Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PRAKTIKUM

BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL


(PNA3521)

KELOMPOK 11:
SARAH ATIKA R (A1D018016)
CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMETERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan praktikum berhasil diselesaikan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Tanaman Pada Lahan
Marginal. Penulisan laporan praktikum ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penulisan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan praktikum ini masih kurang sempurna.
Meskipun demikian, penulis berharap agar laporan praktikum ini dapat
bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Purwokerto, Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. vii
ACARA I..................................................................................................... 8
I. Pendahuluan................................................................................... 9
II. Pembahasan................................................................................... 00
III. Kesimpulan.................................................................................... 04
Daftar Pustaka................................................................................ 04
ACARA II................................................................................................... 05
I. Pendahuluan................................................................................... 05
II. Pembahasan................................................................................... 06
III. Kesimpulan.................................................................................... 07
Daftar Pustaka................................................................................ 04
ACARA III.................................................................................................. 12
I. Pendahuluan................................................................................... 12
II. Pembahasan................................................................................... 12
III. Kesimpulan ................................................................................... 12
Daftar Pustaka................................................................................ 04
ACARA IV.................................................................................................. 14
I. Pendahuluan................................................................................... 20
II. Pembahasan .................................................................................. 36
III. Kesimpulan .................................................................................... 12
Daftar Pustaka.................................................................................. 49
Lampiran.......................................................................................... 49
ACARA V .................................................................................................. 42

iii
I. Pendahuluan................................................................................... 42
II. Pembahasan................................................................................... 43
III. Kesimpulan .................................................................................... 12
Daftar Pustaka.................................................................................. 02
Lampiran.......................................................................................... 49
BIODATA PRAKTIKAN.......................................................................... 62

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Kisaran, rata-rata, ragam dan simpangan baku hasil biji.................... 13
2. Indeks adaptasi lahan masam genotipe kedelai pilihan...................... 37
3. Prosedur berbagai metode penggaluran.............................................. 37
4. Keunggulan dan kelemahan berbagai metode seleksi........................ 37

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Daun jagung yang kekurangan nitrogen............................................... 15
2. Daun jagung yang kekurangan fosfor................................................... 18
3. Daun jagung yang kekurangan kalium................................................... 19
4. Curah Hujan Tahun 2009 Di Desa Cinunuk Tengah, Kecamatan
Wanaraja, Kabupaten Garut................................................................... 19

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Halaman
1. Efek defisiensi nitrogen pada daun jagung.......................................... 13
2. Efek defisiensi kalium pada daun jagung........................................... 37
3. Efek defisiensi posfor pada daun jagung............................................ 37
4. Kondisi lahan Desa Cinunuk Tengah................................................. 37
5. Kondisi lahan sawah kering Desa Cinunuk Tengah........................... 37

vii
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
(PNA3521)

ACARA I
Menghitung Kandungan Unsur Hara dalam Tanah

Oleh:
KELOMPOK 11

SARAH ATIKA R (A1D018016)


CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
III. KESIMPULAN
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
(PNA3521)

ACARA II
Menghitung Kebutuhan Kapur

Oleh:
KELOMPOK 11

SARAH ATIKA R (A1D018016)


CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
III. KESIMPULAN
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
(PNA3521)

ACARA III
Menghitung Kebutuhan Air dalam Tanah

Oleh:
KELOMPOK 11

SARAH ATIKA R (A1D018016)


CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah memiliki peranan penting bagi kehidupan makhluk hidup. Makhluk


hidup tidak dapat berpijak jika tidak ada tanah. Tanah adalah bagian permukaan
kulit bumi yang merupakan tempat kegiatan organisme. Manusia dan hewan darat
melakukan kegiatan seperti hidup, tumbuh dan berkembang, dan kegiatan lainnya
di atas tanah. Tanaman juga membutuhkan tanah sebagai media tumbuh tanaman.
Tanah menyediakan air dan unsure hara yang baik bagi tanaman.
Tanah juga memiliki peranan penting dalam siklus hidrologi. Dalam siklus
hidrologi, air hujan yang jatuh mencapai tanah akan mengalami infiltrasi. Infiltrasi
adalah peristiwa dimana air bergerak melalui celah-celah dan pori-pori serta
batuan yang ada dibawah tanah yang dapat bergerak secara vertikal dan horizontal
di bawah permukaan tanah hingga ke sistem air permukaan.
Tanah tidak hanya sebagai media pertumbuhan bagi tanaman, tetapi juga
sebagai media pengatur air. Kondisi tanah menentukan jumlah air yang masuk ke
dalam tanah dan mengalir pada permukaan tanah. Air mempunyai fungsi yang
penting dalam tanahseperti pada proses pelapukan mineral dan bahan organik
tanah, yaitu reaksi yang mempersiapkan hara larut bagi pertumbuhan tanaman.
Selain itu, air juga berfungsi sebagai media gerak hara ke akar-akar tanaman.
Jumlah air yang diperoleh tanah sebagian besartergantung pada kemampuan tanah
menyerap air cepat dan meneruskan air yang diterima ke bawah. Berdasarkan
gaya yang bekerja pada air tanah yaitu gaya adhesi, kohesi dan gravitasi, maka air
tanah dibedakan menjadi: air higroskopis, air kapiler dan air gravitasi.
Usaha apapun yang dilakukan untuk mengendalikan jumlah dan
ketersediaan air untuk tanaman harus didasari oleh keterangan kuantatif mengenai
neraca air di dalam tanah. Neraca air tanah didaerah perakaran dengan volume
tertentu mempunyai arti bahwa selisih antara kadar air awal dan kadar air akhir
yang merupakan perubahan dalam waktu tertentu. Apabila air yang masuk
melebihi kadar air yang keluar,perubahan kadar air positif. Jika sebaliknya,
dimana keluaran melebihi masukan, perubahan kadar airnya negatif. Untuk
mencapai keseimbangan antara oksigen dan air tanah.
Neraca air tanah dapat diperhitungkan untuk luasan dan kedalaman
seberapapun, mulai dari sebuah contoh tanah yang kecil sampai dengan sebuah
DAS. Pada suatu lapangan yang terbuka, neraca air tanah tidak dapat luput dari
sifat-sifat iklim yang mrmpengaruhinya sangat nyata. Tujuan dari pengaturan air
di dalam tanah ialah untuk menyediakan air sebanyak mungkin untuk di
transpirasikan oleh tanaman untuk menghisap air tanah, tanaman perlu melakukan
kerja dengan besar energi tertentu. Jadi, tidak semua air ada didalam tanah dapat
diserap oleh tanaman untuk transpirasinnya. Ada dua konsep utama dalam
mempelajari ketersediaaan air tanah yaitu memakai pendekatan air dan potensial
air tanah.

B. Tujuan

Tujuan dari laporan acara 3 kali ini yaitu agar mahasiswa dapat menghitung
kebutuhan air dalam tanah yang diperlukan oleh tanaman.
II. PEMBAHASAN

Berdasarkan soal yang diberikan, diketahui bahwa kadar air tanah


20%, Kadar air titik layu permanen 10%, dan kadar air kapasitas lapang
50%, serta penggenangan 5 cm. Berapa lama hujan untuk memenuhi air
per ha dengan asumsi BJI 1,2 g/cc dan kedalaman 20 cm serta curah hujan
2 mm/jam. Maka, bisa menggunakan perhitungan sebagai berikut:
AT = KL – TLP 1ha = A x d x BJI
= 50% - 10% = 10.000 m2 x 0,2 m x 1.200 kg/m3
= 40% = 2.400.000 kg

AT = 40% x 2.400.000 kg CH = 2 mm/jam


= 960.000 kg = 960 m3 960 m3
Tinggi Air = 3 x 1.000 mm
10.000 m
= 0,096 x 1.000 mm
= 96 mm
Maka, untuk menghitung dan menentukan lama hujan bisa menggunakan rumus
sebagai berikut :
Tinggi Air
Lama Hujan =
CH
96 mm
= 2mm / jam = 48 jam

Jadi, lama hujan untuk memenuhi air per ha dengan asumsi BJI 1,2 g/cc dan
kedalaman 20 cm serta curah hujan 2 mm/jam adalah 48 jam.
Menurut Supriyanto (2016) menjelaskan bahwa kapasitas lapang
teoritis sebuah alat ialah kecepatan penggarapan lahan yang akan diperoleh
seandainya mesin tersebut melakukan kerjanya memanfaatkan 100%
waktunya, pada kecepatan maju teoritisnya dan selalu memenuhi 100%
lebar kerja teoritisnya
Rumus kapsitas lapang teoritis adalah:
KLT = Wt. V
Dimana :
KLT = Kapasitas Lapang Teoritis (Ha/jam)
Wt = Lebar Kerja Teoritis ; lebar bajak (m)
V = Kecepatan Kerja Konstan Teoritis (m/s)
1 ha = 10,000 m/s
Waktu per hektar teoritis ialah waktu yang dibutuhkan pada
kapasitas lapang teoritis tersebut. Waktu kerja efektif ialah waktu
sepanjang mana mesin secara aktual melakukan fungsi/kerjanya. Waktu
kerja efektif per hektar akan lebih besar dibanding waktu kerja teoritik per
hektar jika lebar kerja terpakai lebih kecil dari lebar kerja teoritisnya.
Kapasitas lapang efektif ialah rerata kecepatan penggarapan yang aktual
menggunakan suatu mesin, didasarkan pada waktu lapang total. Kapasitas
lapang efektif biasanya dinyatakan dalam hektar per jam. Efisiensi
lapang ialah perbandingan antara kapasitas lapang efektif dengan kapasitas
lapang teoritis, dinyatakan dalam persen. Efisiensi lapang melibatkan
pengaruh waktu hilang di lapang dan ketakmampuan untuk memanfaatkan
lebar teoritis mesin. Efisiensi kinerja ialah suatu ukuran efektifitas
fungsional suatu mesin, misalnya prosentase perolehan produk bermanfaat
dari penggunaan sebuah mesin pemanen (Hendriyani & Setiari, 2018).
Pengiraan kapasitas lapang efektif menggunakan satuan menit per
hektar atau jam per hektar, yang merupakan besarnya waktu teoritis per
hektar ditambah waktu per hektar yang diperlukan untuk belok ditambah
waktu perhektar yang diperlukan untuk “fungsi-fungsi penunjang”. Renoll
menggolongkan seluruh waktu hilang selain belok ke dalam fungsi
penunjang. Item-item ini diukur dan diperkirakan secara individual lalu
dijumlahkan.Beberapa parameter yang digunakan untuk menilai mutu
kerja ataupun karakteristik kerja alat pengolahan tanah antara lain adalah :
kedalaman pengolahan, tingkat penghancuran bongkah tanah dan tingkat
kegemburan, serta bentuk akhir permukaan tanah setelah
pengolahan. (Haridjaja et al., 2017).
Ketersediaan total ketersediaan air (TAW) tanah mengacu pada
kapasitas tanah, dimaksudkan untuk menahan air tersedia bagi tanaman.
Setelah hujan derasatau irigasi, tanah akan menguras sampai kapasitas
lapang tercapai. Kapasitas lapang adalah jumlah air pada tanah yang baik
dikeringkan harus terus melawan gaya gravitasi, atau jumlah air yang
tersisa ketika drainase bawah telah menurun tajam. Dengan tidak adanya
pasokan air, kandungan air di zona akar menurun sebagai akibat dari
penyerapan air oleh tanah. Sebagai penyerapan air berlangsung, air yang
tersisa diadakan untuk partikel tanah dengan kekuatan yang lebih besar,
menurunkan energy potensial dan membuatnya lebih sulit bagi tanaman
untuk ekstrak. Akhirnya, tercapai suatu titik dimana tanaman tidak bisa
lagi mengambil air yang tersisa. Penyerapan air menjadi nol ketika titik
layu tercapai. Titik layu adalah kadar air dimana tanaman akan layu
permanen (Islami & Utomo, 1995).
III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa lama


hujan untuk memenuhi air per ha dengan asumsi BJI 1,2 g/cc dan
kedalaman 20 cm serta curah hujan 2 mm/jam dengan diketahui bahwa
kadar air tanah 20%, Kadar air titik layu permanen 10%, dan kadar air
kapasitas lapang 50%, serta penggenangan 5 cm adalah 48 jam.
DAFTAR PUSTAKA

Haridjaja, O., Baskoro, D. P. T., & Setianingsih, M. 2017. Perbedaan nilai kadar
air kapasitas lapang berdasarkan metode alhricks, drainase bebas, dan
pressure plate pada berbagai tekstur tanah dan hubungannya dengan
pertumbuhan bunga matahari (Helianthus annuus L.). Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan, 15(2): 52-59.

Hendriyani, I. S., & Setiari, N. 2018. Kandungan klorofil dan pertumbuhan


kacang panjang (Vigna sinensis) pada tingkat penyediaan air yang
berbeda. Jurnal Sains & Matematika, 17(3): 145-150.

Islami, T., & Utomo, W.H. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press, Semarang.

Supriyanto. 2016. Kajian pengukuran kapasitas lapang pada tanah-tanah tropika.


Agr UMY, 4(1): 13-16.
LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
(PNA3521)

ACARA IV
Mengenali Gejala Defisiensi Unsur Hara

Oleh:
KELOMPOK 11

SARAH ATIKA R (A1D018016)


CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pertumbuhannya tanaman membutuhkan adanya ketersediaan unsur


hara. Kandungan unsur hara didalam jaringan tanaman memberikan informasi
tentang status tanaman yang dapat dipercaya pada saat dilakukan pengambilan
sampel. Dengan melihat status unsur hara dapat diperoleh gambaran jumlah
pupuk yang harus ditambahakan dimasa yang akan datang (umumnya dalam
priode 1 tahun). Unsur hara yang dibutuhkan terdiri dari 16 jenis. Unsur tersebut
adalah karbon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), nitrogen (N), belerang (S), fosfor
(P), klor (Cl), besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), seng (Zn), borium (Bo), dan molibdum (Mo).
Unsur C, H, dan O diperoleh tanaman dari udara dan air, sedangkan ketiga
belas unsur yang lainnya diperoleh dari lahan pertanaman. Ketiga belas unsur hara
tanaman ini digolongkan kedalam unsur hara makro yaitu N, P, K, Ca, Mg, dan S
dan unsur hara mikro yaitu Cl, Fe, Mn, Cu, Zn, Bo, dan Mo. Unsur hara makro
dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, sedangkan unsur hara mikro
dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
Ada bermacam unsur hara yang apabila kekurangan maupun kelebihan dapat
menimbulkan gejala pada tanaman. Ada dua kelompok unsur hara yang essensial
bagi tanaman, kelompok pertama disebut unsur makro dan yang kedua adalah
unsur hara mikro. Unsur hara makro relatif lebih banyak diperlukan oleh tanaman,
sedangkan unsur hara mikro juga sama pentingnya dengan unsur hara makro,
hanya dalam hal kebutuhan akan zat-zat ini hanya sedikit.
Kekurangan unsur Mg dapat mengakibatkan daun tampak kusam, tidak
berkilat dan pudar. Gejala yang lebih jelas berkembang pada daun – daun yang
lebih tua dengan warna yang hijau-kuning pudar, sedangkan bagian ujung dan
tengah daun dekat tulang daun hijau pucat. Selanjutnya semua daun menjadi hijau
pucat (klorosis berat), dan ujung-ujung daun mengering mulai dari daun tua.
Penyebab kekeurangan unsur Mg karena selama masa perkembangan awal bibit
menggunakan cadangan hara yang ada dalam benih pada tahap selanjutnya bibit
memerlukan hara dari tanah. Gejala-gejala yang ditunjukkan diatas menunjukkan
bahwa cadangan Mg tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan bibit yang
normal.

B. Tujuan

Tujuan dari laporan acara 4 kali ini yaitu agar mahasiswa dapat mengenali
gejala defisiensi unsur hara terutama NPK.
II. PEMBAHASAN

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang
terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di
Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di
Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura
dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain
sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan
maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji,
dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari
tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang
dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa
genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi (Wijaya &
Wahyuni, 2017).
Tanaman jagung tumbuh optimal pada tanah yang gembur, drainase baik,
dengan kelembaban tanah cukup, dan akan layu bila kelembaban tanah kurang
dari 40 % kapasitas lapang, atau bila batangnya terendam air. Pada dataran rendah
umur jagung berkisar antara 3-4 bulan, tetapi di dataran tinggi diatas 1000 mdpl
berumur 4-5 bulan. Umur panen jagung sangat dipengaruhi oleh suhu, setiap
kenaikan tinggi tempat 50 mdpl, umur panen jagung akan mundur satu hari. Areal
dan Agroekologi pertanaman jagung sangat bervariasi, dari dataran rendah sampai
dataran tinggi, pada berbagai jenis tanah, berbagai tipe iklim dan bermacam pola
tanam. Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26-300 C dan
pH tanah 5,7-6,8 (Moelyohadi, 2016).
Unsur hara sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan hasil produksi
tanaman jagung. Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman jagung adalah unsur
hara makro dan mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan
tanaman dalam jumlah yang relatif besar. Beberapa unsur hara ini diantaranya :
Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan
Belerang (S). Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah yang relative kecil, bila berlebihan menjadi racun. Unsur hara ini
diantaranya : Besi (Fe), Mangan (Mn), Boron (B), Molibdenum (Mo),
Tembaga/cuprum (Cu), Seng (Zn) dan Klor (Cl) (Wang et al., 2017).
Nitrogen berperan dalam pembentukan sel, jaringan, dan organ tanaman.
Nitrogen berfungsi sebagai sebagai bahan sintetis klorofil, protein, dan asam
amino. Karena itu kehadirannya dibutuhkan dalam jumlah besar, terutama saat
pertumbuhan vegetative. Bersama fosfor (P), nitrogen digunakan untuk mengatur
pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Terdapat 2 bentuk nitrogen yakni
amonium dan nitrat. Sejumlah penelitian membuktikan amonium sebaiknya tidak
lebih dari 25% dari total konsentrasi nitrogen. Jika berlebihan, sosok tanaman
bongsor tetapi rentan terhadap serangan penyakit. Nitrogen yang berasal dari
amonium akan memperlambat pertumbuhan karena mengikat karbohidrat
sehingga pasokan sedikit. Dengan demikian cadangan makanan sebagai modal
berbunga juga minimal. Akibatnya tanaman tidak mampu berbunga. Seandainya
yang dominan adalah nitrogen bentuk nitrat, maka sel-sel tanaman akan kompak
dan kuat sehingga lebih tahan penyakit. Untuk mengetahui kandungan N dan
bentuk nitrogen dari pupuk bisa dilihat dari kemasan (Fahmi et al., 2018).
Berikut efek atau akibat yang disebabkan akibat dari defisiensi unsur hara
nitrogen (N) :
a) Kekurangan Nitrogen (N)
Tanaman jagung yang kekurangan nitrogen dikenali dari daun bagian bawah.
Daun itu menguning karena kekurangan klorofil. Lebih lanjut mongering dan
rontok. Tulang-tulang di bawah permukaan daun muda tampak pucat.
Pertumbuhan tanaman lambat, kerdil dan lemah. Produksi bunga dan biji
rendah (Wahyudi, 2019).
Gambar 1. Daun jagung yang kekurangan nitrogen
b) Kelebihan Nitrogen (N)
Warna daun pada tanaman jagung terlalu hijau, tanaman rimbun dengan daun.
Proses pembuangan menjadi lama. Adenium bakal bersifat sekulen karena
mengandung banyak air. Hal itu menyebabkan rentan serangan cendawan dan
penyakit dan mudah roboh, serta produksi bunga menurun (Wahyudi, 2019).
Fosfor merupakan komponen penyusun beberapa enzim, protein, ATP, RNA
dan DNA. ATP penting untuk proses transfer energi, sedangkan RNA dan DNA
menentukan sifat genetik tanaman. Unsur P juga berperan pada pertumbuhan
benih, akar, bunga, dan buah. Dengan membaiknya struktur perakaran sehingga
daya serap nutrisi pun lebih baik. Bersama dengan kalium, fosfor dipakai untuk
merangsang pembungaan. Hal itu wajar sebab kebutuhan tanaman terhadap fosfor
meningkat tinggi ketika tanaman akan berbunga (Fahmi et al., 2018).
Berikut efek atau akibat yang disebabkan akibat dari defisiensi unsur hara
Fosfor (P) :
a) Kekurangan Fosfor (P)
Tanaman jagung yang kekurangan fosfor, dimulai dari daun tua menjadi
keunguan cenderung kelabu. Tepi daun cokelat, tulang daun muda berwarna
hijau gelap. Hangus, pertumbuhan daun kecil, kerdil dan akhirnya rontok.
Fase pertumbuhan lambat dan tanaman kerdil (Hasanudin, 2016).
Gambar 2. Daun jagung yang kekurangan fosfor
b) Kelebihan Fosfor (P)
Kelebihan P pada tanaman jagung menyebabkan penyerapan unsur lain
terutama unsur mikro seperti Besi (Fe), Tembaga (Cu), dan Seng (Zn)
terganggu. Namun gejalanya tidak terlihat secara fisik pada tanaman
(Hasanudin, 2016).
Kalium merupakan unsur hara makro yang berperan sebagai pengatur proses
fisiologi tanaman, seperti fotosintetis, akumulasi, translokasi, transportasi
karbohidrat, membuka
menutupnya stomata, atau mengatur distribusi air dalam jaringan dan sel.
Kekurangan unsur ini menyebabkan daun seperti terbakar dan akhirnya gugur.
Unsur kalium berhubungan erat dengan kalsium dan magnesium. Ada sifat
antagonisme antara kalium dan kalsium. Dan juga antara kalium dan magnesium.
Sifat antagonisme ini menyebabkan kekalahan salah satu unsur untuk diserap
tanaman jika komposisinya tidak seimbang (Astutik et al., 2019).
Unsur kalium diserap lebih cepat oleh tanaman dibandingkan kalsium dan
magnesium. Jika unsur kalium berlebih gejalanya sama dengan kekurangan
magnesium. Sebab, sifat antagonisme antara kalium dan magnesium lebih
besar daripada sifat antagonisme antara kalium dan kalsium. Kendati demkian,
pada beberapa kasus, kelebihan kalium gejalanya mirip tanaman kekurangan
kalsium (Zhang, 2018).
Berikut efek atau akibat yang disebabkan akibat dari defisiensi unsur hara
kalium (K) :
a) Kekurangan Kalium (K)
Kekurangan K pada tanaman jagung terlihat dari daun paling bawah yang
kering atau ada bercak hangus. Bunga mudah rontok. Tepi daun hangus, daun
menggulung ke bawah dan rentan terhadap serangan penyakit (Masdar, 2017).
Gambar 3. Daun jagung yang kekurangan kalium
b) Kelebihan Kalium (K)
Kelebihan K pada tanaman jagung menyebabkan penyerapan Ca dan Mg
terganggu. Pertumbuhan tanaman terhambat, sehingga tanaman mengalami
defisiensi (Masdar, 2017).
III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas,


yaitu sebagai berikut :
a. Unsur hara makro memiliki pengaruh secara langsung terhadap
pertumbuhan tanaman jagung dan tidak dapat digantikan dengan unsur-
unsur yang lain.
b. Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan tanaman dalam jumlah
yang sediki. Walaupun hanya diserap dalam jumlah kecil, tetapi amat
penting untuk menunjang keberhasilan proses-proses dalam tumbuhan.
c. Tanaman jagung yang kekurangan unsur hara akan menunjukkan gejala-
gejala defisiensi seperti daun menguning (necrosis), kering dan akhirnya
mati. Muncul bercak-bercak dan garis belang-belang pada daun dan
tanaman terlihat kecil serta tumbuh tidak normal.
DAFTAR PUSTAKA

Astutik, D., Suryaningndari, D., & Raranda, U. 2019. Hubungan pupuk kalium
dan kebutuhan air terhadap sifat fisiologis, sistem perakaran dan biomassa
tanaman jagung (Zea mays). Jurnal Citra Widya Edukasi, 11(1), 67-76.

Fahmi, A., Utami, S. N. H., & Radjagukguk, B. 2018. Pengaruh interaksi hara
nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L)
pada tanah regosol dan latosol. Berita Biologi, 10(3): 297-304.

Hasanudin, 2016. Peningkatan ketersediaan dan serapan n dan p serta hasil


tanaman jagung melalui inokulasi mikoriza, azotobakter dan bahan
organik pada ultisol. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 5(2): 83-89.

Masdar. 2017. Pengaruh lama dan beratnya defisiensi kalium terhadap


pertumbuhan tanaman durian (Durio zibethinus Murr.). J. Akta Agro, 6(2):
60-66.

Moelyohadi, Y., Harun, M. U., Hayati, R., & Gofar, N. 2016. Pemanfaatan
berbagai jenis pupuk hayati pada budidaya tanaman jagung (Zea mays. L)
efisien hara di lahan kering marginal. Jurnal Lahan Suboptimal: Journal
of Suboptimal Lands, 1(1): 31-39.

Wahyudi, I. 2019. Serapan N tanaman jagung (Zea Mays L.) akibat pemberian
pupuk guano dan pupuk hijau lamtoro pada Ultisol Wanga. Agroland:
Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 16(4): 265-272.

Wang, Y.P., Houlton, B.Z., & Field, C.B. 2017. A model of biogeochemical
cycles of carbon, nitrogen, and phosphorus including symbiotic nitrogen
fixation and phosphatase production. Global Biogeochemical Cycles,
21(3): 1018-1029.

Wijaya & Wahyuni, S. 2017. Respon tanaman jagung manis kultivar hawaian
super sweet pada berbagai takaran pupuk kalium. Jurnal Agrijati, 6(1): 42
– 47.

Zhang, Z. 2018. Effects of potassium deficiency on root growth of cotton


seedlings and its physiological mechanisms. Acta Agronomica Sinica,
35(4): 718-723.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Efek defisiensi nitrogen


pada daun jagung

Lampiran 2. Efek defisiensi


kalium pada daun jagung

Lampiran 3. Efek defisiensi fosfor pada daun jagung


LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
(PNA3521)

ACARA V
Perakitan Varietas Toleran Cekaman

Oleh:
KELOMPOK 11

SARAH ATIKA R (A1D018016)


CITRA MEGA E (A1D018025)
BIAS PELANGI P (A1D018438)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai (Glycine max Merr.) merupakan komoditas tanaman pangan yang


bernilai ekonomis penting, karena perannya sebagai pemenuh kebutuhan gizi yang
terjangkau masyarakat luas. Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan kedelai masih
harus dilakukan dengan impor dari berbagai negara. Untuk membatasi impor
kedelai atau ketergantungan pada negara lain, perlu dilakukan perluasan areal
tanam. Namun demikian, perluasan areal tanam kearah lahan optimal sulit
dilakukan karena terjadinya alih fungsi lahan, di mana areal pertanian bahkan
beralih fungsi menjadi areal non pertanian.
Produksi kedelai di Jawa Barat pada Tahun 2008 mengalami peningkatan
(32.921 ton) dibanding pada Tahun 2007 (17.438 ton), peningkatan ini disebabkan
adanya penambahan luas panen. Sedangkan produksi kedelai di Kecamatan
Wanaraja, Kabupaten Garut rata-rata produksi Tahun 2008 di tingkat petani
mencapai 1,4 t/ha, dan pada areal demplot 2,15 t/ha dengan luas panen sekitar 180
ha. Sedangkan penerapan teknologi budidaya kedelai di tingkat petani yang sesuai
teknologi anjuran sebesar 48,83%.
Alih fungsi lahan pertanian produktif dan perubahan iklim global
menyebabkan menurunnya produksi kedelai (Glycine max Merr.) di Indonesia.
Perluasan areal tanam kedelai untuk mengatasi hal tersebut pada umumnya
mengarah pada lahan-lahan suboptimal, di antaranya adalah lahan kering. Oleh
karena itu, perakitan varietas unggul kedelai toleran kekeringan menjadi salah satu
faktor penentu keberhasilan perluasan areal tanam di lahan tersebut. Pada
umumnya karakter yang berhubungan langsung dengan toleransi kekeringan
adalah karakter fisiologi dan morfologi. Berdasarkan penjelasan di atas maka
dibuat laporan ini untuk mengetahui cara atau prosedur perakitan varietas kedelai
toleran cekaman kekeringan.
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada pembahasan laporan praktikum acara lima tentang


perakitan varietas toleran cekaman ini adalah mengetahui prosedur perakitan
varietas kedelai toleran cekaman kekeringan.

C. Tujuan

Tujuan penulisan laporan praktikum acara lima tentang perakitan varietas


toleran cekaman ini adalah praktikan mampu membuat prosedur perakitan varietas
kedelai toleran cekaman kekeringan.
II. PEMBAHASAN

A. Karakteristik Lokasi Lahan.

Desa Cinunuk Tengah, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut


memiliki topografi landai sampai curam/berbukit serta kemiringan antara
5-50%, jenis tanah termasuk andosol, tingkat kemasaman tanah (pH) 4,0-
6,5 dan ketinggian tempat 650 - 1100 m dari permukaan laut, beriklim
sejuk dengan suhu ratarata pada malam hari 18 - 29 oC dengan rata-rata
curah hujan 1736,7 mm per tahun dan tipe iklim menurut Schmidt dan
Ferguson termasuk tipe C. Keadaan curah hujan selama pengkajian dari
(Agustus-Oktober) bervariasi, pada awal pertumbuhan tanaman (fase
vegetatif dan generatif) curah hujan rendah di bawah 100 mm, sedangkan
pada saat panen (Bulan November) curah hujan naik (202,3 mm).

Gambar 4. Curah Hujan Tahun 2009 Di Desa Cinunuk Tengah, Kecamatan


Wanaraja, Kabupaten Garut
(Sumber: Program Penyuluhan Kecamatan Wanaraja, 2009).

Potensi lahan untuk pengembangan kedelai cukup luas namun


menghadapi kendala terutama pada musim kemarau dalam penyediaan
kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman, sehingga menyebabkan
kekeringan yang berakibat pada rendahnya produksi kedelai. Untuk
menanggulangi hal tersebut perlu 11 dikembangkan varietas kedelai yang
tahan terhadap cekaman kekeringan (toleran kekeringan). Hasil penelitian
Riwanodja et al. 2003 menjelaskan bahwa cekaman kekeringan atau
kekurangan air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan hasil kedelai. Cekaman pada fase generatif (umur 51 - 75 hari) dapat
menurunkan hasil biji 62%, demikian pula bila terjadi penurunan kadar
lengas tanah dari 90% menjadi 50% air tersedia akan menurunkan berat
biji per tanaman masing-masing sebesar 27% MK I dan 45% pada MK II
2003. Cekaman kekeringan pada saat fase generatif yaitu pada saat
pengisian polong akan menurunkan produksi (Dombos at al., 1987). Oleh
karena itu kombinasi perakitan varietas unggul baru yang toleran
kekeringan dan efisiensi pengelolaan air merupakan upaya/pendekatan
yang potensial dapat menekan penurunan hasil biji kedelai.

B. Kebutuhan Air dan Periode Kritis Tanaman Kedelai.

Semua proses yang terjadi pada tanaman dipengaruhi secara


langsung atau tidak langsung oleh ketersediaan air, baik dalam tanah
maupun dalam tanaman. Ketersediaan air tanah selama pertumbuhan
sangat menentukan daya hasil kedelai. Selama pertumbuhannya, tanaman
kedelai memerlukan curah hujan sekitar 450 mm. Kekeringan pada saat
pembungaan dan pengisian polong sering terjadi pada kondisi curah hujan
yang tinggi tetapi tidak merata sehingga mengakibatkan hasil rendah.
Curah hujan yang cukup selama pertumbuhan dan agak kurang menjelang
pematangan biji menjadi penentu bagi peningkatan hasil kedelai. Kedelai
dengan periode pertumbuhan 3-4 bulan membutuhkan air 300-350 mm,
atau 75-100 mm/bulan, atau 2,5-3,3 mm/hari. Kandungan air tanah
optimum adalah 0,3-0,5 atm. Tanaman akan mengalami cekaman
kekeringan apabila laju transmisi air tanah lapisan akar tidak dapat
mengimbangi laju transpirasi. Bila 60% air di lapisan perakaran sudah
terpakai, tanaman akan menunjukkan gejala kekeringan. Ketersediaan air
yang tidak mencukupi selama pertumbuhan tanaman menyebabkan
terganggunya pertumbuhan tanaman dan lebih lanjut berakibat rendahnya
produksi.
Pada dasarnya tanaman kedelai tahan terhadap kekeringan, kecuali
pada periode-periode tertentu. Kemampuan tanaman kedelai untuk
menyerap air dan menghadapi tekanan kekeringan (stres air) berbeda pada
tiap-tiap periode pertumbuhan. Konsumsi air harian pada fase
pertumbuhan kedelai selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Kebutuhan air pada tanaman kedelai umur sedang (85 hari) pada setiap
periode pertumbuhan.

Periode kritis tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan terjadi


pada fase pembungaan, pembentukan polong, dan pengisian biji,
khususnya pada akhir periode pembungaan dan awal perkembangan
polong. Kekeringan yang terjadi pada periode ini sangat menurunkan
hasil. Untuk pengisian polong yang normal dan hasil biji tinggi,
kandungan air tanah selama periode pembentukan hasil (polong) tidak
boleh kurang dari 50% kadar air tersedia (Doorenbos & Kassam, 1979).

C. Cekaman Kekeringan dan Mekanisme Ketahanan Tanaman

Di bidang pertanian, cekaman kekeringan didefinisikan sebagai


kondisi di mana air tanah tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan
maksimum suatu tanaman (Khandakar, 1992). Cekaman kekeringan
mengubah keseimbangan air seluler dan secara nyata membatasi
pertumbuhan dan hasil. Cekaman kekeringan pada suatu fase tumbuh
terjadi apabila kebutuhan air tanaman melebihi air yang tersedia.
Levitt (1980) membedakan dua cara, bagaimana tanaman dapat
tumbuh dan bertahan pada habitat kering yaitu:
1. Lolos dari kekeringan (escape drought). Kemampuan tanaman mengatur
plastisitas atau menyelesaikan daur hidupnya sebelum mengalami kekeringan.
Menurut Kasno dan Jusuf (1998), tanaman berumur genjah dengan pengaturan
waktu tanaman yang tepat akan terhindar dan terlepas (lolos) dari cekaman
kekeringan.
2. Ketahanan terhadap kekeringan (actual drought resistance). Ketahanan
terhadap kekeringan ini disebabkan oleh adanya mekanisme yaitu: a)
Mekanisme penghindaran (avoidance). Kemampuan tumbuhan untuk
memelihara potensial air pada jenjang yang tetap tinggi dengan menyerap air
dan meneruskannya ke pucuk, atau kemampuan untuk mengurangi kelebihan
air sampai sekecil-kecilnya dengan menutup stomata dan meningkatkan
permeabilitas kutikula. b) Mekanisme toleransi (drought tolerance) yaitu
kemampuan nisbi tanaman untuk mempertahankan agar status air/turgor yang
menurun, terjadinya kerusakan tubuh minimal hingga fungsi hidup masih
berjalan.
Akibat cekaman kekeringan pada kedelai, daun menjadi cepat menua
yang ditandai dengan menurunnya kandungan N dan klorofil daun. Kedua
komponen ini penting untuk proses asimilasi, sehingga apabila jumlahnya
berkurang akan berdampak terhadap hasil akhir asimilasi, yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
(Egli & Crafts-Brandner, 1996). Cekaman kekeringan yang terjadi selama
fase pembungaan menyebabkan peningkatan kerontokan bunga. Apabila
kekeringan berlanjut ke fase pembentukan dan pengisian polong akan
mengakibatkan penurunan hasil sebagai akibat dari penurunan jumlah
polong per tanaman karena polong banyak yang rontok, meningkatnya
polong hampa dan pertumbuhan tanaman yang kerdil. Cekaman yang
terjadi pada kedua fase tersebut juga menyebabkan ketidak-sempurnaan
pengisian polong, sehingga biji kedelai menjadi lebih kecil dan bobot
kering biji turun. Kedelai toleran terhadap kekeringan mempunyai jumlah
daun lebar yang lebih sedikit, masa akar dan volume akar lebih banyak dan
penurunan pertumbuhan relatif akar lebih rendah bila dihadapkan pada
kondisi tingkat cekaman kekeringan yang sama dengan kedelai yang lebih
peka terhadap cekaman kekeringan. Lebih jauh, akar yang mengalami
cekaman air, akan membentuk ABA lebih banyak dan diangkut melalui
xylem menuju daun untuk menutup stomata, yaitu dengan cara
menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP dan
membrane plasma sel penjaga.

D. Prosedur Perakitan Varietas Toleran Kekeringan.

Strategi perakitan varietas diarahkan untuk menghasilkan varietas


baru guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Strategi
perakitan varietas ditujukan untuk mengatasi permasalahan atau hambatan
produksi pada agroekosistem yang bersangkutan, yang meliputi
permasalahan biologis dan non biologis (fisik), peluang keberhasilan, dan
kemungkinan pengembangan di masa mendatang. Pelaksanaan program
pemuliaan tanaman diperlukan beberapa asumsi (Devine, 1982). Pertama,
identifikasi masalah yang menjadi sasaran pengembangan varietas baru.
Kedua, masalah yang dihadapi cukup serius dan layak sebagai pokok
kegiatan sehingga hasil yang akan diperoleh memberikan dampak yang
berarti. Ketiga, masalah yang dihadapi tersebut tidak dapat atau sukar
diatasi dengan cara yang lain. Keempat, pendekatan melalui perbaikan
atau pemanfaatan potensi genetik layak dilakukan. Asumsi keempat harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (a) teknik untuk menilai tanggapan
tanaman terhadap kondisi lingkungan tertentu sudah ada (tersedia), (b)
terdapat keragaman genetik (genetic variability) untuk sifat-sifat yang
diperlukan, baik dalam spesies budi daya ataupun spesies liar, (c) sifat
yang diperlukan tersebut dapat diwariskan (heritable), dan (d) perbaikan
(kemajuan genetik) yang diharapkan bernilai aplikatif.
Prosedur pelaksanaan perakitan varietas kedelai toleran lahan
kekeringan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi Plasma Nutfah.
Seperti yang dilaksanakan oleh Arsyad et al. (1996) dari evaluasi
350 genotipe plasma nutfah kedelai di lahan kering masam Tulangbawang,
Lampung pada MH I 1995/1996 dipilih 30 genotipe terbaik berdasarkan
keragaan hasil, tinggi tanaman, dan jumlah polong per tanaman. Ke-30
genotipe tersebut kemudian dievaluasi kembali di lokasi yang sama pada
MH II 1995/ 1996 dengan kondisi lingkungan suboptimal (masukan 50 kg
Urea, 75 kg SP36 dan 60 kg KCl per ha) dan relatif optimal (masukan 50
kg Urea, 75 kg SP36, 60 kg KCl, 1 t kapur dan 5 t pupuk kandang per ha)
untuk mengetahui indeks toleransi (adaptasi) genotipe terhadap lahan
masam. Kisaran, rata-rata, ragam dan simpangan baku hasil biji 30
genotipe dan empat varietas kedelai disajikan pada Tabel 5.1. Dari
evaluasi tersebut dipilih empat genotipe terbaik, yaitu No. 3577, No. 3578,
No. 3623 dan No. 3911 berdasarkan keragaan hasil dan indeks toleransi
tertinggi terhadap lahan masam mengikuti metode Howeler (1991) (Tabel
5.2).
Tabel 1. Kisaran, rata-rata, ragam dan simpangan baku hasil biji 30 genotipe dan
empat varietas kedelai di lahan kering masam, Tulangbawang, Lampung, MH II
1995/1996.

Tabel 5.2. Indeks adaptasi lahan masam genotipe kedelai pilihan, Tulangbawang,
Lampung, MH II 1995/1996
2. Pembentukan Populasi Dasar.
Pembentukan populasi dasar yang memiliki keragaman genetik yang
cukup tinggi merupakan langkah awal dalam proses perakitan varietas
baru. Pembentukan populasi ditempuh melalui persilangan buatan tetua-
tetua yang berbeda latar belakang genetiknya atau melalui program mutasi.
Persilangan buatan bertujuan di samping menimbulkan keragaman genetik
baru, juga menggabungkan sifat-sifat baik yang diinginkan dari kedua
tetua ke dalam suatu genotipe/varietas baru. Penggabungan sifat-sifat baik
tersebut, misalnya berasal dari dua tetua (T1 x T2), disebut dengan silang
tunggal bertujuan untuk menggabungkan sifat daya hasil tinggi dan umur
pendek, daya hasil tinggi dan tahan penyakit/ hama tertentu, daya hasil
tinggi dan toleran kekeringan, daya hasil tinggi dan toleran terhadap
keracunan aluminium, daya hasil tinggi dan toleran naungan, daya hasil
tinggi dan kandungan protein biji tinggi, dan sebagainya.
Silang tiga tetua (threeway-cross), (T1 x T2) x T3, biasanya
dilakukan apabila tetua T1 memiliki suatu karakter baik tetapi memiliki
sifat lain yang kurang baik kalau dibentuk melalui silang tunggal. Tetua
T2 dan T3 memiliki sifat-sifat baik, tetapi tidak memiliki sifat baik yang
dimiliki oleh T1. Silang balik (back-cross), (T1 x T2) x T2, di mana F1
disilangkan dengan T2, silang balik dilakukan satu kali atau lebih. Sebagai
contoh, T1 adalah tetua hasil tinggi-biji kecil, sedangkan T2 adalah berbiji
besar. Silang ganda (double-cross) menggunakan empat tetua dengan
kombinasi (T1 x T2) x (T3 x T4) atau {(T1 x T2) x T3} x T4. Silang
kompleks (multiple-cross) menggunakan lebih dari empat tetua, digunakan
dalam program seleksi berulang (recurrent selection). Penggunaan silang
kompleks ditujukan untuk perbaikan sifat kuantitatif yang dikendalikan
oleh banyak gen (multiple genes) dan setiap gen memiliki efek yang kecil.
3. Penggaluran dan Seleksi.
Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu generasi keberapa
seleksi dilakukan dan bagaimana metode penggaluran (inbreeding) yang
digunakan. Perbedaan metode yang digunakan merefleksikan perbedaan
dari berbagai alternatif yang tersedia. Pengembangan varietas baru dari
tanaman menyerbuk sendiri adalah melalui seleksi individu tanaman,
mengevaluasi keturunannya (progeny) sebagai galur (breeding line), dan
melepas galur yang superior sebagai varietas baru. Seleksi individu
tersebut dapat dilakukan pada generasi paling awal (F2) atau pada generasi
yang sudah lanjut (F11). Pada generasi ke berapa suatu varietas akan
diekstrak bergantung kepada tingkat homogenitas yang diinginkan, jumlah
generasi yang diperlukan untuk memperoleh jumlah dan tingkat
homogenitas yang diperlukan, dan waktu yang diperlukan untuk
menghasilkan varietas baru. Tingkat homogenitas varietas yang diinginkan
ditentukan oleh pemulia, pengawas sertifikasi benih, petani, dan
konsumen. Pemulia harus yakin bahwa susunan genetik (genetic make-up)
varietas tidak akan berubah setelah beberapa generasi. Galur yang berasal
dari generasi awal mungkin akan mengalami perubahan setelah beberapa
generasi sebagai akibat segregasi genetik. Untuk meminimalkan
perubahan genetik di dalam suatu varietas dapat dilakukan dengan
membuang galur/individu yang menunjukkan heterogenitas sifat yang
mempengaruhi daya kompetisi, seperti variabilitas dalam tinggi tanaman
dan umur tanaman.
Metode dasar penggaluran (seleksi) dari populasi yang berasal dari
persilangan adalah pedigree, bulk, single seed descent, early generation
testing, dan seleksi massa (Fehr, 1983). Metode seleksi yang dipilih sangat
ditentukan oleh berapa lama waktu yang diinginkan pemulia untuk
menghasilkan varietas baru. Waktu dan lingkungan pengujian yang
tersedia akan mempengaruhi jumlah generasi penggaluran yang akan
dilakukan. Tersedianya lingkungan pengujian yang sesuai dan dapat
diulangi akan mempengaruhi metode seleksi yang akan digunakan.
Metode pedigree dan seleksi massa tanpa rekombinasi hanya dapat
digunakan di lingkungan dimana seleksi untuk karakter yang diinginkan
dapat dilakukan. Metode bulk kurang sesuai pada lingkungan di mana
seleksi alam hanya lebih menguntungkan bagi genotipe-genotipe yang
tidak diinginkan. Metode early generation testing harus dilakukan di
lingkungan di mana karakter dapat diukur secara tepat. Metode single seed
descent dapat digunakan pada berbagai kondisi lingkungan tanpa
mengindahkan kesesuaiannya dengan seleksi buatan atau seleksi alam.

Tabel 5.3. Prosedur berbagai metode penggaluran pada tanaman


menyerbuk sendiri.
Tabel 5.4. Keunggulan dan kelemahan berbagai metode seleksi.
Dalam program pemuliaan tanaman untuk ketahanan atau toleransi
terhadap cekaman lingkungan (fisik), teknik seleksi dapat dibedakan ke
dalam: (a) seleksi tidak langsung (indirect breeding), (b) seleksi langsung
(direct breeding), dan (c) seleksi pada lingkungan terkontrol (Lewis &
Christiansen, 1981). Perakitan varietas kedelai adaptif lahan kering masam
di Balitkabi, malang menggunakan metode seleksi langsung (direct
breeding) (Devine, 1982).
4. Pengujian Galur (Pengujian Daya Hasil Pendahuluan, Lanjutan, dan
Multilokasi).
Pengujian galur-galur homozigot (generasi lanjut) merupakan aspek
penting dalam program perakitan varietas baru. Pemulia harus
memutuskan apakah suatu galur memiliki sifat-sifat kuantitatif yang
diinginkan pada berbagai kondisi lingkungan. Jumlah lokasi dan musim
pengujian tidak dipengaruhi oleh metode penggaluran yang digunakan.
Metode pedigree membutuhkan waktu, lahan, dan tenaga yang banyak
selama penggaluran. Galur-galur yang dipilih dengan metode pedigree
diharapkan sudah memiliki homozigositas yang tinggi untuk sifat-sifat
yang berheritabilitas tinggi sebelum memasuki pengujian. Sedangkan
galur-galur homozigot yang dipilih dengan menggunakan metode bulk,
seleksi massa, dan single seed descent umumnya dievaluasi terlebih
dahulu selama satu musim untuk sifatsifat yang berheritabilitas tinggi
seperti pada metode pedigree, dan kemudian galur-galur yang superior
masuk ke dalam pengujian.
Dalam pengujian tahap awal (pengujian daya hasil pendahuluan)
diutamakan 50-60 galur homozigot di lokasi yang terbatas (1-2 lokasi).
Pada musim berikutnya, dalam pengujian daya hasil lanjutan, diuji 15-20
galur di 4-5 lokasi. Selanjutnya dalam uji multilokasi, diuji 8-10 galur di
10-12 lokasi selama dua musim tanam. Ukuran petak percobaan pada
pengujian daya hasil pendahuluan lebih kecil (6-8 m2) dan pada pengujian
daya hasil lanjutan dan uji multilokasi lebih besar (10-15 m2). Rancangan
percobaan dan analisis data harus mengikuti kaidah ilmiah yang berlaku.
5. Pelepasan Varietas
Galur-galur harapan yang telah melalui tahap pengujian daya hasil
(pendahuluan, lanjutan, dan multilokasi) dan menunjukkan keragaan yang
lebih superior dan lebih stabil serta memiliki sifat unggul lainnya
dibandingkan dengan varietas pembanding dapat diusulkan untuk dilepas
sebagai varietas baru. Risalah galur harapan yang meliputi asal, metode
seleksi dan pengujian, dan hasil-hasil pengujian berbagai sifat, diajukan
kepada Badan Benih Nasional (Tim Penilai dan Pelepas Varietas) yang
akan menilai apakah galur harapan yang diajukan tersebut telah memenuhi
persyaratan. Penggunaan nama untuk varietas baru kedelai biasanya nama
gunung, namun telah ada aturan baru, pemberian nama varietas yang harus
diikuti, antara lain tidak boleh menggunakan nama-nama alam, termasuk
gunung.
III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perakitan


tanaman kedelai toleran terhadap cekaman kekeringan dapat dilakukan
berdasarkan karakter fisiologi, morfologi dan agronomi. Karakter fisiologi
dan morfologi tidak selalu berkorelasi dengan karakter agronomi, karena
genotipe kedelai yang memiliki toleransi berdasarkan kedua karakter
tersebut belum tentu memiliki potensi hasil yang tinggi. Prosedur
perakitan varietas kedelai toleran kekeringan diantaranya meliputi evaluasi
plasma nutfah, pembentukan populasi dasar, penggaluran dan seleksi,
pengujian galur (pengujian daya hasil pendahuluan, lanjutan, dan
ultilokasi) dan terakhir pelepasan varietas.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, DM., A. Tanjung, I. Nasution, & Asadi. 1996. Pembentukan varietas


unggul kedelai toleran lahan kering masam: I. Keragaman genetik
dan pemilihan tetua. Dalam Sumarno et al. (Peny.): Pros. Simp.
Pemuliaan Tanaman IV. PERIPI Jawa Timur.

Arsyad, D. M., Adie, M. M., & Kuswantoro, H. 2007. Perakitan varietas unggul
kedelai spesifik agroekologi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.

Devine, T. E. 1982. Genetic fitting of crops to problem soil, p. 143-173. In: M. N.


Christiansen and C. F. Lewis (Eds.). Breeding plants for less favorable
environments. John Wiley & Sons, New York.

Dombos, Jr.,D.L., Mulen & Shibles. 1987. Drought Stress Effect During Seed
Filling on Soybean: Seed Germination and Vigor. Crop Science. 29
(2): 467- 480.

Doorenbos, J. & A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO Irrigation
and Drainage Paper. Vol 33.

Egli, D.B. & S.J. Grafts-Brander. 1996. In E. Zamski and A.A. Schaffer (Ed).
Photoasimilate distribution in plants and crops: Source-sink
relationships. Marcel Decker. New York.

Fagi, A.M. & Tangkuman, F. 1993. Pengelolaan air untuk pertanaman kedelai.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Fehr, W. R. 1983. Applied plant breeding. Dept of Agronomy. Iowa State Univ.
Ames, IA 50011, USA.

Kasno, A., Novita, N., dan J. Purnomo. 1998. Parameter seleksi kacang tanah
pada cara tanam tunggal dan tumpangsari dengan jagung. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan. 17(1):68–75.

Khandakar, A.L. 1992. Breeding for Environmental Stress Tolerance (Drought,


Waterlogging, Salinity, Short-Days and Low Temperature). In Proc of
the IJO/BJRI Training Course on "Specialized Techniques in Jute and
Kenaf Breeding".

Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress. Vol. II. Water,


Radiation, Salt, and other Stresses. Acad Press. New York.
Lewis, C. F. & M. N. Christiansen. 1981. Breeding plant for stress environments.
p. 151-178. In: M. N. Christiansen and C. F. Lewis (Eds.). Breeding
plants for less favorable environments. John Wiley & Sons, New
York.

Program Penyuluhan Kecamatan Wanaraja. 2009. Badan Pelaksana Penyuluhan


Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Balai Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Wanaraja. Pemerintah
Kabupaten Garut.

Riwanodja, Suhartina &Adisarwanto. 2003. Upaya Menekan Kehilangan Hasil


Akibat Cekaman Kekeringan Pada Kedelai Di Lahan Sawah. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
LAMPIRAN

Lampiran 4. Kondisi lahan Desa Cinunuk Tengah, Kecamatan Wanaraja,


Kabupaten Garut.

Lampiran 5. Kondisi lahan sawah kering Desa Cinunuk Tengah, Kecamatan


Wanaraja, Kabupaten Garut.
BIODATA PRAKTIKAN

Nama : Sarah Atika Rahma


Tempat, Tanggal Lahir:
Alamat : Jalan
E-mail : @gmail.com.
Riwayat Pendidikan :
 SDN 2006-2012
 SMPN 2012-2015
 SMAN 2015-2018
 Universitas Jenderal Soedirman Program
Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
2018-Sekarang
Nama : Citra Mega Egalita
Tempat, Tanggal Lahir: Tasikmalaya 20 Oktober 2000
Alamat : Jalan Asrama Nyantong No.94 C
Tasikmalaya
E-mail : citra.mega12@gmail.com.
Riwayat Pendidikan :
 SDN Nyantong 2006-2012
 SMPN 1 Tasikmalaya 2012-2015
 SMAN 1 Tasikmalaya 2015-2018
 Universitas Jenderal Soedirman Program
Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
2018-Sekarang
Nama : Bias Pelangi Parasuci
Tempat, Tanggal Lahir: Sukabumi, 25 April 2000
Alamat : Jl. Gunung Muria gang durian loro
kecamatan Purwokerto kabupaten Banyumas
E-mail : biaspelangip@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
 SDN Pondokkaso Tonggoh 2006-2012
 SMPN 1 Cicurug 2012-2015
 SMAN 1 Cicurug 2015-2018
 Universitas Jenderal Soedirman Program
Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
2018-Sekarang

Anda mungkin juga menyukai