Anda di halaman 1dari 10

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I

“Eksperimen Dasar”
PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF
HIPNOTIK

Dosen :
▪ Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.
▪ Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin., Apt.
▪ Theodora, M.Farm., Apt.

Disusun Oleh :
Nova Karlina Siregar
NPM 20334711
EKSPERIMAN DASAR
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF
HIPNOTIK)

A. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat:
1. Melakukan cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada
mencit.
2. Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul.
3. Mengetahui respon sedasi pada mencit.
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi.

B. Teori Dasar
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek
obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi yang
berbeda pada daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristik ini berbeda karena
jumlah suplai darah yang berbeda, struktur anatomi dari lingkungan kontak antara
obat-tubuh yang berbeda, enzim- enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat
di lingkungan tersebut berbeda. Hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat
mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat. Meskipun rute pemberian obat secara oral merupakan cara
yang paling lazim, seringkali rute ini tidak digunakan mengingat hal-hal yang
dikemukakan, mengingat kondisi penerima obat dan didasarkan juga oleh sifat-
sifat obat itu sendiri.

C. Alat, Bahan dan Prosedur


Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 5 ekor), bobot tubuh 20-30 g
Obat : Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, bejana untuk pengamatan,
timbangan hewan, stop watch, kandang restriksi
Prosedur:
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit selama 10 menit.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
3. Berikan larutan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO, IV, IP,
IM dan SC; catat waktu pemberiannya.
4. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
5. Catat dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok. Bandingkan hasilnya.

D. Hasil Pengamatan
Dalam percobaan ini menggunakan 5 ekor mencit yang akan diberikan
Fenobarbital melalui rute pemberian yang berbeda
 Data Hasil Praktikum
Mencit Berat Badan Rute Pemberian Dosis Pemberian Volume Pemberian
(gram) (mg) (ml)
1 25 Per Oral 0,325 0,065
2 23 Subcutan 0,299 0,059
3 30 Intra Vena 0,390 0,078
4 26 Intra Peritonial 0,338 0,067
5 24 Intra Muskular 0,312 0,062
Sediaan Fenobarbital Injeksi 50 mg/ml

 Tabel Pengamatan
Pengamatan
Waktu Waktu Onset Durasi
Waktu
Hilang Kembali Kerja Kerja
Hewan Obat Dosis Rute Pemberian
Righting Righting Obat Obat
Obat
Reflex Reflex (menit) (menit)
(menit)
(menit) (menit)
Mencit Fenobarbital 100 mg/ PO 08.30 09.50 12.24 80 154
70 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbital 100 mg/ SC 08.35 09.07 13.10 32 257
70 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbital 100 mg/ IV 08.40 09.52 11.50 72 118
70 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbital 100 mg/ IP 08.45 09.00 12.02 15 182
70 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbital 100 mg/ IM 08.50 09.09 12.42 19 231
70 kgBB
manusia
Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang)
dan tampak lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi,
apabila tubuhnya dibalik dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan
kembali tertelungkup. Jadi, untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon
awal sedasi maka harus sering membalikkan badan mencit pada posisi
terlentang.
Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik
dan berada pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.
Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat
sampai hilangnya righting reflex hingga tidur)
Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya
righting reflex hingga tidur, sampai kembalinya efek tersebut)

 Perhitungan Dosis Pemberian dan Volume Pemberian


Sediaan Fenobarbital Injeksi 50 mg/ml
1. Mencit ke-1 BB = 25 gram. Rute pemberian Per-Oral (PO)
Dosis lazim fenobarbital untuk manusia BB 70 kg = 100 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 25 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg
Untuk mencit dengan berat 25 g = (25 g/ 20 g) x 0,26 mg
= 0,325 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,325 mg/ 50mg x 1 ml
= 0,0065 ml x 10 (pengenceran) = 0,065 ml

2. Mencit ke-2 BB = 23 gram. Rute pemberian Subcutan (SC)


Dosis lazim fenobarbital untuk manusia BB 70 kg = 100 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 23 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg
Untuk mencit dengan berat 23 g = (23 g/ 20 g) x 0,26 mg
= 0,299 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,299 mg/ 50mg x 1 ml
= 0,00598 ml x 10 (pengenceran) = 0.59 ml
3. Mencit ke-3 BB = 30 gram. Rute pemberian Intravena (IV)
Dosis lazim fenobarbital untuk manusia BB 70 kg = 100 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 30 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg
Untuk mencit dengan berat 30 g = (30 g/ 20 g) x 0,26 mg
= 0,39 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,29/ 50mg x 1 ml
= 0,0078 ml x 10 (pengenceran) = 0,078 ml

4. Mencit ke-4 BB = 26 gram. Rute pemberian Intraperitonial (IP)


Dosis lazim fenobarbital untuk manusia BB 70 kg = 100 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 26 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg
Untuk mencit dengan berat 26 g = (26 g/ 20 g) x 0,26 mg
= 0,338 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,338mg/ 50mg x 1 ml
= 0,00676ml x 10 (pengenceran) = 0,067 ml

5. Mencit ke-5 BB = 24 gram. Rute pemberian Intramuscular (IM)


Dosis lazim fenobarbital untuk manusia BB 70 kg = 100 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 24 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg
Untuk mencit dengan berat 24 g = (24g/ 20 g) x 0,26 mg
=0,312 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,312 mg/ 50mg x 1 ml
= 0,00624 x 10 (pengenceran) = 0,062

 Perhitungan Onset Kerja Obat dan Durasi Kerja Obat


Waktu Pemberian Obat = t0
Waktu Hilang Righting Reflex = t1
Waktu Kembali Righting Reflex = t2
1. PO
Onset = t1 – t0
= 09.50 – 08.30 = 80 menit
Durasi = t2 – t1
= 12.24 – 09.50 = 154 menit
2. SC
Onset = t1 – t0
= 09.07 – 08.35 = 32 menit
Durasi = t2 – t1
= 13.10 – 09.07 = 257 menit
3. IV
Onset = t1 – t0
= 09.52 – 08.40 = 72 menit
Durasi = t2 – t1
= 11.50 – 09.52 = 118 menit
4. IP
Onset = t1 – t0
= 09.00 – 08.45 = 15 menit
Durasi = t2 – t1
= 12.02 – 09.00 = 182 menit
5. IM
Onset = t1 – t0
= 09.09 – 08.50 = 19 menit
Durasi = t2 – t1
= 12.42 – 09.09 = 231 menit

E. Pembahasan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan cara pemberian obat
melalui berbagai rute pemberian obat pada mencit, mengamati pengaruh rute
pemberian obat terhadap efek yang timbul, mengetahui respon sedasi pada mencit,
serta memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi. Rute pemberian obat yang
berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan
atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan. Absorbsi merupakan salah satu fase
farmakokinetik yang berarti proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Sedatif adalah senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan
terjadinya penurunan kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada
penekanan sistem saraf pusat yang ringan. Sedatif menekan reaksi terhadap
perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat.
Efek sedasi merupakan efek samping beberapa golongan obat yang tidak termasuk
obat golongan depresan SSP. Sedangkan Hipnotik menimbulkan rasa kantuk
(drowsiness), mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan
tidur alamiah. Efek hipnotik melibatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih
menonjol daripada sedasi dan ini dapat dicapai dengan sebagian besar obat sedatif
hanya dengan meningkatkan dosis.
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat
(SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringanya itu
menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anastesi, koma dan mati. Pada dosis terapi, obat sedatif mampu
menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi
sehingga akan berefek menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan
mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologi.
Sedangkan bila obat-obat sedatif hipnotik terlalu sering digunakan, maka terdapat
efek akumulasi selain efek samping, yaitu kerusakan degeneratif hati serta reaksi
alergi yang kerap kali muncul pada pasien.
Pada praktikum ini, menggunakan obat fenobarbital yang merupakan
golongan obat depresi SSP.
Berdasarkan tabel data yang telah dipaparkan sebelumnya, pemberian
fenobarbital pada hewan uji (mencit) melalui beberapa rute pemberian memiliki
volume obat yang hampir sama (antara 0,059 ml – 0,078 ml). Didapat hasil dari
praktikum ini, diketahui bahwa penggunaan rute pemberian obat secara
intraperitonial (ip) adalah cara yang paling cepat bagi obat untuk memberikan efek
pada tubuh. Intraperitoneal memungkinkan obat masuk kedalam sirkulasi sistemik
secara cepat, hal ini di karenakan rongga peritoneum memiliki permukaan absorbsi
yang luas. Namun hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa penggunaan obat secara
intravena dapat menghasilkan efek sistemik yang cepat karena dengan cara ini obat
dapat langsung berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami proses
absorbsi. Sedangkan pemberian secara intramuscular dan subcutan masing masing
memberikan efek yang berbeda, pada pemberian secara intramuscular obat dapat
diserap dengan cepat dan berkala yang disebabkan banyaknya vaskularisasi aliran
darah disekitar tempat penyuntikan. Sedangkan pada subkutan obat yang
digunakan hanya berkisar 0,059 ml – 0,078 dan hanya ditujuan untuk obat yang
tidak mengiritasi jaringan. Penggunaan per-oral dianggap paling aman, namun
dengan reaksi yang paling lambat jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di
sebabkan karena obat harus melewati sistem gastroinstentinal sebelum akhirnya
dapat diserap oleh pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh.
Hasil praktikum tidak sesuai dengan literatur yang ada, dimana berdasarkan
literatur yang pertama kali akan memberikan efek di mulai dari intravena kemudian
disusul oleh intraperitonial, intramuscular, subkutan dan yang terakhir disusul oleh
per oral. Menurut hasil data yang paling cepat memberikan efek melalui
intraperitonial kemudian melalu intramuskular kemudian melalui subcutan
kemudian melalui intravena dan yang terakhir peroral. Literatur dan data hasil
pengamatan berbeda karena dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi, dapat
dilihat dari waktu pemberian obat antara peroral dan antara subkutan berbeda.
Selain faktor tersebut, faktor individual juga dapat mempengaruhi efek
absorbsi obat. Karena setiap individu (hewan uji) memberikan respon yang
berbeda terhadap suatu obat yang sama, hal ini tergantung pada kepekaan masing-
masing individu (hewan uji) dalam menerima respon obat tersebut. Perbedaan
respon ini bisa berdampak baik ataupun buruk karena untuk setiap obat selalu ada
individu yang rentan, sehingga walaupun dengan dosis yang sangat rendah efek
terapeutik suatu obat sudah dapat terlihat jelas. Sebaliknya, ada pula individu yang
baru memberikan efek jika diberikan dosis yang sangat tinggi. Hal ini menjadi
dasar pertimbangan mengapa dosis suatu obat yang diberikan pada seorang pasien
dengan hasil baik, namun bisa juga tidak berpengaruh pada pasien lain, meskipun
kondisi tubuh dan dosis yang diberikan pada pasien-pasien tersebut sama.
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan hasil dengan literatur yang ada yaitu
seperti faktor-faktor lingkungan yang meliputi, faktor internal yang dapat
mempengaruhi hasil praktikum ini yaitu meliputi variasi biologic (usia dan jenis
kelamin) pada usia hewan semakin muda maka semakin cepat reaksi yang
ditimbulkan, ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh dan
luas permukaan tubuh. Sedangkan Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
hasil praktikum ini bisa meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan
fisologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam
pemberian obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti kelembaban, ventilasi,
cahaya, kebisingan serta penempatan hewan).
F. Kesimpulan
1. Fenobarbital adalah golongan obat depresi SSP. Efeknya bergantung pada
dosis, mulai dari yang ringan (menenangkan, menyebabkan kantuk,
menidurkan) hingga yang berat (menghilangkan kesadaran, keadaan
anestesi, koma dan mati).
2. Rute pemberian obat terhadap individu/ hewan uji dapat melalui per-oral,
intravena, intramuscular, intraperitonial, subcutan.
3. Hasil praktikum tidak sesuai dengan literatur yang ada dimana berdasarkan
literature, yang pertama kali akan memberikan efek di mulai dari intravena
kemudian disusul oleh intraperitonial kemudian disusul oleh intramuskular
kemudian disusul oleh subkutan dan yang terakhir disusul oleh per oral.
Tetapi menurut perolehan hasil data pada praktikum ini yang diperoleh
urutan efektifitas melalui rute pemberian obat dari yang tertinggi hingga
yang terendah yaitu secara: intraperitonial (IP), intramuscular (IM),
subcutan (SC), intravena (IV), dan per-oral (PO).
4. Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan
tampak lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila
tubuhnya dibalik dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan
kembali tertelungkup. Jadi, untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon
awal sedasi maka harus sering membalikkan badan mencit pada posisi
terlentang.
5. Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan
berada pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.
6. Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat
sampai hilangnya righting reflex hingga tidur) sedangkan durasi kerja
adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya righting reflex
hingga tidur, sampai kembalinya efek tersebut)
7. Masing masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian
tersendiri seperti penggunaan oral memiliki absorbsi yang lambat namun
dapat digunakan oleh siapa saja tanpa bantuan tenaga medis, sedangkan
intravena dan intramuscular memberikan efek yang cepat namun perlu
bantuan tenaga medis yang memiliki keahlian untuk menggunakannya,
selain itu resiko infeksi juga dapat meningkat. Sedangkan intraperitonial
dan subcutan meski memiliki efek yang sama seperti intravena dan
intramuscular namun memiliki harga yang cukup tinggi.
G. Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Farmakologi Dasar dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Badan PPSDM Kesehatan, Praktikum Farmakologi.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor,. Farmakologi dan
terapi. Edisi 5. Gaya Baru: Jakarta, 2007.
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press,
Surabaya.
Katzung, Bertram G. 1986. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : Salemba
Medika.
Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005
Tim Dosen, 2018. Petunjuk Praktikum Farmakologi Fakultas Farmasi ISTN,
Eksperimen Dasar: Pengaruh Rute Pemberian Terhadap Obat Sedatif-Hipnotik.
hlm: 23-24

Anda mungkin juga menyukai