Anda di halaman 1dari 16

PERCOBAAN VII

PENGUJIAN EFEK OBAT ANALGETIK PADA HEWAN

I. Tujuan Percobaan
Tujuan praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat menganalisis efek
analgetik dari parasetamol, ibuprofen, dan antalgin pada hewan uji mencit.

II. Landasan Teori


Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum
yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri, namun analgetika bekerja tanpa menghilangkan
kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis
yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat
seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay, 2007).
Nyeri  adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan
tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan pada tubuh; seperti peradangan,
infeksi-infeksi kuman, dan kejang otot. Sehingga sesungguhnya rasa nyeri
berguna sebagai “alarm” bahwa ada yang salah pada tubuh. Misalnya, saat
seseorang tidak sengaja menginjak pecahan kaca dan kakinya tertusuk, maka ia
akan merasakan rasa nyeri pada kakinya dan segera ia memindahkan kakinya.
Tetapi adakalanya nyeri yang merupakan pertanda ini  dirasakan sangat
menggangu apalagi bila berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya pada
penderita kanker (Mutschler, 1991).
Adanya rangsangan-rangsangan mekanis/kimiawi (kalor/listrik) yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu
yang disebut mediator-mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain: histamin,
serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium.
Zat-zat ini merangsang reseptor-reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir, dan jaringan lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf
pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di
otak besar (rangsangan sebagai nyeri) (Katzung, 1997).
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan
sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak
besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Obat
penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi
ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi
psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Anief, 2000).
A. Analgetika Sentral/Analgetika Narkotika
Analgetik narkotika atau analgetika opiat merupakan golongan obat yang
memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opiat yaitu
menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Analgetik opiat
mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang
terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran
dan  menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini
merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi
nyeri yang hebat (Mutschler, 1991).
B. Analgetika Perifer / Analgetika Non-Narkotika
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
a. Parasetamol
b. Salisilat: asetosal, salisilamida dan benorilat
c. Menghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen, dan lain-lain
d. Derivat-antranilat: mefenaminat, glafenin
e. Derivat-pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon dan metamizol
f. Lainnya: benzidamin (tantum) (Tjay, 2007)

1. Aspirin
Aspirin atau asam asetil salisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari
salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit
atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan antiinflamasi
(peradangan). Asprin juga memiliki efek antikoagulan dan dapat digunakan
dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung.
Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika
terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia.
2. Asam Mefenamat
Asam mefenamat adalah termasuk obat pereda nyeri yang digolongkan
sebagai NSAID (Non Steroidal Antiinflammatory Drugs). Asam mefenamat
biasa digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering
diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi, dan sakit ketika
atau menjelang haid. Seperti juga obat lain, tentunya asam mefenamat dapat
menyebabkan efek samping. Contoh yang sering terjadi adalah merangsang
dan merusak lambung. Sebab itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan
pada pasien yang mengidap gangguan lambung dan sebaiknya diberikan pada
saat lambung tidak dalam kondisi kosong atau setelah makan.

III. Alat dan Bahan


a. Alat
 Sarung tangan
 Masker
 Timbangan
 Batang pengaduk
 Spuit oral
 Stop watch
b. Bahan
 Mencit
 Sirup paracetamol
 Sirup ibuprofen
 Sirup antalgin
 Alkohol 70%
 Aquadest
Cara Kerja
1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Timbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Kelompokkan mencit secara acak ke dalam 4 kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor, dimana
 Kelompok 1 sebagai kontrol, diberikan larutan aquadest
 Kelompok 2 sebagai kelompok parasetamol yang diberikan sirup
paracetamol
 Kelompok 3 sebagai kelompok ibuprofen yang diberikan sirup
ibuprofen Kelompok 4 sebagai kelompok antalgin yang diberikan
sirup antalgin Perlakuan dilakukan dengan dosis 1,0 ml/20 gBB
4. 10 menit setelah pemberian, semua mencit kemudian disuntik secara
intraperitonial dengan larutan asam asetat 1% v/v dengan dosis 75
mg/kgBB .
5. Amati dan catat jumlah geliatan mencit setelah pemberian asam asetat,
geliatan mencit dapat berupa perut kejang dan kaki tertarik ke belakang.
Hitung jumlah geliatan setiap 5 menit selama 60 menit. Geliatan mencit
teramati berupa:
 Torsi pada satu sisi
 Kontraksi otot yang terputus-putus
 Kaki belakang dan kepala tertarik ke arah belakang sehingga
menyentuh dasar ruang yang ditempatinya
 Perhatikan kembali kepala serta kaki belakang ke arah abdomen.
Penyiapan Bahan Percobaan
1. Suspensi Paracetamol
Dosis lazim Paracetamol untuk manusia = 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis lazim x Faktor Konversi
= 500 mg x 0,0026 = 1,3 mg
Untuk mencit dengan berat 20 g = (30 g/ 20g) x 1,3 mg
= 1,95 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat larutan persedian sebanyak = 100 ml
Jumlah parasetamol yang digunakan = (100 ml/0,2 ml) x 1,95 mg
= 975 mg atau 0,975 g
% kadar parasetamol = (0,975 g/100 ml) x 100%
= 0,975%
2. Suspensi Ibuprofen
Dosis lazim ibuprofen untuk manusia = 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis lazim x Faktor Konversi
= 400 mg x 0,0026 = 1,04 mg
Untuk mencit dengan berat 20 g = (30 g/ 20g) x 1,04 mg
= 1,56 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat larutan persedian sebanyak = 100 ml
Jumlah parasetamol yang digunakan = (100 ml/0,2 ml) x 1,56 mg
= 780 mg atau 0,780 g
% kadar ibuprofen = (0,975 g/100 ml) x 100%
= 0,780%
3. Suspensi antalgin
Dosis lazim antalgin untuk manusia = 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis lazim x Faktor Konversi
= 500 mg x 0,0026 = 1,3 mg
Untuk mencit dengan berat 20 g = (30 g/ 20g) x 1,3 mg
= 1,95 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat larutan persedian sebanyak = 100 ml
Jumlah parasetamol yang digunakan = (100 ml/0,2 ml) x 1,95 mg
= 975 mg atau 0,975 g
% kadar antalgin = (0,975 g/100 ml) x 100%
= 0,975%

IV. Hasil
Hasil dari percobaan dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut
Tabel 1. Tabel Data Volume Pemberian Obat pada Mencit
Berat Volume pemberian
Perlakuan Replikasi
badan Peroral
1 22,7 0,151 ml
Parasetamol
2 22,5 0,15 ml
1 20,6 0,137 ml
Ibuprofen
2 21,5 0,143 ml
Antalgin 1 23,7 0,158 ml
Berat Volume pemberian
Perlakuan Replikasi
badan Peroral
2 17,3 0,115 ml
1 24 0,16 ml
Aquadest
2 21,6 0,144 ml

Tabel 2. Volume Pemberian Intraperitonial (Asam Asetat)


Volume pemberian
Kelompok BB (g)
intraperitonial
22,7 1,70 ml
22,5 1,68 ml
20,6 1,54 ml

Asam Asetat 21,5 1,61 ml


23,7 1,77 ml
17,3 1,29 ml
24 1,8 ml
21,6 1,62 ml

Tabel 3. Data Pengamatan Jumlah Geliatan Mencit


No. Jumlah Geliatan Mencit
Perlakuan Jumlah
Mencit 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Air 1 21 10 7 8 10 5 7 4 5 2 2 1 82
(kontrol) 2 27 15 12 11 5 8 3 3 2 2 0 1 89
1 21 22 10 8 12 9 8 7 7 5 6 5 120
Parasetamol
2 7 15 8 5 7 9 5 5 6 8 6 2 83
1 7 6 2 2 1 0 4 3 4 4 6 5 41
Ibuprofen
2 3 8 7 4 8 8 4 2 8 5 3 5 65
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Antalgin
2 7 14 11 9 10 12 11 6 7 6 6 5 104

V. Perhitungan
1. Volume pemberian paracetamol,aquadest ,ibuprofen,dan antalgin
Volume pemberian parasetamol pengulangan 1 = 22,7/30 x 0,2 ml = 0,151 ml
Volume pemberian parasetamol pengulangan 2 = 22,5/30 x 0,2 ml = 0,15 ml
Volume pemberian ibuprofen pengulangan 1 = 20,6/30 x 0,2 ml = 0,137 ml
Volume pemberian ibuprofen pengulangan 2 = 21,5/30 x 0,2 ml = 0,143 ml
Volume pemberian antalgin pengulangan 1 = 23,7/30 x 0,2 ml = 0,158 ml
Volume pemberian antalgin pengulangan 2 = 17,3/30 x 0,2 ml = 0,115 ml
Volume pemberian aquadest pengulangan 1 = 24/30 x 0,2 ml = 0,16 ml
Volume pemberian aquadest pengulangan 2 = 21,6/30 x 0,2 ml = 0,144 ml

2. Volume pemberian intraperitoneal (asam asetat) 1% v/v 75mg/KgBB


75mg/KgBB = 75 mg/1000 g
20 gBB = ...... mg?
75 mg = 1000 g
x = 20 g
x = 75 x 20
1000
x = 1,5 mg = 0,015 gr
1 mg/20gBB
Berapa ml ?

Asetat 1% v/v
1% = 1 gr / 100 ml
1 gr = 100 ml
0,015 gr x
x = 0,015 gr x 100ml
1
x = 1,5 ml

Volume pemberian asam asetat 22,7 BB (g) 22,7/20 x 1,5 ml = 1,70 ml


Volume pemberian asam asetat 22,5 BB (g) 22,5/20 x 1,5 ml = 1,68 ml
Volume pemberian asam asetat 20,6 BB (g) 20,6/20 x 1,5 ml = 1,54 ml
Volume pemberian asam asetat 21,5 BB (g) 21,5/20 x 1,5 ml = 1,61 ml
Volume pemberian asam asetat 23,7 BB (g) 23,7/20 x 1,5 ml = 1,77 ml
Volume pemberian asam asetat 17,3 BB (g) 17,3/20 x 1,5 ml = 1,29 ml
Volume pemberian asam asetat 24 BB (g) 24/20 x 1,5 ml = 1,8 ml
Volume pemberian asam asetat 21,6 BB (g) 21,6/20 x 1,5 ml = 1,62ml

3. %daya analgetik
Data dianalisis dengan menghitung persen daya analgetik dengan rumus:
% daya analgetik = 100 – jumlah geliatan kelompok obat x 100%
Jumlah geliatan kelompok control
• Paracetamol
% daya analgetik = 100 – 101,5 x 100% = - 18,71%
85,5
• Ibuprofen
% daya analgetik = 100 – 53 x 100% = 38,01%
85,5
• Antalgin
% daya anlgetik = 100 – 52,5 x 100 % = 38,59%
85,5

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu Pengujian Efek Analgetika bertujuan untuk
mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgetik
suatu obat, memahami dasar-dasar perbedaan daya analgetik berbagai obat
analgetika, dalam hal ini asam mefenamat dan asam asetil salisilat, dan mampu
memberikan pandangan mengenai kesesuaian khasiat yang dianjurkan untuk
sediaan sediaan farmasi analgetika, dimana akan dilihat dari persen efektivitas
yang diperoleh dari perbandingan persen proteksi zat uji dengan persen proteksi
obat analgetika. Rasa nyeri/sakit pernah diderita oleh hampir setiap orang. Rasa
nyeri/sakit pernah diderita oleh hampir setiap orang. Rasa nyeri adalah gejala
dari banyak penyakit yang penanganannya menggunakan obat analgesik
(penghilang/pengurang rasa nyeri). Nyeri adalah salah satu gejala yang sangat
mengganggu penderita suatu penyakit sehingga di butuhkan terapi secepat
mungkin.
Hal ini memicu terjadinya peningkatan penggunaan obat analgesic secara
swamedikasi (pengobatan sendiri/tanpa konsultasi dokter) yang memiliki korelasi
positif dengan kesalahan penggunaan obat analgesik sehingga reaksi obat yang
tidak dikehendaki (ROTD) juga akan meningkat. Selain itu, penggunaan
obat analgesik hanya menghilangkan gejala nyeri bukan mengobati penyebab
dari penyakitnya sehingga kesalahan mengenali gejala nyeri dari suatu penyakit
serius/berat yang membutuhkan penanganan dokter akan berakibat
fatal(Sulistiyana, C.S., Irawan, 2014).
Dalam perlakuan kali ini digunakan induksi nyeri secara kimiawi yaitu
menggunakan bahan larutan steril Asam Asetat 0,7% yang diberikan secara
peroral. Pada praktikum, pemberian larutan Asam Asetat 0,7% diberikan 30
menit setelah pemberian obat analgetika. Obat analgetika yang digunakan adalah
asam mefenamat dan asetosal atau asam asetil salisilat, hal ini diharapkan agar
obat yang diberikan sudah mengalami absorbsi sehingga Asam Asetat langsung
berefek dan juga untuk mempermudah pengamatan onset dari obat itu.
Pada praktikum kali ini obat-obat analgetik yang diperbandingkan adalah
obat-obat analgetik golongan non narkotik/perifer yaitu, Asetosal dan Asam
Mefenamat. Dengan prinsip percobaan ini menggunakan metode Witkin
(Writhing Tes / Metode Geliat), dengan prinsip yaitu memberikan asam asetat
0,7% (indikator nyeri) kepada mencit yang akan menimbulkan geliat (Writhing),
sehingga dapat diamati respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan
cara menarik abdomen, menarik kaki kebelakang, dan membengkokan kepala ke
belakang. Dengan pemberian obat analgetik (asam mefenamat dan asetosal) akan
mengurangi respon tersebut.
Kelompok kontrol yang digunakan pada percobaan ini adalah PGA, sehingga
hewan percobaan hanya diberikan PGA pada awal percobaan dan penginduksi
asam asetat pada 60 menit setelah pemberian PGA tanpa pemberian sedian
analgesik. Asam asetat 0,7% merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi
dalam tubuh, pemberian sediaan asam asetat 0,7% terhadap hewan percobaan
akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya
kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat
menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti
bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Akibat dari adanya rasa nyeri inilah hewan percobaan akan menggeliatkan kaki
belakangnya saat efek dari penginduksi ini bekerja.
Pemberian sediaan asam asetat 0,7% pada peritonial atau selaput
gastrointestinal hewan memungkinkan sediaan lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh
dan cepat memberikan efek. Selama 5 menit kemudian, setelah diberi larutan
asam asetat 0,7% mencit akan menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki
ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 60 menit.
Kemudian pada kelompok mencit kedua dengan obat analgetik berupa asam
mefenamat diberikan secara peroral dan kelompok mencit ketiga diberikan
asetosal secara peroral.
Kemudian asam asetat 0,7%, disuntikan secara peritonial supaya setelah 30
menit pemberian obat analgetik tersebut telah mengalami proses absorbsi pada
tubuh mencit untuk meredakan nyeri. Pemberian asam asetat 0,7% secara
intraperitonial memungkinkan sediaan lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh, cepat
memberikan efek, mencegah penguraian asam asetat pada jaringan fisiologik
organ tertentu, serta efek merusak jaringan tubuh jika pada organ tertentu.
Misalnya apabila asam asetat 0,7% diberikan peroral, akan merusak saluran
pencernaan, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap
asam. Kemudian dilakukan pengamatan yang sama seperti kelompok kontrol
negatif yaitu diamati geliatnya dihitung tiap 5 menit selama 60 menit. Kemudian
dimasukan dalam tabel dan dihitung % proteksinya dari tiap sediaan analgetika
untuk diperoleh % efektivitasnya.
Pada hewan uji kontrol negatif, yakni dimana hewan uji hanya diberikan zat
penstimulus nyeri dan pelarut dari obat analgesik yang hendak diamati cara
kerjanya tanpa diberikan obat analgesik. Maksud dari kontrol negatif ini adalah
untuk melihat seberapa besar respon nyeri yang dihasilkan pada hewan uji untuk
kemudian sebagai bahan perbandingan dengan hewan uji yang diberi obat
analgesik sehingga dapat dilihat perbedaan yang signifikan antara hewan uji yang
diberi dengan yang tidak diberi obat analgesik dalam hal respon nyeri yang
dihasilkan.
Namun sayangnya terjadi kekeliruan dalam pemberian suspensi PGA secara
peroral kepada mencit pertama ini, kekeliruan ini mengakibatkan hewan uji konrol
negative mati sehingga pengamatan kontrol negatif tidak dapat dilakukan,
akibatnya suatu keadaan pembanding antara hewan yang diberi analgesik dan
yang tidak diberikan analgesik tidak dapat dilihat. Kesalahan ini diakibatkan
kekeliruan dalam menentukan saluran yang dimasuki sonde saat pemberian
suspensi PGA. Seharusnya saluran yang dimasuki sonde adalah saluran
pencernaan dari hewan uji, namun kenyataannya saluran yang dimasuki sonde
adalah saluran pernafasannya sehingga hewan percobaan mengalami kematian
karena saluran pernafasan termasuk paru-paru terisi sejumlah cairan yang pada
fungsi normalnya tak seharusnya dimasuki oleh cairan.
Selanjutnya dilakukan uji untuk efek asam mefenamat pada mencit II. Pada
hewan dan metode uji ini, hewan uji diberikan asam mefenamat sebagai obat
analgesik (pereda nyeri) di samping pemberian zat penginduksi nyeri yaitu asam
asetat. Uji ini dimaksudkan agar dapat dilihat seberapa besar kemampuan cara
kerja dari asam mefenamat dalam menurunkan atau meredakan nyeri pada mencit
berdasarkan hasil perbandingan dengan obat prototipe pada percobaan ini yaitu
asetosal. Mulanya hewan uji ini diberikan asam mefenamat secara peroral, agar
dapat diamati pengaruh atau cara kerja asam mefenamat dalam meredakan nyeri,
maka pada menit ke-30 dilakukan pemberian zat penginduksi nyeri yaitu asam
asetat secara intraperitonial. Asam asetat merupakan asam lemah yang tidak
terkonjugasi dalam tubuh, pemberian sediaan asam asetat terhadap hewan
percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat menimbulkan keadaan
hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. Akibat dari adanya rasa nyeri
inilah hewan percobaan akan menggeliatkan kaki belakangnya saat efek dari
penginduksi ini bekerja. Pemberian sediaan asam asetat pada peritonial atau
selaput gastrointestinal hewan memungkinkan sediaan lebih mudah diabsorbsi
oleh tubuh dan cepat memberikan efek. Setelah diamati, pada 5 sampai 15 menit
pertama setelah pemberian asam asetat, hewan uji menunjukan aktivitas geliat
yang meningkat yaitu 24, 61, dan 74. Akan tetapi setelah 20 menit sampai 60
menit pemberian asam asetat hewan uji memperlihatkan aktivitas geliat semakin
menurun yaitu 57, 50, 39, 30, 34, 42, 20, 10, dan 6 geliat. Secara teoritis
seharusnya pada menit-menit awal hewan uji menunjukkan aktivitas geliat paling
tinggi kemudian terus menurun seiring bertambahnya waktu pengamatan, hal ini
dikarenakan pada awal-awal pemberian asam asetat diberikan yaitu hanya
berjarak 30 menit dari pemberian asam mefenamat, pada saat ini asam mefenamat
belum bekerja atau memberikan efek maksimal sebagai analgesik untuk
meredakan nyeri yang disebabkan asam asetat, sehingga dapat diamati respon
nyeri hewan uji melalui aktivitas geliatnya. Dengan bertambahnya lama
pengamatan, maka efek iritatif dari asam asetat akan semakin berkurang dan efek
analgesik dari asam mefenamat akan mulai bekerja sehingga rasa nyeri dapat
ditekan atau diredakan. Hal ini dapat diamati dengan adanya penurunan aktivitas
geliat pada hewan uji. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil pengamatan pada
15 menit pertama setelah pemberian asam asetat dimana aktivitas geliat terus
mengalami peningkatan dari 5 sampai 15 menit pertama, akan tetapi hasil uji
mulai normal setelah 20 menit pengamatan sampai 60 menit dimana aktivitas
geliat hewan uji terus mengalami penurunan.
Ketidaksesuaian hasil pengamatan pada 5-15 menit pertama dapat disebabkan
karena hewan uji merasakan sakit sehingga hewan uji malas bergerak akibatnya
aktivitas geliat tidak dapat diamati secara tepat, adapun setelahnya diberikan
perlakuan pada hewan uji dengan mendorongnya untuk bergerak sehingga
aktivitas geliat dapat diamati. Adapun jika dibandingkan dengan hasil pengamatan
rata-rata dari tiap kelompok menunjukkan data yang hampir sama dimana pada 20
menit pertama aktivitas geliat hewan uji mengalami peningkatan dan seteleh
menit ke-25 sampai 60 aktivitas geliat menunjukkan penurunan yang menandakan
mulai sesuai dengan yang seharusnya. Sehingga dapat dilihat bahwa rata-rata tiap
kelompok mengalami kendala dan kesalahan yanng sama dalam mengamati
aktivitas geliat hewan uji.
Selanjutnya adalah melakukan pengamatan terhadap daya kerja analgesik dari
obat prototipe yaitu asetosal, pada tahap ini dilakukan uji kontrol positif dimana
hewan uji diberikan zat penginduksi nyeri dan obat pereda nyeri yang standar
sehingga dapat dijadikan bahan perbandingan untuk obat analgesik yang ingin
diketahui tingkat efektivitasnya berdasarkan perbandingannya dengan obat
prototipe ini. Hewan uji ke III ini diberikan asetosal secara peroral kemudian
ditunggu selama 30 menit lalu hewan uji diberikan asam asetat 0,7 % secara
intraperitonial. Sebelum diberikan asam asetat secara intraperitonial, daerah
peritonial hewan uji dibasahi dengan alkohol terlebih dahulu, pemberian ini
dimaksudkan agar memberikan rasa sensasi dingin pada hewan uji, dan zat ini
dapat mengecilkan pori-pori yang pada tujuan akhirnya adalah untuk mengurangi
rasa nyeri pada hewan uji saat dilakukan penyuntikan agar mencit merasa nyaman
dan tidak melakukan perlawanan yang berarti sehingga dosis tepat diberikan.
Kemudian hewan uji diberikan asam asetat 0,7% secara intraperitonial dan
kemudian diamati respon nyeri yang diperlihatkan hewan uji selama 60 menit.
Sama halnya dengan respon yang ditunjukkan oleh hewan uji II, pada hewan uji
III ini pun pada 20 menit pertama waktu pengamatan hewan uji menunjukkan
peningkatan aktivitas geliat yaitu 0, 11, 21, dan 44 geliat. Pada tiap 5 menit
selanjutnya mengalami naik turun yaitu 38, 49, 41, 45, 39 , dan pada 15 menit
terakhir pengamatan hewan uji menunjukkana aktivitas geliat yang semakin
menurun yaitu 31, 20, dan 10 geliat. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan
dari rata-rata tiap kelompok dapat diamati bahwa aktivitas geliat pada hewan uji
juga mengalami peningkatan di 20 menit pertama, setelahnya mengalami naik
turun, dan baru pada 20 menit pengamatan terakhir hewan uji menunjukkan
penurunan aktivitas geliat. Secara teoritis berdasarkan waktu pemberian asam
asetat, seharusnya menit-menit awal pengamatan akan menunjukkan aktivitas
geliat paling tinggi kemudian terus mengalami penurunan seiring dengan telah
habisnya reaksi asam asetat dengan tubuh hewan uji dan mulai bekerjanya
asetosal sebagai analgesik dalam meredakan nyeri yang diakibatkan asam asetat.
Akan tetapi, dari hasil pengamatan diperoleh ketidaksesuaian dimana pada menit-
menit awal aktivitas geliat terus mengalami peningkatan, kemudian aktivitas
geliat mengalami naik turun, dan baru pada menit 20 terakhir menunjukkan
penurunan aktivitas geliat.
Kekeliruan ini dapat diakibatkan karena ketidakcermatan dalam membedakan
dan mengamati respon yang bisa disebut sebagai geliat karena minimnya
pergerakan hewan uji karena rasa sakit yang dirasakannya, selain itu hewan uji
yang tidak dengan jelas menunjukkan geliatnya membuat kekeliruan dalam
menghitung tingkat aktivitas geliat hewan uji. Data-data pengamatan dari tiap
kelompok kemudian dirata-ratakan kemudian rata-rata tersebut dijumlahkan untuk
setiap kelompok hewan uji. Dari jumlah rata-rata tersebut, kemudian dapat
diperoleh nilai % proteksi asam mefenamat dan asetosal yang dibandingkan
jumlah geliat pada kelompok kontrol negatif dan % efektivitas asam mefenamat
berdasarkan perbandingan dengan obat prototipe yaitu asetosal. Dari perhitungan,
grafik, dan tabel di atas diperoleh nilai % proteksi dari asam mefenamat adalah
0,96% dimana nilai ini jauh lebih besar daripada nilai % proteksi asetosal yaitu -
21,34%.
Hal ini tentu saja memberikan gambaran mengenai kekuatan efek analgesik
dari asam mefenamat jauh lebih besar daripada asetosal dimana jumlah geliat
pada hewan uji yang diberi asam mefenamat lebih sedikit geliatnya dibandingkan
dengan hewan uji yang diberikan asetosal. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan yang seharusnya, dimana sebagai obat prototipe seharusnya asetosal
memiliki % proteksi lebih besar daripada zat yang diujikan pada percobaan ini
yaitu asam mefenamat yang dapat dilihat dari jumlah geliat pada hewan uji yang
diberi asetosal seharusnya lebih kecil daripada jumlah geliat pada hewan uji yang
diberikan asam mefenamat Kekeliruan ini dapat diakibatkan karena ketidaktelitian
dan ketidakcermatan praktikan saat memberikan asetosal dimana ada
kemungkinan ketidaktepatan dosis yang diberikan, baik dari ketidakhomogenan
suspensi asetosal yang diberikan dan teknik pemberiannya juga dapat disebabkan
karena ketidakcermatan praktikan dalam mengamati jumlah geliat hewan uji.
Sedangkan % efektivitas asam mefenamat yang diperoleh adalah -4,498%, hal
ini menunjukkan bahwa pemberian asam mefenamat sebagai analgesik tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam meredakan nyeri pada hewan uji
karena jumlah geliat dari hewan uji kontrol negatif (tidak diberi asam
mefenamat) beberapa pada waktu pengamatan memiliki nilai yang lebih kecil
daripada hewan uji yang diberi asam mefenamat. Padahal seharusnya dengan
pemberian asam mefenamat, nyeri pada hewan uji dapat diredakan dengan
indikator jumlah geliat dari hewan uji yang diberi asam mefenamat lebih sedikit
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah geliat dari hewan uji kontrol negatif.
Kekeliruan ini dapat diakibatkan kurang cermatnya dalam mengamati jumlah
geliat dari hewan uji yang disebabkan hewan uji cenderung tidak mau bergerak
karena nyeri yang dirasakannya dimana di sisi lain praktikan kurang mendorong
hewan uji untuk bergerak sehingga pengamatan uji geliat menjadi bias, di lain hal
juga dapat disebabkan karena ketidaktepatan pemberian dosis asam mefenamat
yang diakibatkan tidak homogennya suspensi asam mefenamat yang diberikan
karena tidak dikocok terlebih dahulu suspensinya sehingga konsentrasi asam
mefenamat yang diberikan tidak tepat, kesalahan lainnya adalah kurang tepatnya
teknik pemberian asam mefenamat secara peroral.

VII. Kesimpulan
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan pada tubuh dan dapat
ditangani dengan pemberian obat anti nyeri atau analgesik. Nyeri dapat terjadi
secara tiba-tiba, sehingga masyarakat kerap melakukan pengobatan secara
mandiri atau swamedikasi untuk mengatasinya. Obat antinyeri atau analgesik
merupakan jenis obat yang memiliki efek samping apabila digunakan secara
berlebihan, maka dari itu pengobatan sendiri atau swamedikasi harus didasari
oleh ilmu pengetahuan yang mumpuni. Apabila masyarakat memiliki
pengetahuan yang baik mengenai obat analgesik, maka masyarakat dapat
menggunakan obat analgesik secara benar dan rasional.
1. Berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgetik suatu
obat dapat dilakukan dengan cara mengamati peningkatan waktu reaksi.
2. Dasar-dasar perbedaan daya analgetika dapat dipahami dengan nilai %
proteksi dan % efektivitas.
3. Kesesuaian khasiat yang dianjurkan untuk sediaan-sediaan farmasi analgesika
sudah tepat.

VII. Daftar Pustaka


Anief, Moh. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Universitas Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Auliah, Nielma, Ari Aprianto Latuconsina, Muthmainah Thalib. 2019. Uji Efek
Analgetik Ekstrak Etanol Daun Nangka Terhadap Mencit Yang Di Induksi
Asam Asetat. Jurnal Riset Kepermasian Indonesia, Vol. 1, No.2
Cerner Multum. 2009. Aspirin. Available online at:
http://www.drugs.com/aspirin.html [diakses tanggal 5 April 2014]
Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics–11th
Ed.McGraw-Hill Companies. Inc. New York.
Katzung,B.G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, ed IV. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.
Mutschler Ernest. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi
edisi V. Penerbit ITB. Bandung.
Nur, Amran, Dedi Ma’ruf, Ira Widya Sari, Natsir Djide, Peter Kabo. 2018. Uji
Efek Analgenetik dan Antinflamasi Ekstrak Etanol 70% Daun Beruas
Laut. Junal Media Farmasi. Vol, 14. No. 1.
Penunjang Medis. 2010. Asam Mefenamat. Available online at:
http://mediapenunjangmedis.dikirismanto.com/asam-mefenamat.html
[diakses tanggal 5 April 2014].
Tjay, Hoan Tan. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi ke-6. PT. Gramedia. Jakarta.
Vivaldi Wardoyo, Asyraf , Rasmi Zakiah Oktarlina . 2019, Tingkat Pengetahuan
Masyarakat Terhadap Obat Analgesik Pada Swamedikasi Untuk
Mengatasi Nyeri Akut Association Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Vol 10, No, 2.

Anda mungkin juga menyukai