Anda di halaman 1dari 64

HANDOUT

MATA KULIAH

STRUKTUR BETON
BERTULANG I
KODE SI 65228 ( 2 sks )
SEMESTER IV

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK - JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL
PALU 2004
HAND - OUT

Nama Mata Kuliah : STRUKTUR BETON BERTULANG I


Nomor Kode / Sks : SI 65228 ( 2 sks )
Deskripsi Singkat : Mata kuliah ini membahas mengenai konsep dan
prinsip dasar kekuatan, kemampuan, dan perilaku
ekemen struktur beton bertulang, terhadap: gaya
lentur, gaya normal, dan gaya geser, dengan
penekanan pada desain struktur balok dan pelat
satu arah, berdasarkan teori kekuatan batas yang
mengacu pada pedoman dan peraturan beton
bertulang yang berlaku.
Tujuan Instr. Umum : Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa akan
dapat menghitung dan mendesain elemen struktur
beton bertulang, berupa: balok dan pelat satu arah
berdasarkan pedoman dan peraturan beton
bertulang yang berlaku.
Pokok Bahasan : 1. Sifat dan karakteristik bahan beton dan baja
tulangan.
2. Dasar-dasar analisis dan perencanaan.
3. Analisis dan perencanaan penampang persegi
terlentur.
4. Analisis dan perencanaan geser lentur, torsi & pons.
5. Analisis dan perencanaan penampang akibat
beban aksial dan kombinasi beban lentur & aksial.
6. Pendetailan tulangan.

KEPUSTAKAAN :
1. ACI. 1995. Building Code Requirements for Structural Concrete ACI 318-95. American
Concrete Institute, Detroit.
2. Dep. PU. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 – (PBI’71 N.I.-2), Yayasan Dana
Normalisasi Indonesia, Bandung.
3. Dep. PU. 1991. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-
2847-1992) Y LPMB, Bandung.
4. Dipohusodo, I. 1999. Struktur Beton Bertulang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5. McGregor, J. G. 1997. Reinforced Concrete; Mechanics and Design, Prentice Hall.
6. Wang, C. K. & Salmon, C. G. 1985. Reinforced Concrete Design. Harper & Row, New York.
7. Wangsadinata, W. 1968. Teori Kekuatan Batas,. DPMG. Dep. Pekerjaan Umum, Bandung.

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I i


8. VIS, W. C. & Kusuma, G. 1993. Dasar-dasar Perencanaan Beton Bertulang, Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I i


POKOK BAHASAN I
SIFAT DAN KARAKTERISTIK BAHAN

1. PENGERTIAN & MATERIAL


Beton adalah campuran antara Semen Portland (Semen Hidrolik), Agregat Halus,
Agregat Kasar dan Air, dengan atau tanpa Bahan Tambahan. Selanjutnya melalui proses
hidrasi akan membentuk Massa Padat.

Unsur-unsur Beton:
 Semen Portland (PC)
 Air Bahan Pokok
 Agregat Halus (Pasir) (selalu ada)
 Agregat Kasar (Kerikil)

 Additive  Bahan Tambahan


(tidak selalu ada)

Beton bertulang adalah beton yang diberi tulangan yang cukup sedemikian sesuai
dengan yang disyaratkan dan direncanakan dengan asumsi bahwa kedua material (beton
& tulangan) dapat bekerja bersama-sama dalam memikul beban kerja.
Unsur-unsur beton dan baja tulangan harus memenuhi ketentuan dan persyaratan,
sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan atau standar-standar tentang beton
bertulang.
Adukan beton harus pula memenuhi ketentuan dan persyaratan tertentu dengan
pertimbangan mutu kekuatan dan ketahanan (quality: strength & durability) dan faktor
pelaksanaan (workability).

SEMEN
AGREGAT
PORTLAND
HALUS

BETON

A I R
AGREGAT
KASAR

BAHAN Gambar 1.1


TAMBAHAN Unsur-unsur Beton.

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 1


Kerikil 47% Kerikil ±52%

Pasir ±28%
Air ±17% Pasir 26%
Air ±7%

Semen ±10% Semen ±13%

a) Perbandingan Volume b) Perbandingan Berat

Gambar 1.2 Komposisi Campuran Beton

SEMEN PORTLAND

Semen yang digunakan untuk bahan beton adalah Semen Portland atau Semen
Portland Pozzolan yaitu berupa semen hidrolis yang berfungsi sebagai bahan perekat
dalam campuran beton.
Semen Portland yang akan digunakan harus memenuhi syarat SII 0013-81 dan
PUBI’1982, sedangkan Semen Portland Pozzolan harus memenuhi syarat SII 0132-
75.
Pemeriksaan sifat kimia semen antara lain: “Kesegaran Semen” yaitu kandungan air,
karbon dioksida atau maknesium dalam semen disyaratkan maks. 3,0%, dan “Sisa
Bahan yang tak Larut dalam Semen” yaitu kandungan bahan non-reaktif dalam semen
disyaratkan maks. 1,5%.
Pemeriksaan Sifat Fisik Semen: antara lain: Berat Jenis (sekitar 3,15), Kehalusan
Butir (disyaratkan 100% lewat saringan No. 100, maksimum 22% tertahan saringan No.
200), Konsistensi Normal & Waktu Pengikatan (waktu pengikatan awal min. 60 menit
dan waktu pengikatan akhir maks. 480 menit).

Jenis-jenis Semen Portland (SII 0013-81)


Type I : PC. biasa untuk penggunaan umum yang tidak memerlukan persyaratan-
persyaratan khusus, semen jenis ini yang umum digunakan, terdapat di pasaran.
Type II : PC. yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan
panas hidrasi sedang (lingkungan sulfat, tanah, sistem drainase).
Type III : PC. yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan keku-atan awal yang
tinggi setelah pengikatan terjadi. (kecepatan pelaksanaan, bekesting cepat).
Type IV : PC. yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan panas hidrasi yang
rendah. (pada Struktur Dam, Bangunan Masif).

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 2


Type V : PC. yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan sangat tahan terhadap
sulfat. (pada kondisi lingkungan kadar sulfat tinggi, pada tanah/air tanah).
AGREGAT
Agregat adalah material granular (butiran kecil seperti: pasir, kerikil, batu pecah, kerak tungku
besi dsb.) yang dipakai bersama-sama dengan media pengikat (pasta semen) membentuk
suatu campuran mortar atau beton.

Agregat Halus adalah pasir alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan atau pasir
yang dihasilkan oleh mesin pemecah batu (Stone Crusher) dan mempunyai ukuran butir
terbesar 5 mm.

Agregat Kasar adalah kerikil alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan atau
berupa batu pecah yang dihasilkan oleh mesin pemecah batu (Stone Crusher) dan
mempunyai ukuran butir antara 5 - 40 mm.

Agregat untuk beton adalah agregat yang harus memenuhi ketentuan SII 0052-80 dan
atau ASTM (American Society for Testing Materials) C33-86 untuk agregat normal dan
ASTM C330-80 untuk agregat ringan.

Sifat-sifat & Persyaratan Agregat

 Berat Jenis (Specific Grafity) : perbandingan antara berat agregat kering dengan
berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat (untuk agregat normal biasanya
G = 2,50 - 2,70).
 Penyerapan agregat : perbandingan berat air yang dapat diserap pori dengan berat
agregat kering. Penyerapan agregat normal 1% - 2%.
 Gradasi agregat : adalah distribusi butiran dari agregat. Butiran agregat yang
terdistibusi dengan baik akan diperoleh kepadatan yang tinggi karena prosentase
pori-pori di antara butiran relatif kecil.
Gradasi ideal menurut Fuller & Thompson (1907):
Distribusi ukuran butir dilakukan dengan analisa saringan menggunakan
saringan standar oleh ISO (International Standards Organization, Genewa,
Switzerland), yaitu: 1½”, 1”, ¾”, ½”, ⅜”, No. 4, No. 8, No. 16, No. 30, No. 50,
No. 100 dan No. 200.
 Kadar lumpur dalam agregat : adalah prosentase bahan lolos saringan No. 200
(0,075 mm), syarat untuk pasir kadar lumpur maks. 5% dan syarat untuk kerikil kadar
lumpur maks. 1% (PBI’71).
 Bahan Organis dalam agregat : zat-zat yang dapat merusak beton. Percobaan warna
dari Abrams-Harder menggunakan larutan NaOH.
 Kekerasan agregat kasar : Percobaaan abrasi menggunakan Mesin Pengaus Los
Angelos, dimana maksimum kehilangan berat 50% (fraksi 9,5 – 19 mm, maks. 24%
dan fraksi 19 – 30 mm, maks. 22%).

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 3


A I R
Air untuk pembuatan beton atau mortar, tidak boleh mengandung minyak, alkali, garam,
bahan-bahan organis atau bahan-bahan yang dapat merusak beton dan atau baja
tulangan.

Secara umum toleransi persyaratan air untuk beton, adalah:


 tidak mengandung lumpur (benda melayang lainnya) lebih dari 2 gr/ltr.
 tidak mengandung garam-garam (asam, zat organik, dll.) yang dapat merusak beton,
lebih dari 15 gram/liter. (contoh air laut 35 gram/liter).
 tidak mengandung chlorida (Cl) lebih dari 0,5 gram/liter.
 tidak mengandung senyawa sulfat, lebih dari 1 gram/liter.

BAHAN TAMBAHAN (ADDITIVE)

Bahan tambahan (additive) adalah bahan yang dapat dicampurkan pada adukan beton
selain bahan pokok (semen, air dan agregat). Hal ini dimaksudkan untuk mengubah sifat
beton, atau berfungsi sebagai: mempercepat pengerasan, memperlambat proses
pengikatan, meningkatkan kelecakan, menambah kekuatan, menambah daktilitas,
mengurangi retak-retak, mengurangi pemakaian semen, dsb.
Kelompok bahan tambahan a. l. : Chemical Admixture, Pozzolan dan Serat (Fibre).

Chemikal Admixture
 Bahan kimia tambahan untuk mengurangi pemakaian air sehingga dapat
meningkatkan mutu beton, dan atau mempertinggi kelecakan adukan sehingga
mudah dalam pengecoran (faktor workability).
 Bahan kimia tambahan untuk memperlambat proses pengikatan beton, sehingga
memberi keleluasaan (tambahan waktu) dalam pelaksanaan.
 Bahan kimia tambahan untuk mempercepat proses pengikatan dan pengerasan
beton. Dimaksudkan untuk struktur beton yang memerlukan waktu penyelesaian yang
singkat, pengecoran di dalam air, landasan pacu dsb.
 Bahan kimia tambahan berfungsi ganda yaitu mengurangi pemakaian air dan
memperlambat proses pengikatan.
 Bahan kimia tambahan berfungsi ganda yaitu mengurangi air dan mempercepat
proses pengikatan dan pengerasan beton.

Pozolan.
Pozolan adalah bahan alam atau buatan yang sebagian besar terdiri dari unsur-unsur
silikat dan atau aluminat yang reaktif. Pozolan dalam bentuk bubuk halus (lolos saringan
0,21 mm) jika dicampur dengan air akan bereaksi menjadi suatu massa padat.
Fungsi pozolan antara lain: dapat dipakai sebagai pengganti sebagian dari semen
portland (berkisar 10 – 35%); beton lebih tahan terhadap garam, sulfat dan asam; beton
lebih mudah diaduk; beton lebih rapat air; mengurangi pemuaian beton; mengurangi
retak-retak beton.

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 4


Serat
Serat (fibre mess) adalah salah satu bahan tambahan dalam campuran beton, yaitu
dapat berupa: asbestos, gelas/kaca, plastik, baja, tumbuh-tumbuhan (rami, ijuk). Beton
yang diberi serat sebagai bahan tambahan disebut beton serat (fibre reinforced
concrete).
Fungsi serat antara lain: menambah kuat tarik beton, mengurangi retak-retak akibat susut
beton dan meningkatkan ketahanan akibat benturan.

ADUKAN BETON

 Mix Design

 Perbandingan campuran

 Water Cement Ratio

 Slump Test

 Compression Test

2. TEGANGAN, REGANGAN DAN MODULUS ELASTISITAS

SIFAT-SIFAT BETON

a) Sifat Kimia:
Sifat kimia beton sangat tergantung kepada sifat kimia bahan asalnya, beberapa sifat
kimia secara umum dari beton, yaitu:

Sifat yang menguntungkan:


 Setelah melalui proses hidrasi (semen dan air), beton akan mengeras seperti batu,
proses pengerasan berlangsung relatif lama.
 Tahan terhadap panas, aus, kondisi lingkungan secara umum.

Sifat yang merugikan:


 Tidak tahan terhadap beberapa unsur kimia, seperti: garam, asam, sulfat,
belerang, chlorida dan bahan kimia sejenis.
 Bahan organik, lempung, garam  terkandung dalam pasir atau melapisi
permukaan kerikil.

b) Sifat Fisik:
Sifat Fisik beton sangat tergantung kepada sifat fisik bahan asalnya, terutama bahan
agregat (pasir & kerikil), beberapa sifat fisik beton, yaitu:

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 5


Sifat yang menguntungkan:
 Beton segar mudah dibentuk,
 Awet atau tahan lama,
 Kekuatan beton semakin bertambah dengan bertambahnya umur.
 Kemunduran kekuatan dan keawetan relatif kecil akibat pengaruh
lingkungan/cuaca.

Sifat yang merugikan:


 Tidak kedap air secara sempurna,
 Memuai dan menyusut akibat perubahan suhu,
 Sifat getas (tidak liat), sifat rangkak (Creep), sifat susut.
 Tidak homogen: kekuatan tekan tinggi dan kekuatan tarik rendah.

c) Sifat Mekanika:
Beberapa Sifat Mekanika yang dari Beton yang juga sangat tergantung kepada sifat fisik
dan sifat mekanika bahan asalnya, yaitu:

 Tegangan (): Tegangan tekan beton relatif tinggi, tetapi tegangan tariknya
rendah, (tegangan tarik beton hanya sekitar 9%-15% dari tegangan tekannya).

 Tegangan tekan beton (c’) dan Tegangan tarik beton (c).

Sesuai ketentuan: SK. SNI T-15-1991-03, bahwa:


 Tegangan tarik beton, c = 0,57
 Tegangan tekan beton izin, , c’izin = 0,45 c’

 Regangan (): Tegangan tekan beton maksimum akan tercapai pada regangan
tekan (’) mencapai 0,002 dan selanjutnya akan turun dengan bertambahnya nilai
regangan hingga benda uji hancur pada nilai regangan mencapai 0,003 – 0,005.

 Regangan tekan beton maksimum, c’ maks = 0,003


(SK SNI T-15-1991-03, ps. 3.3.2.)

 Elastisitas (E): Bahan beton bersifat Elasto-Plastis artinya disamping


memperlihatkan kemampuan elastis bahan juga menunjukkan deformasi
permanen. Modulus elastisitas beton tidak berbanding lurus dengan tegangannya,
karena kurva tahap awal berbentuk lengkung (lazimnya untuk bahan homogen
seperti baja kurva tahap berupa garis lurus/linier).

 Modulus elastisitas beton (Ec) = 0,043 Wc1,50


(SK SNI T-15-1991-03, ps. 3.1.5.)

Untuk beton normal dengan berat isi (W c) ± 23 kNm3 dapat diambil nilai modulus
elastisitas beton: Ec = 4700

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 6


Gambar 1.3 Hubungan Tegangan vs Umur Beton.

Gambar 1.4 Hubungan Tegangan vs Regangan berbagai Mutu Beton

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 7


Gambar 1.5 Hubungan Tegangan vs Regangan Beton

3. RANGKAK DAN SUSUT


Rangkak (creep) adalah sifaf beton yang mengalami perubahan bentuk (deformasi)
permanen akibat beban tetap yang bekerja padanya. Akibat beban tetap dalam kurun
waktu lama, saat beton mengalami regangan dan tegangan akan terjadi pula peningkatan
regangan dalam jangka waktu pembebanan. Demikian pula akibat “rangkak” selalu
berhubungan dengan “susut” karena keduanya terjadi bersamaan. Dengan kata lain
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rangkak juga mempengaruhi susut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya rangkak adalah: (1) sifat bahan dasar,
seperti komposisi dan kehalusan semen, kualitas adukan, dan kandungan mineral dalam
agregat; (2) rasio air terhadap jumlah semen; (3) suhu pada waktu proses pengerasan;
(4) kelembaban nisbi selama penggunaan; (5) umur beton pada saat beban bekerja; (6)
lama pembebanan; (7) nilai tegangan; (8) nilai banding luas permukaan dan volume
komponen struktur; dan (9) nilai slump.

4. BAJA TULANGAN
Beton tidak mampu menahan gaya/tegangan tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami
retak-retak, oleh karena itu beton diberi tulangan yang fungsinya terutama memikul
gaya/tegangan tarik dalam sistem struktur.

Baja tulangan untuk beton bertulang berupa baja berpenampang bulat, dengan bentuk
permukaan yang terdiri dari: (a) baja tulangan polos (BJTP) dan (b) baja tulangan
deformasian (BJTD).

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 8


Tulangan untuk beton harus memenuhi syarat-syarat atau standar tertentu agar dapat
berfungsi dengan baik dalam sistem struktur beton bertulang. (SII 0136-84, SII 318-80,
ASTM A416 & SK SNI T-15-1991-03).
Ketentuan SK SNI T-15-1991-03 memberikan nilai modulus elastisitas baja tulangan (E s)
= 200.000 MPa.

Gambar 1.6 Hubungan Tegangan vs Regangan Baja Tulangan

ASTM A416 memberikan standar baja tulangan seperti tabel 1.1 dan SII 0136-80
mengelompokkan baja tulangan seperti tabel 1.2.

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 9


Tabel 1.1 Standar batang baja tulangan
ASTM
Diameter Nominal Luas Nominal Berat
Nomor
Nominal
Batang
(inch) (mm) (sq. inch) (mm2) (kg/m)
# 3 0,375 9,5 0,11 0,71 0,559
4 0,500 12,7 0,20 1,29 0,994
5 0,625 15,9 0,31 2,00 1,552
6 0,750 19,1 0,44 2,84 2,235
7 0,875 22,2 0,60 3,87 3,041
8 1,000 25,4 0,79 5,10 3,973
9 1,125 28,7 1,00 6,45 5,059
10 1,270 32,3 1,27 8,19 6,403
11 1,410 35,8 1,56 10,06 7,906
14 1,693 43,0 2,25 14,52 11,380
18 2,257 57,3 4,00 25,81 20,240

Tabel 1.2 Standar batang baja tulangan SII


0136-80
Tualangan Baja Diameter Luas Nominal Berat Nominal
Nominal (mm) (mm2)
Polos Deform (kg/m)

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 10


P6 D6 6 0,283 0,222
P8 D8 8 0,503 0,395
P9 D9 9 0,636 0,499
P10 D10 10 0,785 0,617
P12 D12 12 1,131 0,888
P13 D13 13 1,327 1,040
P14 D14 14 1,540 1,210
P16 D16 16 2,011 1,580
P18 D18 18 2,545 2,000
P19 D19 19 2,835 2,230
P20 D20 20 3,142 2,470
P22 D22 22 3,801 2,980
P25 D25 25 4,909 3,850
P28 D28 28 6,157 4,830
D29 29 6,605 5,190
P32 D32 32 8,043 6,310
D36 36 10,179 7,990
D40 40 12,565 9,870
D50 50 19,635 15,400

Tabel 1.2 Jenis dan kelas baja tulangan sesuai


SII 0136-80
Batas Ulur Batas Tarik
Maksimum Minimum
Jenis Kelas Simbol
N/mm2 N/mm2
(kgf/mm2) (kgf/mm2)
Batang 1 BJTP24 235 382
Polos (24) (39)

2 BJTP30 294 480


(30) (49)
Batang 1 BJTD24 235 382
Deformasian (24) (39)

2 BJTD30 294 480


(30) (49)

3 BJTD35 343 490


(35) (50)

4 BJTD40 392 559


(40) (57)

5 BJTD50 490 610


(50) (63)

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 11


5. PENAMPANG BALOK TERLENTUR

Perhatikan suatu balok di atas dua tumpuan A & B menerima beban terbagi rata atau
disebut balok terlentur, seperti gambar 1.7 berikut:

w kN/m’

A B Balok A-B menerima beban merata


L w kN/m mengakibat-kan momen
lentur Mmaks di tengah bentang.
Bagaimana kondisi tegangan -
Mmaks regangan yang terjadi?

Momen pikul penampang (MR)?

Gambar 1.7 Balok Terlentur

Berdasarkan Teori Elastisitas :

Penampang dari bahan homogen (mis. baja) atau bahan yang dianggap homogen (mis.
kayu), mengalami lenturan digambarkan sebagai berikut:

a ƒa
h = tinggi balok (mm)

c ND b = lebar balok (mm)

h g.n. c = jarak garis netral (mm)


z  = regangan
NT ƒ = tegangan (MPa)
b b ƒb ND = gaya tekan dalam (kN)
NT = gaya tarik dalam (kN)
z = lengan momen dalam
Gambar 1.8 Diagram Tegangan – Regangan (mm)

Metode Rumus Lenturan:

; ;

Metode koppel momen dalam:

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 12


Gaya Koppel : ND = b . c . ½fa & NT = b . (h–c) . ½fb  c = ½ h (homogen)

ND = NT  b . c . ½fa = b . (h–c) . ½fb  fa = fb = f

Momen Pikul : MR = N D x z = NT x z  MR = b. ½h . ½ f . 2/3 h

MR = 1
/6 b h2 f atau MR . c = 1/12 b h3 f

W Momen Tahanan I Momen Inersia

Syarat : MR  M ; fytd  fijin ; &   maks

Soal Latihan:

Zet Mallisa Struktur Beton Bertulang I I - 13


POKOK BAHASAN II

DASAR-DASAR ANALISIS DAN PERENCANAAN

1. STANDAR DAN PERATURAN BETON

Standar atau Peraturan atau Pedoman yang mengatur tata cara atau metode
perhitungan/perencanaan maupun pelaksanaan bangunan beton bertulang diterbitkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia cq. Badan Standarisasi Nasional (BSN)
atau Badan atau Tim lainnya yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

Di Indonesia peraturan standar atau pedoman beton bertulang telah mengalami beberapa
kali pembaharuan, yaitu pertama kalinya adalah Peraturan Beton Indonesia 1955 (PBI
1955), dan kemudian Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 (PBI 1971).
Perkembangan standar/peraturan perhitungan struktur beton selanjutnya adalah
Pedoman Beton 1989 (PB’89) SKBI-1.4.53.1989, mengadopsi American Concrete
Institute (ACI), dan disusul dengan Standar SK. SNI T-15-1991-03 (SNI 03-2847-1992)
tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung. Standar
SNI 03-2847-1992 kemudian mengalami beberapa tambahan materi dan revisi yang
dituangkan dalam SNI 03-2847-2002.

Dibeberapa negara maju dikenal standar/peraturan beton antara lain: di Amerika Serikat
(ACI 318-70, ACI 318-83), di Inggris (Unified B.S. Code 1970), di Nederland (VB 1972),
dan Badan Internasional dikenal CEB (Comite Europeen du Beton), FIP (Federation
Internatioanl de la Precontraint), ISO (International Standardization Organization).

Peraturan atau Standar tersebut di atas diberlakukan sebagai peraturan standar resmi di
Indonesia, sehingga harus diikuti karena berkekuatan hukum dalam pengendalian
perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang.. Peraturan standar lainnya
dapat digunakan sebagai acuan pembanding dan atau bila sesuatu masalah tidak terdapat
di dalam peraturan resmi yang berlaku.

Standar SNI 03-2847-1992, disamping melakukan pembaharuan serta memberikan


ketentuan-ketentuan baru dan tambahan ketentuan yang belum diatur dalam peraturan
lama, juga telah menggunakan Satuan SI (Standar Internasional) dan Notasi
disesuaikan dengan yang berlaku di kalangan Internasional.

SK. SNI T-15-1991-03 (SNI 03-2847-1992) tentang Tata Cara Perhitungan Struktur
Beton untuk Bangunan Gedung, tidak dimaksudkan hanya sebagai acuan untuk
bangunan gedung saja, akan tetapi juga berlaku untuk struktur beton lainnya yang relevan
dengan maksud dan tujuan dari standar ini.

Selain standar yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa standar lainnya sebagai
acuan normatif (terlampir) yang dapat dijadikan referensi rujukan dalam hubungannya
perencanaan struktur beton bertulang.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 1


2. METODE ANALISIS DAN PERENCANAAN
Proses analisis dan perencanaan umumnya dimulai dengan memenuhi persyaratan
terhadap lentur, kemudian faktor lainnya, seperti: kapasitas geser, defleksi, retak, dan
panjang penyaluran, hingga kesemuanya memenuhi syarat-syarat atau ketentuan
kekuatan.

Pendekatan metode perencanaan kekuatan beton bertulang, dikenal dua cara, yaitu:
 Metode perencanaan tegangan kerja
(Working Stress Design Method, WSD method), atau metode elastik (cara-n).
 Metode perencanaan kekuatan batas
(Ultimate Strength Design Method, USD method).

a. Metode perencanaan tegangan kerja


(Working Stress Design Method)
Metode perencanaan elastik didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan perilaku bahan
beton bertulang disamakan dengan bahan homogen (serba sama) seperti baja dan kayu,
dimana diagram tegangan dan diagram regangan pada penampang balok (bahan
homogen) terlentur terdistribusi linier yaitu nilai nol dari garis netral ke nilai maksimum
pada serat tepi terluar.

Pada metode tegangan kerja, beban yang diperhitungkan adalah beban kerja (service
load), sedangkan analisis tegangan berdasarkan pada tegangan tekan lentur ijin (fc’ijin =
0,45 fc’). Rasio (nilai banding) modulus elastisitas baja tulangan dengan beton atau
disebut angka ekivalensi (n) = Es/Ec diambil angka pembulatan terdekat dengan
ketentuan n  6. (SK SNI T-15-1991-03 Ps. 3.15.5).

c’ fc’ = c’ Ec

A ND
x
g.n.
h d z
As
A
s fs = s Es NT
b

Gambar 2.1 Diagram tegangan–regangan penampang terlentur

Metode perencanaan tegangan kerja (cara “n”), tidak lagi disyaratkan untuk digunakan
dalam perhitungan atau perencanaan struktur beton bertulang, sehingga tidak dibahas
dalam materi mata kuliah Struktur Beton Bertulang.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 2


b. Metode perencanaan kekuatan batas
(Ultimate Strength Design Method)
Pendekatan metode perencanaan kekuatan batas didasarkan pada hal-hal bahwa
hubungan sebanding antara tegangan dan regangan hanya berlaku sampai pada
keadaan pembebanan tertentu, yaitu pada tingkat beban kecil dan beban sedang
(Gambar 2.2. dan Gambar 2.3).
Apabila beban ditambah terus menerus maka keadaan seimbang akan lenyap dan
diagram tegangan tekan pada penampang balok beton akan berbentuk setara dengan
kurva. Pada gambar 2.3 terlihat bahwa distribusi tegangan dan regangan yang timbul
pada atau dekat keadaan beban batas (ultimate loads), dimana apabila kapasitas batas
kekuatan beton terlampaui dan tulangan baja mencapai luluh, balok akan mengalami
hancur.
Keadaan di atas akan nampak bahwa tercapainya kapasitas batas merupakan proses
yang tidak dapat berulang. Dengan beberapa faktor keamanan maka tercapainya
keadaan batas dapat diperhitungkan serta dikendalikan.
Perilaku lentur pada penampang beton bertulang pada beberapa kondisi pembenanan (beban
kecil, sedang dan batas), digambarkan dalam bentuk diagram tegangan regangan, berikut:

c’ fc ’
A
ND
c
h d g.n. z
As s fs
A
NT
b c fc

(a) Balok terlentur (b) Penampang (c) Regangan (d) Tegangan

Gambar 2.2 Perilaku lentur pada beban kecil

c’ fc ’
A
ND
c g.n.
h d z
A As
s fs NT
b

(a) Balok terlentur (b) Penampang (c) Regangan (d) Tegangan

Gambar 2.3 Perilaku lentur pada beban sedang

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 3


c’ fc’
A
c g.n. ND
h d z
A As
s fs NT
b

(a) Balok terlentur (b) Penampang (c) Regangan (d) Tegangan

Gambar 2.4 Perilaku lentur mendekati beban batas

Pendekatan dan pengembangan metode perencanaan kekuatan batas didasarkan atas


anggapan-anggapan sebagai berikut:
1) Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan, tetap rata rata setelah terjadi lenturan
dan berkedudukan tegak lurus pada sumbu balok (prinsip bernoulli). Oleh karena itu nilai
regangan dalam penampang komponen struktur terditribusi linier atau sebanding lurus
terhadap jarak ke garis netral (prinsip Navier).
2) Tegangan sebanding dengan regangan hanya sampai kira-kira beban sedang (tegangan
beton ytj.  ½ fc’). Saat beban ultimit tegangan tidak sebanding lagi dengan
regangannya dan distribusi tegangan tidak linier tetapi berupa garis lengkung dari garis
netral sampai tepi tekan terluar. Tegangan tekan maksimum tidak berada pada serat tepi
tekan terluar tetapi agak kedalam.
3) Dalam menghitung kapasitas momen ultimit komponen struktur, kuat tarik beton diabai-kan
(tidak diperhitungkan) dan seluruh gaya tarik dilimpahkan kepada tulangan tarik.

b c’=0,003 fc ’

c
ND
garis netral
h d z

As NT
s y fs=fy

(a) Penampang (b) Regangan (c) Tegangan (d) gaya koppel

Gambar 2.5 Balok menahan momen ultimit

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 4


Resultante gaya tarik yang bekerja pada tulangan tarik, dihitung dengan menganggap baja
tulangan meregang serempak dengan nilai regangan diukur pada pusat beratnya. Jika
regangan baja tulangan (s) belum mencapai regangan luluh (y), maka nilai tegangan baja
tulangan (fs) adalah s Es, berarti dalam hal ini tegangan masih sebanding dengan regangan
(hukum Hooke). Sebaliknya tegangan tidak sebanding lagi dengan regangan jika s  y,
sehingga fs = fy.

Sesuai SK SNI T-15-1991-03, regangan tekan beton maksimum pada serat tepi tekan terluar
ditetapkan c’maks = 0,003, (PBI 1971, c’maks = 0,0035 dan s maks = 0,030).

3. KEKUATAN PENAMPANG PERSEGI TERLENTUR

DASAR-DASAR PERHITUNGAN KEKUATAN


Metode Perencanaan Kekuatan Batas (sesuai SK. SNI.T-15-1991-03)

SK SNI T-15-1991-03 ps. 3.3.2 ay. 7 memberikan ketentuan tentang distribusi tegangan
beton tekan ekivalen, sebagaimana yang diusulkan oleh Whitney bahwa blok tegangan
tekan ekivalen berbentuk persegi panjang sebagai distribusi tegangan tekan beton
ekivalen, sebagaimana tergambar berikut ini (Gambar 2.6 dan gambar 2.7).

b c’ fc ’ 0,85fc’

½a
c a = 1 c ND
garis netral
h d z
As
NT
s fy fy

(a) Penampang (b) Diagram (c) Blok tegangan (d) Blok tegangan (e) Koppel
terlentur regangan tekan aktual tekan ekivalen gaya dalam

Gambar 2.6 Blok Tegangan Ekivalen Whitney

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 5


b

h
d c 0,85 fc’

garis netral + a = 1 c

ND = 0,85 fc’ a b
As
z=d–½a

NT = As fy

Gambar 2.7 Blok Tegangan Ekivalen

4. RAGAM KERUNTUHAN & PEMBATASAN TULANGAN TARIK

RAGAM KERUNTUHAN
Kendatipun digunakan metode perencanaan kekuatan batas, akan tetapi prinsip-prinsip
dasar teori lentur masih digunakan pada analisis penampang. Perbandingan antara
regangan baja dengan regangan beton maksimum ditetapkan berdasarkan distribusi
regangan linier. Posisi garis netral tergantung pada jumlah tulangan tarik, dimana blok
tegangan tekan beton harus mempunyai kedalaman (a) yang cukup agar tercapai
keseimbangan gaya-gaya dalam ( H = 0).

Kedalaman blok tegangan tekan beton akan bertambah seiring dengan bertambahnya
tulangan tarik dan sebaliknya. Dengan demikian maka akan terdapat tiga kemungkinan
kondisi keseimbangan regangan, yang bergantung pada jumlah tulangan tarik, yaitu:

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 6


1) Balanced reinforced (bertulangan seimbang): yaitu kondisi dimana tercapai secara
bersamaan regangan luluh baja tarik (s = y) dan regangan beton tekan maksimum
(c’= 0,003), struktur demikian disebut keruntuhan tarik dan tekan.
2) Over-reinforced (bertulangan lebih): yaitu kondisi dimana tercapai lebih dahulu
regangan beton tekan maksimum (c’= 0,003), sebelum tercapai regangan luluh baja
tarik (s < y), struktur demikian disebut keruntuhan tekan.
3) Under-reinforced (bertulangan kurang): yaitu kondisi dimana tercapai lebih dahulu
regangan luluh baja tarik (s = y), sebelum tercapai regangan beton tekan maksimum
(c’< 0,003), struktur demikian disebut keruntuhan tarik.

c’ = 0,003
c’< 0,003

g. n. penulangan kurang
g. n. penulangan seimbang
g. n. penulangan lebih

s < y
s = y

Gambar 2.8. Variasi letak garis netral

PEMBATASAN TULANGAN TARIK


Dengan pertimbangan bahwa keruntuhan tarik memberikan keuntungan dalam hal
keamanan, dimana meluluhnya tulangan tarik akan berlangsung secara perlahan dan
bertahap sehingga masih sempat memberi tanda-tanda atau peringatan sebelum
keruntuhan, tetapi sebaliknya pada keruntuhan tekan.
SK SNI T-15-1991-03 ps. 3.3.3. memberi pembatasan tulangan tarik maksimum (A s maks)
yaitu 75% dari tulangan tarik yang diperlukan pada kondisi seimbang (A sb), sehingga
rasio tulangan tarik maksimum (maks) juga 75% dari rasio tulangan tarik pada keadaan
seimbang (b).

As  0,75 Asb ; maks = 0,75 b 

Regangan dan tegangan pada kondisi seimbang

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 7


b c’= 0,003 0,85fc’
½a
NDb
cb a = 1 cb
garis netral z
h d

As NTb
s = y fy
(a) Penampang terlentur (b) Diag. regangan (c) Diag. Tegangan & kopel momen dalam

Gambar 2.8 Diagran Regangan - Tegangan Kondisi Seimbang

Untuk menghitung rasio penulangan seimbang (b) adalah sebagai berikut (perhatikan
gambar 2.8) :

(masukkan nilai Es = 200.000 MPa), maka:

atau

dari persamaan gaya koppel : NDb = NTb , maka:

atau subtitusi pers.

sehingga:  &


5. PERSYARATAN KEKUATAN

SK SNI T-15-1991-03 ps. 3.2.2 dan ps. 3.2.3 membrikan syarat-syarat kekuatan dan
angka keamanan, berupa faktor beban dan faktor reduksi kekuatan, sebagai berikut:

Beban terfaktor: U = 1,2 D + 1,6 L

atau Mu = 1,2 MDL + 1,6 MLL

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 8


Faktor reduksi kekuatan (), adalah:

Lentur tanpa beban aksial 0,80


Geser dan Puntir 0,60
Tarik aksial, tanpa dan dengan lentur (sengkang) 0,80
Tekan aksial tanpa dan dengan lentur (sengkang) 0,65
Tekan aksial tanpa dan dengan lentur (spiral) 0,70
Tumpuan pada beton 0,70

Momen pikul penampang:

Kekuatan yang tersedia  Kekuatan yang dibutuhkan

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I II - 9


POKOK BAHASAN III

ANALISIS & PERENCANAAN PENAMPANG TERLENTUR

1. PENAMPANG PERSEGI BERTULANGAN TUNGGAL

Pengertian
Penampang persegi bertulangan tunggal dimaksudkan bahwa balok tersebut hanya
mempunyai tulangan tarik. Hal ini dimaksudkan karena penampang beton yang ada
cukup kuat menahan tegangan tekan yang terjadi sehingga tidak dibutuhkan adanya
tulangan tekan.

Analisis Kekuatan Lentur


Analisis penampang dimaksudkan untuk memeriksa kemampuan pikul penampang,
sehingga unsur-unsur penampang yang perlu diketahui yaitu: tulangan tarik (A s), lebar
(b), tinggi total (h), tinggi efektif (d) dan mutu bahan baja (f y) dan mutu beton (fc’).
Asumsi bahwa tulangan baja tarik telah mencapai tegangan luluh (f y) dan berdasarkan
blok tegangan tekan ekivalen ((Whitney), diperoleh intensitas tegangan rata-rata 0,85f c ’,
bekerja selebar b dengan kedalamam a maka untuk penampang terlentur dengan hanya
tulangan tarik, digambarkan diagram tegangan-regangan seperti gambar 3.1.

b c’= 0,003 0,85fc’

Blok c ½a ND
a =  c
Tekan
h d garis netral
z = d - ½a
As
NT
s = εy fy
(a) Penampang terlentur (b) Diag. Regangan (c) Diag. Tegangan &
kopel momen dalam

Diagram Regangan - Tegangan Tulangan Tunggal

Gambar 3.1 Diagram Regangan - Tegangan Tulangan Tunggal

Tinggi blok tegangan tekan beton (a) dihitung sebagai berikut:

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 1


notasi: a = tinggi blok tegangan tekan beton (mm)
a =  c c = jarak serat tekan terluar ke garis netral (mm)
 = konstanta sebagai fungsi mutu beton

SK. SNI T-15-1991-03, menetapkan nilai = 0,85 untuk fc’  30 MPa dan setiap 1 MPa
kenaikan kekuatan beton, nilai tersebut dikurangi 0,008 dengan ketentuan 0,65.
Keseimbangan gaya horisontal,  H = 0  ND = N T (3.1.1)

dimana: ND = 0,85 fc’ a b (3.1.2)

dan NT = As fy atau NT = ρbd fy (3.1.3)

sehingga: atau (3.1.4)

jika: (3.1.5)

maka (3.1.6)

persamaan momen nominal penampang: Mn = ND z = NT z (3.1.7)

subtitusi (3.1.2) ke (3.1.7), Mn = 0,85 fc‘ b a (d - ½ a) (3.1.8)

subtitusi (3.1.6) ke (3.1.8), Mn = b d 2 fc‘ (3.1.9)

jika koefisien tahanan, k = fc‘ (3.1.10)

maka : Mn = b d 2 k (3.1.11)

Persamaan-persamaan di atas memperlihatkan hubungan k dengan  dalam bentuk persamaan


kuadrat yang dipengaruhi oleh nilai tegangan baja (fy) dan tegangan beton (fc‘).

dari (3.1.10) diperoleh pers kuadrat: (3.1.12)

dengan rumus abc, (3.1.13)

subts. (3.1.5) ke (3.1.13), (3.1.14)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 2


jika (3.1.15)

maka (3.1.16)

dan (3.1.17)

untuk keamanan kekuatan penampang maka momen nominal (Mn) harus dikalikan dengan faktor
reduksi kekuatan () = 0,80, sehingga diperoleh momen pikul penampang (MR):

MR =  Mn =  b d2 k (3.1.18)

Syarat: MR  Mu (3.1.19)

Penentuan Dimensi Balok

Dimensi balok dapat ditentukan/diperkirakan melalui pendekatan empiris dengan rasio (d/b)
berkisar 1,0 s/d 3,0 dimana secara umum biasanya diambil nilai 1,5 s/d 2,2. Rasio (d/b)
tersebut tidak mengikat terutama jika ukuran balok sudah ditentukan atau dengan
pertimbangan segi estetika dan segi fungsional, sehingga rasio (d/b) > 3,0 atau (d/b) <
1,0.

Dimensi balok merupakan fungsi dari rasio tulangan tarik, beban terfaktor, mutu beton dan
mutu baja tulangan, atau b d = f ( , Mu,, fc’, fy ). Untuk pendekatan dapat menggunakan
pers. (3.1.18) dimana Mu = MR.

2. PENAMPANG PERSEGI BERTULANGAN RANGKAP


Pengertian
Penampang persegi bertulangan rangkap dimaksudkan bahwa balok tersebut
mempunyai tulangan tarik dan tekan. Hal ini dimaksudkan karena penampang beton
yang ada tidak cukup kuat menahan tegangan tekan yang terjadi sehingga dibutuhkan
adanya tulangan tekan.

Analisis Kekuatan Lentur


Analisis penampang dimaksudkan untuk memeriksa kemampuan pikul penampang,
sehingga unsur-unsur penampang yang perlu diketahui yaitu: tulangan tarik (A s),
tulangan tekan (As’), lebar (b), tinggi total (h), tinggi efektif (d), mutu bahan baja (f y) dan
mutu beton (fc’).

Pada dasarnya prinsip dan asumsi-asumsi dasar penampang persegi bertulangan


rangkap sama dengan penampang persegi bertulangan tunggal. Kecuali karena adanya
tulangan tekan, dimana tulangan baja tekan (f s ’) merupakan fungsi dari regangannya

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 3


tepat pada titik berat tulangan tekan. Sesuai dengan prinsip terdahulu, bahwa baja
berperilaku elastik hanya pada saat mencapai regangan luluhnya.

Dengan dasar tersebut di atas akan terjadi dua kondisi perhitungan penampang
bertulangan rangkap, yaitu kondisi I bilamana regangan tekan baja (s’) sama atau lebih
besar dari regangan luluhnya (y) maka tegangan tekan baja (f s ’) sama dengan tegangan
luluhnya (f y ). Sedangan kondisi II bilamana regangan tekan baja (s’) lebih kecil dari
regangan luluhnya (y) maka tegangan tekan baja (f s ’) juga lebih kecil dari tegangan
luluhnya (f y ).
Kondisi I  sehingga
Kondisi II  sehingga
Karena adanya kombinasi beton dan baja dalam menerima tegangan tekan, maka momen
tahanan dalam akan terdiri atas dua bagian koppel momen, yaitu pasangan antara beton
tekan (ND1) dengan tulangan baja tarik awal (N T1) (sesuai yang dibutuhkan pada tulangan
tunggal) dan pasangan tulangan baja tekan (N D2) dengan tambahan tulangan baja tarik
(NT2). Lihat diagram pada gambar 3.2).

b c’= 0,003 0,85fc’

d’ ½a
c s’ a =  c ND2
ND1
As’ garis netral
h d z2=d – d’
z1= d -½a

As NT1 NT2
s fy
beton - baja baja - baja
(a) Penampang terlentur (b) Diag. regangan (c) Diag. Tegangan kopel momen dalam

Gambar 3.2 Diagram Regangan - Tegangan Tulangan Rangkap

Kondisi I  ( ; shg )
luas tulangan tarik, As = As1 + As2 (3.2.1)

luas tulangan tekan, As’


karena & maka As’ = As2 (3.2.2)

gaya-gaya koppel tekan-tarik, ND = NT

ND = ND1 + ND2 = 0,85 fc’ a b + As’ fy (3.2.3)


NT = NT1 + NT2 = As1 fy + As2 fy = As fy (3.2.4)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 4


kuat momen nominal, Mn = Mn1 + Mn2

momen koppel beton-baja : Mn1 = ND1 . z1 = NT1 . z1

Mn1 = 0,85 fc’ a b (d - ½a) = As1 fy (d - ½a) (3.2.5)

momen koppel baja-baja: Mn1 = ND1 . z1 = NT1 . z1

Mn2 = As’ fy (d – d’) = As2 fy (d – d’) (3.2.6)

momen koppel total:

Mn = 0,85 fc’ a b (d - ½a) + As’ fy (d – d’) (3.2.7)

atau Mn = As1 fy (d - ½a) + As2 fy (d – d’) (3.2.8)

dari persamaan (3.2.3) dan (3.2.4)

diperoleh, atau (3.2.9)

Kondisi II  ( ; shg )
luas tulangan tarik, As = As1 + As2 (3.2.10)

luas tulangan tekan, As’

karena & maka As’ = As2 (3.2.11)

gaya-gaya koppel tekan-tarik, ND = NT

ND = ND1 + ND2 = 0,85 fc’ a b + As’ fs’ (3.2.12)

NT = NT1 + NT2 = As1 fy + As2 fy = As fy (3.2.13)

kuat momen nominal, Mn = Mn1 + Mn2

momen koppel beton-baja : Mn1 = ND1 . z1 = NT1 . z1

Mn1 = 0,85 fc’ a b (d - ½a) = As1 fy (d - ½a) (3.2.14)

momen koppel baja-baja: Mn1 = ND1 . z1 = NT1 . z1

Mn2 = As’ fs’ (d – d’) = As2 fy (d – d’) (3.2.15)

momen koppel total:

Mn = 0,85 fc’ a b (d - ½a) + As’ fs‘ (d – d’) (3.2.16


atau Mn = As1 fy (d - ½a) + As2 fy (d – d’) (3.2.17)

dari persamaan (3.2.12) dan (3.2.13)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 5


diperoleh, atau (3.2.18)

As2 fy
3. PENAMPANG BALOK “ T “

Pengertian

Balok “T” adalah suatu struktur balok dan pelat yang merupakan satu kesatuan monolit dan
dapat bekerja sama (berinteraksi) saat menahan momen lentur positif, dimana pelat akan
berfungsi sebagai sayap (flens) dan balok sebagai badan (rib).

Persyaratan Khusus

a. Konstruksi Balok "T" (badan & flens) harus dilaksanakan secara menyatu (monolit) agar
diperoleh lekatan yang efektif.

b. Bila tulangan lentur utama pelat yang dianggap sebagai flens balok T sejajar dengan balok
(kecuali konst. pelat rusuk), maka harus disediakan penulangan disisi atas pelat yang tegak
lurus balok berdasarkan dengan ketentuan :
 Tulangan transversal harus direncanakan untuk menahan beban terfaktor pada lebar pelat
yang membentang (yang dianggap berperilaku sebagai kantilever), dimana diperhitungkan
lebar efektifnya. Sedang untuk balok tunggal, seluruh lebar dari flens harus diperhitungkan.
 Tulangan transversal harus dipasang dengan spasi tidak melebihi lima kali tebal pelat atau
500 mm.
Lebar Flens Efektif (b)

a. Lebar flens efektif (b) balok ”T” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-nilai sebagai
berikut :
b ≤ ¼ L seperempat bentang balok
≤ bw + 16 ht lebar rib ditambah 16 kali tebal pelat
≤ bk jarak antara spasi balok

b. Lebar flens efektif (b) balok ”L” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-nilai sebagai
berikut :

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 6


b ≤ 1/12 L seperduabelas bentang balok
≤ bw + 6 ht lebar rib ditambah 6 kali tebal pelat
≤ bw + ½ bs lebar rib ditambah seperdua jarak bersih

c. Lebar flens efektif (b) balok ”T” yang khusus dibentuk untuk mendapatkan tambahan luas
daerah tekan, harus dipenuhi persyaratan berikut berikut :
ht ≥ ½ bw seperdua lebar rib
b ≤ 4 bw empat kali lebar rib

Prinsip & Analisis Perhitungan.

a. Persyaratan daktilitas balok “T” sama dengan balok persegi, yaitu rasio tulangan maksimum,
ρmaks £ 0,75 ρb & rasio tulangan min., ρmin = 1,4/fy.

b. Rasio penulangan aktual (ρaktual) ditentukan berdasarkan lebar badan balok (bw), bukan
lebar flens efektif (b).

c. Faktor reduksi kekuatan () = 0,80, sama pada balok persegi biasa (karena umumnya
mengalami lentur tanpa beban aksial ).

d. Dalam proses analisis, akan dijumpai bentuk blok tegangan tekan dalam dua kondisi
kemungkinan, yaitu :
 Balok "T" Persegi, apabila seluruh blok tegangan tekan masuk di dalam daerah flens
sehingga blok tegangan tekan mencakup daerah kerja berbentuk persegi.
 Balok "T" Murni, apabila blok tegangan tekan meliputi seluruh daerah flens dan
sebagian masuk dibadan balok sehingga blok tegangan tekan mencakup daerah kerja
berbentuk huruf "T".

e. Diagram Tegangan - Regangan balok "T"


c’ 0,85 fc’
b

ND ND1
ht c a ND2
garis netral
d z
z2 z1
AS

bw s = y NT

Jika a £ ht  Blok tegangan tekan berbentuk “ PERSEGI ”

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 7


maka : ND2 = 0 sehingga ND1 = ND  ND = NT

Jika a > ht  Blok tegangan tekan berbentuk “ T ”

maka : ND1 + ND2 = ND  ND = NT

ND1 = 0,85 fc’ ht b ; ND2 = 0,85 fc’ (a - ht) bw ; NT = AS fy

AS fy = 0,85 fc’ (ht b) + 0,85 fc’ (a - ht) bw

Iktisar Analisis
1) Tentukan lebar flens efektif

2) Hitung gaya tarik total, NT = As . fy,


Anggapan tulangan tarik telah meluluh

3) Hitung gaya tekan, ND = 0,85 fc' b ht

Anggapan hanya daerah flens yang tertekan


4) Kontrol perilaku balok T

 Kemungkinan I : Apabila NT ≤ ND maka balok berperilaku balok T persegi,


dimana perhitungan didasarkan pada balok persegi biasa.

 Kemungkinan II : Apabila NT > ND maka balok berperilaku sebagai balok T


murni, dimana perhiungan. didasarkan pada balok T murni dan selisih gaya tekan (N T -
ND) akan ditampung disebagian daerah badan balok.

» Kemungkinan I : Balok T “Persegi”

5) Hitung ρ aktual = As / (bw d) Periksa terhadap ρ min = 1,4 / fy

6) Hitung rasio penulangan ρ = As /(b d).

7) Tentukan nilai koefisien tahanan (k) dari tabel atau nomogram, berdasarkan nilai ρ dan
nilai fy & fc'.

8) Hitung Momen Tahanan, MR =  b d2 k

9) Periksa persyaratan daktilitas, dimana As maks harus lebih besar dari As.
 Apabila As > Asmaks, maka momen tahanan MR dihitung dgn menggunakan As maks yang dalam hal ini disebut
sebagai As efektif.

» Kemungkinan II : Balok T Murni

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 8


5) Hitung Tinggi blok tegangan tekan persegi ekivalen,

6) Hitung r aktual = As / (bw d) Periksa terhadap ρ min = 1,4 / fy

7) Hitung nilai lengan momen dalam, z = d – y


 Dimana y adalah letak titik pusat daerah tekan total, y =  Ay / A

8) Hitung Momen Tahanan, MR =  ND z atau MR =  NT z

9) Periksa persyaratan daktilitas, dimana As maks harus lebih besar dari As.
 Apabila As > As maks, maka momen tahanan MR dihitung dgn menggunakan As maks yang
dalam hal ini disebut sebagai As efektif .

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I III - 9


POKOK BAHASAN IV

ANALISIS DAN PERENCANAAN GESER


SK. SNT. T-15-1991-03 sub bab 3.4

1. PENULANGAN GESER LENTUR

Pengertian
Geser lentur dimaksudkan sebagai gaya geser yang bekerja pada penampang yang mengalami
lenturan akibat timbulnya gaya lintang, shg kemungkinan dibutuhkan tulangan geser (bila beton
tidak mampu) untuk memikul gaya geser yang terjadi.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 1


Asumsi dan Persyaratan

a. Mekanisme perlawanan geser

1. Adanya perlawanan beton sebelum terjadi retak


2. Adanya gaya ikatan antar agregat kearah tangensial disepanjang ikatan
3. Timbulnya aksi pasak tulangan memanjang sebagai perlawanan terhadap gaya transversal
yang harus ditahan
4. Terjadinya perilaku pelengkung pada balok yang relatif tinggi, dimana segera setelah terjadi
retak miring, beban dipikul oleh susunan reaksi gaya tekan yang membentuk busur
melengkung dengan pengikatnya adalah gaya tarik disepanjang tulangan memanjang yang
tenyata memberikan cadangan kapasitas yang cukup tinggi.
5. Adanya perlawanan tulangan geser yang berupa sengkang vertikal atau tulangan miring
(balok bertulangan geser).

b. Beberapa cara Penulangan geser


1. Sengkang vertikal
2. Jaringan kawat baja las yang dipasang tegak lurus sumbu aksial
3. Sengkang miring atau diagonal
4. Batang tulangan miring diagonal dengan membengkok tulangan pokok
5. Tulangan spiral

c. Perencanaan geser untuk komponen struktur terlentur didasarkan pada anggapan


bahwa beton menahan sebagian dari gaya geser yang timbul dan kelebihan gaya geser (yang
tidak dapat dipikul oleh beton) dilimpahkan kepada tulangan geser.

d. Tulangan geser minimum harus selalu dipasang pada komponen struktur beton bertulang,
kendatipun gaya geser terfaktor (Vu) lebih kecil dari pada kekuatan geser beton tereduksi (
Vc), kecuali pada:
1. Pelat dan Fondasi telapak.
2. Struktur balok beton rusuk
3. Balok dengan tinggi total tidak lebih dari 250 mm, atau ½ kali tebal flens, atau ½ kali
lebar badan balok.
4. Pada bagian struktur dimana nilai, Vu ≤ ½ f Vc.

e. Lebar retak berlebihan akibat gaya tarik diagonal, dihindari dengan mengambil kuat luluh
tulangan geser maks. fy = 400 MPa dan nilai kekuatan tulangan geser maksimum, Vs maks =
(⅔ √fc') bw d.

f. Tulangan sengkang umumnya digunakan maksimum diameter 10 mm, kecuali dengan alasan
tertentu kemungkinan digunakannya diameter 12 mm.
Oleh karena itu untuk balok ukuran besar atau yang menerima gaya geser relatif besar maka
dapat digunakan sengkang rangkap.

g. Jarak spasi antar sengkang maksimum ½d (tinggi efektif penampang) atau 600 mm.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 2


Bilamana Vs > (⅓ √fc') bw d, maka jarak spasi sengkang maksimum ¼ d atau 300 mm.

Dasar-dasar Perhitungan
dari SK. SNI. T-15-1991-03 sub bab 3.4.
memberikan acuan dasar perencanaan tulangan geser sbb.:

Kondisi Perhitungan & Batasan Tulangan Geser

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 3


Notasi-Notasi
Vu = Gaya geser rencana terfaktor, kN
VDL = Gaya geser yang bekerja akibat beban mati, kN
VLL = Gaya geser yang bekerja akibat beban hidup, kN
Vc = Kekuatan geser nominal beton, kN
Vs = Kekuatan tulangan geser nominal, kN
Vs maks = Kekuatan tulangan geser maksimum ( yang diijinkan ), kN
Vu = Tegangan geser rata-rata nominal, MPa
 = Faktor reduksi kekuatan,
Av = Luas tulangan geser, mm²
s = Jarak / spasi tulangan geser, mm
A = Sudut kemiringan tulangan geser miring terhdp sumbu balok,  = 45°
bw = Lebar badan balok, mm
D = Tinggi efektif balok, mm
fc' = Kuat tekan beton, MPa
fy = Tegangan luluh baja tulangan, MPa

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 4


2. PENULANGAN GESER PUNTIR (TORSI)
SK. SNI T-15-1991-03 ps. 3.4.5 & 3.4.6

Pengertian
Komponen struktur yang memikul beban (gaya) sedemikian sehingga terpuntir terhadap
sumbu memanjangnya, struktur tersebut menerima momen puntir (torsi).

Contoh-contoh
a. Poros engkol pada mesin pembangkit tenaga
b. Pemindahan tenaga pada roda kereta api
c. Hubungan balok induk dengan balok anak.
d. Dan lain-lain

Balok Induk
(Terpuntir)

Balok
Anak
B
a
l
Potongan A - A
o
Balok
k Anak

AI A
n
d
u Gambar 5.1 Torsi pada Balok
k

(
t
e
Perilaku Torsi pada Penampang
r
a) Penampang bulat yang mengalami torsi, permukaan penampang yang transversal
p akan tetap rata setelah terjadinya puntiran.
u
b) Penampang persegi yang mengalami torsi, akan memilin dan melipat pada waktu
n terpuntir.  Indikasi perilaku yang rumit dan kompleks.
t
c)i Diasumsikan bahwa apabila penampang yang semula rata dijaga agar tetap rata setelah
r mengalami puntir, dimana tegangan geser maksi-mum akan terjadi pada tempat yang
) letaknya terjauh dari pusat puntir.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 5


d) Tegangan geser torsi maksimum (v t) terjadi pada titik tengah dari sisi yang panjang
dan arah kerjanya sejajar dengan sisi tersebut.
e) Torsi cenderung menyebabkan retak tarik diagonal sama dengan yang diakibatkan oleh
geser lentur tetapi geser torsi akan bekerja pada arah yang berlawanan untuk sisi
penampang yang berhadapan.
f) Pada umumnya gaya geser lentur dan torsi akan muncul secara bersamaan, sehingga
gaya tarik diagonal pada satu sisi permukaan penampang merupakan penjumlahan dari
kedua akibat geser tersebut.
g) Retak diagonal yang akan terjadi jika tegangan tarik beton terlampaui membentuk
sudut 45O.


 Ts
 
vt maks

Gambar 5.2 Distribusi Torsi pada Penampang Balok


x

y
Zone Tarik 90o

Zone Tekan

45o

Gambar 5.3 Pola Keruntuhan Balok akibat Torsi

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 6


Perilaku Sistem Struktur akibat Torsi

1. Torsi Statis Tertentu, yaitu tidak ada reditribusi tegangan torsional ke batang
struktur lain setelah terjadi retak karena adanya keseimbangan struktur disebut Torsi
Keseimbangan.

 Momen torsi tidak direduksi

2. Torsi Statis Tak Tentu, yaitu terjadi redistibusi tegangan torsional dan momen-
momen setelah terjadi retak, karena mempengaruhi keserasian antara komponen-
komponen struktur pada satu titik buhul disebut Torsi Keserasian.

 Momen torsi direduksi,

Perhitungan Tulangan Geser-Torsi

Pengaruh Momen Torsi (Tu)


 Pengaruh torsi di abaikan jika,

 Kekuatan torsi nominal beton,

 faktor hubung tegangan geser,

 jika,  efek torsi diabaikan

 

 Kekuatan torsi nominal sengkang,

 Koefisien fungsi y1 /x1,

 Perbandingan luas vs jarak tul torsi,

(mm2/mm jarak/kaki)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 7


Pengaruh Gaya Geser (Vu)

 Kekuatan geser nominal beton,

 jika,  efek geser diabaikan

 

 Kekuatan geser nominal sengkang,

 Perbandingan luas vs jarak tul geser,

(mm2/mm jarak/dua kaki)

Pengaruh Gabungan Momen Torsi (Tu) & Gaya Geser (Vu)


 Jadi sengkang tertutup gabungan geser lentur dan torsi:

(mm2/mm jarak)

Tulangan Memanjang Torsi (Al)

 Tulangan torsi memanjang: atau

digunakan nilai terbesar dari ke dua persamaan di atas, dan bila pers. ke-2 yang
menentukan maka tidak boleh melebihi pers berikut:

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 8


Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 9
3. PENULANGAN GESER PONS
SK. SNI T-15-1991-03 ps. 3.4.11

Pengertian
Komponen struktur pelat tanpa balok pemikul seperti halnya pada konstruksi pondasi
telapak atau pondasi pelat dan atau pelat cendawan, struktur tersebut menerima gaya
geser pons (gaya geser dua arah).
Timbulnya kecenderungan kolom akan melubangi pelat, karena timbulnya tegangan
disekeliling kolom. Percobaan membuktikan bahwa kegagalan kuat geser pons akan
berupa retakan diagonal disepanjang kerucut terpancung (piramida imajiner) sekeliling
pertemuan kolom dengan pelat.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 10


Sesuai ketentuan SNI kuat geser nominal diambil nilai terkecil dari tiga persamaan
sebagai berikut:

1).

2). dan

3).

dimana: βc = nilai banding sisi panjang dengan sisi pendek kolom,


αs = 40 (kolom interior), αs = 30 (kolom tepi), & αs = 20 (kolom sudut).
bo = keliling bidang geser (mm),
d = tinggi efektif pelat (mm),
Ac = luas penampang geser (mm2) ⇨ (Ac = bo . d)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I IV - 11


POKOK BAHASAN V

ANALISIS DAN PERENCANAAN PENAMPANG AKIBAT BEBAN


AKSIAL & KOMBINASI LENTUR & AKSIAL
SK. SNT. T-15-1991-03 sub bab 3.3

1. PENGERTIAN
Struktur atau komponen struktur yang menerima beban aksial (P u) dengan atau tanpa
eksentrisitas (e), umumnya berupa komponen struktur kolom. Beban aksial (P u) biasanya
dalam bentuk gaya tekan.
Struktur atau komponen struktur kolom yang memikul beban aksial (P u) berimpit atau
tepat pada sumbu memanjang komponen struktur kolom atau beban aksial (P u) sentris
terhadap sumbu kolom, disebut kolom menerima beban aksial sentris atau beban aksial
tanpa eksentrisitas, lihat gambar 4.1 (a).
Sebaliknya jika komponen struktur kolom yang menerima beban aksial (P u) dengan
eksentrisitas (e) tertentu dari sumbu kolom atau kombinasi beban aksial (P u) dan momen
lentur (Mu), disebut kolom menerima aksial dengan eksentrisitas, gambar 4.1 (b) dan (c).

Pu Pu
Pu Mu=Pu e
Pu
e

Pu
Kolom Kolom Kolom

(a) aksial sentris (b) aksial eksentris (c) aksial & momen

Gambar 4.1 Hubungan beban aksial, eksentrisitas dan momen

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 1


2. ANALISIS KEKUATAN AKIBAT BEBAN AKSIAL
Beban aksial (Pu) umumnya berupa gaya tekan vertikal, sehingga tegangan yang terjadi
akan merata pada seluruh penampang kolom.

SK. SNT. T-15-1991-03 memberikan persamaan-persamaan untuk kolom yang


menerima beban aksial tekan sentris sebagai berikut:

 Kuat beban aksial nominal,

 Syarat:
untuk aksial tanpa eksentrisitas
Notasi:
Ag = luas kotor penampang melintang (mm2)
Ast = luas penampang tulangan memanjang (mm2)
Po = kuat beban aksial nominal tanpa eksentrisitas (kN)
Pn = kuat beban aksial nominal dengan eksentrisitas (kN)
Pu = beban aksial terfaktor (kN)
 = reduksi kekuatan:
kolom berpengikat sengkang  = 0,65
kolom berpengikat spiral  = 0,70

Dalam praktek hampir tidak ada kolom yang dibebani tanpa eksentrisitas, karena
eksentrisitas minimum dapat terjadi karena kekangan pada ujung-ujung kolom,
pemasangan yang kurang tepat, mutu bahan yang tidak merata dan pengaruh lain.

SK. SNI. T-15-1991-03 memperhitungkan pengaruh eksentrisitas minimum sebagai


tambahan reduksi kekuatan (selain reduksi kekuatan ), yaitu kolom berpengikat
sengkang direduksi 20% dan spiral 15%, sehingga kuat beban aksial maksimum:

 Kolom dengan spiral:

 Kolom dengan sengkang:

3. ANALISIS KEKUATAN AKIBAT BEBAN AKSIAL DAN MOMEN


Kesepadanan statika antara beban aksial eksentrisitas dengan beban aksial – momen,
gambar 4.1, memperlihatkan bahwa beban aksial (P u) dengan eksentrisitas (e), gambar

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 2


4.1 (b), sama dengan pasangan aksial (P u) sentris (e=0) dan momen (Mu= Pu e) yang
bekerja secara serentak sebagaimana gambar 4.1 (c).

Dalam praktek pada umumnya kolom menggunakan tulangan simetris dimana tulangan
dipasang sama besar pada kedua sisi yang berhadapan hal ini untuk mengantisipasi gaya
bolak-balik pada struktur misalnya beban angin atau gempa.

Keadaan penampang kolom penulangan seimbang, prinsipnya sama dengan balok.


Jumlah tulangan baja tarik sedemikian sehingga letak garis netral tepat pada posisi saat
mana akan terjadi secara bersamaan regangan luluh tulangan baja tarik dengan regangan
tekan beton maksimum 0,003.

Kondisi regangan – tegangan pada penampang kolom pada penulangan seimbang akibat
beban aksial dengan eksentrisitas tertentu sesuai gambar 4.2 berikut:

Pn = Pb Pn = Pb

cu’= 0,003 0,85fc’


e = eb
As’ d’
e’ s’ a =  cb
cb ND1b ND2b
pusat berat plastis
d garis netral
As
d”
NTb
y
b

Gambar 4.2 Diagram Keseimbangan Regangan – Tegangan


Penampang Kolom Persegi

Anggapan bahwa tulangan tarik maupun tulangan tekan telah mencapai regangan luluh
(s & s’), sehingga fs = fs‘ = fy demikian pula regangan tekan beton telah mencapai
regangan maksimum c’ = 0,003.

Keseimbangan gaya-gaya:

H = 0

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 3


Keseimbangan momen:

 M = 0  diambil titik tangkap pada pusat berat plastis.

Titik pusat plastis merupakan titik tangkap resultante perlawanan penampang kolom
terhadap beban tekan dengan anggapan bahwa betonnya ditegangkan teratur sampai
mencapai 0,85fc‘ demikian pula terhadap baja ditengangkan teratur hingga fy.
Prinsip dasar perhitungan penampang persegi juga berlaku terhadap penampang bulat
dengan penyesuaian persamaan terhadap ukuran-ukuran penampang.

 Penjelasan notasi dan satuan-satuan

 Petunjuk langkah-langkah perencanaan secara sistimatis

 Contoh-contoh soal

 Soal latihan di rumah (Problem Set)

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 4


POKOK BAHASAN VI

PENYALURAN & PENDETAILAN TULANGAN


SK. SNT. T-15-1991-03 ps 3.5 & 3.16 & PBI’71 bab 8

1. PANJANG PENYALURAN TULANGAN


Panjang penyaluran (ld) adalah panjang penambatan yang diperlukan untuk
mengembangkan tegangan luluh dalam tulangan, merupakan fungsi dari mutu baja tulangan
(fy), diameter tulangan (D), dan mutu beton (fc’). Panjang penyaluran menentukan tahanan
terhadap tergelincirnya tulangan, sehingga tulangan dapat bekerja sesuai dengan tegangan
luluhnya.

Panjang penyaluran (ld) = panjang penyaluran dasar (ldb) x faktor modifikasi

ld = ldb x faktor modifikasi

ld Penampang kritis

balok

kolom

Gambar 6.1 Panjang Penyaluran Tulangan

1) Panjang penyaluran batang tarik SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.2

a) Panjang penyaluran dasar (ldb) batang tarik deform:

Diameter  D-36 

Diameter = D-45

Diameter = D-55

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 1


Kawat deform

b) Faktor-faktor modifikasi:

Tulangan atas, 1,40

Kuat leleh tulangan fy > 400 MPa,

Beton ringan (fct) ditentukan, (faktor mod. min. 1,0),

Beton ringan (fct) tidak ditentukan, (tanpa pasir) 1,33

Beton ringan (fct) tidak ditentukan, (tanpa pasir) 1,18

(jika hanya sebagian pasir maka dilakukan interpolasi linier)

Tulangan mendatar Jarak p.k.p. antar batang > 150 mm dan jarak bersih dari
muka komponen ke batang tepi, 0,80

Tulangan lebih,

Lilitan spiral berdiameter  5 mm & jarak  100 mm, 0,75

c) Panjang penyaluran (ld) batang tarik deform, minimum 300 mm.

d) Panjang penyaluran dasar batang tarik polos, diambil 2 kali panjang penyaluran
dasar batang tarik deform.  ldb polos = 2 x ldb deform (sesuai ketentuan dalam
PBI’1971 ps. 8.6.).

2) Panjang penyaluran batang tekan SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.3

Panjang penyaluran dasar (ldb) batang tekan deform:

a) Faktor-faktor modifikasi:

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 2


Tulangan lebih,

Lilitan spiral berdiameter  5 mm & jarak  100 mm, 0,75

b) Panjang penyaluran (ld) batang tekan deform, minimum 200 mm.

c) Panjang penyaluran dasar batang tekan polos, diambil 2 kali panjang penyaluran
dasar batang tekan deform.  ldb polos = 2 x ldb deform (sesuai ketentuan dalam
PBI’1971 ps. 8.6.).

3) Panjang penyaluran dengan kait standar SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.5

a) Panjang penyaluran (ldh) batang tarik deform dengan kait standar:

Panjang penyaluran dasar (lhb) batang tarik deform dengan kait standar, untuk fy =
400 MPa,

 Faktor modifikasi:

Untuk fy  400 MPa, fy / 400,

D  36 mm dan tebal selimut samping  60 mm untuk kait 90 O dengan selimut pada


perpanjangan kaitan  50 mm, 0,7

Sengkang atau sengkang ikat yang dipasang sepanjang penyaluran dengan spasi > 3 d b
(diameter batang kait db  36 mm), 0,8

Tulangan lebih,

Beton agregat ringan, 1,3

b) Panjang penyaluran batang tekan, kait standar dianggap tidak efektif dalam
menyalurkan batang tekan.

4) Ketentuan-ketentuan lainnya, tentang penyaluran batang tulangan dapat dilihat lebih lanjut
dalam SK. SNI. T-15-1991-03:

 Pasal 3.5.4 tentang Penyaluran berkas tulangan,

 Pasal 3.5.6 tentang Jangkar Mekanik,

 Pasal 3.5.7 & pasal 3.5.8. tentang Penyaluran tarik dari Jaringan kawat baja las
deform dan polos,

 Pasal 3.5.9 tentang Strand Pratekan,


 Pasal 3.5.10 tentang Ketentuan umum tulangan lentur,

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 3


 Pasal 3.5.11 tentang Tulangan Momen Positif,
 Pasal 3.5.12 tentang penyaluran dari tulangan momen negatif,
 Pasal 3.5.13 tentang Penyaluran dari tulangan badan.

2. SAMBUNGAN BATANG TULANGAN


Adanya keterbatasan dalam hal transportasi material dan keterbatasan panjang tulangan
yang tersedia di pasaran yaitu umumnya batang tulangan diproduksi dengan panjang
maksimum 12 meter, maka sering batang tulangan harus disambung.
Penyambungan tulangan dapat dilakukan dengan cara:
a). Sambungan Las,
b). Sambungan Mekanis, dan
c). Sambungan Lewatan.
Sambungan lewatan paling umum digunakan dalam praktek karena disamping praktis
juga lebih dianggap relatif murah dibandingkan cara penyambungan lainnya (kecuali
kondisi-kondisi tertentu, misalnya tulangan prepabrikasi, bentuk tulangan standar yang
diproduksi secara khusus dalam jumlah relatif banyak).

Ab fy Ab f y

60O
Gambar 6.2 Sambungan Las (type X)

Ab f y Ab f y

selongsong berulir
Gambar 6.3 Sambungan Mekanis (type selongsong berulir)

Ab fy
Ab fy

panjang lewatan

Gambar 6.4 Sambungan Lewatan


1) Ketentuan umum sambungan tulangan dari ketiga cara penyam-bungan tersebut di
atas, dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam SK. SNI. T-15-
1991-03 ps 3.5.14.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 4


2) Panjang lewatan batang tarik deform, SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.15.
Panjang minimum lewatan tarik deform, 300 mm,
Sambungan kelas A 1,0 ld,
Sambungan kelas B 1,3 ld,
Sambungan kelas C 1,7 ld,
Dimana ld adalah panjang penyaluran tarik SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.2.

Tabel 2.1 Kelas sambungan lewatan tarik


Persentase maksimum dari As yang disambung lewat di dalam panjang
lewatan perlu

50 75 100

 2 Kelas A Kelas A Kelas B

< 2 Kelas B Kelas C Kelas C

3) Panjang lewatan batang tekan deform, SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.16.


Panjang lewatan tekan deform minimum adalah panjang penyaluran (ld) tekan sesuai
SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.3., atau 300 mm,
Untuk fy  400 MPa, panjang lewatan 0,07 fy db,
Untuk fy > 400 MPa, panjang lewatan (0,13 fy - 24) db
Untuk fc‘ < 20 MPa panjang lewatan harus ditambah sepertiganya.
Ketentuan-ketentuan khusus panjang lewatan tekan deform dapat dilihat lebih lanjut
dalam pasal bersangkutan.

4) Ketentuan khusus sambungan pada kolom, diambil sesuai ketentuan dalam SK.
SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.17.

5) Ketentuan sambungan tarik jaringan kawat baja deform las, diambil sesuai
ketentuan dalam SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.18.

6) Ketentuan sambungan tarik dari jaringan kawat baja las polos, diambil sesuai
ketentuan dalam SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.19.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 5


7) Panjang lewatan batang tarik dan batang tekan baja polos yang tidak di atur dalam
SK. SNI. T-15-1991-03, secara umum dapat diambil sesuai ketentuan dalam
PBI’1971 ps. 8.12 dan ps. 8.13.

3. JANGKAR, KAIT & BENGKOKAN TULANGAN


SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.1, ps. 3.16.2 & ps. 3.16.3

Penjangkaran mekanis berupa kait atau bengkokan dimaksudkan untuk memperpendek


panjang penyaluran akibat keterbatasan ruang untuk panjang penyaluran tarik. Kait dan
bengkokan pada penyaluran tekan kurang efektif atau tidak disyaratkan.
Secara umum kapasitas penjangkaran kait di dalam massa beton kurang lebih sama
dengan kapasitas tulangan lurus dengan panjang penanaman total yang sama.
Kait dan bengkokan standar dapat diambil sesuai ketentuan dalam SK. SNI. T-15-1991-
03, yaitu:

1) Kait Standar SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.1


 Bengkokan 1800 dengan bagian lurus ujung bebas, 4db atau 60 mm,
 0
Bengkokan 90 dengan bagian lurus ujung bebas, 12db,
 Untuk sengkang dan kait pengikat:
 D  16 mm, bengkokan 900 dengan bagian lurus ujung bebas, 6db,
 D-19 dan D-25, bengkokan 90 dengan bagian lurus ujung bebas,
0
12db,
 D  25 mm, bengkokan 1350 dengan bagian lurus ujung bebas, 6db.

2) Diameter Bengkokan Minimum SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.2


 Diameter bengkokan, untuk D-10 s/d D-25 6db,
 Diameter bengkokan, untuk D-29 s/d D-36 8db,
 Diameter bengkokan, untuk D-44 s/d D-56 10db,
 Diameter bengkokan sengkang & kait, untuk D  16 mm 4db,
 Diameter bengkokan sengkang & kait, untuk D > 16 mm 6db,

3) Cara Pembengkokan SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.3


Pembengkokan tulangan dilakukan dalam keadaan dingin dan tulangan yang
tertanam di dalam beton tidak diizinkan dibengkokkan di lapangan, kecuali ada
ketentuan khusus untuk itu.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 6


4. PERMUKAAN, PENEMPATAN DAN SPASI TULANGAN
SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.4, ps. 3.16.5 & ps. 3.16.6

5. PELINDUNG BETON UNTUK TULANGAN


SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.7 dan PBI’1971 bab 7

6. DETAIL TULANGAN KHUSUS STRUKTUR TEKAN /KOLOM


SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.8, ps. 3.16.9 & ps. 3.16.10

7. TULANGAN SUSUT/SUHU DAN TULANGAN KHUSUS


SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.16.11, ps. 3.16.12 & 3.16.13

8. KETENTUAN PENGGAMBARAN TULANGAN


Literatur, Spesifikasi, Standar, Gambar-gambar rencana yang relevan

9. KETENTUAN PEMASANGAN TULANGAN


Literatur, Spesifikasi, Standar, Pengamatan Lapangan yang relevan

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 7


Acuan normatif

SK SNI S-05-1989-F, Standar spesifikasi bahan bangunan bagian B (dari besi/baja).


SNI 03 2492 1991, Metode pengambilan benda uji beton inti
SNI 03-1726-1989, Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung.
SNI 03-1727-1989-F, Tata cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung.
SNI 03-1974-1990, Metode pengujian kuat tekan beton.
SNI 03-2458-1991, Metode pengujian pengambilan contoh untuk campuran beton segar.
SNI 03-2461-1991, Spesifikasi agregat ringan untuk beton struktur.
SNI 03-2492-1991, Metode pembuatan dan perawatan benda uji beton di laboratorium.
SNI 03-2496-1991, Spesifikasi bahan tambahan pembentuk gelembung untuk beton.
SNI 03-2834-1992, Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal.
SNI 03-3403-1991-03, Metode pengujian kuat tekan beton inti pemboran.
SNI 03-3403-1994, Metode pengujian kuat tekan beton inti.
SNI 03-4433-1997, Spesifikasi beton siap pakai.
SNI 03-4810-1998, Metode pembuatan dan perawatan benda uji di lapangan.
SNI 07-0052-1987, Baja kanal bertepi bulat canai panas, mutu dan cara uji.
SNI 07-0068-1987, Pipa baja karbon untuk konstruksi umum, mutu dan cara uji.
SNI 07-0722-1989, Baja canai panas untuk konstruksi umum.
SNI 07-3014-1992, Baja untuk keperluan rekayasa umum.
SNI 07-3015-1992, Baja canai panas untuk konstruksi dengan pengelasan.
SNI 15-2049-1994, Semen portland.
ANSI/AWS D1.4, Tata cara pengelasan – Baja tulangan.
ASTM A 184M, Standar spesifikasi untuk anyaman batang baja ulir yang difabrikasi
untuk tulangan beton bertulang.
ASTM A 185, Standar spesifikasi untuk serat baja polos untuk beton bertulang.
ASTM A 242M, Standar spesifikasi untuk baja struktural campuran rendah mutu
tinggi.
ASTM A 36M-94, Standar spesifikasi untuk baja karbon stuktural.
ASTM A 416M, Standar spesifikasi untuk strand baja, tujuh kawat tanpa lapisan
untuk beton prategang.
ASTM A 421, Standar spesifikasi untuk kawat baja penulangan - Tegangan tanpa
pelapis untuk beton prategang.
ASTM A 496-94, Standar spesifikasi untuk kawat baja untuk beton bertulang.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 8


ASTM A 497-94a, Standar spesifikasi untuk jaring kawat las ulir untuk beton
bertulang.
ASTM A 500, Standar spesifikasi untuk las bentukan dingin dan konstruksi pipa
baja karbon tanpa sambungan.
ASTM A 501-93, Standar spesifikasi untuk las canai-panas dan dan pipa baja karbon
struktural tanpa sambungan.
ASTM A 53, Standar spesifikasi untuk pipa, baja, hitam dan pencelupan panas,
zinc pelapis las dan tanpa sambungan.
ASTM A 572M, Standar spesifikasi untuk baja struktural mutu tinggi campuran
columbiumvanadium.
ASTM A 588M, Standar spesifikasi untuk baja struktural campuran rendah mutu
tinggi dengan kuat leleh minimum 345 MPa pada ketebalan 100 mm.
ASTM A 615M, Standar spesifikasi untuk tulangan baja ulir dan polos gilas untuk
beton bertulang
ASTM A 616M-96a, Standar spesifikasi untuk rel baja ulir dan polos untuk, bertulang
termasuk keperluan tambahan S1.
ASTM A 617M, Standar spesifikasi untuk serat baja ulir dan polos untuk beton
bertulang.
ASTM A 645M-96a, Standar spesifikasi untuk baja gilas ulir and polos - Tulangan baja
untuk beton bertulang.
ASTM A 706M, Standar spesifikasi untuk baja ulir dan polos paduan rendah mutu
tinggi untuk beton prategang.
ASTM A 722, Standar spesifikasi untuk baja tulangan mutu tinggi tanpa lapisan
untuk beton prategang.
ASTM A 767M-90, Standar spesifikasi untuk baja dengan pelapis seng (galvanis) untuk
beton bertulang.
ASTM A 775M-94d, Standar spesifikasi untuk tulangan baja berlapis epoksi.
ASTM A 82, Standar spesifikasi untuk kawat tulangan polos untuk penulangan
beton.
ASTM A 82-94, Standar spesifikasi untuk jaringan kawat baja untuk beton bertulang.
ASTM A 884M, Standar spesifikasi untuk kawat baja dan jaring kawat las berlapis
epoksi untuk tulangan.
ASTM A 934M, Standar spesifikasi untuk lapisan epoksi pada baja tulangan yang
diprefabrikasi.
ASTM C 1017, Standar spesifikasi untuk bahan tambahan kimiawi untuk
menghasilkan beton dengan kelecakan yang tinggi.
ASTM C 109, Metode uji kuat tekan untuk mortar semen hidrolis.
ASTM C 109-93, Standar metode uji kuat tekan mortar semen hidrolis (menggunakan
benda uji kubus 50 mm).

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V- 9


ASTM C 1240, Standar spesifikasi untuk silica fume untuk digunakan pada beton
dan mortar semen-hidrolis.
ASTM C 31-91, Standar praktis untuk pembuatan dan pemeliharaan benda uji beton
di lapangan.
ASTM C 33, Standar spesifikasi agregat untuk beton.
ASTM C 33-93, Standar spesifikasi untuk agregat beton.
ASTM C 39-93a, Standar metode uji untuk kuat tekan benda uji silinder beton.
ASTM C 42-90, Standar metode pengambilan dan uji beton inti dan pemotongan
balok beton.
ASTM C 494, Standar spesifikasi bahan tambahan kimiawi untuk beton.
ASTM C 595, Standar spesifikasi semen blended hidrolis.
ASTM C 618, Standar spesifikasi untuk abu terbang dan pozzolan alami murni
atau terkalsinasi untuk digunakan sebagai bahan tambahan mineral
pada beton semen portland.
ASTM C 685, Standar spesifikasi untuk beton yang dibuat melalui penakaran
volume dan pencampuran menerus.
ASTM C 845, Standar spesifikasi semen hidrolis ekspansif.
ASTM C 94-94, Standar spesifikasi untuk beton jadi.
ASTM C 989, Standar spesifikasi untuk kerak tungku pijar yang diperhalus untuk
digunakan pada beton dan mortar.

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V - 10


3 Istilah dan definisi

3.1 adukan: campuran antara agregat halus dan semen portland atau jenis
semen hidraulik yang lain dan air
3.2 agregat: material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak
tungku pijar, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat
untuk membentuk suatu beton atau adukan semen hidraulik
3.3 agregat halus: pasir alam sebagai hasil disintegrasi 'alami' batuan atau
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran
butir terbesar 5,0 mm
3.4 agregat kasar: kerikil sebagai hasil disintegrasi 'alami' dari batuan atau
berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah batu dan
mempunyai ukuran butir antara 5 mm sampai 40 mm
3.5 agregat ringan: agregat yang dalam keadaan kering dan gembur
mempunyai berat isi sebesar 1 100 kg/m3 atau kurang
3.6 angkur: suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon kepada
komponen struktur beton dalam sistem pasca tarik atau suatu alat yang
digunakan untuk menjangkarkan tendon selama proses pengerasan beton
dalam sistem pratarik
3.7 bahan tambahan: suatu bahan berupa bubukan atau cairan, yang
ditambahkan ke dalam campuran beton selama pengadukan dalam jumlah
tertentu untuk merubah beberapa sifatnya
3.8 beban hidup: semua beban yang terjadi akibat pemakaian dan
penghunian suatu gedung, termasuk beban-beban pada lantai yang berasal
dari barang-barang yang dapat berpindah dan/atau beban akibat air hujan
pada atap
3.9 beban kerja: beban rencana yang digunakan untuk merencanakan
komponen struktur
3.10 beban mati: berat semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap,
termasuk segala beban tambahan, finishing, mesin-mesin serta peralatan
tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung tersebut
3.11 beban terfaktor: beban kerja yang telah dikalikan dengan faktor beban
yang sesuai
3.12 beton: campuran antara semen portland atau semen hidraulik yang lain,
agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan
yang membentuk masa padat
3.13 beton bertulang: beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah tulangan
yang tidak kurang dari nilai minimum, yang disyaratkan dengan atau tanpa
prategang, dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua material
bekerja bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V - 11


3.14 beton-normal: beton yang mempunyai berat satuan 2 200 kg/m3 sampai 2
500 kg/m3 dan dibuat menggunakan agregat alam yang dipecah atau tanpa
dipecah
3.15 beton polos: beton tanpa tulangan atau mempunyai tulangan tetapi
kurang dari ketentuan minimum
3.16 beton pracetak: elemen atau komponen beton tanpa atau dengan
tulangan yang dicetak terlebih dahulu sebelum dirakit menjadi bangunan
3.17 beton prategang: beton bertulang yang telah diberikan tegangan tekan
dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat
beban kerja
3.18 beton ringan: beton yang mengandung agregat ringan dan mempunyai
berat satuan tidak lebih dari 1 900 kg/m 3
3.19 beton ringan-pasir: beton ringan yang semua agregat halusnya
merupakan pasir berat normal
3.20 beton ringan-total: beton ringan yang agregat halusnya bukan merupakan
pasir alami
3.21 dinding geser: komponen struktur yang berfungsi untuk meningkatkan
kekakuan struktur dan menahan gaya-gaya lateral
3.22 friksi kelengkungan: friksi yang diakibatkan oleh bengkokan atau
lengkungan di dalam profil tendon prategang yang disyaratkan
3.23 friksi wobble: friksi yang disebabkan oleh adanya penyimpangan yang
tidak disengaja pada penempatan selongsong prategang dari kedudukan
yang seharusnya
3.24 gaya jacking: gaya sementara yang ditimbulkan oleh alat yang
mengakibatkan terjadinya tarik pada tendon dalam beton prategang
3.25 kolom: komponen struktur dengan rasio tinggi terhadap dimensi lateral
terkecil melebihi 3 yang digunakan terutama untuk mendukung beban
aksial tekan
3.26 kolom pedestal: komponen struktur tekan tegak yang mempunyai rasio
tinggi bebas terhadap dimensi lateral terkecil rata-rata kurang dari 3
3.27 komponen struktur lentur beton komposit: komponen struktur lentur
beton yang dibuat secara pracetak dan/atau yang dicor di tempat, yang
masing-masing bagian komponennya dibuat secara terpisah, tetapi saling
dihubungkan sedemikian hingga semua bagian komponen bereaksi
terhadap beban kerja sebagai suatu kesatuan
3.28 kuat nominal: kekuatan suatu komponen struktur atau penampang yang
dihitung berdasarkan ketentuan dan asumsi metode perencanaan sebelum
dikalikan dengan nilai faktor reduksi kekuatan yang sesuai
3.29 kuat perlu: kekuatan suatu komponen struktur atau penampang yang
diperlukan untuk menahan beban terfaktor atau momen dan gaya dalam

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V - 12


yang berkaitan dengan beban tersebut dalam suatu kombinasi seperti yang
ditetapkan dalam tata cara ini
3.30 kuat rencana: kuat nominal dikalikan dengan suatu faktor reduksi
kekuatan 
3.31 kuat tarik belah fct : kuat tarik beton yang ditentukan berdasarkan kuat
tekan-belah silinder beton yang ditekan pada sisi panjangnya
3.32 kuat tarik leleh: kuat tarik leleh minimum yang disyaratkan atau titik leleh
dari tulangan dalam MPa
3.33 kuat tekan beton yang disyaratkan (f 'c ): kuat tekan beton yang
ditetapkan oleh perencana struktur (benda uji berbentuk silinder diameter
150 mm dan tinggi 300 mm), untuk dipakai dalam perencanaan struktur
beton, dinyatakan dalam satuan MPa. Bila nilai f’c di dalam tanda akar,
maka hanya nilai numerik dalam tanda akar saja yang dipakai, dan
hasilnya tetap mempunyai satuan MPa
3.34 modulus elastisitas: rasio tegangan normal tarik atau tekan terhadap
regangan yang timbul akibat tegangan tersebut. Nilai rasio ini berlaku
untuk tegangan di bawah batas proporsional material. Lihat 10.5.
3.35 panjang penanaman: panjang tulangan tertanam yang tersedia dari suatu
tulangan diukur dari suatu penampang kritis
3.36 panjang penyaluran: panjang tulangan tertanam yang diperlukan untuk
mengembangkan kuat rencana tulangan pada suatu penampang kritis
3.37 pasca tarik: cara pemberian tarikan, dalam sistem prategang dimana
tendon ditarik sesudah beton mengeras
3.38 perangkat angkur: perangkat yang digunakan pada sistem prategang
pasca tarik untuk menyalurkan gaya pasca tarik dari tendon ke beton
3.39 perangkat angkur strand tunggal: perangkat angkur yang digunakan
untuk strand tunggal atau batang tunggal berdiameter 16 mm atau kurang
yang memenuhi 20.21(1) dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku
3.40 perangkat angkur strand majemuk: perangkat angkur yang digunakan
untuk strand, batang atau kawat majemuk, atau batang tunggal
berdiameter lebih besar daripada 16 mm, yang memenuhi 20.21(1) dan
ketentuanketentuan lain yang berlaku
3.41 pratarik: pemberian gaya prategang dengan menarik tendon sebelum
beton dicor
3.42 prategang efektif: tegangan yang masih bekerja pada tendon setelah
semua kehilangan tegangan terjadi, di luar pengaruh beban mati dan beban
tambahan
3.43 sengkang: tulangan yang digunakan untuk menahan tegangan geser dan
torsi dalam suatu komponen struktur, terbuat dari batang tulangan, kawat
baja atau jaring kawat baja las polos atau ulir, berbentuk kaki tunggal atau

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V - 13


dibengkokkan dalam bentuk L, U atau persegi dan dipasang tegak lurus
atau membentuk sudut, terhadap tulangan longitudinal, dipakai pada
komponen struktur lentur balok
3.44 sengkang ikat: sengkang tertutup penuh yang dipakai pada komponen
struktur tekan, kolom
3.45 tegangan: intensitas gaya per satuan luas
3.46 tendon: elemen baja misalnya kawat baja, kabel batang, kawat untai atau
suatu bundel dari elemenelemen tersebut, yang digunakan untuk memberi
gaya prategang pada beton
3.47 tendon dengan lekatan: tendon prategang yang direkatkan pada beton
baik secara langsung ataupun dengan cara grouting
3.48 tinggi efektif penampang (d): jarak yang diukur dari serat tekan terluar
hingga titik berat tulangan tarik
3.49 transfer: proses penyaluran tegangan dalam tendon prategang dari jack
atau perangkat angkur pasca tarik kepada komponen struktur beton
3.50 tulangan: batang baja berbentuk polos atau berbentuk ulir atau berbentuk
pipa yang berfungsi untuk menahan gaya tarik pada komponen struktur
beton, tidak termasuk tendon prategang, kecuali bila secara khusus diikut
sertakan
3.51 tulangan polos: batang baja yang permukaan sisi luarnya rata, tidak
bersirip dan tidak berukir
3.52 tulangan ulir: batang baja yang permukaan sisi luarnya tidak rata, tetapi
bersirip atau berukir
3.53 tulangan spiral: tulangan yang dililitkan secara menerus membentuk
suatu ulir lingkar silindris
3.54 zona angkur: bagian komponen struktur prategang pasca tarik dimana
gaya prategang terpusat disalurkan ke beton dan disebarkan secara lebih
merata ke seluruh bagian penampang. Panjang daerah zona angkur ini
adalah sama dengan dimensi terbesar penampang. Untuk perangkat
angkur tengah, zona angkur mencakup daerah terganggu di depan dan di
belakang perangkat angkur tersebut

Nicodemus Rupang Struktur Beton Bertulang I V - 14

Anda mungkin juga menyukai