Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENGEMBANGAN BAHASA ANAK USIA DINI

“Penerapan Literasi Reseptif pada Anak”

Dosen Pengampu
Dr. Tadkiroatun Mushfiroh S.Pd., M.Hum.

Disusun Oleh

1. Husnul Khotimah (20717251003)


2. Umi Setyaningsih (20717251028)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PASCASARJANA


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun
dan menyelsaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
membahas tentang Penerapan Literasi Reseptif pada Anak. Makalah ini
disajikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Bahasa Anak
Usia Dini. Makalah disusun berdasarkan referensi terkait dari berbagai
sumber yang relavan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan semangat kelompok kami dan usaha akhirnya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, September 2021

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................................8
C. Tujuan .......................................................................................................8
BAB II ISI
A. Literasi Reseptif AUD...............................................................................9
1. Konsep Literasi AUD..........................................................................9
2. Prinsip Pembelajaran Literasi Pada AUD........................................11
3. Penataan Lingkungan Pembelajaran
Keterampilan Dasar Bahasa.............................................................11
4. Konsep Reseptif AUD.........................................................................13
5. Aspek Keterampilan Bahasa Reseptif AUD.....................................13
B. Penerapan Literasi Reseptif AUD...........................................................17
1. Teknik Pengembangan Bahasa Reseptif AUD.................................18
a. Metode Permainan Bahasa..........................................................18
b. Metode Mengucapkan Syair........................................................18
2. Penerapan Pembelajaran Literasi pada AUD..................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia tumbuh dan berkembang di berbagai aspek yakni, perkembangan fisik
(tubuh, otak, sensorik, dan keterampilan motoric), perkembangan social emosional,
perkembangan kognitif atau intelegensi (belajar, mememori, menalar, berpikir, dan
bahasa) (Papalia, 2015). Tumbuh dan kembang manusia berupa meningkatkan
kuantitas dan kualitas individu. Salah satu aspek perkembangan tersebut yakni
perkembangan bahasa. Bahasa merupakan hal penting di dalam kehidupan manusia
sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain. Bahasa
adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
yang oleh alat ucap manusia (Arnianti, 2019: 140). Dengan adanya bahasa, manusia
mampu mengungkapkan ide, pikiran, perasaan atau informasi kepada orang lain.
Bahasa dipergunakan pada sebagian besar aktivitas manusia, berupa bahasa manusia
tidak dapat mengungkapkan perasaanya, menyampaikan keinginan, memberikan saran
dan pendapat, bahkan sampai tingkat pemikiran seseorang yang berkaitan dengan
bahasa. Semakin tinggi tingkat penguasaan bahasa seseorang, semakin baik pula
penggunaan bahasa dalam berkomunikasi dan memaksimalkan potensi yang ada
dalam diri individu. Dengan penguasaan bahasa maka dapat memaksimalkan aspek
perkembangan yang lain, seperti kognitif, linguistic, social emosional (McIntyre et al.,
2017: 1).
Kebutuhan akan penggunaan bahasa tidak hanya diperlukan bagi aktivitas
individu dewasa, namun bahasa digunakan juga bagi anak usia dini atau usia 0-6
tahun. Pada masa ini jutaan sel-sel otak anak memiliki perkembangan besar untuk
mencapai dan mendapatkan informasi tentang aspek perkembangannya (Amer Hasan,
Marilou Hyson, 2013: 20). Anak usia dini memiliki kemampuan pesat dalam belajar,
biasa disebut sebagai pembelajar ulung atau golden age. Golden age atau masa keemas
an ini menjadi fondasi dan tonggak bagi tumbuh dan kembang manusia yang
dipengaruhi oleh pengalaman belajar (Rusniah, 2017: 116). Pada usia ini merupakan
masa yang tepat bagi manusia untuk mempelajari bahasa karena perkembangan bahasa
anak terjadi pada 5 tahun pertama saat perkembangan otaknya sangat pesat terjadi [1]
(McIntyre et al., 2017: 1). Schickedanz, A.J. (2013) pentingnya mendedeteksi awal
kemampuan literasi anak usia dini akan memberikan informasi terkait kesulitan
membaca dan menulis. Hal senada dari penelitian Reese (2000) ditemukan bahwa
pengalaman anak berinteraksi dengan literasi sejak dini akan menyiapkan anak secara
matang untuk mengikuti pembelajaran di sekolah formal. Lebih lanjut dalam
4
penelitian [1] Reese, L. (2014) menge-mukakan tindakan intervensi awal
perkembangan literasi terhadap kemampuan bahasa anak terutama berkaitan dengan
kemampuan penamaan gambar, bersajak/puisi dan kosa kata pada keluarga yang
bepenghasilan rendah mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan anak
selanjutnya. Intervensi awal yang dilakukan oleh guru maupun orang tua yang
sebenarnya, membantu anak dalam mengembangkan kemampuan literasi dan bahkan
sebagai media untuk mendiagnosis kesulitan anak terkait kemampuan literasinya.
Penelitian [1] Kern, R. (2000), memberikan gambaran bahwa kemampuan
membaca yang baik akan meningkatkan konsep diri anak, yang pada akhirnya akan
memotivasi mereka untuk belajar. Selanjutnya, ditemukan kebiasaan membaca yang
baik dan ada kontinyuitas keterlibatan dengan aktivitas membaca akan menentukan
keberhasilan anak mendapatkan pengetahuan. [1] Joyce, Weil & Chalhoun (2011)
mengemukakan bahwa anak usia dini perlu belajar membangun budaya literasi atau
bahasa secara alamiah. Dengan demikian periode literasi anak mulai dari lahir sampai
dengan usia enam tahun. Pada periode tersebut anak-anak memperoleh pengetahuan
tentang membaca dan menulis tidak melalui pengajaran, tetapi melalui perilaku yang
sederhana dengan mengamati dan berpartisipasi pada aktivitas yang berkaitan dengan
literasi. Dengan mengamati orang yang melakukan aktivitas literasi dan berpartisipasi
dengan aktivitas tersebut maka anak akan memperoleh kemampuan yang merupakan
prasyarat penting untuk mengembangkan membaca konvensional. [1] Depdiknas RI,
(2004) menegaskan bahwa membaca nyaring memiliki pengaruh positif lain, seperti
mempererat hubungan kasih sayang orang tua dan anak, mengenalkan anak pada
bahasa lisan dan tulis, meningkatkan kemampuan berbahasa anak, membuat anak
menikmati dunia belajar sebagai hiburan, dan sekaligus memperluas wawasan dan
pengetahuan mereka.
Para orang tua memberi perhatian lebih terhadap perkembangan bahasa awal
seperti ketika anak sudah mampu merespon atau mengucapkan kata pertama. Pada
anak usia dini, kemampuan bahasa memiliki tingkat kemudahan dalam menerima dan
memahami terhadap pemerolehan pengetahuan yang baru dibandingkan dengan
perkembangan logika, dikarenakan salah satu karakteristik anak adalah meniru
sehingga ketika orang dewasa berbicara, anak akan mengamati bagaimana pelafalan
dari kata-kata tersebut (Alam & Lestari, 2019: 275). Anak usia dini memiliki paling
banyak periode sensitif untuk memperoleh aspek tumbuh kembang dan mereka perlu
dibantu dan dirangsang tumbuh dan kembangnya (Clarissa & Zulfikar, 2018: 276).
Rangsangan penting diberikan kepada anak-anak karena cara belajar anak yakni
memahami, meniru, dan dengan sengaja menyebutkan semua yang ada di dalamnya
sekitarnya menjadi kata-kata. Anak dapat melakukan kesalahan dalam pengembangan
5
bahasa. Kesalahannya seperti pengucapan, urutan kata, struktur (Fitriani, S., 2019:
130). Pada saat memasuki usia sekolah perkembangan bahasa anak usia dini menjadi
focus perkembangan bersama guru, dengan kisaran usia 3-6 tahun. Usia 3 tahun
dianggap sebagai periode paling cepat pertumbuhan bahasa. Pada usia anak di
pendidikan anak usia dini (PAUD) atau 3-6 tahun, perkembangan bahasa menjadi
perkembangan yang sangat dinantikan seperti kemampuan anak dalam membaca dan
menulis. Kedua hal tersebut merupakan kemampuan dalam berbahasa yang
membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, dalam proses penguasaan dan
perkembangan bahasa, anak-anak membutuhkan bimbingan dan lingkungan yang baik
sebagai salah satu faktor penting. Ini karena mereka adalah peniru bahasa yang hebat
yang berbicara di sekitar mereka. Aktivitas anak dalam mengamati bahasa sangat
intens dan perlunya pengalaman penginderaan pendengaran yang aktif. Pemerolehan
dan pemahaman bahasa yang melalui indera pendengaran adalah bahasa reseptif.
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami kata dan bahasa melibatkan
perolehan informasi dan makna dari aktifitas sehari-hari (misalnya kita telah
menyelesaikan sarapan kita, selanjutnya saatnya berpakaian, informasi visual dalam
lingkungan (misalnya ibu memegang kuncinya berarti kita akan naik mobil, lampu
hijau berarti pergi), suara dan kata-kata (misalnya sirene artinya mobil pemadam
kebakaran akan datang, kata bola berarti benda bulat yang melenting bermain dengan),
konsep seperti ukuran, bentuk, warna dan waktu, tata bahasa (misalnya jamak biasa:
cat / s, regular past tense: fetch / ed) dan informasi tertulis (mis. tanda-tanda di
lingkungan seperti "tidak memanjat", cerita tertulis). Sehingga, bahasa reseptif
diperoleh dari pengalaman belajar anak yang menghubungkan lambang bahasa yang
diperolehnya melalui pendengaran dan pengamatan yang bertujuan untuk memahami
mimic dan nada suara yang kemudian mengerti arti kata (Kid Sense Child
Development, 2013). Kemampuan bahasa reseptif pada anak juga terdapat dalam
Permendikbud No 137 Tahun 2014 dalam lampiran I mencantumkan beberapa poin
lingkup perkembangan yaitu: (1) memahami beberapa perintah secara bersamaan; (2)
mengulang kalimat yang lebih kompleks; (3) memahami aturan dalam suatu
permainan; dan (4) senang dan menghargai bacaan (Permendikbud, 2014).
Kemampuan bahasa reseptif membuat anak dapat memahami kata-kata, kalimat, cerita
dan peraturan. Sebagaimana fungsi bahasa yaitu sebagai alat untuk menyatakan
perasaan dan buah pikiran kepada orang lain (Susanto, 2016). Bahasa reseptif menjadi
sangat penting karena adanya pemahaman bahasa sehingga komunikasi berhasil. Anak
usia dini emmahami bahasa menjadi dasar baginya untuk belajar kepada tahap
perkembangan bahasa berikutnya seperti membaca dan menulis sebagai alat belajar
serta beraktivitas. Kesulitan dalam bahasa reseptif ini dapat menyebabkan kesulitan
6
perhatian dan mendengarkan bahkan masalah perilaku, seperti dalam kegiatan belajar
dan beraktivitas karena anak belum mampu menanggapi pertanyaan dan permintaan
dengan tepat. Penelitian Ersan (2020;4) menyimpulkan bahwa kemampuan bahasa
reseptif anak meningkat maka tingkat agresi fisik dan relasinya akan menurun.
Sebagian besar aktivitas memerlukan pemahaman bahasa yang baik, hal ini juga dapat
mempersulit anak usia dini untuk mengakses kurikulum atau terlibat dalam kegiatan
dan tugas akademis di pendidikan anak usia dini (PAUD). Dalam usaha meningkatkan
kemampuan bahasa reseptif anak usia dini, perlu memiliki bimbingan dan aktifitas
mendukung. Aktifitas mendukung perkembangan bahasa reseptif dapat dilakukan di
lingkungan terdekat anak seperti rumah atau pendidikan anak usia dini (jika sudah
bersekolah). Rumah atau keluarga di dalamnya memiliki peranan penting dalam
meningkatankan bahasa reseptif. Dikarenakan salah satu karakteristik anak adalah
meniru sehingga ketika orang dewasa berbicara, anak akan mengamati bagaimana
pelafalannya (Alam & Lestari, 2019: 275). Bahasa yang pertama kali didengar oleh
anak adalah bahasa ibu dan aktivitas harian anak akan mengamati kebiasaan ibu.
Budaya literasi dini seperti di negara barat contohnya membacakan dongeng sebelum
tidur, berbagi cerita bersama, story telling merupakan kegiatan yang sangat baik untuk
kebutuhan peningkatan bahasa reseptif anak (Nichola&Indy, 2010:15). Berbeda
dengan di Indonesia, kegiatan seperti membacakan dongeng, berbagi cerita, dan story
telling cenderung hanya dilakukan pada saat anak usia dini berada di sekolah.
Sedangkan, aktifitas di sekolah sangat terbatas dan keintiman yang minim karena ratio
anak didik dan guru yang terbatas. Penelitian mengenai perkembangan anak di
Indonesia oleh Lim (2013: 6), membuktikan bahwa pengalaman seperti membaca
buku, bercerita, atau mencoret-coret kertas menjadi aktivitas yang jarang dilakukan
anak usia 4 tahun Indonesia di rumah dengan prosentase 17% saja. Reseptif anak usia
dini di Indonesia juga terkait dengan pemerolehan bahasa dari fonologi, yakni anak
usia dini di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dalam karena bahasa Indonesia
kebanyakan katanya polisilabik (Chairunnisa, 2018: 129). Hal tersebut menyebabkan
anak perlu untuk menganalisis kata terlebih dahulu baru menentukan suku mana yang
akan diambil. Prosentase literasi dan kecenderungan sulitnya pemerolehan bahasa
Indonesia pada anak usia dini menjadi salah satu dorongan agar dalam pengguasaan
bahasa Bahasa pada anak usia dini perlu diberikan lebih maksimal, dengan lebih
mengoptimalakan faktor stimulus bahasa reseptif pada anak usia dini. Faktor-faktor
inilah yang kemudian menjadi jembatan agar perkembangan bahasa, khususnya
bahasa reseptif pada anak usia pra sekolah atau usia 3-6 tahun
Pengembangan bahasa memungkinkan anak belajar memahami dan mengontrol
diri sendiri. Ketika anak belajar berbicara, secara tidak disengaja mereka
7
mengembangkan pengetahuan tentang sistem fonologi, sintaksis, semantik dan sistem
pragmatik (Tompkins, 1991 :8; Jalongo, 1992: 12). Pengetahuan tersebut, Ellis
(1989:79) menyebutnya sebagai elemen bahasa. Pengetahuan ini, dapat dikembangkan
oleh anak dalam kehidupan di lingkungannya, baik di rumah, dalam kehidupan
bermain, dan si sekolah. dalam kehidupan di sekolah, pengetahuan guru tentang
bahasa anak berguna untuk kepentingan perencanaan, pelaksanaan, dan dalam evaluasi
pembelajaran. Dengan demikian guru hendaklah memiliki pengetahuan yang luas
tentang perkembangan bahasa anak dan cara mengembangkannya, agar kelak mereka
memiliki keterampilan berbahasa yang benar dan baik, baik dalam mendengarkan,
berbicara, membaca, maupun menulis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep literasi Anak Usia Dini?
2. Bagaimana Prinsip Pembelajaran Literasi Pada AUD (Anak Usia Dini)?
3. Bagaimana Penataan Lingkungan Pembelajaran
Keterampilan Dasar Bahasa?
4. Bagaimana konsep Reseptif Anak Usia Dini?
5. Bagaimana Aspek Keterampilan Bahasa Reseptif AUD?
6. Bagaimana Penerapan Literasi Reseptif Anak Usia Dini?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep Literasi Anak Usia Dini
2. Untuk Mengetahui Prinsip Pembelajaran Literasi Pada AUD (Anak Usia Dini)
3. Untuk mengetahui Penataan Lingkungan Pembelajaran Keterampilan Dasar
Bahasa
4. Untuk Mengetahui Konsep Reseptif Anak Usia Dini
5. Untuk Mengetahui Aspek Keterampilan Bahasa Reseptif AUD
6. Penerapan Literasi Reseptif Anak Usia Dini.

8
BAB II
PEMBAHASAN

A. Literasi dan Reseptif Anak Usia Dini


1. Konsep Literasi
Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya Literacy berasal dari bahasa Latin
littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan
dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Kendatipun demikian, literasi
utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Lebih
lanjut Literasi merupakan kemampuan yang terkait dengan kemampuan membaca,
menulis, menyimak dan berbicara. Sependapat yang disampaikan oleh [2]
Whitehead (2004) mengemukakan bahwa literasi anak usia dini merupakan
kemampuan yang berkaitan dengan membaca, menulis, menyimak dan berbicara.
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis, atau melek
aksara [2] (Cristianti, 2013). Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang
sangat luas. Literasi dapat berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan
peka terhadap lingkungan sekitar. [2] Subiyantoro (2012) mendefinisikan literasi
kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi
tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga mendatangkan
manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru dapat dikatakan literat jika ia
sudah dapat memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu
berdasarkan pemahaman bacaannya. [2] Justice, L.M. (2002) mengatakan bahwa
periode literasi anak mulai dari lahir sampai dengan usia enam tahun.
Pada periode tersebut anak-anak usia dini memperoleh pengetahuan tentang
membaca dan menulis tidak melalui pengajaran, tetapi melalui perilaku yang
sederhana dengan mengamati dan berpartisipasi pada aktivitas yang berkaitan
dengan literasi. Pengajaran formal tidak selalu diperlukan untuk mengembangkan
literasi sederhana. Dengan mengamati orang yang melakukan aktivitas literasi dan
berpartisipasi dengan aktivitas tersebut maka anak usia dini akan memperoleh
kemampuan yang merupakan prasyarat penting untuk mengembangkan membaca
konvensional. [2] Nutbrown & Claugh (2015) mengemukakan bahwa pengenalan
literasi bagi anak anak usia dini (AUD) mulai dikembangakan. Sebagai contoh di
Inggris sejak tahun 1980-an karena para guru dan peneliti melihat jika pentingnya
mengenalkan atau membelajarkan literasi membaca dan menulis bagi anak usia
9
dini (AUD). Senada yang disampaikan oleh [2] Subiyantoro (2012), pengenalan
budaya literasi anak pada dasarnya ia akan menginternalisasikan sistem kaidah
yang berhubungan dengan bunyi dan makna secara khusus dan anak memperoleh
kemampuan literasi dengan cara yang sangat menakjubkan. Lebih lanjut [2]
Morrison (2012) mengemukakan bahwa, penguasaan bahasa adalah pembawaan
lahir pada semua anak usia dini tanpa memandang budaya dan agamnya. Artinya
bahwa sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun anak usia dini sudah mempunyai
kemampuan dalam literasi, meskipun tidak belajar secara khusus tetapi anak
belajar bahasa melalui interaksi dengan lingkungan dimana anak tinggal. [2]
Whitehead M, (2004) anak usia dini memiliki pengalaman literasi sebelum mereka
pergi ke sekolah dan apa yang mereka ketahui tentang keaksaraan sangat penting
bagi perkembangan mereka. Anak belajar aksaraan pertama kali didapat dari
rumah mereka masing-masing melalui interaksi dengan orang tua dan dengan cara
yang menyenangkan tanpa adanya intimidasi. Gambaran lingkungan keluarga dan
lingkungan sekolah yang kondusif menstimulasi kemampuan literasi anak
mengenai kemampuan mambaca dan menulis [2] Nutbrown & Claugh (2015).
Kemampuan literasi awal anak adalah suatu proses kemampuan yang dimulai pada
saat lahir dan terus berkembangn selama masa hidup. Anak-anak mempelajari
literasi dengan cara yang sangat menakjubkan. [2] Morrison (2013)
mengemukakan bahwa, penguasaan bahasa adalah pembawaan lahir pada semua
anak tanpa memandang budaya dan agamnya. Mencermati uraian dan pendapat
para ahli di atas dapat dikatakan bahwa literasi anak usia dini adalah kemampuan
yang dimiliki oleh anak terkait dengan kemampuan membaca dan menulis.
Pengenalan literasi anak usia dini adalah suatu proses aktivitas yang
memperkenalkan kemampuan membaca, menulis pada anak usia dini; tanpa
adanya unsur intimidasi bagi anak untuk mengetahui secara sempurna seperti
orang dewasa tetapi membelajarkan lietrasi tersebut sesuai dengan usia atau fase-
fase perkembangannya. Pengenalan literasi awal pada anak usia dini dilakukan
dengan cara yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa jenuh, untuk
membelajarkan sesuatu hal yang bermakna bagi eksistensinya.
2. Prinsip Pembelajaran Literasi Pada AUD (Anak Usia Dini)
[2] Kern (2000), terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi diantarannya yaitu: (1)
literasi melibatkan interpretasi; pembicara dan pembaca atau pendengar
berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni penulis menginterpretasikan dunia
(peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca atu
pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/pembicara dalam
bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia; (2) literasi melibatkan kolaborasi; yaitu
10
terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/pembicara dan
pembaca/pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu
pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus
ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman
mereka terhadap pembaca/pendengarnya. Sementara pembaca/pendengar
mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat
teks penulis bermakna; (3) literasi melibatkan konvensi; yaitu orang-orang
membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh
konvensi/kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui
penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini
mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis; (4) literasi melibatkan
pengetahuan kultural; karena membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara
berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai
tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu
rentan/beresiko salah/keliru dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem
budaya tersebut (5) literasi melibatkan pemecahan masalah; karena kata-kata
selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka
tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya
membayangkan hubunganhubungan di antara kata-kata, frase-frase, kalimat-
kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan dunia-dunia. Upaya membayangkan,
memikirkan, mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah;
(6) literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri; pembaca/pendengar dan
penulis/pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia
dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka
memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan
mengapa mengatakan hal tersebut; (7) literasi melibatkan penggunaan bahasa;
yaitu literasi tidaklah sebatas pada sistem- sistem bahasa (lisan/tertulis) melaikan
mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam
konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana atau dialog.
3. Penataan Lingkungan Pembelajaran Keterampilan Dasar Bahasa

Penataan lingkungan pembelajaran sangat berpengaruh terhadap proses


pembelajaran keterampilan dasar bahasa anak usia dini. Pentingnya penataan
lingkungan bagi optimalisasi pembelajaran diungkapkan oleh Anziano dalam
Ritayanti (2008: 59), yang menyatakan “The design of indoor and outdoor spaces
and choices of materials and equipment encourages or restricts children
experience, affecting behavior, and even their emotion”. Menurut Anziano,

11
penataan ruang kelas atau di luar kelas dan pilihan benda-benda atau perlengkapan
dapat mengembangkan, serta membatasi pengalaman anak, perilaku, bahkan emosi
anak. Oleh karenanya, Anziano menyarankan agar orang tua atau guru
memberikan fasilitas dan perlengkapan yang memadai pada anak dengan berbagai
pilihan benda-benda mainan yang beragam dan bervariasi baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Kelengkapan mainan dan pilihan benda-benda yang
beragam tersebut dapat mengembangkan bakat, pengalaman, perilaku, dan bahkan
emosi anak-anak.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dodge (1998: 15), yang menyatakan “...
young children learn by actively exploring and interacting with their physical
environment. A well-organized and rich environment enhances learning and
growth”. Dodge menggambarkan bahwa anak-anak belajar melalui eksplorasi dan
interaksi dengan lingkungannya, dalam rangka memperkaya pengalaman dan
kelompok besar. Hal tersebut dipertegas menurut Kostelnik (1999: 151) yang
menyatakan, Learning centers in early childhood setting have proven to be an apt
and responssive vehicle for meeting the need of young children. Centers are
carefully designed areas that contain planned learning activities and materials
drawn from the program's basic skills curriculum and from the themes being
taught. Because they offer choice to children, the difficulties usually connected to
development and experimental differences are minimize. Centers enable youngest
to take charge of their own work. Menurut Beaty (1996: 52), sentra pembelajaran
yang ideal terdiri dari sentra balok, sentra buku atau perpustakaan, sentra
permainan drama, sentra matematika, sentra seni dan kerajinan tangan, sentra
motorik, sentra musik, sentra sains, sentra menulis, sentra komputer, sentra pasir,
sentra memasak, dan sentra pertukangan.
Penataan at-alat permaianan yang dapat dijangkau oleh anak dapat
menumbuh kembangkan kemandirian dan perasaan kompeten pada diri anak
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kostelnik (1999:151), yaitu sebagai berikut.
When materials are accessible and children have been taught how to use and taste
care of them, the children are able to use them to investigate, express their ideas,
experiment, and construct representation. At the same time, independence and a
sense of competent are valued outcomes. On the other hands, when resources are
not a valuable, children wait for the adults to make all of the plans and decisions
before engaging in learning activities, dependences of actions and taught may be
undesired consequences of such physical organization of space. Berkenaan
dengan penataan alat permainan ini, Gestwicki (2007: 137), juga
merekomendasikan agar guru memberi label pada tempat alat-alat permainan yang
12
disiapkan. Pemberian label pada tempat untuk meletakkan alatalat permainan
dapat mendorong tumbuhnya tanggung jawab pada diri anak, sebagaimana
pernyataannya berikut ini. Centers are labeled so children can read the choices.
Labels are at child eye level, and include both a picture representation and print in
English and the children home language. Teachers create pictures or shape makers
on shelves
4. Konsep Bahasa Reseptif
Perkembangan bahasa reseptif merupakan proses yang kompleks. Bahasa reseptif
yakni kemampuan awal dalam penguasaan bahasa yakni mengerti dan dimengerti,
menerima dan mengkode atau menafsirkan bahasa dengan menyimak symbol
visual maupun verbal, seperti kegiatan membaca dan menyimak yang merupakan
kemampuan pemahaman. Kemampuan dalam saling mengenal dan merespon
seseorang terhadap suatu kejadian juga merupakan bahasa reseptif (Aulina, 2012;
Indah, 2011;McIntyre et al., 2017). Sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI No. 137 tahun 2014 mengenai bahasa reseptif yakni
mencakup kemampuan memahami cerita, perintah, aturan, menyenangi dan
menghargai bacaan. Reseptif secara harfiah bahasa Indonesia memiliki arti
menerima, terbuka, menerima pendapat (KBBI, 2020). Sehingga, bahasa reseptif
adalah kemampuan menerima dan memahami symbol bahasa, baik secara verbal
maupun non verbal. Bahasa reseptif dan ekspresif memiliki kecepatan yang
berbeda, seperti menulis memerlukan waktu yang lama dibanding kemampuan
bahasa reseptif. Contoh bahasa reseptif yakni mendengarkan dan membaca suatu
informasi merupakan kemampuan perkembangan yang lebih dulu dimiliki
manusia. Sebelum anak mulai memproduksi bahasa, anak belajar mengenali suara
manusia. Kemudian anak mulai menyegmentasikan dan mengasosiasikan makna
dari suara yang didengar dari lingkungan anak. Keterampilan pemahaman dan
menyusun dasar bersosialisasi di lingkungan dan membantu kegiatan belajar pada
anak dan mempengaruhi kemampuan pada aspek perkembangan lain seperti
potensi perkembangan anak berupa kognitif, sosial Bahasa. Bahasa reseptif juga
terdapat pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini,
Tingkat Pencapaian Perkembangan Bahasa pada setiap tingkat usia
(Permendikbud, 2014). Standar ini bukan merupakan standar yang mutlak bagi
perkembangan anak namun dapat menjadi acuan apabila menilai sejauh mana
tingkat perkembangan dan melihat apakah terjadi suatu keterlambatan dalam
perkembangan anak berdasarkan tingkatan usia perkembangan. Tingkatan usia
yang terdapat dalam standar pencapaian anak usia dini ini juga mendefinisikan
13
bahwa di Indonesia anak usia dini merupakan anak yang berada pada usia 0-6
tahun.
5. Aspek Keterampilan Bahasa Reseptif
Albantani (2014), Aspek keterampilan berbahasa reseptif meliputi
mendengarkan/menyimak dan membaca.
1. Menyimak
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan
dalam bentuk reseptif lisan (Tantri, 2018). Menyimak merupakan
aktivitas penggunaan alat pendengaran yang dilakukan dengan
sengaja dan bertujuan untuk memperoleh pesan atau makna dari apa
yang disimak (Khoiriyah, 2019). Menyimak adalah mendengarkan
lambang-lambang bunyi yang dilakukan dengan sengaja dan penuh
perhatian disertai pemahaman, apresiasi, interpretasi, reaksi, dan
evaluasi untuk memperoleh pesan, informasi, menangkap isi, dan
merespon makna yang terkandung di dalamnya (Rosdia, 2014).
Menyimak dapat terjadi dalam 2 situasi yang berbeda, yaitu
secara interaktif dan non-interaktif. Menyimak secara interaktif
terjadi dalam percakapan tatap muka melalui telepon/sejenisnya
dimana komunikasi terjadi secara bergantian antara penutur yang satu
dengan penutur yang lainnya (2 orang/lebih) yang melakukan
aktivitas menyimak dan berbicara sehingga memiliki kesempatan
bertanya guna mendapatkan penjelasan, meminta lawan bicara
mengulang apa yang telah diucapkan/meminta penutur untuk
melambatkan tempo bicaranya.
Menyimak secara non-interaktif berlangsung tanpa ada
penutur yang berhadapan langsung dengan penuturnya. Situasi ini
memiliki kelemahan yaitu tidak dapat meminta penjelasan dari
pembicara, tidak dapat meminta pembicara mengulangi apa yang
diucapkannya, dan tidak dapat meminta pembicaraan diperlambat.
2. Mendengar
Kemampuan mendengarkan merupakan proses pemahaman
secara aktif untuk mendapatkan informasi, dan sikap dari pembicara
yang tujuannya untuk memahami pembicaraan tersebut secara
objektif (Wulan Sari, 2016). Mendengar merupakan suatu proses
fisiologis sementara mendengarkan menyangkut penerimaan
rangsangan. Pengertian menerima di sini menegaskan bahwa
seseorang dalam aktivitas mendengarkan itu berarti menyerap
14
rangsangan yang diterima lalu kemudian memprosesnya dengan cara
tertentu (Martoredjo, 2014).
3. Membaca
Membaca adalah keterampilan reseptif bahasa tulis yang
bertujuan untuk memahami isi bacaan dan maksud penulisnya
(Mulyati, 2008). Membaca merupakan kegiatan yang penting dalam
kehidupan sehari-hari, karena membaca tidak hanya untuk
memperoleh informasi, tetapi berfungsi sebagai alat untuk
memperluas pengetahuan bahasa seseorang (Irdawati, 2017).
Membaca merupakan kegiatan melisankan atau hanya dalam hati
dengan melihat tulisan pada sebuah teks bacaan (Khotimah,
Djuanda, & Kurnia, 2016). Membaca merupakan kegiatan berbahasa
yang dilakukan dalam bentuk reseptif tulis. Keterampilan membaca
merupakan modal dasar yang sangat krusial untuk menunjang
keberhasilan belajar siswa. Kurang terampilnya siswa dalam
membaca dapat menyebabkan terhambatnya siswa untuk mempelajari
bidang studi lain.
Membaca dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu membaca
permulaan dan membaca lanjut. Membaca permulaan adalah tahap
awal dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal
simbol-simbol atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf,
sehingga menjadi pondasi agar dapat melanjutkan ke tahap membaca
lanjut (Dalwadi, 2002). Sedangkan membaca lanjut adalah anak tidak
sekedar mengenal simbol atau tanda-tanda tapi sudah mulai
mempergunakannya untuk membaca kata atau kalimat sehingga anak
memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995).
Pada tahap membaca permulaan anak lebih diarahkan kepada
membaca huruf atau kata (Shodiq, 1996). Tahap membaca permulaan
dilakukan pada masa peka yaitu usia enam atau tujuh tahun bagi anak
normal dan sembilan tahun bagi anak tunagrahita. Tahap membaca
permulaan merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya
kemampuan membaca tanpa teks yaitu membaca dengan cara
menceritakan gambar situasional yang tersedia.

15
16
B. Penerapan Literasi Reseptif pada Anak
1. Teknik Pengembangan Bahasa Reseptif dan Produktif pada Anak
Usia Dini
Banyak cara yang dapat dilakukan guru, agar anak dapat
mengembangkan kelerampilan bahasanya baik secara reseptif
(menyimak dan membaca) maupun produklif (berbicara dan menulis).
Unluk itu perlu diingat kemampuan yang diharapkan dapal dicapai,
seperti yang dituangkan dalam [2] GPPPSS-TK (Oepdiknas, 2002). Hal-
hal tersebut adalah: (I) menirukan kembali urulan angka, urulan kala, (2)
mengikuli beberapa perinlah sekaligus, (3) menjawab pertanyaan, (4)
menyanyikan lagu dan mengucapkan sajak, (5) mengenalkan kala tunjuk
yang mengarah ke suatu tempat, (6) memperagakan gerakan
sederhanadalam kehidupan anak seharihari, (7) menceritakan tentang
keJadian di sekilar anak secara sederhana, (8) menjawab pertanyaan
sederhana dan cerita pendek yang disampaikan guru, (9) menceritakan
kembali secara sederhana cerila pendek yang telah disampaikan guru,
(10) memberikan informasi tentang sesuatu hal, (1J) memberi batasan
tentang kata atau benda, (12) mengurutkan dan menceritakan isi gambar,
(13) melengkapi kalimat sederhana, (14) melanjutkan cerita/sajak/lagu
yang sudah dimulai guru, (15) menyebutkan sebanyak-banyaknya nama
benda, binatang, tanaman yang mempunyai wama, bentuk, atau menurut
ciri-ciri sifat tertentu, (16) menyebutkari sebanyak-banyaknya kegunaan
dari suatu benda, (17) membayangkan akibat dari suatu kejadian yang
belum tentu terjadi, (18) menceritakan gambar yang telah disediakan,
(19) menceritakan gambar yang dibuat sendiri, (20) mengekspresikan
diri melalui dramatisasi, (21) mengucapkan suku kata dalam nyanyian,
(22) mengenalkan hurufawal dari kata yang bermakna, (23)
mengenalkan bunyi hurufakhir dari kata yang bermakna, (24) membuat

17
kata dari suku kata awal yang disediakan dalam bentuk lisan, (25)
mengenalkan lawan kata, dan (26) menggunakan kata ganti "aku" atau
Berdasarkan kemampuan yang ingin dicapai tersebut, dalam praktiknya
guru hendaklah memperhatikan pemilihan metode yang tepat. Beberapa
metode yang dimaksud adalah (I) bercerita, (2) permainan bahasa, (3)
sandiwara boneka, (4) bercakap-cakap, (5) tanya jawab, (6) dramatisasi,
(7) mengucapkan syair, (8) bermain peran, dan (9) karya wisata [2]
(Depdikbud,1996).
Melalui metode ini, diharapkan guru mampu menumbuh kembangkan
kemampuan berbahasa anak. Berikut dicontohkan dua metode
"permainan bahasa" dan "metode mengucap syair" yang dipilih dari
(Hastuti, 1999).
a. Metode Permainan Bahasa
Dalam kegiatan ini, anak diminta menebak dengan menjawab secara
cepat nama anak binatang yang disebutkan guru. Dengan cara adu cepat
dalam menjawab pertanyaan, mereka menyebut dan menjawab
pertanyaan guru dengan bebas. Guru kemudian menyampaikan
tebakannya melalui cerita, selanjutnya anak-anak menjawabnya secara
bersahut-sahutan. Dengan sebutan nama yang diminta guru itulah anak
mengenal dan mengembangkan bahasanya secara nyata. Kegiatan ini
akan lebih bagus lagi jika guru menunjukkan alat peraga sambil
menirukan nama atau suara dari yang ditanyakan atau di contohkan
dalam tebak-tebakan tersebut. Tebak-tebakan ini dapat memberikan nilai
positifbagi anak, selain mengembangkan bahasanya, juga dapat
memancing anak untuk mengembangkan daya kognitif: kreativitas,
emosi, dan sosialnya.
b. Metode Mengucapkan Syair
Mengucapkan syair adalah salah satu bentuk kegiatan belajar pada AUD
yang lebih ditekankan pada pengembangan bahasa, khususnya pada
upaya menumbuhkan kesiapan membaca dan keberanian tampil

18
berbicara. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kesadaran tonologis,
yakni melalui kegiatan bemyanyi atau pun berdeklamasi. Kesadaran
fonologis merupakan sensitivitas seseorang akan struktur bunyi dari
kata-kata yang diucapkan dalam bahasa seseorang [2] (Torgessen, ctkk
melalui Ayriza 2001). Selanjumya'dinyatakan Ayriza dalam makalahnya
bahwa, anak yang mempunyai kesadaran fonologis yang tinggi akan
menyadari bahwa antara "makan" dan "bukan"mempunyai silabel akhir
yang bunyinya sarna. Pada tingkatan yang lebih tinggi, anak akan dapat
menyadari bahwa bunyi / kani merupakan kesatuan bunyi dari fonem
/k/, fa! , dan fni secara berurutan. Dicontohkan Ayriza lagu bersilabel
yang dapat dikenalkan pada anak tersebut misalnya lagu "Satu-satu Aku
Sayang Ibu". Dua contoh teknik pengembangan bahasa dengan metode
di atas, lebih mengaktifkan kreativitas anak dalam berpikir, bertindak,
berasa, secara alamiah. Untuk itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya
hendaklah dipilih teknik yang tepat agar anak dapat mengembangkan
bahasanya secara maksirnal.
2. Penerapan Pembelajaran Literasi pada Anak Usia Dini
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.23 Tahun 2015
tentang gerakan literasi sekolah (GLS) menetapkan bahwa sekolahan
wajib melakukan kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran
sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk
menumbuh kembangkan minat baca peserta didik serta meningkatkan
keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih
baik.
Berikut ini adalah tahapan Gerakan Literasi Sekolah, yaitu :
a. Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di
ekosistem sekolah. Pembiiasaan ini bertujuan untuk
menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan
membaca dalam diri warga sekolah sekolah. Penumbuhan
minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan

19
kemampuan literasi peserta didik.

b. Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan


literasi. Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan
mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis dan
mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui
kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson &
Krathwol, 2011).
c. Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi. Kegiatan literasi
pada tahap pembelajaran bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan
pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan
komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi teks
buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran (cf, Anderson &
Krathwol, 2011).

Kegiatan rutin ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat


baca peserta didik atau siswa serta dalam rangka meningkatkan
keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih
baik. Materi baca berisi nilai- nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal,
nasional dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan
peserta didik. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melancarkan
proses literasi tersebut, meliputi penciptaan lingkungan yang sering
memfungsikan bahasa dan literasi termasuk lingkungan yang
membiasakan penggunaan tulisan dalam aktivitas, interaksi anatara
anak dan orang dewasa dan dikembangkan kegiatan yang
menyertakan membaca buku bersama.

20
Adapun tahapan dalam pengadaan literasi dasar di perpustakaan,
yakni:

a. Membersihkan ruangan perputakaan agar lebih nyaman ketika


digunakan
b. Merancang tempat untuk ventilasi udara,
keamanan dan kenyamanan anak-anak untuk
membaca
c. Menyediakan jenis koleksi yang menyenangkan agar minat
baca anak tidak berkurang

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reseptif anak usia dini di Indonesia juga terkait dengan pemerolehan
bahasa dari fonologi, yakni anak usia dini di Indonesia membutuhkan
waktu yang lama dalam berbahasa karena bahasa Indonesia kebanyakan
katanya polisilabik (Chairunnisa, 2018: 129). Hal tersebut menyebabkan
anak perlu untuk menganalisis kata terlebih dahulu baru menentukan
suku mana yang akan diambil. Presentase literasi dan kecenderungan
sulitnya pemerolehan bahasa Indonesia pada anak usia dini menjadi salah
satu dorongan agar dalam pengguasaan bahasa Bahasa pada anak usia
dini perlu diberikan lebih maksimal, dengan lebih mengoptimalakan
faktor stimulus bahasa reseptif pada anak usia dini. Faktor-faktor inilah
yang kemudian menjadi jembatan agar perkembangan bahasa, khususnya
bahasa reseptif pada anak usia pra sekolah atau usia 3-6 tahun. Banyak
cara yang dapat dilakukan guru, agar anak dapat mengembangkan
kelerampilan bahasanya baik secara reseptif (menyimak dan membaca)
maupun produklif (berbicara dan menulis). Adapun secara khusus dalam
makalah ini memberikan dua contoh metode dalam penerapan literasi
dan reseptif yang bisa dilakukan untuk Anak Usia Dini adalah Metode
Permainan Bahasa dan Metode Mengucapkan syair dan melakukan
kegiatan gerakan literasi disekolah yaitu : 1) Pembiasaan kegiatan
membaca yang menyenangkan di ekosistem sekolah. 2) Pengembangan
minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi. 3) Pelaksanaan
pembelajaran berbasis literasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

[1] Wartomo. (2017). Membangun Budaya Literasi Sebagai Upaya


Optimalisasi Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini. Yogyakarta.
Universitas PGRI Yogykarta.
[2] Zubaidah, Enny. 2004. Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini dan Teknik
Pengembangan di Sekolah: Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, 3. DOI:
https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.7600
[3] Susanto Ahmad. 2018. Pendidikan Anak Usia Dini (Konsep dan
Teori). Jakarta: Bumi Aksara

[4] Lely Diah Eko Priyantini , 2020. “Pengaruh Kegiatan Iterasi Dan Read

Aloud Terhadap Keterampilan Bahasa Reseptif Anak Usia Dini ”. Tesis.

Semarang : Universitas Negeri Semarang.

[ 5] Dinda Firda, 2020. “Penerapan Pembelajaran Literasi Dasar Dalam


Perkembangan Bahasa Anak Kelompok B Di Tk Harapan Surabaya”
Skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.

23

Anda mungkin juga menyukai