Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Ali dari Mesir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Artikel atau halaman tentang atau mungkin bertopik biografi tokoh
muslim ini membutuhkan lebih banyak rujukan, kutipan, sitasi atau
catatan kaki. Gunakan templatnya atau alat untuk pemastian. Anda dapat
berkontribusi dalam WBI memperbaiki artikel ini dengan menambahkannya dari sumber
yang tepercaya, dalam WBI ada 326 halaman sejenis ini. Silakan menghapus templat
pemeliharaan ini setelahnya.
tampil
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.

Muhammad Ali dari Mesir

Lahir 1769

Kavala (di Yunani kini)

Meninggal 1849

Kairo, Mesir

Muhammad Ali Pasha adalah seorang tokoh pembaruan di Mesir yang masih


keturunan dari Turki. Ia lahir di Kawalla, Yunani pada tahun 1765 dan meninggal
tahun 1849 di Mesir.[1] Ayahnya adalah seorang pedagang dan dapat dikatakan
bahwa Muhammad Ali lahir dalam keadaan keluarga tidak mampu sehingga ia tidak
pernah mengenyam pendidikan yang menjadikannya sebagai orang
yang ummi (tidak dapat baca tulis).[butuh rujukan] Tetapi tidak ada yang menyangka dengan
latarbelakang yang seperti ini, ia mampu menjadi panglima dan tokoh pembaruan
sekaligus pendiri negara Mesir modern.[butuh rujukan]
Dari keadaan Muhammad Ali Pasya yang demikian membuat ia menjadi seorang
pemuda yang giat bekerja dan cakap. Sifat kecakapannya membuat ia lebih dikenal
bahkan disayangi oleh gubernur Ustman.[butuh rujukan] Kecakapannya itu mulai muncul
ketika ia berumur dewasa dan bekerja sebagai pemungut pajak. Dari kecakapan dan
kesungguhannya dalam menjalankan amanat sebagai pemungut pajak, gubernur
Utsmani mengambilnya sebagai seorang menantu.[butuh rujukan] Setelah diambil menjadi
menantu, ia ditugaskan menjadi seorang wakil perwira yang memimpin pasukan
militer untuk menggempur pasukan Prancis dan berhasil.[2]
Ketika Muhammad Ali Pasya berhasil mengusir pasukan Napoleon sehingga
pasukan Prancis meninggalkan Mesir tahun 1801. Ia berisiatif untuk mengisi
kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Napoleon, tetapi terjadi perebutan
untuk mengisi kekosongan tersebut antara lain adalah Khursyid Pasya (pimpinan
kaum mamluk) yang datang dari Istanbul, Turki, yang sebelumnya kaum mamluk
pergi meninggalkan Mesir karena diperangi dan dikejar-kejar oleh pasukan
Napoleon dan dipihak kedua adalah Muhammad Ali Pasya.[3]
Muhammad Ali Pasya menggunakan siasat mengadu domba antara pimpinan kaum
mamluk dengan rakyat Mesir. Dengan siasatnya ini, ia berhasil menghasud rakyat
Mesir agar benci terhadap kaum mamluk dan dari kebencian rakyat Mesir inilah
yang dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil simpati rakyat Mesir yang
akhirnya membawanya menjadi penguasa Mesir. Akhirnya pada tahun 1805 M,
rakyat Mesir mengangkatnya sebagai Gubernur Mesir.[4] Sebenarnya keberhasilan
Muhammad Ali menjadi pemimpin di Mesir tidaklah hanya karena siasat adu
dombanya melainkan ia membohongi dengan menyerang sekaligus mengepung
pasukan Sultan yang dikirim kepadanya. Invasi Prancis yang juga melemahkan
antara Mesir dan Utsmaniyah.[5] Akhirnya Muhammad Ali berhasil berkuasa
didaerahnya dengan memproklamirkan dirinya sebagai Pasya.

Daftar isi

 1Kehidupan awal
 2Menjadi Gubernur Mesir
 3Catatan kaki
 4Referensi
 5Pranala luar

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]


Muhammad Ali Pasya lahir di kota Kavala, Provinsi Makedonia yang kini di barat
Yunani, pada tahun 1769 dari keluarga Albania.[6][7][8][9][10] Asal keluarga itu konon
dari Korçë, di Albania.[11][12] Ayahnya bernama Ibrahim Agha, yang memimpin
sejumlah unit kecil prajurit guna menjaga jalanan yang ada di negerinya itu.
[13]
 Kononlah pula ayah Muhammad Ali ini berjualan tembakau dan juga merupakan
seorang saudagar.[14][15]

Menjadi Gubernur Mesir[sunting | sunting sumber]


Muhammad Ali Pasya berkuasa sekitar tahun 1804-1849. Langkah pertama yang
dilakukannya adalah dengan menyingkirkan para pemimpin yang menentang
kebijakannya dengan memecatnya bahkan sampai membunuhnya. Tidak hanya
menyingkirkan para pemimpin yang menentangnya, ia juga menyingkirkan dan
kemudian membasmi kaum mamluk. Genosida terhadap kaum mamluk ini
dikarenakan Muhammad Ali Pasya mendengar adanya isu-isu yang berisi rencana
pembunuhan terhadapnya yang akan dilakukan kaum mamluk.[16] Dalam sebuah
cerita disebutkan bahwa ia menggunakan perangkap untuk membasmi kaum
mamluk dengan cara mengundang mereka dalam acara pesta di istana.[note 1]Ketika
semua kaum mamluk hadir didalam istana, Muhammad Ali memerintahkan penjaga
istana untuk menutup gerbang dan akhrinya semua kaum mamluk yang berjumlah
470 orang dibantai disana. Menurut sejarah versi Philip K. Hitti, kaum mamluk
dibantai diatas bukit dekat dengan istana.[17] Hanya seorang saja yang selamat dari
peristiwa pembantaian itu.[note 2]
Mendengar adanya seorang mamluk yang selamat, Muhammad Ali Pasya
mengirimkan pasukan untuk mengejarnya. Sebagian kaum mamluk di Turki selamat
dengan berpindah ke Sudan tetapi kaum mamluk yang berada di Mesir habis tidak
tersisa. Setelah semua saingannya telah tersingkirkan, maka mulailah Muhammad
Ali Pasya fokus dalam kepemimpinannya dengan cara diktator. Kediktatorannya
tampak dalam keputusan-keputusan dan programnya yang merujuk
kepada secularism dan kegiatan Muhammad Ali Pasya menumpas semua syaikh
dan akademisi yang melawannya yang terjadi pada tahun 1809 dan 1813.[18]
Pada tahun 1811, Muhammad Ali melakukan ekspansi ke wilayah Saudi Arabia
dengan mengirimkan pasukannya dengan misi utama adalah memerangi Wahabi.
[19]
 Penyerangannya terhadap Wahabi dilakukannya karena ia takut gerakan tersebut
akan mengancam kedaulatan Turki Ustmani sebagai pelindung kota
Suci Makkah dan Madinah. Kemudian pada tahun 1822 pasukan Muhammad Ali
bergabung dengan pasukan Turki Utsmani yang masing-masing menaklukan
wilayah Creta dan berhasil mendudukinya tahun 1822 dan 1824. Muhammad Ali
melanjutkan ekspansinya ke Navarino tetapi akhirnya dikalahkan oleh pasukan
Prancis-Inggris-Rusia pada tahun 1827.[20] Setelah menerima kekalahan di Navarino
Muhammad Ali pun menginstruksikan pasukannya untuk mundur dan kembali
menjaga kedaulatan Mesir.
Sekularisme yang diterapkan Muhammad Ali Pasya tampak dalam sikapnya yang
tidak menghiraukan nasihat-nasihat pada ‘ulama’ Mesir tentang hukum shari’ah
dalam masalah pemerintahan. Meskipun Muhammad Ali tidak menaati dan
menghiraukan fatwa atau pendapat ‘ulama’, ia malah mengikuti para ‘ulama’ dalam
menerapkan konsep shari’ah, moral dan lain sebagainya dalam Pendidikan formal di
Mesir.[21] Muhammad Ali membiarkan konsep shari’ah dan moral diaplikasikan dan
diimplementasikan dalam pendidikan.
Dalam konsep pembaruan Muhammad Ali Pasya, ia menerapkan pendidikan militer
karena ia percaya bahwa kekuasaannya dapat bertahan dengan adanya kekuatan
militer. Kolonel Steve ditugaskan oleh Muhammad Ali untuk membangun angkatan
bersenjata Mesir yang modern. Selain angkatan bersenjata, Steve juga membuat
angkatan Laut modern yang dilengkapi kapal perang yang diimpor dari luar negeri
dengan persenjataan lengkap yang diproduksi didalam negeri. Muhammad Ali
bahkan mendatangkan tenaga-tenaga militer dari Prancis dan ia membangun suatu
angkatan bersenjata yang disebut Nizam-I Jedid.[22] Tidak sebatas pembangunan
militer, Muhammad Ali juga membangun sekolah perwira angkatan laut di
Iskandariyah.[23] Selain Pendidikan militer ia menerapkan Pendidikan Teknik dan
kedokteran, sekolah obat-obatan pada tahun 1829, sekolah pertambangan pada
tahun 1834, sekolah pertanian tahun 1836, dan sekolah penterjemahan pada tahun
1836.[24] Muhammad Ali mendatangkan guru dari Eropa untuk mengisi tenaga
pengajar dalam sekolah-sekolah yang didirikannya. Pada tahun 1822, ia juga
mendirikan satu unit percetakan Bulaq yang juga salah satu titik vital dalam
perkembangan produk-produk literer dan kemajuan Mesir pada saat itu.[25]
Adanya sekolah penterjemahan yang didirikan oleh Muhammad Ali, sebanyak 311
pelajar dikirim ke Eropa seperti ke Austria, Prancis, Ingris, dan Jerman yang didanai
oleh pemerintah langsung.[26] Dari 311 pelajar tersebut salah satunya adalah Rifa’ah
al-T{aht{awi yang belajar di Prancis dan seteah beberapa tahun sekolah
penterjemah berjalan, Muhamad Ali menunjuk Rifa’ah untuk menjadi pimpinan
sekolah ini. Dalam masa kepemimpinan Rifa’ah, sekolah penterjemah berkembang
lebih baik dengan menggencarkan penterjemahan buku-buku Barat, seperti buku
filsafat, ilmu militer, ilmu fisika, ilmu bumi, logika, antropologi, ilmu politik dan lain
sebagainya.
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini (bahasa
Arab: ‫;محمد رشيد رضا‬ transliterasi, Muḥammad Rashīd Riḍā; lahir di Suriah Utsmaniyah, 23 September
1865[1] atau 18 Oktober 1865[2] – meninggal di Mesir, 22 Agustus 1935)[2] dikenal sebagai Rasyid
Ridha) adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme
Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari
kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan
menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi
secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama
yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam
dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.

Mulai tahun 1898 hingga wafat(1935), Ridha menerbitkan surat kabar yang bernama Al-Manar.

Nasabnya sampai kepada Ahlul Bait.

Daftar isi

 1Ide-ide Pemikiran dalam Bidang Agama

 2Bersama Tarekat Syadziliyyah

 3Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah

 4Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Manhaj Salaf

 5Referensi

Ide-ide Pemikiran dalam Bidang Agama[sunting | sunting sumber]

Dalam bidang agama, Rasyid Ridha berpendapat umat Islam lemah dikarenakan tidak lagi
mengamalkan ajaran agama yang murni seperti yang diterapkan pada masa Rasulullah SAW. Sebab,
ajaran pada saat itu sudah tercampur bid'ah dan khurafat. Rasyid Ridha juga menegaskan, jika umat
Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah
SAW tanpa terikat oleh pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntutan
hidup modern. Ia kemudian mengamati paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam pada waktu
itu. Rasyid Ridha berpendapat ajaran Islam itu seharusnya mengandung paham dinamika, bukan
fatalisme. Idenya yang lain ialah toleransi dalam bermazhab. Menurutnya, timbulnya perpecahan
pada kalangan umat Islam dikarenakan adanya sikap fanatisme terhadap mazhab. Oleh karena itu,
menurut Rasyid Ridha perlu menghidupkan toleransi dalam bermazhab. Bahkan, termasuk dalam
bidang hukum, walaupun ia sendiri dikenal sebagai pengikut Mazhab Hanbali.[5]

Bersama Tarekat Syadziliyyah[sunting | sunting sumber]

Dia mulai mempelajari tasawuf dari gurunya, Husain Al-Jisr. Setelah dia menggali dan memperdalam
ilmu dan ushuluddin, sadarlah ia bahwa membaca Wirid tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun
meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.

Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah[sunting | sunting sumber]

Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa yang membuatnya gandrung mempelajar
Tasawuf adalah pesona kitab ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Diin’ karya Imam Al-Ghazali.

Kemudian dia meminta kepada gurunya dalam tarekat Syadziliyyah, Muhammad Al-Qawiqji untuk


memperkenankannya untuk tetap menjalankan tarekat Syadziliyyah secara formalitas saja.

Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Manhaj Salaf[sunting | sunting sumber]

Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai Sufi, dia menuturkan pengalamannya, “Saya


sudah menjalani Tarekat Naqsyabandiyyah, mengenal yang tersembunyi dan paling tersembunyi
dari misteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Aku telah mengarungi lautan Tasawuf dan telah
meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokoh dan buih-buihnya yang terlempar ombak.
Namun akhirnya petualangan itu berakhir ke tepian damai, ‘pemahaman Salaf ash-Shalih’ dan
tahulah aku bahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”

Dia banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ dan artikel-artikel para ulama dan
sastrawan. Terlebih, pengaruh gurunya, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ia benar-
benar terpengaruh sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkan akal dan pikirannya
untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan antara ilmu agama dan modern
serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai kemenangan.

Dan yang lebih banyak mempengaruhinya lagi adalah dia buku-buku karya

Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ Lompat ke:a b Ende, W. (2012).  "Ras̲h̲īd Riḍā". Dalam P. Bearman, Th. Bianquis, C.E.
Bosworth, E. van Donzel, W.P. Heinrichs.  Encyclopaedia of Islam  (edisi ke-2nd).
Brill.  ((Perlu berlangganan (help)).

2. ^ Lompat ke:a b c d Arthur Goldschmidt (2000).  Biographical Dictionary of Modern


Egypt. Lynne Rienner Publishers. hlm.  166.

3. ^ "He began to specialize in the field of Hadith and its related sciences by the age of
20 -- being influenced by articles in Al-Manar magazine." Prophet's Prayer
(Sallallaahu 'Alaihi Wasallam) Described from the Beginning to the End as Though
You See it, introduction, p4.

4. ^ David Gauvain, Salafi Ritual Purity: In the Presence of God, p33

5. ^ Musdah Mulia, Ensiklopedi Islam, Jilid 6, ed. Nina M. Armando, et. al. (Jakarta:


Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hal. 45.
Artikel bertopik Ulama ini adalah sebuah  rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia
dengan  mengembangkannya.

Anda mungkin juga menyukai