Berdasarkan ketebalan tempurung ada varietas Dura, varietas Psifera dan varietas
10
varietas nigrescens (ketika mentah berwarna ungu sampai hitam, matang berwana
merah-kuning) banyak ditemukan di Indonesia. Varietas virescens (mentah berwarna
hijau, matang berwarna jingga kemerahan dan ujungnya berwarna hijau), jarang
dijumpai di lapangan. Dan varietas albencens (mentah warna kuning pucat dan
keputihan, matang kekuning-kuningan dengan ujungnya ungu kehitaman), tidak
ditemukan di lapangan karena kurang dibudidayakan.
152
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
sawit . Karena alasan politik dan keamanan agar produksi berjalan baik,
pemerintah menempatkan perwira militer di setiap jenjang manajemen
perkebunan dan membentuk kelompok buruh militer (BUMIL) sebagai
wujud kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Namun
dampak perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial
politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif,
menyebabkan produksi kelapa sawit menurun lagi sehingga posisi
Indonesia sebagai pemasok minyak kelapa sawit dunia terbesar digeser
oleh Malaysia. Kemudian pada masa Orde Baru, pembangunan
perkebunan kelapa sawit diarahkan kembali untuk menciptakan
kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagai
sektor penghasil devisa negara. Maka pemerintah terus mendorong
pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit di seluruh
Indonesia. Menurut sumber tersebut pada tahun 1980, luas lahan
perkebunan kelapa sawit mencapai 294.560 hektare dengan produksi
Crude Palm Oil (CPO) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan
kelapa sawit Indonesia berkembang pesat sebagai perkebunan rakyat.
Pada tahun 2012, Indonesia menjadi produsen kelapa sawit berbentuk
CPO terbesar di dunia, sebesar 45% dari keluaran global
(http://www.petanihebat.com/2013/11/sejarah-kelapa-sawit.html,
diunduh 27 Juni 2015). Menurut data Bank Indonesia dari sumber yang
didapat menyebutkan, pendapatan ekspor kelapa sawit untuk
Indonesia sebesar US$ 18 miliar dan pendapatan dari pajak ekspor
sebesar US$ 2,8 miliar. Karena itu menurut Krystof Obidzinki, peneliti
senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR), kelapa
sawit mempunyai kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur dan
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga pemerintah
merencanakan akan memperluas perkebunan kelapa sawit menjadi 4
juta hektare dalam 10 (sepuluh) tahun ke depan. Papua merupakan
target utama ekspansi kelapa sawit karena di daerah lain seperti
Sumatera dan Kalimatan lahan yang tersedia terbatas
(http://blog.cifor.org/22628/rencana-perkebunan-kelapa-sawit-di-
papua-mungkin-akan-lebih-menguntungkan-para-migran-ketimbang-
penduduk-lokal-laporan#,VY-O1K789dg., diunduh 27 Juni 2015).
153
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
Total 942.160,31 ha
PTPN II
Dari sejumlah ceritera masyarakat di Workwana dan Arsokota
diketahui bahwa ternyata pada masa Pemerintahan Belanda di Papua
156
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
ada berbagai survey, dan wilayah Keerom dilihat sebagai salah satu
tempat yang cocok untuk pengembangan pertanian dan perkebunan,
sesuai dengan rencana percepatan pembangunan Papua oleh
Pemerintah Belanda. Menurut Meteray (2012,143-168), strategi
Belanda setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) Tahun 1950 dibuatlah
perencanaan percepatan pembangunan Papua di bidang pemerintahan,
pendidikan dan ekonomi, untuk menghalangi niat Indonesia merebut
Papua. Setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia, rencana tersebut
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya dan Kabupaten
Jayapura. Ketika Bapak Barnabas Youwe menjadi Bupati Jayapura,
mulailah ditindaklanjuti pengembangan daerah Keerom sebagai daerah
pertanian dan perkebunan. Sejalan dengan kepentingan politik
pembangunan di daerah perbatasan RI dan PNG, masuklah Perseroan
Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang berpengalaman
mengelola kelapa sawit ke Keerom bersama dengan berbagai
perusahaan HPH yang mengelola hutan Keerom.
PTPN II sebagai perusahaan kelapa sawit di Keerom
merupakan BUMN yang sejak tahun 1980-an bergerak dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Arso, yang
berpusat di Medan Sumatera Utara. Sesudah itu beberapa perusahaan
kelapa sawit lainnya menyusul masuk dan beroperasi di Kabupaten
Keerom.
Sejarah Berdirinya PTPN II
PTPN II dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.
7 Tahun 1996, tanggal 14 Februari 1996 , tentang Peleburan
Perusahaan Persero PT Perkebunan II dan Perusahaan Persero PT
Perkebunan IX, menjadi Perusahaan Persero, PT Perkebunan
Nusantara II. BUMN ini merupakan penggabungan perusahaan
perkebunan di wilayah Sumatera Utara dari eks PTP II dan PTP IX.
Selain di Sumatera, perusahaan ini juga mengembangkan tanaman
kelapa sawit di wilayah Papua yaitu di Kabupaten Manokwari dan
Arso, Kabupaten Jayapura, sekarang Kabupaten Keerom. 90% saham
dalam PTPN II merupakan saham Pemerintah Indonesia yang
kemudian dialihkan ke PTPN III dan menjadikan PTPN III sebagai
157
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
Surat pelepasan tanah tersebut ditandatangani oleh tujuh orang yaitu, Demianus
11
Borotian, Mikael Wabiager, Albertus Kiryar, Ivo Girbes, Nazarius Fatagur, Kondrat
Bate dan Fransiskus Babut, yang disaksikan oleh Kepala Kampung Arsokota
ModestusTuamis, Kepala Kampung Workwana Yakob Gusbager, Camat Arso Frans
Dumatubun dan Koramil 1707 Arso P. Abdul Latief
162
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
Pelepasan tanah tahap berikut ini yang menandatangi ada 24 orang, antara lain yaitu
12
Damianus Borotian, Ivo Girbers, Frans Tafor, Julius Putuy, Petrus Musuy, Nazarius
Fatagur, Kondrat Bate, Frans Babut, Michael Wabiager, Karel Tuamis. Pelepasan ini
disaksikan Kepala Desa Arso Modestus Tuamis, Kepala Desa Workwana Yakob
Gusbager, Camat Arso Frans Dumatubun, Kapolsek Arso Andi Idrus Bate serta
Danramil Arso Abdul Laitef
163
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
164
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
Tabel 5.4
Waktu Tanam Kelapa Sawit di Distrik Arso
No. Tahun tanam Tempat Keterangan
Kelapa Sawit
1. 1980/1981 Arsokota Termasuk PIR 1, Kwimi
2. 1981/1982 PIR 1 Kampung Tua Wor
3. 1982/1983 PIR 1 & Tikungan Kepala
Putus
4 1983/1984 Workwana
5 1984/1985 Workwana, PIR 2, PIR 3
PIR 2, 3 & 4
Sumber: Penelitian di Kampung Workwana 2015
165
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
dilakukan agar tidak terjadi erosi dan menjaga kesuburan tanah serta
pemeliharaan jembatan panen serta kegiatan pemeliharaan lainnya.
Perempuan di Kebun Sawit dan Sistem Kerja
Dalam pertemuan dengan ibu-ibu asal Kampung Workwana di
Susteran KSFL Kampung Workwana, mereka berceritera mengenai
pengalaman bekerja di kebun sawit. Menurut penyampaian ibu-ibu
tersebut, ketika penanaman awal tahun 1983/1984 di depan jalan Trans
Irian depan Kampung Workwana sampai di PIR 3, Bagia, saat itu
seluruh wilayah ini masih berupa hutan. Ibu-ibu dan kaum perempuan
muda pada awal pembukaan lahan belum terlibat.
Ketika penulis bertanya kepada Ibu Martina dan kawan-
kawannya tentang bagaimana pengalaman mereka terlibat menanam
kelapa sawit, spontan pengalaman masa lalu tersebut diungkapkan
kembali. Ibu-ibu dengan penuh semangat berceritera bahwa mereka
terlibat juga memikul bibit kelapa sawit dari jalan raya ke kebun,
setelah itu menanam bibit tersebut di dalam lubang yang sudah digali
sebelumnya oleh orang yang disewa menggali lubang. Dikatakan oleh
ibu-ibu tersebut, orang yang memikul bibit kelapa sawit dibayar per
pohon Rp 300; dan orang yang menggali lubang dibayar Rp 150; Selain
pembayaran per pohon, pembayaran orang yang memikul bibit kelapa
sawit diperhitungkan juga oleh perusahaan sesuai dengan jarak tempuh
atau seseorang memikul bibit kelapa sawit yang hendak ditanam.
Dikatakan oleh ibu-ibu tersebut pada waktu awal pembukaan lahan
sawit sudah ada banyak orang Papua dari luar Keerom dan pendatang
dari luar Papua yang terlibat dalam bekerja bersama saling membantu
di lahan kelapa sawit.
Lahan milik orang Workwana letaknya di depan jalan masuk
Kampung Workwana sampai dengan kampung tua, sebelah utara jalan
Trans Irian dan masuk ke dalam sampai di gunung PIR 3, Bagia,
sebelah selatan jalan Trans Irian. Ibu-ibu itu menyatakan, pekerjaan di
lahan kelapa sawit dilakukan bapak-bapak sejak jam 06.00 pagi
sedangkan ibu-ibu datang kemudian membawa makanan dan ikut
bekerja sampai jam 18.00 sore hari. Anak-anak juga biasa terlibat bila
168
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
selesai sekolah atau waktu libur. Selain pemilik lahan yang bekerja di
lahannya, ada juga kelompok yang membantu membersihkan lahan
sawit, sebulan sekali. Dikatakan oleh salah satu informan warga
Kampung Workwana, sistem kerja di lahan sawit dilakukan secara
berkelompok, bukan hanya untuk pembersihan tetapi juga ketika
panen karena panen biasanya dilakukan bersama. Ada 5 kelompok
kerja di Workwana yakni, diberi nama kelompok Wembi atau
kelompok 15, ada kelompok 12, ada kelompok 13, ada kelompok 11
dan ada kelompok 10. Masing-masing kelompok diberi batas wilayah
kerja. Misalnya kelompok 10 mempunyai wilayah kerja meliputi
kampung tua, di depan Gereja Pentakosta; kelompok 11 wilayah
kerjanya sampai di depan Gapura Kampung Workwana; kelompok 15
bekerja di wilayah PIR 3.
Untuk mengolah hasil panen kelapa sawit maka tahun 1990
pabrik pengolahan kelapa sawit dibangun di dekat Kali Tami.Tahun
1992 mulai panen pertama namun hasil panen pertama masih disebut
sebagai buah pasir. Buah pasir sebagai buah pertama satu tandan
beratnya hanya 1 sampai 2 kg. Ketika panen, ibu-ibu juga aktif terlibat
memanen karena pohon sawit belum tinggi. Diungkapkan oleh ibu-ibu
bahwa pekerjaan di kebun kelapa sawit seperti menanam, memberi
pupuk pada tanaman, memikul kelapa sawit dan membersihkan kebun
dan lain-lain dilakukan sambil menggendong anak. Menurut Ibu
Naomi, pada awal mula pemeliharaan dan perawatan kelapa sawit,
mobil-mobil truk perusahaan membawa pupuk dan membuangnya
ditepi jalan. Masing-masing kelompok kemudian mengangkut dengan
ember, karung dan menghambur di bawah pohon kelapa sawit.
Dikatakannya ketika itu tidak ada gerobak sehingga kebun yang
terletak di gunung, pada waktu panen buah tandan kelapa sawit
brondolan dimaksukkan ke dalam karung dan diguling dari atas
gunung ke bawah. Ketika pohon kelapa sawit masih rendah (1 sampai 2
meter), ibu-ibu juga ikut mendodos. Namun setelah pohon semakin
tinggi hingga mencapai 5 m ke atas, ibu-ibu sudah tidak bisa ikut
mendodos. Pohon yang lebih tinggi biasanya diegrek oleh bapak-bapak
atau laki-laki dewasa (egrek dibuat dari besi, bertangkai bambu, seperti
arit). Kemudian saat panen di tahun-tahun berikutnya, sekitar tahun
169
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
1998 sampai tahun 2000, ibu-ibu dan perempuan muda tidak sanggup
memikul TBS karena satu tandan beratnya bisa mencapai kurang lebih
40 kg. Dari kisah ibu-ibu ini menjadi jelas bahwa ibu-ibu dan kaum
perempuan muda tidak hanya terlibat menanam dan membersihkan
lahan tetapi juga terlibat dalam pemupukan dan pemeliharaan bahkan
ikut memetik dan memikul TBS. Selain itu dikatakan juga bahwa
sebagai pemilik lahan mereka harus bertanggungjawab menyiapkan
makanan dan minuman baik untuk suami maupun untuk anggota
kelompok kerja yang membantu baik saat membersihkan lahan
maupun ketika memanen kelapa sawit.
Pengaturan Uang Hasil Panen
Bagaimana uang hasil panen diatur? Menurut ibu-ibu tersebut,
ketika kelapa sawit mulai ditanam hingga masa panen awal belum ada
bank di Workwana atau Arso untuk menabung uang hasil panen
kelapa sawit. Walaupun begitu, uang yang ada diatur dan dipakai
dengan baik untuk keperluan anak-anak bersekolah dan kebutuhan
rumah tangga. Dikatakan oleh ibu-ibu, hasil sawit ketika itu membuat
ibu-ibu senang dan puas karena bisa memegang uang hasil keringat
sendiri bekerja di kebun kelapa sawit. Sambil mengenang masa lalu dan
dengan perasaan gembira, ibu-ibu mengatakan, “waktu gajian
masyarakat bersama-sama pergi berbelanja di Abepura”. Selain itu ada
kewajiban lain juga yang harus dipenuhi oleh pemilik kebun.
Kewajiban tersebut ialah ketika gajian, pemilik kebun menyetor Rp
500.000,- ke kelompok kerja, yang kemudian ditabung sebagai uang kas
kelompok dan dipakai untuk kesejahteraan kelompok. Satu tahun
uang kelompok bisa terkumpul sebanyak Rp 10.000.000,-.Hal ini
dibenarkan oleh Bapak Melianus, karena dalam pengalamannya selama
kurang lebih 5 tahun, sejak masyarakat mulai panen kelapa sawit,
dikatakan bahwa sebenarnya orang Workwana ketika itu hidup
berkecukupan. Ia sendiri memberi contoh dengan mengatakan, dari
kelapa sawit saya bisa selesai kuliah juga. Pengalaman tersebut diakui
juga oleh Ibu Naomi dengan kawan-kawannya. Dengan bangga mereka
mengatakan, anak-anak yang berhasil dalam studi dan sekarang
170
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
13Beny Montulalu adalah seorang petani sawit asal Manado yang kemudian juga
mengatakan, sejak Juni-Agustus tahun 2015, harga kelapa sawit per ton
ada di kisaran Rp 300.000,- sampai Rp 1.100.000 per ton.
Dikatakan oleh Pak Benny, sekarang ini rata-rata produksi
kelapa sawit menurun di daerah Arso dan Workwana karena usia
tanam yang melampaui waktu sehingga memengaruhi harga
pembelian. Selain itu pengelompokkan menurut afdeling sebagaimana
disebut di atas, juga dibedakan jenis petani perkebunan kelapa sawit ke
dalam tiga kelompok yakni petani kebun inti, petani kebun plasma dan
petani Koperasi Kredit Primer Anggota (KPPA). PTPN II mengelola
kebun inti dan mempekerjakan tenaga petani atau buruh tani di bawah
pengawasan perusahaan. Sedangkan kelompok petani kebun plasma
mengelola kebunnya sendiri atau menyewa tenaga buruh tani
sebagaimana diungkapkan beberapa pemilik kebun kelapa sawit di
Workwana. Sedangkan kelompok KKPA pada umumnya bekerja
secara berkelompok. Kelompok KKPA ini berada di Arso 2, Arso 7,
Arso 8 dan Swakarsa. Kelompok ini pada umumnya warga transmigrasi
yang mendapat fasilitas kredit sebagai petani kelapa sawit karena
menjadi anggota koperasi. Dampak dari fluktuasi harga kelapa sawit
seperti disebutkan di atas memengaruhi pendapatan petani. Dikatakan
oleh sejumlah warga di Workwana, dari pengalaman mereka
mengelola kebun kelapa sawit ternyata ada untung dan rugi. Dikatakan
sejak tahun 1998/1999 mereka lebih banyak mengalami kerugian
karena harga yang tidak stabil dan pengeluaran untuk mengelola
kebun tidak sebanding dengan pendapatan.Uang yang ada biasanya
habis digunakan membayar beban-beban urusan kebun sawit dan
keperluan harian keluarga sehingga tidak bisa menabung.
Informasi lain diperoleh dari Pak Thomas Lobay14, tenaga
teknis Dinas Perkebunan Kabupaten Keerom. Ia menjelaskan beberapa
14Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perkebunan Kabupaten
Jayapura. Tahun 1995 diperbantukan sebagai Petugas Khusus pada Kantor Pembantu
Bupati di Kerom. Peranannya, sebagai penghubung antara Pemda Kabupaten Jayapura,
khsususnya dinas terkait dan Kantor Pembantu Bupati Keroom dengan masyarakat
Petani Kelapa Sawit dan PTPN II di Arso. Bekerja di Keerom sejak tahun 1995 sampai
2011, memasuki masa purna tugas. Selama kurang lebih 15 tahun bekerja di Keerom
melayani Petani Sawit dan instansi terkait. Tugas-tugas yang dilaksanakan:
172
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
173
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
174
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
Tabel 5.5
Daftar Nama Pemilik Kebun Kelapa Sawit Kampung Workwana
No Nama Kelamin Kelola Kontrak Jual
Sendiri Lahan Lahan
1 Herman Fatagur L x
2 Yulius Fatagur L x
3 Demianus Fetowin L x
4 Demianus Fatagur L x
5 Modestus Fatagur L x
6 Sumira Wabiager P x
7 Yosep Wabiager L x
8 Bernardus Bate L x
9 Maikel Fatagur L x
10 Patoding L x
11 Amos Bate L x
12 Alber Soputan L x
13 Joni Fatagur L x
14 Pitalius Bate L x
15 Samsudin L x
16 Herlina Boseren P x
17 Piter Tafor L x
18 Susana Bonai P x
19 Hiro Giryar L x
20 Herlina Wihawari P x
21 Lambertus Wellip L x
22 Maria Mou P x
23 Agusta Mou P x
24 Moses Muyasen L x
25 Mikela Suebu P x
26 Mesak Suebu L x
27 Hein Ayomi L x
28 Allo Werung L x
29 Isak Yom L x
30 Yonatan Bate L x
31 Silvester Boryam L x
32 Lukas Meneker L x
33 Gaspar Tafor L x
34 Alex Bawi L x
35 Yohana Antaribaba P x
36 Anton Was L x
37 Maria Bate P x
38 Titus Fatagur L x
39 Dominikus Mesas L x
40 Amatus Toam L x
41 Niko Pongo L x
41 Melianus Gobay L x
42 Markus Mesas L x
43 Yanuarius Mesas L x
175
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
Jumlah 78 2 53 23
176
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
1 2 3
Kelola
sendiri Mengontrakan lahan 69 % Jual lahan
1% 30 %
Gambar 5.5
Diagram Perbandingan Pemanfaatan Lahan Kelapa Sawit
178
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
179
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
182
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
Beban Ganda
Dikatakan oleh sejumlah penduduk Kampung Workwana,
uang pengembangan kebun kelapa sawit PTPN II diambil dari bank
untuk membuka kebun kelapa sawit di Arsokota dan Workwana
melalui sistem kredit. Kredit perusahaan ini kemudian dibebankan
kepada petani. Pengembalian uang kredit ke bank dilakukan dengan
183
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
189
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
190
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
Peran Pemerintah
Peran pemerintah pusat. Dari sejarah pengembangan kelapa
sawit di Indonesia, dapat dilihat bahwa pemerintah, baik di pusat
maupun daerah mempunyai peran yang signifikan dalam urusan
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal tersebut
dapat dilihat dari regulasi-regulasi dan kebijakan-kebijakan yang
dibuat berkaitan dengan izin pengelolaan lahan perkebunan, survei-
survei lahan, pemberian saham usaha, penentuan harga komoditi,
perihal tenaga kerja di perkebunan inti rakyat, pembebasan lahan-
lahan masyarakat serta kompensasinya, penyediaan anggaran
pembinaan dan pelayanan petani serta pengembangan infrastruktur
pembangunan termasuk urusan keamanan usaha dan sebagainya.
Sebagaimana diuraikan oleh Colchester dkk., (2007), dalam
buku berjudul, Promised Land Palm Oil and Land Acquisition in
Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous
Peoples, bahwa ada lima fase kebijakan pembangunan perkebunan
kelapa sawit yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Fase-fase tersebut
yaitu, fase PIR Trans, dimulai sebelum Oktober 1993, fase Deregulasi
1993-1996, fase Privatisasi 1996-1998, fase Kooperatif 1998-2002 dan
fase Desentralisasi 2002-2006. Berikut ini penulis menguraikan garis
besar isi fase-fase kebijakan berdasarkan penjelasan Colchester,dkk.,
sebagai berikut. Pertama, fase PIR Trans. Sebelum Oktober 1993,
pemerintah menetapkan pemusatan penanaman kelapa sawit dalam
pengawasan PTPN, meliputi kebun inti dan plasma yang disatukan
dengan program Transmigrasi sehingga dilakukan konversi tanah dan
hutan secara hukum, seluas 100 hektare. Program tersebut ditetapkan
berdasarkan Inpres RI No.1/1986; MOA-Mof-BPN joint decree No.
364/Kpts-II/1990 (Colchester dkk, 2007, 70). .Selama periode ini, hak-
hak kepemilikan lahan komunitas setempat biasanya tidak diakui.
Bahkan masyarakat asli setempat disatukan dengan warga Transmigran
191
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
192
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
social budaya saja dan belum melihat dampak dari aspek sosial
ekonomi. Dikatakan oleh Malau, dampak kehadiran perusahaan ini
dalam bidang sosial ekonomi ialah isolasi daerah dibuka dan dampak
lain secara politik ialah terbentuknya Kabupaten Keerom sekarang ini.
Selain itu dikatakan juga terkait dengan pembinaan petani,
infrastruktur kebun inti menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi
kebun plasma menjadi tanggung jawab petani plasma.Karena sejak
tanaman kelapa sawit berusia 4 tahun sudah dikonversi ke petani
sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab penuh petani
melalui kelompok tani. Malau menjelaskan bahwa perusahaan hanya
mendampingi dalam pembinaan teknis seperti melakukan penyuluhan.
Akhirnya dikatakan Malau bahwa sebenarnya selama ini PTPN II
dengan kebun-kebun yang ada ini belum pernah mendapat
keuntungan karena masih dibiayai oleh PTPN I Tanjung Morawa
Medan. Dari segi kemampuan produksi pabrik, pada tahun 2008
mengelola 6.800 ton sampai 7.800 ton setiap bulan. Hal ini nampaknya
menjadi alasan yang mendorong pemerintah daerah untuk
mengalihkan PTPN II menjadi BUMD, sebagaimana dijelaskan Celsius
Watae di atas, karena manajeman pengelolaan perusahaan dinilai
kurang sehat. Dari penuturan masyarakat di Workwana, pabrik kelapa
sawit di tepi Sungai Tami dihentikan bukan saja karena mengalami
kerusakan tetapi, pertama-tama karena posisi pabrik berada di atas
tanah di tepi sungai yang labil. Kedua, limbah pabrik berdampak
mencermarkan Sungai Tami sebagai tempat masyarakat atau penduduk
di sekitar menggunakannya sebagai sumber air dan tempat mencari
ikan, udang dan biota lainnya untuk keperluan konsumsi masyarakat.
Sehubungan peran pemerintah daerah, menurut Thomas
Lobay, pemerintah kabupaten juga turut berperan membuka
infrastruktur jalan raya, memperbaiki jalan yang rusak, melakukan
penyuluhan kepada petani kelapa sawit, menangani hama tanaman
kelapa sawit. Dikatakannya, beberapa waktu lalu di tahun 2015 ini, ia
dipanggil oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Papua berkaitan
dengan permasalahan kelapa sawit di wilayah Distrik Arso karena ia
berpengalaman mengurusi masalah kelapa sawit di wilayah Distrik
Arso. Menurut Thomas, lima tahun terakhir ini dirasakan kurang ada
195
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
196
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
198
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
200
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
201
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
bisa pegang jubi (tombak) dan menokok sagu. Sistem pencarian nafkah
seperti itu telah hilang dari kehidupan penduduk setempat yang
sebenarnya dipelajari turun-temurun. Masyarakat sekarang tergantung
dari uang kelapa sawit padahal uang kelapa sawit sama sekali tidak
menjanjikan bagi kehidupan saat ini dan di masa depan.
Pengalaman yang mirip dengan warga di Workwana dialami
juga oleh Bapak Yan Was dari PIR III Kampung Bagia jalur D Timur
RT 05. Disampaikannya, PIR 3 dibuka tahun 1989. Ia mempunyai 2
hektare lahan dan membayarnya dengan cara mengambil kredit
sebesar Rp 7.000.000,- per orang dan uang tersebut dibayar kembali
oleh setiap petani. Yan Was mengatakan dahulu masyarakat
dimukimkan dengan mendapat rumah papan, berukuran 6 m x 6 m dan
hasil dari lahan kelapa sawit, ¾-nya untuk perusahaan. Rakyat sebagai
petani tidak menikmati hasil kelapa sawit karena tidak punya modal
usaha, tidak punya kendaraan. Mobil angkutan truk disewa Rp
300.000,- sampai Rp 500.000,-. Menurut Bapak Yan Was,sekitar satu
tahun tidak panen lagi karena jembatan menuju lahannya sedang rusak
dan belum diperbaiki. Dikaatakan oleh Bapak Yan Was, 1 ton sawit
harus dibayar sekitar Rp 700.000,- padahal belum dihitung ongkos
membayar buruh, di mana orang yang mengegrek kelapa sawit dibayar
Rp 2.000,- per tandan. Yang memikul TBS harganya lain lagi, bila
dekat dengan jalan raya, pemikul dibayar Rp 1.500,- per tandan; bila
agak jauh dari jalan raya dibayar Rp 2.000 per tandan dan bila lebih
jauh lagi dari jalan raya dibayar Rp 3.000,- per tandan. Pembayaran
tersebut belum termasuk ongkos makan, minum dan rokok buruh,
karena semuanya menjadi tanggung jawab pemilik lahan atau orang
yang mengontrak lahan. Dari pengalamannya, pembayaran kepada
buruh dilakukan setelah PTPN II membayar hasil timbangan, hasil
bersih buah kelapa sawit dan ini tergantung dari berat ringan atau
besar kecilnya buah kelapa sawit serta harga yang ditentukan,
mengingat harga kelapa sawit sekarang tidak stabil. Menurut Bapak
Yan biaya makin tinggi, pohon sawit makin sedikit buahnya dan pada
waktu membersihkan lahan dilakukan setiap 3 bulan sekali. Biasanya
yang bekerja 3 sampai 5 orang dan mereka dibayar per orang Rp
1.000.000. Semuannya tanggungan petani yang punya lahan. Buruh
202
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
https://tabloidjubi.worpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterahkan-
18
7.000.000,- per bulan. Suatu penghasilan yang jauh di atas gaji seorang
PNS yang bekerja di kantor pemerintah,” ujar Gubernur Provinsi
Papua Barnabas Subeu kala itu. Tetapi dari catatan Jubi kenyataan di
lapangan hasilnya berbeda jauh.
Selanjutnya, jurnal Jubi menyebut contoh pengalaman
masyarakat Arso dengan PTPN II di Arso.Dikatakan perusahaan kelapa
sawit yang sudah beroperasi kurang lebih 25 tahun ternyata belum
memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Masyarakat petani
baik orang Keerom asli maupun pendatang mengeluh karena
rendahnya harga jual kelapa sawit. Bapak Damasus Kebelen salah satu
warga PIR 2 Arso sebagai salah seorang pemilik lahan kelapa sawit
ketika ditemui tim Jubi dikediamannya, Kamis, 17 Januari 2008
mengatakan ia sudah menjadi penduduk Arso sekitar 20 tahun, setahun
lebih dulu dari trasmigran yang datang dari Pulau Jawa, yaitu sekitar
tahun 1988. Sekitar tahun 1980-an PTPN II Arso mulai masuk diawali
dengan penebangan, pembersihan hutan hingga penanaman kelapa
sawit dilakukan perusahaan. Masyarakat transmigran dan warga lokal
bahu -membahu saling membantu melakukan penanaman, dalam
pemeliharaan dan dan memanen hasil produksi lahan kelapa
sawit.“Awalnya perusahaan kelapa sawit beroperasi, kami tidak terlalu
mengalami kerugian, kami masih bisa mendapat keuntungan sedikit
waktu itu,” kenang Damasus yang pernah menjadi anggota DPRD
Kabupaten Jayapura. Saat itu tukang egrek atau tukang dodos kelapa
sawit dibayar dengan harga standar sebesar Rp 1000,- per tandan.
Tenaga pikul ke jalan raya, dihitung per jarak,tergantung jauh-
dekatnya. Kalau jauh, dibayar seharga Rp1.500,- dan bila dekat dibayar
Rp 1000,- sekali pikul. Dan untuk pembayaran truk yang mengangkut
hasil dari kebun ke perusahaan, petani masih harus membayar sebesar
Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,- sekali jalan. Namun sejak akhir
tahun 2004 hingga awal tahun 2005, harga sawit mengalami
penurunan dan ongkos tenaga kerja serta ongkos truk mengalami
peningkatan sehingga petani mengalami kesulitan dan mengalami
banyak kerugian. Dikatakan oleh Pak Damasus tahun 2007, warga
berdemonstrasi ke kantor DPRD Keerom mengenai penurunan harga
kelapa sawit dari perusahaan. Penurunan harga kelapa sawit selama ini
204
Kelapa Sawit di Kampung Workwana
205
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
206