Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Pembelajaran Yang Efektif dan Efisien


Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara anak dengan anak, anak
dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik.
Proses pembelajaran yang efektif dan efisien tersevut melalui pembelajaran yang memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :
1. § Berpusat pada peserta didik
2. § Interaksi edukatif antara guru dengan peserta didik
3. § Suasana yang demokratis, menyenangkan dan kreatif
4. § Penggunaan variasi metode mengajar
5. § Profesionalisme guru yang tinggi
6. § Bahan yang sesuai dan bermanfaat
7. § Lingkungan yang kondusif
8. § Sarana belajar yang menunjang
Efektivitas sebenarnya ditentukan dengan menetapkan sampai sejauh mana Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) mewujudkan tujuan yang harus dicapai sedangkan efisiensi diukur
berdasarkan jumlah komponen yang digunakan untuk mewujudkan hasil yang ingin dicapai.
Efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan terbaik antara usaha
dengan hasilnya (Gie : 1985). Efesiensi ada dua macam yakni Efisiensi usaha belajar yang
dilihat dari prestasi belajar yang dii inginkan dapat dicapai dengan usaha yang minimal,
sedangkan efisiensi hasil belajar dilihar apabila dengan usaha belajar yang tinggi.
Proses belajar yang dipercepat merupakan proses belajar yang efisien. (Thomas L. Madden
M.A 2002 : 3).
Pada dasarnya pembelajaran yang efektif dan efisiensi tidak mungkin lepas dari kemampuan
dan keterampilan seorang guru (pendidik) bagaimana dia dapat mengimplementasikan ilmunya
dalam proses interaksi edukatif. Kemantapan penggunaan metode mengajar, pengelolaan kelas
dan memenej kelas, pengoptimlan situasi dan kondisi berlangsungnya proses belajar mengajar
hingga penggunaan media belajar.
Dari hasil uraian diatas, pembelajaran yang efektif dan efisien adalah pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara
maksimal dengan penggunaan komponen pembelajaran yang minimal. Komponen dalam hal ini
adalah waktu, tenaga, dan biaya.
Dengan demikian kita dapat melihat fungsi penilaian (evaluasi) sebagai titik akhir pencapaian
keberhasilan dan titik awal perbaikan. Nursyid Sumaatmadja (1985) menyatakan bahwa
evaluasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan nilai suatu program, proses, dan hasil
pendidikan.

B. BEBERAPA CARA UNTUK MEMPEROLEH EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS BELAJAR


1. Ragam Pendekatan Belajar
a. Pendekatan hukum Jost.
Menurut Reber ( 1988 ), salah satu asumsi penting yang mendasari hukum Jost adalah siswa
yang lebih sering mempraktekan meteri pelajaran akan mudah mngingat kembali memori lama
yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni, maksudnya adalah ketika siswa
mempelajari materi tersebut yang panjang dan kompleks dengan alokasi waktu dua jam perhari
selama empat hari akan lebih efektif dari pada mempelajari materi tersebut dengan alokasi
waktu empat jam sehari tetapi hanya selama dua hari, perumpamaan dengan cara mencicil
tersebut hingga kini masih dipandang cukup berhasil terutama untuk materi-meteri yang
bersifat hafalan.
b. Pendekatan Ballard dan Clanchy
Menurut Ballard dan Clanchy ( 1990 ) ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu
pengetahuan yaitu sikap melestarikan apa yang sudah ada Conserving dan sikap memperluas
Extending. Siswa yang conserving umumnya mengunakan pendekatan belajar dengan
Reproduktif yaitu belajar dengan menghafal, menjelaskan, meringkas yang tujuannya untuk
menyebutkan kembali materi-materi yang sudah disampaikan. Sedangkan siswa yang extending
umumnya menggunakan pendekatan Analitis yaitu belajar dengan berfikir kritis, berargumen
yang tujuannya pembentukan kembali materi kedalam pola baru atau berbeda.
Diantara mereka ( siswa ) yang bersifat extending cukup banyak yang menggunakan
pendekatan belajar yang lebih ideal yaitu pendekatan Spekulatif yaitu belajar dengan mencari
kemungkinan dan penjelasan baru yang tujuannya menciptakan atau mengembangkan materi
pengetahuan.
c. Pendekatan Biggs.
Menurut hasil penelitian Biggs ( 1991 ), pendekatan belajar siswa dapat dikelompokkan menjadi
tiga prototype ( bentuk dasar ) yakni :
 Pendekatan surface ( pendekatan permukaan )
Yaitu siswa belajar karena dorongan dari luar Ekstrinsik antara lain takut tidak lulus yang
mengakibatkan dia malu, gaya belajarnya pun santai, asal hafal dan tidak secara mendalam
dalam memahami materi, pendekatan ini tidak baik digunakan untuk siswa karena siswa tidak
sungguh-sungguh dalam belajar.

 Pendekatan deep ( mendalam )


Yaitu siswa dalam mempelajari materi sungguh-sungguh, serius, lulus dengan nilai baik adalah
penting bagi siswa ini tetapi yang paling penting adalah memiliki pengetahuan yang cukup
banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya .
 Pendekatan achieving ( pencapaian prestasi tinggi )
Yaitu siswa belajar karena memiliki ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi
keakuan dirinya dengan cara meraih prestasi setinggi-tingginya, gaya belajarnya serius dan dia
sangat cerdik serta efisien dalam mengatur waktu, dia sangat disiplin dan berjiwa kompetisi
untuk meraih nilai yang paling tinggi disbanding denganteman-temannya.
2.3 Alternatif Model Pembelajaran
Pada rentangan usia dini seluruh aspek perkembangan kecerdasar seperti IQ, EQ, dan
SQ tumbuh dan berkembangan sangat luar biasa. Tingkat perkembangan ini masih
melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta mampu memahami
hubungan antara konsep secara sederhana.
Sesuai dengan tahap perkembangan anak yang melihat segala sesuatu sebagai satu
keutuhan (holistik) pembelajaran tematik akan mengembangkan anak untuk berfikir
holistik dan memberikan kemudahan bagi peserta didik.
Menurut Piaget (1950) setiap anak memiliki struktur kongitif yang disebut schemata
sebagai hasil pemahaman terhadap objek ada dilingkungannya, pemahaman
berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasikan untuk menafsirkan objek.
Kedua proses tersebut berlangsung terus menerus dan membuat pengetahuan lama
dan pengetahuan baru menjadi seimbang.
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk
mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman
terhadap siswa, memberikan pengalaman langsung. Pemisahan pelajaran tidak bergitu
jelas sehingga terfokus pada pembehasan tema dalam pembelajaran, menyajikan
konsep dari berbagai mata pelajaran, sifatnya yang fleksibel, hasil pembelajaran
disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa, menggunakan prinsip dasar belajar
yang menyenangkan.
Fungsi pembelajaran terpadu adalah mengefektifkan dan mengefisiensikan terhadap
pembelajaran kajian materi sehingga siswa dapat dengan cepat menyelesaikan studi
materinya.
Jenis pembelajaran terpadu ada 3 model yaitu :
1. § Conected Model (keterhubungan) model ini memadukan materi-materi yang
saling berhubungan dalam satu mata pelajaran tertentu (inter-mata pelajaran)
dengan satu tema yang ditentukan.
2. § Webbed Model (jaringan laba-laba) midel ini memadukan materi-materi yang
saling terkait dengan tema yang telah ditentukan dan memungkinkan mengambil
materi dari mata pelajaran lain (antara mata pelajaran)
3. § Integrated Model (Keterpaduan) Model ini mengaharuskan pendidik untuk
menentukan materi-materinya terlebih dahulu dari tiap materi antara mata
pelajaran sampai menemukan central cord yaitu materi yang saling tumpang tindih
yang kemudian dijadikan tema pembelajaran.

 Manajemen Kelas Berbasis Teknologi


Manajemen Kelas Berbasis Teknologi (MKBT) adalah pengelola proses belajar
mengajar dikelas secara efektif dan efesien dengan memanfaatkan teknologi
komputerisasi. Disini guru berperan mempersiapkan, menata komponen fisi kelas, juga
kesiapan siswa untuk menerima pelajaran melalui teknologi komponen.
Pembelajaran tidak hanya terpakau pada kegiatan berbicara dan transfer pengetahuan
saja, tetapi guru juga bertinda sebagai coaching (pelatih) dari pada hanya sekedar
telling (pembicara) dan spending (penyalur) ilmu pengetahuan.
Pemamfaatan teknologi informasi merupakan basis dalam mengembangkan
pembelajaran di dalam kelas. Berdasarkan hasil penelitian , dapat dilihat bahwa
teknologi memberikan dan menuntun hal-hal berikut :
1. Menurut guru melakukan pekerjaan dan alat yang lebih rumit
2. Guru sebagai pelatih
3. Menyediakan kesempatan guru untuk memperlajari isi pembelajaran dengan
metode yang tepat berdasarkan kurikulum
4. Motivasi (dorongan) siswa untuk bekerja keras dan berhati-hati dalam belajar
5. Membangun budaya nilai dan mutu kekerjaan dalam sekolah secara signifikan.
Pengelolaan kelas dengan memanfaatkan teknologi memerlukan persiapan yang
matang, baik dari sisi kemampuan guru juga ketersediaan sarana dan sting kelas.
Leingkungan kelas harus memberikan dukungan kepada kegaiatan belajar yang
menyenangkan bagi murid dan guru pun harus bisa mengajar dengan nyaman pula. Hal
esensial yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Perlukan teknologi harus tepat sesuai kebutuhan pembelajar
2. Kesiapan guru dalam memahami dan mengoprasikan teknologi teknologi yang
dimanfaatkan
3. Memperhatikan unsur keselamatan dan kenyamanan serta keindahan harus tetap
terjaga.
Guru yang inovatif sangat dibutuhkan dalam memanfaatkan teknologi sebagai alat
bantu dalam pembelajaran yang dilakukannya, dimulai dari kegiatan merencanakan
(planning). Melaksanakan pembelajaran hingga penilaian hasil belajar dengan
kreatifitas guru maka kegiatan pembelajaran bisa lebih efektif dan efisien yakni lebih
cepat, lebih berhasil dan lebih bermanfaat bagi muri.

Guru revolusioner
Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan
masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan?
Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang
perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.

Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati adalah meraka
yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner
mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah”
belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa
di sekolah.

era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh
kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai
guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan
guru salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih
kreatif, inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan
sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.

Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru aspal.
Karena apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai
insan pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan
mencegah munculnya guru aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif.
Setidaknya ada beberapa cara, antara lain:

Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS
atau GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk sekolah dan
menjadi guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah/dinas,
asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah.

Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru
tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru harus
memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Agama
Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di
lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa
Indonesia mengajar materi bahasa Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi
Ekonomi, dan sebagainya.

Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-
plus. Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu
menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang
disebut dengan “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru
killer yang ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai
Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan
masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak
pendidikan di negara ini.

Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak
kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi
dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru
revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh
kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan,
karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan
pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan
bersikp disiplin kalau gurunya tidak.

Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat
dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia
berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.

Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be),
tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).

Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan
semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.

Anda mungkin juga menyukai