Anda di halaman 1dari 162

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta


(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang
hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan
secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang
hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan
secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).

ii PEDOMAN DAKWAH
PEDOMAN DAKWAH
ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN
Panduan Mubalig, Guru Pendidikan Agama Islam

Penulis
Abdi Kurnia Djohan

Editor
Siti Kholisoh & Rizal Mumazziq
PEDOMAN DAKWAH
ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN
(Panduan Mubalig, Guru Pendidikan Agama Islam)

Penulis : Abdi Kurnia Djohan


Editor : Siti Kholisoh & Rizal Mumazziq
Design & Layout : Oktanta Tri H. & Pinandito Anjas Wicaksono
Penyelia Aksara : Ahmad Saeroji
Sampul : Pinandito Anjas Wicaksono
Halaman : 160 hlm
Ukuran : 15,5 cm x 23 cm

Cetakan ke-1 Juni 2019


Diterbitkan Wahid Foundation
ISBN 978-602-7891-12-8

WAHID FOUNDATION
Griya Gus Dur, Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Pegangsaan Menteng Jakarta
Pusat 10320
Telp : +62 21 – 3145671
Faks : +62 21 – 3928250
Media@wahidinstitute.org
www.wahidfoundation.org

FB Wahid Foundation
Twitter @Wahidfoundation
IG @Wahidfoundation
DAFTAR ISI

Pengantar .................................................................................................................. vii


Pengantar Wahid Foundation ........................................................................... x

BAGIAN PERTAMA
MEMAHAMI PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1
Dakwah Islam Rahmatan Lil-a>lamin, Antara Tantangan dan Pekerjaan
Rumah .................................................................................................................... 2
Pekerjaan Rumah Kelompok Islam Moderat................................................ 6
Isu dan Topik Materi Dakwah............................................................................. 12
Struktur Buku .......................................................................................................... 16

BAGIAN KEDUA
ISU-ISU AKIDAH DAN TAUHID DALAM ISLAM ..................................... 19
Memahami Lebih dalam Makna Akidah dan Tauhid.................................. 20
Hal-hal Membatalkan Syahadat........................................................................ 39
Bid'ah Sumber Kerusakan Umat........................................................................ 49
Al-Wala>’ Wa al-Bara>’................................................................................................ 56
Golongan yang Selamat ....................................................................................... 64
Ghuluw terhadap Nabi Muhammad................................................................. 73

BAGIAN KETIGA
ISU-ISU FIKIH YANG SERING DIPERDEBATKAN ................................... 77
Benarkah Islam Tidak Bermazhab?.................................................................. 77
Menjawab Tuduhan Haramnya Ziarah Kubur.............................................. 86
Ragam Pandangan Tentang Hijab..................................................................... 94
Beda Pandangan, Beda Akidah? ....................................................................... 101

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN v


Hukum Hanya Milik Allah.................................................................................... 108
Penegakan Syariat Islam, Jihad? ....................................................................... 115

BAGIAN KEEMPAT
RELASI ISLAM DAN NEGARA .......................................................................... 119
Penegakan Khilafah, Apakah itu Solusi? ........................................................ 120
Haramnya Hormat Bendera ............................................................................... 129

BAGIAN KELIMA
MEMBANGUN ISLAM MODERAT DI SEKOLAH ..................................... 139

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 144


vi PEDOMAN DAKWAH
PENGANTAR

Hakikat dakwah adalah membangun kesadaran umat untuk melakukan


kebaikan sebagaimana yang dianjurkan di dalam ajaran agama. Upaya
untuk membangun kesadaran itu, dilakukan dengan cara mengajak dan
menyampaikan ajaran tentang nilai-nilai yang harus diketahui khalayak.

Dakwah lebih ditekankan kepada upaya untuk membangun motivasi


dibandingkan menebarkan larangan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang ajaran agama. Tindakan melarang suatu perbuatan
merupakan tindakan yang berdimensi hukum. Sedangkan dakwah dalam
konteks kekinian, bukanlah perbuatan yang berdimensi hukum meskipun
diakui bahwa dakwah dan hukum bisa berjalan beriringan.

Contoh-contoh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa periode


dakwah di Makkah memberi penegasan bagaimana dakwah diorientasikan
kepada upaya untuk membangun motivasi warga Mekkah agar mau berbuat
baik dan menebar kebaikan. Karena motivasi itu, sebagian warga Mekkah
kemudian menyadari pentingnya menghormati hak-hak kaum perempuan,
menghormati hak kaum yang tidak berpunya, dan menghindari perilaku
tabz\ir (boros). Dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad mengantarkan
masyarakat Mekkah sampai ke puncak pemahaman kebaikan yaitu tidak
mempertuhankan selain Allah, melalui sikap egalitarianisme di antara
sesama mereka.

Seiring dengan perjalanan waktu, makna dakwah mulai mengalami


pergeseran. Perubahan itu disebabkan oleh banyak hal. Di antara yang
bisa dicatat di sini adalah dinamika politik yang berlangsung di Tanah Air,
perubahan budaya, hingga perubahan peta politik global. Kesemuanya
merupakan variabel-variabel yang mengubah dakwah dari wajah aslinya.
Perang dingin yang terjadi di antara Barat dan Uni Soviet, disebut-sebut
turut mengubah wajah dakwah tersebut.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN vii


Berubahnya wajah dakwah itu bukan saja terlihat dari aspek tampilan,
tapi juga esensi dari dakwah itu sendiri. Dakwah yang semula dimaknakan
sebagai ajakan, dalam perjalanannya telah berubah menjadi di’a> yah
(propaganda). Tentu saja, terdapat perbedaan makna yang sangat jauh di
antara keduanya. Dakwah dalam maknanya mengajak, lebih menekankan
kepada persuasi dan motivasi. Sedangkan dakwah dalam maknanya sebagai
propaganda, penekanannya lebih kepada “kami lebih baik daripada mereka”
atau “jangan ikuti mereka”.

Dakwah, dalam bentuk di’a>yah ini, yang kemudian mendominasi ruang publik
Tanah Air belakangan ini. Mimbar-mimbar dakwah di masjid, musholla
atau tabligh akbar, lebih menekankan kepada ajakan untuk mendukung
usaha yang dilakukan oleh pendakwah, termasuk juga gerakan politik yang
sedang dilakukan pendakwah. Jika pada masa lalu, dakwah lebih diarahkan
kepada mengembalikan orientasi pemahaman umat kepada al-akhla>k al-
Karimah, maka pada masa kini dakwah diarahkan kepada upaya membangun
dukungan di dalam mengkritik pemerintah.

Dalam situasi dakwah seperti itu, meluapkan amarah dan emosi terhadap
kebijakan pemerintah menjadi tidak terkendali. Sementara itu, di sisi lain,
dakwah yang bernuansa di’a>yah menggiring opini khalayak untuk memusuhi
keragaman pemikiran yang telah lama berkembang di masyarakat.
Akibatnya, dakwah pun tidak lagi menjadi forum untuk memunculkan solusi
yang membuat lega banyak pihak. Dakwah seperti kehilangan elannya
sebagai upaya untuk memunculkan uswatun hasanah.

Buku ini ditulis sebagai jawaban atas keprihatian atas bergesernya


pemaknaan terhadap makna dakwah tersebut. Dari pengalaman yang
ditemui di lapangan, tidak banyak mubalig atau dai di tingkat lokal yang
memahami akar masalah dari carut marut dakwah tersebut. Bahkan masih
banyak mubalig, dai dan guru agama yang tidak mengetahui bagaimana
radikalisme itu terbangun melalui dakwah.

Materi-materi yang ditulis di dalam buku ini, berasal dari hasil penelusuran
penulis terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang di kalangan pelajar
dan mahasiswa, yang ditengarai terperosok ke dalam jerat radikalisme. Dari

viii PEDOMAN DAKWAH


riset kecil yang dilakukan penulis, diketahui bahwa beberapa materi yang
disajikan kepada kalangan pelajar dan mahasiswa itu telah mendorong
mereka untuk memasuki pintu radikalisme yang kini dianggap sebagai
bagian dari malapetaka kemanusiaan.

Buku kecil yang sederhana ini diikhtiarkan sebagai usaha untuk meng-
counter pemikiran-pemikiran yang mempunyai kecondongan yang lebih
berat ke arah pemikiran garis keras tersebut. Dengan adanya bekal
pemahaman epistemologi pemikiran garis keras itu, diharapkan para Guru
Agama Islam dan para mubalig, mampu melakukan pencegahan dini dari
meluasnya pemikiran radikal yang berpotensi merusak ikatan keumatan,
dan kebangsaan yang telah lama terjalin erat.

Ucapan terima kasih, saya ucapkan kepada Ibu Yenni Wahid, selaku
pimpinan The Wahid Foundation yang telah memberikan kesempatan
sehingga buku ini bisa diluncurkan kepada khalayak luas. Terima kasih
juga dihaturkan kepada Mbak Siti Kholishoh dan Gus Rizal Mumazziq
yang telah sudi menjadi editor atas buku sederhana ini. Tidak lupa, saya
mengucapkan terima kasih kepada Mas David yang dengan sabar menemani
saya menyelesaikan buku ini. Juga terima kasih saya ucapkan kepada para
pihak yang telah membantu selesainya penulisan buku ini.

Akhirnya, tidak ada gading yang tidak retak. Penulis mengakui bahwa
banyak kekurangan di dalam penulisan materi buku ini. Tegur sapa penulis
harapkan dari para pembaca, dalam rangka penyempurnaan buku ini.

Jakarta, Juli 2019

Abdi Kurnia Djohan

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN ix


PENGANTAR
WAHID FOUNDATION

Apa itu intoleransi? Apa itu radikalisme? Bagaimana toleransi dalam ajaran
Islam? Mengapa radikalisme harus ditolak? Pertanyaan-pertanyaan ini
kerap dihadapi guru-guru agama di sekolah-sekolah. Sepanjang perjalanan
Wahid Foundation mengembangkan sekolah damai di empat provinsi (Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta), tidak sedikit pengajar
agama Islam yang mengalami kesulitan menghadapi pertanyaan-pertanyaan
itu. Lebih sulit lagi, ketika ditanya masalah-masalah dalam teologi Islam
yang terkadang menjadi pembenar bagi tindakan-tindakan intoleran
dan kekerasan. Guru-guru agama, yang sebagian besar juga menjadi
penceramah agama di berbagai tempat, membutuhkan panduan ringkas
untuk merespon pertanyaan-pertanyaan itu.

Buku ini menyajikan uraian yang sistematis dan terstruktur mengenai


materi-materi keagamaan yang menjadi landasan berpikir dan bertindak
sejumlah kelompok intoleran dan pro-kekerasan. Guru agama dan
pendakwah perlu mengetahui hal ini, khususnya untuk mencegah
makin tersebarnya ideologi intoleran dan pro-kekerasan. Buku ini juga
memberikan uraian mengenai cara-cara melakukan konter-narasi terhadap
materi-materi intoleran dan radikalisme keagamaan. Dengan mengetahui
bentuk-bentuk provokasi ideologis dan agitasi teologis kalangan intoleran,
kemudian memiliki kemampuan memberi bantahan dan narasi tanding
yang pro-toleransi dan perdamaian dalam beragama, para guru agama dan
pendakwah akan menjadi aktor penting penyebar Islam yang rahmatan
lil-a>lamin.

Bahasan dalam buku ini disajikan dengan mengetengahkan tiga materi


utama, yaitu akidah, fikih dan politik. Merinci dan meletakkan narasi-narasi

x PEDOMAN DAKWAH
intoleran ke dalam kategori bahasan yang tepat seperti itu sangat penting.
Narasi-narasi teologis yang digunakan sebagai basis sikap intoleran kerap
menyembunyikan makna, sejarah atau narasi lain yang sesungguhnya
lebih otoritatif dan mengandung pengertian yang sangat pro-perdamaian
dan toleransi. Buku ini menyuguhkan argumen tanding yang tepat
untuk mengembalikan narasi-narasi teologis kepada pemahaman yang
proporsional.

Wahid Foundation menyadari bahwa buku ini menyentuh aspek sensitif


dalam keberislaman saat ini, yakni narasi teologis. Membahas isu
sensitif tentu berisiko. Tetapi, bagi Wahid Foundation, risiko ini pantas
ditempuh sebab akan jauh lebih besar bahayanya jika sama sekali tidak
membicarakannya. Bungkam terhadap narasi teologis yang kerap
menjadi justifikasi tindakan intoleran, yang tak jarang mengarah pada
tindak kekerasan, justru berpeluang menciptakan kerusakan lebih besar.
Contohnya sudah banyak. Kehidupan masyarakat majemuk yang saling
menghargai justru terganggu ketika muncul berbagai narasi intoleran yang
menggunakan justifikasi ajaran agama, seperti haramnya mengucapkan
selamat hari raya kepada agama lain, melabeli sesat praktik kebudayaan
lokal, melabeli kafir orang yang berbeda pandangan keagamaan, melabeli
murtad komunitas lain dan hanya kelompoknya lah yang selamat di akhirat
kelak, menyatakan bahwa mengikuti hukum buatan manusia adalah kafir
sehingga pernikahannya pun tidak sah, dan seterusnya.

Wahid Foundation memutuskan untuk membawa diskusi mengenai narasi


teologis ke permukaan. Tentu saja dengan cakupan pembaca yang spesifik.
Buku ini ditujukan sebagai acuan bagi para pengajar agama Islam dan juru
dakwah, yang sehari-hari bergulat dengan materi keagamaan, di satu sisi,
dan berhadapan dengan dinamika sikap keberagamaan siswa dan umat,
di sisi lain. Semoga dengan hadirnya buku ini, para pengajar agama Islam
dan pedakwah makin terampil menyampaikan materi-materi Islam damai
dan teknik-teknik berargumentasi menghadapi narasi intoleran berbalut
teologi.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN xi


Wahid Foundation mengucapkan terimakasih kepada ini akan ditulis
Ustadz Abdi Kurnia, Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(PP LDNU) sekaligus Dosen Pendidikan Agama Islam di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, yang telah mencurahkan pikiran, waktu dan energi
untuk menuntaskan penulisan buku ini. Terimakasih juga kami sampaikan
kepada Siti Kholisoh, Davida Ruston Khusen dan rekan-rekan sekalian
yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, telah terlibat dalam proses
penyuntingan buku ini hingga berada di tangan pembaca sekalian.

Griya Gus Dur, 30 Juli 2019

Mujtaba Hamdi

Direktur Eksekutif Wahid Foundation

xii PEDOMAN DAKWAH


BAGIAN PERTAMA
MEMAHAMI PEKERJAAN RUMAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

B
agian ini memberikan penjelasan mengenai latar belakang ditulisnya
buku panduan ini. Fenomena dakwah saat ini, berikut dengan
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat Islam kelompok
moderat di Indonesia. Khususnya para Guru Pendidikan Agama Islam, yang
menjadi rujukan bagi para murid di sekolah.

Dalam bagian ini juga dijelaskan menjelaskan sekilas strategi Rasulullah


dalam menyampaikan dakwah Islam dengan cara luwes, menyampaikan
kebenaran Islam dengan merangkul seluruh umat manusia dari berbagai
latar belakang yang berbeda-beda. Pesan dari bagian ini, mengajak pembaca
khusus para mubalig dan Guru PAI untuk memahami dakwah berpijak pada
nilai-nilai kemaslahatan untuk menyebarkan nilai-nilai agama.

Tulisan ini lebih bermaksud untuk memperkenalkan kepada pembaca


untuk memahami konteks buku panduan ini disusun, serta tema-tema
yang dibahas dalam buku ini juga disebutkan. Tema-tema tersebut dipilih

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 1


berdasarkan observasi tim penyusun terhadap tema-tema keagamaan
yang sering kali diperdebatkan, dan menjadi legitimasi tindakan-tindakan
yang cenderung menyalahkan kelompok yang berbeda dan menklaim
keberanan kebenaran atas gagasan sendiri sebagaimana fenomena
pendakwah saat ini.  

Dakwah Islam Rahmatan Lil-a>lamin,


Antara Tantangan dan Pekerjaan Rumah

Dakwah merupakan usaha yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu.
Usaha dakwah—seperti sering dikatakan oleh para mubalig—adalah usaha
yang terus berlangsung sepanjang Dien al-Isla>m ini ada. Bagi setiap umat
Islam, dakwah merupakan kewajiban. Hanya saja kewajiban itu dilakukan
sesuai kemampuannya masing-masing.

Secara konseptual, makna dakwah adalah mengajak kepada agama Allah,


memperkenalkan ajarannya, dan membumikan nilai-nilainya di dalam
perilaku sehari-hari. Karena itu, salah satu prinsip dari dakwah adalah
ketulusan.

Inilah yang membedakan antara dakwah dengan politik. Dakwah berpijak


pada nilai-nilai kemaslahatan untuk menyebarkan nilai-nilai agama,
sedangkan politik seringkali menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.
Dengan demikian, prinsip dan cara dakwah berbeda dengan kegiatan
propaganda politik.

Secara sederhana sulit untuk dikatakan bahwa propaganda politik


dilakukan berdasarkan ketulusan. Sulit juga dikatakan bahwa politik tidak
dimaksudkan untuk menjatuhkan kredibilitas pihak lain. Sampai di level
selanjutnya, sulit juga untuk dikatakan bahwa politik dilakukan tanpa
pemaksaan kehendak, meskipun tidak semua partai politik melakukan
hal-hal itu.

2 PEDOMAN DAKWAH
Potensi, Tantangan dan Kendala
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa populasi umat Islam di
Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Statistik negara-negara
muslim di dunia menunjukkan bahwa jumlah umat Islam di negeri ini
menempati jumlah terbanyak sekitar 204 .807.000 jiwa. Jumlah terbesar
kedua adalah India dengan populasi sebesar 172 juta jiwa.

Dengan jumlah sebesar itu, Islam menjadi agama yang sangat mewarnai
kehidupan bernegara di Indonesia. Meskipun tidak dipersyaratkan bahwa
bentuk dan model bernegara harus sejalan dengan jumlah komposisi
penduduk, setidaknya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara juga
harus memperhatikan komposisi keagamaan yang dianut oleh penduduknya.

Saat ini, dakwah Islam menghadapi tantangan yang sangat berat. Tantangan
itu terutama berasal dari perubahan yang terjadi di masyarakat. Diakui
atau tidak, modernisasi mengubah dan mengeser perilaku keseharian di
masyarakat, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama. Modernisasi ditandai
dengan maraknya penggunaan teknologi di dalam aktivitas kehidupan. Dan
yang paling berpengaruh adalah teknologi informasi.

Tantangan lain dari dakwah juga datang dari industrialisasi. Dari sisi
ekonomi, industrialisasi memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang
menjadi indikator meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat. Tapi dari
sisi moralitas, industrialisasi menghadirkan ancaman bagi tegaknya nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat.

Industrialisasi mengubah wajah masyarakat melalui penggusuran


wilayah-wilayah yang sudah mapan kehidupan sosialnya. Sebagai contoh,
pembangunan pabrik-pabrik di wilayah Cikarang dan Karawang telah
menggusur kawasan yang dulu disebut sebagai lumbung padi nasional.
Penggusuran itu bukan saja menyebabkan hilangnya areal persawahan tapi
juga aturan norma yang berlaku di kalangan masyarakat petani.

Industrialisasi juga menyertakan hadirnya masalah baru bagi masyarakat


yang baru mengalami transisi dari masyarakat desa (rural society) kepada

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 3


masyarakat kota (urban society). Masalah itu dikarenakan perubahan corak
masyarakat dari homogen ke heterogen. Otomatis, keberadaan pabrik-
pabrik di suatu daerah, mengundang perpindahan masyarakat dari tempat
lain untuk bekerja dan mencari penghasilan lebih di daerah industri baru.
Kedatangan para pekerja pendatang tersebut tentu mengubah komposisi
kependudukan di wilayah tersebut, yang juga berdampak kepada perubahan
sosial masyarakat. Masalah-masalah yang muncul sebagai akibat perubahan
itu di antaranya adalah peredaran minuman keras (miras) dan narkoba,
prostitusi dan kriminalitas. Di level tertentu, masalah baru yang mungkin
muncul adalah benturan antara penduduk pribumi dengan pendatang
sebagai ekspresi dari kecemburuan sosial.

Masalah lain dari dakwah adalah politik. Kehidupan politik yang tidak sehat
juga menjadi persoalan tersendiri dari dakwah. Belajar dari pengalaman
2014, dakwah di Indonesia menghadapi persoalan melebarnya fragmentasi
politik masyarakat sebagai dampak dari pemilihan presiden. Fragmentasi
itu terjadi karena ditariknya isu-isu keagamaan ke dalam persoalan politik
yang menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara persoalan
politik dengan persoalan keagamaan. Fragmentasi politik dipandang sebagai
masalah jika dihubungkan dengan keberadaan umat Islam yang secara tidak
langsung juga menentukan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dicintai.

Di samping masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, kerja dakwah


di Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya:

1. Jumlah dai tidak sebanding dengan jumlah umat di berbagai tempat.


2. Melebarnya kesenjangan (gap) populasi antara penduduk berusia tua
dan penduduk berusia muda;
3. Makin bertambahnya jumlah penduduk yang berpendidikan minimal
SMA atau sederajat, yaitu dari 68,52 % (pada tahun 2013) menjadi 71,2
% (pada tahun 2014) berdasarkan data dari BPS.
4. Kualitas dai. Seringkali dai tidak memiliki metodologi dan kemampuan
yang mumpuni dalam penyesuaian dengan obyek dakwah. Misalnya
dakwah di perkotaan;

4 PEDOMAN DAKWAH
5. Profesionalisme kerja dakwah jika dikaitkan dengan problematika
dakwah yang dihadapi.

Jika digambarkan, maka masalah dan tantangan yang dihadapi dakwah


pada masa kini adalah sebagai berikut:

INDUSTRIALISASI

DAKWAH

MODERNISASI KEHIDUPAN POLITIK

Modernisasi dan kehidupan politik menjadi tantangan kelompok Islam


moderat untuk mengawal esensi dakwah itu sendiri. Seperti halnya
fenomena hijrah para artis, yang ditandai diantaranya sebagian dengan
menjadikan mubalig sebagai profesi. Padahal, tugas pokok para mubalig
adalah memberikan pembelajaran dan pencerahan atas pokok-pokok
ajaran agama. Mereka yang memilih untuk melakukan jalur dakwah
semestinya juga telah melewati proses pembelajaran ilmu agama yang
panjang dan mendalam, namun berkali-kali media telah berkontribusi atas
kegandrungan orang kepada dai-dai yang familiar di media.

Tantangan lainnya adalah kehidupan politik. Mimbar-mimbar dakwah


seolah-olah justru menjadi tempat yang independen untuk berbicara
tentang politik. Padahal kita tahu, politik itu sendiri yang bermain adalah
kepentingan individu bukan bagian dari sebuah nilai-nilai keagamaan.
Untuk itu, tantangan ini harus dijawab oleh para mubalig dan Guru -guru
Pendidikan Agama Islam untuk mengambil peran dan tanggung jawab
mengajarkan dan menjelaskan pendidikan keagamaan.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 5


Pekerjaan Rumah Kelompok Islam Moderat

Saat ini umat Islam—terutama mereka mencita-citakan hadirnya Islam


yang menjadi rahmat—dituntut untuk mengembalikan makna dan konsep
dakwah kepada asalnya. Tuntutan itu semakin menguat ketika makna
dan konsep dakwah disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan
di luar dakwah itu sendiri. Di dalam perjalanannya, makna dan konsep
itu justru mengarah kepada kecenderungan merusak tatanan nilai-nilai
serta eksistensi Islam sebagai ajaran agama yang mempromosikan Is{lah
(perbaikan), al-Shulhu (perdamaian), dan as-Sala>m (keselamatan) bagi alam
semesta. Sebagian kalangan umat Islam menjadikan “momentum dakwah”
sebagai sarana untuk menyebarkan kebencian dan provokasi. Padahal Nabi
Muhammad Saw tidak pernah mempromosikan atau menginisiasi model-
model dakwah Islam seperti itu.

Justru sebaliknya, sejarah mencatat partisipasi Nabi Muhammad dalam


membela bangsa dan sukunya ketika Perang Fijar serta turut serta dalam
memprakarsa i perdamaian antar suku yang disebut dengan Hilf al-Fud{u>l.
Pun demikian halnya, ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, beliau
tidak pernah mempromosikan dirinya kepada penduduk Madinah, agar
mengangkatnya sebagai pemimpin kota Madinah. Justru beliau mengajak
kepada para penduduk Madinah, muslim maupun non-muslim, untuk
mengikat diri dalam sebuah traktat politik yang disebut dengan Piagam
Madinah (Mitsa>q al-Madi>nah). Kontrak politik ini menjadi acuan dasar
pembentukan sebuah negara di mana setiap penduduk, apapun latar
belakang suku dan agamanya, memiliki hak dan kewajiban yang sama serta
> ah
setara di hadapan hukum yang berlaku. 47 Pasal di dalam Mitsa>q al-Madin
sebagaimana termuat dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq menjadi
bukti kepemimpinan dan kenegarawanan sosok Rasulullah Saw .

Selain itu, sebagaimana kata Syekh Abdullah bin Bayyah, “Kita sering kali
bercerita dan mengajar generasi muda kita tentang “sejarah peperangan”
dalam sejarah Islam, mengapa tidak kita terangkan tentang 40 orang
perwakilan yang Rasulullah kirim ke daerah lain untuk berdakwah dan
mengajar manusia kebaikan, tanpa peperangan yang membinasakan?”

6 PEDOMAN DAKWAH
Selain dua hal di atas, masih banyak peristiwa yang dialami oleh Rasulullah
yang menjadi bukti apabila dakwah beliau bersifat rahmatan lil-a>lamin . Visi
beliau bersifat jangka panjang dan berpijak pada kemashlahatan. Dalam
Perang Badar, misalnya, ketika umat Islam menang dan menahan para
petinggi kaum musyrikin, Umar bin Khattab mengusulkan agar semuanya
dipenggal. Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengusulkan agar diadakan
penebusan tawanan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Usul Abu
Bakar inilah yang diterima oleh Rasulullah. Bahkan, beliau juga memberikan
tambahan usul yang menarik, yaitu tawanan Perang Badar ini mengajarkan
baca tulis kepada kaum muslimin, khususnya para pemudanya. Sehingga
dari sinilah, tradisi melek literasi bermula.

Bahkan, dalam catatan lain, peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah


Saw., 90 % bersifat defensif. Hanya sedikit yang ofensif, misalnya dalam
Perang Khaibar yang tujuannya mematahkan pertahanan kaum Yahudi.1
Bahkan, dalam dalam misi dakwahnya, Rasulullah memilih melakukan
kegiatan diplomatik dengan mengirimkan surat kepada para raja dan para
ketua suku di Arab. Misi ini berat, karena selain menyampaikan seruan
keimanan, juga pengakuan terhadap kerasuluan Nabi Muhammad. Para
utusan ini menyampaikan surat dari Nabi Muhammad kepada penguasa
Romawi, Persia, dan Yaman. Heraklius menerima utusan, tapi menolak isi
surat. Penguasa Persia malah merobek surat dari Rasulullah. Bahkan, dalam
catatan Syekh Said Ramadan al-Buthi, utusan Rasulullah yang bernama
Harits bin Umar r.a. dibunuh oleh penguasa Yaman, Syurhabil bin Amr al-
Ghassani.2

Dengan demikian, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, selain


berlandaskan pada aspek kasih sayang, menyeru kepada kebenaran, juga
dilakukan dengan metodologi yang baik dan kokoh. Tak heran jika melihat
keberhasilan Rasulullah dalam mengemban misi dakwah ini, yang kemudian

1 Syekh Said Ramadan al-Buthi banyak menjelaskan hikmah perjalanan kehidupan


Rasulullah dalam perspektif fiqh dan hikmatut tasyri melalui karyanya, Fiqh al-Sirah
an-Nabawiyyah
2 Syekh Said Ramadan al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah (Beirut: Darul Fikr, 1980),
hlm. 341.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 7


dilanjutkan oleh para sahabatnya, Michael H. Hart menempatkannya
dalam ranking pertama daftar manusia yang paling berpengaruh dalam
sejarah.3

Keberhasilan menyebarkan nilai keislaman dan menebarkan kasih sayang


sudah cukup untuk menegaskan bahwa dakwah Islam yang dilakukan
Nabi Muhammad sama sekali tidak seperti yang dilakukan oleh para
penebar kebencian namun mengatasnamakan dakwah saat ini.

Dalam kurun 1 dasawarsa terakhir, sebagaimana yang kita cermati,


banyak sekali muncul ujaran-ujaran kebencian yang berlindung di balik
jubah agama. Apalagi dalam musim kampanye politik. Kebencian tampak
dikemas dalam slogan yang apik. Bahkan, ajang khutbah jumat juga tidak
luput dari fenomena demikian.

Dalam konteks dunia digital, ujaran kebencian juga semakin marak.


Ironisnya, penyampaiannya menggunakan jargon dan slogan-slogan
agama. Bahkan, beberapa ayat dan hadis dimutilasi sedemikian rupa
untuk mendukung ujaran kebencian (hate speech) ini. Medsos telah
menjadi inkubator tumbuh kembang ajaran dan ujaran kebencian seperti
ini.

Munculnya wajah dakwah yang memprihatinkan seperti telah disebutkan


di atas, merupakan ekses dari proses globalisasi yang tengah berkembang
sejak 10 tahun belakangan ini. Tingginya angka kebergantungan
masyarakat terhadap teknologi informasi, dalam kenyataannya tidak
diimbangi dengan tingginya angka literasi terhadap informasi.

Teknologi informasi telah merambah hingga ke desa-desa di tepi pantai


atau bahkan di lereng-lereng gunung. Peristiwa yang terjadi di kota
besar bisa diketahui oleh masyarakat di daerah pedalamanhanya dalam
waktu beberapa menit. Begitu pula sebaliknya. Informasi yang beredar
kini berada di ujung jari atau di genggaman setiap orang. Setiap detik,
setiap jam, dan setiap waktu, setiap orang bisa mengakses informasi

3 Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Gramedia,
1994).

8 PEDOMAN DAKWAH
kapan mereka mau. Kemudahan itu walaupun dikatakan sebagai sebuah
kemajuan namun di sisi yang lain mengundang keprihatinan.

Dalam kenyataannya, tidak semua orang mampu menyeleksi informasi


yang mereka terima. Ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa
sebagian besar penikmat informasi yang tersebar di dunia maya,
menganggap bahwa informasi yang mereka dapat merupakan sebuah
kebenaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan.

Hal ini merupakan sebuah ironi. Sebab, sering kali peredaran informasi
yang membanjir tidak diiringi dengan validitas konten. Akhirnya, hoaks
merajalela. Hoaks adalah kabar bohong yang dikemas seolah-olah benar.
Hoax ini lebih menyasar aspek emosional. Sebab, pada titik tertentu,
seseorang yang menerima, mempercayai dan menyebar hoaks tidak
mampu berpikir rasional dan logis. Jangan heran jika tsunami informasi
membuat banyak orang kehilangan sikap kritis mereka dalam menyaring
dan menerima informasi.4

Selain menghadapi tantangan mengenai hoaks , arus informasi juga


bergerak ke arah yang lebih brutal dengan berkecambahnya konten-
konten radikal. Dalam sebuah pertemuan para kiai yang diselenggarakan
di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok tahun 2013, para kiai terkejut
atas informasi yang disampaikan oleh pemateri dari BNPT (Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme ). Informasi itu menjelaskan tentang
pola rekrutmen kader kelompok teroris, yang ternyata bermula dari
interaksi yang terjadi di dunia maya atau media sosial di antara anggota
kelompok teror dengan calon anggotanya.

Lebih mengejutkan lagi, adalah ketika BNPT menyebut adanya potensi


kebangkitan jaringan sel tidur terorisme yang ternyata bukan berasal
dari kelompok teroris itu sendiri. Jaringan sel tidur adalah mereka yang
tidak pernah bertemu dan direkrut oleh jaringan kelompok teroris,

4 Nadirsyah Hosen melalui bukunya, Saring Sebelum Sharing: Pilih Hadis Sahih, Teladani
Kisah Nabi Muhammad, dan Lawan Berita Hoaks (Jakarta: Bentang, 2019), menjelaskan
mekanisme berpikir dan bersikap kritis manakala menerima informasi. Saring di sini
berarti menyaring dan menyeleksi setiap informasi, dan sharing adalah mekanisme
penyebarannya.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 9


namun merasa mempunyai ikatan batin dengan gerakan yang dilakukan
oleh kelompok teroris.

Membaca berbagai fenomena yang diungkap oleh BNPT di atas, dapat


dipahami bahwa tantangan dakwah pada masa sekarang ini, jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Tantangan dakwah
saat ini tidak saja berupa benturan ideologi di antara sesama umat Islam,
tapi juga tantangan ekonomi, politik dan juga sosial budaya.

Sementara itu di satu sisi, para guru agama dan para mubalig yang moderat
dan tidak mempunyai kecenderungan berpolitik, mempunyai kesulitan
ketika harus menyampaikan materi-materi tablig yang mengkombinasikan
antara isi khazanah keislaman klasik dengan isu-isu kontemporer. Pada
umumnya, penyampaian materi-materi tabligh yang dilakukan kebanyakan
para mubalig itu masih melanjutkan materi ta’lim yang pernah disampaikan
sebelum-sebelumnya.

Padahal, jika dilihat dari karakteristiknya terdapat perbedaan yang


signifikan di antara materi ta’lim dengan tabligh. Perlu secara singkat
disampaikan di sini bahwa materi ta’lim sifatnya adalah pendalaman.
Sedangkan materi tabligh sifatnya adalah informatif. Di dalam kenyataan
sehari-hari, pembedaan tersebut bisa dikatakan hampir tidak terlihat.
Beberapa mubalig, terutama dari kalangan pemula, belum bisa membedakan
antara ta’lim dengan tabligh. Sehingga sering kali dijumpai penyampaian
tabligh dengan rasa ta’lim atau sebaliknya.

Pengetahuan terhadap perbedaan karakteristik antara ta’lim dengan


tabligh perlu disampaikan agar para mubalig dapat memilih dan memilah
mana topik tabligh sesuai dengan konteksnya. Untuk selanjutnya,
pengetahuan terhadap karakter audiens juga tidak kalah penting untuk
dipahami. Penyampaian sebuah topik kepada audiens yang tidak tepat,
akan menyebabkan pesan dakwah tidak dapat diterima. Untuk keperluan
itu, pilihan topik yang akan disampaikan disertai pemetaan terhadap
karakter audiens sangat penting dilakukan agar pesan-pesan dakwah yang
disampaikannya dapat diterima.

10 PEDOMAN DAKWAH
Berpijak kepada uraian-uraian di atas, pedoman dakwah ini disusun sebagai
rujukan bagi para guru agama dan para mubalig di dalam menyampaikan
pesan-pesan Islam rahmatan lil-a>lamin yang berwawasan Nusantara, yang
menjadi ciri khas dakwah moderat, kepada para siswa atau mahasiswa.
Isi materi ini juga dapat disampaikan sebagai bahan kajian umum, yang
diadakan di perkantoran atau kumpulan lainnya.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 11


Isu dan Topik Materi Dakwah

Isu-isu dakwah adalah topik-topik keislaman yang diperkenalkan oleh


kelompok intoleran, kemudian dipopulerkan di tengah masyarakat. Dalam
perjalanannya, isu-isu dakwah ini kemudian dianggap inheren dengan ajaran
Islam. Berdasarkan kepada hasil pemantauan di media sosial, isu-isu dakwah
yang dilempar oleh kelompok intoleran di tengah masyarakat dianggap sebagai
prinsip dari ajaran Islam yang harus diimani untuk selanjutnya dilaksanakan.

Dari pembacaan dan pengamatan terhadap materi-materi dakwah yang


disampaikan kelompok-kelompok intoleranbegitu banyak ditemukan
isu-isu dakwah di tengah khalayak . Bisa dikatakan bahwa isu-isu itu
memuat potret dan juga opini yang disampaikan oleh kelompok-kelompok
tersebut terhadap realitas keislaman—dan dalam kasus tertentu, realitas
kenegaraan—yang dihadapi masyarakat.

Karena begitu banyaknya isu yang dilempar dan beredar itu, para mubalig
dan Guru-guru Pendidikan Agama Islam mengalami kesulitan untuk
melakuan counter terhadap isu-isu, yang khususnya, mengarahkan kepada
pelajar untuk sikap intoleran, dan bahkan ekstrem. Upaya-upaya yang
selama ini dilakukan untuk meredam tindak radikalisme dan intoleransi,
masih bersifat tambal sulam. Bahkan, lebih sering tidak mencapai sasaran.

Itu disebabkan oleh minimnya pengetahuan mereka terhadap materi-


materi yang disampaikan oleh kalangan penyebar radikalisme tersebut.
Selama ini, upaya untuk mengimbangi arus pemikiran radikalisme itu baru
sebatas membangun wacana tanding di bidang fikih. Sedangkan, kalangan
radikal tidak menjadikan fikih sebagai alat promosi mereka kepada kalangan
generasi muda. Berdasarkan kepada penuturan yang disampaikan beberapa
mubalig dari kalangan mereka, menjadikan fikih sebagai alat promosi, jelas
mengandung risiko yang cukup kompleks. Sebab, fikih merupakan domain
ikhtilaf alias perbedaan pendapat di kalangan ulama. Satu permasalahan
saja, misalnya, bisa melahirkan banyak perspektif. Pluralitas pendapat
ini jika tidak dikuasai dengan baik oleh seorang mubalig, bisa menjadi
bumerang bagi dirinya.

12 PEDOMAN DAKWAH
Karena itu, isu fikih tidak bisa dijadikan sebagai alat promosi dan pro-paganda
yang efektif. Bagi mereka, menyajikan isu fikih sebagai alat promosi pada
gilirannya hanya akan menyisakan perdebatan tidak berujung di antara kalan-
gan awam. Ditambah lagi, karakter materi fikih tidak akan membang-kitkan
fanatisme dan militansi kelompok sebagaimana yang diharapkan.

Dari pengamatan yang dilakukan terhadap proses yang berlangsung di


lingkungan kelompok radikal, mulai dari rekrutmen, pengkaderan, hingga
aksi konkret dari gerakan yang dibangun, dapat diketahui isu-isu yang
sering mereka gunakan untuk meraih dukungan dari masyarakat. Secara
garis besar, isu-isu itu adalah sebagai berikut:

1. Tauhid;
2. Ubu>diyyah (peribadatan);
3. Harakah (gerakan), yang di dalamnya mencakup penyikapan kelompok
terhadap fenomena sosial politik yang berkembang di tengah
masyarakat.

Ketiga isu di atas merupakan backbone (tulang punggung) dari isu-isu lain
yang merupakan pengembangan dari ketiganya. Isu tauhid merupakan
isu utama yang digunakan untuk menarik perhatian masyarakat terhadap
tawaran yang kelompok radikal berikan. Isu tauhid memang sengaja
dijadikan sebagai tawaran pertama yang dilempar, karena perbincangan
tentang tauhid dianggap tidak mengandung konten khilafiah sebagaimana
fikih. Selain itu, kalangan radikalis berpendapat bahwa yang pertama kali
harus diperbaiki dari masyarakat Islam adalah pemahaman tauhidnya.
Jangan heran jika kalangan yang menjunjung tinggi isu tauhid ini menjuluki
dirinya sebagai kaum muwahhidun alias kelompok yang bertauhid. Pada
giliranya, aspek ketauhidan ini yang menjadi titik pijak dalam melihat
kelompok lain yang berbeda.

Tauhid dipandang menentukan kualitas pemahaman umat terhadap


kehidupan yang mereka jalani. Baiknya pemahaman tauhid yang dimiliki,
akan berdampak kepada baiknya kehidupan yang dihadapi oleh umat.
Demikian pula sebaliknya. Gambar di bawah ini menjelaskan bagaimana
tauhid menempati posisi penting sebagai titik tolak gerakan yang dibangun:

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 13


Rububiyyah
Batalnya Syahadat TAUHID Uluhiyyah
Asma wa Shifat

Bid'ah Syirik Al-Wala>’ wa al-Bara>’

s}ahih ul-Ubu>diyyah
(peribadatan yang benar)

MASYARAKAT
MASYARAKAT ISLAMI
ISLAMI s}ahih al-Manhaj Melalui
Melalui jalan (metode yang benar dalam perubahan
damai beragama) yang bersifat
mendasar

NASRUN MINALLAH
(pertolongan dari Allah)

FATHUN QORIB
(kemenangan yang dekat)

Dari alur yang disajikan di dalam bagan di atas, berikut adalah topik-topik
dakwah yang umumnya dijadikan sebagai bahan kaderisasi di kalangan
radikal.1.

Akidah Fikih Politik


1. Makna Tauhid 1. Islam tidak 1. Penegakkan Khilafah
(Rubu>biyyah, Bermazhab 2. Halal-haram Demokrasi
Ulu>hiyyah, Asma' 3. Haramnya Nasionalisme
wa Shifa>t) 4. Haramnya hormat kepada
bendera

14 PEDOMAN DAKWAH
Akidah Fikih Politik
2. Hal-hal yang 2. Hukum 5. Kewajiban menegakkan
membatalkan hanya syariat Islam secara kaffah
Syahadat; Milik 6. Siapa yang dimaksud dengan
3. Bid'ah sumber Allah? Ulil amri ?
kerusakan umat 3. Beda 7. Jahiliah di dalam Sistem
4. Golongan Yang pandangan, Pemerintahan
Selamat beda 8. Bertoleransi dalam Islam
5. Ghuluw akidah? 9. Radikalisme: adakah Islam
(berlebih- 4. Haramnya radikal itu ?
lebihan) ziarah 10. Aurat perempuan
terhadap Nabi kubur 11. P enegakan syariat Islam:
Muhammad Jihad?
6. Beda Pandangan, 12. Membangun Islam moderat di
Beda Akidah Sekolah

Topik-topik di atas terbukti efektif mengarahkan cara pandang sebagian


pelajar dan kaum muda kepada pemahaman keislaman yang sifatnya
eksklusif dan terkadang menganggap perbedaan sebagai ancaman. Banyak
kalangan yang tidak mengetahui bahwa topik-topik di atas, pada asalnya,
merupakan pembahasan mengenai persoalan-persoalan khilafiah yang
diperdebatkan secara akademis. Artinya, topik-topik tersebut adalah
pembahasan yang berkisar di kalangan orang-orang yang mempunyai
pengetahuan yang cukup serta kematangan emosi di dalam menyikapi
perbedaan. Ketika topik-topik itu disajikan kepada kalangan awam yang
belum mempunyai pengetahuan yang cukup serta kematangan emosi
yang mapan, yang terjadi adalah simpulan yang sifatnya hitam-putih dan
diabaikannya sikap ilmiah di dalam menghadapi masalah.

Pandangan hitam putih yang bersifat vis a vis inilah yang kemudian
menimbulkan cara pandang yang dikotomis: saya versus dia, kami versus
mereka, haq versus ba>thil, dan seterusnya. Cara pandang yang terbukti
menimbulkan banyak problem seperti simplifikasi masalah, miskin analisis,
dan kering tawaran solutif.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 15


Struktur Buku

Untuk mencapai tujuan itu, pedoman ini dibuat dengan struktur sebagai
berikut:

1. Pendahuluan
2. Pembahasan Tiga Materi Utama (Akidah, Fikih, dan Politik). Bahasan
ini berusaha menggambarkan peta masalah yang selalu diangkat
sebagai bahan dakwah yang mengarah kepada provokasi dan agitasi
terhadap kelompok lain,
Isu-isu dakwah yang dikembangkan oleh kalangan radikalis dan
intoleran itu, kiranya perlu disikapi dengan mengembangkan counter-
issue (isu tandingan) sebagai jawaban atas isu-isu yang dilemparkan di
tengah masyarakat. Counter Issue ini penting karena berfungsi sebagai
klarifikasi atas permasalahan yang diangkat dan dikembalikan kepada
pemahaman yang proporsional.
3. Profil Gerakan Islam Transnasional. Sebagai tambahan wawasan bagi
pengajar, di bagian ini akan disampaikan informasi singkat tentang
gerakan Islam Transnasional yang berkembang di Indonesia sejak era
1980-an. Gerakan Islam Transnasional adalah gerakan politik yang
menggunakan wajah keagamaan pada saat mengembangkan sayapnya
di Indonesia. Gerakan ini dibawa oleh para alumnus kampus Timur
Tengah.5 Di era Orde Baru, gerakan Islam Transnasional ini tiarap
karena represi rezim. Namun, pasca reformasi, mereka bergerak solid
dan membentuk jejaring-jejaring baru dan teknik rekrutmen yang
lebih massif dan terstruktur. Terlebih, sel gerakan mereka yang
menyusup di kampus dan birokrasi turut memperkokoh basis gerakan
kelompok ini.

Hanya saja, setelah pemerintah melarang organisasi yang menyebarkan


faham khilafah dan Islam Transnasional, pada 2018 silam, maka eksponen

5 Ainurrofiq al-Amin, mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengupas jerohan
organisasi terlarang ini melalui buku karyanya, Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbit
Tahrir Indonesia (HTI) (Yogyakarta: LKiS, 2012).

16 PEDOMAN DAKWAH
gerakan ini memilih bergerak secara halus. Bermetamorfosis menjadi
gerakan kultural, namun tetap mempropagandakan khilafah.6

Oleh karena itu, pengetahuan tentang gerakan Islam transnasional ini


penting dikuasai oleh para guru agama dan juga mubalig agar mereka bisa
memahami, memetakan, dan melakukan pencegahan bilamana diketahui
indikasi-indikasi yang mengancam ketertiban masyarakat dan ketahanan
nasional. Sebab, di beberapa daerah, para guru dan mubalig yang tidak
memahami peta gerakan Islam, cenderung gampang terpengaruh oleh
gerakan Islam transnasional ini.

6 Nadirsyah Hosen mengupas akar sejarah dan doktrin gerakan Islam Transnasional ini
melalui dua buku karyanya, Islam Yes, Khilafah No: Doktrin dan Sejarah Khilafah Islam dari
Khulafa’ Ar-Rasyidun hingga Umayyah (Yogyakarta: UIN Suka Pres, 2018), serta Islam
Yes, Khilafah No: Dinasti Abbasiyyah, Tragedi, dan Munculnya Khawarij Zaman Now
(Yogyakarta: UIN Suka Pres, 2018).

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 17


BAGIAN KEDUA
ISU-ISU AKIDAH DAN TAUHID
DALAM DAKWAH

B
agian kedua ini akan dibagi beberapa bab yang membahas tema-tema
terkait dengan persoalan akidah dan tauhid. Pembahasan akidah dan
tauhid ini sering menjadi tema-tema dakwah kelompok-kelompok
intoleran dan radikal untuk membangun keislaman yang eksklusif dan
ekstrem. Sering kali , dengan bekal pengetahuan terbatas mengenai tauhid,
kelompok ini kemudian membangun eksklusivitas sembari menebarkan
teror justifikatif.

Bagian ini akan membahas makna tauhid, hal-hal yang membatalkan


syahadat, bid'ah sebagai sumber kerusakan umat, di antara golongan
yang selamat, Ghulwu (berlebih-lebihan) terhadap nabi Muhammad
SAW, dan beda pandangan: beda akidah. Tema-tema tersebut seri ngkali
muncul perdebatan dikalangan kelompok Islam. Sering kali memunculkan
pertanyaan-pertanyaan siswa kepada Guru Pendidikan Agama Islam atau
mubalig.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 19


Bagian ini akan membekali pembaca tentang uraian apa yang menjadi
landasan pemikiran kelompok-kelompok tersebut, dan uraian pandangan
yang meluruskan atas isu-isu akidah dan tauhid yang dipersoalkan.
Tujuannya supaya para mubalig dan Guru PAI mendapatkan pengetahuan
landasan pemikiran, gagasan-gagasan progresif untuk meluruskan
pandangan-pandangan tersebut.

Memahami Lebih Dalam


Makna “Akidah dan Tauhid”

Gambaran Umum
Pembahasan awal dimulai dengan menjelaskan landasan pemikiran,
argumen yang dibangun mengenai tauhid serta karakteristik penyampaian
dan dalil-dalil yang digunakan untuk membangun militansi kelompok
intoleran di berbagai pengajian eksklusif, lalu di bagian selanjutnya kita
menjelaskan sekaligus untuk meluruskan argumentasi tersebut. Dan counter
atas landasan yang digunakan serta ulasan berdasarkan dasar hukum.

Tentang “Akidah”
Sebelum masuk ke dalam pembahasan materi tentang akidah, perlu
dijelaskan terlebih dahulu makna akidah, yang dianggap sebagai ruh dari
ajaran Islam. Kata “akidah” berasal dari kata kerja “‘aqada” ( ‫ )عقد‬yang
maknanya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Di dalam kamus
al-Mu’jam al-Wasit> h kata “’aqada ” ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu
yang seperti diikat.7

Selanjutnya di dalam al-Mu’jam juga dicantumkan makna dari kata “akidah”,


yaitu hukum yang diterima tanpa keraguan oleh orang yang meyakininya.
Atau keyakinan terhadap wujud-Nya (keberadaan) Allah dan diutusnya para
rasul.8 Zakky Mubarak mendefinisikan akidah adalah suatu kepercayaan

7 Lihat al-Mu’jam al-Wasith, hal. 636, section ‘ain


8 Al-Mu’jam al-Wasith

20 PEDOMAN DAKWAH
dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan Yang
Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada sesuatu
pun yang menyerupai-Nya.9

Tauhid
Topik tauhid senantiasa dijadikan sebagai materi pembuka di hampir
sebagian besar pengajian yang diadakan oleh kelompok intoleran.
Sebagaimana umat Islam pada umumnya, pengetahuan tentang tauhid
merupakan pondasi untuk memahami struktur bangunan ajaran Islam
secara utuh. Namun, kesalahpahaman di dalam memahami makna tauhid
dan penerapannya di masyarakat dapat berakibat fatal. Sebagian umat
Islam menjadikan tauhid sebagai alasan untuk membangun sikap intoleran—
bahkan permusuhan—terhadap siapa saja yang berada di luar kelompoknya.
Fenomena ini sering dijumpai di kalangan kelompok intoleran. Mereka
menjadikan isu tauhid ini sebagai pintu masuk untuk membangun militansi
sekaligus ketidaksukaan terhadap kelompok lain di luar pengajiannya.

Sering kali, dengan bekal pengetahuan terbatas mengenai tauhid,


kelompok ini kemudian membangun eksklusivitas sembari menebarkan
teror justifikatif, apabila kelompok A adalah kaum musyrikin, kubu
B dianggap penyembah kubur, dan kubu C disebut sebagai penganut
Kejawen, kubu D kemudian disebut sebagai kelompok kafir. Anggapan
peyoratif dan tuduhan kasar seperti ini semakin berkecambah di beberapa
daerah yang menjadi kantong hunian kelompok ini. Mereka berjejaring
menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram,
Whatsapp, dan sebagainya.

Di antara bentuk kesalahpahaman di dalam memahami makna “tauhid”


adalah mengarahkan makna tauhid kepada konsepsi al-nafyu (menolak),
al-hadmu (dekonstruksi), atas pemahaman-pemahaman di luar kelompok
dan al-itsba>t (menegaskan) pemahaman yang didapat di dalam kelompok.
Tauhid yang semula berorientasikan kepada pengagungan asma Allah

9 Zakky Mubarak, Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum,
cetakan I, (Jakarta: Yayasan Ukhuwwah Insaniyah, 2007), hal. 141

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 21


dengan mengimplementasikan akhlak rabba>niyyah (akhlak ketuhanan),
dalam pelaksanaannya dibelokkan menjadi perlawanan kepada kelompok
lain yang tidak satu pemahaman.

Karakteristik Materi
Dari hasil amatan terhadap materi-materi tauhid yang disampaikan di
kalangan intoleran, ditarik kesimpulan bahwa dari materi tauhid yang
mereka kembangkan adalah bercorak:
1. Provokatif;
2. Menguatkan sikap non-kompromi;
3. Membangun militansi.

Rujukan materi ini banyak mengambil pemikiran: Ibnu Taimiyyah, Ibnu


Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Abdul Aziz bin Baz,
Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Muqbil bin Hadi’ al-Wadi’i, Sholih bin
Fauzan al-Fauzan, Abul A’la al-Maududi, dan lain-lain.

Kaidah Pemahaman Tauhid


Yang dimaksud dengan kaidah pemahaman tauhid di sini adalah pernyataan-
pernyataan dasar yang dijadikan sebagai argumentasi dasar di kalangan
intoleran dalam membangun pembangun tauhid versi mereka. Pernyataan-
pernyataan ini, dikumpulkan dari hasil penelusuran dan wawancara dengan
beberapa ustaz dan aktivis dari kalangan intoleran. Pernyataan-pernyataan
tersebut kemudian dijadikan sebagai argumentasi kalangan awam yang
mengikuti kajian-kajian yang diadakan kalangan itu. Di dalam penyampaian
pemahaman argumentasi itu, pola informasi yang digunakan adalah pola
tertutup. Artinya, setiap tafsiran terhadap al-Quran yang disampaikan,
menutup masuknya penafsiran di luar kelompok. Karena itu, di dalam setiap
perdebatan tentang masalah akidah, khususnya masalah tauhid dengan
kelompok intoleran ini, mereka tidak akan mau menerima penafsiran lain
di luar kelompoknya. Corak eksklusif, rigid, dan saklek ini seolah menjadi
karakteristik dasar yang sulit diubah.

22 PEDOMAN DAKWAH
Pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan dasar yang dikembangkan
kelompok intoleran, penting untuk dikuasai sebagai bekal untuk menyadar-
kan kalangan pelajar yang baru tertarik terhadap ajakan-ajakan menuju
radikalisme.

Pernyataan Dalil (Al-Quran dan Hadis )

Kewajiban QS Muhammad (47):19


untuk
‫ني‬ِ ِ ِ َ ِ‫اعلَم أَنَّه َل إِٰلَه إَِّل اللَّه واستـ ْغ ِفر لِ َذنْب‬
mempelajari
Ilmu Tauhid
َ ‫ك َول ْل ُم ْؤمن‬ ْ َْ َ ُ َ ُ ْ ْ َ‫ف‬
ِ َ‫والْمؤِمن‬
‫اتقلى َواللَّهُ يـَْعلَ ُم ُمتـََقلَّبَ ُك ْم َوَمثـَْوا ُك ْم‬ ُْ َ

Orang yang QS al-Shaffat [37]:35


sombong adalah
٣٥ ‫يل َلُ ْم َل إِٰلَهَ إَِّل اللَّهُ يَ ْستَ ْكِبُو َن‬ِ‫إِنـَّهم َكانُوا إِ َذا ق‬
orang yang
tidak mengenal
َ ُْ
makna La> ila>ha
illa Allah

Kewajiban QS al-Muzammil (73): 15-16


mentaati Rasul
dan ancaman ِ ‫إِنَّا أَرس ْلنا إِلَي ُكم رس ًول ش‬
‫اه ًدا َعلَْي ُك ْم َك َما أ َْر َس ْلنَا إِ َ ٰل‬
bagi yang َ َُ ْ ْ ََْ
menolaknya
١٥ ‫فِْر َع ْو َن َر ُس ًول‬
١٦ ‫َخ ًذا َوبِ ًيل‬
ْ ‫َخ ْذنَاهُ أ‬
َ ‫ول فَأ‬ َّ ‫ص ٰى فِْر َع ْو ُن‬
َ ‫الر ُس‬ َ ‫فـََع‬
Allah tidak rela QS al-Jin (72): 18
jika ibadah ke-
١٨ ‫َح ًدا‬ ِ ِِ ِ
padanya dirusak
dengan perbua-
َ ‫َن الْ َم َساج َد للَّه فَ َل تَ ْدعُوا َم َع اللَّه أ‬
َّ ‫َوأ‬
tan syirik

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 23


‫‪Pernyataan‬‬ ‫) ‪Dalil (Al-Quran dan Hadis‬‬

‫‪Di antara‬‬ ‫‪QS az-Zumar (39):3‬‬


‫‪bentuk merusak‬‬
‫الالِص ج والَّ ِذين َّات ُذوا ِمن دونِِه أَولِ‬ ‫ِِ‬
‫‪ibadah adalah‬‬
‫ِّين َْ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ‬
‫اء‬ ‫ي‬ ‫أََل للَّه الد ُ‬
‫َما نـَْعبُ ُد ُه ْم إَِّل لِيـَُقِّربُونَا إِ َل اللَّ ِه ُزلْ َف ٰى إِ َّن اللَّهَ َْي ُك ُم‬
‫‪menjadikan‬‬
‫‪orang saleh‬‬

‫بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن قلى إِ َّن اللَّهَ َل يـَْه ِدي َم ْن‬
‫‪sebagai‬‬
‫‪perantara di‬‬
‫‪dalam berdoa.‬‬
‫ب َك َّف ٌار ‪٣‬‬ ‫ِ‬
‫ُه َو َكاذ ٌ‬
‫‪Orang yang‬‬ ‫‪QS Yusuf (12):106‬‬
‫‪menolak tauhid‬‬
‫‪dan enggan‬‬
‫‪mempelajarinya‬‬
‫َوَما يـُْؤِم ُن أَ ْكثـَُرُه ْم بِاللَّ ِه إَِّل َوُه ْم ُم ْش ِرُكو َن ‪١٠٦‬‬
‫‪adalah orang-‬‬
‫‪orang yang‬‬
‫‪menentang‬‬
‫‪risalah.‬‬

‫‪Larangan‬‬ ‫‪QS al-Mujadilah (58):22‬‬


‫‪mencintai‬‬

‫َل َِت ُد قـَْوًما يـُْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالْيـَْوِم ْال ِخ ِر يـَُو ُّادو َن َم ْن َح َّاد‬
‫‪orang-orang‬‬
‫‪yang menentang‬‬

‫اللَّهَ َوَر ُسولَهُ َولَ ْو َكانُوا آبَاءَ ُه ْم أ َْو أَبـْنَاءَ ُه ْم أ َْو إِ ْخ َوانـَُه ْم‬
‫‪Allah dan‬‬
‫‪dakwah Rasul‬‬

‫ب ِف قـُلُوبِِم ِْ‬
‫الميَا َن َوأَيَّ َد ُه ْم‬ ‫َ‬ ‫ت‬
‫َ‬ ‫ك‬
‫َ‬ ‫ك‬‫َ‬ ‫أَو ع ِشريتـهم ج أُوٰلَئِ‬
‫ْ َ َ َُ ْ‬
‫ُ‬
‫َّات َْت ِري ِم ْن َْتتِ َها ْالَنـَْه ُار‬ ‫وح ِمْنه وي ْد ِخلُهم جن ٍ‬ ‫صلى‬
‫ِ‬
‫بُر ٍ ُ َ ُ ُ ْ َ‬
‫خالِ ِد ِ‬
‫ضوا َعْنهُ أُوٰلَئِ َ‬ ‫ين ف َيها َر ِض َي اللَّهُ َعنـْ ُه ْم َوَر ُ‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫ك‬ ‫َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ج‬ ‫ِ‬
‫ب اللَّه ُه ُم الْ ُم ْفل ُحو َن‬ ‫ب اللَّه أََل إِ َّن ح ْز َ‬ ‫ح ْز ُ‬

‫‪24‬‬ ‫‪PEDOMAN DAKWAH‬‬


Tauhid Rubu>biyyah
Makna dari tauhid rububiyyah adalah tauhid yang meyakini bahwa Allah
adalah pencipta dan pemelihara alam semesta. Dalam pemahaman
kelompok radikal, semua agama mempunyai pemahaman tauhid ini.
Sehingga—dalam pemahaman kelompok intoleran—mengidentifikasi
seorang muslim, hanya dari pemahaman tauhid rububiyyah ini tidak dapat
dipandang cukup.

Berikut ini adalah list yang berisi kumpulan dalil yang digunakan untuk
menjelaskan tauhid rububiyyah yang dimaksud:

Al-Quran Hadis

‫ُّعاءُ ُم ُّخ الْعِبَ َادة‬


QS al-Fatihah (1):2,
QS Fushshilat
(41):37, QS al-A’ra>f
َ ‫الد‬
Doa adalah otaknya ibadah (hadis ini dinyatakan
(7):54, QS al-
dhaif oleh al-Albani).
Baqarah (2):21-22

‫آخ ِر َحيَاتِِه َل اِٰلهَ اِالَّ اهللُ َد َخ َل اجلَنَّة‬


ِ ‫ال ِف‬
َ َ‫َم ْن ق‬
Siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan La ilaha
illa Allah, dia masuk surga.

Tauhid Ulu>hiyyah
Apa itu tauhid ulu>hiyyah? Syekh Sholih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Syekh
menjelaskan bahwa makna dari tauhid ulu>hiyyah adalah mengesakan
Allah melalui beragam perbuatan hamba, yang arahnya adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Jika perbuatan yang dilakukan hamba itu
hanya diperuntukkan bagi Allah saja, ia akan dianggap sebagai orang yang
bertauhid. Namun, jika perbuatan yang dilakukannya itu karena Allah dan
karena selain Allah, ia dikategorikan sebagai pelaku perbuatan syirik di
dalam ibadah.10

10 Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim alu Syekh, al-Tamhid li Syarhi Kitabi
al-Tauhid (Riyadh: Dar ul-Tauhid, 2003), hal. 7

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 25


Pembagian tauhid menjadi tiga (rubu> b iyyah, ulu> h iyyah, dan Asma'
wa al-s}ifa> t), didasarkan kepada hasil analisis Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab terhadap ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid.
Sebelum Syekh Muhammad bin Abdul Wahab—seperti ditulis Syekh Abdul
Aziz—menulis penjelasannya tentang pembagian tauhid, para ulama hanya
melihat pembagian tauhid ke dalam dua bagian saja, yaitu tauhid rubu>biyyah
dan tauhid asma' wa al-s}ifa> t.11

Dari pembagian tauhid ini, kemudian dikembangkan pemaknaan terhadap


terminologi (istilah) syirik. Syekh Sholih mendefinisikan syirik—dan definisi
ini diterima sebagai kaidah umum di kalangan radikal—sebagai menjadikan
bersama Allah, sekutu di dalam pemahaman rubu>biyyah, atau di dalam
ibadah, atau di dalam asma wa al-s}ifa> t.

Nalar pembagian tauhid menjadi tiga, yang kemudian diikuti dengan


pemaknaan istilah syirik, sebagaimana yang dijelaskan di atas, ditengarai
sebagai pemicu lahirnya sikap intoleran di kalangan pembelajar Islam,
khususnya di kalangan masyarakat perkotaan.

Di antara pemantik munculnya pandangan intoleran itu adalah penjelasan


tentang praktik perbuatan syirik, seperti “beribadah kepada kuburan ”,
“beribadah kepada orang mati”, atau menyebut nama seorang guru di dalam
doa dengan tujuan agar doa itu dikabulkan.12 Di dalam beberapa penjelasan
yang disampaikan oleh para mubalig yang berpemahaman intoleran,
praktik-praktik itu dialamatkan kepada umat Islam yang selalu berziarah
ke makam Walisongo atau menyebut nama guru yang sudah meninggal
dunia di dalam doa.

Di dalam penjelasan Syekh Sholih yang didapat dari pemahaman Syekh


Muhammad bin Abdul Wahab, praktik-praktik syirik di atas dapat membuat
pelakunya dianggap keluar dari Islam, sebagaimana dikemukakan berikut
ini:

11 Ibid., hal. 7
12 Ibid., hal. 9

26 PEDOMAN DAKWAH
‫ فاألكري هو املخرج‬,‫التقسيم األول وهو تقسيم الشرك إىل أكري وأصغر‬
,‫ و األصنام‬,‫ عبادة األوثان‬: ‫فمثال الظاهر من الشرك األكري‬...‫من امللة‬
...‫ واألموات والغائبني‬,‫وعبادة القبور‬

“Pembagian pertama dari pembagian syirik itu adalah syirik akbar (besar) dan
syirik ashg{ar (kecil). Yang dimaksud dengan syirik akbar adalah perbuatan
syirik yang dapat membuat pelakunya keluar dari agama. Contoh nyata dari
syirik akbar adalah menyembah patung, beribadah kepada kuburan, mayit,
atau kepada orang yang sudah lama tiada.”13

Berpijak kepada argumentasi ini, maka muncul di benak pikiran kalangan


pelajar dan kalangan awam yang masih minim pemahaman agamanya,
bahwa menziarahi makam para ulama merupakan perbuatan yang dapat
menyebabkan pelakunya keluar dari ajaran Islam .


Kontra Narasi
Realitas:
Tertanam di dalam benak pemikiran masyarakat, khususnya umat Islam,
jika sebuah pendapat diiringi dengan kutipan ayat al-Quran, hadis, atau
pendapat ulama, pendapat itu cenderung dianggap sebagai kebenaran final
yang tidak boleh dikritisi.

Sebagian besar umat Islam tidak mengetahui bahwa untuk memahami


arah dan maqas{id (tujuan) dari dalil al-Quran, hadis, atau pendapat ulama,
membutuhkan perangkat analisis dan refleksi yang sangat cermat.
Perangkat analisis itu adalah ushul fikih dan kaidah fikih. Adapun yang
dimaksud dengan “refleksi yang dilakukan secara cermat” adalah upaya
menilai, menimbang, dan menarik simpulan setelah sebelumnya dilakukan
studi banding terhadap pendapat-pendapat yang beredar mengenai

13 Ibid., hal. 9

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 27


masalah yang sama, dengan mengesampingkan fanatisme mazhab dan
kecenderungan prejudice terhadap pendapat pihak lain.

Tuduhan murtad dan syirik kepada kaum muslimin yang sering berziarah
kubur maupun bertawasul dengan nama para wali adalah tuduhan yang
sangat kasar. Di berbagai buku dan ceramah, para mubalig garis keras
senantiasa menyebarkan kecurigaan ini.

Padahal, dalil berziarah kubur dan menziarahi makam para kekasih Allah
juga memiliki dalil yang jelas. Ustaz Ma’ruf Khozin, Ketua Aswaja Center
PWNU Jatim, misalnya, membuat buku bagus yang bukan hanya menolak
tuduhan sebagai “penyembah kubur”, melainkan juga menulis adab dan
tatacara berziarah kubur yang sesuai dengan petunjuk Islam.

Buku pertama berjudul “Menjawab Tuduhan Sebagai Penyembah Kubur:


bantahan Terhadap Buku Mantai Kiai “Ahlussunnah Kok Nyembah Kuburan”
(Surabaya: Muara Progresif, 2015). Sedangkan buku kedua berjudul “Risalah
Ziarah Kubur: Hujjah, Tuntunan dan Adab” (Surabaya: Muara Progresif, 2017).

Selain ilmiah dan argumentatif, kedua buku karya ulama muda di atas
menjadi bagian dari upaya meng-counter tuduhan nista apabila para peziarah
kubur adalah orang syirik karena “menyembah kuburan” dan bertawasul
dengan para kekasih-Nya.

Melalui buku tersebut, ustaz Ma’ruf Khozin memberikan landasan


argumentatif, jika ziarah kubur merupakan ajaran Rasulullah, dan ziarah
ke makam ulama merupakan ajaran dan kebiasaan Salaf as-s}a>lih. Tak hanya
itu, dengan menyertakan berbagai kutipan dari banyak referensi, ulama
muda asal Surabaya ini memberikan penegasan apabila berziarah kubur
merupakan bagian dari ajaran Islam yang baik untuk dilaksanakan sesuai
dengan adabnya.

Pembagian tauhid menjadi tiga: Ulu>hiyyah, Rubu>biyyah dan Asma' wa al-s}ifat,


justru membahayakan pemahaman akidah seorang muslim. Sebab:
a. Menganggap non-muslim sekalipun lebih bertauhid daripada orang
Islam yang bertawasul dan meminta syafaat kepada Allah dengan para
wali dan orang saleh, betdasarkan tauhid rubu>biyyah.

28 PEDOMAN DAKWAH
b. Memusyrikkan orang Islam yang melakukan istiga>tsah, tabarruk,
tawassul dengan para nabi, wali dan orang saleh berdasarkan tauhid
ulu>hiyyah.
c. Memahami ayat-ayat dan hadis mutasyabihat, khususnya yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah dengan makna lahiriyahnya dan
terjebak pada paham tajsi>m yang menganggap Allah berjisim seperti
makhluk.14

Tinjauan Teoritis
Penggunaan ayat-ayat al-Quran di atas jika dilakukan tanpa melibatkan
ilmu akan berakibat fatal. Ayat-ayat al-Quran tidaklah dapat berbicara
sendiri. Ia tentu sangat bergantung kepada pihak yang membacanya. Jika
pihak yang membacanya mempunyai sikap yang arif dan bijaksana, maka
hasil penafsiran terhadap al-Quran adalah lahirnya sikap yang bijaksana,
dalam arti menempatkan masalah pada tempatnya. Namun, sebaliknya jika
pihak yang membaca al-Quran adalah orang yang mempunyai kepentingan
tertentu atau ketidaksukaan tertentu terhadap suatu kelompok, hasil
pembacaan al-Quran itu adalah sikap-sikap yang menyimpang dari tujuan
diturunkannya al-Quran itu sendiri. Ia tidak akan menjadi petunjuk (hidayah)
bagi orang yang membacanya. Tapi, malah menjadi dasar pembenar atas
tindakan orang yang membacanya. Di titik inilah, sikap ekstrem itu lahir,
tumbuh dan berkembang dengan menggunakan al-Quran sebagai dasar
pembenar.

Setiap muslim wajib membaca al-Quran, tapi tidak semua orang Islam
bisa memberikan penafsiran terhadap al-Quran. Setiap muslim juga
wajib berpegang teguh pada al-Quran, tapi tidak semua muslim bebas
mengeluarkan fatwa dan beristinbat serta berijtihad berdasarkan al-
Quran. Sebab, ada banyak syarat untuk menjadi seorang mufasir, mufti, dan
qa>di} (hakim). Jika semua muslim dibebaskan untuk menafsirkan dan bahkan
menggali hukum berdasarkan kitab suci ini, maka kajian tafsir dan hukum

14 Tim Aswaja NU Center Jawa Timur, Khazanah Aswaja: memahami, Mengamalkan dan
Mendakwahkan Ahlussunnah wal Jama’ah (Surabaya: Tim Aswaja NU Center Jatim, 2016),
hal. 168.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 29


bisa kacau karena banyak orang awam memaksakan diri menafsirkan al-
Quran dan berfatwa. Oleh karena itu, dibutuhkan standarisasi dan tata
aturan baku terhadap mekanisme penafsiran al-Quran dan pola penggalian
hukum berdasarkan al-Quran dan hadis .

Oleh karena itu, dalam pemaknaan mengenai tauhid, perlu didudukkan


secara proporsional agar tidak menimbulkan sikap berlebihan dalam
beragama. Mengkaji makna tauhid secara serampangan justru bakal
melahirkan pemahaman yang kaku sehingga berdampak pada sikap meng-
kafirkan sesama muslim, maupun mensyirikkan amaliah sebagian kaum
muslimin yang tidak sesuai dengan pemahaman kelompok ekstrimis ini.

“Pemahaman tauhid seharusnya menuntun seseorang agar


lebih mencintai Allah dan meng-Esa-kannya, bukan malah
menuduh umat Islam yang berbeda pendapat sebagai
“penyembah” kuburan”, musyrik, murtad, zindiq, dan tuduhan
lain yang menyakitkan.”

Di tangan para ulama ahl al-sunnah wa al jama>ah, tauhid menjadi pintu


masuk mengenalkan Allah dan ajaran kasih sayang. Para dai senantiasa
menanamkan ajaran ketauhidan ini kepada umat Islam dengan kecintaan
kepada-Nya dan mengenalkan nama-Nya (asma' al-husna) serta sifat mulia
Allah. Namun, di tangan kelompok Khawarij hingga ISIS, tema tauhid selalu
dijadikan sebagai pintu masuk untuk menanamkan rasa kebencian terhadap
sesama, baik itu sesama muslim maupun terhadap sesama manusia.
Padahal, tidak ditemukan satu pun di dalam sejarah kehidupan Nabi
Muhammad, catatan yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad selama
berdakwah di Makkah, menganjurkan para sahabat untuk menunjukkan
sikap benci terhadap pemuka-pemuka kota Makkah atau kepada seluruh
penduduk kota Makkah.

Dengan demikian, pemahaman tauhid seharusnya menuntun seseorang


agar lebih mencintai Allah dan meng-Esa-kannya, bukan malah menuduh

30 PEDOMAN DAKWAH
umat Islam yang berbeda pendapat sebagai “penyembah kuburan”, musyrik,
murtad, zindiq, dan tuduhan lain yang menyakitkan. Sebab, pada dasarnya,
bertauhid bukan hanya membebaskan diri dari kesyirikan kepada-Nya,
melainkan juga menyadari dirinya sebagai seorang hamba-Nya. Seorang
yang akidahnya kokoh, mustahil gampang menyalahkan pihak lain, apalagi
menuduh orang lain sebagai musyrik, dan sebagainya.

Titik Tolak Pemahaman Tauhid


1. Prinsip
Perlu dipahami terlebih dahulu, asas (prinsip) dakwah Nabi Muhammad
selama tinggal di Makkah, yaitu:

‫َجًرا إَِّل الْ َم َوَّدةَ ِف الْ ُق ْرَ ٰب‬ ِ


ْ ‫قُل َّل أ‬
‫قلى‬
ْ ‫َسأَلُ ُك ْم َعلَْيه أ‬
“Katakanlah (wahai Nabi), aku tidak meminta balasan kepada kalian atas
seruanku ini, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan .” (QS as-Syura
[42]:23)

‫ك لَ َعلَ ٰى ُخلُ ٍق َع ِظي ٍم‬


َ َّ‫َوإِن‬
“Sungguh engkau benar-benar di atas kepribadian yang agung.” (QS al-Qalam
[68]:4)

ِ ِ
‫ت لَ َّعانًا‬ ُ ْ‫إَِّنَا بُعث‬
ُ ْ‫ت َر ْحَةً َوَما بُعث‬
Nabi Muhammad bersabda, “Sungguh aku diutus hanya sebagai rahmat, dan
tidaklah aku diutus sebagai tukang melaknat” (HR. Al-Bukhari di dalam al-
Adab ul-Mufrad)

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 31


2. Hakikat dan Maqa>s}id
Apa hakikat dan maqa> s } i d dari tauhid? Hakikat dari tauhid adalah
mengesakan atau menyendirikan Allah terkait dengan hak yang dimiliki-Nya
sebagai Tuhan yang patut disembah. Adapun tujuan (maqa>s}id) dari tauhid
adalah terbangunnya mental dan sikap independen umat Islam, dengan
menduplikasi (meniru) semua akhlak yang telah Allah tunjukkan.

Akhlak Allah itu seperti tercantum di dalam al-Asma’ al-Husna (nama-nama


Tuhan yang indah), seperti ar-Rahman, ar-Rahi>m, al-Malik, al-Quddus, al-
Salam, al-Mu’min, al-Aziz, al-Ghaffaru, al-Ra’uf, dan seterusnya.

Dengan menggunakan dalil al-Quran dan hadis yang sama, pemateri dapat
menjelaskan maqa>s}id (tujuan) dari dalil-dalil ke tempatnya semula:

a. QS Muhammad (47):19

ِ َ‫ك ولِْلمؤِمنِني والْمؤِمن‬ ِ ِ ‫فَاعلَم أَنَّه َل إِٰلَه إَِّل اللَّه و‬


ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ ِ‫استـَ ْغف ْر ل َذنْب‬
‫قلى‬
‫ات‬ ْ َُ َ ُ ْ ْ
‫َواللَّهُ يـَْعلَ ُم ُمتـََقلَّبَ ُك ْم َوَمثـَْوا ُك ْم‬

“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan)


selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”

Para ulama tafsir sepakat di dalam pemahaman bahwa ayat ini berbicara
tentang pentingnya mempelajari tauhid dan memahami keesaan Allah.

b. QS al-Shaffa>t (37):35

‫يل َلُ ْم َل إِٰلَهَ إَِّل اللَّهُ يَ ْستَ ْكِبُو َن‬ِ ِ ِ


َ ‫إنـَُّه ْم َكانُوا إ َذا ق‬
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa
ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka
menyombongkan diri.”

32 PEDOMAN DAKWAH
Al-Thabari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang
yang bersikap sombong ketika disampaikan “La> ila>ha illa Allah” (tidak
ada tuhan kecuali Allah) adalah orang-orang musyrikin Makkah.
Penafsiran al-Thabari itu diikuti oleh Syekh Abdurrahman al-Sa’di.
Penafsiran kedua ulama ini didasarkan kepada fakta sejarah tentang
kerasnya penentangan tokoh-tokoh Quraisy terhadap dakwah Nabi
Muhammad. Kerasnya penentangan itu ditunjukkan di dalam QS
Al-Mudatsir [74]:18-23, tentang al-Walid ibnu al-Mughirah. Dari
penjelasan ini, dapat dipahami sikap tegas ditunjukkan al-Quran,
setelah sebelumnya muncul permusuhan dari orang-orang yang enggan
menerima dakwah Nabi Muhammad.

c. QS al-Muzammil (73): 15-16

ِ ‫إِنَّا أَرس ْلنا إِلَي ُكم رس ًول ش‬


‫اه ًدا َعلَْي ُك ْم َك َما أ َْر َس ْلنَا إِ َ ٰل فِْر َع ْو َن َر ُس ًول‬ َ َُ ْ ْ ََْ
١٦ ‫َخ ًذا َوبِ ًيل‬ ْ ‫َخ ْذنَاهُ أ‬
َ ‫ول فَأ‬ َّ ‫ص ٰى فِْر َع ْو ُن‬
َ ‫الر ُس‬ َ ‫ فـََع‬١٥
“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah)
seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah
mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai
Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.”

Ayat ini tidak dapat dipahami bahwa setiap orang yang menolak
dakwah Nabi Muhammad, harus dimusuhi. Dalam praktik, ajakan
Nabi Muhammad tidak diterima oleh beberapa penguasa negara,
seperti Heraklius, Kaisar Romawi, Muqauqis Penguasa Mesir, dan
Kisra Penguasa Persia. Heraklius menolak secara halus ajakan Nabi
Muhammad itu, sambil memberi pengakuan bahwa Muhammad benar
adalah seorang Nabi. Muqauqis, Penguasa Mesir, juga menolak ajakan
Nabi Muhammad, namun penolakan itu disampaikan secara diplomatis
dengan menghadiahkan Nabi Muhammad dua orang budak. Sedangkan

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 33


Kisra, Penguasa Persia, menolak mentah-mentah ajakan Nabi itu sambil
melempar penghinaan kepada Nabi dan utusannya. Di sini, kemudian
Nabi menunjukkan sikap yang tegas terhadap Kisra. Namun, ketegasan
Nabi itu tidak diwujudkan dengan pernyataan perang.

d. QS al-Jin (72): 18

ِ ِِ ِ
َ ‫َن الْ َم َساج َد للَّه فَ َل تَ ْدعُوا َم َع اللَّه أ‬
‫َح ًدا‬ َّ ‫َوأ‬

“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka


janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah.”

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh menyertakan Tuhan yang


lain di dalam berdoa kepada Allah. Ini adalah pemahaman yang umum
dipahami para ulama.

e. QS az-Zumar (39):3

‫ين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدونِِه أ َْولِيَاءَ َما نـَْعبُ ُد ُه ْم‬ ِ َّ‫الالِص ج وال‬
َ َ ُ َْ ‫ِّين‬
‫ذ‬ ِِ
ُ ‫أََل للَّه الد‬
‫إَِّل لِيـَُقِّربُونَا إِ َل اللَّ ِه ُزلْ َف ٰى إِ َّن اللَّهَ َْي ُك ُم بـَيـْنـَُه ْم ِف َما ُه ْم فِ ِيه َيْتَلِ ُفو َن‬
ِ ِ
ٌ ‫إِ َّن اللَّهَ َل يـَْهدي َم ْن ُه َو َكاذ‬
‫قلى‬
‫ب َك َّف ٌار‬

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada
Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”

34 PEDOMAN DAKWAH
Jika dikatakan bahwa ayat ini melarang umat Islam menjadikan para
nabi dan orang-orang soleh sebagai perantara di dalam berdoa kepada
Allah, pemahaman itu tidaklah tepat. Syekh Shalahuddin al-Idlibi
menjelaskan bahwa orang yang menyeru kepada makhluk Allah, dengan
keyakinan bahwa ia dari aspek zat tidak mempunyai kekuasaan atas apa
yang diminta, tapi meyakini bahwa Allah memberikannya kewenangan
untuk menguasai sesuatu, maka tidak ada hukum yang bisa digunakan
untuk menuduhnya syirik. Ikhtilaf di dalam masalah ini terletak kepada
aspek hukumya, di antara kesunnahan atau kebolehan. Apakah benar
Allah memberikan kewenangan kepada makhluk-Nya akan suatu
urusan? Syekh al-Idlibi memberi contoh kisah Imam Ahmad yang
pernah tersesat dalam perjalanan pulang dari melaksanakan ibadah
haji. Abdullah ibnu Ahmad, putera dari Imam Ahmad, meriwayatkan
bahwa ketika mengalami keadaan itu, Imam Ahmad berdoa, “wahai
hamba-hamba Allah, tunjukkan saya jalan.”, Imam Ahmad berulang-
ulang mengucapkan itu sampai akhirnya ia menemukan jalan ke arah
kampung halamannya. (al-Idlibi, tt: 35) Apa yang dilakukan oleh Imam
Ahmad itu didasarkan kepada riwayat Abdullah ibnu Abbas ra.

f. QS Yusuf (12): 106

‫َوَما يـُْؤِم ُن أَ ْكثـَُرُه ْم بِاللَّ ِه إَِّل َوُه ْم ُم ْش ِرُكو َن‬

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain).”

Ayat ini harus dibaca secara kontekstual dengan tidak memotong


hubungan antara kisah Nabi Yusuf dengan konteks dakwah yang
dijalani oleh Nabi Muhammad. Berdasarkan tempat turunnya, surah
Yusuf ini masuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah (yang diturunkan
di Makkah). Ayat ini menegaskan bahwa kendatipun Nabi Muhammad

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 35


menyampaikan argumentasi dakwah dengan menampilkan kisah Nabi
Yusuf, orang-orang Makkah tetap tidak akan mau menerima dakwah
Nabi dikarenakan kebencian mereka yang sudah begitu kuat terhadap
Nabi. Ayat ini tidak bisa digunakan secara pukul rata terhadap orang-
orang yang tidak sependapat terhadap metode penyampaian dan isi
dakwah.

g. QS al-Muja>dalah (58): 22

ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫َل َت ُد قـَْوًما يـُْؤمنُو َن بِاللَّه َوالْيـَْوم ْالخ ِر يـَُو ُّادو َن َم ْن َح َّاد اللَّهَ َوَر ُسولَه‬
َ ِ‫َولَ ْو َكانُوا آبَاءَ ُه ْم أ َْو أَبـْنَاءَ ُه ْم أ َْو إِ ْخ َوانـَُه ْم أ َْو َع ِش َريتـَُه ْم أُوٰلَئ‬
‫ج‬
‫ك‬
ٍ ‫وح ِمْنه صلى وي ْد ِخلُهم جن‬ ِ ِْ ‫ب ِف قـُلُوبِِم‬
‫َّات‬ َ ْ ُ ُ َ ُ ٍ ‫الميَا َن َوأَيَّ َد ُه ْم ب ُر‬ ُ َ َ‫َكت‬
ِ ‫َت ِري ِمن َتتِها ْالَنـهار خالِ ِد‬
ُ ‫ين ف َيها َر ِض َي اللَّهُ َعنـْ ُه ْم َوَر‬
‫ج‬
ُ‫ضوا َعْنه‬ َ َ ُ َْ َ ْ ْ ْ
‫ب اللَّ ِه ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُحو َن‬َْ‫ز‬ ‫ح‬ِ ‫ك ِحزب اللَّ ِه ج أََل إِ َّن‬
ُْ َ ِ‫ج أُوٰلَئ‬

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”

Ayat ini harus dipahami di dalam konteks bernegara. Setelah Nabi


Muhammad membentuk komunitas di Madinah, tokoh-tokoh Quraisy
Makkah masih melanjutkan permusuhan terhadap Nabi. Sementara
itu di sisi lain, tidak sedikit para sahabat yang berasal dari Makkah,
masih menjalin hubungan intensif dengan keluarga mereka di Makkah.
Di antara keluarga mereka, terdapat orang-orang yang memusuhi
Nabi Muhammad. Atas pertimbangan pentingnya menjaga keutuhan
komunitas dan stabilitas kota Madinah, Nabi melarang para sahabat
yang keluarganya masih memusuhi Nabi itu berinteraksi dengan
keluarganya. Ayat ini dapat pula digunakan sebagai dalil tentang

36 PEDOMAN DAKWAH
pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan NKRI dari pihak-pihak yang
berusaha merongrong kesatuan dan keutuhan bangsa serta negara.

Sebab, dalam sejarahnya, pihak yang ingin merobohkan NKRI justru


merupakan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Mereka
berbeda ideologi lantas menginginkan perubahan NKRI sesuai dengan
kehendak dan ideologi mereka. Ada yang ingin agar RI menjadi negara
Islam, ada juga yang menginginkan menjadikan negeri ini sebagai negeri
komunis, dan sebagainya.

Padahal, jika kita bercermin pada berbagai kasus di Timur Tengah, di


mana sebuah negara yang awalnya stabil lantas ambruk dan kondisinya
masih tercabik perang saudara, kita pantas dan wajib bersukyur
apabila Indonesia masih bisa rukun dan damai. Kuncinya ada pada
Pancasila sebagai pemersatu. Sehingga NKRI tetap bisa menjadi rumah
bersama bagi semua kelompok yang berbeda, baik agama, suku, ras,
dan latarbelakang social ekonominya.

Makna “Tauhid” yang Seharusnya Dipahami


Para Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah (sunni) berpendapat bahwa sejak
masa Nabi Muhammad hingga masa Imam Mazhab fikih tidak dikenal
pembagian tauhid menjadi tiga; rubu>biyyah, ulu>hiyyah serta asma' wa
al-shifa>t. Pembagian itu menurut Syekh Jamil Halim al-Husaini bahkan
dianggap sebagai perbuatan bid'ah di dalam akidah . Menurut Syekh Jamil,
pembagian tauhid menjadi tiga berpotensi memecah belah umat Islam dan
menumbuhsuburkan tradisi takfir (mengkafirkan) di kalangan umat Islam.
(2015:32)

Dari sekian banyak maqa>s{id yang terkandung di dalam dalil-dalil tadi,


penting untuk disampaikan kepada peserta ta’lim bahwa maqa>s{id (tujuan)
dari tauhid adalah bukan untuk membangun permusuhan dan pemisahan di
antara muwahhid (pengamal tauhid) dengan musyrik (pengamal perbuatan
syirik).

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 37


Sudah saatnya, pemaknaan terhadap “tauhid” tidak lagi diarahkan kepada
upaya untuk membangun dikotomi di antara sesama muslim, dan lebih
jauh lagi di antara anggota masyarakat. Tauhid seharusnya dimaknai
sebagai wasi>lah (sarana) untuk memberikan kepahaman kepada umat
tentang hakikat independensi dan pentingnya berakhlak dengan akhlak
Allah. Para mubalig atau guru agama, sudah semestinya menjadikan
tauhid sebagai pintu masuk untuk menjelaskan universalitas ajaran
Islam dan ketersambungannya dengan ajaran-ajaran para nabi sebelum
Rasulullah Muhammad Saw. Sehingga dengan begitu, umat Islam tidak akan
menganggap “remeh” setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain.
Karena pada hakikatnya, menurut Nabi Muhammad, kebaikan itu adalah
barang milik umat Islam yang tercecer. Sehingga dari siapa saja kebaikan
itu muncul, umat Islam harus mengambilnya sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah yang telah menganugerahkan banyak kebaikan. Makna Tauhid
juga harus mempunyai turunan berupa:

1. Independensi;
2. Akuntabilitas di dalam amal;
3. Profesionalisme di dalam pekerjaan;
4. Mempunyai komitmen yang kuat terhadap kesepakatan atau perjanjian;
5. Bersikap jujur dan amanah.

38 PEDOMAN DAKWAH
Hal-Hal Membatalkan Syahadat

Gambaran Umum
Walaupun topik ini semula dimaksudkan untuk menegaskan identitas dan
komitmen keislaman, di dalam praktek, topik ini justru dijadikan sebagai alat
ukur untuk membedakan in-group dari out-group. Arah dari topik ini adalah
memposisikan muslim di luar kelompok sebagai “kafir” yang pada gilirannya
nanti boleh dimusuhi atau bahkan boleh diperangi.

Belakangan ini muncul narasi antara lain orang yang berteman dengan
berbeda keyakinan, mengucapkan selamat hari raya umat agama lain,
mendukung salah satu pasangan calon yang berbeda masuk kategori hal-
hal membatalkan syahadat. Sehingga narasi demikian harus diluruskan
disertai dengan dasar hukum, landasan teori dan argumentasi yang tepat.

Bab ini akan menjelaskan karakteristik, dan argumentasi.

Karakteristik
Karakteristik dari materi ini sama dengan karakteristik dari materi tauhid.
Rujukan materi ini banyak mengambil pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab, yang kemudian diperjelas uraiannya oleh Abdul Aziz bin Baz di
dalam Subul al-Salam ‘an Qawathi’ al-Islam dan Sholih bin Fauzan al-Fauzan
di dalam Syarh Nawa>qid{ al-Islam.

Di situ disebutkan apa saja tindakan yang dapat memutus keislaman


seseorang, di antaranya adalah berkunjung/berwisata ke daerah-daerah
yang bukan daerah Islam. Di Indonesia, daerah yang dimaksud adalah
Bali, NTT, Sulawesi Utara dan Papua. Sehingga, menurut pendapat bin
Baz tersebut, muslim yang mengunjungi daerah-daerah non muslim itu,
dianggap telah batal/gugur keislamannya.

Argumentasi Kelompok Intoleran


Syekh Sholih bin Fauzan al-Fauzan di dalam “Syarh Nawa>qid{ al-Islam”, sebuah
karya penjelasan atas karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, menulis
bahwa tidak cukup bagi seorang muslim untuk beribadah hanya kepada

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 39


Allah saja dan menjauhi diri dari perbuatan syirik. Ia juga diwajibkan
untuk memusuhi semua musuh Allah dan mencintai para wali Allah. Juga
diharuskan bagi setiap muslim untuk mencintai apa saja yang Allah suka
dan membenci apa saja yang Allah benci (2005:hal.17). Syekh Sholih al-
Fauzan berpendapat bahwa pemahaman terhadap fenomena nawa>qid al-
Syahadatain (hal-hal yang bisa membatalkan dua kalimat syahadat) penting
dimiliki oleh umat Islam, karena agama menempati urutan pertama, dari
lima hal yang wajib dipelihara.

Dalil :
QS al -Mumtahanah (60):3, QS Ibrahim (14):35. Hadis Nabi Muhammad:

ِ َ ‫من بد‬
ُ‫َّل ديـْنَهُ فَاقـْتـُلُ ْوه‬ َ َْ
“Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah oleh kalian.” (HR Al-Bukhari)

Menjawab Syubhat
Di antara syubhat yang dikembangkan terkait dengan tema “Hal-hal yang
dapat membatalkan syahadat” adalah pertanyaan-pertanyaan tentang:

a. Berteman dengan yang berbeda


b. Memilih pemimpin yang kebetulan berbeda keyakinan
c. Apa saja hal-hal yang membatalkan syahadat?

Beberapa syubhat di atas akan dijelaskan di bagian kontra narasi berikut ini.

Kontra Narasi
Para ulama baik dari sebagian kalangan Salafi maupun dari kalangan Sunni
menyadari betapa rawannya pembahasan tentang nawa>qid{ al-syahadatain
(hal-hal yang membatalkan dua kalimat syahadat) ini. Sebagian dari
kalangan ulama Salafi yang menyadari itu adalah Syekh al-Syarif Hatim
al-Auni, pengajar di Universitas Umm al-Qura' Makkah. Adapun dari

40 PEDOMAN DAKWAH
kalangan Sunni, kesadaran tentang rawannya pembahasan tentang nawa>qid{
al-syahadatain itu adalah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani,
Syekh Ramadan al-Buthi, Syekh Jamil Halim al-Husaini, Syekh Umar
Abdullah Kamil dan Syekh Shalahuddin al-Idlibi. Mereka mengkhawatirkan
pembahasan tentang nawa>qid{ al-syahadatain itu akan disalahgunakan
untuk menyebarkan pemahaman yang ekstrem tentang ajaran Islam.
Kekhawatiran tersebut mereka tuangkan ke dalam karya-karya yang sudah
tersebar luas di tengah masyarakat.

Terkait dengan topik “nawa> q id{ al-syahadatain”, para ulama memberi


tanggapan sebagai berikut:

1. Bahwa di dalam menyimpulkan pesan dari teks al-Quran dan juga hadis
Nabi, penting untuk memperhatikan perbedaan di antara nash (teks),
tafsir al-nash (tafsir terhadap teks), dan tathbi>q al-nas (implementasi
terhadap teks). Para ulama menganggap bahwa pangkal kesesatan
berpikir tentang nawa>qid{ al-syahadatain bermula dari tidak dikenalinya
tiga perbedaan tersebut.
2. Bahwa tafsir terhadap teks membutuhkan perangkat ilmu, metodologi,
serta pengetahuan yang dapat menjaga penafsir dari kekeliruan atau
bahkan kesalahan di dalam penafsiran. Tidak dilibatkannya penggunaan
metodologi, dan dipinggirkannya pengetahuan yang berkaitan dengan
penafsiran terhadap teks al-Quran dan hadis itu, yang memunculkan
pemahaman yang keliru—bahkan terkesan asal-asalan terhadap
pembahasan tentang nawa>qid{ al-syahadatain.
3. Bahwa di dalam setiap simpulan hukum yang disampaikan memiliki
syarat, batasan, kontekstualisasi, dan patokan-patokan. Jika perangkat-
perangkat itu tidak dimiliki ketika menafsirkan teks, ini disamakan
dengan orang yang melaksanakan salat tanpa t}aharah (bersuci),
tanpa menutup aurat, atau tanpa memedulikan masuknya waktu.
Menafsirkan teks al-Quran atau hadis tanpa perangkat ilmu tadi, dapat
disamakan dengan orang yang menyangka bahwa melaksanakan salat
cukup dengan gerakan saja karena sudah pasti diterima Allah.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 41


Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengabaikan prinsip-prinsip di atas di
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, dan juga hadis Nabi, yang kemudian
ditafsirkannya menjadi nawa>qid{ al-syahadatain.

Para ulama juga menduga telah terjadi manipulasi atas pendapat para
ulama salaf, yang dilakukan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab,
terhadap persoalan nawa>qid{ al-syahadatain. Dugaan itu didasarkan kepada
analisis terhadap simpulan yang ditarik oleh Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab. Di dalam menyimpulkan perkara-perkara nawa>qid{ al-syahadatain,
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab tidak mengupas secara tuntas
semua faktor yang menyebabkan batalnya syahadat seorang muslim,
sebagaimana tercantum di dalam al-Quran, hadis, dan pembahasan para
ulama sebelumnya. Demikian Syekh Muhammad bin Abdul Wahab juga
membangun simpulan yang dinisbahkan kepada para ulama, padahal tidak
satu pun ulama yang mengatakannya.

Kesalahan fatal yang dilakukan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab—dan


juga para pendukungnya hingga hari ini—adalah menjadikan persoalan
nawa>qid{ al-syahadatain sebagai bahasan umum di dalam kajian akidah .
Padahal, para ulama menganggap bahasan tentang nawa>qid{ al-syahadatain
ini sebagai bahasan yang berada di wilayah ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Celakanya, mereka yang mendukung pemikiran-pemikiran Syekh
Muhammad bin Abdul Wahab menganggap bahwa di dalam pembahasan
tentang akidah tidak diperbolehkan terjadi ikhtilaf. Menurut mereka,
ikhtilaf hanya dibolehkan di dalam persoalan fikih.15

Karena kesalahan itu, para ulama menganggap bahwa Syekh Muhammad


bin Abdul Wahab agaknya sengaja menarik pembahasan tentang nawa>qid{ al-
syahadatain ini menjadi bahasan umum, dengan tujuan untuk melemparkan
tuduhan kafir terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran-
pemikirannya.

15 Simpulan bahwa perkara “Nawa>qid{ al-Syahadatain” berada di wilayah ikhtilaf ditunjukkan


dengan adanya perbedaan di antara para ulama, seperti Imam al-Nawawi, Imam Rafi’i,
dan juga Imam Ibnu Hajar al-Haitami tentang hal-hal apa saja yang dianggap dapat
membatalkan dua kalimat syahadat.

42 PEDOMAN DAKWAH
Para ulama, selain Muhammad bin Abdul Wahab, banyak yang membahas
tentang perkara-perkara yang membatalkan keislaman. Hanya saja
pembahasan mereka dimasukkan ke dalam perkara ikhtilaf. Mereka tidak
menjadikan pembahasan itu sebagai kaidah yang dijadikan sebagai patokan
yang harus diikuti oleh umat Islam.

Dalam kaitannya dengan hal-hal yang membatalkan syahadat, sebagian


besar ulama sunni berpegang kepada pendapat al-Imam al-Ghazali yang
mengatakan bahwa, “sudah sepatutnya bagi setiap muslim, untuk menjaga
sikap dari bermudah-mudahan menuduh kafir sesama muslim, yang tidak
ditemukan padanya alasan untuk melempar tuduhan tersebut. Karena
menganggap halal darah dan harta, orang yang melaksanakan salat serta
mengucapkan “La> ila>ha illa Allah, Muhammad ar-Rasu>lulla>h” jelas merupakan
sebuah kesalahan...”

Selain itu, para ulama masa lalu sepakat bahwa orang yang mengucapkan
dua kalimat syahadat, dianggap sebagai muslim dan berlaku pada dirinya
hukum Islam. Sedangkan menghukuminya dengan status keluar dari Islam,
harus didasarkan kepada keyakinan, bukan kepada prasangka, mengikuti
kaidah:

ِّ ‫ي َل يـَُز ُال بِالش‬


‫َّك‬ ِ
ُ ْ ‫اَلْيَق‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan ”.

Kalangan radikal menarik persoalan “hal-hal yang membatalkan syahadat”


itu ke wilayah yang lebih lebar. Mereka berpendapat bahwa berteman
dengan yang berbeda keyakinan dapat membatalkan syahadat dan memilih
pemimpin yang kebetulan berbeda keyakinan juga dapat membatalkan
syahadat. Bahkan, ikut merayakan malam tahun baru juga dianggap dapat
membatalkan syahadat. Begitu lebarnya jangkauan hukum perbuatan yang
membatalkan syahadat, menyebabkan kalangan awam bingung di dalam
memahami apa saja yang dapat membatalkan syahadat.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 43


Lagipula pembahasan mengenai hal-hal yang membatalkan syahadat ini,
selain tidak populer di kalangan ahl al-sunnah wal-jama>ah, juga rawan
dimanipulasi untuk mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat
dengan mereka. Jika dakwah bertujuan agar orang mau bersyahadat, maka
sungguh aneh jika ada orang atau sekelompok manusia yang dengan mudah
mengkafirkan mereka yang telah bersyahadat.

Oleh karena itu, para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa perkara hal-
hal yang dapat membatalkan syahadat berada di ranah ijtihad. Sehingga
pendapat yang dikemukakan oleh seorang ulama, dalam masalah ini, tidak
dapat dijadikan sebagai patokan, dikarenakan tidak ditemukannya ijmak
(kesepakatan) di antara para ulama.

Terkait dengan syubhat-syubhat yang dimunculkan di atas, berikut


disampaikan jawaban yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah Nabi
Muhammad saw.:

1. Berteman dengan orang yang berbeda agama/keyakinan:


Di dalam surah al-Mumtahanah ayat 8:

‫َل يـَنـْ ٰه ُك ُم اهللُ َع ِن الَّ ِذيْ َن َلْ يـَُقاتِلُوُك ْم ِف الدِّيْ ِن َوَلْ ُيْ ِر ُج ْوُك ْم ِم ْن ِديَا ِرُك ْم‬
‫ي‬ ِِ
َ ْ ‫ب الْ ُم ْقسط‬ ُّ ‫اَ ْن تـَبـَُّرْوُه ْم َوتـُْق ِسطُْوا اِلَْي ِه ْم اِ َّن اهللَ ُِي‬
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil, terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir
kalian dari kampung halaman kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.”

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menulis bahwa Nabi Muhammad Saw.


menikahi Ummu Habibah, puteri dari Abu Sufyan, yang pada saat
pernikahan itu terjadi, Abu Sufyan belum menyatakan keislamannya kepada
Nabi. Selanjutnya, Ibnu Katsir secara jelas menyebut bahwa di dalam ayat
itu, Allah membolehkan seorang muslim berkawan dan bersikap baik

44 PEDOMAN DAKWAH
kepada mereka yang berbeda agama, yaitu mereka yang tidak menyatakan
permusuhan atas nama agama, atau mengusik martabat kaum perempuan
muslimah dan merampas hak anak-anak muslim.16

Di dalam hadis riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa ibunda dari Asma
binti Abu Bakar, mertua Nabi Muhammad, datang kepada Asma di Madinah
dengan membawa hadiah berupa minyak samin dan masakan. Pada waktu
itu, ibunda dari Asma belum masuk Islam. Asma menolak kedatangan
ibunya dan menolak semua pemberian itu. Mengetahui peristiwa itu, Aisyah
bertanya kepada Nabi Muhammad, lalu turunlah surah al-Mumtahanah ayat
8 di atas. Nabi menyuruh Asma untuk menyambut ibunya, menerima hadiah
yang dibawakan, serta mengajaknya masuk ke dalam rumah.17

Penjelasan di atas kiranya cukup untuk dijadikan sebagai argumentasi


bahwa berteman dengan orang yang berbeda keyakinan tidak menyebabkan
batalnya dua kalimat syahadat.

2. Memilih pemimpin yang bukan muslim, apakah dapat membatalkan


syahadat?
Permasalahan ini sempat menjadi bahan perdebatan di masyarakat, dalam
kaitannya dengan PILKADA DKI tahun 2017. Kebanyakan umat Islam
berpendapat bahwa memilih pemimpin yang bukan muslim, berpengaruh
kepada status keislaman. Landasan yang digunakan adalah:

a. QS Ali Imran ayat 28:

‫ني ۖ َوَم ْن يـَْف َع ْل‬ ِِ ِ ِ ِ ‫َّخ ِذ الْم ْؤِمنُو َن الْ َكافِ ِر‬ ِ ‫َل يـت‬
َ ‫ين أ َْوليَاءَ م ْن ُدون الْ ُم ْؤمن‬ َ ُ َ
ِ ٍ ِ ِ ‫ك فـلَي‬ ِٰ
ُ‫س م َن اللَّه ِف َش ْيء إَِّل أَ ْن تـَتـَُّقوا منـْ ُه ْم تـَُقا ًة ۗ َوُيَ ِّذ ُرُك ُم اللَّه‬ َ ْ َ َ ‫َذل‬
ِ ِ ِ
ُ‫نـَْف َسهُ ۗ َوإ َل اللَّه الْ َمصري‬

16 Lihat Abu al-Fida Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Beirut: Dar ul-Fikr, 1994), Jilid
ke-4, hal. 419
17 Abu al-Fida Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Jilid ke-4 hal. 419

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 45


“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).”

b. QS al-Maidah ayat 51:

ِ ِ ِ ِ َّ
ُ‫ض ُه ْم أ َْوليَاء‬
ُ ‫َّص َارى أ َْوليَاءَ بـَْع‬
َ ‫ود َوالن‬
َ ‫ين َآمنُوا َل تـَتَّخ ُذوا الْيـَُه‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ض َوَم ْن يـَتـََوَّلُ ْم مْن ُك ْم فَِإنَّهُ منـْ ُه ْم إِ َّن اللَّهَ َل يـَْهدي الْ َق ْوَم الظَّالم‬
‫ني‬ ٍ ‫بـَْع‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang


Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebagian mereka adalah
auliya bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang lalim.”

Dalam permasalahan ini, pandangan fikih bukanlah masalah yang sederhana.


Ayat-ayat al-Quran yang ada tidak dapat serta merta digunakan sebagai dalil
untuk menilai permasalahan. Dalam tinjauan ilmu fikih, ada beberapa sebab
kenapa ayat-ayat di atas tidak dapat secara langsung digunakan:

Pertama, ayat-ayat tertentu di dalam al-Quran diturunkan menurut konteks


permasalahannya, sebagaimana yang ditunjukkan di dalam sabab an-nuzul
(sebab turunnya ayat).

Kedua, tidak semua ayat al-Quran mengandung makna yang sifatnya qath’i
(pasti). Ada pula yang mengandung makna yang sifatnya z{anny (relatif).
Menilai suatu ayat itu qath’i atau z{anny diperlukan banyak perangkat
keilmuan.

46 PEDOMAN DAKWAH
Ketiga, ayat-ayat yang bertalian dengan sikap terhadap non-muslim, harus
dilihat secara jeli, karena di dalam al-Quran, tidak semua non-muslim
dianggap musuh.

Menjawab pertanyaan apakah memilih pemimpin yang berbeda keyakinan


dapat menyebabkan batalnya syahadat, di sini secara tegas dijawab tidak.
Adapun argumentasinya adalah sebagai berikut:

a. Kualifikasi pemimpin yang dimaksud di dalam pertanyaan itu


maknanya umum. Bisa diasumsikan bahwa kepala satuan kerja di
sebuah perusahaan atau instansi pemerintah adalah pemimpin dalam
maknanya yang umum. Jika dikatakan bahwa memilih pemimpin
yang berbeda keyakinan dapat menyebabkan batalnya syahadat,
maka para komisaris sebuah BUMN yang mayoritas muslim itu
dianggap telah keluar dari Islam, karena telah mengangkat seorang
non-muslim untuk memegang jabatan direktur utama sebuah BUMN.
Demikian seterusnya. Jika alur berpikir seperti ini dijadikan sebagai
pakem, justru umat Islam sendiri yang akan mengalami kerugian.
Itu dikarenakan mereka memahami ajaran Islam secara sempit.
Akibatnya, sifat fleksibel dan universal ajaran Islam akan hilang oleh
sikap umat Islam sendiri.
b. Di dalam kasus, umat Islam yang tinggal di wilayah non-muslim seperti
Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua, dan Irian Barat,
pemahaman bahwa memilih pemimpin yang berbeda keyakinan
menjadi sebab batalnya syahadat, justru akan menyulitkan umat
Islam yang tinggal di sana. Pemahaman tersebut akan menyebabkan
fungsi Islam sebagai ajaran rahmatan lil-a>lamin yang stagnan karena
umat Islam akan disibukkan dengan ajakan untuk memusuhi penganut
agama lain.
c. Menjadi pertanyaan pula, apakah benar surah Ali Imran ayat 28
dapat dijadikan argumentasi tidak bolehnya seorang muslim memilih
pemimpin non-muslim? Muhammad Quraish Shihab di dalam tafsirnya
Al-Mishbah memberi penjelasan sebagai berikut:

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 47


“Wali mempunyai banyak arti, antara lain yang berwenang menangani
urusan, atau penolong, atau sahabat kental, dan lain-lain yang
mengandung makna kedekatan.”18

Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab, yang dikenal sebagai maestro


tafsir al-Quran dari Asia Tenggara ini, dapat disimpulkan bahwa Surah Ali
Imran ayat 28 ini tidak berbicara tentang kepemimpinan dalam maknanya
yang umum. Lebih lanjut, beliau menulis, “Ayat ini melarang orang-orang
mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong bagi mereka,
karena jika seorang mukmin menjadikan mereka penolong, maka ini berarti
sang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah enggan melihat orang
beriman dalam keadaan lemah. Itu konsekuensi paling sedikit .”19

3. Apa saja yang dapat membatalkan syahadat?


Syahadat atau status keislaman seseorang dianggap batal jika seorang
muslim melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
a.
Keluar dari ajaran Islam;
b.
Mengingkari makna dua kalimat syahadat;
c.
Mengingkari keberadaan Allah;
d.
Menolak untuk beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad;
e.
Mengingkari al-Quran sebagai kitab suci;
f.
Menolak untuk melaksanakan rukun Islam;
g.
Menganggap bahwa Nabi Muhammad berdusta;
h. Menganggap bahwa Nabi Muhammad berlaku khianat di dalam
menyampaikan wahyu.

18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, cetakan VIII,
(Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007), Volume I, hal. 62
19 ibid.

48 PEDOMAN DAKWAH
Bid'ah Sumber Kerusakan Umat

Gambaran Umum
Makna bid'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diadakan setelah
sempurnanya sebuah perkara. Dalam kaitannya dengan agama Islam, makna
bid'ah adalah menambah sesuatu yang baru di dalam ajaran agama, yang
tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad atau para sahabat.

Menurut kalangan Salafi Wahabi, setiap perbuatan yang tidak pernah


dilakukan Nabi Muhammad atau tidak pernah dianjurkan untuk
melakukannya oleh Nabi, adalah perbuatan bid'ah. Mereka berpendapat
bahwa setiap bid'ah adalah kesesatan meskipun dipandang baik.

Bagi mereka, bid'ah merupakan di antara penyebab kerusakan yang terjadi


pada umat Islam, selain dari perbuatan syirik. Pemberantasan praktik bid'ah
menjadi prioritas di dalam dakwah yang mereka lakukan bersamaan dengan
pemberantasan takhayul dan khurafat. Praktik bid'ah yang marak dilakukan
di tengah umat, menurut pemahaman mereka, dikemas ke dalam berbagai
bentuk, di antaranya akulturasi di antara ajaran Islam dengan tradisi/
kebiasaan masyarakat, atau sinkretisme ajaran Islam dengan ajaran luar
Islam yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Kontra Narasi
1. Menentukan sebuah perkara masuk ke dalam kategori bid'ah atau
bukan, jelas bukan merupakan urusan yang sederhana.
2. Para ulama dari kalangan Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama> a h)
berpendapat bahwa untuk menentukan sebuah perkara masuk ke
dalam kategori bid'ah atau tidak, diperlukan kecermatan analisis dan
pertimbangan yang matang. Hal ini dikarenakan perkara bid'ah dapat
menyebabkan pelakunya dianggap pantas masuk ke dalam neraka.
3. Para Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah sepakat dengan makna bid'ah
sebagaimana telah disebut di atas. Namun, untuk sampai kepada
keputusan menilai bid'ah atau tidaknya sebuah perbuatan, para ulama
itu tidak sependapat dengan kalangan Salafi Wahabi.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 49


4. Jika dibaca secara cermat hadis:

ٍ
َ ‫ُك ُّل بِ ْد َعة‬
ٌ‫ض َللَة‬
“Setiap bid'ah adalah kesesatan”.20

Ditemui fakta, bahwa hadis di atas tidak dapat dipisahkan konteksnya secara
menyeluruh. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Irbadh bin Sariyah itu sering
dipahami tidak secara utuh. Teks lengkap hadis itu adalah sebagai berikut:

،‫ب‬ ِ َ‫اهلل صلى اهلل عليه وسلم مو ِعظَةً وِجل‬ ِ ‫وعظَنَا رسو ُل‬
ُ ‫ت منـَْها الْ ُقلُ ْو‬ ْ َ َْ َّ َ ُْ َ َ َ
،‫ فَأ َْو ِصنَا‬،‫ َكأَنـََّها َم ْو ِعظَةُ ُم َوَّد ٍع‬،‫اهلل‬
ِ ‫ يا رسوَل‬: ‫ فـ ُق ْلنَا‬،‫و َذ ِرفَت ِمنـها الْعيـو ُن‬
ْ ُ َ َ َ ُْ ُ َْ ْ َ
‫اع ِة َوإِ ْن تَأ ََّمَر َعلَْي ُك ْم‬
َ َّ‫الس ْم ِع َوالط‬
ِ ‫ أُو ِصي ُكم بِتـ ْقوى‬:‫ال‬
َّ ‫ َو‬،‫اهلل َعَّز َو َج َّل‬ َ َ ْ ْ ْ َ َ‫ق‬
‫ فـََعلَْي ُك ْم بِ ُسن َِّت َو ُسن َِّة‬.ً‫اختِالَفاً ًكثِ ْيا‬
ْ ‫ش مْن ُك ْم فَ َسيـََرى‬
ِ ِ‫ فَِإنَّه من يع‬،‫عب ٌد‬
ْ َ َُْ َْ
‫ات‬ِ َ‫ وإِيَّا ُكم وُْم َدث‬،‫ضوا علَيـها بِالنـَّو ِاج ِذ‬ ُّ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ـ‬ ‫ي‬ ِ ‫الر ِاش ِدين الْمه‬
‫د‬ ِ ‫اللَ َف‬
‫اء‬
َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ِّْ ْ َ َ ْ َّ ُْ
ٍ
[‫ حديث حسن صحيح‬: ‫[رَواه داود والرتمذي وقال‬ َ  ٌ‫ضالَلَة‬ َ ‫ فَِإ َّن ُك َّل بِ ْد َعة‬،‫اْأل ُُم ْوِر‬
“Rasulullah memberi kami nasihat yang membuat hati kami semua bergetar.
Dan mengalir air mata. Lalu kami berkata, “ ini seperti nasihat perpisahan wahai
Rasul Allah, berilah kami wasiat!” Beliau bersabda, “ aku berwasiat kepada kalian
agar selalu takut kepada Allah, serta selalu mendengarkan dan taat kepada
pemimpin. Walaupun nanti yang memimpin kalian adalah seorang budak hitam
dari Habasyah. Karena siapapun di antara kalian yang panjang umur, pasti akan
menjumpai banyak perselisihan. Tetaplah kalian berpegang kepada sunnahku
dan sunnah para khalifah yang mendapat bimbingan sesudahku. Peganglah
erat-erat sunnah itu. Dan berhati-hatilah terhadap perkara yang baru. Karena
setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Imam Abu Dawud dan Turmudzi)

20 Hadis Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi

50 PEDOMAN DAKWAH
5. Para Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah seperti Imam al-Nawawi dan
Imam al-Taftazani berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bid'ah
adalah setiap perbuatan yang tidak dapat dikembalikan (dirujuk)
dalilnya. Imam al-Nawawi di dalam penjelasan Kitab al-Arba’in
berpendapat bahwa bid'ah adalah perbuatan menambah bagian dari
rukun Islam yang lima. Sedangkan al-Taftazani berpendapat bahwa
bid'ah adalah perbuatan yang tidak dapat dikembalikan kepada dalil
syariat. Dalil itu sendiri di dalam kajian ilmu fikih terdiri dari; dalil naqli
yaitu al-Quran dan Sunnah, serta dalil aqli, yang di dalam hal ini adalah
ijtihad.
6. Para Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah juga berpendapat bahwa
menetapkan perkara bid'ah jelas bukan perkara yang mudah. Mereka
mewanti-wanti umat Islam agar tidak dengan mudah menilai sebuah
perbuatan itu bid'ah. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Seif al-Ashri, seorang
ulama Aswaja asal Emirat Arab, banyak perkara yang semula dianggap
bid'ah, namun setelah ditelusuri dan dipahami dengan menggunakan
pendekatan ilmu, ternyata perbuatan itu termasuk ke dalam perbuatan
yang disunnahkan.
7. Mengadakan tahlil untuk memperingati hari ketujuh kematian
merupakan perbuatan yang dianggap mustahab (dianjurkan) karena
dahulu generasi Salaf as-S{ a > l ih, sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Thawus bin Kaysan al-Yamani, seorang ulama tabi’ut tabi’in,
melakukannya. Penuturan Imam Thawus itu dikutip oleh al-Hafiz al-
Suyuthi, di dalam al-Hawi li al-Fatawi:

“Sungguh mayat itu akan terus ditanya di alam kuburnya selama tujuh hari.
Dan dulu para sahabat sering bersedekah memberi makanan selama waktu
tersebut.”21

Keterangan Imam Thawus itu dikuatkan dengan kebiasaan yang


dilakukan masyarakat Makkah hingga saat ini, yaitu memberi makanan

21 Ustaz Ma’ruf Khozin memberikan ulasan menarik mengenai tradisi Tahlilan ini dalam
karyanya, Tahlilan Bid’ah Hasanah (Surabaya: Muara Progresif, 2016). Demikian juga KH.
Muhyiddin Abdusshomad dalam karyanya, Tahlil dalam Perspektif al-Quran dan Assunnah
(Surabaya: Khalista, 2018).

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 51


pada hari ketujuh dari kematian seseorang. Kebiasaan itu dinamakan
dengan “Lailat al-Asya li al-Walidayn” (malam memberi makan atas nama
kedua orang tua).

Dengan adanya penjelasan dari Imam Thawus di atas, gugurlah


anggapan yang mengatakan bahwa kegiatan tahlilan itu adalah
kebiasaan yang dulu dilakukan oleh orang-orang Hindu. Bahkan
penganut Hindu di Kawasan Tengger berpendapat bahwa tradisi tujuh
hari yang biasa dilakukan orang Jawa, merupakan tradisi para pemeluk
ajaran Islam.

8. Kegiatan berdzikir bersama bukanlah perbuatan bid'ah, karena


terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
bersabda:

“Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka tempati dan


nikmatilah!”
Para sahabat bertanya, “Apa itu taman-taman surga, wahai Rasul Allah?”
Rasulullah menjawab, “Yaitu majelis zikir…”

Masih banyak hadis, yang secara jelas menyebut zikir bersama itu
sebagai kegiatan yang dianjurkan. Jika ada yang memahami teks
hadis itu berbeda dari yang tertulis, yang menjadi pertanyaan kenapa
perbedaan itu mendorong umat Islam saling bermusuhan? Bukankah
perbedaan pemahaman itu menunjukkan adanya kekayaan berpikir
dari umat Muhammad ini?

9. Memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad bukan


merupakan perbuatan bid'ah yang dilarang. Argumentasi yang bisa
disampaikan adalah sebagai berikut:
a. Memperingati maulid bukanlah perkara yang dianggap
ibadah. Artinya mereka yang selalu memperingati maulid tidak
menganggap perbuatan ini sebagai kewajiban di dalam beragama.
b. Memperingati maulid merupakan ekspresi dari kecintaan kepada
Nabi Muhammad dan sebagai cara untuk membesarkan syiar
dakwahnya.

52 PEDOMAN DAKWAH
c. Syekh Ramadan al-Buthi berpendapat bahwa tradisi memperingati
maulid Nabi merupakan perbuatan yang dianggap sebagai mashalih
ul-mursalah, yaitu kebaikan yang tidak disebut di dalam al-Quran
dan juga sunnah.
d. Sedangkan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki menulis
buku berjudul Haulal Ihtifal bi Dzikr al-Maulid an-Nabawi asy-Syarif
menjelaskan berbagai alasan rasional, dalil dan adab memperingati
kelahiran Rasulullah. Bahkan, ada ungkapan terkenal dari beliau
yang berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi ini. “Tidak
layak bagi seseorang yang berakal bertanya, mengapa kalian
memperingati maulid Nabi, karena seolah-olah mereka bertanya,
mengapa kalian bergembira atas adanya Nabi?”
e. Adapun Syekh Wahbah Az-Zuhaili, menjelaskan apabila Maulid
NAbi diperingati dengan membaca al-Quran, mengingatkan
akhlak Nabi, mendorong umat agar mengamalkan ajaran Islam,
dan mendorong melakukan ibadah wajib serta akhlak agama, maka
bukan termasuk bid'ah.22
10. Demikian banyaknya pembahasan tentang bid'ah, maka untuk
memperkaya pengetahuan dan wawasan, para guru dianjurkan untuk
membaca karya Dr. Ali Jum’ah yang berjudul “Menjawab Dakwah Salafi-
Wahabi”. Di dalam buku itu, diuraikan secara detail permasalahan-
permasalahan yang dituduhkan bid'ah.
11. Yang terpenting dari uraian tentang bid'ah adalah bahwa tidak semua
yang tidak dilakukan Nabi dengan serta merta dianggap bid'ah. Karena
faktanya, banyak perbuatan yang dilakukan para sahabat setelah Nabi
Muhammad wafat dan perbuatan-perbuatan itu tidak pernah dilakukan
oleh Nabi. 23

22 Halaqah al-Bid’ah wa Majalatiha al-Mu’ashirah ma’a ad-Duktur Wahbah Az-Zuhaili, se-


bagaimana dikutip Tim Aswaja NU Center Jawa Timur, Khazanah Aswaja: Memahami,
Mengamalkan dan Mendakwahkan Ahlussunnah wal Jama’ah (Surabaya: Tim Aswaja NU
Center Jatim, 2016), hal. 259.
23 Ustaz Ma’ruf Khozin menulis buku berjudul Jawaban Amaliyah dan Ibadah yang Dituduh
Bid’ah, Sesat, Kafir dan Syirik (Surabaya: al-Miftah, 2010), sebagai tindaklanjut dan bala-
san ilmiah atas berbagai amaliah dan ibadah yang selama ini dituding sebagai bid’ah dan
sesat menyesatkan. Ustaz Ma’ruf dalam buku ini juga menjelaskan definisi bid’ah dan
penjabarannya menurut para ulama.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 53


12. Di dalam beragama berlaku kaidah, tidak semua yang tidak dilakukan
Nabi, menjadi terlarang untuk dilakukan. Dan tidak semua yang tidak
dilarang oleh Nabi, menjadi boleh untuk dilakukan. Maksud dari kaidah
ini adalah untuk menentukan boleh atau tidaknya suatu perbuatan
dilakukan, diperlukan kecermatan penggunaan metodologi dan
pertimbangan yang matang. Ketelitian ini mengikuti hadis Nabi yang
mengatakan bahwa “ketergesa-gesaan berasal dari setan”.
13. Melakukan perbuatan bid'ah tidak dapat disamakan dengan melakukan
perbuatan syirik. Keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Bid'ah
adalah mengadakan perbuatan baru yang dianggap sebagai bagian
dari ajaran agama. Adapun syirik adalah sikap mempersekutukan
Allah di dalam keyakinan dan perbuatan. Perbuatan bid'ah yang dapat
merusak ajaran agama, seperti melaksanakan salat zuhur sebanyak
5 rakaat atau menyambung puasa Ramadan dengan puasa pada
tanggal 1 Syawal, apabila dilakukan dihukumi dengan hukum haram.
Pelaku perbuatannya dianggap berdosa. Sedangkan perbuatan syirik,
meskipun dilakukan dengan tata cara ibadah yang berlaku di dalam
ajaran agama seperti salat menghadap ke kuburan atau meminta-
minta kepada berhala dengan menggunakan doa-doa Islam, dianggap
sebagai perbuatan yang tertolak, dan pelakunya bisa dianggap keluar
dari ajaran Islam. 24
14. Berikut adalah beberapa contoh perbuatan bid'ah yang biasa dilakukan
di masyarakat:
i. Mengusap wajah setelah membaca doa qunut pada salat subuh;
ii. Menambah jumlah rakaat salat fardu (wajib);
iii. Menambah gerakan-gerakan di dalam salat yang tidak diajarkan
oleh Nabi Muhammad;
iv. Memperpanjang waktu puasa Ramadaan hingga malam hari;

24 Ustaz Faris Khoirul Anam, seorang Dewan Pakar Aswaja PWNU Jawa Timur, menulis
buku bagus berjudul Ada Bid’ah di Masjid?: Menjawab Persoalan Fiqh Masjid Berdasarkan
Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah (Jakarta: Keira, 2019). Buku ini membantah sang-
kaan beberapa pihak yang selama ini menuduh amaliah yang dilakukan mayoritas umat
Islam di Indonesia sebagai bid’ah dhalalah. Ustaz Faris membantahnya dengan baik dan
ilmiah.

54 PEDOMAN DAKWAH
v. Melaksanakan puasa pada tanggal 1 syawal, 10 Dzulhijjah, dan
hari-hari tasyriq;
vi. Membaca ayat al-Quran pada waktu ruku’;
vii. Melaksanakan salat li daf’i al bala>’ (menolak bencana) dengan cara
duduk;
viii. Membentuk panitia zakat fitrah (pendapat Kiai Maimun Zubair);
ix. Menambah satu macam zakat yang tidak dikenal pada masa Nabi
Muhammad dan masa sahabat, yaitu zakat profesi.
x. Menganggap sunnah cara berpakaian yang tidak dicontohkan oleh
Nabi Muhammad; dan
xi. Mengganti model pakaian tertentu sebagai identitas telah
melaksanakan hijrah.

Masih banyak contoh dari praktek bid'ah yang dilakukan di masyarakat.


Dari banyaknya contoh yang diberikan, para ulama tidak satu kata di dalam
menyepakati apakah contoh-contoh itu masuk ke dalam kategori bid'ah atau
tidak. Itu terjadi dikarenakan perkara menetapkan bid'ah atau tidaknya
suatu perbuatan merupakan perkara ijtihad.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 55


Al-Walā’ Wa al-Barā’

Bagi kebanyakan muslim di Indonesia, istilah al-Wala>’ wal Bara>’ mungkin


masih terdengar asing. Istilah ini jarang dikemukakan di depan khalayak baik
di dalam forum pengajian umum maupun di mimbar khutbah jum’at. Istilah
al-Wala>’ Wa al-Bara>’ populer digunakan setelah banyak alumni kampus-
kampus Saudi Arabia meramaikan kajian-kajian keislaman di perkotaan.

Kata al-Wala>’ Wa al-Bara>’ mengandung makna kesetiaan (al-Wala>’) dan


berlepas diri (Wa al-Bara>’). Makna dua kata ini merupakan kelanjutan
dari pemahaman tentang tauhid dan syirik. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa pemahaman tauhid yang kokoh akan menghantarkan
seorang muslim kepada keyakinan bahwa hanya Allah yang dijadikan
sebagai pelindung dan tempat bersandar. Keyakinan itu diikuti dengan
tumbuhnya sikap berlepas diri dari semua perbuatan yang menentang Allah.

Di bagian pendahuluan kitabnya yang berjudul al-Wala>’ Wa al-Bara>’ fi al-Islam,


Syekh Sholih bin Fauzan al-Fauzan menulis bahwa di antara prinsip akidah
Islam adalah wajibnya setiap muslim untuk memberikan kesetiaan kepada
mereka yang benar akidahnya (ahl al-'aqi>dah) dan memusuhi orang-orang
yang menebar permusuhan terhadap ahl al-‘aqi>dah tersebut.25

Dalam penerapannya, materi al-Wala>’ Wa al-Bara>’ fi al-Islam ini dijadikan


sebagai perangkat untuk membedakan antara anggota kelompok dan bukan
anggota kelompok kajian. Materi ini yang diduga menjadi trigger lahirnya
tindakan intoleran dari satu kelompok pengajian kepada kelompok lain yang
berbeda. Implikasi dari pemahaman al-Wala>’ Wa al-Bara>’ ini menyatakan
sikap menentang dan menolak semua yang datang dari luar kelompok.
Pemahaman al-Wala>’ Wa al-Bara>’ menuntut setiap muslim yang meyakininya
untuk menjauhi semua unsur yang tidak islami. Syekh Sholih al-Fauzan
di dalam al-Wala>’ Wa al-Bara>’ fi al-Islam merinci secara jelas apa saja yang
harus ditinggalkan seorang muslim dalam rangka al-Wala>’ Wa al-Bara>’ ini. Ia
menyebut secara detail perbuatan-perbuatan orang-orang kafir yang harus

25 Sholih bin Fauzan al-Fauzan, al-Wala>’ wa al-Bara>’ fi al-Islam, Ghazza: Markaz al-Bahts
al-Ilmi, tt, hal. 2

56 PEDOMAN DAKWAH
ditinggalkan seorang muslim, yaitu:26

1. Meniru orang-orang kafir baik dalam berpakaian maupun berbicara;


2. Berdiam diri di negara yang didiami orang kafir, dan tidak ingin tinggal
di negara-negara muslim karena ingin lari dari semua kewajiban sebagai
seorang Muslim;
3. Bepergian ke negeri-negeri orang kafir dengan tujuan untuk berwisata
dan bersenang-senang;
4. Membantu dan menolong orang-orang kafir serta memberikan pujian
kepada mereka;
5. Meminta pertolongan kepada mereka, mempercayai mereka, meminta
perlindungan mereka, dan menceritakan rahasia umat Islam kepada
mereka;
6. Mengikuti perhitungan tahun mereka, sekalipun untuk menetapkan
hari raya Ied;
7. Berkumpul dan membantu orang-orang kafir di dalam perayaan hari
raya mereka;
8. Memberi nama anak dengan nama-nama orang kafir;
9. Mendoakan ampunan bagi orang-orang kafir dan menyebut almarhum
kepada jenazah mereka;

Selain menjelaskan detail dari perbuatan orang kafir yang harus ditinggalkan
itu, Syekh Sholih juga menjelaskan perbuatan apa saja yang wajib dilakukan
seorang muslim, dan dianggap sebagai bentuk al-Wala>’ (kesetiaan) terhadap
Islam dan kaum muslimin:27

1. Hijrah ke negeri muslim dan menjauhi negeri orang-orang kafir;


2. Menolong kaum muslimin dengan harta atau ucapan, terhadap apa saja
yang dibutuhkan kaum muslimin;
3. Menasihati kaum muslimin, dan tidak berlaku curang kepada mereka;
4. Menghormati kaum muslimin dengan tidak merendahkan derajat
mereka;

26 Ibid., hal. 4-8


27 Ibid., hal. 9-12

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 57


5. Selalu membersamai mereka dalam keadaan senang maupun susah;
6. Selalu mengunjungi mereka dan menjaga perasaan cinta kepada
mereka;
7. Menghormati hak-hak mereka;
8. Bersikap ramah kepada kaum muslim yang lemah;
9. Mendoakan mereka dan memintakan ampunan bagi mereka.

Yang menjadi pertanyaan mendasar dari penjelasan detail tentang sikap


terhadap muslim tersebut adalah siapa yang dimaksud dengan muslim
itu sendiri? Merujuk kepada penjelasan tentang tauhid dan bid'ah,
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muslim adalah orang-orang
yang pemahamannya sama dengan pemahaman kalangan radikal. Makna
kebalikannya adalah siapa yang pemahamannya tidak sama, tidak disebut
sebagai muslim.

Kontra Narasi
Penjelasan mengenai al-Wala>’ Wa al-Bara>’ sebagaimana diuraikan oleh
Syekh Sholih al-Fauzan, dan dijadikan sebagai pakem di dalam pemahaman
kelompok radikal saat ini, secara substansi berlawanan dengan semangat
yang dikandung di dalam al-Quran. Beberapa ayat al-Quran berikut ini
malah menolak simpulan dari Syekh al-Fauzan tentang implementasi sikap
al-Wala>’ Wa al-Bara>’ tersebut:

1. QS al-Mumtahanah ayat 8:

‫َل يـَنـْ ٰه ُك ُم اهللُ َع ِن الَّ ِذيْ َن َلْ يـَُقاتِلُوُك ْم ِف الدِّيْ ِن َوَلْ ُيْ ِر ُج ْوُك ْم ِم ْن‬
‫ي‬ ِِ
َ ْ ‫ب الْ ُم ْقسط‬ ُّ ‫ِديَا ِرُك ْم اَ ْن تـَبـَُّرْوُه ْم َوتـُْق ِسطُْوا اِلَْي ِه ْم اِ َّن اهللَ ُِي‬
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil, terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir
kalian dari kampung halaman kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.

58 PEDOMAN DAKWAH
Jika dikatakan bahwa seorang muslim tidak boleh “membantu dan menolong
orang-orang kafir serta memberikan pujian kepada mereka”, bagaimana
mungkin di dalam ayat di atas, Allah tidak melarang untuk berbuat baik
kepada orang-orang kafir?

2. QS al-Ru>m ayat 42:

‫ج‬
‫ين ِم ْن قـَْب ُل‬ ِ َّ ِ ِ ‫قُ ْل ِسريُوا ِف ْال َْر‬
َ ‫ف َكا َن َعاقبَةُ الذ‬
َ ‫ض فَانْظُُروا َكْي‬
ِ
َ ‫َكا َن أَ ْكثـَُرُه ْم ُم ْش ِرك‬
‫ني‬

Katakanlah (wahai Nabi), “bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana


kesudahan orang-orang terdahulu. Kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang mempersekutukan Allah.

Jika Syekh Sholih menjelaskan bahwa di antara tanda sikap bara’


(melepaskan diri) dari orang kafir adalah dengan tidak mengunjungi negara
mereka, kenapa pula al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bepergian
ke pelosok bumi, yang termasuk di dalamnya negeri orang-orang kafir, dalam
rangka mengambil pelajaran?

3. QS al-Jumu’ah ayat 10

‫ض ِل اللَّ ِه َواذْ ُكُروا‬


ْ َ‫ض َوابـْتـَغُوا ِم ْن ف‬
ِ ‫الص َلةُ فَانـْتَ ِش ُروا ِف ْال َْر‬
َّ ‫ت‬ ِ ‫ضي‬ ِ ِ
َ ُ‫فَإ َذا ق‬
‫اللَّهَ َكثِ ًريا لَ َعلَّ ُك ْم تـُْفلِ ُحو َن‬

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi,


dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, agar kalian
beruntung.” (QS Al-Jumu’ah [62]:10).

Jika dikatakan bahwa termasuk bersikap bara>’ atas orang kafir adalah
meninggalkan negeri mereka untuk tinggal di negeri-negeri muslim, kenapa
pula Allah perintahkan kaum Muslim untuk bertebaran di muka bumi?

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 59


Selain berlawanan dengan semangat yang dikandung di dalam al-Quran,
pernyataan Syekh Sholih al-Fauzan tentang kewajiban untuk bersikap bara>’
terhadap orang-orang kafir dalam hal mengikuti sistem penanggalan, juga
bertentangan dengan fakta sejarah bahwa umat Islam pada masa sahabat
juga mengikuti sistem penanggalan Romawi yang notabene kafir. Syekh
Nazhim bin Muhammad Sulthon al-Misbah berpendapat bahwa tidak ada
larangan bagi umat Islam untuk menggunakan penghitungan masehi dalam
urusan duniawi meskipun menggunakan penghitungan qomariyah atau
Hijriah dianggap lebih utama.28

Masalah lain dari indoktrinasi konsep al-Wala>’ Wa al-Bara>’ adalah munculnya


pertanyaan tentang:

a. Apakah bekerjasama dengan pihak asing/orang barat dianggap tidak


setia pada Islam?
b. Apakah benar membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta
berpaling (bara>’) dari mereka?

Pertanyaan di atas harus dijawab, untuk memperjelas batasan setia atau


tidak setia kepada Islam. Berikut ini disajikan dalil-dalil al-Quran yang
menjelaskan bolehnya bekerja sama dengan pihak asing/non-muslim:

1. QS al-Maidah ayat 5:

‫اب ِحلٌّ لَ ُك ْم‬ ِ ِ َّ ِ


َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬ َ ‫ات َوطَ َع ُام الذ‬ ُ َ‫الْيـَْوَم أُح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
‫صلى‬

‫ات‬ ‫ن‬
َ ‫ص‬ ‫ح‬ ‫م‬ْ‫ل‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ات‬ِ َ‫وطَعام ُكم ِحلٌّ َلم صلى والْمحصنَات ِمن الْمؤِمن‬
ُ َ ُْ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ َ ُْ ْ َُ َ
ِِ ِ ِ ‫ِمن الَّ ِذين أُوتُوا الْ ِكت‬
‫ني‬
َ ‫ُج َورُه َّن ُْمصن‬ ُ ‫وه َّن أ‬ ُ ‫اب م ْن قـَْبل ُك ْم إِ َذا آتـَْيتُ ُم‬
َ َ َ َ
‫ان فـََق ْد‬ ِْ ِ‫َخ َد ٍان قلى َوَم ْن يَ ْك ُف ْر ب‬
ِ َ‫المي‬ ِِ ِِ
ْ ‫ني َوَل ُمتَّخذي أ‬ َ ‫َغيـَْر ُم َسافح‬
ِ ْ ‫حبِ َط عملُه وهو ِف ْال ِخرِة ِمن‬
َ ‫الَاس ِر‬
‫ين‬ َ َ ََُ ُ َ َ َ
28 http://www.almesbah.org/fatwa/show/22/

60 PEDOMAN DAKWAH
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kalian,
bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang
siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”

Meskipun ayat ini berbicara tentang halalnya sembelihan dan wanita ahl
al-kitab, jika dicermati lebih dalam, ayat ini juga berbicara tentang bolehnya
bekerja sama dengan ahl al-kitab. Bahkan, ayat ini membicarakan ranah kerja
sama yang lebih intim yaitu pernikahan. Ayat ini dapat ditarik lebih luas
lagi bahwa bekerja sama dengan ahl al-kitab dalam persoalan keduniaan,
tidaklah dilarang oleh syariat. Yang menjadi pertanyaan, jika kerjasama
dengan ahl al-kitab di bidang keduniaan, tidak dilarang oleh syariat, apakah
kerja sama itu dapat dianggap sebagai bentuk ketidaksetiaan terhadap
Islam? Tentu saja, ukuran kesetiaan tidak bisa dilihat dari situ.

2. QS al-Mumtahanah ayat 8:

‫ين َلْ يـَُقاتِلُوُك ْم ِف الدِّي ِن َوَلْ ُيْ ِر ُجوُك ْم ِم ْن‬ ِ َّ


َ ‫َل يـَنـَْها ُك ُم اللَّهُ َع ِن الذ‬
ِِ ُّ ‫وه ْم َوتـُْق ِسطُوا إِلَْي ِه ْم إِ َّن اللَّهَ ُِي‬ ِ
ُ ‫ديَا ِرُك ْم أَ ْن تـَبـَُّر‬
‫ج‬
‫ني‬
َ ‫ب الْ ُم ْقسط‬
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil, terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir
kalian dari kampung halaman kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.”

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 61


Sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya tentang hal-hal yang
membatalkan dua kalimat syahadat, makna yang terkandung di dalam surah
al-Mumtahanah ini bersifat umum yaitu seorang muslim diperbolehkan
berinteraksi dan bergaul dengan non-muslim.

Dalam realitasnya, konsep al-Wala>’ Wa al-Bara>’ ini juga dipakai oleh kelompok
teroris seperti al-Qaedah dan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) dalam
tahap seleksi awal keanggotaan. Selain konsep tauhid yang seringkali
malah dipakai mengkafirkan sesama muslim, konsep al-Wala>’ Wa al-Bara>’
ini juga dipakai sebagai parameter penilaian karakteristik seorang muslim
dan menjadi “pintu masuk” faham takfir (pengkafiran). Dalam beberapa
website yang dikelola oleh ISIS dan simpatisannya, konsep loyalitas dan
pengingkaran ini menjadi bagian yang terpisahkan dalam mendoktrin
anggota kelompoknya. Kelompok kombatan yang menjadi sempalan dari
gerakan terorisme internasional, seperti al-Jamaah al-Islamiyah, al-Qaedah,
ISIS, dan sebagainya, menaruh aspek al-Wala>’ Wa al-Bara>’ dalam rekrutmen
anggotanya. Hal ini wajar, karena mereka hidup dalam iklim perang yang
menjunjung tinggi loyalitas dan hierarki komando.

Namun di sisi lain, garis besar pemahaman saudara-saudara kita ini


adalah sikap ghuluw (ekstrem) dalam beragama, jumud (statis) dalam
sikap beragama, serta harfiyah dalam pemaknaan nash. Lebih ekstrem
lagi, sekte ini terlibat dalam penyebaran virus takfir (pengkafiran), tasyrik
(pemusyrikan), tabdi’ (pembidahan), dan tasykik (upaya menanamkan
keraguan) terhadap para Ulama Ahl al-Sunnah Wa al-Jama>ah. Jadi, kalau
banyak para dua>t (dai) dan umat berusaha mengislamkan mereka yang
belum bersyahadat, kelompok ini malah memusyrikkan, dan bahkan dengan
enteng mengkafirkan umat yang sudah bersyahadat.

Ada beberapa hal yang menarik bagaimana kelompok ini “mengembangkan


sayapnya” melalui proses “marketing” yang bombastis. Pertama, penggunaan
istilah-istilah yang “wah” untuk memompa ghirah kaum muslimin. Istilah
Jihad, Ijtihad, Syahid, Penegakan Syariat Islam, dll. Istilah ini pas jika
dipergunakan sesuai dengan konteks masing-masing, dan dipergunakan
secara proporsional. Jika tidak, penggunaan istilah-istilah mulia ini malah

62 PEDOMAN DAKWAH
mereduksi dan menjadi antiklimaks dengan tujuan sebenarnya. Potongan
Surah Al-Maidah ayat 44, “waman lam yahkum bima> anzala Allaahu faula>ika
humu al-kaafiruun”, Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS
al-Maidah : 44), seringkali dipakai untuk menjustifikasi kebenaran versi
mereka untuk mengkafirkan orang lain.

Padahal ayat inilah yang dulunya menjadi slogan Khawarij, yang setelah
dimodifikasi menjadi berbunyi La> Hukma Illa Lillah. Menurut al-Syahrastani
dalam al-Milal wa al-Nihal, yang pertama kali mengucapakan semboyan itu
adalah seorang laki-laki dari Bani Sa’ad bin Manat bin Tamim, dari kalangan
Bani Tamim yang bernama al-Hajjaj bin Ubaidullah yang dikenal dengan
julukan al-Barq.29 Abdullah bin Umar ikut mensifati kelompok Khawarij
dengan meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang berbunyi:
“Mereka yang menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang
kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”

Lebih lanjut, melihat polah tingkah saya jadi ingat dengan komentar
Sayyidina Ali ra.., “Kalimat benar tapi disalahgunakan (kalimatu haqqin
urida biha bathilun), saat menantu Baginda Rasulullah ini melihat kelompok
Khawarij membuat semboyan La> Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain
dari Allah). Sebuah slogan yang sangat menarik dan memikat namun dipakai
untuk menghalalkan darah mereka yang tidak sepaham dengan paham
kelompok radikal tertentu di Indonesia.

29 Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), hal. 117.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 63


Golongan yang Selamat

Istilah golongan yang selamat atau al-Firqah an-Na>jiyah juga sering digunakan
oleh kelompok radikal untuk menarik minat masyarakat, terutama kalangan
muda, agar bergabung atau setidaknya mendukung perjuangan mereka.
Sebagaimana halnya dengan istilah al-wala> wa al bara>’, istilah al-Firqah an-
Na>jiyah ini juga digunakan sebagai pembeda di antara in groups (kelompok
sendiri) dan out groups (kelompok lain).

Pertanyaan awal tentang penggunaan istilah ini adalah kapan konsepsi


golongan yang selamat ini muncul? Penamaan golongan yang selamat atau
al-Firqah an-Na>jiyah mulai populer pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu ketika
umat Islam mulai diramaikan dengan perdebatan tentang topik-topik
teologis (ketuhanan). Pada masa Nabi Muhammad, penggunaan istilah
al-Firqah an-Na>jiyah disematkan kepada setiap orang yang mengikuti Nabi
Muhammad. Dengan kata lain, istilah al-Firqah an-Na>jiyah adalah nama lain
dari jamaah umat Nabi Muhammad.

Seiring dengan munculnya kelompok-kelompok yang berbasis pemikiran


teologi dan juga politik, istilah al-Firqah an-Na>jiyah itu kemudian menjadi
bersifat partikular. Setiap kelompok mendefinisikan dirinya sebagai al-
Firqah an-Na>jiyah sambil menegaskan bahwa di luar kelompok itu adalah
golongan yang tidak selamat. Saling klaim kebenaran (truth claim) ini yang
hingga sekarang masih terbawa. Sampai pada akhirnya, penggunaan istilah
al-Firqah an-Na>jiyah dijadikan sebagai justifikasi untuk menyerang siapa saja
yang berbeda atau mengusung perbedaan di tengah umat.

Di kalangan kelompok radikal, istilah al-Firqah an-Na>jiyah diberi identifikasi


sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Jamil Zainu, yaitu:30

1. Mengikuti jalan Rasulullah pada masa hidupnya dan jalan para sahabat
sesudahnya;
2. Mengembalikan semua permasalahan kepada Allah dan rasul-Nya,
apabila terjadi perselisihan pendapat;

30 Muhammad Jamil Zainu, Minha>j al-Firqah al-Najiyya>t wa al-Tha>ifa>t al-Manshurat, tp: tt, hal
14-17

64 PEDOMAN DAKWAH
3. Tidak mendahulukan pendapatnya atas kitab Allah dan Sunnah rasul-
Nya;
4. Golongan yang memelihara kemurnian tauhid;
5. Yang memelihara dan menyemarakkan sunnah-sunnah Rasulullah
dalam segala aspek peribadatan dan dalam menempuh jalan hidup dan
kehidupan;
6. Yang tidak fanatik kecuali kepada kitab Allah dan hadis-hadis Rasulullâh
saw;
7. Mereka adalah para ahli hadis;
8. Mereka adalah golongan yang memuliakan para mujtahidin dan
menghormati mereka;
9. yang selalu menyeru kepada kebaikan dan melarang segala bentuk
kemungkaran;
10. yang mengajak seluruh kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada
sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dengan sebenar-benarnya
sehingga mendapatkan pertolongan Allah ;
11. yang mengingkari peraturan perundang-undangan yang dibuat
manusia; dan
12. yang mengajak seluruh kaum muslimin untuk berjihad di jalan Allah
sesuai dengan kemampuannya.

Poin nomor sebelas dari identifikasi yang diberikan oleh Syekh Jamil
Zainu di atas tampaknya yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk
mengembangkan paham anti-negara, sebagaimana yang saat ini tengah
dikembangkan oleh kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah).

Kita tahu, ISIS dan gerakan sempalan lain seperti As-Syabab (Somalia), al-
Qaedah dan gerakan yang sejenis, senantiasa mengkampanyekan apabila
negara yang tidak dikelola berdasarkan sistem yang mereka percayai
adalah negara taghut yang wajib dirobohkan dan diganti dengan konsep
mereka. Gerakan anti negara ini berkembang bukan hanya di negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, melainkan juga
berkecambah di Eropa. Hanya saja, dalam penerapannya gerakan ini sering
kali mengalami kegagalan karena terlampau brutal dan tidak memiliki
platform pemerintahan yang jelas.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 65


Kontra Narasi
Ide kelompok yang selamat, agaknya tidak saja berlaku bagi umat Islam. Di
dalam ajaran Kristen, ide kelompok yang selamat dapat disimpulkan dari
ajaran Injil, sebagaimana tercantum di bawah ini:

“Keselamatan tidak akan datang … kecuali melalui pertobatan dan iman


kepada Tuhan Yesus Kristus.” (Mosia [3]:12).31 Berbeda dengan Islam dan
Kristen, di dalam ajaran Buddha, ide “kelompok yang selamat” ini tidak
dikenal. Sebagaimana ditulis oleh Biksu Abin Nagasena, di dalam ajaran
Buddha, keselamatan tidak ditentukan oleh keyakinan atau keimanan
tertentu, bahkan terhadap ajaran Buddha sekalipun. Ia menulis:

“Berbeda dengan ajaran lain yang meyakini bahwa hanya dengan


menyatakan keyakinan dan iman terhadap tokoh suci ajaran tertentu,
maka dengan sendirinya namanya akan tercatat sebagai calon penghuni
surga, sebaliknya Buddha justru mengajarkan bahwa keselamatan tidaklah
bisa didapatkan hanya dengan memakai label beragama Buddha. Secara
gamblang dapat dikatakan bahwa Buddhisme tidak mengenal konsep
penyelamatan hanya karena iman, pun Buddhisme tidak berpandangan
bahwa hanya mereka yang yakin pada Buddha akan mendapatkan surga
abadi. Lebih jauh lagi, ajaran Buddha berpendapat bahwa siapa saja yang
mampu mengendalikan dirinya dalam pikiran, ucapan ataupun tindakan
fisik, terlepas dari apapun agamanya, akan mendapatkan kebahagiaan kelak
di kemudian hari. Apa yang ditanam, itulah yang dipetik, tanpa melihat
apapun label agama yang diyakininya. Ini adalah hukum yang berlaku secara
universal.”32

Dari uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dipahami bahwa ide
“kelompok yang selamat” dari beberapa agama, seperti Islam, Kristen, dan
Buddha, sebenarnya menegaskan esensi ajaran yang akan disampaikan, yaitu
keselamatan. Perbedaannya terletak pada cara bagaimana menarasikannya.

31 https://www.lds.org/manual/gospel-principles/chapter-18-faith-in-jesus-christ?lang=ind
32 https://dhammacitta.org/artikel/abin-nagasena/semangat-misionaris-dalam-buddhisme.
html

66 PEDOMAN DAKWAH
Ide “kelompok yang selamat” yang dibawa oleh Nabi Muhammad secara
hakiki tidak berbeda dengan ide yang pernah disampaikan oleh nabi-nabi
sebelumnya, termasuk Musa, yang diikuti oleh umat Yahudi, dan Isa, yang
dianggap suci oleh umat Kristen.

Pertalian ide “kelompok yang selamat” di antara Nabi Muhammad dengan


nabi-nabi sebelumnya itu, dinyatakan secara jelas di dalam al-Quran Surah
as-Syu>ra ayat 13:

‫صيـْنَا بِِه‬ ِ ِِ َّ ‫َشرع لَ ُكم ِمن الدِّي ِن ما و‬


َ ‫وحا َوالَّذي أ َْو َحيـْنَا إِلَْي‬
َّ ‫ك َوَما َو‬ ً ُ‫ص ٰى به ن‬ َ َ َ ْ ََ
‫ِّين َوَل تـَتـََفَّرقُوا فِ ِيه َكبـَُر َعلَى‬ ِ‫إِبـر ِاهيم وموسى و ِعيسى صلى أَ ْن أَق‬
‫ج‬
َ ‫الد‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫يم‬
ُ ٰ َ َ ٰ َ ُ َ َ َْ
ِ ِِ ِ ِِ ‫ِ ِج‬ ِ
ُ ‫وه ْم إلَْيه اللَّهُ َْيتَِب إلَْيه َم ْن يَ َشاءُ َويـَْهدي إلَْيه َم ْن يُن‬
‫يب‬ َ ‫الْ ُم ْش ِرك‬
ُ ُ‫ني َما تَ ْدع‬

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama
itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya).”

Pertalian ide “kelompok yang selamat” itu kembali ditegaskan di dalam


Surah Ali Imran ayat 64:

ٍ ٍ ِ ِ َ‫قُل يا أ َْهل الْ ِكت‬


َ‫اب تـََعالَ ْوا إِ َ ٰل َكل َمة َس َواء بـَيـْنـَنَا َوبـَيـْنَ ُك ْم أََّل نـَْعبُ َد إَِّل اللَّه‬ َ َْ
‫ِج‬
‫ون اللَّه فَِإ ْن تـََولَّْوا‬ ِ ‫ضا أَربابا ِمن د‬ ِ ِ
ُ ‫َوَل نُ ْش ِرَك بِه َشْيئًا َوَل يـَتَّخ َذ بـَْع‬
ُ ْ ً َ ْ ً ‫ضنَا بـَْع‬
‫فـَُقولُوا ا ْش َه ُدوا بِأَنَّا ُم ْسلِ ُمو َن‬

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 67


Katakanlah: “Hai Ahl al-Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

Sampai di sini kita menyimpulkan bahwa ide “kelompok yang selamat”


menurut ajaran Islam adalah kelompok yang mengamalkan prinsip-prinsip
ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Prinsip-
prinsip itu tidak saja berkisar pada persoalan tata cara peribadatan, tetapi
juga mencakup etika dan moral di dalam berinteraksi di antara sesama
manusia. Dalam kaitan itu, di dalam ajaran Islam, sangat ditekankan sikap
untuk menghormati perbedaan, termasuk di dalam perbedaan keyakinan.
Pesan untuk menghormati perbedaan itu, disebutkan secara jelas di dalam
al-Quran surah al-An’a>m ayat 108:

ِ ‫قلى‬
َ ‫ون اللَّ ِه فـَيَ ُسبُّوا اللَّهَ َع ْد ًوا بِغَ ِْي ِع ْل ٍم َك َٰذل‬
‫ك‬ ِ ‫وَل تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن د‬
ُْ ُ ََ ُ َ
‫َزيـَّنَّا لِ ُك ِّل أ َُّم ٍة َع َملَ ُه ْم ُثَّ إِ َ ٰل َرِّبِ ْم َم ْرِجعُ ُه ْم فـَيـُنَبِّئـُُه ْم ِبَا َكانُوا يـَْع َملُو َن‬

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Penghormatan terhadap perbedaan keyakinan itu, diwujudkan dengan


ditegaskannya larangan memaksakan ajaran Islam kepada penganut agama
lain, sebagaimana disebut di dalam Surah al-Baqarah ayat 256 berikut:

68 PEDOMAN DAKWAH
ِ ُ‫الر ْش ُد ِمن الْغَي ج فَمن ي ْك ُفر بِالطَّاغ‬
‫وت‬ ُّ ‫ي‬ َّ ‫ـ‬‫ب‬ ‫ـ‬‫ت‬ ‫د‬
ْ ‫ق‬
َ
‫صلى‬
‫َل إِ ْكَر َاه ِف الدِّي ِن‬
ْ َ ْ َ ِّ َ َ ََ
‫يم‬ِ ‫ويـؤِمن بِاللَّ ِه فـ َق ِد استمسك بِالْعروِة الْوثـ َقى َل انِْفصام َلا قلى واللَّه َِس‬
ٌ ‫يع َعل‬
ٌ ُ َ َ ََ ٰ ْ ُ َ ُْ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُْ َ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat-ayat al-Quran yang disampaikan di atas, kiranya sudah cukup


menjelaskan tentang bagaimana prinsip-prinsip ide kelompok yang selamat
itu jika diterapkan di dalam interaksi dengan penganut keyakinan lain. Lalu
bagaimana jika prinsip-prinsip itu diterapkan terhadap sesama umat Nabi
Muhammad?

Dalam kaitannya dengan interaksi terhadap sesama umat Islam, ide


“kelompok/golongan yang selamat” sama sekali tidak mengarahkan umat
Islam untuk bersikap merasa “paling benar” atau “paling mendapatkan
petunjuk”. al-Quran, bahkan menegaskan bahwa tidak ada kemuliaan
yang dimiliki oleh manusia, kecuali dengan ketakwaan kepada Allah. Dan
ketakwaan itu, terbangun dari sikap saling mengenal dan menguatkan
hubungan di antara sesama manusia. Demikian yang dapat dipahami dari
pesan yang terkandung di dalam surah al-Hujurat ayat 13 berikut ini:

‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنـْثَ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقـَبَائِ َل لِتـََع َارفُوا‬
‫ج‬
ُ ‫يَا أَيـَُّها الن‬
ِ ِ‫إِ َّن أَ ْكرَم ُكم ِعْن َد اللَّ ِه أَتـَْقا ُكم ج إِ َّن اللَّهَ َعل‬
ٌ‫يم َخبري‬ ٌ ْ ْ َ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 69


di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Cukup banyak ayat al-Quran yang mengarahkan umat Nabi Muhammad


untuk tidak bersikap merasa paling benar atau paling suci di antara sesama
manusia. Di antara ayat-ayat itu adalah:

‫قُ ْل ُكلٌّ يـَْع َم ُل َعلَ ٰى َشاكِلَتِ ِه فـََربُّ ُك ْم أ َْعلَ ُم ِبَ ْن ُه َو أ َْه َد ٰى َسبِ ًيل‬

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”.


Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS al-Isra'>
[17]:84)

‫ فَ َل تـَُزُّكوا أَنـُْف َس ُك ْم ُه َو أ َْعلَ ُم ِبَ ِن اتـََّق ٰى‬...


‫صلى‬

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertakwa.” (QS an-Najm [53]: 32) ...

Berpijak kepada pesan-pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat di


atas, ungkapan “semoga anda mendapat hidayah” tidaklah tepat untuk
disampaikan kepada orang yang berbeda pendapat, khususnya di dalam
masalah agama. Para ulama masa lalu lebih suka untuk mengucapkan
kalimat “walla>hu a’lamu bi as} s}awa>b” (Allah yang maha tahu atas kebenaran)
sebagai ungkapan ketika menghadapi perbedaan pendapat. Ungkapan itu
menunjukkan ketidakinginan mereka melakukan klaim kebenaran atas
pendapat yang mereka sampaikan. Sekaligus juga ungkapan itu sebagai
bentuk dari sikap marhamah (kasih sayang) terhadap sesama muslim.

Bagaimana sikap yang harus ditunjukkan kepada orang-orang yang selalu


menganggap dirinya adalah golongan yang selamat? Nabi Muhammad Saw.
memberi kiat bagaimana bersikap menghadapi orang-orang seperti itu. Di

70 PEDOMAN DAKWAH
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar dan Muadz bin Jabal, Nabi
Muhammad bersabda:

‫َّاس ِبُلُ ٍق‬


‫ن‬ ‫ال‬ ِ ِ‫ و َخال‬، ‫الَسنَةَ تَْ ُح َها‬
‫ق‬ ْ ‫ة‬
َ ‫ئ‬
َ ‫ي‬
ِّ ‫الس‬
َّ ‫ع‬
ِ ِ‫ وأَتْب‬، ‫ت‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ث‬
ُ ‫ي‬
ْ ‫ح‬
َ ‫اهلل‬
َ ِ ‫اِت‬
‫َّق‬
َ َ َ َ َ
‫َح َس ٍن‬

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah keburukan
dengan kebaikan, pasti kebaikan itu akan menghapusnya, dan berakhlak-lah
kepada sesama manusia, dengan akhlak yang baik.”33

Dalam al-Farqu Baina al-Firaq wa Bayan al-Firqah an-Najiya>ti Min Hum,


kelompok yang selamat inilah yang disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa al-
Jama>ah. Firqah ini yang disebut Nabi Saw dalam hadis yang artinya; “Bani
Israil akan pecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan pecah menjadi
72 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu al-Jama>ah”. (Ibnu
Majah). Lantas muncul sebuah pertanyaan, siapakah jama’ah itu? Dalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Thabrani, “Ma ana alaihi al-
yauma wa as}habie, (seseorang yang bersamaku dan sahabatku)”.Penulis kitab
ini, Imam Abu Mansur Abdi al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Baghdadi,
menjelaskan beberapa kriteria al-Firqah an-Najiyah ini, di antaranya:

Pertama, golongan yang menguasai tauhid dan kenabian, dengan kata lain al-
Mutakkalimin. Terbebas dari ideologi tasybih (menyamakan Allah dengan
makhluknya) dan ta'thiel (menafikan sifat Allah).

Kedua, golongan ahl fiqih dari ahl ra’yi (logika) dan ahli hadis. Ahl ra’yi (logika)
berpusat di Iraq yang dinahkodai oleh Imam Abu Hanifah sedangkan ahli
hadis berpusat di Madinah yang dinahkodai Imam Malik.

Mereka menetapkan ru’yah al-allah (melihat Allah), adanya s}irat (jembatan


lebih kecil dari pada rambut dan lebih tajam dari pada pisau), syafa’at, dan
bahwasannya Allah Swt. mengampuni semua dosa selain syirik (sekutu)
dan seterusnya.

33 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi di dalam sunan-nya, dan ia mengomentari hadis
ini hasan shahih.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 71


Ketiga, golongan yang mengusai hadis nabi. Dapat membedakan yang
s}ahih dan dhoif, dan mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil (inkredibel dan
kredibelitas perawi hadis). Keempat, golongan yang menguasai tentang
ilmu adab, nahwu, tasrif. Lebih tepatnya ahl lughah (ahli bahasa), seperti al-
Kholiel, Sibawaih, Akhfash. Semua ahli nahwu dari golongan Kufah (Ku>fiyyin > )
ataupun Bashrah (Bas{riyyi>n).

Kelima, golongan yang menguasai ilmu wujuhi qira’ati al-Quran (ilmu Qiro’at),


Tafsir al-Quran dan takwilnya yang sejalan atau sesuai dengan ahl al-sunnah
wa al-jama>ah.

Keenam, golongan Ahli zuhud dan sufi, yang mereka ridha terhadap
ketentuan Allah dan menyadari bahwa mata, telinga dan hati semua akan
dipertanggungjawabkan, tidak melakukan kebaikan karena riya (ingin dilihat
atau disanjung orang lain) dan seterusnya.

Ketujuh, golongan mujahidin yang melindungi umat Islam dan berjuang


demi tegaknya agama Islam.

Sedangkan kelompok yang kedelapan, yaitu daerah-daerah di mana syiar ahl


al-sunnah wa al-jama>ah lebih tampak dari pada ahl dhalal wa ahwaa’ (golongan
menyimpang dan mendahulukan nafsunya).

Delapan golongan inilah yang disebut oleh Imam Baghdadi sebagai “al-Firqah


an-Najiyah” yaitu golongan yang selamat dari api neraka. 

72 PEDOMAN DAKWAH
Ghuluw Terhadap Nabi Muhammad

Topik “ghuluw” terutama kepada Nabi Muhammad Saw sering disampaikan


kelompok radikal di dalam dakwah-dakwahnya kepada masyarakat. Tujuan
dari penyampaian topik ini adalah agar umat Islam bersikap biasa saja
kepada Nabi Muhammad dan menganggapnya sebagai manusia biasa, yang
diberikan wahyu dan ditugaskan untuk menyampaikan risalah.

Lalu, apa itu ghuluw? Syekh Sholih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan
makna dari ghuluw adalah melebihi batas. Menurut Syekh Sholih, dasar
dari larangan bersikap ghuluw adalah al-Quran surah an-Nisa ayat 171:34

‫اب ال تـَ ْغلُوا ِف ِدينِ ُك ْم‬


ِ َ‫يا أ َْهل الْ ِكت‬
َ َ
“Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.”

Dalam pandangan Syekh Sholih al-Fauzan, sikap ghuluw pada umat Islam
itu terlihat ketika mereka memuji-muji Nabi Muhammad Saw. Syekh Sholih
mengutip contoh pujian seseorang kepada Nabi yang tidak membuat Nabi
Muhammad tidak berkenan. Di dalam contoh itu disebut seseorang yang
memuji Nabi Muhammad dengan pujian:

‫اهلل يَا َخيـَْرنَا َوابْ َن َخ ِْينَا َو َسيِّ َدنَا َوابْ َن َسيِّ ِدنَا‬
ِ ‫يا رسوَل‬
ُْ َ َ
“Wahai Rasul Allah, wahai orang terbaik kami dan putera dari orang terbaik
kami, pemimpin kami dan putera dari pemimpin kami”.35

34 Sholih bin Fauzan al-Fauzan, Kitabu al-Tauhid, tp:tt, hal. 76


35 Menurut Syaikh Sholih ungkapan ini ditemukan di dalam riwayat Ahmad dan al-Nasa’iy.
Lihat Sholih bin Fauzan al-Fauzan, Kitabu al-Tauhid...hal. 77

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 73


Disebutkan di dalam riwayat tersebut, Nabi Muhammad Saw. mengungkap-
kan ketidaksenangannya dengan pujian-pujian tersebut:

ِ ‫أَيـُّها النَّاس قـولُوا بَِقولِ ُكم وَل يستـه ِويـنَّ ُكم الشَّيطَا ُن أَنَا ُم َّم ٌد عب ُد‬
‫اهلل‬ َْ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ْ ْ ْ ُْ ُ َ
ِ َِّ ِ ِ ِ ُّ ‫َوَر ُس ْولُهُ َما أ ُِح‬
َ َ‫ب أَ ْن تـَْرفـَعُ ْون فـَْو َق َمْنزلَ ْت الت أَنـَْزل‬
‫ن اهللُ َعَّز َو َج َّل‬

“Wahai manusia, ucapkanlah seperti yang biasa kalian ucapkan (di dalam
memperlakukan aku), jangan sampai setan memperdayai kalian. Aku adalah
Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya. Aku tidak suka kalian menyanjung-
nyanjung aku di atas derajat yang Allah berikan kepadaku.”36

Atas dasar riwayat di atas, Syekh Sholih dan para ulama yang satu pemikiran
dengannya berpendapat “haram” hukumnya menyanjung-nyanjung Nabi
Muhammad. Dari situ kemudian dikembangkan pendapat yang mengharam-
kan peringatan maulid Nabi Muhammad. Haramnya memperingati maulid
Nabi Muhammad ini didasarkan kepada adanya kesamaan praktik dengan
yang dilakukan oleh umat Nasrani, yang memperingati hari kelahiran Nabi
Isa/Yesus. Menurut Syekh Sholih, di dalam peringatan maulid Nabi itu tidak
dapat dihindari perbuatan syirik dan kemunkaran lainnya seperti menden-
dangkan qas{idah yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad. Padahal, Nabi
sendiri tidak menyukai diperlakukan seperti itu.37

Pemahaman yang dikembangkan oleh para ulama, yang satu pemikiran


dengan Syeikh Sholih al-Fauzan, ini tanpa disadari telah membangkitkan
semangat radikalisme sebagian umat Islam. Semangat itu dibungkus
ke dalam gerakan amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam praktiknya
mengesampingkan nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap
kebebasan berpendapat.

Dampak dari pendapat tentang ghuluw di atas, yang kemudian memicu


sekelompok orang melakukan aksi kekerasan di Yogyakarta beberapa

36 Ibid.
37 Ibid., hal. 116

74 PEDOMAN DAKWAH
tahun yang lalu, untuk membubarkan pengajian maulid Nabi Muhammad.
Kejadian yang sama terulang kembali pada akhir bulan Januari 2019, di
salah satu kawasan perumahan di Bintaro Jaya. Sekelompok orang yang
tidak menyukai peringatan maulid Nabi, membubarkan paksa kegiatan
maulid Nabi Muhammad yang diadakan di masjid.

Kontra Narasi
Apakah benar memuji Nabi Muhammad dan memperingati hari kelahirannya
termasuk ke dalam perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan dalam beragama)?

Tentu tidak. Memperingati kelahiran Rasulullah adalah bagian dari


upaya menunjukkan kebahagiaan atas diutusnya Nabi Muhammad
dalam menyampaikan risalah-Nya. Memuji beliau adalah bagian dari
menampakkan kecintaan kepada utusan Allah, karena memang beliau
layak dan pantas dipuji. Dalam kurun 14 abad, sejak Rasulullah diutus, umat
Islam senantiasa memujinya dalam kadar pujian yang wajar. Anggapan
sebagian kaum radikal jika memuji Rasulullah adalah ghuluw, justru malah
menunjukkan apabila mereka sendirilah yang bersikap ghuluw alias
berlebih-lebihan dalam melarang ekspresi kecintaan umat kepada Nabinya.

Dalam kaitan dengan tuduhan ini, Qas{idah Burdah biasanya dijadikan sebagai
obyek tuduhan bahwa pengarangnya, yaitu Imam al-Bushiri, mengajak
kepada pembacanya bersikap berlebih-lebihan dalam mencintai Rasulullah.
Syair-syair indah pujian kepada Rasulullah dianggap mengkultuskan, bahkan
dinilai berpotensi syirik. Apakah demikian? Tentu tidak, sebab berbagai
syair pujian kepada Baginda Rasulullah ini adalah ekspresi sastrawi dari
seorang pecintanya. Maka, jangan heran jika kalimat-kalimat puitik ini hanya
bisa dilihat dalam kacamata cinta dan perspektif sasatrawi, bukan dalam
kacamata kecurigaan dan su'uz{on.

Mata pendengki tidak akan pernah bisa melihat hakikat cinta dalam susunan
kata-kata. Sebab, alih-alih menikmati, mereka bakal mencari celah untuk
mempermasalahkan susunan kalimat dan pilihan kata. Puja-puji terhadap
Rasulullah adalah tradisi kaum Salaf as-s}al> ih dan memiliki pijakan kuat sejak
zaman Rasulullah. Beliau memiliki sahabat yang menjadi penyair handal

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 75


dalam mematahkan serangan dari para penyair kafir. Ka’ab bin Zuhair bin
Abi Sulma, Abdullah bin Rawahah, Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, serta
Khantsa binti Amru, adalah para penyair andalan Rasulullah.

Setelah Rasulullah wafat, tradisi syair tetap berkembang. Bahkan, di


kemudian hari para ulama menyusun bait-bait syair pujian yang berisi
keindahan akhlak, sifat, dan pribadi beliau. Di antara yang laing kondang
adalah Burdah yang disusun oleh Imam al-Bushiri, Maulid al-Barzanji, Maulid
Syaraful Anam, Maulid Simtu ad-Durar, Maulid ad-Diba’i, dan yang terbaru
adalah karya dari Habib Umar bin Hafidz yang berjudul Ad-Dhiya’ al-Lami’.
Semua digubah dan disusun dengan indah dengan penuh cinta dan kerinduan
terhadap Rasulullah. Tentu saja bahasa sastrawi di sini melambangkan cinta,
bukan penyembahan dan pengkultusan kepada Rasulullah.

76 PEDOMAN DAKWAH
BAGIAN KETIGA
ISU–ISU FIKIH YANG SERING
DIPERDEBATKAN

B
agian ketiga membahas tema terkait fikih, materi fikih seringkali
menjadi perdebatan dan pro kontra karena pendapat fikih selalu
melihat teks dan konteks dalam kehidupan umat Islam.

Benarkah Islam Tidak Bermazhab?

Pembahasan yang bercorak fikih merupakan pembahasan yang digandrungi


di antar pemabahasan lainnya dalam kajian kelompok-kelompok radikal
setelah pembahasan mengenai akidah. Dapat dikatakan bahwa pembahasan
bercorak fikih ini merupakan bahan operasional bagi kelompok radikal
di dalam mengembangkan dan memperluas gerakannya. Fikih memberi
semacam legitimasi atas tindakan yang dilakukan. Bahwa keputusan dan
tindakan yang diambil, diyakini mempunyai landasan hukum yang kuat dari
aspek syariah.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 77


Dari pengamatan di lapangan, saat ini kajian-kajian fikih yang diadakan
oleh kalangan radikal marak dilakukan di berbagai tempat. Beberapa kitab
fikih atau kitab akhlak yang mempunyai nuansa fikih, yang cukup populer
di kalangan pesantren, dijadikan sebagai bahan kajian fikih yang mereka
adakan. Kitab-kitab itu adalah Bulugh al-Maram, al-Adzkar al-Nawawiyyah
dan Riyadhus Shalihin. Tentu saja, penyajian kedua kitab itu dilakukan sesuai
dengan mindset dan paradigma yang mereka miliki.

Judul-judul yang dijadikan sebagai sub bab di bagian, merupakan isu yang
biasa dilempar kalangan radikal ke tengah masyarakat. Uraian tiap sub bab
diruntut mulai dari persoalan mendasar hingga ke persoalan hilir, yaitu
penegakkan syariat melalui jihad fi sabillah (jihad di jalan Allah). Tidak
semua topik yang beredar di dalam kajian-kajian mereka, disajikan di sini.
Topik-topik yang dihadirkan dan dibahas di sini adalah topik-topik yang
dianggap mendasar dan penting untuk diketahui. Untuk kemudian dibangun
kontra narasinya, sebagai bekal bagi para guru agama di dalam menghadapi
tantangan radikalisme yang semakin menguat.

ISLAM TIDAK BERMAZHAB


Jargon “Islam tidak bermazhab” ini dilekatkan kepada gerakan pemikiran
yang menolak keberadaan mazhab-mazhab fikih di tengah umat Islam.
Dicanangkannya gerakan “anti mazhab” fikih merupakan konsekuensi dari
upaya untuk kembali kepada sumber asli ajaran Islam, yaitu al-Quran dan
Sunnah, dengan menghilangkan fanatisme kepada pendapat ulama.

Wacana “Islam tidak bermazhab” yang dikembangkan pada hari ini


merupakan kelanjutan dari wacana yang pernah dilontarkan pada era
70-an dan 80-an. Bahkan jika ditarik lebih jauh lagi, wacana “Islam tidak
bermazhab” itu telah muncul benihnya pada masa Ibnu Taimiyyah (wafat
728 H). Adalah Syekh Muhammad Abduh yang menghidupkan kembali
gagasan Ibnu Taimiyyah tentang penolakan terhadap mazhab, untuk
selanjutnya gagasan itu dikembangkan dan disebarluaskan para ulama
Saudi Arabia.

78 PEDOMAN DAKWAH
Dari banyak tokoh yang mewacanakan gerakan antimazhab, Syekh
Nashiruddin al-Albani lebih dikenal dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia,
popularitas al-Albani sebagai tokoh anti mazhab, mulai terangkat setelah
menerbitkan buku yang diberi judul “Sifat Salat Nabi Muhammad”.38 Sebelum
meluncurkan buku tentang praktik saalat, al-Albani telah banyak menulis
karya yang berisi kritik terhadap penilaian para ulama terhadap hadis-hadis
Rasulullah. Namun, dari sekian banyak karyanya, buku “Sifat Salat Nabi” yang
tampaknya mendapat tempat di hati sebagian pembacanya di Indonesia.

Di dalam buku tersebut, al-Albani mengkampanyekan sikap anti mazhab.


Dengan bahasa provokatif, al-Albani mengatakan bahwa di dalam beragama
yang diikuti adalah pendapat Rasulullah, bukan pendapat para ulama.
Dikaitkan dengan praktik pelaksanaan salat, menurut al-Albani, kesalahan
fatal umat Islam adalah meninggalkan contoh salat yang dilakukan
Rasulullah dan memilih mengikuti pendapat para ulama.

Pendapat al-Albani yang menyerang mazhab itu, tampaknya telah dirancang


sebagai serangan awal untuk membuka serangan-serangan lainnya
terhadap eksistensi mazhab fikih yang hidup di tengah masyarakat. Puncak
dari serangan anti mazhab fikih ini adalah dimunculkannya anggapan bahwa
pengamal mazhab bukanlah pengikut sunnah sejati, karena dipandang masih
mengutamakan pendapat para ulama, dibandingkan pendapat Rasulullah.
Karenanya, para pengamal mazhab itu disebut sebagai pelaku bid'ah.

Kontra Narasi
Kesimpulan bahwa bermazhab berarti memilih mengikuti ulama dan
meninggalkan Rasulullah, merupakan kesimpulan yang sesat. Kesimpulan
itu dibangun dari ketidaktahuan terhadap hakikat mazhab fikih, atau
dibangun dari kebencian yang besar terhadap para ulama mazhab.

Apa itu mazhab? Kata “mazhab” di dalam bahasa Arab, dibentuk dari kata
“dzahaba” yang maknanya adalah pergi. Kata “mazhab” merupakan bentuk
isim maka>n (kata benda yang menunjuk kepada makna tempat), yang

38 Buku ini pertama kali diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Minaret dan diberi pengantar
oleh Prof. Rifyal Ka’bah.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 79


maknanya adalah tempat bertolak untuk pergi. Di dalam kamus online al-
ma'a>ny, kata “mazhab” diartikan sebagai:

ِِِ ِ ِ ِ ِ ‫َمموعةٌ ِمن‬


‫ض‬ ُ ‫اآلراء َوالنَّظَ ِريَات الع ْل ِميَّة َوالْ َف ْل َسفيَّة ا ْرتـَبَ َط بـَْع‬
ٍ ‫ض َها بِبـَْع‬ َ َ َ ُْْ
ِ
ً‫ا ْرتِبَاطًا َْي َعلُ َها َو ْح َدةً ُمْن ِس َقة‬
“Kumpulan pendapat dan teori keilmuan atau filsafat, yang saling bertalian satu
sama lain, hingga membentuk satu kesatuan yang padu”.39

Mazhab—khususnya mazhab fikih—lahir sebagai tuntutan dilakukannya


ijtihad (menggali hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Quran dan
Sunnah). Mengenai ijtihad itu sendiri, kita dapat menemukan dasarnya di
dalam hadis Rasulullah Saw. ketika berdialog dengan Muadz bin Jabal ra:

ِ َ‫ال فَِإ ْن َل ي ُكن ِف كِت‬


‫اب‬ ِ ‫اب‬
َ َ‫ ق‬,‫اهلل‬ ِ َ‫ضي ِبَا ِف كِت‬ ِ ْ‫ال أَق‬
َ ‫ضي؟ فـََق‬ِ ‫َكيف تـ ْق‬
ْ َْ َ َ ْ
َ َ‫ ق‬,‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ال فَِإ ْن َلْ يَ ُك ْن ِف‬ ِ ِ ِ
َ ‫ال فَبِ ُسنَّة َر ُس ْول اهلل‬
ِ
َ َ‫اهلل ؟ ق‬
ِ ‫ال اَ ْلم ُد‬ ِ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم؟ ق‬ ِ ِ ِ
‫هلل‬ ْ َ َ َ‫َجتَ ِه ُد َرأْي ْي ق‬ ْ ‫ال أ‬ َ ‫ُسنَّة َر ُس ْول اهلل‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ
َ ‫الَّذي َوفَّ َق َر ُس ْوَل َر ُس ْول اهلل‬

“Bagaimana kamu mengambil dasar hukum? Muadz menjawab, “aku akan


menghukumi perkara dengan apa yang terdapat di dalam al-Quran. Rasul
bertanya, “Jika tidak ada di dalam al-Quran?” Muadz menjawab, “Aku akan
menghukumi dengan apa yang terdapat di dalam sunnah Rasulullah Saw” Rasul
bertanya, “Jika tidak terdapat di dalam sunnah Saw?” Muadz menjawab, “aku
berijtihad dengan pendapatku.” Rasul menjawab, “segala puji bagi Allah, yang
telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah Saw”.40

39 https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D9%85%D8%B0%D9%87%D8%A8/
40 Hadis Riwayat at-Tirmidzi nomor 1249, Abu Dawud nomor 3119, dan Ahmad nomor
21000)

80 PEDOMAN DAKWAH
Dari dialog di antara Rasul dan Muadz di atas, dapat dipahami bahwa ada
permasalahan-permasalahan yang tidak dijumpai ketetapan hukumnya di
dalam al-Quran dan sunnah. Karena kondisi itu, ijtihad dibutuhkan. Selain
karena adanya tuntutan untuk melakukan ijtihad, mazhab lahir karena
adanya perbedaan penafsiran terhadap al-Quran dan sunnah Rasulullah.
Perbedaan penafsiran terhadap al-Quran dikhususkan kepada ayat-ayat
yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan perbedaan penafsiran terhadap
sunnah, disebabkan oleh perbedaan di dalam jalur periwayatan, status
sunnah yang diriwayatkan mutawatir atau ahad, dan nasikh serta mansukh
yang terkandung di dalam sunnah.

Mengikuti pendapat mazhab fikih bukan berarti meninggalkan sunnah


Rasulullah. Justru mazhab fikih mempunyai fungsi untuk memahami sunnah
Rasulullah secara benar. Keberadaan mazhab fikih merupakan isyarat
bahwa tidak semua umat Rasulullah Muhammad dapat memahami secara
langsung sunnah-sunnah beliau. Ibnu Wahab, seorang ulama Mazhab Maliki
mengatakan bahwa hadis itu adalah tempatnya orang menjadi sesat, kecuali
bagi para ulama. Maksud dari pendapat ini adalah bahwa tidak semua orang
dapat mengambil kesimpulan secara langsung dari hadis-hadis Rasulullah
tanpa melalui metodologi ilmu yang telah disepakati para ulama.

Mengikuti pendapat ulama, diperintahkan di dalam al-Quran:

‫الذ ْك ِر إِ ْن ُكْنتُ ْم َل تـَْعلَ ُمو َن‬


ِّ ‫اسأَلُوا أ َْهل‬
َ ْ َ‫ف‬
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui (QS Al-Nahl [16]: 43)

Rasulullah juga menegaskan bahwa para ulama itu merupakan pewaris


(penerus perjuangan) para nabi. Mengikuti para ulama di dalam beragama,
sama artinya dengan mengikuti para nabi:

‫ َوَل ِد ْرَهًا َوَّرثُوا‬،‫ َوإِ َّن ْالَنْبِيَاءَ َلْ يـَُوِّرثُوا ِدينَ ًارا‬،‫إِ َّن الْعُلَ َماءَ َوَرثَةُ ْالَنْبِيَ ِاء‬
‫َخ َذ ِبَ ٍّظ َوافِ ٍر‬
َ ‫َخ َذهُ أ‬
ِ
َ ‫ فَ َم ْن أ‬،‫الْع ْل َم‬
ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 81
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi
tidak mewariskan dinar atau dirham, tapi mereka mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil sesuatu yang
sangat besar”.41

Berbeda mazhab bukanlah masalah bagi umat Nabi Muhammad. Sejak


dulu, para sahabat selalu berbeda masalah dalam persoalan-persoalan
furu’ agama. Begitu pun dengan para ulama mazhab. Perbedaan di dalam
pendapat itu tidak menyebabkan mereka saling bermusuhan. Imam Ahmad
bin Hanbal diriwayatkan selalu mendoakan Imam Syafi’i di dalam salat
tahajudnya, meskipun berbeda pendapat dalam 3000 masalah. Imam Syafi’i
selalu membanggakan Imam Malik, walaupun berbeda pendapat dalam
ribuan masalah.

Contoh-contoh itu menegaskan kepada kita bahwa perbedaan pendapat


bukanlah alasan untuk saling benci atau bahkan saling bermusuhan.
Menghargai perbedaan pendapat dimulai dari membangun akhlak.
Bahwa setiap orang boleh mempunyai pendapat yang berbeda asalkan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, jujur, objektif dan terbuka.
Sikap seperti ini menjadi modal bagi kalangan awam, untuk tidak
mempermasalahkan perbedaan mazhab, serta mengembangkan sikap saling
menghormati terhadap perbedaan mazhab.

Dalam bermazhab, khususnya dalam fikih, mayoritas umat Islam mengikuti


mazhab imam empat, yaitu Imam Abi Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam kurun satu milenium terakhir, mazhab
inilah yang paling banyak dianut oleh umat Islam. Dari mazhab ini lahir para
ulama dengan reputasi keilmuan yang mumpuni. Mereka dengan rendah
hati tetap bermazhab, sebab bagi mereka bermazhab adalah pilihan dan
itu merupakan sebuah keniscayaan.

Dengan demikian, mengikuti mazhab empat bukan semata-mata kebetulan.


Namun apabila dicermati secara seksama, baik dari sudut pandang

41 Hadis Riwayat Abu Dawud

82 PEDOMAN DAKWAH
agama maupun logika, mengikuti salah satu mazhab yang empat tersebut
akan menghasilkan banyak kemaslahatan, dan berpaling darinya akan
mengakibatkan sekian banyak kerusakan. Syekh Waliyullah ad-Dahlawi
memberikan penjelasan, sebenarnya dalam mengikuti mazhab empat
terdapat kemaslahatan yang besar, dan berpaling darinya hanya akan
mengakibatkan mafsadah yang besar. Hal ini diuraikan melalui berbagai
alasan:42

a. Umat Islam sepakat untuk berpegang teguh pada generasi salaf dalam
upaya mengetahui syariah. Generasi tabiin berpegang pada pendapat
para sahabat, sedangkan generasi tabi’ut tabi’in berpegang pada
generasi tabiin. Demikian pula dalam setiap generasi, mereka mengikuti
jalan yang telah ditempuh generasi sebelumnya.hal ini baik, sebab
syariah hanya bisa diketahui melalui naqli (riwayat) atau melalui istinbat}
(ijtihad). Sedangkan naqli tidak akan terjadi jika suatu generasi tidak
menerimanya dari generasi sebelumnya secara langsung. Sedangkan
dalam istinbat} diharuskan mengetahui pandangan-pandangan ulama
terdahulu, supaya hasil istinbat}-nya tidak keluar dari pendapat mereka
sehingga dianggap melanggar ijmak ulama yang dilarang oleh agama.
b. Mengikuti empat mazhab tersebut berarti mengikuti sabda Rasulullah
agar mengikuti kelompok mayoritas (as-Sawad al-A’dzam). Hal ini
berangkat dari realitas sosial umat Islam, di mana setelah mazhab-
mazhab yang benar telah punah kecuali mazhab yang empat ini, maka
mengikutinya berarti mengikuti kelompok mayoritas ini, dan keluar
darinya berarti menyempal dari kelompok as-sawad al-a’dzam.
c. Setelah era generasi salaf—yang dikatakan sebagai sebaik-baiknya
generasi—semakin jauh dari masa kita sekarang dan amanah telah
banyak diabaikan, maka kita tidak boleh berpegangan pada ulama
jahat, seperti hakim yang curang, dan para mufti yang mengikuti hawa
nafsunya. Demikian pula kita tidak boleh mengikuti pendapat mereka
yang tidak kita ketahui telah memenuhi syarat melakukan ijtihad atau
tidak.

42 Syekh Waliyullah ad-Dahlawi, ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid (Bombai: t.p), hal.
56.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 83


Dengan demikian, bermazhab merupakan bagian dari menjaga
keberlangsungan ajaran Islam secara kaffah, sebab setiap orang tidak
mungkin berijtihad karena terbatasnya kemampuan mereka. Yang ada
hanyalah mengikuti alias ittiba’ pendapat para ulama yang kualitas
keilmuannya diakui. Memaksakan diri dengan tidak bermazhab merupakan
langkah konyol, sebab selain menyempal dari kelompok mayoritas (as-sawad
al-a’dzam), juga tidak bercermin pada kualitas keilmuannya.

Oleh karena itu, yang paling aman, mengikuti apa yang disabdakan oleh
Rasulullah:

ِ ِ ِ
ْ ،‫بأص َح ِاب مثّ الّذيْ َن يـَلُ ْونـَُه ْم مثّ الّذيْ َن يـَلُ ْونـَُه ْم‬
‫ َعلَْي ُك ْم‬:)‫(وفيه‬ ْ ‫أ ُْوصْي ُك ْم‬
‫ي‬ِ َْ‫اح ِد وُهو ِمن االثـْنـ‬
ِ ‫الشيطاَ َن مع‬ ِ ‫باجلم‬
َ َ َ ‫الو‬ َ ََ ْ ّ ‫اعة َوإيّا ُك ْم َوال ُف ْرقَةَ فَإ ّن‬َ ََ
‫قال‬
َ ‫ذي َو‬ ِ ‫الماعةَ (رواه‬ ِ ِ ْ َ‫ فَمن أراد ُببـوحة‬،‫أبـعد‬
ّ ‫التم‬ّ ُ َ َ َ َْ ‫الَنّة فـَْليـَْلَزم‬ َ ُْ ْ َ َ ْ َ َْ
(‫وص ّح َحه احلَاكِم‬ َ ،‫حي ٌح‬ ْ ‫ص‬َ ‫حس ٌن‬ 
َ
Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-
sahabatku, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka, kemudian
orang-orang yang datang sesudah mereka”. Dan termasuk dalam rangkaian
hadis ini: “Hendaklah kalian berpegang kepada mayoritas (al-Jama’ah) dan
jauhilah perpecahan, karena setan akan menyertai orang yang menyendiri.
Dia (Setan) dari dua orang akan lebih jauh. Maka barangsiapa menginginkan
tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh kepada (keyakinan) al-
Jama’ah”. (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata: Hadis ini Hasan Shahih. Hadis ini juga
dishahihkan oleh al-Imam al-Hakim).

Dengan demikian, tradisi bermazhab merupakan tumpuan untuk mengatasi


problem hukum yang dihadapi oleh masyarakat. Di antara alasan praktis
mayoritas ulama memilih bermazhab adalah:

(a) pemikiran mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) telah


terkodifikasikan secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya;

84 PEDOMAN DAKWAH
(b) kredibiltas imam mazhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh
dinamika zaman. Hal ini terbukti dengan diikutinya para imam mazhab
oleh sebagian besar umat Islam di dunia;
(c) mengikuti pemikiran ulama mazhab mempunyai nilai praktis dan
pragmatis. Dengan mengacu dan mengikuti pemikiran mazhab tidak
perlu bersusah-payah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi
dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika
masalah tersebut menghendaki untuk segera dijawab.43

43 Ahmad Arifi, Fiqh Tradisi Pola Madzhab, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal. 170.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 85


Menjawab Tuduhan Haramnya Ziarah Kubur

Ziarah kubur merupakan perbuatan yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw.


Di dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah dan para sahabat
sering melakukan ziarah kubur. Di dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda:

َ ‫ال َن فـَُزْوُرْوَها فَِإنـََّها تُ َذ ِّكُر الْ َم ْو‬


‫ت‬ ٰ ْ َ‫ت نـََهْيتُ ُك ْم َع ْن ِزيَ َارِة الْ َق ِْب ف‬
ُ ‫ُكْن‬
“Dulu aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sekarang berziarahlah karena
itu dapat mengingatkan kepada kematian.”

Di pengajian-pengajian yang diadakan kalangan radikal, tema ziarah kubur


ini disatukan ke dalam tema tentang perbuatan syirik. Bisa dikatakan jarang
disampaikan anjuran di kalangan mereka untuk melakukan ziarah kubur.
Dari wawancara dengan jamaah pengajian mereka dan juga pengamatan
terhadap isi ceramah yang disampaikan, ditarik simpulan bahwa ziarah
kubur “seakan” dianggap sebagai perbuatan yang diharamkan.

“Pengharaman” ziarah kubur itu ditunjukkan dengan dipopulerkannya istilah


“kubu>riyyu>n” (penyembah kubur) yang ditujukan kepada orang yang sering
melakukan ziarah kubur. Pengharaman ziarah kubur itu utamanya ditujukan
bagi kaum perempuan (muslimah). Dasar yang digunakan adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw.
melaknat perempuan yang berziarah kubur.44 Pengharaman ziarah kubur
dimunculkan dengan menyamakan para peziarah kubur dengan penyembah
kubur. Argumentasi yang digunakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Ahmad dengan sanad (mata rantai) yang baik, dari Ibnu Mas’ud:

ِ ‫الساعةُ وهم أَحياء ٌوالَّ ِذين يـت‬ ِ ‫إِ َّن ِم ْن ِشَرا ِر الن‬
‫َّخ ُذ ْو َن‬َ َ ْ َ َ ْ ْ ُ َ َ َّ ‫َّاس َم ْن تُ ْد ِرُك ُه ُم‬
ِ ‫الْ ُقبـور مس‬
‫اج َد‬ َ َ َ ُْ
44 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, nomor 1056. Ia mengatakan bahwa hadis ini
adalah hasan shahih.

86 PEDOMAN DAKWAH
“Sungguh termasuk kelompok manusia yang buruk (keadaannya) adalah orang
yang hidup pada saat terjadinya kiamat dan orang yang menjadikan kuburan
sebagai masjid.”45

Pengharaman ziarah kubur itu bahkan dialamatkan kepada praktik ziarah


ke makam Nabi Muhammad Saw. Mereka berdalil dengan hadis Nabi yang
berdoa ketika menjelang wafatnya:

‫اَللَّ ُه َّم َل َْت َع ْل قـَِْب ْي َوثـَنًا يـُْعبَد‬

“Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”46

Argumentasi lain yang dijadikan sebagai dasar pengharaman ziarah ke


makam Rasulullah Saw adalah atsar dari cicit beliau yang melarang umat
Islam menjadikan kebiasaan berdoa di depan makam Rasulullah.47 Ibnu
Taimiyyah di dalam kitabnya, “Iqtidho’u Shira>til Mustaqim” berpendapat
bahwa berdoa di depan makam Nabi, termasuk ke dalam perbuatan
menjadikan makam Rasulullah sebagai i’ed (tempat hari raya). Menurutnya,
perbuatan tersebut tersebut masuk ke dalam larangan yang ditegaskan
Rasullah:

ِ ‫َل تـت‬
‫َّخ ُذوا قـَِْبي ِعْي ًدا‬َ
“Jangan kalian jadikan kuburku sebagai tempat hari raya.”48

45 Hadis ini dikutip oleh Syekh Sholih bin Abdul Aziz alu Syekh di dalam karyanya al-Tamhid
li Syarhi Kitabi al-Tauhid, lihat Syekh Sholih bin Abdul Aziz alu Syekh, al-Tamhid...hal. 266
46 Hadis diriwayatkan oleh Malik dan Ahmad. Syekh Sholih bin Fauzan al-Fauzan mengutip
hadis ini sebagai dalil haramnya ziarah ke makam Nabi Muhammad. Lihat Sholih bin
Fauzan al-Fauzan, Kitab ul-Tauhid, hal. 39
47 Ibnu Taimiyyah, Iqtidho’u Shirathil Mustaqim Mukhalifatu
Ashabal Jahim, (Beirut: Darul Fikr: tt), hal. 325
48 Hadis diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili dan Sa’id bin Manshur di dalam Musnadnya,
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Taimiyyah. Lihat kembali Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’u Shiratil
Mustaqim..., hal. 322

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 87


Kontra Narasi
Dari pembacaan secara menyeluruh terhadap pendapat yang “mengharam-
kan” ziarah kubur di atas, diduga terjadi “manipulasi” pemahaman
terhadap hadis Rasulullah Saw. Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang
mengambil haluan radikalisme di dalam memahami ajaran Islam, agak tidak
menampilkan secara utuh hadis-hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur.
Ditampilkannya hadis-hadis yang berisikan larangan menjadikan kubur
Rasulullah pada akhirnya memunculkan simpulan di benak umat bahwa
ziarah kubur merupakan perbuatan yang diharamkan.

Syekh Muhammad Zakky Ibrahim, seorang tokoh tasawwuf di Mesir, di


dalam karyanya berjudul al-Masyru>’ wa al-Mamnu>’ fi Qadha>ya> memberikan
penjelasan yang gamblang tentang kesalahan fatwa yang mengharamkan
ziarah kubur. Menurut beliau, ziarah kubur merupakan perbuatan yang
mempunyai dalil syariat (masyru’). Para ulama salaf sepakat mengenai
anjuran untuk berziarah kubur didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad
Saw. yang telah disebut di bagian awal pembahasan ini. Bahkan Nabi sendiri
selalu melakukan ziarah kubur ke pemakaman Baqi’ dan mendoakan orang-
orang yang dikuburkan di sana.49

Mengenai larangan terhadap muslimah untuk berziarah kubur, Syekh Zakki


Ibrahim menjelaskan bahwa Nabi Saw mengijinkan puterinya Fatimah
menziarahi makam Hamzah ibnu Abdul Muthallib di Uhud. Nabi juga
mengijinkan Aisyah, isterinya, berziarah ke makam kakaknya Abdurrahman
bin Abu Bakar. Bahkan Nabi mengajarkan apa saja yang perlu dibaca ketika
berziarah kubur. Tidak saja sampai di situ, menurut catatan Syekh Zakki,
sebagian ulama menganggap bahwa ziarah kubur bagi muslimah itu wajib
untuk membangkitkan kesabaran dan menguatkan kemampuan hati supaya
bisa menahan semua keinginan.50

Ziarah kubur diperbolehkan kapan saja. Namun, para ulama berpendapat


bahwa hari kamis hingga sabtu merupakan waktu yang afd{ol (terbaik) untuk

49 Muhammad Zakki Ibrahim, al-Masyru>’ wa al-Mamnu> fi Qadhaya > > al-Quba>b, al-Maha>rib, al-Ma-
sa>jid wa al-Qubu>r, Syadd ul-Riha>l, al-Mawa>lid, Ziya>rat ul-Qubu>r Masjid al-Rasu>l, al-Tabarruk
bi al-Sha>lihin, wa Ba’dhu ma> yata’alliqu bidzalika, Kairo: Da>ru Ihya>’ it Tura>ts il-Sha>fi, hal. 27
50 Ibid.,hal. 28

88 PEDOMAN DAKWAH
melakukan ziarah kubur.51 Mengenai hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
murid dari Ibnu Taimiyyah, mengutip atsar dari al-Dhaha>k, seorang ulama
tabiin yang berkata, “Siapa ziarah kubur pada hari sabtu sebelum terbit
fajar, mayit yang di dalam kubur akan mengenalinya.” Ketika ditanya
tentang alasannya, al-Dhaha>k menjawab, “itu terjadi karena kedudukan
hari jum’at”.52

Syekh Zakki Ibrahim juga berpendapat bahwa diperbolehkan ziarah kubur


pada waktu-waktu tertentu, seperti pada saat menjelang bulan Ramadan,
menjelang 1 Syawal, atau pada waktu-waktu berkah lainnya. Meskipun—
menurut beliau—itu tidak dianggap sebagai perbuatan sunnah namun tidak
adanya larangan, menunjukkan kebolehan untuk melakukan perbuatan
itu.53

Selain berbicara tentang kebolehan untuk melakukan ziarah kubur, Syekh


Zakki Ibrahim menjelaskan adanya larangan di dalam berziarah. Larangan
itu adalah meminta-minta sesuatu kepada mayit yang dikuburkan. Syekh
Zakki menegaskan bahwa bagaimana pun status yang disandang oleh
mayit itu, ia tetaplah hamba yang tidak mempunyai kewenangan untuk
mengabulkan doa atau permintaan dari sesama makhluk. Namun demikian,
lanjut Syekh Zakki, diperbolehkan untuk bertawasul54 kepada Allah dengan
menyebut nama orang saleh, yang tujuannya adalah agar Allah mengabulkan
permintaan orang yang berziarah.55

Selain menjelaskan tentang hukum dan kebolehan berziarah, Syekh Zakki


Ibrahim juga menjelaskan adab-adab yang harus diperhatikan ketika
berziarah, yaitu:56

51 Ibid.,hal. 28
52 Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Ru>h, (Jakarta: al-Haramain, tt), hal. 8
53 Muhammad Zakki Ibrahim, Op.cit.hal. 29
54 Tawassul adalah berdoa dengan menyebut nama orang-orang saleh atau amal saleh
sebagai kesaksian kepada Allah. Tujuan dari tawassul adalah agar doa segera dikabulkan.
Dasar dari tawassul ini adalah atsar dari Umar bin Khatthab r.a. yang berdoa meminta
hujan, dengan menyebut nama paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muthallib,
sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih al-Bukhari.
55 Muhammad Zakki Ibrahim, Op.Cit.,hal. 30
56 Muhammad Zakki Ibrahim, Op.Cit.,hal. 33-34

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 89


1. membangun kekhusyukan hati ketika berziarah;
2. menjaga adab di dalam berziarah;
3. mengingat kematian di dalam hati;
4. mengambil pelajaran dari peristiwa kematian;
5. bersedekah atas nama mayit;
6. mendoakan mayit;
7. membacakan al-Quran;
8. menjaga kehormatan makam;
9. menjaga kebersihannya;
10. jangan sampai meninggalkan ziarah kubur atau melupakannya;
11. jangan sampai kemewahan kubur membuat diri terlena sehingga
melupakan mayit yang ada di dalam kubur;

Perlu juga untuk disampaikan di sini bantahan terhadap penggunaan istilah


“penyembah kubur”. Sebagian dari kalangan radikal menggunakan istilah
ini untuk menyebut sebagian umat Islam yang biasa melakukan ziarah ke
makam para ulama atau orang-orang saleh. Jika dipahami secara cermat,
sebutan “penyembah kubur” sebenarnya bentuk takfir (menganggap kafir
seorang muslim) yang dibahasakan secara halus. Istilah penyembah kubur
menunjukkan bahwa ada tuhan lain yang disembah oleh sebagian muslim
selain Allah, yaitu kuburan.

Tuduhan ini sangat menyakitkan. Sebab, jika menggunakan logika ini, maka
betapa banyak orang-orang saleh yang terstigma sebagai musyrik karena
menjadi penyembah kubur. Padahal mereka sama sekali tidak pernah
menyembah kuburan dan bahkan melakukan tindakan kemusyrikan.
Tuduhan ini biasanya juga terkait dengan tindakan barbar yang dilakukan
kelompok ini kepada orang-orang yang dituduh penyembah kubur.
Bahkan, di Pakistan, para teroris meledakkan bom di makam seorang
ulama dan mengakibatkan terbunuhnya para peziarah. Di Iraq, mereka
bahkan meledakkan makam Nabi Yunus dan Imam Nawawi karena menilai
masyarakat yang berkunjung di sini telah menyembah dua makam ini.
Sebuah tuduhan konyol yang sangat tidak berdasar.

90 PEDOMAN DAKWAH
Imam Nawawi ad-Dimasyqi, yang makamnya dihancurkan oleh ISIS,
pendapatnya pernah dikuti oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya,
Nihayat az-Zein.

ِ ‫َن الدُّعاء لِ ْلَمو‬ ْ ‫ي ِف األَذْ َكا ِر أ‬ ُّ ‫ال النـََّوِو‬


‫ات يـَنـَْفعُ ُه ْم‬ َ ْ َ َ َّ ‫َجَ َع الْعُلَ َماءُ َعلَى أ‬ َ َ‫ق‬
‫ت‬ُ ِّ‫ال َما الْ َمي‬ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلًّ َم أَنَّهُ ق‬
َ ‫ي َع ِن النَِّب‬
ِ
َ ‫َويَصلُ ُه ْم ثـََوابُهُ اه ُرِو‬
َ َ‫ب ِلَ ْن يـُغ‬
‫اث‬ ِ ِ‫َي الطَّال‬ ِ ‫ث بَِفْت ِح الْوا ِو املشد‬
ْ ‫َّدة أ‬َ َُ َ
ِ ‫ِف قـ ِبِه إَِّل َكالْغَ ِري ِق املغَ َّو‬
ْ َْ
ُ
ِ ِ ‫َخي ِه أَو‬ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
‫ب‬َّ ‫َح‬ َ‫تأ‬ ْ َ‫صديْ ٍق لَهُ فَِإ َذا َل َقْتهُ َكان‬ َ ْ ْ ‫يـَْنتَظُر َد ْع َوًة تـُْلح ُقهُ م ْن ابْنه أ َْو أ‬
‫الدنـْيَا َوَما فِيـَْها‬
ُّ ‫إِلَْي ِه ِم َن‬

“Imam Nawawi berkata dalam kitabnya,  Al-Adzkar, ”Para Ulama sepakat


bahwa doa pada orang yang meninggal, bermanfaat dan sampai pada mereka.”
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bahwa sesungguhnya beliau bersabda,
‘Tidak ada perumpamaan mayit di kuburnya kecuali seperti orang tenggelam
yang ingin ditolong, mayit menunggu doa yang ditujukan padanya baik dari
anaknya, saudaranya atapun temannya. Ketika doa itu telah tertuju padanya,
maka doa itu lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya.”57

Kelompok konservatif itu menggunakan sejumlah argumentasi rasional


sebagai dalil untuk menunjukkan adanya “perilaku” menyembah kuburan
tadi. Di antaranya adalah meminta-minta kepada mayit, melakukan ziarah
kubur pada waktu-waktu tertentu, melakukan ibadah di dekat makam orang
saleh, seperti membaca al-Quran dan salat, dan memuja-muja kuburan
dengan bacaan selawat atau syair-syair.

Untuk menjawab argumentasi-argumentasi tersebut, berikut adalah


bantahan yang dapat diberikan:

1. Bahwa makna menyembah tidak saja terbatas kepada sikap tunduk,


patuh atau menghinakan diri. Tapi, termasuk ke dalam makna

57 Syekh Nawawi al-Bantani, Nihayat az-Zein (Surabaya: al-Hidayat), hal. 281.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 91


menyembah adalah selalu menghadirkan yang disembah setiap waktu
dan di mana saja. Sejurus dengan makna menyembah itu adalah adanya
kewajiban untuk selalu menghadap kepada yang disembah di mana
saja ia berada. Di dalam praktiknya, orang-orang yang dituduh sebagai
penyembah kubur, tidak menjadikan kuburan sebagai sesuatu yang
harus hadir di dalam ibadah yang mereka lakukan. Mereka pun tidak
menghinakan diri di hadapan kubur para ulama atau orang-orang
saleh yang mereka datangi. Namun, yang terlihat dari perilaku “para
penyembah kubur” itu adalah menjaga adab ketika berziarah, yaitu
tidak berteriak-teriak di depan makam atau tidak melakukan perbuatan
yang tidak senonoh selama berziarah. Tentu, sampai di sini, dapat
dipahami perbedaan makna tunduk, patuh, taat dan menghinakan diri
dengan adab. Dalam kasus ziarah ke makam Rasulullah, setiap peziarah
diharuskan untuk menjaga adab dan sopan santun, seolah-olah mereka
sedang mendatangi Rasulullah dalam keadaan hidup;
2. Para ulama termasuk dari kalangan sufi sepakat bahwa haram
hukumnya meminta-minta kepada mayit. Berbeda halnya dengan
bertawasul, yaitu berdoa kepada Allah dengan menyebut keutamaan
orang saleh yang sudah wafat. Kendatipun dalam perkara tawassul
ini terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama, namun
Imam al-Bukhari menempatkan hadis tentang tawassul di dalam Kitab
Shahihnya, di bab tentang istisqa' (salat meminta hujan). Tidak sampai di
situ, Imam al-Syaukani juga menempatkan hadis tentang tuntunan Nabi
di dalam bertawasul kepada Utsman bin Mazhun, di dalam kitabnya
Tuhfat al-Dza>kirin. Ini artinya, walaupun terdapat ikhtilaf, tawassul
bukanlah perkara yang dibuat-buat karena ada hadisnya;
3. Mengenai waktu berziarah. Sebagaimana penjelasan Syekh Zakki
Ibrahim di bagian sebelumnya, tidak ada satu pun hadis yang
menganjurkan atau melarang ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu.
Itu artinya ziarah dapat dilakukan kapan saja;
4. Adapun tentang kegiatan membaca al-Quran dan melakukan salat di
kompleks pemakaman, para ulama telah membahas perkara ini secara
panjang lebar dan tidak ada penolakan dari mereka kecuali dari Ibnu
Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya. Imam Syafi’i bahkan diriwayatkan

92 PEDOMAN DAKWAH
pernah melaksanakan salat di musala dekat makam Imam Abu Hanifah,
dalam rangka tabarrukan (mengambil keberkahan). Tentang membaca
al-Quran di kompleks makam, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memberikan
penjelasan yang rinci tentang sampainya pahala membaca al-Quran
kepada mayit, sebagaimana ditulis di dalam kitab Al-Ru>h.58
5. Sedangkan pujian kepada orang yang sudah wafat merupakan
perbuatan yang dianjurkan oleh Nabi. Beliau bahkan melarang mencaci
maki orang yang sudah meninggal dunia, sebagaimana diriwayatkan
oleh al-Bukhari di dalam Kitab Jana>iz di dalam Shahihnya.

Argumentasi-argumentasi ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa


orang yang tidak mau ziarah kubur adalah orang-orang yang tersesat. Tapi,
pengetahuan tentang ziarah kubur ini bertujuan agar setiap orang berhati-
hati di dalam melakukan amal perbuatan. Karena apa yang dilakukannya
pasti akan diminta pertanggungjawabannya setelah ia mati.

58 Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Ru>h...hal. 141-142

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 93


Ragam Pandangan Tentang Hijab

Hijab merupakan di antara isu yang dimainkan dalam kaitannya dengan


radikalisme. Dari sisi penampilan fisik, tidak ada yang perlu dipersoalkan
dengan hijab. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan
identitas dirinya, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum.

Namun, adagium di atas dalam kenyataannya tidak seiring dengan


penggunaan isu hijab. Isu yang seharusnya hanya berkisar di area fesyen
telah bergeser menjadi isu yang bersifat ideologis, ketika kata “hijab”
digunakan untuk mendefinisikan “kami” dan “mereka”. Hijab digunakan
sebagai identitas untuk menunjuk “kami”. Sedangkan yang tidak berhijab
digunakan untuk menunjuk “mereka” yang dianggap bukan bagian dari kami.
Fenomena ini pernah marak pada awal era 90-an. Ketika kelompok pengajian
yang menyebut diri mereka sebagai kelompok usroh, memperkenal model
jilbab panjang sebagai pakaian muslimah yang sebenarnya. Gerakan usroh ini
berkembang secara massif di sekolah-sekolah umum dan kampus-kampus
non-agama. Sampai pada puncaknya pada tahun 1991, sayap dari gerakan
usroh ini menggebrak dunia pendidikan dengan menuntut dibolehkannya
pemakaian “hijab” untuk keperluan foto EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional).

Adalah SMA 68 yang dijadikan sebagai sasaran pertama gebrakan itu.


Reaksi pun meluas. Sehingga pada akhirnya banyak sekolah menengah atas
di seluruh Indonesia yang mengumandangkan tuntutan yang sama. Jilbab
pun marak di seluruh SMA kota-kota besar. Sejalan dengan itu, gerakan
mahasiswi berjilbab pun tumbuh di kampus-kampus. Dua puluh tahun
berlalu, gerakan jilbab atau hijab seperti kehilangan perjuangan. Pada
tahun 2010, gerakan hijab muncul kembali dengan tambahan isu “kewajiban
menggunakan cadar bagi muslimah”.

Seiring dengan kemunculan isu hijab itu, penangkapan terduga kasus


tindakan terorisme seperti Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron selalu
menampilkan sosok anggota keluarga mereka yang menggunakan cadar.
Fenomena itu tidak hanya satu atau dua kali. Dari beberapa kali operasi

94 PEDOMAN DAKWAH
yang dilakukan oleh Densus 88, penampilan keluarga terduga teroris selalu
terlihat dengan mengenakan cadar.

Karena fenomena itu, wajar jika kemudian publik bertanya-tanya tentang


hubungan antara hijab dan cadar dengan paham radikalisme yang
belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Pertanyaan yang sering diajukan
adalah apakah mengenakan cadar itu merupakan kewajiban bagi setiap
muslimah? Apakah muslimah yang tidak mengenakan cadar itu dianggap
berdosa? Apakah cadar itu sama dengan hijab atau sebaliknya?

Kontra Narasi
Kata “hijab” berasal dari kata kerja “hajaba-yahjubu” yang maknanya
adalah menghalangi atau menutupi. Penjelasan awal yang diberikan oleh
Al-Maududi menunjukkan bahwa kata “hijab” tidak menunjuk kepada jenis
pakaian tertentu.59 Al-Maududi, di dalam bukunya al-Hijab, menunjuk jilbab
sebagai mode pergaulan muslimah yang sifatnya khas.60 Sampai ketika
membahas perihal niqab (penutup wajah), al-Maududi memasukkannya
sebagai bagian dari hijab. Ia menyimpulkan bahwa pemakaian niqa> b
merupakan penafsiran para sahabat Nabi terhadap makna jilbab yang
dimaksud di dalam al-Quran (surah al-Ahza>b ayat 59).61 Simpulan al-
Maududi tersebut tidak bisa dikatakan final. Jika itu dikatakan sebagai
simpulan akhir yang kemudian menjadi hukum qat}’i (pasti), kenapa para
ulama Mazhab seperti Malik, Abu Hanifah dan Ahmad menyimpulkan
kebolehan bagi perempuan membuka wajahnya ketika melaksanakan
ibadah haji?62

Di dalam al-Quran, kata “hijab” disebut sebanyak delapan kali. Makna hijab
yang disebut itu mencakup: 1. Batas di antara dua kelompok; 2. Batas di
antara hamba dengan Tuhannya; 3. Batas di antara siang dan malam; dan
4. Batas interaksi di antara wanita dengan lingkungan di luar anggota

59 Lihat Abu al-A’la> al-Maududi, al-Hija>b dan Abdul Aziz bin Marzuq al-Tharifi, al-Hija>b fi
al-Syar’i wa al-Fithrati bayna ad-Dali>l wa al-Qauli ad-Dakhi>l.
60 Abu al-A’la> al-Maududi, al-Hija>b, (Damaskus: Dar ul-Fikr, 1964), hal. 280-312
61 Ibid., hal. 302
62 Abdul Aziz bin Marzuq al-Tharifi, al-Hija>b fi al-Syar’i wa al-Fithrati bayna ad-Dalil> wa al-Qauli
ad-Dakhi>l, (Jeddah: Darul Minhaj, 2015), hal. 99-100

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 95


keluarganya. Ini bisa dijumpai di dalam QS al-‘Ara>f (7): 46, QS al-Ahza>b
(33):53, QS Shod (38):32, QS Fusshilat (41):5, QS as-Syu>ra (42):51, QS al-
Isra' (17):45, QS Maryam (19):17. Pemahaman terhadap penggunaan kata
“hijab” di dalam al-Quran ini dianggap penting, karena akan menentukan
pemahaman selanjutnya terhadap makna “hijab” dalam kaitannya dengan
interaksi di antara sesama manusia, khususnya di antara pria dan wanita.

Dalam maknanya sebagai batas interaksi di antara wanita dengan lingkungan


di luar anggota keluarganya, makna hijab ini bisa dilihat di dalam QS Maryam
(19):17 dan QS al-Ahza>b (33):53. Kedua ayat ini berbicara tentang etika
yang diterapkan oleh keluarga para nabi, yaitu Maryam ibu dari Nabi Isa
a.s. dan istri-istri Nabi Muhammad Saw. Di dalam QS Maryam (19):17
disebut bahwa Maryam membatasi pergaulannya dengan lingkungan luar,
dan hanya berinteraksi dengan keluarganya. Pembatasan pergaulan oleh
Maryam itu, menurut Imam al-Qurthubi dikarenakan oleh dua hal; pertama,
karena Maryam mengurusi rumah ibadah; dan kedua, karena Maryam
dalam keadaan haid.63 Sedangkan di dalam QS al-Ahza>b (33):53, kata “hijab”
digunakan untuk menjelaskan batasan interaksi di antara isteri-isteri Nabi
Muhammad dengan laki-laki selain anggota keluarganya.

Apakah kemudian makna “hijab” sebagaimana disebut di dalam dua surah


di atas (Maryam dan al-Ahza>b) menunjukkan makna pakaian sebagaimana
dimaksud oleh al-Maudu>di yaitu niqab (cadar)?

Untuk mengkonfirmasi simpulan al-Maududi itu, kiranya perlu kita baca


kembali surah al-Ahza>b ayat 59, yang menjelaskan pakaian, yang seharusnya
dikenakan oleh muslimah:

‫ني َعلَْي ِه َّن ِمن‬ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫ك وبـنَات‬ ِ


َ ‫ني يُ ْدن‬
َ ‫ك َون َساء الْ ُم ْؤمن‬ َ َ َ ‫َّب قُل ِّل َْزَواج‬ُّ ِ‫يَا أَيـَُّها الن‬
‫يما‬ ‫ح‬ِ‫ك أ َْد ٰن أَن يـعرفْن فَ َل يـ ْؤ َذين قلى وَكا َن اللَّه َغ ُفورا َّر‬ِ‫ج َلبِيبِ ِه َّن ج َٰذل‬
ً ً ُ َ َ ْ ُ َ َ ُْ َ َ َ
63 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Ja>mi’ li ahka>mi ‘l-Qur’a>n,
(Beirut: Dar ul-Fikr, 2008), Jilid VI, hal. 13. Pendapat ini juga diikuti oleh M. Quraish Shihab
di dalam Tafsir al-Mishbah. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Quran, cetakan VII, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007), volume 8, hal.
164

96 PEDOMAN DAKWAH
“Wahai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha
penyayang.”

Apakah makna jilbab sebagaimana disebut di dalam ayat di atas? Di dalam


Kamus Al-Mu’jam al-Wasith, kata jilbab digambarkan sebagai

‫الثوب املشتمل على اجلسد كله‬

“Pakaian yang menutupi seluruh badan”64

Terkait dengan tafsir terhadap makna jilbab itu, Muhammad Quraish Shihab,
mencatat beragam pandangan yang diberikan oleh beberapa ulama sebagai
berikut:65

1. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat tentang jilbab. Di antara


pendapat itu adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala
wanita atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya,
atau semua pakaian yang menutupi wanita.
2. Thabathaba’i memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang menutupi
seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita;
3. Ibnu Asyur memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil
dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini
diletakkan wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu
melalui pipi hingga ke seluruh baju dan belakangnya.

Dengan membandingkan antara pendapat al-Maududi dengan beberapa


ulama, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di atas, diperoleh simpulan
bahwa makna hijab yang menunjuk kepada bentuk pakaian bagi muslimah

64 Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam ul-Wasith (Kairo: Dar ul-Syuruq, 2011), hal.
133
65 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: ..., volume 11, hal. 320

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 97


itu, sangatlah beragam. Dari sini, kita tidak dapat memastikan bahwa
hijab itu adalah niqab (cadar) sebagaimana yang diyakini oleh al-Maududi.
Penjelasan al-Maududi terhadap surah al-Ahza>b ayat 59 di atas, tidak
menyajikan setting budaya masyarakat Arab, atau Madinah, khususnya,
ketika ayat itu diturunkan. Al-Maududi, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, hanya menampilkan penjelasan bahwa para sahabat
menafsirkan kata “jilbab” itu adalah niqab (cadar). Sampai di situ, menurut
al-Maududi, penjelasan tersebut sudah dianggap final.

Ini berbeda dengan Quraish Shihab yang menjelaskan setting budaya


masyarakat secara jelas ketika surah al-Ahza>b ayat 59 itu diturunkan. Di
dalam “Wawasan Al-Quran” Quraish menjelaskan sebagai berikut:66

Wanita-wanita Muslim pada awal masa Islam di Madinah, memakai pakaian


yang sama dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian yang
dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya. Ini termasuk wanita-wanita
tunasusila atau hamba sahaya. Mereka secara umum memakai baju dan
kerudung bahkan jilbab, tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat.
Tidak jarang mereka memakai kerudung, tetapi ujungnya disandangkan
ke belakang sehingga telinga, leher, dan sebagian dada mereka terbuka.
Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita Muslimah.
Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya terhadap Mukminah,
mereka berkata, “Kami kira mereka hamba sahaya.” Ini tentu disebabkan
karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat
dengan jelas. Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah
kepada Nabi yang menyatakan:

‫ني َعلَْي ِه َّن ِم ْن‬ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫ك وبـنَات‬ ِ ِ


َ ‫ني يُ ْدن‬
َ ‫ك َون َساء الْ ُم ْؤمن‬ َ َ َ ‫َّب قُ ْل ل َْزَواج‬ ُّ ِ‫يَا أَيـَُّها الن‬
‫يما‬ ِ‫ك أ َْد ٰن أَ ْن يـعرفْن فَ َل يـ ْؤ َذين قلى وَكا َن اللَّه َغ ُفورا ر‬
‫ح‬ ِ‫ج َلبِيبِ ِه َّن ج َٰذل‬
ً َ ً ُ َ َ ْ ُ َ َ ُْ َ َ َ

66 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
cetakan I, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 171-172

98 PEDOMAN DAKWAH
“Wahai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha
penyayang” (QS al-Ahzab [33]: 59)

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan:

Jilbab adalah baju kurung yang longgar yang dilengkapi dengan kerudung
penutup kepala,Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak
semula telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum menghalangi
gangguan serta belum menampakkan identitas Muslimah. Nah, di sinilah
al-Quran memberi tuntunan itu.67

Tentang bagaimana bentuk jilbab yang dimaksud di dalam surah al-Ahza>b


ayat 59 di atas, Quraish Shihab mengutip pendapat Syekh Muhammad bin
Thahir Asyur, penulis kitab Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, sebagai berikut:

ِ ‫ف أَحو ِال الن‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ْ ‫س‬


ُ ‫ِّساء تُبِيـْنـَُها الْ َع َاد‬
‫ات‬ َ َ ْ ‫الَالَبْيب مُْتَل َفةٌ با ْخت َل‬ ِ ‫ات لُْب‬
ُ َ‫َو َهْيئ‬
ِ
َ ‫ص ْوُد ُه َو َما َد َّل َعلَْي ِه قـَْولُهُ تـََع َال ٰذل‬
‫ك اَ ْد ٰن أَ ْن يـُْعَرفْ َن فَ َل يـُْؤ َذيْ َن‬ ُ ‫َوالْ َم ُق‬
Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita
dan adat mereka. Tetapi tujuan dari perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu
(al-Ahza>b ayat 59), “Agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita muslim yang
baik) sehingga tidak diganggu.”68

Dari penjelasan yang disampaikan di atas, dapat ditarik simpulan sebagai


berikut:

67 Ibid., hal. 172


68 Muhammad bin Thahir Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar ul-Syuhnun, tt). Jilid 9, hal.
107, juga dikutip oleh M. Quraish di dalam Wawasan Al-Quran, lihat, M. Quraish Shihab,
Wawasan Al-Quran..., hal. 179

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 99


1. Cadar bukanlah tafsir tunggal atas makna hijab sebagaimana dimaksud
di dalam surah al-Ahza>b ayat 59;
2. Pakaian muslimah sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab adalah
pakaian yang berfungsi sebagai penutup aurat, pelindung tubuh,
penunjuk identitas, dan sebagai penjaga martabat dari orang yang
memakainya;
3. Aplikasi jilbab sebagai pakaian muslimah, sifatnya beragam sesuai
dengan keadaan wanita dan adat masyarakat setempat.

100 PEDOMAN DAKWAH


Beda Pandangan, Beda Akidah?

Istilah “beda pandangan beda akidah” ini sangat populer di kalangan radikal.
Sebagian besar ustaz yang mengampu kajian-kajian keagamaan di kalangan
ini menanamkan doktrin bahwa berbeda pandangan dalam masalah agama
menunjukkan perbedaan di dalam pemahaman akidah. Kalangan awam
kemudian menyederhanakan doktrin itu dengan bahasa “beda pandangan
beda akidah”.

Doktrin tersebut memposisikan bahwa kelompok lain di luar kelompok


mereka bukanlah kelompok yang benar. Sehingga dengan begitu, kendatipun
pandangan-pandangan yang disampaikan oleh pihak lain itu benar secara
ilmiah, tetap tidak akan memberi manfaat karena bukan disampaikan dari
kalangan sendiri. Sikap seperti ini juga ditemui pada beberapa oknum
tertentu dari kalangan partai Islam.

Doktrin “beda pandangan beda akidah” merupakan implementasi teknis


dari konsep al-Wala>’ wa al-Bara>, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Doktrin ini yang kemudian menjadi alasan eksklusivisme yang umum
dijumpai di kalangan radikal. Agaknya penanaman doktrin “beda pandangan
beda akidah”—dan juga al-Wala>’ wa al-Bara>—dimaksudkan untuk menjaga
kohesivitas dan loyalitas anggota kelompok terhadap doktrin dan ajaran.
Penanaman itu juga dimaksudkan membendung arus informasi yang
semakin liar di era media sosial seperti sekarang ini.

Sikap ekstrem semacam ini di kemudian hari justru menimbulkan fenomena


aneh. Masing-masing kelompok kecil yang militan ini saling mengkafirkan,
bahkan, dalam beberapa aspek politis mereka saling membunuh.
Perseteruan antara gerakan Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan
pecahannya Abu Sayyaf yang lebih militan dan brutal, membuat mereka
saling membunuh satu sama lain. Kelompok ini pada mulanya juga dibina
dan dilatih oleh Al-Jamaah Al-Islamiyah, cabang Al-Qaeda di Asia Tenggara
yang digerakkan oleh veteran perang Afganistan.69

69 Salah seorang veteran Perang Afganistan yang kemudian menjadi penggerak organisasi
ekstrem Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, di kemudian hari memilih bertobat dari jalan

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 101


Sungguhpun kelompok radikal ini memiliki beragam varian organisasi,
namun ada empat cirikhas yang melekat pada kelompok ini. Pertama,
fanatik terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola
pikir yang keras di antara mereka tak jarang berujung pada pemaksaan
pemahamannya sehingga berujung pada kekerasan pula. Kedua, memahami
teks agama secara harfiyah, misalnya, dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat mengenai ayat perang tanpa mengindahkan tujuan dan
sebab turunnya ayat tersebut. Ketiga, mereka biasanya berlebih-lebihan
dalam pengharaman. Dalam perspektif mereka, segala sesuatu yang tidak
berlandaskan syariah adalah haram. Keempat, mereka sangat mudah sekali
mengkafirkan orang lain atau pemerintah. Faktor terakhir inilah yang
membahayakan, sebab poin ini dijadikan alasan dan legitimasi pengeboman
yang terjadi di Indonesia. Jika seseorang telah (dianggap) kafir, maka
kekerasan atau pertumpahan darah, adalah “diperbolehkan”.

Poin-poin di atas, secara sekilas bisa mengingatkan kita pada ekstremis


Khawarij yang hidup beberapa abad silam. Secara organ gerakan, kelompok
ini telah punah, tetapi secara pemikiran dan ideologi, Neo-Khawarij dengan
pola gerakan yang lebih canggih telah menjadi orok yang membahayakan
Islam sendiri.

Kontra Narasi
Bagaimanakah perbedaan pendapat itu dilihat menurut ajaran Islam?
Sebelum sampai kepada penjelasan yang dimaksud, terlebih dahulu perlu
disampaikan di sini bahwa perbedaan pendapat merupakan sesuatu
yang sifatnya niscaya di dalam kehidupan manusia. Perbedaan pendapat
merupakan fenomena yang sifatnya alami di dalam kehidupan manusia.

kekerasan ini. Pengakuannya tertuang dalam karyanya, Membongkar Jamaah Islamiyah:


Pengakuan Mantan Anggota JI (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005). Sedangkan buku
lainnya, Kutemukan Makna Jihad: Kisah tentang Nasir Abas, Iwan Setiawan dan Dani Dwi
Permana (Jakarta: Lazuardi Birru, 2011), dikemas dalam bentuk novel grafis. Kedua buku
ini bagus untuk digunakan sebagai alat bantu mengurai pola rekrutmen, indoktrinasi, dan
sistem di dalam organisasi ekstrem.

102 PEDOMAN DAKWAH


Perbedaan asal usul dan latar belakang merupakan salah satu di antara
sebab munculnya perbedaan pendapat, selain perbedaan kepentingan atau
perbedaan selera (preferensi).

Perbedaan pendapat merupakan konsekuensi yang dialami oleh setiap


orang di dalam kehidupannya. Perbedaan pendapat itu menghinggapi
siapapun bahkan mereka yang berasal dari kedua orang tua yang sama,
pasti akan mengalami perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat itu—sebagaimana juga perbedaan-perbedaan


lainnya—dijadikan oleh Allah sebagaimana sarana untuk belajar. al-Quran
membahasakan perbedaan itu dengan terminologi (istilah) “Li ta’a>rafu>”
(saling mengenal), sebagaimana disebut di dalam surah al-Hujurat ayat13:

‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقٰن ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنـْثٰى َو َج َع ْلٰن ُك ْم ُشعُ ْوبًا َوقـَبَائِ َل‬
ُ ‫ٰيَا أَيـَُّها الن‬
‫اهلل اَتـْٰقى ُك ْم اِ َّن اهللَ َعلِْي ٌم َخبِيـٌْر‬
ِ ‫لِ�تعار�فوا اِ َّن اَ ْكرم ُكم ِعْن َد‬
ْ ََ ُْ َ ََ
“Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kalian dari (jenis) laki-laki dan
perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kalian saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah orang yang paling takwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti.”

Dengan saling belajar itu, manusia dapat membentuk peradaban. Proses


itu terus berlangsung sampai akhirnya terbentuk peradaban modern
sebagaimana yang kita lihat saat ini.

Di dalam ajaran Islam, perbedaan pendapat dilihat sebagai fenomena yang


sifatnya alamiah. Fenomena perbedaan pendapat itu tidak saja berkisar
pada persoalan sikap, tapi juga agama dan keyakinan. Di dalam surah Yunus
ayat 99, disebut bahwa perbedaan pendapat mengenai agama tidak boleh
dijadikan sebagai alasan untuk saling memusuhi dan saling memaksakan
keyakinan masing-masing:

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 103


َِ ‫ض ُكلُّهم‬ ٰ َ ُّ‫ولَو َشاء رب‬
‫َّاس َح َّت‬ ِ َ ْ‫جيـًْعا اَفَاَن‬
َ ‫ت تُ ْكرهُ الن‬ ْ ُ ِ ‫ك َل َم َن َم ْن ِف اْأل َْر‬ ََ َْ
‫ي‬ ِِ
َ ْ ‫يَ ُك ْونـُْوا ُم ْؤمن‬
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di
bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka
menjadi orang-orang yang beriman”

Dalam ranah ajaran, perbedaan pendapat itu banyak dijumpai. Syekh


Muhammad Awwamah70 menulis bahwa para ulama baik dari kalangan
sahabat maupun kalangan tabiin senantiasa terlibat di dalam perbedaan
pandangan dan pemikiran di dalam satu masalah yang dibahas secara
ilmiah. 71 Para ulama itu sepakat untuk bersikap toleran terhadap perbedaan
pendapat di antara mereka, sepanjang tidak keluar dari pokok-pokok ajaran
Islam.

Dalam etika akademis, berbeda pendapat adalah sesuatu yang lumrah.


Bahkan, empat pemuka mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan matarantai guru dan
murid. Hubungan emosional, intelektual, dan spiritual ini tidak membuat
mereka canggung dalam berbeda pendapat. Bahkan mereka saling
menghormati. Imam Syafi’i, misalnya, memiliki banyak perbedaan pendapat
dengan gurunya, Imam Malik. Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal yang
memiliki banyak perbedaan sudut pandang fikih dengan gurunya, Imam
Syafi’i.

Justru perbedaan pendapat inilah yang membuat keilmuan Islam semakin


menarik dan dinamis. Semakin banyak corak pemikiran tidak membuat

70 Syekh Muhammad Awwamah adalah seorang ulama hadis asal Suriah yang kemudian
bermukim di Riyadh Saudi Arabia. Di antara karyanya yang populer adalah Adabul Ikhtilaf
dan Atsarul Hadis as-Syari>f fi Ikhtila>fi il-Fuqaha> wa al-Muhadditsi>n (Pengaruh Hadis Nabi
Muhammad di dalam Perbedaan Pendapat di antara Para Ahli Fikih dan Hadis).
71 Muhammad Awwamah, Ada> b al-Ikhtila> f fi Masa> i l al-Ilm wa ad-Din, (Madinah al-
Munawwarah: Dar al-Yusr, 2007), hal. 19

104 PEDOMAN DAKWAH


Islam terpuruk. Justru sebaliknya. Kajian keilmuan Islam semakin variatif.
Di dalam kitab klasik, misalnya, ketika penulisnya menyebutkan sebuah
permasalahan, biasanya juga sekaligus menyertakan jawaban dari beberapa
> i aqwa>lun (di dalam hal ini terdapat beberapa pendapat).
ulama. Istilahnya, fih
Hal ini menunjukkan apabila perbedaan pendapat di kalangan ulama tidak
sampai membuat mereka saling memusuhi, justru mereka saling memahami.

Perbedaan pendapat tidak saja dijumpai di kalangan ulama, apalagi di


kalangan kaum awam. Di dalam surah al-Anbiya ayat 78-79, dikisahkan
perbedaan pendapat di antara dua orang Nabi, di dalam menghukumi
sengketa yang terjadi di antara umat:

‫ت فِ ِيه َغنَ ُم الْ َق ْوِم َوُكنَّا‬ ِ ْ ‫ان ِف‬


ْ ‫الَْرث إِ ْذ نـََف َش‬ ِ ‫وداوود وسلَيما َن إِ ْذ َي ُكم‬
َ ْ َْ ُ َ َ ُ ََ
‫ين‬ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫لُ ْكمه ْم َشاهد‬
َ َ‫الِب‬ ِ ‫فـ َف َّهمنَاها سلَيما َن ج وُك ًّل آتـيـنَا ح ْكما و‬
‫ج‬
‫ال‬ ْ ‫ود‬ ‫او‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ن‬
َ‫ر‬ ‫خ‬
َّ ‫س‬‫و‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬
ْ
َ ُ َ َ َ ْ َ َ ً َ ً ُ َْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ‫ع‬
‫ني‬ ِ‫اعل‬
ِ َ‫يسبِّحن والطَّيـر ج وُكنَّا ف‬
َ َ َْ َ َ ْ َ ُ
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan
keputusan mengenai ladang, karena ladang-ladang itu dirusak (oleh) kambing-
kambing milik kaumnya, dan Kami menyaksikan (keputusan) yang diberikan
oleh mereka.”

“Maka Kami memberikan kepada Sulaiman (pemahaman hukum yang lebih


tepat) dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan Kami
tundukkan gunung-gunung dan burung-burung semuanya bertasbih bersama
Dawud dan Kamilah yang melakukannya.”

Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa perbedaan


pendapat di antara kedua orang nabi, yang kebetulan bapak dan anak
itu, adalah di dalam penyelesaian sengketa di antara pemilik kebun dan
peternak kambing. Pemilik kebun menggugat agar peternak kambing itu

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 105


membayar semua kerugian atas tanaman yang dimakan kambing milik
peternak. Gugatan itu dibantah oleh peternak dan ia tidak mau mengganti
kerugian pemilik kebun. Keduanya pun mendatangi Nabi Daud dan Nabi
Sulaiman untuk mendapatkan keadilan. Nabi Daud berpendapat bahwa
peternak kambing harus menyerahkan kambingnya kepada pemilik kebun
sebagai ganti atas kerugian tersebut. Namun, keputusan Nabi Daud itu,
menurut peternak kambing dirasakan tidak adil. Karena jika ia menyerahkan
kambing-kambingnya kepada peternak, ia akan kehilangan penghasilan
utamanya sebagai peternak.

Sedangkan Nabi Sulaiman berpendapat bahwa peternak tidak harus


kehilangan penghasilannya dengan membayar kerugian pemilik kebun.
Pemilik kebun cukup menahan kambing-kambing milik peternak itu sebagai
jaminan. Adapun peternak itu diharuskan untuk memperbaiki kebun yang
dirusak kambing-kambingnya. Selama masa tunggu, sampai kebun itu
panen, pemilik kebun dapat memanfaatkan susu dan bulu dari kambing-
kambing tersebut. Barulah begitu tiba masa panen, pemilik kebun harus
menyerahkan kembali kambing-kambing tersebut kepada peternak.72

Jika dikatakan bahwa perbedaan pendapat dapat dihindari dengan


kembali kepada al-Quran dan hadis, perlu juga untuk disampaikan di sini
bahwa para sahabat Nabi pun berbeda pendapat di dalam memahami
hadis Nabi Muhammad. Ibnu Katsir mencantumkan riwayat al-Bukhari
tentang perbedaan pendapat para sahabat di dalam memahami perintah
Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan bahwa pada Perang Ahzab, Nabi
memerintahkan para sahabat untuk menyerbu perkampungan Bani
Quraidzah. Di dalam perintahnya itu beliau bersabda:

‫صَر إَِّل ِف بَِن قـَُريْظَة‬


ْ ‫َح ٌد اَلْ َع‬
َ‫يأ‬َّ َ ِّ‫صل‬
َ ُ‫َلي‬
“Janganlah ada siapapun yang melaksanakan salat Asar kecuali setelah berada
di perkampungan Bani Quraizhah.”

72 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Ja>mi’ li ahka>mi ‘l-Qur’a>n...,
Jilid VI, hal. 149. Lihat pula Abu al-Fida al-Hafizh Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran
al-Azhim. Jilid III, hal. 228.

106 PEDOMAN DAKWAH


Begitu di tengah perjalanan, tiba waktu untuk melaksanakan salat Asar.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa jangan ada yang melakukan salat
Asar kecuali jika tiba di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana
perintah Nabi. Namun, sebagian lagi berpendapat bahwa mereka tidak akan
mendapatkan waktu Asar jika meneruskan perjalanan ke perkampungan
Bani Quraizhah. Maka, di antara para sahabat itu ada yang melaksanakan
salat Asar di tengah perjalanan. Dan sebagian lagi melaksanakan salat Asar
di perkampungan Bani Quraizhah ketika matahari telah tenggelam.73

Bagaimana jika kisah di atas dibandingkan dengan fenomena yang terjadi


pada masa kini. Apabila pada masa Nabi masih hidup saja, sebagian sahabat
berbeda pendapat di dalam memahami ucapan Nabi yang mereka dengar
secara langsung, tentu perbedaan pendapat itu tidak akan terhindarkan
jika kita memahami hadis Nabi yang ditulis dan diberi penjelasan yang
berbeda-beda oleh para ulama.

Memposisikan perbedaan pendapat sama dengan perbedaan dalam


masalah akidah, jelas tidak mencerminkan keluhuran budi dan kedalaman
pengetahuan. Perbedaan pendapat tetap dibutuhkan agar setiap orang
dapat memahami satu masalah dari berbagai sudut pandang. Di dalam
al-Quran disebut bahwa pendapat terbaik itu dapat diketahui setelah
mendengar berbagai pendapat:

‫صلى‬
‫ين َه َد ُاه ُم اللَّ ُه‬ ِ َّ‫الَّ ِذين يست ِمعو َن الْ َقوَل فـيتَّبِعو َن أَحسنه ج أُوٰلَئِك ال‬
‫ذ‬
َ َ ُ َ َ ْ ُ ََ ْ ُ َْ َ َ
ِ ‫ك ُهم أُولُو ْالَلْب‬ ِٰ
‫اب‬ َ ْ َ ‫َوأُولَئ‬
“(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti apa
yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS
az-Zumar [39]:18)

73 Abu al-Fida al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bida>yah wa al-Niha>yah, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004),
Juz IV, hal. 120-121

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 107


Hukum Hanya Milik Allah

Jargon “hukum hanya milik Allah” sering disampaikan oleh Abu Bakar
Ba’asyir sebelum Ia dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam setiap
ceramahnya, Abu Bakar Ba’asyir mengajak umat Islam Indonesia untuk
tidak mentaati hukum yang dibuat oleh manusia. Ia berdalih bahwa
manusia diliputi oleh berbagai kelemahan, bagaimana mungkin dapat
mengatur dirinya sendiri. Sedangkan idealnya hukum itu dibuat oleh Yang
Menciptakan manusia yaitu Allah SWT. Cara pandang Abu Bakar Ba’asyir itu
disepakati oleh Abu Jibril. Kedua tokoh gerakan Islam radikal Indonesia ini
berpendapat bahwa jargon “hukum hanya milik Allah” mempunyai landasan
teologis (akidah) yang sangat kuat, yaitu surah al-Maidah ayat 44:

‫ك ُه ُم الْ َكافُِرو َن‬


َ ِ‫َوَم ْن َلْ َْي ُك ْم ِبَا أَنـَْزَل اللَّهُ فَأُوٰلَئ‬
“Siapa yang tidak berhukum kepada hukum yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang kafir.”

Ba’asyir sebagaimana ditulis di dalam bukunya “Keindahan Syari’ah dan


Keagungan al-Quran” menegaskan bahwa dihukumi kafir, orang yang tidak
mau berhukum kepada hukum Allah. Ia juga mengajak para pemuda Islam
untuk tidak melanjutkan pendidikan di fakultas-fakultas hukum karena
itu artinya mempelajari hukum kafir yang tidak diridhai Allah.74 Menurut
Ba’asyir, pandangan tentang kafirnya orang yang tunduk kepada hukum
Allah merupakan ijmak dari para ulama. Ia merujuk pandangan Ibnu Katsir,
sebagaimana ditulis di dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah, yang
mengomentari sikap bangsa Tatar yang menjadikan kitab al-Yasiq sebagai
kitab undang-undang, sebagai sikap kufur terhadap hukum Allah.75

Pandangan Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan orang-orang yang satu
pemikiran dengan mereka, tampak sejalan dengan pandangan kelompok

74 Abu Bakar Ba’asyir dan Abu Muhammad Jibriel AR, Keindahan Syari’ah dan Keagungan
al-Quran, (Tangerang: Arrahmah Media, 2007), hal. 15
75 Ibid., hal. 25

108 PEDOMAN DAKWAH


Khawarij pada akhir abad ke-1 Hijriyyah. Berdasarkan catatan Quraish
Shihab, kelompok Khawarij selalu meneriakkan jargon “menetapkan hukum
hanyalah hak Allah”. Jargon itu mereka kutip dari Surah al-An’am/6: ayat 57

‫الُ ْك ُم إَِّل لِٰلّ ِه‬


ْ ‫إِ ِن‬

“Menetapkan hukum hanyalah milik Allah.”

Dari aspek lahiriah, jargon itu benar tapi dari aspek substansi terdapat
masalah. Quraish Shihab mengutip bantahan Khalifah Ali bin Abu Thalib
terhadap jargon, yang mengatakan:

ِ ‫َكلِمةُ ح ٍّق أُِري َد ِبا ب‬


‫اط ٌل‬َ َ ْ َ َ
“Kalimat yang benar, tapi yang dimaksudkan bathil (salah).”76

Kontra Narasi
Pernyataan bahwa “hukum hanya milik Allah” sering disalahpahami
oleh sebagian umat Islam, sehingga akhirnya pernyataan itu dijadikan
sebagai argumentasi untuk menolak aturan hukum positif. Bahkan, pada
level tertentu, pernyataan itu dijadikan sebagai alat kampanye untuk
memberontak kepada pemerintahan yang sah.

Umat Islam yang kebanyakan tidak memahami makna syariat secara


mendalam, memang mudah diprovokasi dengan jargon tersebut. Mereka
menganggap bahwa al-Quran dan juga sunnah Nabi Muhammad, sama
kedudukannya dengan undang-undang. Padahal, jika dilihat dari posisinya
kedua sumber ajaran Islam itu berada di atas undang-undang.

Al-Quran—dan begitu juga sunnah—memang memuat peraturan-peraturan


yang jelas maknanya, dalam arti bisa langsung dilaksanakan. Tapi, tidak bisa

76 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
cetakan I, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 418

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 109


juga dipungkiri bahwa ada kandungan ayat di dalam al-Quran—dan bahkan
juga sunnah—yang memuat makna musytarak (makna yang majemuk). Ayat-
ayat al-Quran atau sunnah yang maknanya musytarak itu perlu dijelaskan
dengan metodologi keilmuan yang telah disepakati para ulama.

Ditambah lagi, tidak semua ayat al-Quran memuat persoalan-persoalan


manusia secara detail. Di dalam al-Quran, tidak dijumpai ayat tentang
perdagangan manusia (traficking) yang secara teknis berbeda dengan praktik
perbudakan pada masa Rasulullah hidup. Juga tidak dijumpai ayat yang
berbicara tentang bayi atau surrogate mother (sewa rahim). Hal yang sama
juga tidak dijumpai di dalam sunnah.

Dengan tidak dijumpainya persoalan-persoalan kontemporer yang diatur


di dalam al-Quran dan sunnah itu, Rasulullah mengijinkan umatnya untuk
melakukan ijtihad. Itu yang dipahami dari dialog di antara Rasulullah dengan
Muadz bin Jabal sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya.

Pernyataan tentang “hukum hanya milik Allah” sering kali dipergunakan


untuk mempertentangkan Islam dengan pandangan hukum Barat.
Abu Bakar Ba’asyir dan pihak-pihak yang satu pemikiran dengannya
seakan memposisikan hukum Barat sebagai agama. Ba’asyir bersama
pendukungnya, melihat hukum Barat yang berlaku di Indonesia seperti
ketika diterapkan pada masa kolonial Belanda.

Barangkali mereka lupa bahwa kondisi hukum di Indonesia telah banyak


berubah sejak gagasan pembaharuan hukum digulirkan oleh Menteri
Kehakiman Ali Said pada tahun 1970. Di dalam seminar yang diadakan
oleh ISAHI (Ikatan Sarjana Hukum Indonesia), Menteri Ali Said mengatakan
bahwa pilar hukum nasional ada tiga yaitu hukum Barat, hukum Islam, dan
hukum Adat.

Sebagai tindak lanjut dari penjelasan Ali Said tersebut, pada tahun 1974,
hukum Islam tentang perkawinan berhasil diundang-undangkan di dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Tidak sampai di situ, pada tahun
1989, hukum Islam kembali mendapat penguatan dengan ditetapkannya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah

110 PEDOMAN DAKWAH


itu, berbagai materi hukum Islam dimasukkan ke dalam komponen hukum
nasional, dengan diundangundangkannya zakat, wakaf, haji, bank syariah
dan masalah pornoaksi serta potanpa komarnografi.

Keberadaan undang-undang yang mengatur pelaksanaan ibadah—dan juga


muamalah—itu menegaskan adanya akomodasi terhadap aturan-aturan
agama Islam di dalam sistem hukum nasional yang berafiliasi kepada hukum
Barat. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah keberadaan aturan-aturan
yang bertalian dengan agama itu, masih dianggap sebagai produk hukum
kafir yang tidak boleh ditaati? Dalam kenyataannya, para pendukung
Ba’asyir mendapatkan keuntungan dari penerapan undang-undang itu.
Setidaknya, transaksi keuangan yang mereka lakukan, masih terakomodasi
dengan undang-undang perbankan syariah.

Pandangan yang mengkonfrontasi antara hukum Islam dengan hukum Barat,


menggambarkan ketidakjelasan di dalam memposisikan syariat, fikih, dan
hukum secara tepat. Mohammad Daud Ali (wafat 1998)77 memposisikan
syariat sebagai norma yang menjadi pedoman bagi umat Islam di dalam
menjalani kehidupannya. Ia membedakan syariat dengan fikih. Di dalam
penjelasannya, Daud Ali menguraikan sebagai berikut:

Sebagaimana halnya dengan lapangan akidah tersebut di atas, di lapangan


syariat, baik ibadah maupun muamalah ini pun berkembang satu ilmu yang
khusus memahami, mendalami dan merinci syariah agar dapat menjadi
pegangan (norma) hidup manusia muslim baik sebagai manusia pribadi
maupun sebagai anggota kehidupan sosial. Ilmu tersebut dinamakan
ilmu fikih (ajaran Islam) yaitu ilmu khusus memahami, mendalami syariat
untuk dapat dirumuskan menjadi kaidah konkret yang dapat dilaksanakan
dalam masyarakat. Dan sebagai hasil pemikiran manusia, hasil pemahaman
tentang syariat yang disebut fikih atau hukum fikih itu, dapat berbeda di
suatu tempat dengan di tempat yang lain.78

77 Mohammad Daud Ali adalah guru besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Ia adalah penerus dari guru besar Hukum Islam sebelumnya Prof. Hazairin
yang dikenal sebagai “pembela” Hukum Islam di jalur hukum formal. Mohammad Daud
Ali wafat pada tahun 1998.
78 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indo-
nesia, edisi keempat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 33

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 111


Dari penjelasan yang disampaikan di atas, dapat dipahami bahwa syariat
merupakan nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Syariat baru dapat diterapkan
setelah diolah melalui fikih dengan metodologi yang berbeda-beda di antara
para ahli.

Maka dari itu, dapat dikatakan di sini bahwa usaha untuk memasukkan
nilai-nilai syariat ke dalam sistem hukum nasional merupakan ikhtiar
untuk menjadikan syariat sebagai nilai-nilai yang dapat berlaku konkret di
masyarakat. Ikhtiar tersebut, dalam kenyataannya, terbukti efektif dengan
memanfaatkan perangkat hukum yang berasal dari Barat. Terkait dengan
fakta itu, dapat pula disimpulkan di sini bahwa syariat itu bersifat tetap,
namun fikih juga tidak menutup terhadap kompromi dan perubahan.

Hal lain yang juga harus diklarifikasi terkait dengan pernyataan bahwa
“hukum hanya milik Allah” dan siapa yang tidak berhukum dengan aturan
Allah dianggap kafir adalah bahwa makna kafir sebagaimana dimaksud
dengan surah al-Maidah ayat 44 itu, bukanlah kafir dalam arti keluar dari
agama. Para ulama sangat berhati-hati di dalam memberi tafsir terhadap
kata “kafir” yang dihubungkan dengan pelaksanaan syariat tersebut. Ini bisa
kita baca dari catatan Ibnu Katsir tentang pendapat para ulama (sahabat dan
tabiin) yang memberi komentar terhadap makna kata “kafir” sebagaimana
tertulis di dalam ayat al-Quran itu:79

1. Abdullah bin Abbas r.a.

‫س بِالْ ُك ْف ِر الّ ِذي تَ ْذ َهبـُْو َن إِلَْي ِه‬


َ ‫لَْي‬
“(kufur yang dimaksud di dalam ayat itu) bukanlah kufur, yang kalian beralih
(keyakinan) kepadanya.”

2. Ibnu Thawus

‫س بِ ُك ْف ٍر يـَنـُْق ُل َع ِن املِلَّ ِة‬


َ ‫لَْي‬
“Makna kufur di dalam ayat itu, bukanlah kufur keluar dari agama (Islam).”

79 Abu al-Fida Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Az}im, (Beirut: Darul Fikr, 1994),
Jilid ke-2, hal. 77

112 PEDOMAN DAKWAH


Pendapat-pendapat para ulama tersebut kiranya cukup untuk dijadikan
sebagai argumen yang menolak pandangan Abu Bakar Ba’asyir dan para
pendukungnya yang menganggap kafir—dalam makna keluar dari ajaran
Islam—orang yang tidak menerapkan hukum Islam.

Syekh Ramadan al-Buthy berpendapat bahwa kata “kafir” –dalam makna


keluar dari Islam—di dalam surah al-Maidah ayat 44 di atas dapat diterapkan
terhadap seorang muslim yang memang menolak dan mengingkari
keberadaan aturan syariat yang berlaku atas dirinya.80 Dari sini kemudian
muncul kembali pertanyaan, apakah para anggota parlemen yang telah
memperjuangkan masuknya nilai-nilai syariat ke dalam undang-undang,
merupakan orang-orang yang mengingkari atau menolak keberadaan
syariat?

Di Indonesia sendiri, orang-orang yang berpandangan seperti Abu Jibril dan


Abu Bakar Ba’asyir jumlahnya tidak banyak, tapi berisik dan teriakannya
tampak lantang. Di sisi lain, umat Islam yang memilih menerapkan syariat
Islam secara bertahap, memilih untuk lebih giat bekerja membumikan
syariat Islam dalam kemasan pendidikan, kesehatan, budaya, dan sosial
kemasyarakatan. Hal ini dilakukan oleh organisasi NU (Nahdlatul Ulama)
dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini menegakkan syariat Islam tidak
melalui jalur politik yang riskan dan rawan disalahgunakan, melainkan
memilih ladang pendidikan, kesehatan, dan sosial kemasyarakatan.

Berbagai rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan berbagai


upaya mendakwahkan Islam secara kultural telah membuat Islam di
Indonesia tampak unik. Islam tidak mendominasi perundang-undangan,
melainkan mengiringi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.

Perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan syariat Islam bisa


dilihat dari karakteristik kedua ormas terbesar di tanah air tersebut. Hal
ini bisa dilihat dari:

80 Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthy, Hakadza fal Nad’u> ila al-Islam, (Riyadh: Maktabah
al-Risalah), hal. 84

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 113


1. Kontribusi kedua ormas ini bersama ormas Islam lain dalam mendirikan
Republik Indonesia. NU, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam, misalnya,
mengirimkan delegasinya dalam merancang tata bangunan konstitusi
di Indonesia. Sehingga sampai hari ini mustahil ormas Islam ini akan
merobohkan NKRI lantas menggantinya dengan Da>rul Islam (negara
islam). Sebab, seorang “ibu” tidak mungkin membunuh “anaknya”.
2. Penerapan syariat Islam berjalan dengan bertahap dan dipayungi
konstitusi. Tidak semata-mata memperjuangkan hudud alias hukum
pidana, melainkan yang diperjuangkan adalah hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan, kesehatan, dan ksejahteraan masyarakat. Misalnya
UU Kesehatan, UU Sisdiknas, dan UU Zakat.
3. Perjuangan syariat Islam dilakukan melalui pendidikan dan pencerdasan
masyarakat. Dua aspek ini juga merupakan bagian dari penegakan
syariat Islam.
4. Dakwah Islam yang berjalan melalui tabligh, ta’lim, percetakan
buku-buku Islam, hingga pelatihan dari dan kaderisasi ulama adalah
merupakan bagian penting dari pembumian syariat Islam.

114 PEDOMAN DAKWAH


Penegakan Syariat Islam: Jihad?

Isu penegakkan syariat Islam ini ramai dibicarakan di kalangan Salafi Haraki
dan Hizbut Tahrir. Puncak dari pengembangan diskursus tentang syariat
Islam adalah munculnya gerakan KPPSI (Komite Persiapan Penegakkan
Syariat Islam) yang didirikan di Sulawesi Selatan pada tahun 2001 dan
munculnya Hizbut Tahrir Indonesia, yang untuk pertama kali mengadakan
konferensi secara besar-besaran di Jakarta pada tahun 2000. Perbincangan
tentang syariat Islam, juga sebenarnya cukup ramai di kalangan aktivis
Ikhwanul Muslimin, namun manuver mereka tidak dilakukan secara terbuka
sebagaimana dilakukan kalangan Salafi Haraki dan juga HTI.

Gerakan formalisasi syariat muncul pasca bubarnya rezim Orde Baru


yang dipimpin oleh Soeharto. Setelah Soeharto menyatakan berhenti
dari jabatan presiden, masyarakat menganggap bahwa rezim hukum pun
ikut berhenti. Karena itu, sebagian anggota masyarakat menganggap
bahwa telah terjadi vacuum of law (kekosongan hukum) setelah Soeharto
tidak lagi mengendalikan kekuasaan. Fenomena itu terjadi di sebagian
kalangan umat Islam. Didorong oleh semangat untuk “menghidupkan”
kembali Piagam Jakarta. Mereka mencoba untuk membuat formula
penerapan syariat Islam melalui saluran hukum, seperti undang-undang,
atau peraturan daerah.

Semangat untuk melakukan “jihad” formalisasi syariat digemakan.


Bahkan dijadikan sebagai doktrin untuk memperjuangkan Islam dalam
makna sebenarnya. Fenomena itu dapat dijumpai pada gerakan HTI di era
2000 sampai 2018. Pada masa konflik Maluku 1999-2003, upaya untuk
memformalkan syariat Islam itu sempat mendapat angin. Adalah kelompok
Laskar Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib,
yang melakukan tindakan merajam anggotanya yang diduga melakukan
perbuatan zina selama kegiatan mereka di Ambon. 81 Setelah melakukan
tindakan yang dianggap sebagai perbuatan pidana di Indonesia, Ja’far Umar
Thalib justru menegaskan bahwa pemerintah mesti memperhatikan aspirasi

81 https://www.liputan6.com/news/read/13101/jafar-umar-seluruh-laskar-ikut-merajam

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 115


umat Islam. Terutama yang menginginkan hukum agama itu diberlakukan
di wilayah tertentu di Indonesia.82

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, seruan untuk menegakkan syariat


Islam tidaklah menyurut. Seruan itu bahkan diduga mengarah kepada upaya
mengganti sistem bernegara, melalui ajakan menuju Khilafah Islamiyyah. Di
berbagai forum keislaman, seruan tersebut disampaikan dengan penegasan
bahwa menegakkan syariah Islam merupakan kewajiban.83

Kontra Narasi
Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi dari isu tersebut, yaitu tentang
makna syariah dan makna jihad. Sebagian besar umat Islam terjebak ke
dalam kekeliruan di dalam memahami kata syariah. Di antara kekeliruan
itu adalah mempersamakan syariah dengan undang-undang atau aturan
yang bersifat teknis. Padahal, tidaklah jika diselami lagi makna dari syariah,
tidaklah sederhana seperti yang disangkakan. Syariah bisa bermakna nilai-
nilai luhur, sebagaimana dikemukakan oleh al-Syathibi di dalam kitabnya
Al-Muwa>faqa>t. Syariah juga bisa bermakna ibadah, seperti salat lima waktu,
puasa Ramadan, zakat dan melaksanakan haji. Dan syariah juga bisa
bermakna muamalah.

Dari semua makna syariah yang telah disebutkan di atas, seluruhnya telah
diterapkan di Indonesia, baik melalui akomodasi yang sifatnya kultural
maupun akomodasi yang sifatnya legal. Akomodasi tersebut berada di
bawah payung sila pertama dasar negara Pancasila dan Konstitusi Undang-
undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1. Di antara akomodasi yang bersifat legal
adalah pelaksanaan puasa Ramadan. Setiap tahun Kementerian Agama
atas nama Negara, mengesahkan isbat (penetapan) 1 Ramadan dan 1
Syawal. Keterlibatan Pemerintah di dalam menentukan awal Ramadan dan
Syawal, itu menegaskan peran Pemerintah sebagai mufti (pemberi fatwa)
di dalam pelaksanaan ibadah. Akomodasi yang bersifat legal lainnya adalah
pengaturan pelaksanaan ibadah haji yang dikukuhkan melalui Undang-

82 https://www.liputan6.com/news/read/13101/jafar-umar-seluruh-laskar-ikut-merajam
83 https://www.kiblat.net/2017/03/12/mengapa-umat-islam-harus-menegakkan-syariat/

116 PEDOMAN DAKWAH


undang Nomor 13 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
yang kini tengah dalam proses amandemen. Demikian pula halnya dengan
pelaksanaan zakat, yang penyelenggaraannya diakui oleh Negara melalui
keberadaan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).

Demikian pula halnya dengan pelaksanaan syariah, dalam maknanya


sebagai muamalah. Negara telah mengeluarkan beberapa undang-undang
yang menjamin perlindungan pelaksanaan transaksi ekonomi secara syariah
dengan keberadaan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
UU Nomor 21 Tahun 2004 tentang Wakaf dan pembentukan Badan Wakaf
Indonesia (BWI), UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara, dan masih banyak lagi. Tidak saja sampai di situ, Negara juga
telah melakukan upaya untuk memperkuat pelaksanaan syariah dengan
menambah kompetensi peradilan agama. Kompetensi itu adalah sebagai
badan arbitrase atas sengketa muamalah.

Dengan sejumlah pengakuan dan akomodasi syariah oleh Negara itu,


jargon “penegakan syariah” oleh kelompok-kelompok Salafi Haraki dan
HTI agaknya menyimpan agenda politik yang lebih dari sekedar formalisasi
syariat. Tidaklah berlebihan jika jargon itu, kemudian menimbulkan
kecurigaan dari para penganut agama selain Islam. Jargon penegakan
syariah yang kemudian dibumbui dengan kata “jihad” itu sesungguhnya
telah mencederai makna luhur dari jihad.

Makna asal dari jihad adalah melawan kezaliman bukan saja terhadap umat
Islam, tapi juga seluruh manusia. Nabi Muhammad berjihad menghadapi
kaum musyrikin Makkah yang diuntungkan bukan saja orang-orang yang
mengimaninya, tapi juga budak-budak yang pada waktu itu banyak yang
tidak menganut ajaran Islam. Mereka merasa diuntungkan karena Nabi
Muhammad Saw. memperjuangkan agar perbudakan dihapuskan. Oleh
sebab itu, mereka memilih Islam sebagai keyakinan dan meninggalkan
keyakinan paganisme yang sebelumnya mereka ikuti.

Dalam konteks penegakan syariah di Indonesia, yang menjadi pertanyaan


kepada siapakah jihad itu ditujukan? Kezaliman seperti apakah yang telah
dilakukan Negara khususnya terhadap umat Islam, sehingga kalimat

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 117


“penegakan syariah” harus dibumbui dengan kata “jihad”? Jika dianggap
bahwa selama Republik ini berdiri, Negara tidak pernah mengakomodasi
umat Islam, apakah banyaknya undang-undang yang memuat persoalan
syariah di atas tidak dianggap sebagai cara Negara mengakomodasi
kepentingan umat Islam?

Maka dari itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa jargon “penegakkan
syariah adalah jihad” sebagaimana sering dilempar oleh para aktivis Salafi
Haraki dan aktivis eks HTI merupakan bentuk ancaman terhadap keutuhan
Negara. Jargon itu—apabila tidak dihentikan—berpotensi memecah
keutuhan bangsa, dengan terbentuknya faksi-faksi yang mengusung
sentimen masing-masing agama. Dan bukan tidak mungkin, akan
mendorong munculnya perang antar agama di Republik yang dicintai ini.

Yang terpenting dari pelaksanaan syariah itu adalah memanifestasikan


nilai-nilai syariah yang diyakini sebagai rahmat dan memberi kontribusi
bagi penguatan kebangsaan dan keadaban bangsa.

118 PEDOMAN DAKWAH


BAGIAN KEEMPAT
RELASI ISLAM DAN NEGARA

T
ema “Relasi Islam dan Negara” merupakan tema yang mengundang
ketertarikan kalangan muda untuk bergabung mengikuti kajian
keislaman. Di berbagai kelompok gerakan Islam, mulai dari Negara
Islam Indonesia, Ikhawnul Muslimin, dan Hizbut Tahrir, tema ini dianggap
sebagai tema yang menarik.

Tema–tema terkait relasi agama dan negera seperti penegakan khilafah,


pemilihan pemimpin, memang relatif nyaring digaungkan karena tema–
tema ini biasanya dikait–kaitkan dengan kondisi sosial politik di negara.

Bagian ini juga ingin memberikan alternatif narasi bagi para Guru PAI
dan mubalig di lapangan jika dihadapkan dengan isu–isu terkait dengan
wacana relasi negara dan agama sebagaimana tema–tema yang disebutkan
di atas. Sehingga bagian ini akan diulas dalam bagian keempat di buku ini,
supaya pembaca memahami mengapa tema–tema justru sering muncul dan
digunakan dalam momentum–momentum politik yang justru melenceng
dari nilai–nilai politik keislaman.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 119


Penegakan Khilafah, Apakah Itu Solusi?

Di kelompok Negara Islam Indonesia (NII), tema tentang islam dan negara
dianggap sebagai bagian dari akidah.84 Kata-kata “negara” selalu digunakan
sebagai ilustrasi untuk menjelaskan sisi kehidupan menurut ajaran Islam.
Sebagai contoh, ketika menjelaskan bagaimana kehidupan keluarga yang
Islami, para aktivis NII menggambarkan keluarga sebagai miniatur Negara
Islam. Menurut mereka, keberhasilan mengelola keluarga merupakan tolok
ukur keberhasilan mengelola negara. Struktur gerakan NII pun dirancang
menyerupai struktur negara dengan urutan dimulai dari kelurahan,
kecamatan, hingga amirulmukminin yang merupakan pemimpin negara.
Menurut mereka, pembentukan struktur tersebut menunjukkan kesiapan
mereka untuk menyongsong peralihan kekuasaan dari NKRI kepada NII
suatu saat.85 Dari penjelasan mereka tentang negara, tidak pernah ditemui
penjelasan tentang pembentukan khilafah.

Isu khilafah, ramai dijadikan sebagai topik pembicaraan di kalangan aktivis


Ikhwanul Muslimin dan—belakangan—Hizbut Tahrir. Di kalangan aktivis
Ikhwanul Muslimin, pembahasan tentang khilafah dikaitkan dengan
upaya mereka untuk mengantarkan gerakan dari membangun kesadaran
individual untuk ber-Islam, kepada penguatan jamaah. Sebagai rujukan
bahasan tentang khilafah itu, mereka menggunakan disertasi karya Husin
bin Muhsin bin Ali Jabir yang berjudul “al-Thariq ila> Jama’atil Muslimin” dan
“al-Manhaj al-Haraki” karya Munir Ghadlba>n. Namun, perbincangan tentang
khilafah terhenti ketika kelompok Ikhwanul Muslimin dihadapkan kepada
pekerjaan rumah untuk mendirikan Partai Politik pada era reformasi.

Pembicaraan dan pembahasan yang serius tentang khilafah dapat ditemui


di kelompok Hizbut Tahrir. Kelompok yang didirikan pada tahun 1953 ini

84 Simpulan tersebut diperoleh dari wawancara dengan beberapa orang yang diduga ber-
gabung ke dalam kelompok NII. Wawancara ini dilakukan pada tahun 2005-2006.
85 Buku karya Solahuddin, NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011) membedah akar persoalan cita-cita pendirian negara Islam di tanah air.
Buku ini bagus sebagai pengaya wacana mengenai aksi terror yang juga dilakukan oleh
kubu Salafi Jihadi ini. Fanatisme, persoalan global yang dipadu dengan indoktrinasi
mengenai jihad dan cita-cita mendirikan Da>rul Islam adalah pupuk yang menyuburkan
paham ekstrem ini.

120 PEDOMAN DAKWAH


memang menjadikan isu khilafah sebagai core perjuangannya. Menurut
Hizbut Tahrir, khilafah merupakan satu-satunya solusi bagi umat Islam.
Kelompok ini memang sengaja tidak membentuk struktur organisasi
sebagaimana lazim dikenal. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang mau
berkompromi dengan demokrasi, Hizbut Tahrir mengharamkan demokrasi.
Di dalam propaganda yang disampaikan kepada masyarakat, aktivis-aktivis
Hizbut Tahrir menyerukan masyarakat agar tidak mendukung pelaksanaan
demokrasi. Pada pemilu tahun 2004, secara terang-terangan melalui buletin
Al-Islam mereka mengajak masyarakat untuk tidak mendukung pesta
demokrasi tersebut. Mereka berargumen bahwa demokrasi telah merusak
umat Islam, bagaimana mungkin perbaikan dapat dilakukan melalui sarana
yang merusak.

Karena sikap kerasnya terhadap demokrasi, seringkali aktivis-aktivis


Hizbut Tahrir terlibat dalam perdebatan dengan aktivis-aktivis PKS, yang
mewakili pemikiran Ikhwanul Muslimin. Perdebatan itu kemudian berujung
kepada pertarungan memperebutkan massa mahasiswa di beberapa PTN
(Perguruan Tinggi Negeri) besar di Pulau Jawa. Kampus IPB, UI, dan UNJ
merupakan medan pertarungan yang sengit antara aktivis PKS dan HT.

Hizbut Tahrir tidak saja memusuhi demokrasi. Secara resmi, HT juga


mengharamkan nasionalisme. Menurut mereka, nasionalisme merupakan
jargon yang dihembuskan Barat untuk melemahkan umat Islam. Melalui
nasionalisme, Barat berhasil mengkotak-kotakkan umat Islam ke dalam
semangat ashobiyyah (fanatisme) yang jelas diharamkan Nabi Muhammad.
Penolakan terhadap nasionalisme itu, dicarikan legitimasinya berdasarkan
hadis:

‫صبِيَّ ٍة‬ ِ ‫لَي‬


َ ‫س منَّا َم ْن َد َعا إِ َل َع‬
َ ْ
“Bukan termasuk ke dalam golongan umat kami, orang yang mengajak kepada
ashobiyyah (fanatisme golongan).”86

86 Hadis Riwayat Abu Dawud dan al-Albani menganggapnya dhaif

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 121


Semangat anti nasionalisme itu dikobarkan oleh salah satu aktivis HT,
Felix Siauw, yang kerap mengunggah tulisan, “Bela nasionalisme gak ada
dalilnya...”87 Ajakan provokatif itu tentu berpengaruh besar bagi kalangan
pelajar yang minim pengetahuan agama dan kebangsaannya. Lebih-lebih
seruan itu dikumandangkan ketika kalangan muda tengah semangat
memberi apresiasi atas Hari Pahlawan Nasional. Cuitan Felix Siauw bukan
tanpa muatan politis. Sebagai motivator yang digandrungi kalangan muda,
pandangan-pandangan Felix sudah pasti memberi pengaruh yang signifikan
bagi para pengagumnya. Terkait dengan perjuangan yang dilakukan oleh
Hizbut Tahrir, Felix tampaknya tengah berusaha untuk mengumpulkan
dukungan yang lebih banyak dari kalangan muda untuk perjuangan HT.

Tidak berhenti di isu demokrasi dan nasionalisme, HT juga menarik bidikan


perjuangan kepada isu NKRI. Meskipun tidak pernah ditemui anjuran secara
luas, sosialisasi plesetan NKRI menjadi Negara Khilafah Rasyidah Indonesia
menunjukkan pesan atas tujuan jangka pendek dari gerakan yang dilakukan
HT. Gerakan itu dianggap serius ketika dijumpai fakta bahwa jumlah
simpatisan HT di kampus-kampus PTN semakin bertambah dari tahun ke
tahun. Bahkan bisa dikatakan kegiatan HT dapat dijumpai di seluruh PTN
di Indonesia, dari Sumatera hingga Maluku.

Pemerintahan SBY belum menganggap HT sebagai “ancaman” bagi


Negara walaupun HT sering menggunakan fasilitas milik Negara untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya. Namun tokoh Nahdlatul Ulama,
KH. Hasyim Muzadi menangkap gelagat bahwa semakin masifnya gerakan
yang dilakukan oleh HT berpotensi merongrong keutuhan NKRI.

Kontra Narasi
Beberapa hal yang perlu diklarifikasi dari isu khilafah ini adalah apakah
benar khilafah merupakan sistem pemerintahan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad Saw.? Apakah benar demokrasi dan nasionalisme diharamkan
di dalam ajaran Islam?

87 https://twitter.com/felixsiauw/status/274405856920088576

122 PEDOMAN DAKWAH


Pertama, khilafah bukanlah sistem pemerintahan yang sifatnya baku
di dalam ajaran Islam. Rujukan untuk melihat bagaimana ajaran Islam
diimplementasikan di dalam kehidupan bernegara adalah Nabi Muhammad
Saw. Di dalam kajian sejarah Islam, pemerintahan yang dijalankan oleh
Nabi Muhammad bukanlah khilafah sebagaimana disangkakan oleh Hizbut
Tahrir. Abdul Aziz di dalam disertasinya menulis bahwa pemerintahan
yang dijalankan oleh Nabi Muhammad adalah chiefdom (al-mala> atau
kepemimpinan yang bersifat kolektif). Penjelasan Abdul Aziz tentang
kepemimpinan Nabi sebagai kepala negara itu hampir sama dengan
penjelasan Manoucher Paydar di dalam disertasinya.88 Paydar menulis
bahwa kepemimpinan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad
bersifat kolektif dengan keberadaan seorang syekh sebagai orang yang
dituakan di dalam kepemimpinan kolektif tersebut.

Setelah Nabi Muhammad tiba di Madinah, masyarakat Madinah meminta


beliau untuk menjadi pemimpin masyarakat dengan tidak meninggalkan
model al-mala> yang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Arab.
Walaupun menjadi rujukan di dalam penetapan hukum, Nabi Muhammad
tidak mengesampingkan proses syura (musyawarah) di dalam pengambilan
keputusan-keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

Secara ringkas, jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw menetapkan


khilafah sebagai sistem pemerintahan yang khas di dalam ajaran Islam,
mengapa Nabi tidak menunjuk orang yang akan menggantikannya
atau menunjuk sebuah dewan yang bertugas memilih pengganti Nabi
Muhammad sebagai pemimpin kepala negara?

Penyebutan kata “khulafa” atau para khalifah di dalam hadis-hadis Nabi tidak
melulu menunjuk kepada makna kepemimpinan negara. Sebagai contoh di
dalam hadis riwayat at-Thabrani, misalnya, Nabi berdoa:

‫اَل ٰلّ ُه َّم ْار َح ْم ُخلَ َفائِي‬

88 Lihat Manoucher Paydar, Aspect of the Islamic State; Religious Norms and Political Realities,
diterjemahkan oleh M.Maufur el-Khoiry, Legitimasi Negara Islam; Problem Otoritas Syariah
dan Politik Penguasa, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hal. xiii

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 123


“Ya Allah berilah rahmat kepada para khalifahku.”

Doa Nabi itu mengundang pertanyaan para sahabat tentang siapa yang
dimaksud para khalifah Nabi. Beliau menjawab bahwa yang dimaksud
dengan para khalifah Nabi adalah orang-orang yang menghapal hadisnya
dan mengajarkannya kepada banyak orang.89

Para aktivis Hizbut Tahrir berdalil bahwa di dalam s}ahih al-Bukhari, Nabi
menyebut kata khalifah untuk menunjuk kepemimpinan umat beliau yang
berbeda dari umat-umat sebelumnya. Hadis yang dimaksud adalah sebagai
berikut:

ِ ِ َْ‫ال قَاع ْدت أَبا هريـرَة خ‬ ٍ‫عن أَِب حا ِز‬


‫ِّث َع ِن‬ ُ ‫ي فَ َس ِم ْعتُهُ ُيَد‬ َ ْ ‫س سن‬ َ ُ
َْ َ َ ُ َ َ ‫ق‬
َ ‫م‬ َ َْ
ِ ِ ِ َ َ‫ُعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ‫ت بـَنُو إ ْسَرائْي َل تَ ُس ْو ُس ُه ُم اْألَنْبيَاء‬ ْ َ‫ال َكان‬ َ ‫صلَّى اهلل‬ َ ‫َّب‬ ِّ ِ‫الن‬
‫ب بـَْع ِد ْي َو َستَ ُك ْو ُن ُخلَ َفاءُ تَ ْكثـُُر‬
َّ َِ‫ب َوإِنَّهُ َل ن‬ٌّ َِ‫ب َخلَ َفهُ ن‬ٌّ َِ‫ك ن‬َ َ‫ُكلَّ َما َهل‬
90

“Dari Abu Hazim ia berkata, “ saya bergaul dengan Abu Hurairah selama 5
tahun dan saya mendengar ia menyampaikan hadis Nabi Saw.: “ Dulu Bani
Israel, dipimpin oleh para nabi. Begitu satu orang nabi wafat, digantikan oleh
seorang nabi berikutnya. Dan karena tidak ada lagi nabi sesudahku, akan banyak
khalifah nanti...”

Bantahan yang bisa diberikan terkait dengan argumentasi itu adalah


bahwa penyebutan khalifah di dalam hadis itu tidak dimaksudkan sebagai
sebuah sistem pemerintahan. Nabi hanya menegaskan bahwa ada para
penerus beliau yang akan memimpin umat ini setelah beliau wafat. Para
penerus itu tidak harus kepala negara. Setelah Nabi wafat, fungsi kepala
negara, pemimpin agama, dan hakim tidak lagi berkumpul pada satu figur.
Fungsi-fungsi itu terbagi dan diemban oleh figur-figur tertentu. Karena
itu, istilah “Ami>rul Mu'mini>n” (Pemimpin orang-orang yang beriman) tidak

89 Riwayat ini dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki di dalam kitabnya yang
membahas tentang ilmu hadis.
90 Hadis Riwayat Muslim nomor 1842

124 PEDOMAN DAKWAH


saja dijumpai di ranah politik tetapi juga di ranah ilmu hadis. Beberapa
ulama hadis memperoleh gelar amirul mukminin itu untuk menunjukkan
kedudukan mereka di bidang hadis. Mereka adalah Imam Malik bin Anas,
Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, dan Imam
Ibnu Hajar al-Asqalani.

Bantahan selanjutnya untuk menegaskan bahwa khilafah bukanlah sistem


pemerintahan di dalam ajaran Islam adalah bahwa dalam persoalan di
luar ibadah, umat Islam diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan
muamalah atau interaksi di antara mereka sesuai dengan nilai-nilai budaya
yang berlaku. Maka dari itu, di dalam kaidah fikih terdapat kaidah:

‫اَلْ َع َادةُ ُمَ َّك َمة‬

“Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.”

Sebagaimana kita tahu bahwa sistem negara bangsa telah diterima secara
internasional sebagai sistem bernegara. Indonesia tidak dikecualikan dari
fakta itu. Ditambah lagi, pendirian Negara Republik Indonesia bukanlah
didasarkan oleh keinginan satu golongan masyarakat. Akan tetapi, pendirian
tersebut melibatkan semua golongan agama dan suku bangsa, yang sepakat
untuk membangun kehidupan bersama. Dari aspek syariat, fakta tersebut
dapat diterima karena umat Islam diperintahkan untuk mengedepankan
musyawarah sebagai ciri dari umat yang mengusung misi rahmatan lil-a>lamin.

Memaksakan ide khilafah sebagai platform ideal di dalam bernegara, tidak


saja merusak tatanan pemahaman terhadap kerangka syariah Islam, tapi juga
berpotensi mencerai-beraikan bangsa yang selama ratusan tahun berjuang
untuk bersatu menata kehidupan bersama. Selain itu, jika dikatakan bahwa
khilafah merupakan sistem pemerintahan yang ideal, kenapa Saudi Arabia
tidak menjadikan khilafah sebagai platform bernegara. Justru Saudi Arabia,
yang konon menjadikan Islam sebagai ideologi negaranya, malah memilih
sistem kerajaan sebagai bentuk negara dan pemerintahan.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 125


Kedua, tentang pengharaman demokrasi. Hizbut Tahrir menganggap
demokrasi berasal dari Barat, dan mengandung nilai-nilai kebebasan
individu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga menurut mereka,
turunan dari demokrasi mulai dari penyelenggaraan pemilu sampai kepada
pelaksanaan Hak Asasi Manusia, dihukumi haram karena berlawanan
dengan ajaran Islam.

Pandangan Hizbut Tahrir yang sangat negatif terhadap demokrasi tersebut


akan terlihat aneh jika dikaitkan dengan keadaan yang mereka alami. Ada
beberapa bantahan yang cukup mudah untuk disampaikan kepada mereka
sebagai jawaban:

1. Pada masa sekarang ini, sulit bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia,


terutama umat Islam untuk menghindar dari peradaban Barat;
2. Para pendiri, pengurus dan simpatisan HT dalam kenyataannya banyak
menikmati hasil dari peradaban Barat mulai dari pendidikan hingga
pekerjaan yang mereka jalani;
3. Meskipun mereka mengharamkan demokrasi, namun mereka
memperoleh kemudahan dari demokrasi. Kemudahan itu adalah tetap
diakuinya hak-hak asasi manusia yang mereka miliki serta jaminan
perlindungan terhadapnya. Aktivis-aktivis Hizbut Tahrir memperoleh
ruang kebebasan yang nyaris tidak ada batas di alam demokrasi, untuk
mengekspresikan gagasan mereka dalam berbagai macam bentuk.
Kebebasan itu—barangkali—belum tentu diperoleh orang lain, jika
Hizbut Tahrir memegang kekuasaan. Para aktivis Hizbut Tahrir tetap
mendapatkan hak sebagai warga negara yang sah menurut Konstitusi,
meskipun mereka memusuhi Negara.

Sejak era reformasi, Hizbut Tahrir memang selalu merongrong secara


terbuka. Sayang, pemerintah tidak tegas. Bahkan, di era pemerintahan
SBY, Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan tabligh akbar di GBK
dan bahkan disiarkan langsung oleh TVRI, yang notabene milik negara.
Namun, di era pemerintahan Jokowi, HTI dibekukan secara hukum
sejak 2017 silam. Hingga kini, berbagai eksponen kelompok ini masih
bergerak mengkampanyekan gagasannya melalui saluran bawah tanah,

126 PEDOMAN DAKWAH


tidak lagi terbuka sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Buletin Al-
Islam yang biasanya juga beredar di masjid-masjid kini sudah tidak ada.
Namun, dengan licik mereka menbuat buletin baru bernama Kaffah. Isinya
memang tidak sefrontal Al-Islam, namun isi Kaffah tetap saja secara tersirat
mengkampanyekan RI sebagai negara taghut dan seruan menegakkan
khilafah.

Ketiga, Nasionalisme haram. Telah sama-sama diketahui bahwa yang


dimaksud dengan nasionalisme adalah kecintaan dan kebanggaan terhadap
Negara di mana seseorang menjadi bagiannya. Kecintaan dan kebanggaan
itu merupakan fitrah yang melekat di dalam diri manusia. Sesuatu yang
menjadi bagian dari fitrah tidak dapat dianggap haram. Cinta dan bangga
merupakan dua unsur yang tidak bisa dihilangkan dari dalam hati manusia.

Nabi Muhammad Saw pernah mengungkapkan kecintaan kepada Makkah


tanah kelahirannya, sebagaimana tertulis di dalam hadis berikut ini:

‫ُعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ْ ‫ي اب ِن‬ ِ ِ


َ ‫صلَّى اهلل‬
َ ‫َّب‬ َّ ِ‫الَ ْمَراء أَنَّهُ َس َع الن‬ ْ ِّ ‫َع ْن عبداللَّه بْ ِن َعد‬
،‫ض اللَّ ِه‬ ِ َّ‫ واَللَّ ِه إن‬:َ‫وق م َّكة‬
ِ ‫ك َلَيـُْر أ َْر‬ ِ ِ ِ ْ ِ‫ف ب‬ ِ
َ َ ‫الَْزَوَرة ف ُس‬ ٌ ‫ول َوُه َو َواق‬ُ ‫يـَُق‬
ِ ِ ‫ُخ ِرج‬ ِّ ‫ َولَ ْوَل أ‬،‫ض اللَّ ِه َإل اللَّ ِه‬ ِ ‫ب أ َْر‬
ُ‫ َرَواه‬.‫ت‬ ُ ‫ت مْنك َما َخَر ْج‬ ُ ْ ْ ‫َن أ‬ ُّ ‫َح‬
َ ‫َوأ‬
ُ‫ص َّح َحه‬
َ ‫ي َو‬ ُّ ‫اج ْه َوالتـِّْرِم ِذ‬ ْ ‫أ‬.
َ ‫َحَ ُد َوابْ ُن َم‬
“Dari Abdullah bin Adiy bin al-Hamra’, ia mendengar Nabi Saw berkata ketika
berdiri di salah satu bagian pasar Makkah, ‘demi Allah, sungguh engkau (kota
Makkah) betul-betul bumi Allah yang paling baik, bagian bumi yang paling Allah
cintai. Sekiranya aku tidak diusir, tentulah aku tidak keluar darimu.”91

Apa yang dikatakan Nabi di dalam hadis di atas merupakan gambaran


nasionalisme dalam maknanya sebagai cinta tanah air atau cinta kampung
halaman. Jika dikatakan bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya, dalam
konteks apakah ucapan Nabi tersebut dimaknakan?

91 Hadis Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, dan Ia menyatakan hadis ini shahih

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 127


Berpijak kepada ucapan Nabi Saw di atas tidaklah keliru jika para ulama
menganggap bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Makna
yang terkandung dari anggapan tersebut adalah bahwa mencintai tanah air
merupakan wujud syukur kepada Allah. Bukankah mengungkapkan syukur
itu merupakan manifestasi dari iman? Bukankah pula enggan mensyukuri
pemberian Allah itu merupakan tanda dari kekufuran?

128 PEDOMAN DAKWAH


Haramnya Hormat Bendera

Pendapat tentang haramnya hormat kepada bendera berlaku di kalangan


salafi dan Hizbut Tahrir. Sedangkan di kalangan umat Islam, hormat kepada
bendera (tahiyyatul ‘alam al-wathoni) tidak dipersoalkan. Mereka yang
mengharamkan hormat kepada bendera, menganggap bahwa sikap hormat
kepada bendera merupakan perbuatan syirik. Namun mereka sendiri tidak
dapat menunjukkan dalil naqli maupun ‘aqli terkait dengan pengharaman
tersebut.

Kontra Narasi
Para ulama Saudi Arabia pernah membahas persoalan hormat kepada
bendera nasional, sebagaimana dirilis di dalam fatwa Komisi Tetap Bidang
Fatwa Ulama Saudi Arabia Nomor 118533. Di dalam Fatwa Nomor
103506 disebut tentang tidak dibolehkannya (bukan haram) menghormat
kepada bendera nasional dengan alasan sebagai bentuk tasyabbuh
(menyerupai) perbuatan orang-orang kafir. Namun, di dalam fatwa itu,
terdapat penjelasan bahwa berdiri di hadapan bendera bukan termasuk
perbuatan syirik.92 Dalam kaitan ini, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
tidak memberikan pandangan yang cukup jelas mengenai hormat kepada
bendera. Dari penjelasan yang kontradiktif tersebut dapat disimpulkan
untuk sementara, bahwa para Ulama Saudi Arabia, menganggap praktek
menghormat kepada bendera merupakan perbuatan makruh.

Pendapat yang sejalan dengan cara pandang mayoritas ulama Indonesia,


diberikan oleh Kementerian Urusan Agama dan Wakaf Republik Aljazair.
Secara umum, Kementerian menjelaskan bahwa menghormat bendera
bukanlah perbuatan yang haram karena para sahabat, banyak yang gugur
pada Perang Yarmuk karena mempertahankan bendera. Kementerian
juga tidak sependapat dengan pandangan yang menganggap menghormat
kepada bendera merupakan perbuatan syirik. Praktik menghormat kepada
bendera itu bukanlah praktik ibadah. Akan tetapi, merupakan bentuk

92 http://fatwa.islamweb.net/ar/fatwa/181515/

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 129


penghargaan atas semua usaha yang dilakukan untuk mempertahankan
dan memperjuangkan eksistensi negara yang disimbolkan melalui selembar
bendera.93

Ulil Amri
Terminologi “ulil amri” juga menjadi perhatian penting di dalam kajian-
kajian kalangan radikal. Salah seorang ustaz dari Hizbut Tahrir bernama
Syamsul Arifin berpendapat bahwa kesalahan umat Islam di Indonesia di
dalam memahami makna ulil amri adalah melepaskan keterkaitan di antara
ulil amri dengan hukum yang diberlakukan. Menurutnya, ulil amri itu satu
paket dengan sistem hukum yang diterapkan. Jika hukum yang diterapkan
adalah bukan hukum Islam, pemaknaan ulil amri itu menjadi tidak relevan.94

Berbeda dari cara pandang Hizbut Tahrir yang memsyaratkan berlakunya


hukum syariat, sebagai legitimasi terhadap pengakuan ulil amri, kalangan
Salafi memberikan penjelasan yang cenderung moderat tentang definisi
ulil amri. Merujuk kepada pendapat Syekh Sholih al-Fauzan, ulil amri adalah
setiap penguasa muslim secara mutlak apakah ia diangkat menurut hukum
syariat ataupun tidak sesuai syariat. Kalangan salafi membantah pendapat
Hizbut Tahrir yang mempersyaratkan julukan ulil amri harus disandarkan
kepada hukum yang diterapkannya. Menurut kalangan salafi, pandangan
itu tidak mempunyai dasar yang kokoh baik ditinjau dari nash ataupun
pendapat para ulama masa lalu.95

Kontra Narasi
Bagaimanakah pandangan dua ormas besar Islam Indonesia (NU dan
Muhammadiyah) di dalam memahami makna “ulil amri”. Berikut ini
ditampilkan secara utuh pandangan kedua ormas tersebut:

93 http://www.marw.dz/index.php/2015-03-24-13-16-07/2015-05-19-12-42-17/562-
2010-07-21-09-18-51.html
94 http://muallifin.blogspot.com/2015/11/larangan-taat-kepada-pemerintah-yang.html
95 https://muslim.or.id/28789-siapa-yang-dimaksud-dengan-ulil-amri.html

130 PEDOMAN DAKWAH


1. Nahdlatul Ulama96
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat
Allah Swt. yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan
itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan
memikulnya.

ِ ‫السماو‬
ِ ‫ات َو ْال َْر‬
... ‫ض‬ ْ ‫إِنَّا َعَر‬
َ َ َّ ‫ضنَا ْال ََمانَةَ َعلَى‬
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi.”
(QS al-Ahzab [33]: 72)

Dalam wacana faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama> a h (Aswaja) bahwa


membangun negara (imamah) adalah wajib syar’i. Hal tersebut didasarkan
pada dalil-dalil berikut ini:

‫ول َوأ ُْوِل األ َْم ِر ِمن ُك ْم فَِإن‬ ِ ‫َطيعواْ اللّه وأ‬ ِ ِ َّ
َ ‫الر ُس‬
َّ ْ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُواْ أ‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫ول إِن ُكنتُ ْم تـُْؤِمنُو َن بِاللّ ِه َوالْيـَْوِم‬ِ ‫الرس‬ ِ ِ ٍ
ُ َّ ‫تـَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فـَُرُّدوهُ إ َل اللّه َو‬
ِ ِ
ً‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬
ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬َ ‫اآلخ ِر َذل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa [4]:59)

ٌ‫اهلِيَّة‬
ِ ‫من مات ولَيس ِف عن ِق ِه بـيـعةٌ مات ميتةً ج‬
َ َْ َ َ َ َ ْ َ ُُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ

96 Dikutip dari hasil Bahtsul masa’il Diniyyah Maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok
Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20
Rajab 1418 H / 17 November 1997 M. Sumber http://www.nu.or.id/post/read/11794/
nashbul-imam-dan-kepemimpinan

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 131


“Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada
pemimpin), ia mati secara jahiliyah.” (HR Muslim)

Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan,


kejujuran, keadilan dan semangat perjuangan yang senantiasa memihak
kepada pemberi amanat.

‫ات إِ َ ٰل أ َْهلِ َها‬


ِ َ‫إِ َّن اللَّه يأْمرُكم أَ ْن تـؤُّدوا ْالَمان‬
َ َُ ْ ُ ُ َ َ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya.” (QS an-Nisa [4]:58)

‫ إ َذا ُو ِس َد‬:‫ال‬
َ َ‫اعتـَُها؟ ق‬ ِ ‫الس‬ ِ
َ ‫إض‬
َ ‫ف‬
َ ‫ قْي َل َوَكْي‬.َ‫اعة‬
َ َّ ‫األمانَةُ فَانـْتَظُر‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ضيـَِّع‬
ُ ‫إ َذا‬
‫ْال ْم ُر َإل َغ ِْي ْأهلِ ِه‬

Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah


ditanya seseorang: “Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?” Beliau menjawab:
“Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya.” (HR. Bukhari)

Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai


pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan
dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang
tidak bertentangan dengan syariah. Sebuah negara harus dibangun nilai-
nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-’adalah (keadilan), al-
amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).

‫َّاس أَ ْن َْت ُك ُموا بِالْ َع ْد ِل إِ َّن اللَّهَ نِعِ َّما يَعِظُ ُك ْم بِِه‬ َ َْ‫َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بـ‬
‫ج‬
ِ ‫ي الن‬
ِ ‫قلى إِ َّن اللَّه َكا َن َِسيعا ب‬
‫ص ًريا‬ َ ً َ

132 PEDOMAN DAKWAH


“Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS an-Nisa [4]:58)

Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujud-


nya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.
Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan
adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama
melahirkannya. Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura
dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikon-
trol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebu-
tuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan
beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.

2. Muhammadiyah97
Secara bahasa “ulî” ( ‫ )اويل‬adalah bentuk jamak dari “wali” (‫ )ويل‬yang berarti
pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata
tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata “al-amr”
( ‫ )االمر‬adalah perintah atau urusan. Dengan demikian “ulil amri” adalah
orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka
adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Siapakah ulil amri tersebut? Jika dikaitkan dengan Surah al-
Maidah ayat 55 maka ulil amri itu adalah pemimpin umat yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah Saw. Allah Swt. berfirman:

َّ ‫الص َلةَ َويـُْؤتُو َن‬


َ‫الزَكاة‬ َّ ‫يمو َن‬ ِ ‫إَِّنَا ولِيُّ ُكم اللَّه ورسولُه والَّ ِذين آمنوا الَّ ِذ‬
ُ ‫ين يُق‬
َ َُ َ َ ُ ُ ََ ُ ُ َ
‫َوُه ْم َراكِعُو َن‬

97 Dikutip dari makalah Prof. Yunahar Ilyas dan dianggap sebagai pernyataan resmi Mu-
hammadiyyah. Lihat http://www.muhammadiyah.or.id/id/news/print/2823/fiqh-ulil-am-
ri--perspektif-muhammadiyah.html

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 133


“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Maidah [5]: 55)

Dalam ayat di atas dijelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul-


Nya dan orang- orang yang beriman. Secara operasional kepemimpinan
Allah Swt. itu dilaksanakan oleh Rasulullah Saw, dan sepeninggal beliau
kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Sebagai
Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW tidak bisa digantikan, tapi sebagai
kepala negara (ulil amri), tugas beliau dapat digantikan. Orang-orang
yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus
memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam Surah Al-
Maidah ayat 55 di atas.

1. Beriman kepada Allah SWT


Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah sSaw, sedangkan
Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah Swt., maka tentu
saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau
adalah keimanan (kepada Allah, Rasul dan rukun iman yang lainnya). Tanpa
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, bagaimana mungkin dia dapat
diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan
bumi ini.

2. Mendirikan Salat
Salat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah Swt. Seorang pemimpin
yang mendirikan salat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik
dengan Allah Swt. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang
terdapat di dalam salat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya
nilai kejujuran. Apabila wudu seorang imam yang sedang memimpin salat
batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan
siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak
menjadi imam.

134 PEDOMAN DAKWAH


3. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan
kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu
berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan
menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme). Dan lebih daripada itu dia memiliki kepedulian sosial
yang tinggi terhadap kaum dhu'afa dan mustadh’afin. Dapat dipastijan, dia
akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah Swt.


Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang
selalu ruku (wa hum râki’ûn). Ruku adalah simbol kepatuhan secara mutlak
kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan
menjadi seorang muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek akidah, ibadah,
akhlak maupun muamalah. Akidahnya benar (bertauhid secara murni
dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan),
ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaknya terpuji (shidiq,
amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan muamalahnya
(dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa umara atau
hukâm adalah ulil amri dengan syarat-syarat minimal yang sudah disebutkan
di atas. Tetapi sebagian memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada
pemerintah atau penguasa semata tetapi juga kepada siapa saja yang
mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin suatu
urusan, baik itu perorangan atau lembaga. Ahl al-halli wa al-‘aqdi (pemegang
otoritas) adalah ulil amri dalam bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi
wewenang mereka, misalnya dalam pemilih kepala negara, menetapkan
undang-undang dan urusan-urusan lainnya.

Menurut Ibnu Abbâs, ulil amri adalah ahli fikh dan agama. Menurut Mujâhid,
‘Athâ’ dan Abu al-‘Aliyah serta Hasan al-Bashri, ulil amri itu adalah ulama.
Menurut Ibnu Katsir sendiri, ulil amri mencakup keduanya, umara dan ulama.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 135


Menurut Muhammad Abduh, ulil amri adalah jamaah ahl al-halli wa al-‘aqdi
dari kaum Muslimin. Mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’
(penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat.
Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan, kita semua wajib
mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya.6

Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah


atau difinite, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada
persoalan-persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau
keagamaan murni. Untuk persoalan akidah dan keagamaan murni harus
dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Quran dan as-Sunnah).

Dalam hal ini Muhammad Abduh mengatakan:

‫ن فَالَ يـَتـََع ْل ُق بِِه أ َْمُر أ َْه ِل‬ ِ ِ ِ ِْ ‫وأ ََّما الْعِبادات وما َكا َن ِمن قـب ِل‬
ُّ ِْ‫ال ْعت َقاد الدي‬ َْ ْ ََ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ ْ‫س لَ َحد َرأ‬
‫ي‬ َ ‫ بَ ْل ُه َو مَّا يـُْؤ َخ ُذ َعن اهلل َوَر ُس ْول فـََق ْط لَْي‬,‫الَل َو الْ َع ْقد‬ ْ
‫فِْي ِه أِالَّ َما يَ ُك ْو ُن ِ ْف فـَْه ِم ِه‬

Dalam ungkapan Abduh di atas tampak bahwa perbedaan pendapat


sangat mungkin terjadi dalam pemahaman terhadap nash, bukan dalam
mematuhi nash. Dalam masalah hadis tentang tata cara untuk mengetahui
awal Ramadan dan awal Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh
atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana
memahami hadis tersebut. Menurut pandangan Muhammadiyah, hadis
itu ada ‘illat-nya, yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara
lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau
gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan
itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju,
sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan. Oleh sebab itu
Muhammadiyah yakin tidak melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab
hakiki untuk menentukan awal bulan.

136 PEDOMAN DAKWAH


Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh diubah
sedikitpun) adalah puasa Ramadan dimulai tanggal 1 Ramadan dan salat
Idul Fitri tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan
awal Ramadan dan awal Syawal itu adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli
(rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi) dan lebih bersifat teknis.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ulil amri itu adalah:
1. Umarâ’ dan hukama dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas;
2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing- masing;
3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-
lembaga fatwa.

Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahamaan nash-nash


agama, diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan
pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam.
Pemerintah tidak dapat intervensi dalam persoalan pemahaman terhadap
nash, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya. Tetapi jika terjadi
perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadi,
maka pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 137


138 PEDOMAN DAKWAH
BAGIAN KELIMA
MEMBANGUN ISLAM MODERAT
DI SEKOLAH

B
agaimana membangun pemahaman Islam yang moderat di
lingkungan sekolah? Pertanyaan ini penting untuk diperhatikan
seiring dengan rentannya kalangan pelajar terjerumus ke dalam
paham radikalismembahkan terorisme. Menyikapi pertanyaan tersebut,
ada tiga hal yang penting untuk disoroti. Ketiga hal itu adalah substance
(substansi/hakikat/isi), structure (struktur) dan culture (budaya).

Substance terkait dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan melalui


kajian keislaman di sekolah? Berpijak kepada pembacaan terhadap materi-
materi yang disampaikan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Salafi
Haraki, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir, terlihat bahwa hakikat yang
ingin disampaikan oleh kelompok-kelompok itu adalah perubahan secara
mendasar yang dilakukan dalam waktu yang cepat.

Dalam pandangan kelompok-kelompok tersebut, masyarakat Islam saat ini


berada dalam kondisi “jahiliyyah” sebagaimana yang dijumpai pada masa

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 139


Nabi Muhammad. Budaya lokal—menurut simpulan mereka—dianggap
sebagai variabel yang merusak keaslian ajaran Islam yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad. Karena itu, semua kelompok itu sepakat bahwa harus
dilakukan upaya restorasi untuk mengganti budaya yang telah mengakar di
masyarakat, dengan budaya yang benar-benar mencerminkan pemahaman
ajaran Islam yang benar.

Kelompok Salafi berpendapat bahwa restorasi itu dilakukan dengan cara


mengembalikan pola pikir umat kepada pola pikir yang berkembang pada
masa generasi awal Islam. kelompok Ikhwanul Muslimin berpendapat
bahwa restorasi itu dapat dilakukan jika umat Islam memegang posisi-posisi
strategis di Pemerintahan. Sedangkan Hizbut Tahrir berpendapat bahwa
restorasi itu hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan umat Islam
kepada masa kejayaan khilafah Islamiyyah. Semua tawaran yang diajukan
oleh ketiga kelompok di atas menawarkan interaksi dalam bentuknya
yang negatif terhadap sesama umat Islam. Di banyak tempat di Tanah
Air, kehadiran kelompok-kelompok itu memancing perselisihan dengan
masyarakat setempat.

Bagi kalangan pelajar, pola-pola reaktif dan radikal yang ditawarkan oleh
kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, tentu akan dianggap
menarik. Ketertarikan itu juga tidak terlepas dari faktor psikologis para
pelajar yang selalu menginginkan dinamika, dan perubahan dalam waktu
yang singkat. Dalam menyebarkan pemahamannya, kelompok-kelompok
itu sangat memahami selera interaksi kaum pelajar yang menyukai
tantangan-tantangan baru. Ini berbeda dengan pola-pola pengajian
yang ditawarkan oleh kalangan tradisionalis moderat. Dapat dikatakan
bahwa pola-pola pengajian yang diadakan kalangan tradisionalis moderat
cenderung monoton dan terjebak kepada pola yang konservatif. Sehingga
pada akhirnya, kajian-kajian keislaman yang diselenggarakan kalangan
tradisionalis di perkotaan, cenderung tidak diminati kalangan pelajar.

Dari aspek substance, kelompok-kelompok radikal menawarkan materi-


materi yang dianggap sebagai solusi atas problematika yang dihadapi oleh
kalangan pelajar. Sebagai contoh, pada era 90-an, para aktivis Ikhwanul

140 PEDOMAN DAKWAH


Muslimin di Jakarta, menawarkan konsep bagaimana menjadi pelajar
muslim sejati. Di dalam tawaran itu, mereka menjelaskan kiat-kiat belajar
yang efektif, strategi untuk menembus perguruan tinggi negeri, dan tips
ruhani untuk berhasil di dalam menjalani proses belajar di sekolah. Kegiatan
pengajian yang diadakan tidak saja berbicara tentang pemahaman materi
dasar keislaman, tapi juga berbicara tentang solusi jitu menghadapi soal-soal
Ujian Akhir Sekolah, yang pada masa itu dikenal dengan nama EBTANAS.
Materi pengajian yang variatif tersebut tentu menarik perhatian para
pelajar untuk mengikuti setiap kegiatan pengajian yang mereka adakan.
Apalagi, pada masa itu, para pelajar yang tergabung di kegiatan Rohani
Islam (Rohis), akan mendapat tambahan motivasi di dalam menggapai
prestasi belajar.

Faktor kedua yang penting untuk disorot adalah structure. Dari pengamatan
terhadap pergerakan kelompok-kelompok radikal yang telah disebutkan,
terlihat bagaimana mereka mampu mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
mereka dengan rapi. Meminjam istilah John Naisbitt, kelompok-kelompok
itu meskipun jumlah anggotanya tidak banyak, tapi mampu tampil sebagai
creative minority.

Kegiatan-kegiatan yang mereka adakan seperti terstruktur, terarah, dan


terukur. Dalam satu tahun, ada capaian isu yang berhasil mereka lempar ke
masyarakat dan menjadi tren. Sebagai contoh, isu hijrah yang belakangan
ini menjadi semacam mode di kalangan selebritis dan kalangan mahasiswa.
Makna hijrah, yang pada era sebelum 80-an dianggap biasa-biasa saja,
menjadi luar biasa ketika diucapkan oleh beberapa selebritas yang mencapai
titik balik kesadaran di dalam beragama. Fenomena itu bisa dilihat dari
beberapa isu populer yang dilempar oleh kelompok-kelompok itu ke tengah
khalayak, seperti gerakan anti pacaran, gerakan menikah dini, dan gerakan
hijrah milenial.

Kegiatan-kegiatan yang diadakan kelompok-kelompok radikal itu selain


variatif, juga dikelola dengan sangat baik. Seperti terjadi pembagian tugas
yang dilakukan secara padu di antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya.
Setiap kegiatan mempunyai penanggung jawab, yang juga berhubungan

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 141


dengan penanggung jawab dari kegiatan lain. Antara satu kegiatan dengan
kegiatan lainnya mempunyai benang merah tema yang hendak disampaikan
meskipun formatnya berbeda-beda.

Tentu saja, di balik keteraturan itu ada jejaring besar yang saling mengikat
satu kelompok kecil dengan kelompok kecil lain sehingga membentuk ikatan
kelompok besar yang kuat. Ini bisa terlihat dari momentum-momentum
besar yang diadakan kelompok-kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin dan
Hizbut Tahrir.

Faktor yang juga tidak kalah penting adalah culture. Para aktivis dari
kelompok-kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, dikenal
dengan etos kerja yang baik. Beberapa dari mereka bahkan mampu meraih
kepercayaan bisnis dari kalangan non-muslim. Bermodal dari etos kerja yang
baik itu pula mereka mampu membangun dan mengembangkan jejaring
usaha yang menghidupi banyak kegiatan yang mereka adakan. Etos kerja
yang baik itu juga ditopang militansi untuk mengembangkan gerakan yang
menghantarkan mereka kepada tujuan yang dicita-citakan. Faktor ini pula
yang mengundang ketertarikan para pelajar untuk bergabung ke dalam
kegiatan-kegiatan yang diadakan kelompok-kelompok tersebut.

Membangun pemahaman Islam yang moderat di lingkungan sekolah,


tidak saja tertumpu kepada materi-materi keislaman yang disampaikan.
Sementara kalangan berpendapat bahwa untuk membendung pemahaman
radikal, para pelajar harus diberikan materi fikih dan tafsir atas al-Quran
dan hadis. Dengan menggunakan paradigma substance, structure, dan culture
dapat dipahami bahwa letak permasalahannya adalah pada bagaimana
kajian-kajian keislaman yang diadakan itu mampu meraih simpati dan trust
di kalangan pelajar.

Para pelajar yang datang ke sekolah bukanlah kelompok orang yang tidak
terbebani oleh masalah. Malah bisa dikatakan, masalah mereka adalah
sekolah itu sendiri. Para pelajar yang telah menemukan solusi atas masalah
mereka dari satu kelompok, tentu tidak akan mencari kelompok lain untuk
memahami solusi dalam perspektif yang lain. Dalam hal ini, berlaku kaidah
first come first in.

142 PEDOMAN DAKWAH


Dari paparan materi yang telah disampaikan di bab-bab terdahulu,
sebenarnya kita dapat melihat celah masuk untuk menyampaikan
pemahaman moderat kepada kalangan pelajar. Barangkali celah masuk itu
merupakan way out bagi kalangan pelajar yang merasa terbebani dengan
kewajiban untuk menyukseskan gerakan yang diikuti, sedangkan mereka
sendiri pun berada di antara kesuksesan dan kegagalan di dalam proses
belajar.

Celah masuk itu adalah dengan membangun tafsir tandingan (counter


interpretation) atas topik-topik yang disampaikan oleh kalangan radikal.
Sebagai contoh, ketika kalangan radikal mengangkat topik sunnah
Nabi sebagai kewajiban, tafsir tandingan atas topik itu adalah menebar
kedamaian merupakan sunnah Nabi yang tertinggi. Sehingga dengan tafsir
tandingan itu, masyarakat dapat menilai secara cerdas mana yang benar-
benar mengikuti sunnah Nabi dan mana yang hanya sekedar memanfaatkan
isu sunnah Nabi, untuk tujuan-tujuan jangka pendek.

Selain tuntutan untuk mampu meraih simpati dan trust dari kalangan pelajar,
upaya membangun pemahaman Islam yang moderat di lingkungan sekolah
juga tidak terlepas dari kinerja dan organisasi kerja yang mendukung.
Yang terjadi selama ini adalah bahwa materi yang baik, seringkali tidak
didukung oleh ketersediaan SDM. Para pemateri yang baik, umumnya
adalah orang-orang yang telah sibuk dengan beban rutinitasnya. Sedangkan
di sisi yang lain, kaderisasi calon-calon pemateri pun mengalami stagnasi.
Sehingga pada akhirnya, keterbatasan SDM ini tidak mampu memenuhi
kebutuhan untuk mengayomi para pelajar yang semakin meningkat. Untuk
itu, dibutuhkan sinergi di antara guru agama Islam dengan para aktivis
Islam moderat di dalam membangun organisasi dan jejaring kegiatan yang
mengarahkan para pelajar kepada pemahaman moderat.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 143


DAFTAR PUSTAKA

HADIS

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, al-Jami’ ul-Shahih, Beirut: Dar ul-Fikr,


1994

Al-Hajjaj, Abul Hussain Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar ul-Fikr, 1993

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud

Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Shahih

Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah

BUKU

Abdusshomad, KH. Muhyiddin. Tahlil dalam Perspektif Al-Quran dan


Assunnah, Surabaya: Khalista, 2018.

ad-Dahlawi, Syekh Waliyullah. ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.


Bombai: t.p.

Abbas, Nasir, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI,


Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.

________. Kutemukan Makna Jihad: Kisah tentang Nasir Abas, Iwan Setiawan
dan Dani Dwi Permana, Jakarta: Lazuardi Birru, 2011.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, edisi keempat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002.

al-Amin, Ainurrofiq. Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbit Tahrir Indonesia


(HTI), Yogyakarta: LKiS, 2012.

Anam, Faris Khoirul. Ada Bid’ah di Masjid?: Menjawab Persoalan Fiqh Masjid
Berdasarkan Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Keira,
2019.

144 PEDOMAN DAKWAH


al-Bantani, Syekh Nawawi. Nihayat Az-Zein. Surabaya: al-Hidayat, t.t.

al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadan Hakadza fal Nad’u> ila al-Islam, Riyadh:
Maktabah al-Risalah, tt.

________, Buthi, Syekh Said Ramadan. Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah. Beirut:


Darul Fikr, 1980.

alu Syekh, Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al-Tamhid li

Syarhi Kitabi al-Tauhid, Riyadh: Dar ul-Tauhid, 2003.

al-Fauzan, Sholih bin Fauzan al-Wala>’ wal Bara>’ fi al-Islam, Ghazza: Markaz
ul-Bahtsi al-Ilmy, tt.

al-Fauzan, Sholih bin Fauzan, Kitabu al-Tauhid, tp:tt.

al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim ibn Abi Bakar
Ahmad al-Milal wa al-Nihal, Juz I. Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt..

al-Maudu>di, Abu al-A’la> al-Hija>b, Damaskus: Dar ul-Fikr, 1964.

al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Ja>mi’ li


ahka>mi ‘l-Qur’a>n, Beirut: Dar ul-Fikr, 2008.

al-Tharifi, Abdul Aziz bin Marzuq al-Hija>b fi al-Syar’i wa al-Fithrati bayna al-
Dali>l wa al-Qauli al-Dakhi>l, Jeddah: Darul Minhaj, 2015.

Arifi, Ahmad. Fiqh Tradisi Pola Madzhab, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Asyur, Muhammad bin Thahir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar ul-Syuhnun,


tt.

Awwamah, Muhammad Ada>bul Ikhtila>f fi Masa>il il-Ilm wa al-Din, Madinah


al-Munawwarah: Dar ul-Yusr, 2007

Ba’asyir, Abu Bakar dan Abu Muhammad Jibriel AR, Keindahan Syari’ah dan
Keagungan Al-Quran, Tangerang: Arrahmah Media, 2007

Hart, Michael H. 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta:


Gramedia, 1994.

Hosen, Nadirsyah. Saring Sebelum Sharing: Pilih Hadis Sahih, Teladani Kisah
Nabi Muhammad, dan Lawan Berita Hoaks. Jakarta: Bentang, 2019.

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 145


________. Islam Yes, Khilafah No: Doktrin dan Sejarah Khilafah Islam dari Khulafa’
Ar-Rasyidun hingga Umayyah, Yogyakarta: UIN Suka Pres, 2018.

________. Islam Yes, Khilafah No: Dinasti Abbasiyyah, Tragedi, dan Munculnya
Khawarij Zaman Now. Yogyakarta: UIN Suka Pres, 2018.

Ibnu Katsir, Tafsir ul-Qur’an il-Adzim, Beirut: Dar ul-Fikr, 1994

________, al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Kairo: Dar ul-Hadis, 2004

Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’u Shirathil Mustaqim Mukhalifatu Ashabal Jahim,


Beirut: Darul Fikr: tt.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Ru>h, Jakarta: al-Haramain, tt

Ibrahim, Muhammad Zakki al-Masyru>’ wa al-Mamnu> fi Qadha>ya> al-Quba>b,

al-Maha>rib, al-Masa>jid wa al-Qubu>r, Syadd ul-Riha>l, al-Mawa>lid, Ziya>rat


ul-Qubu>r Masjid al-Rasu>l, al-Tabarruk bi al-Sha>lihin, wa Ba’dhu ma>
yata’alliqu bidzalika, Kairo: Da>ru Ihya>’ it Tura>ts il-Shu>fi, tt

Khozin, M. Ma’ruf. Menjawab Tuduhan Sebagai Penyembah Kubur: Bantahan


Terhadap Buku Mantai Kiai “Ahlussunnah Kok Nyembah Kuburan”,
Surabaya: Muara Progresif, 2015.

________. Risalah Ziarah Kubur: Hujjah, Tuntunan dan Ada, Surabaya: Muara
Progresif, 2017

________. Tahlilan Bid’ah Hasanah, Surabaya: Muara Progresif, 2016.

________. Jawaban Amaliyah dan Ibadah yang Dituduh Bid’ah, Sesat, Kafir dan
Syirik. Surabaya: al-Miftah, 2010.

Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, al-Mu’jam ul-Wasith, Kairo: Dar ul-Syuruq,


2011,

Mubarak, Zakky, Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan


Tinggi Umum, cetakan I, Jakarta: Yayasan Ukhuwwah Insaniyah, 2007.

Paydar Manoucher, Aspect of the Islamic State; Religious Norms and Political
Realities, diterjemahkan oleh M. Maufur el-Khoiry, Legitimasi Negara
Islam; Problem Otoritas Syariah dan Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003

146 PEDOMAN DAKWAH


Solahuddin, NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,


cetakan VIII, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007

________, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,


cetakan I, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

Tim Aswaja NU Center Jawa Timur, Khazanah Aswaja: memahami,


Mengamalkan dan Mendakwahkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama> a h,
Surabaya: Tim Aswaja NU Center Jatim, 2016.

Zainu, Muhammad Jamil, Minha> j al-Firqah al-Najiyyat wa al-Tha> ifat il-


Manshurat, tp: tt,

INTERNET

http://www.almesbah.org/fatwa/show/22/

https://www.lds.org/manual/gospel-principles/chapter-18-faith-in-jesus-
christ?lang=ind

https://dhammacitta.org/artikel/abin-nagasena/semangat-misionaris-
dalam-buddhisme.html

https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D9%85%D8%B0%D9%
87%D8%A8/

https://www.liputan6.com/news/read/13101/jafar-umar-seluruh-laskar-
ikut-merajam

https://www.liputan6.com/news/read/13101/jafar-umar-seluruh-laskar-
ikut-merajam

https://www.kiblat.net/2017/03/12/mengapa-umat-islam-harus-
menegakkan-syariat/

https://twitter.com/felixsiauw/status/274405856920088576

http://fatwa.islamweb.net/ar/fatwa/181515/

ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 147


http://www.marw.dz/index.php/2015-03-24-13-16-07/2015-05-19-12-
42-17/562-2010-07-21-09-18-51.html

http://muallifin.blogspot.com/2015/11/larangan-taat-kepada-pemerintah-
yang.html

https://muslim.or.id/28789-siapa-yang-dimaksud-dengan-ulil-amri.html

http://www.nu.or.id/post/read/11794/nashbul-imam-dan-kepemimpinan

http://www.muhammadiyah.or.id/id/news/print/2823/fiqh-ulil-amri--
perspektif-muhammadiyah.html

148 PEDOMAN DAKWAH


ISLAM RAHMATAN LIL-A<LAMIN 149
150 PEDOMAN DAKWAH

Anda mungkin juga menyukai