Anda di halaman 1dari 7

l

PERKEMBANGAN TEORI KEPEMIMPINAN

Perkembangan Teori Kepemimpinan menurut Bolden, dkk, (2003) seperti ditunjukkan

tabel di bawah ini:

Tabel 2.2. Perkembangan Teori Kepemimpinan

Great Man Dasar kepemimpinan adalah adanya kepercayaan bahwa seseorang telah
Theories ditakdirkan menjadi pemimpin, sifat pemimpin dibawa sejak lahir
(dilahirkan untuk memimpin)
Trait Theories Teori ini menjelaskan bahwa pemimpin mempunyai sejumlah daftar
karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin
Behaviourist Teori perilaku muncul karena ada anggapan bahwa tidak selamanya
Theories pemimpin bisa berhasil walaupun dia memiliki ciri-ciri yang ideal, oleh
karena itu teori ini berpusat kepada tindakan-tindakan yang dilakukan
pemimpin tanpa memperhatikan karakteristiknya
Situational Pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda,
Leadership tergantung dari situasi yang sedang dihadapi, dalam situasi tertentu dia
bersifat otokratis tetapi situasi yang lain dia bersifat partisipasi
Contingency Teori ini perbaikan dari teori situasional yang berpusat kepada sudut
Theory pandang identifikasi situasi dan meramalkan gaya kepemimpinan yang
paling sesuai dan efektif
Transactional Pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian
Theory penghargaan dan hukuman kepada bawahannya dalam mencapai tujuan
Transformation Memotivasi bawahannya melakukan tanggung jawabnya melalui
al kemampuan mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
Theory mengartikulasikan visi organisasi
Sumber: Dikutip dari Lyn (2004)

Berdasarkan Tabel 2.2 di atas bisa diterangkan sebagai berikut:

a) Teori Great Man: Teori Great Man adalah teori kepemimpinan kuno pada zaman Yunani

kuno atau zaman Roma, teori ini menyatakan bahwa seorang menjadi pemimpin karena

bawaan lahir, namun tidak seluruhnya teori ini dapat diterima pada saat ini karena

menjadi pemimpin bisa dicapai melalui pendidikan dan pengalaman (Golding, 2003).

b) Model Teori Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership): Penelitian Siagian

(2002), mendapatkan enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin

dan pengikut, yaitu: 1). Kapasitas, 2). Prestasi, 3). Tanggung jawab, 4). Partisipasi, 5).
Status dan 6). Situasi, Penelitian pada era tahun 1950 an ini mencoba meneliti tentang

watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan,

kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul,

status sosial ekonomi mereka dan lain-lain Bass, Stogdill dalam (Siagian, 2002). Teori

ini ditinggalkan karena tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara

watak pribadi pemimpin, keberhasilan kepemimpinan dan para pengikut. Para peneliti

lainnya mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor

situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara

pemimpin dan pengikut (Thoha, 2000; Ward King, 2002; Golding, 2003; Henckle, 2004).

c) Model Behaviourist Theorist: Teori kepribadian perilaku yang mengeksplorasi

pemikiran bagaimana perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan

seseorang dan tindakan yang dilakukan pemimpin. Penelitian

di Michigan mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai

job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employed-centered yang berorientasi

pada karyawan (Rivai, 2003).

d) Model Kepemimpinan Situasional: Model ini melihat bahwa menjadi pemimpin atau

pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi, tidak ada seorang

pemimpin yang efektif menggunakan satu gaya kepemimpinan dalam berbagai situasi

yang berbeda, Bolden, dkk, (2003), selanjutnya menyatakan bahwa terdapat empat faktor

yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu: 1). Sifat struktural organisasi, 2). Iklim

atau lingkungan organisasi, 3). Karakteristik tugas atau peran dan 4).

Karakteristik bawahan. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai

karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership

skills) yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

e) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model): Model tersebut


beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektivitas kinerja kelompok

tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi

(the favourableness of the situation) yang dihadapinya, atau kesesuaian antara

karakteristik watak pribadi dan tingkah laku pemimpin dengan variabel-variabel

situasional ( Bolden, dkk, 2003), menurut Fiedler dalam ( Golding, 2003) ada tiga

faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi, faktor tersebut adalah: 1).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations): Sampai

sejauhmana pemimpin itu dipercaya, disukai dan mengikuti petunjuk, 2). Struktur tugas

(the task structure): Sejauhmana tugas-tugas sudah didefinisikan dan sudah dilengkapi

dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku, 3). Kekuatan posisi (position power)

yang dicapai lewat otorita formal: Sampai sejauhmana pemimpin menanamkan rasa

memiliki dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing.

f) Model Kepemimpinan Kepemimpinan Transaksional: Pemimpin transaksional pada

hakikatnya menekankan kewajiban melalui reward dan punishment untuk mencapai

tujuan organisasi, memotivasi bawahan melakukan tanggung jawab dengan

mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.

Model Transaksional menjelaskan hubungan atasan bawahan melalui proses transaksi dan

pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis. Burns dalam Golding (2003).

Sedangkan menurut Rivai (2003), mengatakan bahwa pemimpin yang transaksional yaitu

pemimpin yang memandu atau memotivasi, pengikut mereka dalam arah dan tujuan yang

ditegaskan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

g) Model Kepemimpinan Transformasional: Penggagas model ini adalah Burns pada

tahun 1978, masih relatif baru namun sudah dipakai secara luas dalam berbagai bidang

baik bisnis, kesehatan, pendidikan, psycholog. Banyak peneliti dan praktisi manajemen

yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep


kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik kepemimpinan, karena

pemimpin memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan

dan memiliki karisma (Bolden, dkk, 2003). Kepemimpinan transformasional

mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak

(trait), gaya (style) dan kontingensi, juga menggabungkan dan menyempurnakan konsep-

konsep model kepemimpinan terdahulu.

h) Model Jalur-Tujuan (Path-Goal): Seperti telah diketahui bahwa pengembangan teori

kepemimpinan selain pendekatan secara kontingensi dapat pula didekati dari teori path-

goal yang mempergunakan kerangka motivasi. Usaha pengembangan teori path-goal ini

sebenarnya telah dimulai oleh Georgepoulos dari Institut Penelitian Sosial Universitas

Michigan, kemudian teori ini dikembangkan oleh Robert J. House, pemimpin menjadi

efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif. Teorinya disebut sebagai jalur-

tujuan karena memfokuskan pada bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi

bawahannya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri dan jalan untuk mencapai

tujuan, maka teori path-goal memasukkan 4 (empat) tipe atau gaya kepemimpinan

sebagai berikut:

1) Kepemimpinan Direktif, tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis

karena dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan, 2) Kepemimpinan

yang mendukung (Supportive), mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri,

bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap

para bawahannya, 3). Kepemimpinan Partisipatif, pemimpin berusaha meminta dan

mempergunakan saran-saran dari bawahannya, namun untuk mengambil keputusan masih

berada padanya,

4). Kepemimpinan berorientasi pada prestasi, pemimpin menetapkan serangkaian tujuan

yang menantang para bawahannya untuk berpartisipasi (Thoha, 2000).


i) Tipe Laissez Faire: Ciri khas seorang pemimpin yang Laissez Faire adalah cenderung

memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri,

bersikap permisif dengan prinsip setiap anggota organisasi boleh bertindak sesuai dengan

hati nuraninya untuk mencapai tujuan organisasi, sebab setiap manusia pada prinsipnya

memiliki rasa solidaritas, mempunyai kesetiaan, taat pada norma, bertanggung jawab

(Golding, 2003; Jansenn, 2004; Henckle, 2004).

a. Kepemimpinan Mutu

Kepemimpinan mutu adalah perilaku pimpinan menjalankan mutu dalam

organisasinya. Perilaku pemimpin membangun komitmen dalam organisasinya terlihat dari

gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Perilaku pemimpin transformasional

membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja bawahannya melalui proses hubungan

antara atasan dan bawahan yang didasari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi

mengenai visi dan misi organisasi dilandasi oleh pertimbangan pemberdayaan potensi

manusia (Henckle, 2004; Golding, 2003; Janssen, 2004).

Pemimpin tranformasional juga diyakini mampu membangun komitmen

organisasional karyawan melalui upaya-upaya untuk memberdayakan dan mentransformasi

para bawahannya, sedangkan kepemimpinan transaksional adalah proses hubungan atasan

dan bawahan melalui proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat

ekonomis berdasarkan pertimbangan ekonomi (Podsakoff, dkk dalam Pareke, 2004).

d. Total Quality Management (TQM)/Manajemen Mutu Terpadu

TQM (Total Quality Management) adalah strategi manajemen yang ditujukan untuk

menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi. berdasarkan partisipasi

semua anggotanya dan bertujuan untuk mendapatkan kesuksesan jangka panjang melalui
kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta

masyarakat (Choy, 2002).

TQM telah memperoleh ketenaran sebagai sebuah metoda yang merubah operasional

organisasi menjadi lebih efisien dan efektif, TQM merupakan paradigma baru dalam

menjalankan bisnis yang berupaya memaksimumkan daya saing organisasi melalui: fokus

pada kepuasan konsumen, keterlibatan seluruh karyawan, dan perbaikan secara

berkesinambungan atas kualitas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan organisasi,

implementasi TQM juga berdampak positif terhadap biaya produksi dan terhadap pendapatan

(Gaspersz, 2005). Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan prinsip TQM

sudah lama dikenal dan dimanfaatkan dalam pengoperasian pabrik, saat ini sudah meluas ke

organisasi pelayanan kesehatan, hasilnya diyakini menunjukkan peningkatan dan perbaikan

sikap kerja (kepuasan kerja, komitmen organisasi, iklim kerja, dan adanya daya saing) (Choy,

2002).

Penerapan TQM di rumah sakit mampu membuat rumah sakit bertahan dalam era

persaingan dan bisa mengangkatnya menjadi kelas dunia (Besterfield dalam Purwaningrum,

dan Kuncoro, 2007). Penerapan TQM di organisasi kesehatan

di Amerika sudah sangat luas, tahun 1994 hampir 60 persen dari organisasi pelayanan

kesehatan sudah menerapkan TQM dalam perencanaan programnya, malah beberapa

organisasi sudah merasakan sebagai suatu kebutuhan, (Donald Berwick (Bapak TQM) dalam

Somer, dkk, 1994).

Filosofi TQM sudah digunakan secara luas untuk menambah kunjungan pasien,

melalui konsep peningkatan kepedulian terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien,

termasuk meningkatkan pelayanan di ICU (Lindberg, 2005).

Penelitian Gavriel, dkk (2007), menemukan bahwa semakin besar diberikan

wewenang kepada direktur untuk mengelola rumah sakit (semakin terdesentralisasi) maka
semakin mudah menerapkan prinsip TQM dalam pelayanannya. Penerapan TQM bisa juga

digunakan untuk memperbaiki mutu terapi, diagnostik dan indikator penampilan rumah sakit,

bahkan mampu merubah kultur kebiasaan pekerja kesehatan yang kurang baik menjadi lebih

baik (Rad, 2006), unsur utama mendukung TQM adalah kepemimpinan (Ketut, 2008).

Kualitas menurut Juran (1989), adalah ‘kesesuaian untuk digunakan’, hal ini berarti

produk yang memenuhi harapan konsumen dan bebas dari defisiensi. Sedangkan Deming

dalam Peterson (2004), berpendapat kualitas adalah: mempertemukan kebutuhan dan harapan

konsumen secara berkelanjutan atas harga yang telah mereka bayarkan. Pengertian kualitas

lebih luas dalam delapan dimensi menurut Philip (2000), adalah sebagai berikut: (1). Kinerja

(performance): karakteristik operasi suatu produk utama, (2). Ciri-ciri atau keistimewaan

tambahan (feature), (3). Kehandalan (reliability): probabilitas suatu produk tidak berfungsi

atau gagal, (4). Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), (5). Daya

tahan (durability), (6). Kemampuan melayani (serviceability), (7). Estetika (estethic):

bagaimana suatu produk dipandang dirasakan dan didengarkan, dan (8). Ketepatan kualitas

yang dipersepsikan (perceived quality).

Anda mungkin juga menyukai