Anda di halaman 1dari 56

BAB 5

KELAPA SAWIT DI KAMPUNG WORKWANA

Sajian berikut ini berisikan beberapa hal berkaitan dengan


keberadaan kelapa sawit sebagai komoditi andalan nasional dan
perkembangannya di Papua. Penjelasan ini dimulai dengan membuat
gambaran umum perkembangan usaha kelapa sawit di Papua, secara
khsusus di Kabupaten Keerom, Distrik Arso, Kampung Workwana.
Selain itu akan disampaikan juga pengalaman hidup masyarakat terkait
dengan dampak kelapa sawit terhadap kesejahteraan mereka di
Workwana. Pada bagian akhir akan dibahas pula berbagai
permasalahan yang muncul berkaitan dengan usaha kelapa sawit di
Kampung Workwana.

Kelapa Sawit di Indonesia


Sebelum berbicara mengenai kelapa sawit di Papua, secara
singkat dibahas di sini sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis) di
Indonesia. Dari beberapa sumber diketahui bahwa ada dua jenis kelapa
sawit yang berkembang di Indonesia yaitu Elaeis melanococca atau
Elaeis olivera, berasal dari Amerika Selatan dan Elaeis guineensis
berasal dari Afrika.
Indriarta (2007) dan Putranto Adi (2012) menyatakan bahwa
banyak ditemukan di Indonesia kelapa sawit berdasarkan varietasnya10

Berdasarkan ketebalan tempurung ada varietas Dura, varietas Psifera dan varietas
10

Tenera.Varietas Dura, mempunyai ketebalan tempurung antara 2 mm- 8 mm dan


mempunyai kandungan minyak rendah (17%-18%), serta dalam persilangan biasa
dipakai sebaga ipohon induk betina. Varietas Psifera mempunyai tempurung sangat
tipis dan kandungan minyak tinggi, dipakai dalam persilangan sebagai pohon jantan.
Sedangkan varietas Tenera merupakan hasil persilangan dari varietas duradan
psifera.Varietas ini banyak di tanam di Indonesia, dengan ketebalan tempurung 0,5
mm – 4 mm, dan kandungan minyak 22 – 24 %. Sedangkan dari segi warna kulit, ada
151
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

baik menurut ketebalan tempurung dan daging maupun dari segi


warna kulit. Keduanya juga menjelaskan bahwa kelapa sawit mulai
diperkenalkan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1848,
sebagai tanaman hias. Di masa itu ada empat batang bibit kelapa sawit
yang ditanam di Kebun Raya Bogor, masing-masing dua bibit dari
Bourbon, Mauritius dan dari Hortus Botanicus, Amsterdam Belanda.
Pembudidayaan kelapa sawit sebagai tanaman komersial baru
dilakukan pada tahun 1911 (Sibuea, 2014).

Sumber: Foto B. Renwarin, 2015


Gambar 5.1 Buah Tandan Kelapa Sawit Segar

Sibuea mengungkapkan pada tahun 1919, pada masa


penjajahan Belanda, Indonesia pertama kali mengekspor kelapa sawit
sebanyak 576 ton dan pada tahun 1923 sebanyak 850 ton. Usaha ini
terus berkembang secara signifikan terlihat dari data pada tahun 1940,
di mana Indonesia mampu mengekspor 250.000 ton minyak kelapa
sawit. Akan tetapi pada masa penjajahan Jepang yakni pada tahun
1948/1949, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia hanya mencapai
56.000 ton karena terjadi penyusutan lahan sebesar 16% dari total luas
lahan yang ada. Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia
tahun 1957, Pemerintah Indonesia mengambil alih perkebunan kelapa

varietas nigrescens (ketika mentah berwarna ungu sampai hitam, matang berwana
merah-kuning) banyak ditemukan di Indonesia. Varietas virescens (mentah berwarna
hijau, matang berwarna jingga kemerahan dan ujungnya berwarna hijau), jarang
dijumpai di lapangan. Dan varietas albencens (mentah warna kuning pucat dan
keputihan, matang kekuning-kuningan dengan ujungnya ungu kehitaman), tidak
ditemukan di lapangan karena kurang dibudidayakan.
152
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

sawit . Karena alasan politik dan keamanan agar produksi berjalan baik,
pemerintah menempatkan perwira militer di setiap jenjang manajemen
perkebunan dan membentuk kelompok buruh militer (BUMIL) sebagai
wujud kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Namun
dampak perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial
politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif,
menyebabkan produksi kelapa sawit menurun lagi sehingga posisi
Indonesia sebagai pemasok minyak kelapa sawit dunia terbesar digeser
oleh Malaysia. Kemudian pada masa Orde Baru, pembangunan
perkebunan kelapa sawit diarahkan kembali untuk menciptakan
kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagai
sektor penghasil devisa negara. Maka pemerintah terus mendorong
pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit di seluruh
Indonesia. Menurut sumber tersebut pada tahun 1980, luas lahan
perkebunan kelapa sawit mencapai 294.560 hektare dengan produksi
Crude Palm Oil (CPO) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan
kelapa sawit Indonesia berkembang pesat sebagai perkebunan rakyat.
Pada tahun 2012, Indonesia menjadi produsen kelapa sawit berbentuk
CPO terbesar di dunia, sebesar 45% dari keluaran global
(http://www.petanihebat.com/2013/11/sejarah-kelapa-sawit.html,
diunduh 27 Juni 2015). Menurut data Bank Indonesia dari sumber yang
didapat menyebutkan, pendapatan ekspor kelapa sawit untuk
Indonesia sebesar US$ 18 miliar dan pendapatan dari pajak ekspor
sebesar US$ 2,8 miliar. Karena itu menurut Krystof Obidzinki, peneliti
senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR), kelapa
sawit mempunyai kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur dan
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga pemerintah
merencanakan akan memperluas perkebunan kelapa sawit menjadi 4
juta hektare dalam 10 (sepuluh) tahun ke depan. Papua merupakan
target utama ekspansi kelapa sawit karena di daerah lain seperti
Sumatera dan Kalimatan lahan yang tersedia terbatas
(http://blog.cifor.org/22628/rencana-perkebunan-kelapa-sawit-di-
papua-mungkin-akan-lebih-menguntungkan-para-migran-ketimbang-
penduduk-lokal-laporan#,VY-O1K789dg., diunduh 27 Juni 2015).

153
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Pada awal tahun 1980-an, tanaman kelapa sawit digelar sebagai


komoditi primadona karena memberi keuntungan yang melimpah
sehingga dilakukan perluasan areal perkebunan kelapa sawit secara
besar-besaran di seluruh Indonesia. Bila sebelum Perang Dunia ke II,
Sumatera Utara dan Aceh adalah penghasil minyak kelapa sawit
terbesar di dunia, tetapi setelah perang, Malaysia adalah penghasil
minyak kelapa sawit utama. Malaysia unggul sebagai penghasil kelapa
sawit karena Malaysia dapat mengelola perkebunan kelapa sawit secara
efisien dan didukung oleh penelitian serta pengembangan teknologi
yang mantap (http://www.petanihebat.com/2013/11/sejarah-kelapa-
sawit.html, diunduh 27 Juni 2015). Sampai tahun 2012 perkembangan
luas lahan perkebunan sawit di seluruh Indonesia mencapai 9,27 juta
hektare dan sedang diproyeksikan akan dikembangkan lagi menjadi 18
juta hektare sampai tahun 2020 (http://www.beritasatu.com/ekonomi/
248768-54-perusahaan-kembangkan-sawit-di-papua.html, diunduh27
Juni 2015).

Kelapa Sawit di Papua


Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua dilakukan
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berdasarkan izin-izin resmi
pemerintah pusat, yang dapat dilihat pada Keputusan Menteri
Pertanian berikut.
Pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua
dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.
851/Mentan/XI/1980, Tanggal 12 Oktober 1980 dan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 918/Mentan/XI/1981 Tanggal 28 Oktober 1981
serta Surat Keputusan Menteri Pertanian No 203/Mentan/III/1982
tentang Penugasan Perseroan Terbatas Perusahaan Nusantara II (PTPN
II) membangun perkebunan kelapa sawit di Arso Kabupaten Jayapura
dan Prafi Kabupaten Manokwari.
Berikut penulis sebutkan contoh tiga kabupaten di Provinsi
Papua yang lahan kelapa sawitnya sudah ditanami. Daerah-daerah
tersebut ialah Kabupaten Keerom, seluas 60.601 hektare, di Kabupaten
154
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Merauke, 191.274 hektare, dan di Lereh Kabupaten Jayapura seluas


70.267 hektare. Untuk wilayah Kabupaten Keerom sampai tahun 2015
sudah dibuka lahan kelapa sawit oleh 4 perusahaan, yaitu PTPN 2,
17.974 hektare, PT Bumi Irian Perkasa, 1.068 hektare, PT Victory
4.885 hektare dan PT Tandan Sawita 18.337 hektare [Franky & Morgan
(Penyunting), 2015]. Setelah sekian lama perkebunan kelapa sawit
beroperasi, hasil produksi sawit dari Provinsi Papua sampai tahun
2012, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.1
Produksi Minyak Sawit di Provinsi Papua Tahun 2008-2012
No Tahun produksi Ton Keterangan
1. 2008 16.135
2. 2010 16.317
3. 2011 19.000
4. 2012 14.244
Sumber: http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia=91&i
c=2 diunduh, 27 Juni 2015

Dalam perkembangannya kemudian World Wildlife Fund


(WWF) Indonesia menyuguhkan data temuannya bahwa sampai tahun
2014, sebanyak 30 perusahaan tersebar di 7 (tujuh) kabupaten di
Provinsi Papua, telah mendapat izin prinsip Kementerian Kehutanan
dan sekitar 24 perusahaan memperoleh izin prinsip dari Kementerian
Pertanian untuk melakukan pengembangan usaha pengembangan
lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua. Ketujuh kabupaten
dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2
Tujuh Kabupaten di Provinsi Papua yang Memperoleh Izin Prinsip Usaha dari
Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian R.I Sampai Tahun 2014
No Kabupaten Luas lahan usaha
1 Merauke 150. 872 ha
2 Sarmi 71. 889 ha
3 Kerom 18. 338 ha
4 Jayapura 99. 737 ha
5 Nabire 17. 000 ha
6 Mimika 77. 660 ha
7 Boven Digoel 385. 167 ha
Sumber:http://www.beritasatu.com/ekonomi/248768-54-perusahaan-kembangkan-
sawit-di-papua.html(diunduh 27 Juni 2015)
155
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Sehubungan dengan jenis penggunaan hutan, data Badan Pusat


Statistik (BPS) Kabupaten Keerom menunjukkan bahwa sejak tahun
2011, pengelompokkan penggunaan hutan di wilayah ini diatur sebagai
berikut.
Tabel 5.3
Jenis Penggunaan Hutan Kabupaten Keerom
No. Jenis Penggunaan Luas
1 Kawasan suaka alam 2.490,54 ha
2 Hutan Produksi terbatas 168.959,03 ha
3 Hutan lindung 329.370,09 ha
4 Hutan produksi konversi 216.814,75 ha
5 Hutan produksi 124.225,55 ha
6 Areal penggunaan lain 100.300,35 ha

Total 942.160,31 ha

Sumber: BPS Kabupaten Keerom 2013

BPS Kabupaten Keerom tahun 2013 juga memperlihatkan


bahwa luas lahan pemukiman penduduk di daerah ini hanya 686
hektare atau 0,08% dari total lahan bukan sawah. Luas lahan bukan
sawah yang sebagian besar masih berfungsi sebagai hutan, luasnya
841.701 hektare atau 97,29%. Sisa tanah yang telah dikelola sebagai
perkebunan besar 16.405 hektare atau 1,90% dan 4.056 hektare atau
0,47%, dikelola sebagai tempat kegiatan pertanian lahan kering. Data
ini mengindikasikan bahwa peluang pengembangan dan perluasan
usaha perkebunan industri seperti perkebunan kelapa sawit terus
terjadi dengan alasan luas lahan bukan sawah yang berfungsi sebagai
hutan ternyata masih cukup luas. Kecenderungan ini justru
menyebabkan hilangnya hutan tempat masyarakat setempat atau
penduduk asli Keerom mencari nafkah sebagaimana dikeluhkan
masyarakat selama ini di Kampung Arsokota, Workwana dan
kampung-kampung lain di Kabupaten Keerom.

PTPN II
Dari sejumlah ceritera masyarakat di Workwana dan Arsokota
diketahui bahwa ternyata pada masa Pemerintahan Belanda di Papua
156
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

ada berbagai survey, dan wilayah Keerom dilihat sebagai salah satu
tempat yang cocok untuk pengembangan pertanian dan perkebunan,
sesuai dengan rencana percepatan pembangunan Papua oleh
Pemerintah Belanda. Menurut Meteray (2012,143-168), strategi
Belanda setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) Tahun 1950 dibuatlah
perencanaan percepatan pembangunan Papua di bidang pemerintahan,
pendidikan dan ekonomi, untuk menghalangi niat Indonesia merebut
Papua. Setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia, rencana tersebut
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya dan Kabupaten
Jayapura. Ketika Bapak Barnabas Youwe menjadi Bupati Jayapura,
mulailah ditindaklanjuti pengembangan daerah Keerom sebagai daerah
pertanian dan perkebunan. Sejalan dengan kepentingan politik
pembangunan di daerah perbatasan RI dan PNG, masuklah Perseroan
Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang berpengalaman
mengelola kelapa sawit ke Keerom bersama dengan berbagai
perusahaan HPH yang mengelola hutan Keerom.
PTPN II sebagai perusahaan kelapa sawit di Keerom
merupakan BUMN yang sejak tahun 1980-an bergerak dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Arso, yang
berpusat di Medan Sumatera Utara. Sesudah itu beberapa perusahaan
kelapa sawit lainnya menyusul masuk dan beroperasi di Kabupaten
Keerom.
Sejarah Berdirinya PTPN II
PTPN II dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.
7 Tahun 1996, tanggal 14 Februari 1996 , tentang Peleburan
Perusahaan Persero PT Perkebunan II dan Perusahaan Persero PT
Perkebunan IX, menjadi Perusahaan Persero, PT Perkebunan
Nusantara II. BUMN ini merupakan penggabungan perusahaan
perkebunan di wilayah Sumatera Utara dari eks PTP II dan PTP IX.
Selain di Sumatera, perusahaan ini juga mengembangkan tanaman
kelapa sawit di wilayah Papua yaitu di Kabupaten Manokwari dan
Arso, Kabupaten Jayapura, sekarang Kabupaten Keerom. 90% saham
dalam PTPN II merupakan saham Pemerintah Indonesia yang
kemudian dialihkan ke PTPN III dan menjadikan PTPN III sebagai
157
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang Perkebunan


(https://id.wikipedia.org/wiki/Perkebunan_Nusantara_II, diunduh 28
Juni 2015).
Visi dan Misi PTPN II
Visi PTPN II Tanjung Morawa (dalam, Rosariyanto dkk., 2008)
adalah turut melaksanakan dan menopang kebijaksanaan serta program
pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional umumnya.
Secara khusus di sub sektor perkebunan dalam arti seluas-luasnya
PTPN II bertujuan memupuk keuntungan berdasarkan prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat. Sedangkan Misi perusahaan ini adalah
profitisasi melalui pendayagunaan, pengelolaan perusahaan di bidang
perkebunan, dengan mengusahakan lima budidaya komoditi unggulan
yakni kelapa sawit, karet, kakao, tembakau dan tebu secara efisien,
ekonomis sehingga dapat mencapai produk yang memenuhi standar
kualitas yang dibutuhkan oleh konsumen, serta melakukan
diversifikasi usaha yang dapat mendukung kinerja perusahaan.
Pengelolaan produksi disesuaikan dengan perkembangan teknologi
yang berwawasan lingkungan, memiliki daya saing yang kuat, serta
meningkatkan kemitraan dengan petani untuk memenuhi pasar dalam
dan luar negeri guna kelangsungan usaha dalam mendukung pertanian
dan perkebunan.
Menurut penulis, visi dan misi tersebut di atas amat jelas
memperlihatkan bahwa PTPN II sebagai suatu perusahaan perkebunan
nasional, memberi perhatian utama pada aspek keuntungan (profit).
Dengan kata lain sebagai lembaga niaga PTPN II mempunyai target
yang harus dicapai sementara kepentingan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat sama sekali tidak digubris. Hal ini
mengindikasikan bahwa kepentingan petani sebagai pendukung utama
usaha perkebunan bukan menjadi bagian konkrit dari cita-cita yang
diperjuangkan perusahaan. Dengan kata lain visi dan misi tersebut
sesungguhnya memposisikan petani dan masyarakat setempat sebagai
alat bagi kepentingan perusahaan untuk mendapat keuntungan
sebesar-besarnya. Visi dan misi pembangunan seperti ini menurut
Baswir (2010) dapat dikatakan jauh dari semangat Pasal 33 Undang
158
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Undang Dasar (UUD) 1945, yang menempatkan kedaulatan rakyat dan


kesejahteraannya sebagai tujuan pembangunan ekonomi sebagai bangsa
Indonesia.
Komoditi yang Diusahakan
PTPN II sebagai perusahaan industri perkebunan
mengusahakan berbagai jenis komoditi, yaitu kelapa sawit, karet,
kakao, gula dan tembakau. Budidaya kelapa sawit diusahakan pada
areal seluas 85.988,92 hektare, karet 10.608,47 hektare dan kakao
seluas 1.981,96 hektare. Selain penanaman komoditi pada areal sendiri
plus inti, PTPN II juga mengelola areal plasma milik petani seluas
22.460,50 hektare untuk tanaman kelapa sawit. Di samping itu PTPN II
juga mengelola tanaman musiman yaitu tebu dan tembakau. Tanaman
tebu lahan kering ditanam pada areal seluas 13.226,48 hektare. PTPN II
Nusantara ini sampai sekarang masih mengelola kelapa sawit di
wilayah Keerom, khususnya Kampung Arsokota dan Workwana.
PTPN II merupakan satu-satunya perusahaan milik negara
yang tidak bergerak sendiri di bidang perkebunan kelapa sawit di
Papua. Dari sumber lain diperoleh informasi bahwa data tahun 2014,
mencatat ada sekitar 21 perusahaan telah beroperasi di Papua dalam
bidang pengelolaan kelapa sawit (http://ekuatorial.com/forests/oil-
palm-expansion-has-taken-its-toll-in-sorong-district#!/story=post-
10763, diunduh 31 Mei 2015). Selain perusahaan-perusahaan swasta
nasional terdapat juga perusahaan asing atau perusahaan swasta
nasional yang dimodali oleh perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan
dimaksud adalah, perusahaan modal asing (PMA) Korindo Group, asal
Korea Selatan, yang sedang mengusahakan eks lahan pembalakan kayu
untuk perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel. Selain Korindo
Group, Tadmax Group asal Malaysia dan Pacific Interlink asal Yaman
beroperasi juga di Boven Digoel. Kemudian,The Lion Group asal
Malaysia, Noble Group yang berkantor di Hongkong dan Carson
Cumberbatch asal Sri Lanka mengelola perkebunan kelapa sawit di
Nabire. Sedangkan perusahaan kelapa sawit milik negara hanya satu
yakni PTPN II Arso. Sebelumnya PTPN II juga mengelola kelapa sawit
di Prafi, Manokwari, tapi kemudian pengelolaan kelapa sawit di Prafi
159
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

ditangani perusahaan asal Cina, Yong Jing Investment


(https://awasmifee.potager.org/?p=1198&lang=id, diunduh 31 Mei
2015).
Selanjutnya pada tahun 1992 PTPN II melaporkan bahwa luas
kebun petani plasma 3.600 hektare, luas kebun inti 2.162 hektare
sehingga total luas kebun yang ada 5.762 hektare. Dalam
perkembangan beberapa tahun setelah itu, sampai tahun 2006 PTPN II
telah menyampaikan data luas lahan panen seluruhnya 8.339 hektare,
terdiri dari luas panen kebun plasma 3.600 hektare, luas panen kebun
inti 1.871 hektare, luas panen KKPA (transmigrasi) 1.800 hektare dan
luas panen kebun Perusahaan Bumi Inti Perkasa (BIP) 1.068 hektare.
Namun data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom
menunjukkan luas lahan sawit PTPN II mencapai 11.921 hektare dan
luas panen sebesar 10.195 hektare.
Perbedaan data di atas menimbulkan perbedaan tafsiran.
Pertama, perusahaan tidak membeberkan secara terbuka seluruh luas
kebun kelapa sawit yang selama ini diusahakan berkaitan dengan
produksi dan pajak perusahaan; kedua, pemerintah daerah mencatat
apa adanya luas lahan dan luas panen sawit sesuai dengan kenyataan
lapangan yang ada dan izin-izin pembukaan lahan yang ada. Perbedaan
data seperti ini menurut Greenpeace Southeast Asia memperlihatkan
kurang transparannya pihak-pihak terkait termasuk pemerintah karena
tidak tersedia data mengenai konsesi kelapa sawit secara sentralistik
(http://image.greenpeace.or.id/indonesia-Map/, diunduh 3 Juni 2015).
Rosariyanto, dkk, (2008, 8), dalam laporan penelitiannya
menyebutkan pelaksanaan program perkebunan PTPN II
ditindaklanjuti dengan penyempurnaan perizinan usaha perkebunan
melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.107/Kpts-II/1999. Dalam SK tersebut tertera pernyataan bahwa
usaha perkebunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
berperan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani,
menyerap tenaga kerja, meningkatkan devisa dan pelestarian
lingkungan hidup serta sebagai instrumen pemerataan dan
pengembangan ekonomi rakyat. Pengembangan kelapa sawit didukung
160
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

oleh program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang melibatkan


masyarakat setempat sebagai petani (petani plasma). Padahal dalam
kenyataan program PIR di wilayah Arso dan Workwana sebagian besar
berisikan warga transmigrasi dari luar Papua. Hubungan kerja antara
petani plasma dan perusahaan perkebunan dijalin dalam suatu sistem
yang saling menguntungkan. Menurut hemat penulis yang menarik
untuk dipertanyakan ialah mengapa setelah kebun kelapa sawit
beroperasi 18 tahun, baru kemudian muncul penyempurnaan izin
usaha pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan pada
tahun 1999. Tindakan seperti ini dapat dikatakan sebagai bentuk
derivasi dan akal-akalan terhadap kegiatan usaha perkebunan. Artinya
surat izin tersebut dikeluarkan untuk membenarkan dan melegitimasi
usaha yang sudah berjalan sebagai usaha yang legal.

Perkebunan Sawit di Kampung Workwana Distrik Arso


Bagian ini berisikan pembahasan mengenai pelepasan tanah
adat untuk areal kebun kelapa sawit di Distrik Arso yang meliputi
Kampung Arsokota, Workwana dan beberapa kampung lain seperti
Skanto, pada tahun 1981. Kemudian akan dibahas juga bagaimana
perempuan Kampung Workwana terlibat dan berperan dalam
penanaman dan pemeliharaan kelapa sawit di wilayahnya. Pokok lain
yang juga dibicarakan di sini terkait dengan harga jual kelapa sawit
dalam bentuk tandan buah segar (TBS) yang dari waktu ke waktu
mengalami fluktuasi harga dan dampaknya terhadap masyarakat atau
petani setempat.
Pelepasan Tanah Areal Kebun Kelapa Sawit
Penetapan luas areal perkebunan sawit di Keerom yang
meliputi Kampung Arsokota dan Workwana di masa lalu diketahui
berdasarkan Surat Gubernur Propinsi Irian Jaya No. 143/GIJ/1983
Tanggal 26 Mei 1983 seluas 50.000 hektare. Surat tersebut berisikan
persetujuan tentang letak tempat, izin pelepasan tanah dan tanaman
untuk perkebunan kelapa sawit di Desa Workwana Kecamatan Arso
Kabupaten Jayapura.
161
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Dari dokumen tokoh Adat yang diperlihatkan saat penelitian di


wilayah Arso tentang permasalahan kelapa sawit disebutkan bahwa,
perkebunan kelapa sawit di wilayah Arso dimulai dengan suatu survei
beberapa tahun sebelumnya. Sesudah itu pada tahun 1981/1982
berlangsunglah penanaman kelapa sawit dengan mengutamakan kebun
plasma dalam sistem perkebunan inti rakyat (PIR). Memang salah satu
penelitian pernah dibuat oleh Parsudi Suparlan (1972) di wilayah Arso
tahun 1965. Menurut Suparlan dalam laporan penelitiannya, kegiatan
penelitian tersebut dilakukan berkaitan dengan kepentingan
penempatan transmigrasi di daerah Arso dan tidak mengatakan dalam
rangka pengembangan perkebunan kelapa sawit. Namun dari sejumlah
informasi lain diketahui bahwa sudah ada beberapa penelitian
dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan kepentingan
pengembangan perkebunan sawit di daerah ini.
Berikut ini diuraikan perihal pengalihan atau pelepasan tanah
masyarakat untuk perkebunan sawit di Arsokota dan Workwana.
Rosariyanto dkk., (2008), dalam laporan penelitiannya menyatakan
bahwa pelepasan tanah adat dilaksanakan beberapa tahap. Pada tanggal
9 Juli 1981 terjadi pelepasan hak atas tanah adat (tanah ulayat) seluas
18.000 hektare di Arso, 12.000 hektare di Workwana dan 6.000 hektare
di Skanto11. Pada saat yang sama Panitia Pembebasan Tanah
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Jayapura mengeluarkan
keputusan bahwa tanah seluas 18.000 hektare adalah tanah yang
diserahkan oleh pemiliknya kepada negara dan menjadi tanah yang
langsung dikuasai oleh negara. Berkaitan dengan pelepasan tanah-
tanah tersebut, pada saat yang sama keluarlah keputusan Panitia
Pembebasan Tanah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Jayapura
No 18/KPTS/Pan/1981. Tindak lanjut pelepasan tanah tersebut
diperkuat dengan Keputusan Bupati. Pada tanggal 17 September 1981
muncullah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura

Surat pelepasan tanah tersebut ditandatangani oleh tujuh orang yaitu, Demianus
11

Borotian, Mikael Wabiager, Albertus Kiryar, Ivo Girbes, Nazarius Fatagur, Kondrat
Bate dan Fransiskus Babut, yang disaksikan oleh Kepala Kampung Arsokota
ModestusTuamis, Kepala Kampung Workwana Yakob Gusbager, Camat Arso Frans
Dumatubun dan Koramil 1707 Arso P. Abdul Latief
162
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Nomor 59/KPTS/BUP-JP/1981, isinya tanah seluas 18.000 hektare


akan digunakan untuk lokasi transmigrasi di Arso Kecamatan Arso dan
di daerah Koya Kecamatan Abepura. Menurut Ansaka dkk., (2009, 334-
335), beberapa bulan sesudah itu, pada tanggal 19 Oktober 1982
muncullah surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat seluas
50.000 hektare oleh duapuluh empat orang yang mempunyai hak atas
tanah ulayat yang terletak di Desa Arsokota dan di Desa Workwana12.
Setelah itu menyusullah sebuah surat pada tangal 23 Maret 1983 oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian JayaNo. 53/GIJ/1983 tentang
penetapan lokasi (areal) transmigrasi di Kecamatan Arso Kabupaten
Daerah Tingkat II Jayapura. Namun kemudian pada tanggal 4 Mei 1983
keluar Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Jayapura No.
31/KPTS/BUP-JP/1983 tentang perubahan peruntukan penggunaan
tanah. Dalam SK Bupati tersebut ditetapkan bahwa areal seluas 12.000
hektare di Workwana akan digunakan untuk Proyek Perkebunan
Kelapa Sawit dan Karet yang sebelumnya areal ini ditetapkan untuk
Proyek Transmigrasi. Setelah itu pada tanggal 15 Maret 1986 Panitia
pembebasan tanah mengeluarkan SK No 06/KPTS-PAN/III/86,
berisikan penetapan pemberian rekognisi atas tanah seluas 12.000
hektare di Desa Arsokota dan di Desa Kwimi sebesar Rp 90.000.000,-.
Pemberian rekognisi tersebut dilakukan dalam bentuk barang, yaitu 2
buah mobil truk, 5 buah mobil kijang bak terbuka, 4 buah mesin jahit,
2 buah chainsaw.
Selanjutnya, gambar di bawah ini menunjukkan keadaan di
sekitar Kampung Workwana yang sedang dikelilingi oleh perkebunan
kelapa sawit. Kelapa sawit yang terlihat di sekitar Kampung Workwana
berada di sebelah selatan, sebelah timur dan sebagian kecil di sebelah
barat. Dari ceritera yang beredar di masyarakat,secara besar-besaran
akan dibuka kebun kelapa sawit baru di sebelah utara Kampung

Pelepasan tanah tahap berikut ini yang menandatangi ada 24 orang, antara lain yaitu
12

Damianus Borotian, Ivo Girbers, Frans Tafor, Julius Putuy, Petrus Musuy, Nazarius
Fatagur, Kondrat Bate, Frans Babut, Michael Wabiager, Karel Tuamis. Pelepasan ini
disaksikan Kepala Desa Arso Modestus Tuamis, Kepala Desa Workwana Yakob
Gusbager, Camat Arso Frans Dumatubun, Kapolsek Arso Andi Idrus Bate serta
Danramil Arso Abdul Laitef
163
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Workwana dan Arsokota hingga ke Koya Timur wilayah Kota


Jayapura. Dengan demikian seluruh wilayah Distrik Arso akan
dikepung oleh kebun kelapa sawit.

Sumber: Kantor Distrik Arso, 2010 (Dimodifikasi)


Gambar 5.2
Denah Kampung Workwana dan Perkebunan Kelapa Sawit

Dari sejumlah informasi masyarakat Arso, pada awal tahun


1980-an sebelum kelapa sawit dikembangkan, oleh perusahaan PTPN
II telah dicoba pembudidayaan tanaman karet namun tidak ditanggapi
bahkan ditebang masyarakat sehingga tidak berproduksi. Kelapa sawit
yang ditanam di Arso dan Workwana sebelumnya disemai bibitnya di
Kampung Arsokota, tepatnya di jalan masuk arah ke kampung Kwimi
di samping perkebunan karet, kurang lebih seluas 2 hektare, di lahan
pembibitan yang dulu diperuntukkan bagi pembibitan tanaman karet.
Waktu atau masa tanam kelapa sawit di wilayah Arso dan sekitarnya
berbeda-beda. Tabel berikut ini merupakan gambaran waktu masa
tanam kelapa sawit di Arso dan Workwana

164
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Tabel 5.4
Waktu Tanam Kelapa Sawit di Distrik Arso
No. Tahun tanam Tempat Keterangan
Kelapa Sawit
1. 1980/1981 Arsokota Termasuk PIR 1, Kwimi
2. 1981/1982 PIR 1 Kampung Tua Wor
3. 1982/1983 PIR 1 & Tikungan Kepala
Putus
4 1983/1984 Workwana
5 1984/1985 Workwana, PIR 2, PIR 3
PIR 2, 3 & 4
Sumber: Penelitian di Kampung Workwana 2015

Waktu penanaman sebagaimana terdapat pada Tabel 5.4


menunjukkan bahwa, kelapa sawit awal mula mulai ditanam di daerah
Kampung Arsokota dan sekitarnya, kemudian tahun berikutnya
dilanjutkan di lokasi PIR, termasuk di Kampung Workwana pada
tahun 1983/1984 sampai tahun 1984/1985.
Gambar 5.3 berikut ini merupakan gambar kebun kelapa sawit
di depan jalan masuk Kampung Workwana, tepat di sebelah selatan
jalan Trans Irian. Gambar ini merupakan salah satu bagian dari
hamparan kebun kelapa sawit di Workwana dan sekitarnya, setelah 30
tahun ditanam. Pohon kelapa sawit yang tumbuh terlihat semakin
tinggi dan tidak diurus baik oleh pemilik maupun orang yang
mengontrak lahan tersebut. Setelah makin lama masa pertum-
buhannya, produksi kelapa sawit di daerah ini terus berkurang

Sumber: Foto B. Renwarin 2014


Gambar 5.3 Kebun Kelapa Sawit di Depan Kampung Workwana

165
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom


(Keerom dalam Angka, 2007), seperti dimuat dalam buku, Dari
Kampung ke Kampung (2009) mengungkapkan, luas kebun kelapa
sawit di Kabupaten Keerom mencapai 11.921 hektare dan luas panen
10.195 hektare. Sedangkan data yang dikeluarkan oleh PTPN II Arso
(Keerom dalam Angka 2007) mengungkapkan, luas panen kelapa sawit
tahun 2006 adalah 8.339 hektare. Luas areal panen tersebut berasal dari
kebun plasma 3.600 hektare, kebun inti 1.871 hektare, KKPA 1.800
hektare dan Bumi Irian Perkasa 1.068 hektare. Jadi pabrik kebun
kelapa sawit milik PTPN II kebun Arso mengolah kelapa sawit yang
mempunyai luas panen 8.339 hektare (Ansaka, dkk., 2009).
Seperti sudah dijelaskan di bagian awal, bibit kelapa sawit
sebelum ditanam disemaikan di Kampung Arsokota dekat perkebunan
karet PTPN II. Tenaga kerja di pembibitan tersebut pada umumnya
berasal dari daerah Arso dan sekitarnya, yang dibayar Rp 500,–Rp
2.000,- per polibag bibit kelapa sawit (http://www.mongabay.co.id/
tag/kebun-sawit-papua/, diunduh 31-5-2015)
Ketika penanaman dilakukan, bibit kelapa sawit diambil dari
tempat pembibitan dan disebarkan di setiap lokasi yang sudah
disiapkan. Menurut ceritera warga Kampung Workwana setelah kelapa
sawit berusia 25 tahun, seharusnya dilakukan peremajaan oleh
perusahaan tetapi masyarakat menolaknya. Sekarang kelapa sawit di
Workwana sudah berumur 30 tahun, belum ada tanda-tanda akan
diadakan peremajaan.

Sumber: Foto B. Renwarin 2014


Gambar 5.4 Kebun Kelapa Sawit yang Tidak Diurus Petani
166
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Gambar 5.4 di atas sebelah kiri memperlihatkan keadaan kebun


kelapa sawit yang terletak di sebelah selatan Kampung Workwana di
tepi jalan Trans Irian (Papua). Dari pengataman dan penjelasan
masyarakat, pohon kelapa sawit semakin tinggi dan tidak diurus lagi
oleh petani pemilik lahan maupun orang yang mengontrak kebun
tersebut sehingga kelapa sawit tumbuh berdampingan dengan tumbuh-
tumbuhan hutan lainnya. Kemudian di Gambar 5.4 sebelah kanan di
atas juga memperlihatkan lahan kelapa sawit penduduk Workwana di
wilayah utara jalan Trans Irian di dekat Kampung Workwana yang
dibiarkan tumbuh dengan pepohonan dan alang-alang bagaikan hutan,
sehingga terkesan lahan ini bukan lahan perkebunan kelapa sawit.
Keadaan seperti ini tentu berdampak pada kesuburan tanaman kelapa
sawit.
Kesuburan kelapa sawit selain dipengaruhi oleh faktor tanah
dan iklim juga ditentukan oleh faktor pemeliharaan. Menurut
Indriarti (2007), Sunarko (2014) dan beberapa penulis lain tentang
kelapa sawit, dari sisi pemeliharaan, gulma atau alang-alang yang
tumbuh di sekitar kelapa sawit harus dibersihkan karena gulma turut
menyerap air yang seharusnya dinikmati oleh kelapa sawit dan amat
berpengaruh dan mengakibatkan penurunan produksi kelapa sawit.
Gambar 5.4 memperlihatkan lahan kelapa sawit di Workwana
dikelilingi gulma dan menjadi penghalang bagi produktivitas kelapa
sawit karena para petani atau buruh tani tidak melakukan pembersihan
atau penyiangan. Dijelaskan oleh Indriarti bahwa, sistem pemeliharaan
kelapa sawit penting diperhatikan dan dilakukan agar tanaman tumbuh
sehat, subur, terbebas dari gangguan hama penyakit. Pemeliharaan
tanaman dapat dilakukan melalui pengendalian gulma, pemangkasan,
pemupukan, kastrasi, penyerbukan buatan serta pengendalian hama
dan penyakit. Lebih jauh dijelaskan oleh Sunarko (2014), pemeliharaan
kelapa sawit dapat dilakukan dalam dua periode, yaitu periode
tanaman belum menghasilkan (TBM) dan pada periode tanaman
menghasilkan (TM). Pada periode TBM, aspek pemeliharaan jalan dan
jembatan perlu mendapat perhatian termasuk pengendalian hama,
pengendalian gulma, pemupukan dan lain-lain. Kemudian pemeliha-
raan pada tahap berikutnya, periode TM, konservasi tanah perlu
167
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

dilakukan agar tidak terjadi erosi dan menjaga kesuburan tanah serta
pemeliharaan jembatan panen serta kegiatan pemeliharaan lainnya.
Perempuan di Kebun Sawit dan Sistem Kerja
Dalam pertemuan dengan ibu-ibu asal Kampung Workwana di
Susteran KSFL Kampung Workwana, mereka berceritera mengenai
pengalaman bekerja di kebun sawit. Menurut penyampaian ibu-ibu
tersebut, ketika penanaman awal tahun 1983/1984 di depan jalan Trans
Irian depan Kampung Workwana sampai di PIR 3, Bagia, saat itu
seluruh wilayah ini masih berupa hutan. Ibu-ibu dan kaum perempuan
muda pada awal pembukaan lahan belum terlibat.
Ketika penulis bertanya kepada Ibu Martina dan kawan-
kawannya tentang bagaimana pengalaman mereka terlibat menanam
kelapa sawit, spontan pengalaman masa lalu tersebut diungkapkan
kembali. Ibu-ibu dengan penuh semangat berceritera bahwa mereka
terlibat juga memikul bibit kelapa sawit dari jalan raya ke kebun,
setelah itu menanam bibit tersebut di dalam lubang yang sudah digali
sebelumnya oleh orang yang disewa menggali lubang. Dikatakan oleh
ibu-ibu tersebut, orang yang memikul bibit kelapa sawit dibayar per
pohon Rp 300; dan orang yang menggali lubang dibayar Rp 150; Selain
pembayaran per pohon, pembayaran orang yang memikul bibit kelapa
sawit diperhitungkan juga oleh perusahaan sesuai dengan jarak tempuh
atau seseorang memikul bibit kelapa sawit yang hendak ditanam.
Dikatakan oleh ibu-ibu tersebut pada waktu awal pembukaan lahan
sawit sudah ada banyak orang Papua dari luar Keerom dan pendatang
dari luar Papua yang terlibat dalam bekerja bersama saling membantu
di lahan kelapa sawit.
Lahan milik orang Workwana letaknya di depan jalan masuk
Kampung Workwana sampai dengan kampung tua, sebelah utara jalan
Trans Irian dan masuk ke dalam sampai di gunung PIR 3, Bagia,
sebelah selatan jalan Trans Irian. Ibu-ibu itu menyatakan, pekerjaan di
lahan kelapa sawit dilakukan bapak-bapak sejak jam 06.00 pagi
sedangkan ibu-ibu datang kemudian membawa makanan dan ikut
bekerja sampai jam 18.00 sore hari. Anak-anak juga biasa terlibat bila

168
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

selesai sekolah atau waktu libur. Selain pemilik lahan yang bekerja di
lahannya, ada juga kelompok yang membantu membersihkan lahan
sawit, sebulan sekali. Dikatakan oleh salah satu informan warga
Kampung Workwana, sistem kerja di lahan sawit dilakukan secara
berkelompok, bukan hanya untuk pembersihan tetapi juga ketika
panen karena panen biasanya dilakukan bersama. Ada 5 kelompok
kerja di Workwana yakni, diberi nama kelompok Wembi atau
kelompok 15, ada kelompok 12, ada kelompok 13, ada kelompok 11
dan ada kelompok 10. Masing-masing kelompok diberi batas wilayah
kerja. Misalnya kelompok 10 mempunyai wilayah kerja meliputi
kampung tua, di depan Gereja Pentakosta; kelompok 11 wilayah
kerjanya sampai di depan Gapura Kampung Workwana; kelompok 15
bekerja di wilayah PIR 3.
Untuk mengolah hasil panen kelapa sawit maka tahun 1990
pabrik pengolahan kelapa sawit dibangun di dekat Kali Tami.Tahun
1992 mulai panen pertama namun hasil panen pertama masih disebut
sebagai buah pasir. Buah pasir sebagai buah pertama satu tandan
beratnya hanya 1 sampai 2 kg. Ketika panen, ibu-ibu juga aktif terlibat
memanen karena pohon sawit belum tinggi. Diungkapkan oleh ibu-ibu
bahwa pekerjaan di kebun kelapa sawit seperti menanam, memberi
pupuk pada tanaman, memikul kelapa sawit dan membersihkan kebun
dan lain-lain dilakukan sambil menggendong anak. Menurut Ibu
Naomi, pada awal mula pemeliharaan dan perawatan kelapa sawit,
mobil-mobil truk perusahaan membawa pupuk dan membuangnya
ditepi jalan. Masing-masing kelompok kemudian mengangkut dengan
ember, karung dan menghambur di bawah pohon kelapa sawit.
Dikatakannya ketika itu tidak ada gerobak sehingga kebun yang
terletak di gunung, pada waktu panen buah tandan kelapa sawit
brondolan dimaksukkan ke dalam karung dan diguling dari atas
gunung ke bawah. Ketika pohon kelapa sawit masih rendah (1 sampai 2
meter), ibu-ibu juga ikut mendodos. Namun setelah pohon semakin
tinggi hingga mencapai 5 m ke atas, ibu-ibu sudah tidak bisa ikut
mendodos. Pohon yang lebih tinggi biasanya diegrek oleh bapak-bapak
atau laki-laki dewasa (egrek dibuat dari besi, bertangkai bambu, seperti
arit). Kemudian saat panen di tahun-tahun berikutnya, sekitar tahun
169
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

1998 sampai tahun 2000, ibu-ibu dan perempuan muda tidak sanggup
memikul TBS karena satu tandan beratnya bisa mencapai kurang lebih
40 kg. Dari kisah ibu-ibu ini menjadi jelas bahwa ibu-ibu dan kaum
perempuan muda tidak hanya terlibat menanam dan membersihkan
lahan tetapi juga terlibat dalam pemupukan dan pemeliharaan bahkan
ikut memetik dan memikul TBS. Selain itu dikatakan juga bahwa
sebagai pemilik lahan mereka harus bertanggungjawab menyiapkan
makanan dan minuman baik untuk suami maupun untuk anggota
kelompok kerja yang membantu baik saat membersihkan lahan
maupun ketika memanen kelapa sawit.
Pengaturan Uang Hasil Panen
Bagaimana uang hasil panen diatur? Menurut ibu-ibu tersebut,
ketika kelapa sawit mulai ditanam hingga masa panen awal belum ada
bank di Workwana atau Arso untuk menabung uang hasil panen
kelapa sawit. Walaupun begitu, uang yang ada diatur dan dipakai
dengan baik untuk keperluan anak-anak bersekolah dan kebutuhan
rumah tangga. Dikatakan oleh ibu-ibu, hasil sawit ketika itu membuat
ibu-ibu senang dan puas karena bisa memegang uang hasil keringat
sendiri bekerja di kebun kelapa sawit. Sambil mengenang masa lalu dan
dengan perasaan gembira, ibu-ibu mengatakan, “waktu gajian
masyarakat bersama-sama pergi berbelanja di Abepura”. Selain itu ada
kewajiban lain juga yang harus dipenuhi oleh pemilik kebun.
Kewajiban tersebut ialah ketika gajian, pemilik kebun menyetor Rp
500.000,- ke kelompok kerja, yang kemudian ditabung sebagai uang kas
kelompok dan dipakai untuk kesejahteraan kelompok. Satu tahun
uang kelompok bisa terkumpul sebanyak Rp 10.000.000,-.Hal ini
dibenarkan oleh Bapak Melianus, karena dalam pengalamannya selama
kurang lebih 5 tahun, sejak masyarakat mulai panen kelapa sawit,
dikatakan bahwa sebenarnya orang Workwana ketika itu hidup
berkecukupan. Ia sendiri memberi contoh dengan mengatakan, dari
kelapa sawit saya bisa selesai kuliah juga. Pengalaman tersebut diakui
juga oleh Ibu Naomi dengan kawan-kawannya. Dengan bangga mereka
mengatakan, anak-anak yang berhasil dalam studi dan sekarang

170
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

menjadi pejabat-pejabat di pemerintah dan ditempat lain, yang berasal


dari Kampung Workwana adalah hasil dari usaha kelapa sawit ini.
Harga Jual Kelapa Sawit
Menurut pengalaman warga masyarakat di Workwana, harga
jual kelapa sawit ditentukan oleh perusahaan. Di masa lalu di wilayah
Arso, kelapa sawit pernah dijual dengan harga Rp 300 per kg. Sekarang
di Papua harga kelapa sawit 1 kg, Rp 700,-. Harga kelapa sawit di Papua
berbeda dengan harga kelapa sawit di daerah lain. Benny Montulalu
pun menyatakan pada tahun 2012, harga kelapa sawit turun lagi
menjadi Rp 500,- per kg. Harga yang sedemikian rendah menyebakan
petani ketika itu tidak ada yang memanen kelapa sawitnya. Padahal 1
ton kelapa sawit dimuat 1 mobil truk seharga Rp 1.000.000,- Harga
sawit di Workwana ini berbeda jauh dengan harga di Kalimantan
Selatan, 1 kg mencapai Rp 1.500,- walaupun saat ini turun menjadi Rp
1.200,- (Kompas, 13 Agustus 2015). Selanjutnya Benny13menjelaskan,
pada tahun 2006-2008, kelapa sawit dijual dengan harga Rp 1.000.000,-
per ton. Namun pengelompokkan kebun kelapa sawit menurut waktu
tanam dibedakan dalam beberapa afdeling dan berpengaruh pada harga
kelapa sawit. Afdeling 1, PIR 1 Yanamaa, di wilayah Kampung
Arsokota, Afdeling 2, PIR 2 Yamta dan PIR 3 Bagia di daerah
Workwana, Afdeling 4, PIR 4 Wonorejo, Afdeling 5, PIR 5 Yamara
dan Wembi. Ketika kelapa sawit mulai dipanen di daerah Workwana,
perusahaan menetapkan harga per-afdeling berbeda–beda karena
perbedaan masa tanam. Misalnya pada tahun 2012, afdeling II,di PIR
II, harga TBS per kilogram (kg) Rp 88,-; afdeling III harga TBS per kg
Rp 95,-. Sedangkan afdeling IV, PIR IV harga TBS per kg Rp 100,-.
Dari pengalamannya selama ini dikatakan, fluktuasi harga kelapa sawit
terus berubah-ubah setiap bulan. Selanjutnya Pak Benny juga

13Beny Montulalu adalah seorang petani sawit asal Manado yang kemudian juga

mengontrak beberapa lahan masyarakat. Ia menjadi anggota Asosiasi Petani Sawit di


Distrik Arso yang kemudian dikeluarkan dari asosiasi tersebut karena memihak
masyarakat dalam berbagai masalah berkaitan dengan perusahaan. Benny tinggal di
Arso sejak tahun 1986 sebagai warga translokal dan memulai kariernya sebagai guru
honor di sekolah dasar setempat.
171
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

mengatakan, sejak Juni-Agustus tahun 2015, harga kelapa sawit per ton
ada di kisaran Rp 300.000,- sampai Rp 1.100.000 per ton.
Dikatakan oleh Pak Benny, sekarang ini rata-rata produksi
kelapa sawit menurun di daerah Arso dan Workwana karena usia
tanam yang melampaui waktu sehingga memengaruhi harga
pembelian. Selain itu pengelompokkan menurut afdeling sebagaimana
disebut di atas, juga dibedakan jenis petani perkebunan kelapa sawit ke
dalam tiga kelompok yakni petani kebun inti, petani kebun plasma dan
petani Koperasi Kredit Primer Anggota (KPPA). PTPN II mengelola
kebun inti dan mempekerjakan tenaga petani atau buruh tani di bawah
pengawasan perusahaan. Sedangkan kelompok petani kebun plasma
mengelola kebunnya sendiri atau menyewa tenaga buruh tani
sebagaimana diungkapkan beberapa pemilik kebun kelapa sawit di
Workwana. Sedangkan kelompok KKPA pada umumnya bekerja
secara berkelompok. Kelompok KKPA ini berada di Arso 2, Arso 7,
Arso 8 dan Swakarsa. Kelompok ini pada umumnya warga transmigrasi
yang mendapat fasilitas kredit sebagai petani kelapa sawit karena
menjadi anggota koperasi. Dampak dari fluktuasi harga kelapa sawit
seperti disebutkan di atas memengaruhi pendapatan petani. Dikatakan
oleh sejumlah warga di Workwana, dari pengalaman mereka
mengelola kebun kelapa sawit ternyata ada untung dan rugi. Dikatakan
sejak tahun 1998/1999 mereka lebih banyak mengalami kerugian
karena harga yang tidak stabil dan pengeluaran untuk mengelola
kebun tidak sebanding dengan pendapatan.Uang yang ada biasanya
habis digunakan membayar beban-beban urusan kebun sawit dan
keperluan harian keluarga sehingga tidak bisa menabung.
Informasi lain diperoleh dari Pak Thomas Lobay14, tenaga
teknis Dinas Perkebunan Kabupaten Keerom. Ia menjelaskan beberapa

14Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perkebunan Kabupaten
Jayapura. Tahun 1995 diperbantukan sebagai Petugas Khusus pada Kantor Pembantu
Bupati di Kerom. Peranannya, sebagai penghubung antara Pemda Kabupaten Jayapura,
khsususnya dinas terkait dan Kantor Pembantu Bupati Keroom dengan masyarakat
Petani Kelapa Sawit dan PTPN II di Arso. Bekerja di Keerom sejak tahun 1995 sampai
2011, memasuki masa purna tugas. Selama kurang lebih 15 tahun bekerja di Keerom
melayani Petani Sawit dan instansi terkait. Tugas-tugas yang dilaksanakan:
172
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

hal terkait kelapa sawit di Keerom. Dikatakannya, pada tahun 2008


semasa Bupati Celsius Watay ada rencana peremajaan tanaman sawit di
wilayah Arso, tetapi rencana tersebut tertunda-tunda karena Kepala
Dinas Perkebunan ketika itu bermasalah, sehingga akhirnya rencana
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sehubungan dengan kesejahteraan
masyarakat adat ia juga mengatakan dahulu diatur setiap panen kelapa
sawit, ketika ditimbang di perusahaan akan dipotong Rp 2,- per kg oleh
perusahaan untuk kepentingan masyarakat adat. Dana ini kemudian
diserahkan oleh perusahaan untuk dikelola Lembaga Masyarakat Adat
Arso. Penggunaannya diatur demikian. Hasil pemotongan uang
tersebut dimasukkan ke rekening Lembaga Masyarakat Adat Arso dan
laporannya disampaikan kepada pemerintah daerah setempat. Bila
uang tersebut ingin digunakan oleh masyarakat adat, harus ada
rekomendasi petugas khusus pemerintah, yakni Bapak Thomas Lobay.
Menurut Thomas, dana tersebut digunakan untuk membantu anak-
anak sekolah dan untuk penguatan lembaga adat serta kebutuhan lain.
Bila ingin digunakan untuk kebutuhan masyarakat adat, selalu harus
ada rekomendasi dari petugas dan sepengetahuan pemerintah daerah
setempat. Menurutnya, beberapa anak Keerom yang disekolahkan dan
berhasil baik antara lain dibiayai oleh dana ini. Dikatakan oleh Thomas
bahwa, sebenarnya sistem pola plasma yang diterapkan pada 10
kampung di wilayah Arso, salah satunya adalah Kampung Workwana
sesungguhnya menguntungkan masyarakat. Masyarakat Workwana
bertempat tinggal di kampung, dan diperlakukan sebagai petani
plasma. Petani Plasma mempunyai lahan kelapa sawit seluas 3.600
hektare. Di samping itu ada masyarakat petani lain yang ditempatkan
di PIR I sampai PIR V sebagai petani plasma. Sedangkan KKPA ada di
Arso I sampai XI, mempunyai 11.000 hektare, dengan kebun sawit
seluas 5.700 hektare. Masalah yang sekarang dihadapi masyarakat ialah
harga sawit yang terus menurun. Maka masyarakat petani melalui

mengusulkan perbaikan infrastruktur jalan di kebun yang rusak (jalan dimaksud


disebut sebagai jalan produksi); memperhatikan pengembangan tanaman; pemberian
pupuk; mengusulkan penambahan luas areal kebun, yang setiap tahun ada tambahan
areal perkebunan.

173
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sekitar 4 November 2015 telah


memasukkan surat keberatan masyarakat petani ke DPRD Kabupaten
Keerom untuk ditinjau dan dicari jalan keluar.

Pemilikan, Kontrak dan Penjualan Lahan Kelapa


Sawit
Menurut para informan, ketika perkebunan kelapa sawit
dimulai di daerah ini, kepemilikan tanah dan hutan dilepas masyarakat
adat dengan sejumlah kompensasi berupa uang dan barang serta janji-
janji oleh perusahaan dan pemerintah daerah bahkan disertai
intimidasi aparat keamanan yang digunakan oleh perusahaan dan
pemerintah ketika itu untuk maksud tersebut.
Tanah-tanah dan hutan dilepaskan masyarakat untuk
kepentingan lahan kelapa sawit, perumahan kelompok transmigran
dan pembangunan infrastruktur lainnya. Dengan demikian tanah dan
hutan masyarakat adat di Distrik Arso ini beralih fungsi menjadi kebun
kelapa sawit yang terdiri dari kebun plasma milik petani atau
masyarakat setempat dan kebun inti milik perusahaan. Dikisahkan oleh
masyarakat setempat bahwa kontrak yang dibuat oleh perusahaan
berkaitan dengan keperluan penggunaan lahan perkebunan kelapa
sawit lamanya 25 tahun dan sekarang sudah mencapai 30 tahun lebih
dengan produksi yang terus-menurun. Menurut warga Kampung
Workwana, sejak tahun 1980-an, kebun kelapa sawit milik orang Asli
Workwana ada di tepi jalan raya Trans Irian seluas 2 hektare per
Keluarga (Gambar 5.2 dan 5.3). Sedangkan orang Papua lain
ditempatkan di PIR 3 yang jaraknya 8 km dari Kampung Workwana.
Berikut ini disampaikan data pemilik lahan sawit penduduk Kampung
Workwana.

174
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Tabel 5.5
Daftar Nama Pemilik Kebun Kelapa Sawit Kampung Workwana
No Nama Kelamin Kelola Kontrak Jual
Sendiri Lahan Lahan
1 Herman Fatagur L x
2 Yulius Fatagur L x
3 Demianus Fetowin L x
4 Demianus Fatagur L x
5 Modestus Fatagur L x
6 Sumira Wabiager P x
7 Yosep Wabiager L x
8 Bernardus Bate L x
9 Maikel Fatagur L x
10 Patoding L x
11 Amos Bate L x
12 Alber Soputan L x
13 Joni Fatagur L x
14 Pitalius Bate L x
15 Samsudin L x
16 Herlina Boseren P x
17 Piter Tafor L x
18 Susana Bonai P x
19 Hiro Giryar L x
20 Herlina Wihawari P x
21 Lambertus Wellip L x
22 Maria Mou P x
23 Agusta Mou P x
24 Moses Muyasen L x
25 Mikela Suebu P x
26 Mesak Suebu L x
27 Hein Ayomi L x
28 Allo Werung L x
29 Isak Yom L x
30 Yonatan Bate L x
31 Silvester Boryam L x
32 Lukas Meneker L x
33 Gaspar Tafor L x
34 Alex Bawi L x
35 Yohana Antaribaba P x
36 Anton Was L x
37 Maria Bate P x
38 Titus Fatagur L x
39 Dominikus Mesas L x
40 Amatus Toam L x
41 Niko Pongo L x
41 Melianus Gobay L x
42 Markus Mesas L x
43 Yanuarius Mesas L x

175
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

No Nama Kelamin Kelola Kontrak Jual


Sendiri Lahan Lahan
44 Demianus Merino L x
45 Achas Numberi L x
46 Piter Randongkir L x
47 Pitalius Abar L x
48 Lafer Number L x
49 Andreas Bate L x
50 Andreas Mesas L x
51 Hendrik Number L x
52 Fransiskus Bate L x
53 Markus Bate L x
54 Lukas Yonggom L x
55 Paulina Fatagur P x
56 Manfret Bate L x
57 Lukas Toam L x
58 Yulius Tu L x
59 Agap Bate L x
60 Robertus Tafor L x
61 Urbanus Tayub L x
62 Rikarda Bayub P x
63 Simon Tekmop L x
64 Paulinus Kandam L x
65 Baselinus Banof L x
66 Maria Irap P x
67 Gerardus Kombian L x
68 Tomas Wenda L x
69 Ambros Tafor L x
70 Debora Waroi P x
71 Novita Gusbager P x
72 Nasarius Fatagur P x
73 Joko Fatagur L x
74 Longginus Fatagur L x
75 Sanali Mesas L x
76 Tansia Fatagur P x
77 Lonila Fatagur P x

Jumlah 78 2 53 23

Sumber: Kantor Kampung Workwana, 2014

Dari daftar kepemilikan kebun kelapa sawit seperti dicatat di


atas terlihat urusan pengelolaan kelapa sawit di Workwana terbagai
atas 3 kelompok kepemilikan sebagaimana digambarkan di bawah ini.

176
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

1 2 3

Kelola
sendiri Mengontrakan lahan 69 % Jual lahan
1% 30 %

Gambar 5.5
Diagram Perbandingan Pemanfaatan Lahan Kelapa Sawit

Pengelolaan lahan kelapa sawit di Workwana dibedakan


berdasarkan tiga kategori kelompok kepemilikan. Pertama, kelompok
yang mengelola sendiri lahannya adalah petani pendatang 2 orang
(1%); kedua, kelompok yang mengontrakan lahan, pendatang 1 orang,
penduduk asli Papua 53 orang (69%) dan ketiga, kelompok yang
menjual lahan 24 orang (30%) adalah orang asli Papua. Persentase data
ini memperlihatkan bahwa kecenderungan mengolah sendiri lahan
lebih kecil sedangkan kecenderungan mengontrakan lahan lebih besar
dan kecenderungan menjual lahan sedang. Berdasarkan informasi
masyarakat setempat, kecenderungan-kecenderungan ini dilatar-
belakangi oleh berbagai alasan. Kelompok 1, cenderung mengolah
sendiri lahan kelapa sawitnya karena mempertimbangkan keuntungan
ekonomi dari usaha kebun kelapa sawit tersebut dan nampaknya
kelompok ini mempunyai modal usaha. Kalau pun harus kredit di
bank, nampaknya sistem tersebut bukanlah suatu cara berusaha yang
asing baginya. Kelompok 2, mempunyai alasan sendiri untuk
mengontrakan lahannnya antara lain karena, pekerjaan dan usaha ini
dilihat kurang mendatangkan keuntungan dan bahkan tanpa bekerja
keras masih mendapatkan uang hasil kontrak. Kelompok 3,
mempunyai kecenderungan menjual lahan kepada orang lain seperti
tertera dalam daftar pemilik lahan pada Tabel 5.5 di atas.
Sistem Kontrak Lahan
Sebagaimana disampaikan oleh para informan di Workwana,
sejak tahun 2000 pada umumnya penduduk asli Workwana pemilik
lahan kelapa sawit tidak memanen sendiri kelapa sawitnya karena
177
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

berbagai alasan, maka urusan kebun kelapa sawit diurus oleh


pengontrak lahan. Penjelasan berikut ini dicacat berdasarkan hasil
pembicaraan dengan sejumlah informan di Kampung Workwana.
Selain itu dimuat juga beberapa pengalaman dari orang yang
mengontrak lahan penduduk asli.
Beberapa informan menjelaskan pengalaman mereka di seputar
kontrak lahan kelapa sawit. Harga kontrak pun berbeda-beda
sebagaimana disampaikan oleh kelompok ibu-ibu dari Workwana.
Contohnya, Ibu Evi dan ibu Bernadeta mengontrakkan lahan mereka
masing-masing 1 tahun seharga Rp 5 juta; Ibu Fransiska
mengontrakkan lahan 1 tahun hanya Rp 2 juta dan Ibu Martina juga
mengontrakkan lahannya Rp 2,3 juta. Perbedaan harga kontrak ini
disebabkan oleh lamanya masa tanam dan jarak dari kebun ke jalan
raya. Ceritera lain tentang kontrak lahan kelapa sawit menurut Bapak
Moses Fatagur, ada yang mengontrakkan per tahun Rp 250.000,-
sampai Rp 300.000,- per bulan dan ada yang mengontrak 2 tahun,
dengan harga Rp 500.000,- per bulan. Selain itu, ada juga yang
menyewakan lahan pada orang lain dengan catatan hasil dibagi dua.
Cara lain lagi ialah, mengontrakkan atau menyewakan lahan dengan
jaminan, orang yang mengontrak atau menyewa bertanggungjawab
sampai anak-anak atau adik dari pemilik lahan selesai kuliah. Sistem ini
belum dibuat oleh warga lain di kampung ini. Warga pada umumnya
menggunakan sistem biasa dengan menerima uang dari orang yang
mengontrak lahan. Sistem ini tidak memberi peluang pada keluarga
untuk mengambil uang dari orang yang mengontrak atau menyewa
lahan. Ada perjanjian yang dibuat melalui sistem yang mana jika yang
kuliah tidak selesai dia harus ganti rugi seluruh biaya yang
dikeluarkan. Sistem ini baru dipraktekkan oleh Pak Moses dan belum
diikuti oleh warga lain. Menurut penjelasannya perjanjian dibuat
tertulis antara Pak Moses dan adiknya yang dibiayai oleh pengontrak
dan yang disetujui oleh orangtua kandung.
Beberapa anggota masyarakat lain juga menuturkan
pengalaman mereka tentang bagaimana mengontrak lahan sawit. Ibu
Sesilia Paputungan salah seorang warga dari wilayah PIR 3,

178
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

mengutarakan pengalamannya sebagai berikut. Ia seorang PNS yang


bekerja sebagai tenaga Tata Usaha SMP Negeri PIR 4, tinggal di PIR 3
Bagia bersama suaminya bernama Zeke Pande Eki, Guru pada SMP
Negeri yang sama. Mereka mengelola 6 hektare lahan kebun kelapa
sawit sebagai milik pribadi dan mengontrak 5 hektare lahan milik
masyarakat lainnya. Menurut Ibu Sesilia, sekarang ini 1 lahan hanya
bisa menghasilkan 1 (satu) ton kelapa sawit, tapi sering juga kurang
dari 1 ton, bahkan tidak jarang ada pohon yang tidak berbuah sama
sekali. Ketika panen 1 mobil truk bisa mengangkut 200 – 400 tandan
saja. Dari pengalamannya selama ini, setiap bulan bisa panen dan hasil
panen dari semua lahan hasilnya lumayan baik. Buruh tani yang
digunakan ialah pemuda-pemuda kampung asli setempat.
Pengalaman lain diceriterakan oleh Pak Beny Montulalu
mengenai sistem kontrak lahan:
Benny tinggal di PIR 2 sejak tahun 1989, sebagai warga translokal dari
Arsokota dan bekerja sebagai guru honor. Pria asal Manado ini bersama
ketiga teman lainnya pada akhir November 1986 menuju Jayapura
setelah menyelesaikan SPG Don Bosco Manado. Ia ke Jayapura karena
diminta oleh seorang misionaris Katolik, Bruder Yan Sirach, OFM, asal
Belanda yang bertugas di Jayapura. Ketika tamat SPG Benny
mempunyai dua ijazah, yaitu ijazah sebagai guru kelas dan guru agama
Katolik. Karena jatah guru kelas penuh ketika itu maka masuklah Pak
Beny sebagai PNS melalui jalur guru agama Katolik dan ditempatkan
sebagai guru agama di PIR 2. Untuk urusan kepegawaian waktu itu
seluruhnya harus diurus di Kota Jayapura sehingga pada akhir tahun
1986, berangkatlah mereka dari Arso pada jam 13.00 siang dan tiba di
Abepura jam 20.00 atau jam 8 malam. Keadaan jalan raya Trans Irian
ketika masih berlumpur dan belum di aspal seperti sekarang. Padahal
sekarang jarak tempuh Arso ke Abepura atau sebaliknya dapat
ditempuh hanya dalam waktu 45 menit sampai 1 jam dengan
kendaraan roda dua atau dengan mobil. Tahun 1993 Pak Beny mulai
terlibat mengurus kelapa sawit. Ia mula-mula hanya mempunyai 1
lahan sawit sama dengan masyarakat Translokal lain, seluas 2 hektare.
Dengan lugas disampaikannya bahwa sekarang ia mengontrak 40 lahan

179
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

kelapa sawit. Menurutnya, tahun 1995–1996 hasil panen kelapa sawit


baik, tapi sejak tahun 2004 sampai 2005, lahan yang dikelola petani
hasilnya menurun dan petani pemilik lahan cenderung mencari orang
lain untuk mengurus sawit sehingga mulai terjadi sistem kontrak. Ia
mempunyai buruh harian lepas (BHL) 15 orang dan sekarang hanya
ada 7 sampai 8 orang yang bekerja di 40 lahan tersebut. Dari
pengalamannya selama ini 1 lahan bisa menghasilkan 30 sampai 40
tandan. 1 tandan beratnya 16 kg. 1 tandan bila dipikul ongkos bayar Rp
3.500. Bila dihitung pendapatan kotor setiap lahan, rumusnya ialah, 35
x 16 kg x Rp 750,- = Rp 420.000,- Sedangkan untuk pengeluaran
terdiri dari biaya, seperti, bayar Bhl: Rp 122.500/orang; Uang makan 2
orang: Rp 60.000 (@ Rp 30.000); uang rokok: Rp 30.000,- Transportasi
dari lahan ke pabrik, Rp 100.000,-. Ongkos 1 truk Rp 970.000 sampai
Rp1.000.000; Satu truk sebenarnya bisa memuat kelapa sawit sebanyak
6 ton.
Menurut Pak Beny, pernah ada pertemuan yang difasilitasi
DPRD tahun 2009 dengan petani, PTPN II dan Perusahaan PT
Rajawali di Taja Kabupaten Jayapura tetapi hasilnya kelapa sawit dari
kebun Arso tidak bisa dijual ke perusahaan yang lain. Pertemuan ini
dilakukan karena dikhawatirkan hasil kebun Arso dijual ke perusahaan
lain di luar Keerom seperti di Taja yang usaha kelapa sawitnya dikelola
oleh PT Sinar Mas. Pak Benny juga mempuyai 2 buah mobil truk yang
biasa disewa tapi juga digunakan sendiri. Pak Beny berkisah, pada
tahun 1994/1995 biasanya panen 2 kali sebulan, hasilnya 6 sampai 7
ton per lahan. Hasil yang didapat, 6 ton x Rp 750.000 = Rp 4.800.000
per lahan; Sekarang pendapatan kotor hanya Rp 420.000 per lahan.
Pada waktu masa panen bagus, petani bisa mendapat Rp 6.000.000
sampai Rp 7.000.000,- sekali panen. Dikatakannya sekarang di
Workwana produksi menurun dan harga kelapa sawit dunia juga
turun. Untuk meningkatkan produksi kelapa sawit, beberapa tahun
silam kebun kelapa sawit biasa dipupuk dengan beberapa jenis pupuk
seperti, natrium, posfat, kalium dan produksi bisa mencapai 9 ton tapi
sekarang hal itu tidak dilakukan lagi karena masa tanam sudah
melewati waktu normal tanam. Disampaikannya bahwa sejak produksi
menurun ada petani yang mengontrakan lahan sampai 5 tahun. Ada
180
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

pengontrak yang membayar sampai 5 tahun tapi ada juga yang


membayar per bulan. Pembayaran kepada pemilik per bulan rata-rata
Rp 300.000. Menurutnya lahan-lahan yang potensial adalah lahan yang
mempunyai jalan bagus sehingga bisa dikontrak selama 5 tahun dengan
harga Rp 18.000.000,- Namun ada juga jenis lahan yang jauh atau
makin jauh dari jalan raya dibayar lebih kecil, Rp 100.000 sampai Rp
50.000,- per bulan kepada pemilik. Hasil kontrak digunakan
masyarakat setempat untuk berbagai keperluan, misalnya membayar
uang kuliah atau uang sekolah anak, untuk pengobatan istri yang sakit
atau membangun rumah dan sebagainya.
Namun dikatakan oleh Bapak Moses Fatagur dan Bapak Fins,
sistem sewa atau kontrak sebenarnya tidak membantu masyarakat.
Sistem ini menyiksa atau menyulitkan masyarakat sendiri karena
sewaktu-waktu mereka meminta uang kepada orang yang mengontrak
karena kebutuhan mendesak sehingga pinjaman-pinjaman tersebut
selalu dihitung sebagai utang dan masyarakat sekarang ini hanya
tergantung pada pendapatan yang sedikit itu. Menurut Moses Fatagur,
ada pengalaman lain juga di kampung ini yakni pemilik lahan menjual
lahannya dan pindah kembali ke Kampung Wambes, karena memang
yang bersangkutan berasal dari sana. Orang tersebut pergi ke Wambes
karena mempunyai usaha kelapa sawit juga dan rumah yang disediakan
oleh PTPN II di PIR VC, Mur 2. Daerah PIR V Wambes, terdiri dari
PIR V A di Wembi, PIR 5 B di Wambes dan PIR V C di Mur 2,
Yamara.

Sumber: Foto B. Renwarin 2014


Gambar 5.6 Buruh Tani Sedang Mengangkat TBS ke dalam Mobil- truk di
Workwana
181
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Gambar di atas menunjukkan beberapa buruh tani sedang


bekerja menaikan buah tandan segar kelapa sawit ke dalam mobil truk.
Para buruh tani berkerja pada salah seorang pengontrak lahan sawit
milik masyarakat Workwana di wilayah perkebunan kelapa sawit
Kampung Workwana. Pengontrak kebun kelapa sawit ini tinggal di
daerah PIR 2 dan berasal dari luar Papua. Buruh tani pun pada
umumnya berasal dari luar daerah seperti dari Nusa Tenggara Timur
(NTT) dan Jawa. Sejumlah orang yang mengontrak lahan kelapa sawit
di Workwana ini, ternyata mempunyai modal uang untuk mengontrak
dan mereka juga mempunyai pekerja serta mobil truk.
Menurut Benny, para petani kelapa sawit mempunyai
kelompok yang disebut Gabungan Kelompok Tani atau GAPOKTAN.
Gapoktan mempunyai beberapa peranan bagi petani seperti memberi
motivasi kepada petani untuk merawat sawit, memperhatikan
jembatan, jalan dan membina petani. Dikatakannya sekarang ini ia
berperan sebagai katalisator bagi petani dan perusahaan serta
pemerintah. Untuk kelancaran tugas Gapoktan, petani biasanya
membayar pengurus Gapoktan melalui premi dari perusahaan yang
diambil oleh pengurus. Tiap afdeling mempunyai Gapoktan dan
Gapoktan yang berurusan dengan petani. Dengan kata lain hubungan
petani dengan perusahaan harus melalui Gapoktan untuk berbagai
urusan. Selain Gapoktan ada pula Organisasi Angkutan Kelapa Sawit
(OAKSA).OAKSA berfungsi mengkoordinir mobil-mobil petani agar
bisa masuk ke pabrik ketika pabrik rusak. Dikatakannya ada
pengalaman beberapa tahun lalu, selama satu minggu mobil-mobil
antri di pabrik, petani dan pengusaha mobil mengalami kerugian tetapi
tidak ditanggapi oleh pihak pabrik dan perusahaan. Ada sekitar 150
mobil truk yang beroperasi di kebun Arso, yang dimiliki oleh sekitar
80 orang pengusaha. Pengalaman-pengalaman yang dianggap kurang
menguntungkan tersebut ternyata mendorong sejumlah pemilik lahan
yang berasal dari penduduk asli Workwana mengontrakkan atau
menjual lahan kelapa sawit mereka.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah mengapa penduduk
asli Workwana sekarang cenderung menjual lahan kelapa sawit?

182
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Menurut informasi Benny, orang asli Workwana melihat pekerjaan


kelapa sawit memberikan beban dan tidak memberikan harapan untuk
masa depan, keadaan kesehatan tidak memungkinkan untuk berkerja
di lahan sawit, tidak mempunyai modal usaha dan kerja ini tidak
sesuai dengan kebiasaan kerja orang asli Workwana, terbuka
kemungkinan usaha lain. Kelompok yang menjual lahan biasanya
dipengaruhi oleh jauh dekatnya lahan tersebut dengan jalan raya.
Lahan yang jauh pada umumnya dijual dengan harga Rp 10.000.000,-
(sepuluh juta) dan jauh dekat dengan jalan raya pada umumnya dijual
dengan harga Rp 20.000.000,- (dua puluh juta) sampai Rp 30.000.000,-
(tiga puluh juta). Selain alasan atau kecenderungan yang sudah
disebutkan di atas, harus diakui pula bahwa perubahan dan
perkembangan daerah yang begitu cepat terjadi memberi peluang bagi
terjadinya penetrasi pasar dan pengaruh peranan uang dalam
kehidupan sehari-hari yang terinternalisasi ke dalam kehidupan
masyarakat asli Workwana. Uang sebagai simbol kekuatan ekonomi
telah menjadi bagian kehidupan masyarakat termasuk di Workwana
dan hampir di seluruh pelosok tanah Papua. Karena itu dapat dikatakan
bahwa alasan penjualan tanah yang secara kultural tabu menurut world
view setempat, dalam masyarakat pasar sekarang ini ternyata menjadi
hal yang biasa dalam hubungan-hubungan komersial di mana pun
sehingga tanah menjadi salah satu komoditi yang dapat
diperjualbelikan. Dengan kata lain kepentingan ekonomi kini menjadi
unsur pokok yang kemudian mendikte kehidupan masyarakat sehari-
hari termasuk orang Workwana sehingga tanah pun menjadi aset yang
bernilai dan dapat diidentikan dengan uang, yang oleh Malak (2006)
disebut sebagai kapitalisasi tanah adat.

Beban Ganda
Dikatakan oleh sejumlah penduduk Kampung Workwana,
uang pengembangan kebun kelapa sawit PTPN II diambil dari bank
untuk membuka kebun kelapa sawit di Arsokota dan Workwana
melalui sistem kredit. Kredit perusahaan ini kemudian dibebankan
kepada petani. Pengembalian uang kredit ke bank dilakukan dengan
183
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

cara perusahaan memotong ongkos kredit tersebut dari petani ketika


pembayaran hasil panen. Hal ini dirasakan secara ekonomi menjadi
beban bagi petani termasuk penduduk asli yang mempunyai hak
ulayat. Kredit yang diambil perusahaan dipakai untuk berbagai
keperluan seperti, biaya penebangan hutan, sewa alat berat, membeli
chainsaw, sewa truk, beli pupuk dan beli peralatan perkebunan. Selain
beban ekonomi, masyarakat Workwana juga merasakan dan
mengalami usaha kelapa sawit di tempat ini membuat mereka menjadi
korban politik masa lalu. Dikatakan demikian oleh masyarakat karena
daerah Keerom sebagai daerah perbatasan ketika itu menjadi daerah
operasi militer dan warga masyarakat selalu dicurigai, disiksa bahkan
dibunuh dalam operasi militer tersebut, sebagaimana ditulis oleh
Budiardjo & Liong (1988). Menurut ungkapan penduduk setempat,
karena alasan politik daerah perbatasan, hutan-hutan kami di wilayah
ini dibabat, pohon-pohon ditebang agar tidak menjadi tempat
persembunyian kelompok OPM dan dengan demikian hubungan
masyarakat kampung dengan OPM diputus.
Selanjutnya, dikisahkan oleh beberapa warga kampung sambil
mengenang masa lalu, tahun 1981 sampai 1983, ketika lahan-lahan
kelapa sawit secara besar-besaran dibuka di sekitar Arsokota dan
Workwana, kontrak ditandatangani oleh orang-orang tua, tokoh
masyarakat adat pada malam hari di depan laras senjata. Tindakan itu
dilakukan karena usaha-usaha untuk mendekati masyarakat
sebelumnya sebanyak dua kali ditolak tokoh-tokoh adat. Dalam
pendekatan yang dilakukan pihak perusahaan, perusahaan menjanjikan
akan melakukan acara makan bersama di Jayapura dengan sejumlah
pihak. Pada tahap ketiga, pihak perusahaan bekerja sama dengan pihak
keamanan masuk ke rumah-rumah warga di seluruh wilayah Arso,
termasuk Workwana dengan surat dari perusahaan untuk
ditandatangani dan dijanjikan akan diberi beras dan mie instan kepada
warga di rumah-rumah. Dikatakannya, “jadi orang tua-orang tua kami
pada tahun-tahun itu melepas tanah besar ini di depan laras senjata,
sehingga kemudian terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran”.
Pengambilan tanah ini tanpa ada ganti rugi, sehingga tidak ada dasar
yang kuat untuk pemerintah menyebut tanah ini tanah pemerintah.
184
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Karena itu, sekarang dituntut agar tanah perkebunan ini harus


dikembalikan ke adat. Tuntutan pengembalian tanah adat milik warga
setempat masih terjadi hingga saat ini di daerah Arso.
Selanjutnya, berkaitan dengan permasalahan beban-beban
masyarakat terkait pengembangan kelapa sawit di wilayah Arso,
dikatakan juga oleh salah satu tokoh masyarakat di Kampung
Workwana bahwa ada oknum pegawai PTPN II yang bermain dengan
uang potongan petani dari kredit petani. Uang tersebut diberikan
kepada koperasi-koperasi unit desa (KUD) di daerah Arso untuk
dikembangkan. Menurut informan tersebut ada 20 KUD di wilayah
Arso dan Workwana. Oleh karena itu menurut masyarakat di tempat
ini, mereka dibebani dan dirugikan dua kali, yaitu secara ekonomi
mereka kehilangan aset dan modal untuk hidup dan secara politik
mereka menerima stigma sebagai bagian dari OPM (Ansaka, dkk,
2009)15.
Pengalaman serupa yang membuat masyarakat merasa dibebani
oleh perusahaan secara ekonomi diceriterakan juga oleh Bapak Yan
Was dari PIR III. Ia menuturkan bahwa sebagai petani kelapa sawit,
kami harus membayar kredit yang dibebankan sebesar Rp 7.500.000,-
per KK. Beban kredit ini merupakan masalah bagi kami petani orang
asli. Nilai kredit tersebut dipotong setiap kali panen,sebesar 30% dari
pendapatan kotor harga panen petani. Berdasarkan pengakuannya
petani kelapa sawit di PIR, tahun 1998 hanya memperoleh uang sekitar
Rp 300.000,- setiap kali panen, setelah pembayaran berbagai macam
utang termasuk kredit oleh perusahaan. Pembayaran kredit disetor
oleh perusahaan PTPN II ke Bank Exim pada waktu itu (sekarang Bank
Mandiri). Berkaitan dengan urusan kredit, ada petani yang sudah
melunasi kreditnya dan ada yang belum. Pada umumnya tidak semua
petani bersedia melunasi kreditnya, khususnya petani pribumi dengan
alasan bahwa tanah ini adalah milik mereka, mengapa mesti melunasi

15Ansaka mencatat pernyataan pelaku-pelaku sejarah yang berhubungan dengan


pembukaan lahan sawit. Salah seorang pelaku sejarah dari Workwana menyatakan,
saat itu kami tidakbisa melawan keinginan pemerintah, kami disuruh hanya tanda
tangan surat pelepasan tanah, ditodong dengan senjata sehingga kami beradadalam
keadaan penuh tekanan.
185
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

kredit yang bukan berasal dari inisiatif mereka sendiri tetapi


perusahaan menjadikan urusan kebun kelapa sawit sebagai utang
masyarakat melalui sistem kredit. Pembayaran kredit yang tidak lunas
mengakibatkan ada petani yang belum memperoleh sertifikat tanah.
Sertifikat bisa diberikan kepada petani bila kredit di bank telah lunas
(Rosariyanto, dkk., 2008). Berikut ini dapat dilihat sebuah catatan data
pemotongan kredit masyarakat petani yang pernah dibayar petani di
bank sejak tahun 1983/1984 sampai 1989/1990.
Tabel 5.6
Jumlah Pemotongan Kredit
Tahun tanam Jumlah Jumlah kredit (Rp)
Potongan/KK KK
(Rp)
1983/1984 250 709.429.528
2.837.718,1
1984/1985 200 584.532.155
2.922.660,8
1985/1986 300 847.129.415
2.823.764,7
1986/1987 50 148.433.700
2.968.675,4
1987/1988 175 275.810.752
1.756.756,4
1989/1990 250 323.909.046
1.295.636,2
Sumber: Diolah dari Rosariyanto dkk (2008)

Menurut informan yang juga sebagai tokoh adat setempat,


beban kredit yang harus dibayar sebagai petani kelapa sawit dirasa
tidak adil oleh masyarakat. Masyarakat adat memang mendapat 2 (dua)
hektare lahan sama dengan petani kelapa sawit yang bukan penduduk
asli Workwana dan Arso sehingga harus membayar kredit sama dengan
petani lain. Menurut tokoh masyarakat Workwana dan Arso tersebut,
seharusnya ada perlakuan yang berbeda sebagai pemilik hak ulayat dan
yang bukan pemilik hak ulayat. Sistem ini dilihat sebagai bentuk
perlakuan yang tidak adil oleh negara dan perusahaan negara terhadap
masyarakat.
Tekanan terhadap masyarakat tidak hanya sampai di situ. Salah
seorang warga dari Workwana menuturkan, tahun 1994 terjadi suatu
186
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

peristiwa yang cukup mengejutkan dan tidak diharapkan. Pada suatu


hari 3 orang oknum tentara datang di kampung dan bertemu dengan
mahasiswa dari suatu perguruan tinggi swasta di Abepura yang ketika
itu berpraktek sebagai buruh harian lepas (BHL) di kebun kelapa sawit.
Hal ini terjadi karena para mahasiswa tersebut nampaknya sempat
mengungkapkan keprihatinan mereka melihat beberapa kejadian di
sekitar perkebunan kelapa sawit yaitu adanya penebangan hutan besar-
besaran di daerah ini secara terus-menerus dan masyarakat yang
bekerja sepanjang hari di perkebunan kelapa sawit tidak dibayar
sepenuhnya. Ketiga oknum tentara bertemu para mahasiswa tersebut
dan mengancam meraka, karena ketiga oknum tentara tersebut saat itu
bertugas sebagai pengamanan di PTPN II Arso. Setelah kejadian
tersebut, para mahasiswa itu melapor ke pimpinan perguruan tinggi
dan kemudian masalah tersebut diteruskan ke pimpinan satuan yang
lebih tinggi di Abepura Jayapura. Akhirnya ketiga oknum tentara
tersebut ditegur keras oleh komandan satuannya. Hal ini menunjukkan
beberapa hal yaitu, perusahaan-perusahaan baik swasta maupun
pemerintah di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga saat ini selalu
memperalat aparat keamanan untuk kepentingan usahanya. Di
samping itu masyarakat selalu menjadi orang kalah, tak berdaya
berhadapan dengan korporasi besar yang diperkuat oleh aparat
keamanan negara sehingga pasrah diperlakukan tidak adil, penuh
kekerasan ketika mereka berbicara mengenai hak-hak sebagai pekerja
atau sebagai buruh.

Hubungan Petani dengan Perusahaan


Berbicara mengenai hubungan petani dengan perusahaan,
melalui bagian ini akan disoroti dua hal, yaitu, sistem organisasi yang
dibentuk dan pendekatan perusahaan merekrut tokoh-tokoh
masyarakat dan tokoh-tokoh adat setempat sebagai tenaga perusahaan.
Melalui Sistem Organisasi
Bila berbicara mengenai hubungan masyarakat dengan
perusahaan, menurut sejumlah warga masyarakat di Workwana,
187
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

sebenarnya harus dikatakan tidak ada hubungan langsung dengan


perusahaan. Menurut penjelasan Thomas Lobay, petugas khusus Dinas
Perkebunan Kabupaten Keerom sebagai penghubung antara
perusahaan, petani dan pemerintah, pada awal mula pengembangan
kelapa sawit, petani atau masyarakat diawasi oleh petugas perusahaan
yang terdiri dari manajer, asisten kepala, asisten dan mandor.
Dikatakannya, ujung tombak perusahaan ialah mandor yang setiap saat
ada di kebun sawit mendampingi dan mengawasi petani. Jadi secara
terstruktur hubungan petani atau masyarakat sudah diatur dalam
tugas-tugas struktural dan fungsional petugas perusahaan sehingga
masyarakat atau petani tidak berhubungan langsung dengan pimpinan
di atas mandor.
Oleh karena itu dikatakan oleh warga, dari pengalaman selama
ini tidak ada pimpinan perusahaan yang turun ke masyarakat petani,
misalnya, untuk menanyakan keadaan petani, masalah tanaman dan
sebagainya. Hal ini berdampak pada masyarakat sehingga masyarakat
tidak termotivasi untuk mengusahakan kelapa sawit. Demikian juga
pemerintah daerah, tidak ada perhatian terhadap petani kelapa sawit
khususnya orang asli Papua (petani plasma), misalnya tidak ada
perhatian terkait angkutan, jalan raya rusak, jembatan rusak dan
sebagainya.
Pendekatan Perusahaan Melalui Tokoh Masyarakat & Adat
Pendekatan yang digunakan perusahaan sebagai bentuk
hubungan dengan masyarakat asli di Kampung Workwana atau pun di
Arsokota ialah memegang orang-orang kunci di masyarakat. Hal ini
terlihat jelas sekali melalui cara perusahaan merekrut tokoh-tokoh
masyarakat dan tokoh adat sebagai pegawai perusahaan PTPN II.
Menurut sejumlah orang muda di Workwana dan juga di Arso,
pendekatan ini hanya merupakan suatu cara untuk meredam tuntutan-
tuntutan masyarakat. Dari percakapan-percakapan dengan kelompok
orang muda, masalah tanah lahan perkebunan tetap akan mereka
tuntut karena hal ini berkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat.
Jadi pendekatan melalui tokoh-tokoh masyarakat dan tua-tua adat
merupakan bentuk penipuan perusahaan terhadap masyarakat asli
188
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

setempat. Dari informasi lain disampaikan bahwa, beberapa waktu lalu


kelompok orang muda dari kampung Workwana dan Arso melakukan
protes terhadap perusahaan tapi kemudian harus berurusan dengan
pihak keamanan yang bertugas di perusahaan dan tidak ditanggapi
sebagaimana diharapkan oleh pimpinan perusahaan.

Janji-janji Perusahaan dan Pandangan Masyarakat


Sesuai tujuan kehadiran perkebunan kelapa sawit di wilayah
Arso,Workwana dan sekitarnya untuk membuka keterisolasian,
mempercepat proses pembangunan, membuka lapangan kerja dan
membuat masyarakat di sekitarnya sejahtera, ternyata jauh dari apa
yang diharapkan. Dalam wawancara yang dilakukan wartawan Suara
Perempuan dengan salah satu tokoh pelaku sejarah pelepasan tanah
adat untuk perkebunan sawit di wilayah Arso dan Workwana. Tokoh
adat dan masyarakat tersebut menyatakan bahwa dalam kenyataan
“kami sampai saat ini masih tetap miskin dan melarat di atas tanah
kami yang kaya” (Ansaka, dkk, 2009). Hal sama yang disampaikan
kepada Suara Perempuan Papua beberapa tahun silam, diulangi lagi
ketika penulis menemuinya di rumahnya, di sekitar kampung lama
Wor.
Tokoh dimaksud adalah Bapak Herman Fatagur, salah satu
tokoh adat masyarakat Workwana. Herman Fatagur merupakan salah
satu saksi hidup yang memperjuangkan masalah ganti rugi tanah yang
tak kunjung selesai, mengisahkan pengalamannya ketika penulis
menemuinya. Menurut penuturannya, pada awal pembukaan lahan di
tempat ini perusahaan berjanji akan melakukan berbagai hal demi
kepentingan masyarakat. Janji-janji yang diingat masyarakat ialah
pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit akan membuat masyarakat
hidup sejahtera, akan dibuatkan rumah sehat bagi penduduk kampung,
anak sekolah akan dibiayai sampai ke perguruan tinggi, orang asli dapat
diterima bekerja di perusahaan sebagai karyawan dan akan dibuatkan
jaminan bagi masyarakat dengan potongan Rp 2,- yang diambil dari
petani dan dikelola masyarakat setempat. Selain itu masyarakat juga

189
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

akan mendapat listrik dan air bersih di rumah-rumah termasuk


mendapat mobil untuk melayani kepentingan masyarakat kampung.
Dengan nada kesal, Bapak Herman berujar:
“kerja seperti ini merupakan bentuk penipuan karena harta
kekayaan alam kami diambil dengan alasan dipakai untuk
kepentingan negara padahal masyarakat tidak mendapat apa-
apa”.

Ia juga menyatakan, kebun kelapa sawit dibuka dengan tujuan


agar masyarakat bekerja, tenaga mereka dikuras dan tidak berpikir lagi
tentang Papua Merdeka. Menurutnya sistem pembangunan yang
digunakan ini juga merusak masyarakat karena minuman keras (miras)
dipakai untuk membujuk masyarakat, khususnya orang muda diperalat
untuk kepentingan tertentu. Hal senada juga disampaikan salah
seorang tokoh masyarakat di Workwana, Bapak Lamber Welip bahwa
pembukaan kebun kelapa sawit di Keerom dalam rangka mematahkan
perjuangan dan usaha-usaha OPM. Masyarakat sekarang sedang
mengalami luka di hati yang dalam karena masyarakat disiksa, ditindas
dan dibunuh. Selain itu masyarakat juga sering diperalat untuk menjadi
mata-mata yang bertugas demi kepentingan pemerintah yang
menimbulkan sikap saling curiga di antara warga. Dikatakannya,
bahkan sekarang anak-anak muda gampang sekali diperalat untuk
kepentingan tertentu dengan cara memberi minuman keras.
Menurut Bapak Herman, saat ini masyarakat hidup dalam
keadaan yang makin hancur dengan penipuan-penipuan yang dibuat
melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Dikatakannya, “orang Papua
sebagai pemilik tanah, menjadi korban di atas tanahnya sendiri”. Selain
itu ia juga berceritera ketika rombongan yang diikutinya
bersilahturahmi dengan Presiden SBY di istana Negara Jakarta, sebagai
perwakilan masyarakat adat Keerom, ia mengatakan, “Tanah Papua
tidak diperjualbelikan tapi hanya kontrak”. Jadi kehadiran perusahaan
untuk mensejahterakan masyarakat melalui pendidikan, pelayanan
kesehatan, pengembangan ekonomi, perumahan, listrik dan air bersih,
semuanya hanya merupakan janji belaka, karena bila diamati secara
cermat dan saksama, saat ini sesungguhnya baik masyarakat kampung

190
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

Arsokota maupun Kampung Workwana sedang berada dalam keadaan


terpuruk di berbagai aspek kehidupan.

Peran Pemerintah
Peran pemerintah pusat. Dari sejarah pengembangan kelapa
sawit di Indonesia, dapat dilihat bahwa pemerintah, baik di pusat
maupun daerah mempunyai peran yang signifikan dalam urusan
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal tersebut
dapat dilihat dari regulasi-regulasi dan kebijakan-kebijakan yang
dibuat berkaitan dengan izin pengelolaan lahan perkebunan, survei-
survei lahan, pemberian saham usaha, penentuan harga komoditi,
perihal tenaga kerja di perkebunan inti rakyat, pembebasan lahan-
lahan masyarakat serta kompensasinya, penyediaan anggaran
pembinaan dan pelayanan petani serta pengembangan infrastruktur
pembangunan termasuk urusan keamanan usaha dan sebagainya.
Sebagaimana diuraikan oleh Colchester dkk., (2007), dalam
buku berjudul, Promised Land Palm Oil and Land Acquisition in
Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous
Peoples, bahwa ada lima fase kebijakan pembangunan perkebunan
kelapa sawit yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Fase-fase tersebut
yaitu, fase PIR Trans, dimulai sebelum Oktober 1993, fase Deregulasi
1993-1996, fase Privatisasi 1996-1998, fase Kooperatif 1998-2002 dan
fase Desentralisasi 2002-2006. Berikut ini penulis menguraikan garis
besar isi fase-fase kebijakan berdasarkan penjelasan Colchester,dkk.,
sebagai berikut. Pertama, fase PIR Trans. Sebelum Oktober 1993,
pemerintah menetapkan pemusatan penanaman kelapa sawit dalam
pengawasan PTPN, meliputi kebun inti dan plasma yang disatukan
dengan program Transmigrasi sehingga dilakukan konversi tanah dan
hutan secara hukum, seluas 100 hektare. Program tersebut ditetapkan
berdasarkan Inpres RI No.1/1986; MOA-Mof-BPN joint decree No.
364/Kpts-II/1990 (Colchester dkk, 2007, 70). .Selama periode ini, hak-
hak kepemilikan lahan komunitas setempat biasanya tidak diakui.
Bahkan masyarakat asli setempat disatukan dengan warga Transmigran

191
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

(Transmigrasi sisipan) berbaur dengan Trans dari Jawa, Madura dan


Bali. Masing-masing keluarga warga PIR Trans mendapat hanya 2 (dua)
hektare, yang digunakan 1 (satu) hektare untuk menanam padi dan
palawija, 1 (satu) hektare yang lain untuk kebun kelapa sawit. Kedua,
fase Deregulasi. Pada fase ini pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan deregulasi. Paket deregulasi ini berisi kebijakan yang
diberikan kepada pemerintah daerah setempat kewenangan yang besar
untuk mempromosikan pembangunan daerahnya termasuk kepada
badan-badan swasta sepanjang mereka berkomitmen untuk
berivenstasi di daerah tersebut. Berdasarkan paket kebijakan tersebut
pemerintah daerah dapat mengizinkan konversi hutan sampai 200
hektare sedangkan di atas 200 hektare menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat di Jakarta. Ketiga, fase Privatisasi. Fase ini
berlangsung di masa-masa akhir kekuasaan mantan Presiden Soeharto.
Di masa ini Soeharto mengendalikan berbagai sektor usaha termasuk
hasil-hasil perkebunan dengan melakukan privatisasi badan-badan
usaha pemerintah. Cara yang digunakan ialah menginvestasi langsung
dan memfasilitasi usaha-usaha tersebut secara pribadi. Prosedur
perizinan yang ditempuh dimulai dengan memberikan izin prinsip,
kemudian izin tetap dan selanjutnya mengeluarkan izin perluasan.
Syarat-syarat ini juga yang dipakai untuk melakukan konversi hutan
(HPH) bagi perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan. Keempat,
fase Kerja sama. Ketika rezim Soeharto jatuh, muncul di era reformasi
gagasan-gagasan baru pembangunan daerah. Model-model
pembangunan di masa ini lebih mengutamakan komunitas-komunitas
lokal untuk menikmati langsung hasil-hasil dari tanah dan sumber
daya alamnya. Muncul aturan-aturan yang berkaitan dengan hutan
lindung sebagai bentuk proteksi terhadap konversi sebagai bentuk
proses harmonisasi antara prosedur perencanaan spasial regional dan
lokal. Izin usaha perkebunan diberikan oleh pemerintah provinsi
untuk jangka waktu 3 tahun dengan luas di atas 1.000 hektare
sedangkan di atas 20.000 hektare oleh Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Pusat. Kelima, fase Desentralisasi. Fase ini muncul sesudah
rezim Soeharto jatuh dan terjadi perubahan politik secara radikal di
Indonesia. Sejak tahun 2002 terjadi perubahan-perubahan yang

192
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

memengaruhi pembangunan sektor usaha perkebunan kelapa sawit.


Kemudian keluar aturan baru perizinan usaha yang bisa dikeluarkan di
tingkat kabupaten bagi usaha di atas 1.000 hektare namun kebijakan ini
tumpang tindih dengan wewenang yang sama yang dimiliki oleh
provinsi di bidang pertanian. Pada tahun 2005 pemerintah
mengeluarkan aturan sebagai moratorium terhadap konversi lahan
perkebunan.
Fase-fase kebijakan di atas nampaknya dimanfaatkan dengan
berbagai cara oleh pengusaha baik perkebunan kelapa sawit maupun
pemegang izin pengusahaan hutan di Papua (HPH) sedemikian rupa
sehingga usaha-usaha tersebut tetap berjalan. Walaupun dari segi
regulasi, Pemerintah Provinsi Papua telah mencabut izin usaha
puluhan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan kayu di
Papua (Patay, 2005), tetapi nyatanya setiap hari kita dapat
menyaksikan puluhan truk bermuatan kayu berbagai ukuran yang siap
dipakai melintas di Arsokota siang dan malam menuju Abepura dan
Jayapura. Menurut masyarakat di Workwana dan Arso, sudah menjadi
rahasia umum bahwa setiap pos yang dilintasi oleh truk pengangkut
kayu tersebut, harus memberikan sejumlah uang kepada petugas yang
ada, entah pos adat16 di Arso, pos-pos aparat keamanan maupun pos
instansi kehutan sepanjang jalan Trans Irian.
Peran Pemerintah Daerah. Salah seorang informan menyatakan
sikap pemerintah yang diwakili oleh Bupati Celsius Watae ketika SKP
KJ melakukan diskusi di Jayapura pada tanggal 5 Juli 2008, jelas
menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat petani di
wilayahnya. Sebagaimana dicatat oleh wartawan Tabloid Suara
Perempuan Papua, bahwa usai diskusi yang dilakukan oleh SKP KJ di
Jayapura, wartawan Tabloid Suara Perempuan Papua, mewancarai
Bupati Keerom saat itu, Celsius Watae, putra asli Keerom mengenai
masalah petani kelapa sawit dan PTPN II. Celsius Watae

16Pos adat dibuat di depan Kampung Workwanaatas persetujuan apara tkampung,


tokoh adat setempat yang dijaga oleh pemuda kampung. Setiap truk yang melintasi pos
adat memberikan uang sebesarRp. 50.000,-. Penggunaanuang tersebutdiatur oleh
pengurus masyarakat adat.Konon, untuk pos-pos yang lain biasanyadiberikan lebih
dari Rp. 50.000,-
193
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

menyampaikan tanggapannya bahwa, perlu ada perbaikan pola


pendekatan yang digunakan perusahaan terhadap masyarakat.
Beberapa hal yang disoroti Watae antara lain ialah ada kesan
perusahaan tidak serius melakukan pembinaan terhadap petani
sehingga perlu diusahakan pola pendekatan yang baik supaya petani
tidak dibiarkan begitu saja. Hal ini juga berdampak kepada perusahaan
agar bisa tetap eksis. Persoalan lain yang juga muncul dalam diskusi
tersebut menyangkut pabrik yang tidak beroperasi lagi di Workwana
dan kemudian seluruh pengolahan TBS dipindahkan ke pabrik di Arso
7. Dikatakan masalahnya ialah pabrik di Arso 7 hanya mengolah TBS
kemudian minyak olahan dikirim ke luar daerah, hasilnya tidak
langsung dinikmati masyarakat di daerah. Selain itu fluktuasi harga
sawit yang tidak menentu dirasakan merugikan petani, rusaknya
hutan-hutan tempat mata pencarian penduduk, hilangnya sumber daya
alam akibat penebangan hutan yang kemudian diolah menjadi jutaan
kubik kayu yang dikirim ke luar daerah Papua, terjadinya pungutan
liar di area perusahaan ketika mobil truk membawa TBS masuk untuk
ditimbang dan persoalan hak ulayat masyarakat. Tentang hak ulayat
masyarakat, Celsius Watae menyatakan perjanjian yang dibuat dahulu
dan disetujui masyarakat terjadi dalam situasi sosial politik yang tidak
memungkinkan masyarakat berbuat apa-apa, padahal sangat tidak
menguntungkan mereka. Terkait dengan gejala perusahaan PTPN II
yang tidak sehat menurut Watae sudah ada kemauan politik Gubernur
Suebu untuk mengalihkannya menjadi Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) setelah itu akan diserahkan kepada PT Rajawali untuk
mengelolanya. Sedangkan mengenai pajak usaha perkebunan, yang
selama ini dikeluhkan masyarakat, dikatakan Watae pajak tersebut
dibayar langsung ke pemerintah pusat dan kemudian dikembalikan ke
daerah dalam bentuk bagi hasil non-migas ke provinsi dan kabupaten
(Ansaka, 2009, 341-344).
Sebaliknya muncul tanggapan pula dari Yunus Malau sebagai
salah satu unsur pimpinan perusahaan PTPN II Kebun Arso. Ia
menanggapi hasil penelitian SKP KJ, yang disampaikan juga kepada
Wartawan Tabloid Suara Perempuan sebagai berikut. Menurut Malau
penelitian tersebut menyerang perusahaan, yang dilihat hanya dari sisi
194
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

social budaya saja dan belum melihat dampak dari aspek sosial
ekonomi. Dikatakan oleh Malau, dampak kehadiran perusahaan ini
dalam bidang sosial ekonomi ialah isolasi daerah dibuka dan dampak
lain secara politik ialah terbentuknya Kabupaten Keerom sekarang ini.
Selain itu dikatakan juga terkait dengan pembinaan petani,
infrastruktur kebun inti menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi
kebun plasma menjadi tanggung jawab petani plasma.Karena sejak
tanaman kelapa sawit berusia 4 tahun sudah dikonversi ke petani
sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab penuh petani
melalui kelompok tani. Malau menjelaskan bahwa perusahaan hanya
mendampingi dalam pembinaan teknis seperti melakukan penyuluhan.
Akhirnya dikatakan Malau bahwa sebenarnya selama ini PTPN II
dengan kebun-kebun yang ada ini belum pernah mendapat
keuntungan karena masih dibiayai oleh PTPN I Tanjung Morawa
Medan. Dari segi kemampuan produksi pabrik, pada tahun 2008
mengelola 6.800 ton sampai 7.800 ton setiap bulan. Hal ini nampaknya
menjadi alasan yang mendorong pemerintah daerah untuk
mengalihkan PTPN II menjadi BUMD, sebagaimana dijelaskan Celsius
Watae di atas, karena manajeman pengelolaan perusahaan dinilai
kurang sehat. Dari penuturan masyarakat di Workwana, pabrik kelapa
sawit di tepi Sungai Tami dihentikan bukan saja karena mengalami
kerusakan tetapi, pertama-tama karena posisi pabrik berada di atas
tanah di tepi sungai yang labil. Kedua, limbah pabrik berdampak
mencermarkan Sungai Tami sebagai tempat masyarakat atau penduduk
di sekitar menggunakannya sebagai sumber air dan tempat mencari
ikan, udang dan biota lainnya untuk keperluan konsumsi masyarakat.
Sehubungan peran pemerintah daerah, menurut Thomas
Lobay, pemerintah kabupaten juga turut berperan membuka
infrastruktur jalan raya, memperbaiki jalan yang rusak, melakukan
penyuluhan kepada petani kelapa sawit, menangani hama tanaman
kelapa sawit. Dikatakannya, beberapa waktu lalu di tahun 2015 ini, ia
dipanggil oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Papua berkaitan
dengan permasalahan kelapa sawit di wilayah Distrik Arso karena ia
berpengalaman mengurusi masalah kelapa sawit di wilayah Distrik
Arso. Menurut Thomas, lima tahun terakhir ini dirasakan kurang ada
195
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

perhatian pemerintah daerah. Kemudian, berkaitan dengan penentuan


harga sawit, menurutnya, sebenarnya ada surat keputusan yang dibuat
pemerintah. Terkait dengan harga kelapa sawit, Menteri Pertanian
sebenarnya yang menentukan harga kelapa sawit dan sudah ada
rumusnya, tapi kadang-kadang ada pegawai atau staf yang bermain
harga dengan perusahaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir salah
seorang tokoh adat orang Workwana. Kenyataan demikian membuat
masyarakat mengeluh, karena 6 bulan terakhir harga kelapa sawit terus
menurun. Pada bulan Oktober 2015 lalu, kelompok tani kelapa sawit
dari daerah Arso dan Workwana menemui Thomas di rumahnya dan
berbicara mengenai masalah harga kelapa sawit. Pak Thomas
mengusulkan, kalau ada rapat di DPRD Keroom, harus ada yang
mempresentasikan rumus harga penentuan kelapa sawit. Karena
sekarang masyarakat menuntut dan menolak harga TBS yang
ditetapkan Rp 600,-/kg. Harga TBS terus menurun dari harga
sebelumnya Rp 1.300,- atau Rp 1.200,-/kg. Pengalaman tahun
1989/1999 ketika krisis ekonomi dan mata uang dolar AS menguat,
harga kelapa sawit menguntungkan masyarakat petani. Sekarang dolar
AS juga menguat, tapi harga TBS malah menurun. Thomas
menjelaskan, TIM penentuan harga TBS terdiri dari Dinas
Perindustrian, Perkebunan, Perekonmian Daerah, Kependudukan dan
PTPN II. Keterlibatan dinas atau instansi terkait bertugas dan
berfungsi memberikan pertimbangan penentuan harga kelapa sawit.
Dinas Perindustrian, berperan menghitung biaya pengolahan kelapa
sawit; Dinas Perdagangan, menghitung biaya pemasaran; Dinas
Perkebunan, menghitung kualitas hasil olahan kelapa sawit.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut ditetapkan harga CPO dengan
membandingkan harga yang ditetapkan dari pemerintah pusat di
Jakarta. Berkaitan dengan peremajaan kelapa sawit, Thomas
menyatakan banyak warga masyarakat petani ingin peremajaan, hanya
satu dua orang yang keberatan. Namun dari ungkapan-ungkapan
masyarakat kepada penulis dan laporan-laporan penelitian terdahulu
jelas dapat dipahami baik orang Kampung Arsokota maupun
Workwana pada umumnya menolak peremajaan kelapa sawit bila

196
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

permasalahan tanah di kedua tempat ini belum diselesaikan


sebagaimana mestinya.
Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Kerom Tahun 2010 – 2015, di bidang
Pertanian, kelapa sawit sebagai salah satu unsur komoditi unggulan
daerah yang memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten
Keerom sama sekali tidak diberi perhatian khusus sebagai komoditi
unggulan daerah, baik dalam perencanaan maupun pengembangannya
serta penanganan permasalahan yang ada17. RPJMD ini dapat
dikatakan tidak mencerminkan pernyataan Bupati Keerom, Yusuf
Wally, bahwa pembukaan dan penanaman kelapa sawit baru itu
berkaitan dengan promosi Keerom menjadi kota industri. Menurutnya,
perusahaan boleh beroperasi tapi harus memperhatikan hak-hak
masyarakat.

Orang Workwana Berhenti Panen

Sumber: Foto B. Renwarin 2014


Gambar 5.7
Tumpukan Kelapa Sawit di Jalan Trans Irian (Papua)

Kedua gambar di atas memperlihatkan tumpukan kelapa sawit


yang diletakkan di tepi Jalan Trans Irian (Papua) yang dipetik buruh
tani yang bekerja pada pengontrak kebun kelapa sawit atau pembeli

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten


17

KeeromTahun 2010-2015, Arso: Pemerintah Kabupaten KeeromTahun 2011.


197
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

kebun kelapa sawit dari penduduk Workwana. Tumpukan di Gambar


5.7 sebelah kiri, lebih banyak, hasil petikan atau egrek selama
beberapa hari. Sedangkan Gambar 5.7 sebelah kanan, jumlah kelapa
sawit lebih sedikit karena kenyataannya produksi buah sawit dari
waktu ke waktu terus berkurang. Dari pengalaman buruh tani yang
ditemui di jalan, diketahui bahwa diperlukan beberapa hari lamanya
untuk mengumpulkan buah kelapa sawit seperti terlihat pada gambar
di atas, yang ditumpuk saja di pinggir jalan untuk kemudian diangkut
dengan truk ke pabrik pengolahan kelapa sawit di Arso 7 (tujuh).
Fenomena gambar ini menunjukkan bahwa setelah 30 tahun kelapa
sawit ditanam dan berproduksi, dari waktu ke waktu hasilnya terus
berkurang sementara peremajaan yang ditunggu-tunggu masyatakat
tidak pernah terjadi.
Seperti dijelaskan oleh Sunarko (2014, 165-166), produksi
kelapa sawit dari waktu ke waktu yang terus berkurang dipengaruhi
oleh usia tanam. Dikatakannya, ketika kelapa sawit masih berusia 3
sampai 4 tahun,bisa diperoleh kelapa sawit sebanyak 6,2 ton/ha sampai
12 ton/ha, berasal dari rata-rata 17,4 sampai 17,9 buah TBS per pohon.
Akan tetapi ketika kelapa sawit mencapai usia 23 sampai 25 tahun,TBS
yang dihasilkan makin berkurang, rata-rata jumlah TBS hanya
mencapai 3,8 sampai 3,7 per pohon. Catatan Sunarko kurang lebih
sama dengan pengalaman petani kelapa sawit di Kampung Workwana
dan Arsokota.Dikatakan oleh Benny Montulalu, dari PIR 2, ketika
masa-masa awal panen, kelapa sawit dipanen petani 2 kali sebulan,
dengan hasil 6 sampai 7 ton per lahan, bahkan bisa mencapai 9 ton
berkat pemberian pupuk. Tapi sekarang 1 lahan hanya menghasilkan
30 sampai 40 TBS, dan 1 TBS hanya 16 kg.
Selain itu Pak Damasussalah, seorang warga pemilik lahan
kelapa sawit di wilayah Workwana pada salah satu kesempatan
mengisahkan pengalamannya mengelola kelapa sawit. Dikatakan oleh
Damasus, ketika sampai di perusahaan, kelapa sawit kami masih juga
harus mengantri satu sampai dua hari, bahkan pernah sampai satu
minggu lamanya. Padahal kami sudah mengeluarkan uang untuk
mengegrek dan uang pikul. Petani sedikit sekali untung karena untuk

198
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

memanen harus mengeluarkan modal terlebih dahulu. Uang harga


kelapa sawit akan dibayar pada akhir bulan, bukan pada setiap kali
pengiriman. Kondisi seperti ini membuat orang Papua pemilik lahan
kelapa sawit di Workwana tidak mampu mengelola lahannya, sehingga
banyak lahan milik masyarakat setempat disewakan dengan harga yang
cukup murah kepada masyarakat pendatang atau petani yang mampu
mengolah lahan tersebut. Sebagai contoh masyarakat yang berada di
Pir IV dan Kampung Wembi, Arso, mengalami kerugian yang besar
karena jarak kebun kelapa sawit dari lokasi perusahaan sangat jauh
sehingga ongkos transport menjadi hampir dua kali lipat.
Selain itu informasi juga diperoleh dari Bapak Yosep Wabiager
sebagai Ondoafi Workwana, menjadi salah satu karyawan perusahaan
kelapa sawit. Beberapa kali penulis mencoba bertemu dengannya
namun tidak pernah menjumpainya di rumah. Informasi tentang Bapak
Yosep ini diperoleh melalui catatan wartawan Jubi terkait dengan
pengalamannya tentang kelapa sawit. Catatan tersebut menjelaskan,
menurut Bapak Yosep, ia merasa dirugikan dengan hadirnya
perusahaan kelapa sawit di kampungnya. Karena ada masalah dengan
biaya transportasi, biaya egrek dan biaya pikul, semua ongkos tersebut
menjadi beban yang sangat berat. Ia sendiri tidak mampu mengolah
lahannya, dan akhirnya menyewakan lahannya dengan harga Rp
2.000.000/tahun kepada orang pendatang. Namun baginya ini tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga harus
melakukan usaha lain. Menurutnya, “mau tidak mau kami harus tokok
sagu, berburu, dan berkebun di lahan kami yang tersisa ini untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Kalau kami hanya
mengharapkan hasil kelapa sawit kami tidak dapat apa-apa”. Selain itu
dikatakan juga sampai saat ini perusahaan dan pemerintah tidak
memperhatikan masyarakat asli daerah ini. Air di sini keruh, kalau
mau digunakan harus disaring untuk dipakai masak atau mandi.
Demikian juga perumahan masyarakat.Hingga saat ini masyarakat
masih tinggal di gubuk, rumah papan di kampung ini yang dibangun
oleh Dinas Sosial Provinsi Papua tetapi karena sudah lama maka
sekarang atapnya sudah bocor dan papan juga sudah berjamur. Pemda
Keerom sendiri dengan pihak perusahaan kelapa sawit ini belum
199
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

membangun rumah warga masyarakat di kampung Workwana sampai


saat ini.
Namun dari waktu ke waktu keluhan Bapak Yosep di atas
mulai diperhatikan pemerintah kampung melalui dana PNPM Mandiri
Respek beberapa tahun terakhir, sebagaimana dijelaskan oleh Moses
Fatagur, Sekretaris Kampung Workwana. Kisah-kisah yang
disampaikan penduduk di daerah ini dan hasil rekaman wartawan
Jurnal Suara Perempuan, wartawan Jubi dan SKP Jayapura serta
berbagai penelitian, memberikan gambaran bahwa apa yang dibuat di
atas kertas, dipikirkan para pejabat pemerintah senyatanya amat
berbeda dengan realitas pengalaman masyarakat.
Para informan mengatakan orang Workwana sudah sejak
tahun 2000 tidak lagi memanen kelapa sawit sendiri karena sejak saat
itu kebun dikontrakkan kepada orang lain. Diharapkan oleh
masyarakat bahwa berhadapan dengan urusan tanah dan kontrak
hendaknya diatur dengan baik tetapi pemerintah daerah dan
perusahaan tidak menanggapi dengan baik. Selain itu perusahaan juga
seharusnya membina petani tapi setelah adanya tuntutan-tuntutan
masyarakat, perusahaan nampaknya lepas tangan dan hanya menunggu
hasil panen dibawa ke pabrik. Dengan begitu peremajaan tanaman pun
tidak dilakukan karena masalah tanah dalam kontrak belum
diselesaikan dan diharapkan diatur ulang. Menurut Bapak Lukas
Yonggom, warga Kampung Workwana, sekarang ini masyarakat tidak
pegang uang lagi dari hasil kebun kelapa sawit. Hal serupa juga
diungkapkan Pak Fins Mosunggwa.Pada awal-awal masa panen kelapa
sawit masih setinggi 2 sampai 3 m, masyarakat mendodos sendiri
kelapa sawitnya. Tetapi ketika kelapa mulai lebih tinggi mencapai 5
sampai 6 m, kelapa sawit harus diegrek dan usaha ini memerlukan
banyak tenaga sehingga menimbulkan rasa sakit di dada, bahkan
seluruh badan menjadi sakit dan membuat masyarakat menjadi trauma.
Saudara Fins menyatakan kalau secara fisik masyarakat tidak sehat,
kurang gizi, keadaan tersebut sangat berpengaruh pada seseorang.
Dikatakannya, bagaimana warga bisa bekerja keras kalau kesehatannya
kurang baik. Oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh ialah

200
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

menyerahkan panen kelapa sawit kepada orang lain khususnya warga


transmigrasi atau warga lainnya dari kota Abepura dan hal ini sudah
terjadi sekitar 20 tahun lebih. Ada lahan yang dikontrakan untuk 10-15
tahun, bahkan ada yang kepemilikannya sudah berpindah ke pihak
lain. Dikatakan oleh Pak Fins kelihatannya masyarakat belum siap
mengolah lahan kelapa sawit. Dengan kontrak lahan selama 1 (satu)
atau 2 (dua) tahun, pemilik mendapat Rp 1.000.000, sampai Rp
2.000.000,-, padahal sesungguhnya yang mengontrak lebih beruntung
karena dikerjakan sendiri, yang pada umumnya adalah masyarakat
pendatang. Sekarang warga pendatang yang mengontrak lahan kelapa
sawit mempunyai hidup yang lebih baik, mempunyai rumah batu atau
permanen, motor roda dua, dan sebagainya. Dahulu memang diatur
agar truk-truk dibayar oleh kebun inti atau perusahaan dan petani
plasma terima bersih.Tetapi sekarang petani plasma menanggung
semua ongkos, yakni membayar tenaga buruh dan mobil truk, bisa
mencapai Rp 500.000,-lebih. Dengan cara demikian lalu berapa yang
diterima petani dalam situasi sekarang ini, yang mana harga kelapa
sawit naik turun. Keadaan ini menyebabkan pendapatan ekonomi
masyarakat kecil sekali atau kurang sehingga berpengaruh pada hidup
sehari-hari. Dikatakannya, kondisi hidup yang terbatas tersebut dapat
dilihat dari kondisi rumah, yang pada umumnya amat sederhana
bahkan masih ada yang menempati rumah papan bantuan Dinas Sosial
tahun 1983 yang nyaris roboh, dengan perabot rumah tangga seadanya
dan sebagainya. Menurut Fins salah satu tokoh muda di Workwana,
sebenarnya kalau masyarakat bisa panen sendiri, pendapatan petani
cukup dan bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan
pendapatan yang terbatas seperti sekarang ini membuat banyak anak
tidak bersekolah, hanya satu atau dua anak saja yang sampai ke
perguruan tinggi. Dengan kata lain menurut Fins, kondisi keluarga
yang serba terbatas tidak memotivasi anak untuk mengikuti
pendidikan atau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi kelapa sawit
sekarang ini tidak mendukung dan tidak memberi harapan bagi
masyarakat, demikian dikeluhkan Pak Fins. Dampak dari keadaan
seperti ini menunjukkan sekarang hampir semua warga masyarakat
Kampung Workwana merasakan hidup sulit. Anak-anak muda tidak

201
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

bisa pegang jubi (tombak) dan menokok sagu. Sistem pencarian nafkah
seperti itu telah hilang dari kehidupan penduduk setempat yang
sebenarnya dipelajari turun-temurun. Masyarakat sekarang tergantung
dari uang kelapa sawit padahal uang kelapa sawit sama sekali tidak
menjanjikan bagi kehidupan saat ini dan di masa depan.
Pengalaman yang mirip dengan warga di Workwana dialami
juga oleh Bapak Yan Was dari PIR III Kampung Bagia jalur D Timur
RT 05. Disampaikannya, PIR 3 dibuka tahun 1989. Ia mempunyai 2
hektare lahan dan membayarnya dengan cara mengambil kredit
sebesar Rp 7.000.000,- per orang dan uang tersebut dibayar kembali
oleh setiap petani. Yan Was mengatakan dahulu masyarakat
dimukimkan dengan mendapat rumah papan, berukuran 6 m x 6 m dan
hasil dari lahan kelapa sawit, ¾-nya untuk perusahaan. Rakyat sebagai
petani tidak menikmati hasil kelapa sawit karena tidak punya modal
usaha, tidak punya kendaraan. Mobil angkutan truk disewa Rp
300.000,- sampai Rp 500.000,-. Menurut Bapak Yan Was,sekitar satu
tahun tidak panen lagi karena jembatan menuju lahannya sedang rusak
dan belum diperbaiki. Dikaatakan oleh Bapak Yan Was, 1 ton sawit
harus dibayar sekitar Rp 700.000,- padahal belum dihitung ongkos
membayar buruh, di mana orang yang mengegrek kelapa sawit dibayar
Rp 2.000,- per tandan. Yang memikul TBS harganya lain lagi, bila
dekat dengan jalan raya, pemikul dibayar Rp 1.500,- per tandan; bila
agak jauh dari jalan raya dibayar Rp 2.000 per tandan dan bila lebih
jauh lagi dari jalan raya dibayar Rp 3.000,- per tandan. Pembayaran
tersebut belum termasuk ongkos makan, minum dan rokok buruh,
karena semuanya menjadi tanggung jawab pemilik lahan atau orang
yang mengontrak lahan. Dari pengalamannya, pembayaran kepada
buruh dilakukan setelah PTPN II membayar hasil timbangan, hasil
bersih buah kelapa sawit dan ini tergantung dari berat ringan atau
besar kecilnya buah kelapa sawit serta harga yang ditentukan,
mengingat harga kelapa sawit sekarang tidak stabil. Menurut Bapak
Yan biaya makin tinggi, pohon sawit makin sedikit buahnya dan pada
waktu membersihkan lahan dilakukan setiap 3 bulan sekali. Biasanya
yang bekerja 3 sampai 5 orang dan mereka dibayar per orang Rp
1.000.000. Semuannya tanggungan petani yang punya lahan. Buruh
202
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

yang dipakai di sini biasanya diambil dari masyarakat asli setempat.


Sejumlah responden dari Workwana mengatakan, setelah berhenti
memanen kelapa sawit, lapangan kerja masyarakat hilang, tidak bisa ke
hutan untuk mencari makan, berburu binatang dan lain-lain. Kalau
mau sesuatu mereka berhutang barang dan tidak bisa membayar. Kalau
sayur yang dijual tidak laku di pasar, dibuang di jalan. Keadaan ini
menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya sekarang hidup dalam
keadaan tidak sejahtera. Dengan kata lain orang Workwana sedang
hidup dalam keadaan parah. Akibatnya muncul pikiran-pikiranctidak
sehat, terjadi perilaku seks bebas, dan tindakan-tindakan orang muda
yang tidak terpuji.

Sawit dan Kesejahteraan Masyarakat


Dari berbagai kisah yang disampaikan di atas terlihat bahwa
setelah 30 tahun usaha kelapa sawit yang dialami masyarakat dapat
dikatakan sebagai usaha yang kurang menguntungkan secara
berkelanjutan, khususnya bagi penduduk asli setempat. Hal tersebut
disebabkan oleh berbagai hal seperti fluktuasi harga yang tidak
menentu bahkan cenderung merugikan masyarakat, kebiasaan dan etos
kerja masyarakat yang berbeda dengan tuntutan industri perkebunan,
ketiadaan modal usaha dan lain-lain.
Dari Tabloid Jubi18 juga diperoleh kutipan pernyataan
Gubernur Provinsi Papua tentang Nota Keuangan serta RAPBD Papua
tahun 2007. Gubernur Suebu menjelaskan bahwa selain RESPEK,
agenda untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan
dengan pendekatan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan.
Dikatakannya, pemerintah sudah menghitung dengan cermat, dua juta
hektare kelapa sawit yang mana 50% dialokasikan untuk petani
plasma, akan memberikan pekerjaan kepada 250.000 Kepala Keluarga
penduduk asli Papua. Dengan alokasi 4 hektare kebun kelapa sawit per
keluarga, rata rata setiap keluarga menerima Rp 5.000.000 sampai Rp

https://tabloidjubi.worpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterahkan-
18

masyarakat-pir-ii-asro/, dinduh 30 Juni 2015.


203
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

7.000.000,- per bulan. Suatu penghasilan yang jauh di atas gaji seorang
PNS yang bekerja di kantor pemerintah,” ujar Gubernur Provinsi
Papua Barnabas Subeu kala itu. Tetapi dari catatan Jubi kenyataan di
lapangan hasilnya berbeda jauh.
Selanjutnya, jurnal Jubi menyebut contoh pengalaman
masyarakat Arso dengan PTPN II di Arso.Dikatakan perusahaan kelapa
sawit yang sudah beroperasi kurang lebih 25 tahun ternyata belum
memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Masyarakat petani
baik orang Keerom asli maupun pendatang mengeluh karena
rendahnya harga jual kelapa sawit. Bapak Damasus Kebelen salah satu
warga PIR 2 Arso sebagai salah seorang pemilik lahan kelapa sawit
ketika ditemui tim Jubi dikediamannya, Kamis, 17 Januari 2008
mengatakan ia sudah menjadi penduduk Arso sekitar 20 tahun, setahun
lebih dulu dari trasmigran yang datang dari Pulau Jawa, yaitu sekitar
tahun 1988. Sekitar tahun 1980-an PTPN II Arso mulai masuk diawali
dengan penebangan, pembersihan hutan hingga penanaman kelapa
sawit dilakukan perusahaan. Masyarakat transmigran dan warga lokal
bahu -membahu saling membantu melakukan penanaman, dalam
pemeliharaan dan dan memanen hasil produksi lahan kelapa
sawit.“Awalnya perusahaan kelapa sawit beroperasi, kami tidak terlalu
mengalami kerugian, kami masih bisa mendapat keuntungan sedikit
waktu itu,” kenang Damasus yang pernah menjadi anggota DPRD
Kabupaten Jayapura. Saat itu tukang egrek atau tukang dodos kelapa
sawit dibayar dengan harga standar sebesar Rp 1000,- per tandan.
Tenaga pikul ke jalan raya, dihitung per jarak,tergantung jauh-
dekatnya. Kalau jauh, dibayar seharga Rp1.500,- dan bila dekat dibayar
Rp 1000,- sekali pikul. Dan untuk pembayaran truk yang mengangkut
hasil dari kebun ke perusahaan, petani masih harus membayar sebesar
Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,- sekali jalan. Namun sejak akhir
tahun 2004 hingga awal tahun 2005, harga sawit mengalami
penurunan dan ongkos tenaga kerja serta ongkos truk mengalami
peningkatan sehingga petani mengalami kesulitan dan mengalami
banyak kerugian. Dikatakan oleh Pak Damasus tahun 2007, warga
berdemonstrasi ke kantor DPRD Keerom mengenai penurunan harga
kelapa sawit dari perusahaan. Penurunan harga kelapa sawit selama ini
204
Kelapa Sawit di Kampung Workwana

ditentukan oleh perusahaan dan diketahui oleh Sekda Provinsi Papua,”


ujar Damasus. Sekarang pembayaran satu truk saja Rp 750.000,-
kemudian membayar orang yang mengegrek kelapa sawit,sekali panen
Rp 500.000,-belum terhitung ongkos pemikul kelapa sawit. Ongkos
untuk membayar buruh-buruh pemikul kelapa sawit dibayar kurang
lebih Rp 200.000,- belum terhitung jarak jauh atau di antara kebun
kelapa sawit dan jalan raya. Berdasarkan ongkos-ongkos tersebut Pak
Damasus Kebelen yang mempunyai lahan hanya seluas 2 (dua) hektare,
setiap kali pengolahan mengalami kerugian yang sangat besar, karena
harus mengeluarkan biaya untuk transportasi, buruh dan lain-lain.
Disampaikannya bahwa dari pengalaman juga sering kali kelapa sawit
kami tidak diangkat, sehingga kelapa sawit yang sudah dipetik menjadi
busuk. Ini terjadi karena para sopir truk biasanya meminta harga yang
tinggi.
Pengalaman di Workwana menunjukkan pendapatan ekonomi
masyarakat asli dari hasil panen kelapa sawit kecil sekali atau kurang.
Dikatakan oleh salah satu responden bahwa pendapatan yang kecil
atau kurang itu dapat dilihat dari kondisi rumah, yang pada umumnya
tanpa perabot dan fasilitas yang diperlukan dalam keluarga serta rumah
yang tidak layak huni, banyak anak tidak sekolah, hanya satu atau dua
anak yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Motivasi anak untuk
pendidikan tidak didukung oleh keadaan keluarga. Menurut para
informan, sekiranya masyarakat masih memanen sendiri kelapa
sawitnya, hidup keluarga bisa menjadi lebih baik. Tapi memang kelapa
sawit tidak mendukung harapan masyarakat. Pada awalnya baik, tapi
10 tahun kemudian mundur dan pendatang yang mengontrak lahan
kebun justru mendapatkan hidup yang lebih baik, punya rumah,
motor, dsb. Jadi, Workwana dan orang Arsokota tidak ada yang maju
dari kelapa sawit.
Dikatakannya dahulu masyarakat tergantung pada hutan, bisa
dapat binatang apa saja. Sekarang hutan tidak ada lagi, sungai-sungai
kecil dengan segala kekayaannya tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Generasi sekarang lebih parah karena mereka sudah tidak
ada sumber hidup, hutan tidak ada, kebiasaan berkebun, berburu sudah

205
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

hilang. Dahulu anak-anak remaja berusia 14 sampai 15 tahun sudah


diajar memanah babi, tapi sekarang anak-anak mau diajar panah babi
di hutan mana, karena hutan tidak ada lagi. Berhadapan dengan
keadaan yang demikian anak-anak muda bersikap, lebih baik minum
minuman keras. Situasi ini mempengaruhi seluruh keadaan hidup
masyarakat asli. Anak-anak tidak bisa memegang jubi untuk berburu
binatang dan tokok sagu untuk kebutuhan makan.
Menurutnya pemerintah kemudian masuk dengan kelapa sawit
yang diharapkan bisa membuat kehidupan lebih baik, ternyata tidak
demikian. Sistem kelapa sawit ini menghilangkan kebiasaan-kebiasaan
penduduk asli yang turun-temurun dipelajari dan dijalani dalam hidup.
Hal ini membuat orang di wilayah Arso dan Workwana bingung,
karena kelapa sawit tidak “menjanjikan” adanya kesejahteraan.
Menurut penduduk setempat, keadaan ini membunuh masyarakat
secara pelahan-lahan dan secara halus. Dikatakannya juga, memang
program-program pemerintah (RESPEK atau PROSPEK dan BK3) itu
bagus tapi tidak bisa menjawab semua masalah atau permasalahan-
permasalahan masyarakat. Mungkin perlu pendekatan dan pola lain
untuk pelayanan masyarakat. Proyek kelapa sawit rupanya dibuat
tanpa survei yang baik. Kalau ada survei, mungkin diperoleh usaha
yang lebih tepat. Masyarakat setiap hari hanya menjual pinang, tidak
bisa menjual daging hasil buruan karena tidak bisa berburu, tidak ada
hutan lagi. Dikatakan juga bahwa, pada masa Gubernur Jap Salosa,
pernah dipikirkan untuk dibuat sebuah pabrik pengolahan minyak
kelapa sawit di daerah Koya Distrik Jayapura, tapi alasan yang
diberikan pihak perusahaan, pasokan bahan baku terbatas. Padahal saat
ini perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom dibuka secara besar-
besaran, belum terhitung perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Jayapura, yang direncanakan akan dikembangkan sampai di wilayah
Distrik Skanto Kabupaten Keerom.

206

Anda mungkin juga menyukai