkat kepadatan lalat
diperlukan untuk menilai keberhasilan pengendalian. Dalam menentukan
kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan
bias diandalkan dari pada pengukuran populasi larva lalat (Kemenkes, 2014).
Pengukuran kepadatan lalat dapat menggunakan :
a. Fly grids/fly Grill.
Kepadatan lalat dihitung 30 detik sebanyak 10x, sehingga dapat diperoleh
angka kepadatan lalat berdasarkan interpretasi hasil pengukuran jumlah
lalat yang hinggap pada fly grill per 10x30 detik pada setiap lokasi.
b. Sticky Trap
Alat ini dipergunakan pada bagian dalam ruangan (indoor) dan dilakukan
pengukuran perhari atau perminggu, sehingga dapat diperoleh rata-rata
angka kepadatan lalat perhari dan dapat diperoleh pula angka kepadatan
lalat tertinggi di daerah itu.
c. Bait Trap
Dengan alat ini dapat diperoleh angka kepadatan lalat setiap harinya,
setiap minggu/bulan/tahun.

2.2.3. Pengendalian lalat


Tujuan pengendalian pada lalat adalah untuk menurunkan kepadatan
lalat sehingga tidak menjadi masalah dalam rangka penyebaran penyakit
yang dapat ditularkan oleh lalat.

12
Tindakan pengendalian dilakukan bila adanya keluhan dari awak
kapal, penumpang, masyarakat sekitar tempat-tempat yang potensial sebagai
sarang lalat dan pertimbangan-pertimbangan estetika atau kesehatan.
Pengendalian lalat dapat dilakukan secara :
a. Non kimiawi
Pengendalian non kimiawi antara lain meliputi sanitasi, penghalang fisik,
perangkap lem, perangkap umpan, perangkap cahaya dan pengendalian
secara hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator.
b. Secara kimiawi
Pengendalian secara kimiawi meliputi umpan beracun, penyemprotan
dengan menggunakan insektisida.
(Kemenkes, 2014).

b.3. Kecoak
Kecoak merupakan salah satu jenis serangga pengganggu. Keberadaan
kecoak di suatu area dapat dijadikan sebagai indikator bahwa area tersebut
tidak bersih/tidak hygienis. Kecoak dapat hidup di dalam rumah, restoran,
hotel, rumah sakit, gudang, kantor, perpustakaan dan lain-lain. Keberadaan
kecoak dan perilakunya di lingkungan manusia dapat menimbulkan kesan
jijik dan kotor.
Kecoak mempunyai peranan yang penting dalam penularan penyakit,
antara lain sebagai vektor mekanik bagi organisme patogen (Streptococcus,
Salmonella), sebagai inang perantara bagi beberapa species cacing,
menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, gatal-gatal
dan pembengkakan kelopak mata, sehingga kecoak berperan dalam
penyebaran penyakit disentri, diare, kolera, virus hepatitis A dan Polio pada
anak-anak.
Kecoak serangga berbentuk oval dan pipih dorsoventral. Kepalanya
tersembunyi di bawah pronotum, antenna panjang dan 3 pasang kaki.

b.3.1. Jenis-jenis Kecoa


a. Periplaneta americana (kecoak amerika).
Merupakan jenis kecoak yang paling besar (35-40 mm), berwarna merah
kecoklatan. Daur hidup Periplaneta americana rata-rata 7 bulan.
b. Periplaneta australaseae
Berukuran 27-33 mm berwarna merah kehitaman. Daur hidup
Periplaneta australaseae rata-rata 4 bulan.
c. Periplaneta brunnea
Ukuran dan warna hampir sama dengan Periplaneta americana
d. Blatella germatica (kecoak Jerman)
Kecoak kecil, berwarna kecoklatan.
e. Supella longipalpa
Mirip dengan Blatella germatica
f. Neostylophyga rombifolia
g. Blatta orientalis

13
b.3.2. Survei Entomologi kecoak
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam survei entomologi kecoak
adalah survei pengamatan terhadap keberadaan/kepadatan populasi kecoak
di tempat-tempat umum, pemukiman dan angkutan umum dengan melihat
secara visual tanda-tanda sebagai berikut :
a. Terdapat kotoran dan kapsul telur kecoak.
b. Terdapatnya kecoak dewasa (mati/hidup) diseluruh ruangan yang akan
diperiksa.

b.3.3. Pengendalian kecoak


Pengendalian kecoak dapat dilakukan di tempat-tempat umum, pemukiman
dan angkutan umum. Pengendalian kecoak dapat digolongkan menjadi 2
yaitu pengendalian secara non kimiawi dan secara kimiawi.
a. Pengendalian secara non kimiawi meliputi :
- Pengendalian secara fisik yang bertujuan agar lokasi tempat-tempat
umum, pemukiman dan angkutan umum tidak menjadi tempat
perindukan kecoak.
- Pengendalian secara lingkungan bertujuan menciptakan kondisi
lingkungan yang bersih, sehingga kecoak tidak ada di lokasi area
tempat-tempat umum, pemukiman dan angkutan umum.
- Pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan musuh alami dari
kecoak.
b. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan cara :
- Pengendalian dengan bahan kimia beracunpembunuh kecoak atau
serangga lain.
- Pengendalian dengan bahan kimia yang bersifat menolak (repellent).
- Pengendalian dengan bahan kimia menarik (attractant).
(Kemenkes 1, 2014).

b.4. Tikus dan Mencit


Tikus dan mencit adalah binatang mengerat (rodensia). Beberapa
jenis dari kelompok ini hidup di dekat tempat hidup atau kegiatan manusia
(rodensia komensal). Tikus dan mencit lebih dikenal sebagai hama tanaman
pertanian, perusak barang di gudang dan binatang pengganggu di
perumahan. Binatang ini menimbulkan kerugian ekonomi, merusak bahan
pangan, instalasi medik, listrik, dll. Selain itu tikus dan mencit membawa,
menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit pada manusia, ternak,
binatang peliharaan dan binatang liar.
Infestasi rodensia di suatu tempat dapat diketahui dengan mengamati
adanya kotoran, jejak, bekas gigitan dan baunya yang khas.

b.4.1. Jenis- jenis Tikus dan Mencit


Beberapa jenis tikus dan mencit yang biasa dijumpai di lingkungan
hidup manusia adalah :

14
a. Rattus rattus diardii (tikus atap, tikus hitam Eropa).
b. Rattus tanezumi (tikus rumah).
c. Ratus exulans (tikus ladang).
d. Rattus argentiventer (tikus sawah).
e. Rattus tiomaticus (tikus belukar).
f. Rattus norvegicus (tikus got).
g. Bandicota indica (wirok besar).
h. Bandicota bengalensis (wirok kecil).
i. Mus muculus (mencit).
Dari beberapa spesies tikus tersebut yang paling penting diketahui adalah
Rattus rattus diardii, Rattus norvegicus, dan Mus muculus.

Tabel. 3. Ciri-Ciri Rattus rattus diardii, Rattus norvegicus, dan Mus muculus.
Jenis
Rattus rattus diardii Rattus norvegicus Mus muculus
Umur dewasa 68 hari 75 hari 42 hari
Masa bunting 20-22 hari 22-24 hari 19-21 hari
Berat 40-300 gr 150-600 gr 10-21 gr
Kepala dan Badan Bentuk hidung hidung tumpul, hidung runcing,
kerucut lbh besar dari badan besar, badan kecil, 6-10 cm
ukuran mata, badan pendek, 18-25 cm
kecil, 16-21 cm
Ekor lebih panjang dr lebih pendek dari sama atau lebih
tubuh, warna tua tubuh, rambut panjang dari tubuh,
merata, tidak pendek, 16-21 cm tdk berambut, 7-11
berambut, 19-25 cm cm
Telinga besar, tegak, tipis dan adingi kecil, Besar dan tegak, 15
tidak berambut separuh tertutup mm
bulu
Bulu punggung abu-abu punggung abu-abu abu-abu kecoklatan
kecoklatan kecoklatan
Habitat di semak-semak atau Di lubang dalam selalu dalam
di atap, lubang pohon, tanah, adi, got, di bangunan,
dalam rumah. luar rumah sarangnya ading
dinding, lapisan
atap dan laci.
Kemampuan memanjat, menggigit menggali lubang, pemanjat, menggali
benda yang keras berenang dan lubang dan
menyelam, menggigit
menggigit benda
keras
Sumber : Kemenkes, 2015

b.4.2. Ektoparasit pada tubuh tikus dan mencit


Ekto parasit yang menginfestasi rodensia terdiri dari :
a. Pinjal
Pinjal adalah serangga dari Siphonaptera, berukuran 1,4-4 mm. pinjal
tidak bersayap, berkaki panjang terutama kaki belakang, dapat meloncat.
Ditemukan hampir di seluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal

15
dewasa bersifat parasitik, sedangkan pradewasa hidup di sarang, tempat
berlindung atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus.
b. Kutu
Kutu adalah serangga dari ordo Anoplura, yang selama hidupnya
menempel pada rambut inangnya. Kutu tidak bersayap dan di ujung
kakinya terdapat kuku besar untuk bergantung pada rambut inang.
c. Caplak.
Caplak adalah sejenis ektoparasit binatang dan termasuk ke dalam jenis
laba-laba.
d. Tungau
Tungau bergerak aktif, berwarna putih kekuningan atau kecoklatan,
berukuran 0,5-2 mm. Banyak ditemukan di seluruh tubuh tikus di badan
bagian atas dan bawah. Larva tungau berukuran 0,5 mm, berkaki tiga
pasang, bergerak pasif menempel berkelompok di bagian dalam daun
telinga atau pangkal ekor rodensia, bersifat adingic, sedangkan tungau
dewasa hidup bebas.

b.4.3. Penyakit yang ditularkan tikus dan mencit


Penyakit bersumber rodensia yang disebabkan oleh berbagai agent
penyakit seperti virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing dapat
ditularkan kepada manusia secara langsung, melalui feses, urin dan ludah
atau gigitan rodensia dan pinjal, dan tidak langsung melalui gigitan vektor
ektoparasit tikus dan mencit (pinjal, kutu, caplak dan tungau).
Secara alami umumnya penyakit ini terpelihara di alam, dalam tubuh
mamalia kecil liar dan secara insidentil ditularkan kepada manusia, binatang
ternak dan binatang peliharaan.
Beberapa penyakit yang ditularkan melalui tikus pernah dilaporkan
secara klinis dan serologis pada manusia dan binatang rodensia reservoir di
Indonesia seperti pada Tabel 4 di bawah ini :

16
Tabel 4. Jenis-Jenis Penyakit Yang telah Dilaporkan Secara Klinis Atau
Serologis Pada Manusia Dan Hewan Rodensia Reservoir Di
Indonesia
Penyakit Penyebab Penyakit Vektor Cara Penularan
Pes Bakteri Yersinia pestis Pinjal Melalui gigitan
Murine typus Rickettsia mooseri Tungau melalui sisa hancuran
trombikulid tubuh pinjal terinfeksi
lewat luka garukan
Scrub typus Rickettsia Tungau melalui gigitan tungau
tsutsugamushi trombikulid
Spotted fever Rickettsia conorii Caplak melalui gigitan caplak
group rickettsiae
Leptospirosis bakteri Leptospira spp melalui selaput ading
atau luka di kulit, bila
terpapar oleh air yang
tercemar urine tikus
Salmonelosis bakteri Salmonella spp melalui gigitan tikus
atau pencemaran
makanan
Demam gigitan bakteri Spirillum atau melalui luka gigitan
tikus Streptococcus tikus
Trichinosis Cacing Trichinella Tidak langsung,
spiralis memakan hewan
pemakan tikus
Angiostongiliasis Cacing Angiostrongilus Dengan cara memakan
sejenis keong yang
menjadi inang
perantara penyakit ini
Demam Berdarah Virus Hantavirus spp melalui udara yang
Korea tercemar feses, urine
atau ludah tikus yang
infektif
Sumber : Kemenkes, 2015

b.4.4. Survei Entomologi tikus dan mencit


Metode pengamatan tikus meliputi :
a. Teknik penangkapan tikus.
Kegiatan pengamatan terhadap tikus dan pinjalnya, yakni dilakukan
trapping dengan perangkap tikus hidup dari metal (metal live trap) untuk
menangkap tikus-tikus di dalam maupun di luar rumah (di kebun/di
ladang). Selama 5 hari berturut-turut sebanyak 1000 buah trap sekali
pemasangan. Penangkapan tikus sangat penting untuk Sumber data dasar
ekologi populasi tikus yang meliputi :
- Kepadatan populasi tikus
- Struktur usia dan reproduksi populasi tikus.
- Habitat tikus.
- Penyebaran tikus.

17
b. Identifikasi tikus.
Identifikasi tikus merupakan penetapan atau penentuan jenis tikus
berdasarkan ciri-ciri morfologinya
c. Pengambilan sampel darah untuk sero survei.
Sero survei bertujuan untuk mendeteksi antibody agent penyakit dari
serum tikus.
d. Pengambilan organ dalam.
Jaringan organ tikus yang sering digunakan dalam mendeteksi dan
mengisolasi adanya agent penyakit adalah paru-paru, speel dan ginjal.
e. Survei tikus mati tidak dibunuh (rat fall).
Survei ini dilakukan selama survei tikus dilakukan. Jika ditemukan rat fall,
maka petugas harus mencari kemungkinan tikus mati lainnya pada radius
200 meter, karena rat fall sangat erat hubungannya dengan epizootic
Selain survei pengamatan tikus, dilakukan juga survei ektoparasit pada tikus,
yang bertujuan untuk mengetahui jenis ektoparasit, populasi, kesukaan
ektoparasit pada terhadap inangnya dan untuk mengetahui sebaran jenis
ektoparasit (Kemenkes, 2015).

b.4.5. Pengendalian tikus dan mencit


Pengendalian tikus dan mencit dapat dilakukan dengan cara non
kimiawi dan kimiawi.
Pengendalian dengan cara non kimiawi dapat dilakukan dengan
penangkapan tikus memakai perangkap (perangkap hidup individu,
perangkap tikus hidup massal, perangkap tikus jepit, perangkap tikus lem,
perangkap tikus elektronik dan perangkap tikus dengan botol), pada jalur
yang biasa dilalui tikus.
Sedangkan pengendalian tikus secara kimiawi adalah dengan
menggunakan racun/Rodentisida dilakukan dengan meletakkan umpan
beracun di jalur yang biasa dilalui tikus dan mencit serta melakukan
fumigasi.
Upaya pencegahan terhadap keberadaan dan meningkatnya populasi
tikus dan mencit adalah upaya sanitasi/kebersihan lingkungan, dan kondisi
konstruksi/ sruktur bangunan yang baik seperti :
- Menghilangkan tumpukan sampah.
- Membersihkan ceceran/sisa-sisa bahan makanan.
- Merawat pipa air dan genangan air di dalam bangunan.
- Menyimpan bahan makanan dengan baik.
- Gudang penyimpanan bahan dan produk makanan harus selalu bersih, ada
lorong inspeksi di antara tumpukan bahan dan produk
konstruksi/struktur bangunan anti tikus dan mencit (Kemenkes, 2015).

[Trisna Rahmah]

18
Daftar Pustaka

Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johson, N.F. 1992. An Introduction to the Study of
Insects. 6th ed. 670-674 p. The Ohio State University.

Dantje T. Sembel. 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit CV. Andi Offset


Yogyakarta.

Hallimuddin. 1997. Pengaruh Berbagai Jenis Media Tempat Perindukan Yang


Diberi Makan Alami dan Yang Diberi Makanan Buatan Terhadap
Perkembangan Larva Nyamuk Aedes aegypti (L). Tesis. Universitas
Diponogoro.

Kemenkes, 2008. Pedoman Pengendalian Lalat Di Pelabuhan. Kemenkes RI


Dirjen PP&PL, Jakarta.

Kemenkes, 2011. Modul Pelatihan Pengangkatan Pertama Jabatan Fungsional


Entomolog Kesehatan Jenjang Ahli. Badan PPSDM Kesehatan Pusdiklat
Aparatur. Balai Besar Pelatihan Kesehatan BBPK Ciloto 2013.

Kemenkes, 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam


Pengendalian Vektor. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Jakarta.

Kemenkes 1, 2013. Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue dan


Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Kemenkes RI Dirjen PP&PL,
Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Sub
Direktorat Pengendalian Vektor. Jakarta.

Kemenkes 2, 2013. Modul Entomologi Malaria. Kemenkes RI Dirjen PP&PL,


Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Sub
Direktorat Pengendalian Vektor. Jakarta.

Kemenkes 3, 2013. Pedoman Survei Entomologi Malaria dan Pedoman Vektor


Malaria di Indonesia. Kemenkes RI Dirjen PP&PL, Direktorat
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Sub Direktorat
Pengendalian Vektor. Jakarta.

Kemenkes, 2014. Pedoman Pengendalian Lalat. Kemenkes RI Dirjen PP&PL,


Jakarta.

Kemenkes 1, 2014. Pedoman Pengendalian Kecoak. Kemenkes RI Dirjen


PP&PL, Jakarta.

19
Kemenkes, 2015. Pedoman Pengendalian Tikus dan Mencit. Kemenkes RI
Dirjen PP&PL, Jakarta.

Maqfirah Nurarifin. 2014. Pengaruh Ekstrak nHeksan Serai Wangi


Cymbopogon nardus (L) Randle Pada Berbagai Konsentrasi Terhadap
Periode Menghisap Darah Dari Nyamuk Aedes aegypti. Tesis.
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Yesi Hijria Perdani. 2015. Efektifitas Tanaman Lavender Terhadap Populasi


Nyamuk Di Desa Meri RT 02 RW 01 Kecamatan Magersari Kota
Mojokerto. Laporan Penelitian. Poltekes Majapahit. Mojokerto.

Rosdiana Safar, 2009. Parasitologi Kedokteran Protozoologi, Helmintologi,


Entomologi. Yrama Widya. Bandung.

Supartha, I.W. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah


Dengue, Aedes aegypti (Linn) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera:
Culicidae). Pertemuan Ilmiah. Universitas Udayana Bali.

Trisna Rahmah, 2013, Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Tagetes erecta L.


Terhadap Mortalitas Larva dan Imago Serangga Vektor Demam
Berdarah Aedes aegypti L. Tesis, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Long Lasting of
Mosquito Larvacidal. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13.

WHO. 2009. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and


Control. New Edition. TDR For Research on diseases of poverty 4-5.

Womack, M. 1993. The Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats, Vol.
5(4):4.

20

Anda mungkin juga menyukai