Disusun Oleh:
ISTIQAMATUD DINIYYA MUTTAQIN
19101010095
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Cerminan Masyarakat dalam Drama ‘Audatu Al-Firdaus ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
ujian akhir semester pada mata kuliah Teori Sastra Makro yang diampu oleh
Bapak Dr. Ridwan, S.Ag M.Hum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang analisis sosiologi pengarang bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2
BAB II 4
PEMBAHASAN 4
Pengertian Drama 4
Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra 4
Sinopsis Drama ‘Audatu Al-Firdaus 5
Analisis Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Drama ‘Audatu
Al-Firdaus 8
BAB III 13
PENUTUP 13
Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
dari tiga puluh karya sastra drama telah ditulis. Tema yang diusung dalam
karya dramanya tidak lepas dari tema sejarah, legenda dan folklor
(Starkey, 2006: 186).1
Melalui tema yang disajikan dalam drama ‘Audatu Al-Firdaus
landasan peneliti dalam menyajikan masalah ini dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra teori Ian Watt. Menurutnya ada tiga bagian
telaah sastra dalam pendekatan sosiologi sastra yaitu konteks sosial
pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra.
Namun disini penulis akan membatasi pembahasan dengan memilih salah
satu pemikiran Watt tentang sosiologi sastra dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat. Pandangan dunia
pengarang dalam suatu karya sastra dapat dikatakan sebagai konsep dasar
penting yang merupakan hubungan hasil mediasi ideologi pengarang.
Digunakannya pendekatan sosiologi sastra pada penelitian ini karena
peneliti memperhatikan beberapa permasalahan yang terdiri dari
pandangan pengarang terhadap rasa nasionalisme yang terdapat pada
karyanya dalam ruang lingkup masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu drama?
2. Apa itu pendekatan sosiologi sastra?
3. Bagaimana sinopsis dari drama ‘Audatu Al-Firdaus?
4. Bagaimana cerminan masyarakat dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus?
C. Tujuan Masalah
1
Muhammad Rokib, “Kembalinya Surga Firdaus: Menilik Kemerdekaan Indonesia Melalui
Pandangan Ali Ahmad Bakatsir dalam Drama ‘Audat Al-Firdaus”, Jurnal Pena Indonesia,
Vol 2, No. 2 (2016): hal 167.
2
4. Mendeskripsikan cerminan masyarakat dalam drama ‘Audatu
Al-Firdaus
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Drama
4
nya. Selain itu, sebagai hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan
masyarakat.
Warren dan Wellek (dalam Budiantara, 1990:111) membagi telaah
sosiologi menjadi tiga klarifikasi. Pertama, sosiologi pengarang. Sosiologi
pengarang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik dan
segala sesuatu yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya
sastra. Yaitu telaah yang mempermasalahkan tentang suatu karya sastra,
dan pokok yang menjadi telaah nya adalah tentang apa yang tersirat dalam
karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak
disampaikannya. Ketiga, sosiologi pembaca. Sosiologi pembaca
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat.2
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa
sosiologi sastra adalah hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan
kehidupan sosial dalam karya sastra. Untuk itu guna memperjelas arah
pembahasan ini, penulis berlandaskan pada pendapat Watt. Menurutnya
ada tiga bagian telaah sastra dalam pendekatan sosiologi sastra yaitu
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi
sosial sastra. Namun disini penulis akan membatasi pembahasan dengan
.memilih salah satu pemikiran Watt tentang sosiologi sastra dalam drama
Audatul Firdaus, yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat.
2
Ilmi Sholihat, “Konflik, Kritik Sosial, dan Pesan Moral dalam Naskah Drama Cermin
Karya Nano Riantiarno (Kajian Sosiologi Sastra), Jurnal Membaca Vol 2 No.1 (2017): 30
5
Izzudien (seorang pemimpin laskar perlawanan gerilya melawan penjajah
Jepang), Sutan Syahrir (seorang pemimpin gerakan perlawanan bawah
tanah melawan penjajahan Jepang), Soekarno (suaranya muncul di babak
akhir, pemimpin Pemerintahan Nasional dalam Perjanjian dengan penjajah
Jepang dan Presiden Republik Indonesia Merdeka, Van Dyk (orang
Belanda yang berhasil melarikan dari tawanan Jepang yang meminta
perlindungan kepada pejuang revolusi), Van Marten (orang Belanda Nazi
yang bekerja sama dengan Jepang), Kitajo dan Sahute (tentara Jepang
yang tertawan oleh pejuang nasionalis, Prajurit dan Penjaga.
Babak pertama bermula dari Markas Bawah Tanah Pergerakan
Revolusi Tanah Air di sebuah kampung di dekat Batavia. Terletak di
Jakarta, ibu kota Pulau Jawa. Sekitar pukul sembilan malam, Suleiman
mengalunkan lagu bertemakan kemerdekaan dengan suara rendah dan
sedih. Melalui dialog dengan Izzuddin, Sulaiman mengatakan bahwa lagu
kesedihan tersebut muncul karena adanya kemiskinan dan penderitaan
yang dialami oleh orang Indonesia.
Lalu dibalas dengan lagu Izzuddin yang berusaha memberi
dorongan pada sulaiman yang bermakna bahwa kemerdekaan akan segera
datang. Izzuddin mengatakan bahwa “esok burung akan pulang, dalam
keadaan merdeka ke sarang nya”. Sulaiman cemas karena kekasihnya,
Zainah yang sedang menempuh sekolah perawat. Menurutnya, pada giliran
kekasihnya akan merawat orang-orang dan tentara Jepang yang dianggap
sering berbuat asusila pada perawat pribumi.
Babak kedua sekitar jam lima sore terjadi dialog antara Abdul
Karim, Hamidah, Aisyah, Otih, Majid dan Sulaiman. Di depan rumah Haji
Abdul Karim dialog panjang terjadi antara Majid dan Sulaiman yang
berdebat mengenai nasionalisme antara para pengikut Syahrir yang yang
diwakili Sulaiman dan pengikut Soekarno yang diwakili Majid. Dalam
perdebatan itu, Sulaiman memandang bahwa Majid dan para pengikut
Soekarno telah bekerjasama dengan Jepang dan berusaha mempertahankan
jabatan mereka. Sementara Majid berpendapat bahwa para pengikut
Soekarno telah mengambil langkah politik cermat dengan diplomasi
6
kemerdekaan yang memihak dan mengurangi korban perang fisik terhadap
Jepang. Begitu pula Majid memandang Sulaiman dan kelompok Syahrir
terlalu beresiko karena banyak mengorbankan nyawa penduduk sipil
dengan pertempuran fisik yang tidak jelas ujung penyelesaiannya. Majid
berpendapat bahwa tentara Indonesia belum mampu melawan penjajah
secara fisik sehingga perlu langkah diplomatis untuk merenggut
kemerdekaan. Sementara itu, Sulaiman tetap bersikukuh bahwa
perjuangan kemerdekaan harus direbut dengan peperangan fisik.
Babak ketiga kembali diawali dengan lagu puitis Sulaiman tentang
kerinduan kemerdekaan Indonesia. Tampak sedang duduk di mejanya
Sulaiman memandang kertas-kertas laporannya sambil bersenandung
dengan suara yang perlahan. Di Tempat ini pula Syahrir membaca pesan
dari Soekarno agar Syahrir dan tentaranya menghentikan pemberontakan
rahasia kepada Jepang agar mendapat persyaratan ringan dari sekutu.
Secara lisan Soekarno berharap Syahrir bersedia menjadi kepala
negara. Namun, Syahrir menolak dan justru menginginkan Soekarno
sebagai kepala negara jika kemerdekaan berhasil diraih. Selanjutnya,
Sulaiman tetap menolak ajakan Soekarno untuk menghentikan
pemberontakan terhadap Jepang. Ketika mereka mendengar Jepang akan
menyerah kepada sekutu, Sulaiman dan tentaranya bergerak melakukan
perampasan markas-markas tentara Jepang di pelosok negeri.
Babak keempat menceritakan peristiwa yang terjadi pada tanggal
17 Agustus 1945 di rumah Abdul Karim dan di lapangan Gambir. Suara
ledakan bom dan tembakan terjadi sejak jam tujuh pagi. Ribuan tentara
pribumi menyerang tentara Jepang yang menjaga lapangan Gambir.
Akhirnya tentara pribumi berhasil menguasai markas-markas tentara
Jepang dan mengumandangkan takbir dan kemerdekaan. Terjadilah
konflik kepemimpinan antara pengikut Soekarno dan pengikut Syahrir
dimana masing-masing pengikut mengajukan pemimpin mereka
7
masing-masing. Setelah Soekarno dan Syahrir berpidato dan mengajukan
koleganya, akhirnya Soekarno yang terpilih sebagai pemimpin.3
3
Muhammad Rokib, “Kembalinya Surga Firdaus: Menilik Kemerdekaan
Indonesia Melalui Pandangan Ali Ahmad Bakatsir dalam Drama ‘Audat
Al-Firdaus”, Jurnal Pena Indonesia, Vol 2, No. 2 (2016): hal 167.
8
فيه على أمره؟ فال يجور الغير
هل يصل الركب بعد السر والعين ؟
...
والقيد في رجلى الحب في قلبي
4
هيمان يهواك زين اذكرى يا زين
Kapan burung akan kembali
Suatu saat ke sangkarnya
Maka janganlah iri
Pada hal tersebut?
Apakah rombongan akan sampai
Sesudah perjalanan malam?
Dan apakah akan membahagiakan
Dan menyenangkan hati?
Cinta bersemayam dalam jantung
Tapi sudah kita tinggalkan
Zain tinggallah hai Zain
Angan-angan mencintaimu5
Frasa (burung akan kembali) diartikan sebagai kerinduan akan
kemerdekaan yang menunjukkan bagaimana Ali menggambarkan tokoh
Sulaiman yang mengharapkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan.
Cerminan Ali Ahmad Bakatsir sebagai masyarakat yang identitas sejatinya
tidak tunggal alias multi identitas. Identitas Ali Ahmad Bakatsir adalah
Jawa, Arab dan terjajah. Ia merupakan keturunan Arab Hadramaut yang
lahir di Surabaya. Dalam kondisi multi identitas tersebut Ali Ahmad
Bakatsir berusaha menuangkan imajinasinya melalui syair-syair kerinduan
yang diucapkan oleh tokoh Sulaiman. Mengingat kehidupan Ali Ahmad
Bakatsir adalah sebagai sastrawan Arab modern.
Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat,
mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya
Ali Ahmad Bakatsir berupaya mendokumentasikan zaman sekaligus
sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Pengarang
sebagai seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita
zaman melalui cerminan dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan).
Strategi itu diterapkan pada nama para tokoh dalam drama Audatul
Firdaus yaitu dengan nama yang berunsur dari nama Arab. Bahkan Ali
5
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 6
9
Ahmad Bakatsir menuliskan nama Presiden pertama Soekarno dengan
menambahkan nama Ahmad di depan sehingga menjadi Dr. Ahmad
Sukarno.6
Rangkaian itu menjadi salah satu tujuan Ali Ahmad Bakatsir
menulis drama ini sebagai media yang memberikan penjelasan kepada
Bangsa Arab Muslim untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Bakatsir
secara kuat menampakkan simbol-simbol Islam sebagai ekspresi dari
keyakinan dan lingkup sosial budaya yang dimilikinya. Melalui drama
‘Audatu Al-Firdaus ini Ali Ahmad Bakatsir berusaha mengemukakan
pendapat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan
rakyat Indonesia sendiri dan bukan hadiah dari sekutu maupun Jepang
sebagaimana yang diklaim Jepang.
Alur cerita yang ditulis oleh Ali Ahmad Bakatsir berhasil
menampilkan perdebatan antara Sulaiman sebagai pendukung kelompok
Sutan Syahrir yang menolak bekerjasama dengan penjajah Jepang melalui
Gerakan Bawah Tanah dan Majid pendukung kelompok Soekarno yang
pada waktu itu memutuskan untuk bekerja sama dengan Jepang. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan:
فأين وطنيتكم من وطنيتنا وأين زعيمكم من زعيمنا؟... : سليمان
، إن جهاد الدوكتور سوكارنو في مداورته للسلطة اليابانية العسكرية ومجا<بتها الحبل: ماجد
7
ألشق من جهاد زعيمكم وهو يعمل في الظالم وينحصر في عمله في حطف الجنود اليابانيين
Sulaiman: Dimana nasionalisme dan pimpinan kalian dibandingkan
nasionalisme dan pimpinan kami?
Majid: Perjuangan Soekarno yang berkecimpung dengan Jepang dan
menjalin hubungan dengan mereka lebih besar dibandingkan perjuangan
pimpinan kalian yang bekerja di malam hari dan usahanya itu hanya
6
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 10
7
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 73
10
sebatas menculik tentara dan menghancurkan markas militer tanpa
memikirkan akibat yang ditimbulkan.8
Perdebatan mengenai praktik nasionalisme antara kelompok
Syahrir dan pengikut Soekarno, keduanya berusaha menggambarkan
dalam pandangan mereka masing-masing. Majid berpendapat bahwa para
pengikut Soekarno telah mengambil langkah politik cermat dengan
diplomasi kemerdekaan yang memihak dan mengurangi korban perang
fisik terhadap Jepang. Sementara Sulaiman bersikukuh bahwa perjuangan
fisik melawan penjajah sebagaimana langkah Syahrir melalui
strategi-strategi perang adalah bentuk sejati dari cinta tanah air.
Dalam praktiknya, tokoh Sulaiman dalam drama ini memiliki
perbedaan pandangan yang sangat jelas dengan pribumi terjajah lainnya,
bahkan dengan Syahrir sebagai pemimpinnya. Tokoh Sulaiman
digambarkan sebagai lakon yang memaknai arti kemerdekaan sebagai
tujuan yang dihasilkan melalui kemenangan fisik atau peperangan fisik.
Namun Ali Ahmad Bakatsir berusaha menyandingkan tokoh
Sulaiman dengan lakon-lakon lain yang berusaha mencapai kemerdekaan
dengan banyak jalan. Memaknai cinta tanah air secara luas dan tidak
sekedar usaha imajinasi kolektif kaum pribumi terjajah. Dari peran tokoh
seperti Majid, Hamidah, Zainah: Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(halaman 100) :
لن تتم سعادتى حتى يزول الخالف بينهما في خدمة الوطن: زينة
أم انصمام، ( مداعبا ) أي األمرين تعنين يا رينة ؟ انضمام أخيك إلى فريقنا: شاهرير
روجك إلى فريق الحكومة ؟
بل أعنى اتفاق الفريقين على خطة زينة زينة واحدة، ال أعنى هذا وال هذا: زينة
أتعتقدين أن ذلك في اإلمكان ؟: شاهرير
ما يمنع الفريقين من ذلك ما دام رائدهما حب الوطن ؟: زينة9
8
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 93
9
Ali Ahmad Bakatsir, Audatu al-Firdaus. (Mesir: Dar Misr li al-Thiba’ah, 1946),
hal 100
11
Zainah: Tidak akan lengkap kebahagiaanku selama mereka masih
berseteru di dalam pengabdian pada tanah air.
Syahrir: (Berkelakar) Mana yang lebih kau inginkan, Zainah?
Bergabungnya saudaramu kedalam kelompok kita (kelompok bawah
tanah), atau bergabungnya suamimu ke dalam barisan pemerintah.
Zainah: Aku tidak menginginkan keduanya, melainkan lebih penting
persatuan antara dua barisan ini dalam langkah bersama.
Syahrir: Apa kau pikir itu mungkin?
Zainah: Apa yang mencegah dua kelompok itu melakukan hal tersebut,
selama kedua pemimpinnya mencintai tanah air?10
Tentunya semua itu juga membutuhkan informasi yang cukup
untuk dapat merangkai cerita yang berdasar fakta sejarah. Dalam proses
mengarang drama Ali Ahmad Bakatsir selalu aktif memantau dan
berdiskusi seputar perkembangan informasi perjuangan bangsa Indonesia
melalui sahabat-sahabatnya dalam Panitia Pembela Kemerdekaan
Indonesia di Mesir.
Walaupun mereka yang ada di Mesir saat itu belum mengerti
dengan detail jalannya perjuangan menjelang proklamasi, mereka
merangkai berita berangsur-angsur yang lolos sensor penjajah Jepang pada
waktu itu. Dari potongan berita tersebut dirangkai sebuah cerita khayalan
dan ditulis dalam sebuah buku yang berjudul “Indonesia As-Sairah” yang
berarti Indonesia Berevolusi.11
10
Ali Ahmad Bakatsir, Kembalinya Surga yang Hilang : Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia ; Penerjemah: Nabiel A. Karim Hayaze’. (Jakarta Selatan:
Yayasan Menara Center, 2018). hal 130
11
Ibid hal ix
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
14