Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

CERMINAN MASYARAKAT DALAM DRAMA ‘AUDATU


AL-FIRDAUS KARYA ALI AHMAD BAKATSIR
(Suatu Kajian Pendekatan Sosiologi Sastra)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Ganjil
Mata Kuliah Teori Sastra Makro yang Diampu oleh Dr. Ridwan, S.Ag M.Hum

Disusun Oleh:
ISTIQAMATUD DINIYYA MUTTAQIN
19101010095

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Cerminan Masyarakat dalam Drama ‘Audatu Al-Firdaus ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
ujian akhir semester pada mata kuliah Teori Sastra Makro yang diampu oleh
Bapak Dr. Ridwan, S.Ag M.Hum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang analisis sosiologi pengarang bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 23 Desemberr 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2
BAB II 4
PEMBAHASAN 4
Pengertian Drama 4
Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra 4
Sinopsis Drama ‘Audatu Al-Firdaus 5
Analisis Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Drama ‘Audatu
Al-Firdaus 8
BAB III 13
PENUTUP 13
Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra sebagai seni yang memiliki unsur kemanusiaan yang


di dalamnya mengandung ungkapan perasaan manusia yang bersifat
pribadi yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan
keyakinan dalam gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona
dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Drama sebagai
salah satu genre karya sastra berupa karangan yang menggambarkan atau
mengilustrasikan realita kehidupan, watak, dan tingkah laku manusia.
Kisah yang disampaikan di dalamnya melalui peran dan dialog yang
ditampilkan dalam beberapa babak.
‘Audatu Al-Firdaus adalah salah satu drama yang menceritakan
tentang sejarah kehidupan bangsa Indonesia dalam perjalanan
memperjuangkan kemerdekaan. Dalam proses tersebut, dialog-dialog pada
‘Audatu Al-Firdaus sarat dengan nilai-nilai nasionalisme yang ada pada
diri setiap masyarakat Indonesia saat itu. Saat menuliskan drama ini, tepat
sekitar setahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. ‘Audatu
Al-Firdaus sebagai sebuah catatan sejarah yang layaknya dibaca oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Namun tak banyak dari rakyat Indonesia
saat ini yang mengenal karya dalam peristiwa besar Indonesia dari tokoh
sastrawan yang turut mengharumkan nama Indonesia di Mesir.
Ali Ahmad sebagai pengarang berusaha menunjukkan
pembentukan nasionalisme pada diri para tokoh pejuang Indonesia.
Melalui karya nya ini, ia seolah ingin mengatakan bahwa kemerdekaan
bangsa Indonesia adalah hasil dari perjuangan para pejuang pribumi,
bukan sebagai hadiah dari sekutu yang saat itu berhasil mengusir Jepang
dari Indonesia. Ia merupakan sastrawan Arab peranakan Indonesia.
Kiprahnya di bidang sastra meninggalkan catatan tersendiri bagi
masyarakat Arab. Di antara karya-karya sastra Ali Ahmad Bakatsir, lebih

1
dari tiga puluh karya sastra drama telah ditulis. Tema yang diusung dalam
karya dramanya tidak lepas dari tema sejarah, legenda dan folklor
(Starkey, 2006: 186).1
Melalui tema yang disajikan dalam drama ‘Audatu Al-Firdaus
landasan peneliti dalam menyajikan masalah ini dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra teori Ian Watt. Menurutnya ada tiga bagian
telaah sastra dalam pendekatan sosiologi sastra yaitu konteks sosial
pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra.
Namun disini penulis akan membatasi pembahasan dengan memilih salah
satu pemikiran Watt tentang sosiologi sastra dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat. Pandangan dunia
pengarang dalam suatu karya sastra dapat dikatakan sebagai konsep dasar
penting yang merupakan hubungan hasil mediasi ideologi pengarang.
Digunakannya pendekatan sosiologi sastra pada penelitian ini karena
peneliti memperhatikan beberapa permasalahan yang terdiri dari
pandangan pengarang terhadap rasa nasionalisme yang terdapat pada
karyanya dalam ruang lingkup masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu drama?
2. Apa itu pendekatan sosiologi sastra?
3. Bagaimana sinopsis dari drama ‘Audatu Al-Firdaus?
4. Bagaimana cerminan masyarakat dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus?

C. Tujuan Masalah

1. Mendeskripsikan pengertian dari drama


2. Mendeskripsikan pendekatan sosiologi sastra
3. Mendeskripsikan sinopsis dari drama ‘Audatu Al-Firdaus

1
Muhammad Rokib, “Kembalinya Surga Firdaus: Menilik Kemerdekaan Indonesia Melalui
Pandangan Ali Ahmad Bakatsir dalam Drama ‘Audat Al-Firdaus”, Jurnal Pena Indonesia,
Vol 2, No. 2 (2016): hal 167.

2
4. Mendeskripsikan cerminan masyarakat dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Drama

Kata drama berasal dari bahasa Yunani yaitu “draomai” yang


berarti berbuat, bereaksi, berbuat atau bertindak dan sebagainya. Dalam
istilah bahasa Perancis drama berasal dari kata “drame”, yang diambil oleh
Diderot dan Beaumarchaid yaitu drama bermaksud untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Menurut Rendra,
drama adalah seni yang mengungkapkan pikiran atau perasaan orang
dengan mempergunakan laku jasmani dan ucapan kata-kata.
Adapun menurut Hasanuddin drama merupakan salah satu genre
karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang dipentaskan sebagai
suatu seni pertunjukan. Sedangkan Syahid memberi pengertian drama
yang lebih kompleks tentang drama yang meliputi 1) drama termasuk
salah satu cabang seni sastra, 2) substansi drama adalah konflik, 3) drama
cenderung mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan, 4) drama adalah
cerita yang biasa dipentaskan diatas panggung dan 5) drama membutuhkan
ruang, waktu dan penonton.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa drama adalah
genre sastra yang berupa lakon yang ditulis dengan dialog-dialog yang
memperhatikan unsur-unsur dengan gerak atau perbuatan yang akan
dipentaskan di atas panggung dengan beberapa babak.

B. Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi Sastra adalah salah satu kajian penelitian wilayah


sosiologi yang luas. Menurut Ratna, sosiologi sastra adalah pemahaman
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatannya. Suatu pemahaman terhadap totalitas karya yang
disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di
dalamnya. Selain itu, sosiologi sastra sebagai suatu pemahaman karya
sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi

4
nya. Selain itu, sebagai hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan
masyarakat.
Warren dan Wellek (dalam Budiantara, 1990:111) membagi telaah
sosiologi menjadi tiga klarifikasi. Pertama, sosiologi pengarang. Sosiologi
pengarang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik dan
segala sesuatu yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya
sastra. Yaitu telaah yang mempermasalahkan tentang suatu karya sastra,
dan pokok yang menjadi telaah nya adalah tentang apa yang tersirat dalam
karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak
disampaikannya. Ketiga, sosiologi pembaca. Sosiologi pembaca
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat.2
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa
sosiologi sastra adalah hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan
kehidupan sosial dalam karya sastra. Untuk itu guna memperjelas arah
pembahasan ini, penulis berlandaskan pada pendapat Watt. Menurutnya
ada tiga bagian telaah sastra dalam pendekatan sosiologi sastra yaitu
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi
sosial sastra. Namun disini penulis akan membatasi pembahasan dengan
.memilih salah satu pemikiran Watt tentang sosiologi sastra dalam drama
Audatul Firdaus, yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat.

C. Sinopsis Drama ‘Audatu Al-Firdaus

Drama ‘Audatu al-Firdaus diperankan oleh tiga belas aktor. Para


aktor drama ditampilkan melalui dialog-dialog drama dalam empat babak.
Adapun tiga belas aktor tersebut adalah Suleiman (pemuda pengikut Sutan
Syahrir), Majid (pemuda pengikut Sukarno sebagai petugas keamanan),
Zainah (kekasih Sulaiman, adik Majid), Aisyah (kekasih Majid, adik
Sulaiman), Hamidah (Ibu Sulaiman dan Aisyah), Haji Abdul Karim (ayah
Sulaiman dan Aisyah), Utih (pembantu di rumah Haji Abdul Karim,

2
Ilmi Sholihat, “Konflik, Kritik Sosial, dan Pesan Moral dalam Naskah Drama Cermin
Karya Nano Riantiarno (Kajian Sosiologi Sastra), Jurnal Membaca Vol 2 No.1 (2017): 30

5
Izzudien (seorang pemimpin laskar perlawanan gerilya melawan penjajah
Jepang), Sutan Syahrir (seorang pemimpin gerakan perlawanan bawah
tanah melawan penjajahan Jepang), Soekarno (suaranya muncul di babak
akhir, pemimpin Pemerintahan Nasional dalam Perjanjian dengan penjajah
Jepang dan Presiden Republik Indonesia Merdeka, Van Dyk (orang
Belanda yang berhasil melarikan dari tawanan Jepang yang meminta
perlindungan kepada pejuang revolusi), Van Marten (orang Belanda Nazi
yang bekerja sama dengan Jepang), Kitajo dan Sahute (tentara Jepang
yang tertawan oleh pejuang nasionalis, Prajurit dan Penjaga.
Babak pertama bermula dari Markas Bawah Tanah Pergerakan
Revolusi Tanah Air di sebuah kampung di dekat Batavia. Terletak di
Jakarta, ibu kota Pulau Jawa. Sekitar pukul sembilan malam, Suleiman
mengalunkan lagu bertemakan kemerdekaan dengan suara rendah dan
sedih. Melalui dialog dengan Izzuddin, Sulaiman mengatakan bahwa lagu
kesedihan tersebut muncul karena adanya kemiskinan dan penderitaan
yang dialami oleh orang Indonesia.
Lalu dibalas dengan lagu Izzuddin yang berusaha memberi
dorongan pada sulaiman yang bermakna bahwa kemerdekaan akan segera
datang. Izzuddin mengatakan bahwa “esok burung akan pulang, dalam
keadaan merdeka ke sarang nya”. Sulaiman cemas karena kekasihnya,
Zainah yang sedang menempuh sekolah perawat. Menurutnya, pada giliran
kekasihnya akan merawat orang-orang dan tentara Jepang yang dianggap
sering berbuat asusila pada perawat pribumi.
Babak kedua sekitar jam lima sore terjadi dialog antara Abdul
Karim, Hamidah, Aisyah, Otih, Majid dan Sulaiman. Di depan rumah Haji
Abdul Karim dialog panjang terjadi antara Majid dan Sulaiman yang
berdebat mengenai nasionalisme antara para pengikut Syahrir yang yang
diwakili Sulaiman dan pengikut Soekarno yang diwakili Majid. Dalam
perdebatan itu, Sulaiman memandang bahwa Majid dan para pengikut
Soekarno telah bekerjasama dengan Jepang dan berusaha mempertahankan
jabatan mereka. Sementara Majid berpendapat bahwa para pengikut
Soekarno telah mengambil langkah politik cermat dengan diplomasi

6
kemerdekaan yang memihak dan mengurangi korban perang fisik terhadap
Jepang. Begitu pula Majid memandang Sulaiman dan kelompok Syahrir
terlalu beresiko karena banyak mengorbankan nyawa penduduk sipil
dengan pertempuran fisik yang tidak jelas ujung penyelesaiannya. Majid
berpendapat bahwa tentara Indonesia belum mampu melawan penjajah
secara fisik sehingga perlu langkah diplomatis untuk merenggut
kemerdekaan. Sementara itu, Sulaiman tetap bersikukuh bahwa
perjuangan kemerdekaan harus direbut dengan peperangan fisik.
Babak ketiga kembali diawali dengan lagu puitis Sulaiman tentang
kerinduan kemerdekaan Indonesia. Tampak sedang duduk di mejanya
Sulaiman memandang kertas-kertas laporannya sambil bersenandung
dengan suara yang perlahan. Di Tempat ini pula Syahrir membaca pesan
dari Soekarno agar Syahrir dan tentaranya menghentikan pemberontakan
rahasia kepada Jepang agar mendapat persyaratan ringan dari sekutu.
Secara lisan Soekarno berharap Syahrir bersedia menjadi kepala
negara. Namun, Syahrir menolak dan justru menginginkan Soekarno
sebagai kepala negara jika kemerdekaan berhasil diraih. Selanjutnya,
Sulaiman tetap menolak ajakan Soekarno untuk menghentikan
pemberontakan terhadap Jepang. Ketika mereka mendengar Jepang akan
menyerah kepada sekutu, Sulaiman dan tentaranya bergerak melakukan
perampasan markas-markas tentara Jepang di pelosok negeri.
Babak keempat menceritakan peristiwa yang terjadi pada tanggal
17 Agustus 1945 di rumah Abdul Karim dan di lapangan Gambir. Suara
ledakan bom dan tembakan terjadi sejak jam tujuh pagi. Ribuan tentara
pribumi menyerang tentara Jepang yang menjaga lapangan Gambir.
Akhirnya tentara pribumi berhasil menguasai markas-markas tentara
Jepang dan mengumandangkan takbir dan kemerdekaan. Terjadilah
konflik kepemimpinan antara pengikut Soekarno dan pengikut Syahrir
dimana masing-masing pengikut mengajukan pemimpin mereka

7
masing-masing. Setelah Soekarno dan Syahrir berpidato dan mengajukan
koleganya, akhirnya Soekarno yang terpilih sebagai pemimpin.3

D. Analisis Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Drama ‘Audatu


Al-Firdaus

Drama ‘Audatu Al-Firdaus karya Ali Ahmad Bakatsir


menceritakan tentang sejarah kehidupan bangsa Indonesia dalam
perjalanan memperjuangkan kemerdekaan, sebuah catatan sejarah yang
layaknya dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia. ‘Audatu Al-Firdaus
ditulis sekitar awal ramadhan pada tahun 1365 H atau bertepatan dengan
29 Juli 1946 M. Saat menuliskan drama ini, sekitar setahun setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ali Ahmad Bakatsir merupakan salah
satu tokoh yang menyiarkan lagu Indonesia Raya di antara mahasiswa
Mesir yang digubah ke dalam bahasa Arab. Naskah drama ‘Audatu
Al-Firdaus diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Maktabah Masr.
Hubungan antara karya sastra dan masyarakat memang tak
terbantahkan. Pengarang sebagai pencipta karya sastra merupakan anggota
masyarakat. Ia hidup, belajar, dibina dan dibentuk dengan sosiokultural
masyarakatnya. Sehingga apa yang dilakukan pengarang akan diwarnai
dan dipengaruhi oleh latar belakang masyarakatnya.
Latar belakang Ali Ahmad Baktsir menuliskan karya ‘Audatu
Al-Firdaus ini adalah semangat nasionalisme yang tertanam dalam diri
nya. Nasionalisme disini tertanam dalam diri pengarang dalam usaha
merebut kebebasan kolektif atau kemerdekaan. Rasa cinta nya terhadap
tanah air sangat besar sehingga lakon-lakon yang dimunculkan dalam
suasana budaya kolonial memiliki usaha-usaha untuk mengukuhkan
identitas nasional yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari pihak
pejuang yang memiliki kultur terjajah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan:
‫يوما إلى وكره‬ ‫متى يثوب الطير‬

3
Muhammad Rokib, “Kembalinya Surga Firdaus: Menilik Kemerdekaan
Indonesia Melalui Pandangan Ali Ahmad Bakatsir dalam Drama ‘Audat
Al-Firdaus”, Jurnal Pena Indonesia, Vol 2, No. 2 (2016): hal 167.

8
‫فيه على أمره؟‬ ‫فال يجور الغير‬
‫هل يصل الركب‬ ‫بعد السر والعين ؟‬
...
‫والقيد في رجلى‬ ‫الحب في قلبي‬
4
‫هيمان يهواك‬ ‫زين اذكرى يا زين‬
Kapan burung akan kembali
Suatu saat ke sangkarnya
Maka janganlah iri
Pada hal tersebut?
Apakah rombongan akan sampai
Sesudah perjalanan malam?
Dan apakah akan membahagiakan
Dan menyenangkan hati?
Cinta bersemayam dalam jantung
Tapi sudah kita tinggalkan
Zain tinggallah hai Zain
Angan-angan mencintaimu5
Frasa (burung akan kembali) diartikan sebagai kerinduan akan
kemerdekaan yang menunjukkan bagaimana Ali menggambarkan tokoh
Sulaiman yang mengharapkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan.
Cerminan Ali Ahmad Bakatsir sebagai masyarakat yang identitas sejatinya
tidak tunggal alias multi identitas. Identitas Ali Ahmad Bakatsir adalah
Jawa, Arab dan terjajah. Ia merupakan keturunan Arab Hadramaut yang
lahir di Surabaya. Dalam kondisi multi identitas tersebut Ali Ahmad
Bakatsir berusaha menuangkan imajinasinya melalui syair-syair kerinduan
yang diucapkan oleh tokoh Sulaiman. Mengingat kehidupan Ali Ahmad
Bakatsir adalah sebagai sastrawan Arab modern.
Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat,
mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya
Ali Ahmad Bakatsir berupaya mendokumentasikan zaman sekaligus
sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Pengarang
sebagai seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita
zaman melalui cerminan dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan).
Strategi itu diterapkan pada nama para tokoh dalam drama Audatul
Firdaus yaitu dengan nama yang berunsur dari nama Arab. Bahkan Ali

5
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 6

9
Ahmad Bakatsir menuliskan nama Presiden pertama Soekarno dengan
menambahkan nama Ahmad di depan sehingga menjadi Dr. Ahmad
Sukarno.6
Rangkaian itu menjadi salah satu tujuan Ali Ahmad Bakatsir
menulis drama ini sebagai media yang memberikan penjelasan kepada
Bangsa Arab Muslim untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Bakatsir
secara kuat menampakkan simbol-simbol Islam sebagai ekspresi dari
keyakinan dan lingkup sosial budaya yang dimilikinya. Melalui drama
‘Audatu Al-Firdaus ini Ali Ahmad Bakatsir berusaha mengemukakan
pendapat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan
rakyat Indonesia sendiri dan bukan hadiah dari sekutu maupun Jepang
sebagaimana yang diklaim Jepang.
Alur cerita yang ditulis oleh Ali Ahmad Bakatsir berhasil
menampilkan perdebatan antara Sulaiman sebagai pendukung kelompok
Sutan Syahrir yang menolak bekerjasama dengan penjajah Jepang melalui
Gerakan Bawah Tanah dan Majid pendukung kelompok Soekarno yang
pada waktu itu memutuskan untuk bekerja sama dengan Jepang. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan:
‫ فأين وطنيتكم من وطنيتنا وأين زعيمكم من زعيمنا؟‬... : ‫سليمان‬
،‫ إن جهاد الدوكتور سوكارنو في مداورته للسلطة اليابانية العسكرية ومجا<بتها الحبل‬: ‫ماجد‬
7
‫ألشق من جهاد زعيمكم وهو يعمل في الظالم وينحصر في عمله في حطف الجنود اليابانيين‬
Sulaiman: Dimana nasionalisme dan pimpinan kalian dibandingkan
nasionalisme dan pimpinan kami?
Majid: Perjuangan Soekarno yang berkecimpung dengan Jepang dan
menjalin hubungan dengan mereka lebih besar dibandingkan perjuangan
pimpinan kalian yang bekerja di malam hari dan usahanya itu hanya

6
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 10
7
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 73

10
sebatas menculik tentara dan menghancurkan markas militer tanpa
memikirkan akibat yang ditimbulkan.8
Perdebatan mengenai praktik nasionalisme antara kelompok
Syahrir dan pengikut Soekarno, keduanya berusaha menggambarkan
dalam pandangan mereka masing-masing. Majid berpendapat bahwa para
pengikut Soekarno telah mengambil langkah politik cermat dengan
diplomasi kemerdekaan yang memihak dan mengurangi korban perang
fisik terhadap Jepang. Sementara Sulaiman bersikukuh bahwa perjuangan
fisik melawan penjajah sebagaimana langkah Syahrir melalui
strategi-strategi perang adalah bentuk sejati dari cinta tanah air.
Dalam praktiknya, tokoh Sulaiman dalam drama ini memiliki
perbedaan pandangan yang sangat jelas dengan pribumi terjajah lainnya,
bahkan dengan Syahrir sebagai pemimpinnya. Tokoh Sulaiman
digambarkan sebagai lakon yang memaknai arti kemerdekaan sebagai
tujuan yang dihasilkan melalui kemenangan fisik atau peperangan fisik.
Namun Ali Ahmad Bakatsir berusaha menyandingkan tokoh
Sulaiman dengan lakon-lakon lain yang berusaha mencapai kemerdekaan
dengan banyak jalan. Memaknai cinta tanah air secara luas dan tidak
sekedar usaha imajinasi kolektif kaum pribumi terjajah. Dari peran tokoh
seperti Majid, Hamidah, Zainah: Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(halaman 100) :
‫ لن تتم سعادتى حتى يزول الخالف بينهما في خدمة الوطن‬: ‫زينة‬
‫ أم انصمام‬، ‫ ( مداعبا ) أي األمرين تعنين يا رينة ؟ انضمام أخيك إلى فريقنا‬: ‫شاهرير‬
‫روجك إلى فريق الحكومة ؟‬
‫ بل أعنى اتفاق الفريقين على خطة زينة زينة واحدة‬، ‫ ال أعنى هذا وال هذا‬: ‫زينة‬
‫ أتعتقدين أن ذلك في اإلمكان ؟‬: ‫شاهرير‬
‫ ما يمنع الفريقين من ذلك ما دام رائدهما حب الوطن ؟‬: ‫زينة‬9

8
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 93
9
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 100

11
Zainah: Tidak akan lengkap kebahagiaanku selama mereka masih
berseteru di dalam pengabdian pada tanah air.
Syahrir: (Berkelakar) Mana yang lebih kau inginkan, Zainah?
Bergabungnya saudaramu kedalam kelompok kita (kelompok bawah
tanah), atau bergabungnya suamimu ke dalam barisan pemerintah.
Zainah: Aku tidak menginginkan keduanya, melainkan lebih penting
persatuan antara dua barisan ini dalam langkah bersama.
Syahrir: Apa kau pikir itu mungkin?
Zainah: Apa yang mencegah dua kelompok itu melakukan hal tersebut,
selama kedua pemimpinnya mencintai tanah air?10
Tentunya semua itu juga membutuhkan informasi yang cukup
untuk dapat merangkai cerita yang berdasar fakta sejarah. Dalam proses
mengarang drama Ali Ahmad Bakatsir selalu aktif memantau dan
berdiskusi seputar perkembangan informasi perjuangan bangsa Indonesia
melalui sahabat-sahabatnya dalam Panitia Pembela Kemerdekaan
Indonesia di Mesir.
Walaupun mereka yang ada di Mesir saat itu belum mengerti
dengan detail jalannya perjuangan menjelang proklamasi, mereka
merangkai berita berangsur-angsur yang lolos sensor penjajah Jepang pada
waktu itu. Dari potongan berita tersebut dirangkai sebuah cerita khayalan
dan ditulis dalam sebuah buku yang berjudul “Indonesia As-Sairah” yang
berarti Indonesia Berevolusi.11

10
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 130
11
Ibid hal ix

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun menurut Hasanuddin drama merupakan salah satu genre


karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang dipentaskan sebagai
suatu seni pertunjukan. Sedangkan Syahid memberi pengertian drama
yang lebih kompleks tentang drama yang meliputi 1) drama termasuk
salah satu cabang seni sastra, 2) substansi drama adalah konflik, 3) drama
cenderung mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan, 4) drama adalah
cerita yang biasa dipentaskan diatas panggung dan 5) drama membutuhkan
ruang, waktu dan penonton.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa drama adalah
genre sastra yang berupa lakon yang ditulis dengan dialog-dialog yang
memperhatikan unsur-unsur dengan gerak atau perbuatan yang akan
dipentaskan di atas panggung dengan beberapa babak. Yaitu telaah yang
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra, dan pokok yang menjadi
telaah nya adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan
apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Melalui drama
‘Audatu Al-Firdaus ini Ali Ahmad Bakatsir berusaha mengemukakan
pendapat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan
rakyat Indonesia sendiri dan bukan hadiah dari sekutu maupun Jepang
sebagaimana yang diklaim Jepang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bakatsir, Ali Ahmad. (1946). ‘Audatu Al-Firdaus. Mesir, Dar Misr li


al-Thiba’ah.
Bakatsir, Ali Ahmad (2018). Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah
Epos Lahirnya Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. Jakarta
Selatan: Yayasan Menara Center
Chafid, Nur. (2011). Ideologi Tokoh-Tokoh Utama dalam Roman La
Debacle Karya Emile Zola: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Ian Watt. (Skripsi
Sarjana, Universitas Negeri Semarang, 2011) Diakses dari Untitled (unnes.ac.id)
Fajarintansari, Dwi. (2021). Sutan Syahrir dan Perjuangan Diplomasi
Mempertahankan Kemerdekaan. Diakses pada 28 November 2021, dari Sutan
Syahrir dan Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Halaman all -
Kompasiana.com
Rokib, Muhammad. (2016). Kembalinya Surga Firdaus: Menilik
Kemerdekaan Indonesia Melalui Pandangan Ali Ahmad Bakatsir dalam Drama
‘Audatu Al-Firdaus. Jurnal Pena Indonesia, Vol 2, No. 2, 160-175
Sholihat, I. (2017). Konflik, Kritik Sosial, dan Pesan Moral dalam Naskah
Drama Cermin Karya Nano Riantiarno (Kajian Sosiologi Sastra). Jurnal
Membaca Vol 2 No. 1, 29-36

14

Anda mungkin juga menyukai