MATA KULIAH
STRUKTUR BETON
BERTULANG I
KODE SI 65228 ( 2 sks )
SEMESTER IV
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK - JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL
PALU 2004
HAND - OUT
KEPUSTAKAAN :
1. ACI. 1995. Building Code Requirements for Structural Concrete ACI 318-95. American
Concrete Institute, Detroit.
2. Dep. PU. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 – (PBI’71 N.I.-2), Yayasan Dana
Normalisasi Indonesia, Bandung.
3. Dep. PU. 1991. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-
2847-1992) Y LPMB, Bandung.
4. Dipohusodo, I. 1999. Struktur Beton Bertulang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5. McGregor, J. G. 1997. Reinforced Concrete; Mechanics and Design, Prentice Hall.
6. Wang, C. K. & Salmon, C. G. 1985. Reinforced Concrete Design. Harper & Row, New York.
7. Wangsadinata, W. 1968. Teori Kekuatan Batas,. DPMG. Dep. Pekerjaan Umum, Bandung.
Unsur-unsur Beton:
Semen Portland (PC)
Air Bahan Pokok
Agregat Halus (Pasir) (selalu ada)
Agregat Kasar (Kerikil)
Beton bertulang adalah beton yang diberi tulangan yang cukup sedemikian sesuai
dengan yang disyaratkan dan direncanakan dengan asumsi bahwa kedua material (beton
& tulangan) dapat bekerja bersama-sama dalam memikul beban kerja.
Unsur-unsur beton dan baja tulangan harus memenuhi ketentuan dan persyaratan,
sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan atau standar-standar tentang beton
bertulang.
Adukan beton harus pula memenuhi ketentuan dan persyaratan tertentu dengan
pertimbangan mutu kekuatan dan ketahanan (quality: strength & durability) dan faktor
pelaksanaan (workability).
SEMEN
AGREGAT
PORTLAND
HALUS
BETON
A I R
AGREGAT
KASAR
Pasir ±28%
Air ±17% Pasir 26%
Air ±7%
SEMEN PORTLAND
Semen yang digunakan untuk bahan beton adalah Semen Portland atau Semen
Portland Pozzolan yaitu berupa semen hidrolis yang berfungsi sebagai bahan perekat
dalam campuran beton.
Semen Portland yang akan digunakan harus memenuhi syarat SII 0013-81 dan
PUBI’1982, sedangkan Semen Portland Pozzolan harus memenuhi syarat SII 0132-
75.
Pemeriksaan sifat kimia semen antara lain: “Kesegaran Semen” yaitu kandungan air,
karbon dioksida atau maknesium dalam semen disyaratkan maks. 3,0%, dan “Sisa
Bahan yang tak Larut dalam Semen” yaitu kandungan bahan non-reaktif dalam semen
disyaratkan maks. 1,5%.
Pemeriksaan Sifat Fisik Semen: antara lain: Berat Jenis (sekitar 3,15), Kehalusan
Butir (disyaratkan 100% lewat saringan No. 100, maksimum 22% tertahan saringan No.
200), Konsistensi Normal & Waktu Pengikatan (waktu pengikatan awal min. 60 menit
dan waktu pengikatan akhir maks. 480 menit).
Agregat Halus adalah pasir alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan atau pasir
yang dihasilkan oleh mesin pemecah batu (Stone Crusher) dan mempunyai ukuran butir
terbesar 5 mm.
Agregat Kasar adalah kerikil alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan atau
berupa batu pecah yang dihasilkan oleh mesin pemecah batu (Stone Crusher) dan
mempunyai ukuran butir antara 5 - 40 mm.
Agregat untuk beton adalah agregat yang harus memenuhi ketentuan SII 0052-80 dan
atau ASTM (American Society for Testing Materials) C33-86 untuk agregat normal dan
ASTM C330-80 untuk agregat ringan.
Berat Jenis (Specific Grafity) : perbandingan antara berat agregat kering dengan
berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat (untuk agregat normal biasanya
G = 2,50 - 2,70).
Penyerapan agregat : perbandingan berat air yang dapat diserap pori dengan berat
agregat kering. Penyerapan agregat normal 1% - 2%.
Gradasi agregat : adalah distribusi butiran dari agregat. Butiran agregat yang
terdistibusi dengan baik akan diperoleh kepadatan yang tinggi karena prosentase
pori-pori di antara butiran relatif kecil.
Gradasi ideal menurut Fuller & Thompson (1907):
Distribusi ukuran butir dilakukan dengan analisa saringan menggunakan
saringan standar oleh ISO (International Standards Organization, Genewa,
Switzerland), yaitu: 1½”, 1”, ¾”, ½”, ⅜”, No. 4, No. 8, No. 16, No. 30, No. 50,
No. 100 dan No. 200.
Kadar lumpur dalam agregat : adalah prosentase bahan lolos saringan No. 200
(0,075 mm), syarat untuk pasir kadar lumpur maks. 5% dan syarat untuk kerikil kadar
lumpur maks. 1% (PBI’71).
Bahan Organis dalam agregat : zat-zat yang dapat merusak beton. Percobaan warna
dari Abrams-Harder menggunakan larutan NaOH.
Kekerasan agregat kasar : Percobaaan abrasi menggunakan Mesin Pengaus Los
Angelos, dimana maksimum kehilangan berat 50% (fraksi 9,5 – 19 mm, maks. 24%
dan fraksi 19 – 30 mm, maks. 22%).
Bahan tambahan (additive) adalah bahan yang dapat dicampurkan pada adukan beton
selain bahan pokok (semen, air dan agregat). Hal ini dimaksudkan untuk mengubah sifat
beton, atau berfungsi sebagai: mempercepat pengerasan, memperlambat proses
pengikatan, meningkatkan kelecakan, menambah kekuatan, menambah daktilitas,
mengurangi retak-retak, mengurangi pemakaian semen, dsb.
Kelompok bahan tambahan a. l. : Chemical Admixture, Pozzolan dan Serat (Fibre).
Chemikal Admixture
Bahan kimia tambahan untuk mengurangi pemakaian air sehingga dapat
meningkatkan mutu beton, dan atau mempertinggi kelecakan adukan sehingga
mudah dalam pengecoran (faktor workability).
Bahan kimia tambahan untuk memperlambat proses pengikatan beton, sehingga
memberi keleluasaan (tambahan waktu) dalam pelaksanaan.
Bahan kimia tambahan untuk mempercepat proses pengikatan dan pengerasan
beton. Dimaksudkan untuk struktur beton yang memerlukan waktu penyelesaian yang
singkat, pengecoran di dalam air, landasan pacu dsb.
Bahan kimia tambahan berfungsi ganda yaitu mengurangi pemakaian air dan
memperlambat proses pengikatan.
Bahan kimia tambahan berfungsi ganda yaitu mengurangi air dan mempercepat
proses pengikatan dan pengerasan beton.
Pozolan.
Pozolan adalah bahan alam atau buatan yang sebagian besar terdiri dari unsur-unsur
silikat dan atau aluminat yang reaktif. Pozolan dalam bentuk bubuk halus (lolos saringan
0,21 mm) jika dicampur dengan air akan bereaksi menjadi suatu massa padat.
Fungsi pozolan antara lain: dapat dipakai sebagai pengganti sebagian dari semen
portland (berkisar 10 – 35%); beton lebih tahan terhadap garam, sulfat dan asam; beton
lebih mudah diaduk; beton lebih rapat air; mengurangi pemuaian beton; mengurangi
retak-retak beton.
ADUKAN BETON
Mix Design
Perbandingan campuran
Slump Test
Compression Test
SIFAT-SIFAT BETON
a) Sifat Kimia:
Sifat kimia beton sangat tergantung kepada sifat kimia bahan asalnya, beberapa sifat
kimia secara umum dari beton, yaitu:
b) Sifat Fisik:
Sifat Fisik beton sangat tergantung kepada sifat fisik bahan asalnya, terutama bahan
agregat (pasir & kerikil), beberapa sifat fisik beton, yaitu:
c) Sifat Mekanika:
Beberapa Sifat Mekanika yang dari Beton yang juga sangat tergantung kepada sifat fisik
dan sifat mekanika bahan asalnya, yaitu:
Tegangan (): Tegangan tekan beton relatif tinggi, tetapi tegangan tariknya
rendah, (tegangan tarik beton hanya sekitar 9%-15% dari tegangan tekannya).
Regangan (): Tegangan tekan beton maksimum akan tercapai pada regangan
tekan (’) mencapai 0,002 dan selanjutnya akan turun dengan bertambahnya nilai
regangan hingga benda uji hancur pada nilai regangan mencapai 0,003 – 0,005.
Untuk beton normal dengan berat isi (W c) ± 23 kNm3 dapat diambil nilai modulus
elastisitas beton: Ec = 4700
4. BAJA TULANGAN
Beton tidak mampu menahan gaya/tegangan tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami
retak-retak, oleh karena itu beton diberi tulangan yang fungsinya terutama memikul
gaya/tegangan tarik dalam sistem struktur.
Baja tulangan untuk beton bertulang berupa baja berpenampang bulat, dengan bentuk
permukaan yang terdiri dari: (a) baja tulangan polos (BJTP) dan (b) baja tulangan
deformasian (BJTD).
ASTM A416 memberikan standar baja tulangan seperti tabel 1.1 dan SII 0136-80
mengelompokkan baja tulangan seperti tabel 1.2.
Perhatikan suatu balok di atas dua tumpuan A & B menerima beban terbagi rata atau
disebut balok terlentur, seperti gambar 1.7 berikut:
w kN/m’
Penampang dari bahan homogen (mis. baja) atau bahan yang dianggap homogen (mis.
kayu), mengalami lenturan digambarkan sebagai berikut:
a ƒa
h = tinggi balok (mm)
; ;
MR = 1
/6 b h2 f atau MR . c = 1/12 b h3 f
Soal Latihan:
Standar atau Peraturan atau Pedoman yang mengatur tata cara atau metode
perhitungan/perencanaan maupun pelaksanaan bangunan beton bertulang diterbitkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia cq. Badan Standarisasi Nasional (BSN)
atau Badan atau Tim lainnya yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
Di Indonesia peraturan standar atau pedoman beton bertulang telah mengalami beberapa
kali pembaharuan, yaitu pertama kalinya adalah Peraturan Beton Indonesia 1955 (PBI
1955), dan kemudian Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 (PBI 1971).
Perkembangan standar/peraturan perhitungan struktur beton selanjutnya adalah
Pedoman Beton 1989 (PB’89) SKBI-1.4.53.1989, mengadopsi American Concrete
Institute (ACI), dan disusul dengan Standar SK. SNI T-15-1991-03 (SNI 03-2847-1992)
tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung. Standar
SNI 03-2847-1992 kemudian mengalami beberapa tambahan materi dan revisi yang
dituangkan dalam SNI 03-2847-2002.
Dibeberapa negara maju dikenal standar/peraturan beton antara lain: di Amerika Serikat
(ACI 318-70, ACI 318-83), di Inggris (Unified B.S. Code 1970), di Nederland (VB 1972),
dan Badan Internasional dikenal CEB (Comite Europeen du Beton), FIP (Federation
Internatioanl de la Precontraint), ISO (International Standardization Organization).
Peraturan atau Standar tersebut di atas diberlakukan sebagai peraturan standar resmi di
Indonesia, sehingga harus diikuti karena berkekuatan hukum dalam pengendalian
perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang.. Peraturan standar lainnya
dapat digunakan sebagai acuan pembanding dan atau bila sesuatu masalah tidak terdapat
di dalam peraturan resmi yang berlaku.
SK. SNI T-15-1991-03 (SNI 03-2847-1992) tentang Tata Cara Perhitungan Struktur
Beton untuk Bangunan Gedung, tidak dimaksudkan hanya sebagai acuan untuk
bangunan gedung saja, akan tetapi juga berlaku untuk struktur beton lainnya yang relevan
dengan maksud dan tujuan dari standar ini.
Selain standar yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa standar lainnya sebagai
acuan normatif (terlampir) yang dapat dijadikan referensi rujukan dalam hubungannya
perencanaan struktur beton bertulang.
Pendekatan metode perencanaan kekuatan beton bertulang, dikenal dua cara, yaitu:
Metode perencanaan tegangan kerja
(Working Stress Design Method, WSD method), atau metode elastik (cara-n).
Metode perencanaan kekuatan batas
(Ultimate Strength Design Method, USD method).
Pada metode tegangan kerja, beban yang diperhitungkan adalah beban kerja (service
load), sedangkan analisis tegangan berdasarkan pada tegangan tekan lentur ijin (fc’ijin =
0,45 fc’). Rasio (nilai banding) modulus elastisitas baja tulangan dengan beton atau
disebut angka ekivalensi (n) = Es/Ec diambil angka pembulatan terdekat dengan
ketentuan n 6. (SK SNI T-15-1991-03 Ps. 3.15.5).
A ND
x
g.n.
h d z
As
A
s fs = s Es NT
b
Metode perencanaan tegangan kerja (cara “n”), tidak lagi disyaratkan untuk digunakan
dalam perhitungan atau perencanaan struktur beton bertulang, sehingga tidak dibahas
dalam materi mata kuliah Struktur Beton Bertulang.
c’ fc ’
A
ND
c
h d g.n. z
As s fs
A
NT
b c fc
c’ fc ’
A
ND
c g.n.
h d z
A As
s fs NT
b
b c’=0,003 fc ’
c
ND
garis netral
h d z
As NT
s y fs=fy
Sesuai SK SNI T-15-1991-03, regangan tekan beton maksimum pada serat tepi tekan terluar
ditetapkan c’maks = 0,003, (PBI 1971, c’maks = 0,0035 dan s maks = 0,030).
SK SNI T-15-1991-03 ps. 3.3.2 ay. 7 memberikan ketentuan tentang distribusi tegangan
beton tekan ekivalen, sebagaimana yang diusulkan oleh Whitney bahwa blok tegangan
tekan ekivalen berbentuk persegi panjang sebagai distribusi tegangan tekan beton
ekivalen, sebagaimana tergambar berikut ini (Gambar 2.6 dan gambar 2.7).
b c’ fc ’ 0,85fc’
½a
c a = 1 c ND
garis netral
h d z
As
NT
s fy fy
(a) Penampang (b) Diagram (c) Blok tegangan (d) Blok tegangan (e) Koppel
terlentur regangan tekan aktual tekan ekivalen gaya dalam
h
d c 0,85 fc’
garis netral + a = 1 c
ND = 0,85 fc’ a b
As
z=d–½a
NT = As fy
RAGAM KERUNTUHAN
Kendatipun digunakan metode perencanaan kekuatan batas, akan tetapi prinsip-prinsip
dasar teori lentur masih digunakan pada analisis penampang. Perbandingan antara
regangan baja dengan regangan beton maksimum ditetapkan berdasarkan distribusi
regangan linier. Posisi garis netral tergantung pada jumlah tulangan tarik, dimana blok
tegangan tekan beton harus mempunyai kedalaman (a) yang cukup agar tercapai
keseimbangan gaya-gaya dalam ( H = 0).
Kedalaman blok tegangan tekan beton akan bertambah seiring dengan bertambahnya
tulangan tarik dan sebaliknya. Dengan demikian maka akan terdapat tiga kemungkinan
kondisi keseimbangan regangan, yang bergantung pada jumlah tulangan tarik, yaitu:
c’ = 0,003
c’< 0,003
g. n. penulangan kurang
g. n. penulangan seimbang
g. n. penulangan lebih
s < y
s = y
As NTb
s = y fy
(a) Penampang terlentur (b) Diag. regangan (c) Diag. Tegangan & kopel momen dalam
Untuk menghitung rasio penulangan seimbang (b) adalah sebagai berikut (perhatikan
gambar 2.8) :
atau
sehingga: &
5. PERSYARATAN KEKUATAN
SK SNI T-15-1991-03 ps. 3.2.2 dan ps. 3.2.3 membrikan syarat-syarat kekuatan dan
angka keamanan, berupa faktor beban dan faktor reduksi kekuatan, sebagai berikut:
Pengertian
Penampang persegi bertulangan tunggal dimaksudkan bahwa balok tersebut hanya
mempunyai tulangan tarik. Hal ini dimaksudkan karena penampang beton yang ada
cukup kuat menahan tegangan tekan yang terjadi sehingga tidak dibutuhkan adanya
tulangan tekan.
Blok c ½a ND
a = c
Tekan
h d garis netral
z = d - ½a
As
NT
s = εy fy
(a) Penampang terlentur (b) Diag. Regangan (c) Diag. Tegangan &
kopel momen dalam
SK. SNI T-15-1991-03, menetapkan nilai = 0,85 untuk fc’ 30 MPa dan setiap 1 MPa
kenaikan kekuatan beton, nilai tersebut dikurangi 0,008 dengan ketentuan 0,65.
Keseimbangan gaya horisontal, H = 0 ND = N T (3.1.1)
jika: (3.1.5)
maka (3.1.6)
maka : Mn = b d 2 k (3.1.11)
maka (3.1.16)
dan (3.1.17)
untuk keamanan kekuatan penampang maka momen nominal (Mn) harus dikalikan dengan faktor
reduksi kekuatan () = 0,80, sehingga diperoleh momen pikul penampang (MR):
MR = Mn = b d2 k (3.1.18)
Syarat: MR Mu (3.1.19)
Dimensi balok dapat ditentukan/diperkirakan melalui pendekatan empiris dengan rasio (d/b)
berkisar 1,0 s/d 3,0 dimana secara umum biasanya diambil nilai 1,5 s/d 2,2. Rasio (d/b)
tersebut tidak mengikat terutama jika ukuran balok sudah ditentukan atau dengan
pertimbangan segi estetika dan segi fungsional, sehingga rasio (d/b) > 3,0 atau (d/b) <
1,0.
Dimensi balok merupakan fungsi dari rasio tulangan tarik, beban terfaktor, mutu beton dan
mutu baja tulangan, atau b d = f ( , Mu,, fc’, fy ). Untuk pendekatan dapat menggunakan
pers. (3.1.18) dimana Mu = MR.
Dengan dasar tersebut di atas akan terjadi dua kondisi perhitungan penampang
bertulangan rangkap, yaitu kondisi I bilamana regangan tekan baja (s’) sama atau lebih
besar dari regangan luluhnya (y) maka tegangan tekan baja (f s ’) sama dengan tegangan
luluhnya (f y ). Sedangan kondisi II bilamana regangan tekan baja (s’) lebih kecil dari
regangan luluhnya (y) maka tegangan tekan baja (f s ’) juga lebih kecil dari tegangan
luluhnya (f y ).
Kondisi I sehingga
Kondisi II sehingga
Karena adanya kombinasi beton dan baja dalam menerima tegangan tekan, maka momen
tahanan dalam akan terdiri atas dua bagian koppel momen, yaitu pasangan antara beton
tekan (ND1) dengan tulangan baja tarik awal (N T1) (sesuai yang dibutuhkan pada tulangan
tunggal) dan pasangan tulangan baja tekan (N D2) dengan tambahan tulangan baja tarik
(NT2). Lihat diagram pada gambar 3.2).
d’ ½a
c s’ a = c ND2
ND1
As’ garis netral
h d z2=d – d’
z1= d -½a
As NT1 NT2
s fy
beton - baja baja - baja
(a) Penampang terlentur (b) Diag. regangan (c) Diag. Tegangan kopel momen dalam
Kondisi I ( ; shg )
luas tulangan tarik, As = As1 + As2 (3.2.1)
Kondisi II ( ; shg )
luas tulangan tarik, As = As1 + As2 (3.2.10)
As2 fy
3. PENAMPANG BALOK “ T “
Pengertian
Balok “T” adalah suatu struktur balok dan pelat yang merupakan satu kesatuan monolit dan
dapat bekerja sama (berinteraksi) saat menahan momen lentur positif, dimana pelat akan
berfungsi sebagai sayap (flens) dan balok sebagai badan (rib).
Persyaratan Khusus
a. Konstruksi Balok "T" (badan & flens) harus dilaksanakan secara menyatu (monolit) agar
diperoleh lekatan yang efektif.
b. Bila tulangan lentur utama pelat yang dianggap sebagai flens balok T sejajar dengan balok
(kecuali konst. pelat rusuk), maka harus disediakan penulangan disisi atas pelat yang tegak
lurus balok berdasarkan dengan ketentuan :
Tulangan transversal harus direncanakan untuk menahan beban terfaktor pada lebar pelat
yang membentang (yang dianggap berperilaku sebagai kantilever), dimana diperhitungkan
lebar efektifnya. Sedang untuk balok tunggal, seluruh lebar dari flens harus diperhitungkan.
Tulangan transversal harus dipasang dengan spasi tidak melebihi lima kali tebal pelat atau
500 mm.
Lebar Flens Efektif (b)
a. Lebar flens efektif (b) balok ”T” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-nilai sebagai
berikut :
b ≤ ¼ L seperempat bentang balok
≤ bw + 16 ht lebar rib ditambah 16 kali tebal pelat
≤ bk jarak antara spasi balok
b. Lebar flens efektif (b) balok ”L” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-nilai sebagai
berikut :
c. Lebar flens efektif (b) balok ”T” yang khusus dibentuk untuk mendapatkan tambahan luas
daerah tekan, harus dipenuhi persyaratan berikut berikut :
ht ≥ ½ bw seperdua lebar rib
b ≤ 4 bw empat kali lebar rib
a. Persyaratan daktilitas balok “T” sama dengan balok persegi, yaitu rasio tulangan maksimum,
ρmaks £ 0,75 ρb & rasio tulangan min., ρmin = 1,4/fy.
b. Rasio penulangan aktual (ρaktual) ditentukan berdasarkan lebar badan balok (bw), bukan
lebar flens efektif (b).
c. Faktor reduksi kekuatan () = 0,80, sama pada balok persegi biasa (karena umumnya
mengalami lentur tanpa beban aksial ).
d. Dalam proses analisis, akan dijumpai bentuk blok tegangan tekan dalam dua kondisi
kemungkinan, yaitu :
Balok "T" Persegi, apabila seluruh blok tegangan tekan masuk di dalam daerah flens
sehingga blok tegangan tekan mencakup daerah kerja berbentuk persegi.
Balok "T" Murni, apabila blok tegangan tekan meliputi seluruh daerah flens dan
sebagian masuk dibadan balok sehingga blok tegangan tekan mencakup daerah kerja
berbentuk huruf "T".
ND ND1
ht c a ND2
garis netral
d z
z2 z1
AS
bw s = y NT
Iktisar Analisis
1) Tentukan lebar flens efektif
7) Tentukan nilai koefisien tahanan (k) dari tabel atau nomogram, berdasarkan nilai ρ dan
nilai fy & fc'.
9) Periksa persyaratan daktilitas, dimana As maks harus lebih besar dari As.
Apabila As > Asmaks, maka momen tahanan MR dihitung dgn menggunakan As maks yang dalam hal ini disebut
sebagai As efektif.
9) Periksa persyaratan daktilitas, dimana As maks harus lebih besar dari As.
Apabila As > As maks, maka momen tahanan MR dihitung dgn menggunakan As maks yang
dalam hal ini disebut sebagai As efektif .
Pengertian
Geser lentur dimaksudkan sebagai gaya geser yang bekerja pada penampang yang mengalami
lenturan akibat timbulnya gaya lintang, shg kemungkinan dibutuhkan tulangan geser (bila beton
tidak mampu) untuk memikul gaya geser yang terjadi.
d. Tulangan geser minimum harus selalu dipasang pada komponen struktur beton bertulang,
kendatipun gaya geser terfaktor (Vu) lebih kecil dari pada kekuatan geser beton tereduksi (
Vc), kecuali pada:
1. Pelat dan Fondasi telapak.
2. Struktur balok beton rusuk
3. Balok dengan tinggi total tidak lebih dari 250 mm, atau ½ kali tebal flens, atau ½ kali
lebar badan balok.
4. Pada bagian struktur dimana nilai, Vu ≤ ½ f Vc.
e. Lebar retak berlebihan akibat gaya tarik diagonal, dihindari dengan mengambil kuat luluh
tulangan geser maks. fy = 400 MPa dan nilai kekuatan tulangan geser maksimum, Vs maks =
(⅔ √fc') bw d.
f. Tulangan sengkang umumnya digunakan maksimum diameter 10 mm, kecuali dengan alasan
tertentu kemungkinan digunakannya diameter 12 mm.
Oleh karena itu untuk balok ukuran besar atau yang menerima gaya geser relatif besar maka
dapat digunakan sengkang rangkap.
g. Jarak spasi antar sengkang maksimum ½d (tinggi efektif penampang) atau 600 mm.
Dasar-dasar Perhitungan
dari SK. SNI. T-15-1991-03 sub bab 3.4.
memberikan acuan dasar perencanaan tulangan geser sbb.:
Pengertian
Komponen struktur yang memikul beban (gaya) sedemikian sehingga terpuntir terhadap
sumbu memanjangnya, struktur tersebut menerima momen puntir (torsi).
Contoh-contoh
a. Poros engkol pada mesin pembangkit tenaga
b. Pemindahan tenaga pada roda kereta api
c. Hubungan balok induk dengan balok anak.
d. Dan lain-lain
Balok Induk
(Terpuntir)
Balok
Anak
B
a
l
Potongan A - A
o
Balok
k Anak
AI A
n
d
u Gambar 5.1 Torsi pada Balok
k
(
t
e
Perilaku Torsi pada Penampang
r
a) Penampang bulat yang mengalami torsi, permukaan penampang yang transversal
p akan tetap rata setelah terjadinya puntiran.
u
b) Penampang persegi yang mengalami torsi, akan memilin dan melipat pada waktu
n terpuntir. Indikasi perilaku yang rumit dan kompleks.
t
c)i Diasumsikan bahwa apabila penampang yang semula rata dijaga agar tetap rata setelah
r mengalami puntir, dimana tegangan geser maksi-mum akan terjadi pada tempat yang
) letaknya terjauh dari pusat puntir.
Ts
vt maks
y
Zone Tarik 90o
Zone Tekan
45o
1. Torsi Statis Tertentu, yaitu tidak ada reditribusi tegangan torsional ke batang
struktur lain setelah terjadi retak karena adanya keseimbangan struktur disebut Torsi
Keseimbangan.
2. Torsi Statis Tak Tentu, yaitu terjadi redistibusi tegangan torsional dan momen-
momen setelah terjadi retak, karena mempengaruhi keserasian antara komponen-
komponen struktur pada satu titik buhul disebut Torsi Keserasian.
(mm2/mm jarak/kaki)
(mm2/mm jarak)
digunakan nilai terbesar dari ke dua persamaan di atas, dan bila pers. ke-2 yang
menentukan maka tidak boleh melebihi pers berikut:
Pengertian
Komponen struktur pelat tanpa balok pemikul seperti halnya pada konstruksi pondasi
telapak atau pondasi pelat dan atau pelat cendawan, struktur tersebut menerima gaya
geser pons (gaya geser dua arah).
Timbulnya kecenderungan kolom akan melubangi pelat, karena timbulnya tegangan
disekeliling kolom. Percobaan membuktikan bahwa kegagalan kuat geser pons akan
berupa retakan diagonal disepanjang kerucut terpancung (piramida imajiner) sekeliling
pertemuan kolom dengan pelat.
1).
2). dan
3).
1. PENGERTIAN
Struktur atau komponen struktur yang menerima beban aksial (P u) dengan atau tanpa
eksentrisitas (e), umumnya berupa komponen struktur kolom. Beban aksial (P u) biasanya
dalam bentuk gaya tekan.
Struktur atau komponen struktur kolom yang memikul beban aksial (P u) berimpit atau
tepat pada sumbu memanjang komponen struktur kolom atau beban aksial (P u) sentris
terhadap sumbu kolom, disebut kolom menerima beban aksial sentris atau beban aksial
tanpa eksentrisitas, lihat gambar 4.1 (a).
Sebaliknya jika komponen struktur kolom yang menerima beban aksial (P u) dengan
eksentrisitas (e) tertentu dari sumbu kolom atau kombinasi beban aksial (P u) dan momen
lentur (Mu), disebut kolom menerima aksial dengan eksentrisitas, gambar 4.1 (b) dan (c).
Pu Pu
Pu Mu=Pu e
Pu
e
Pu
Kolom Kolom Kolom
(a) aksial sentris (b) aksial eksentris (c) aksial & momen
Syarat:
untuk aksial tanpa eksentrisitas
Notasi:
Ag = luas kotor penampang melintang (mm2)
Ast = luas penampang tulangan memanjang (mm2)
Po = kuat beban aksial nominal tanpa eksentrisitas (kN)
Pn = kuat beban aksial nominal dengan eksentrisitas (kN)
Pu = beban aksial terfaktor (kN)
= reduksi kekuatan:
kolom berpengikat sengkang = 0,65
kolom berpengikat spiral = 0,70
Dalam praktek hampir tidak ada kolom yang dibebani tanpa eksentrisitas, karena
eksentrisitas minimum dapat terjadi karena kekangan pada ujung-ujung kolom,
pemasangan yang kurang tepat, mutu bahan yang tidak merata dan pengaruh lain.
Dalam praktek pada umumnya kolom menggunakan tulangan simetris dimana tulangan
dipasang sama besar pada kedua sisi yang berhadapan hal ini untuk mengantisipasi gaya
bolak-balik pada struktur misalnya beban angin atau gempa.
Kondisi regangan – tegangan pada penampang kolom pada penulangan seimbang akibat
beban aksial dengan eksentrisitas tertentu sesuai gambar 4.2 berikut:
Pn = Pb Pn = Pb
Anggapan bahwa tulangan tarik maupun tulangan tekan telah mencapai regangan luluh
(s & s’), sehingga fs = fs‘ = fy demikian pula regangan tekan beton telah mencapai
regangan maksimum c’ = 0,003.
Keseimbangan gaya-gaya:
H = 0
Titik pusat plastis merupakan titik tangkap resultante perlawanan penampang kolom
terhadap beban tekan dengan anggapan bahwa betonnya ditegangkan teratur sampai
mencapai 0,85fc‘ demikian pula terhadap baja ditengangkan teratur hingga fy.
Prinsip dasar perhitungan penampang persegi juga berlaku terhadap penampang bulat
dengan penyesuaian persamaan terhadap ukuran-ukuran penampang.
Contoh-contoh soal
ld Penampang kritis
balok
kolom
Diameter D-36
Diameter = D-45
Diameter = D-55
b) Faktor-faktor modifikasi:
Tulangan mendatar Jarak p.k.p. antar batang > 150 mm dan jarak bersih dari
muka komponen ke batang tepi, 0,80
Tulangan lebih,
d) Panjang penyaluran dasar batang tarik polos, diambil 2 kali panjang penyaluran
dasar batang tarik deform. ldb polos = 2 x ldb deform (sesuai ketentuan dalam
PBI’1971 ps. 8.6.).
a) Faktor-faktor modifikasi:
c) Panjang penyaluran dasar batang tekan polos, diambil 2 kali panjang penyaluran
dasar batang tekan deform. ldb polos = 2 x ldb deform (sesuai ketentuan dalam
PBI’1971 ps. 8.6.).
Panjang penyaluran dasar (lhb) batang tarik deform dengan kait standar, untuk fy =
400 MPa,
Faktor modifikasi:
Sengkang atau sengkang ikat yang dipasang sepanjang penyaluran dengan spasi > 3 d b
(diameter batang kait db 36 mm), 0,8
Tulangan lebih,
b) Panjang penyaluran batang tekan, kait standar dianggap tidak efektif dalam
menyalurkan batang tekan.
4) Ketentuan-ketentuan lainnya, tentang penyaluran batang tulangan dapat dilihat lebih lanjut
dalam SK. SNI. T-15-1991-03:
Pasal 3.5.7 & pasal 3.5.8. tentang Penyaluran tarik dari Jaringan kawat baja las
deform dan polos,
Ab fy Ab f y
60O
Gambar 6.2 Sambungan Las (type X)
Ab f y Ab f y
selongsong berulir
Gambar 6.3 Sambungan Mekanis (type selongsong berulir)
Ab fy
Ab fy
panjang lewatan
50 75 100
4) Ketentuan khusus sambungan pada kolom, diambil sesuai ketentuan dalam SK.
SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.17.
5) Ketentuan sambungan tarik jaringan kawat baja deform las, diambil sesuai
ketentuan dalam SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.18.
6) Ketentuan sambungan tarik dari jaringan kawat baja las polos, diambil sesuai
ketentuan dalam SK. SNI. T-15-1991-03 ps 3.5.19.
3.1 adukan: campuran antara agregat halus dan semen portland atau jenis
semen hidraulik yang lain dan air
3.2 agregat: material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak
tungku pijar, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat
untuk membentuk suatu beton atau adukan semen hidraulik
3.3 agregat halus: pasir alam sebagai hasil disintegrasi 'alami' batuan atau
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran
butir terbesar 5,0 mm
3.4 agregat kasar: kerikil sebagai hasil disintegrasi 'alami' dari batuan atau
berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah batu dan
mempunyai ukuran butir antara 5 mm sampai 40 mm
3.5 agregat ringan: agregat yang dalam keadaan kering dan gembur
mempunyai berat isi sebesar 1 100 kg/m3 atau kurang
3.6 angkur: suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon kepada
komponen struktur beton dalam sistem pasca tarik atau suatu alat yang
digunakan untuk menjangkarkan tendon selama proses pengerasan beton
dalam sistem pratarik
3.7 bahan tambahan: suatu bahan berupa bubukan atau cairan, yang
ditambahkan ke dalam campuran beton selama pengadukan dalam jumlah
tertentu untuk merubah beberapa sifatnya
3.8 beban hidup: semua beban yang terjadi akibat pemakaian dan
penghunian suatu gedung, termasuk beban-beban pada lantai yang berasal
dari barang-barang yang dapat berpindah dan/atau beban akibat air hujan
pada atap
3.9 beban kerja: beban rencana yang digunakan untuk merencanakan
komponen struktur
3.10 beban mati: berat semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap,
termasuk segala beban tambahan, finishing, mesin-mesin serta peralatan
tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung tersebut
3.11 beban terfaktor: beban kerja yang telah dikalikan dengan faktor beban
yang sesuai
3.12 beton: campuran antara semen portland atau semen hidraulik yang lain,
agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan
yang membentuk masa padat
3.13 beton bertulang: beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah tulangan
yang tidak kurang dari nilai minimum, yang disyaratkan dengan atau tanpa
prategang, dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua material
bekerja bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja