Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH

I.         PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak terlepas dari beradaban (civilization) dan
memakaikan agama (religion) sebagai baju bangganya, HAR. Gibb (1859-1940) mengatakan, Islam is
a complete civilization (Islam adalah sebuah peradaban yang sempurna).  Meskipun demikian,
kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum mengerti betul apa itu peradaban dan Islam
sebagai agama yang sempurna belum masuk di hati bangsa ini.

Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu al-Islama duna al-Muslimah, yaitu nilai-nilai Islam
dapat ditemukan di tengah-tengah non-Muslim, dan sebaliknya nilai-nilai non-Muslim banyak
ditemukan pada masyarakat Islam. Mengapa? Karena masyarakat Muslim sekarang sudah banyak
melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membuat Islam sendiri runtuh dari nilai tauhidnya.

Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin lama dikuasai oleh non-Muslim, alangkah
baiknya, sebagai negara yang menghormati peradaban dan sejarah. Khususnya Muslim ditekankan
mengetahuai sejarah-sejarah nenek moyang yang sudah mendahuluinya sebagai bahan renungan
dan pembelajaran.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?

2.      Siapa sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?

3.      Bagaimana masa kemajuan Bani Umayyah?

4.      Bagaimana masa kemunduran Bani Umayyah?

II.      PEMBAHASAN

A.       SEJARAH BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH

Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah
salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin
Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri
daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota
kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.

Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya
dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara
di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai
pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula
mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang
diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).

Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya
Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Didalam
dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa Politikus, dan Administrator.

Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin
pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah
Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu
sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah
dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh
Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea)
yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.

Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi
di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis
rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.

Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari keluarga Bani
Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang
kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada
sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak
ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal
makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil
dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.

Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan para


pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu
Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan
empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat kuat
dalam perpolitikan Muawiyyah.

Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai
mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi
Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan
kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang
sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak
wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai
penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyyah. Orang
kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus independen. Karena keterampilan politiknya
yang besar, Muawiyyah mengangkatnya manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian
utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah
Umar.Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan
mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang
yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh
Mu’awiyah untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan.
Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah
provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.

Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai


tingkat“hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang
manusia hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-
keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.

Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam
keputusannya yang berani memaklumkan  jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika
Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi
dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang
dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak
oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa
pemerintahan Ali.

Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa


yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan
pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia.

Ketika Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada Gubernur
Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan
cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair
bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan.
Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim
pasukan untuk kembali memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi
pertempuran tidak seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala.[1]

B.       KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH

     Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah
Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz.
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang
khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:

1.      Muawiyyah I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M)

Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Bani Umayyah dialah tokoh pembangunan
yang besar. Muawiyyah mendapat kursi kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai
dengannya pada tahun 4 H, karena Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan
menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga tahun itu
dinamakan ‘Amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di kufah. Diantara
jasa-jasa Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap
di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan mata uang), dan lain-lain. Muawiyyah
wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya Yazid.

2.      Yazid I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M)

Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah
membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husein sepeninggal Muawiyyah.
Terjadi perang di karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain. Yazid menghadapi para
pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena
lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar terhadap masanya. Yazid wafat pada
tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyyah II

3.      Muawiyyah II bin Yazid (64 H/683M)

Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan
sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab
jabatan khalifah yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyyah
dalam melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.

4.      Marwan I bin Hakam (64-65 H/683-684M)

Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa
pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena dianggap
orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat menghadapi kesulitan
satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais, kemudian menduduki mesir.
Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat pergi hanya memerintah 1 tahun, ia
wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti
sepeninggalannya secara berurutan.

5.      Khalifah Abdul Malik (65-86H/684-705M)

Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah yang disebut-
sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang
dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya
integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau negara yang
merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan sparatis Abdullah bin Zubair di Hijaz,
pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada aksi teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar
bin Ubaid As-Saqafy di wilayah kufah, dan pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di
Irak.

Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi


pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi
di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun
beberapa gedung, dan masjid serta slauran-saluran air, memajukan perdagangan, memperbaiki
sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan dan menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an
dengan titik pada huruf-huruf tertentu.

Khalifah abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh putranya Al-Walid

6.      Al Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)

Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran merintah
ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika
afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia
sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan
sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang di jalan tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi
yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya
untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta,
dan sakit kusta. Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya,
Sulaiman.

7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-117M)

Dia tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia
menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair.

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana
itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di
masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim
yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai
penggantinya.

8.      Umar bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M)

Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri
sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani
Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih,
suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.

Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo, atau
Madinah menurut sumber lain. Rupanya keadilannya menurun dari Khalifah Umar bin Khatab yang
menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu
Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika ia menjadi khalifah ia memerintahkan kaum Muslimin
untuk menuliskan hadis, dan inilah perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang
yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang
tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru orang pada masanya.

Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus sebagi
pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah
seorang sepupunya. Tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal
pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi bangsawan Arab yang mulia,
ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa
henti sampai akhir hayatnya memerintah kurang lebih dua tahun.

Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain
yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya
Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk
diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Di samping itu ia mengadakan perdamaian antara
Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali
bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut :

“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan dan bijaksana, serta memberi
kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl : 90)

Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa kekhalifahannya
seperti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan
kepada fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non-
Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi beban pajak dan
menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.

Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik.

9.      Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)

Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah.
Pemerintahan yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Bani Umayyah. Kemudian diganti
oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)

Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur sebagimana tersebut di atas. Ia memerintah
dalam waktu yang panjang, yakni 20 Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang
terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan
tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Pada masa
pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah serta bersekutu dengan kaum
Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah
sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh
tahun, yakni :

11.  Al-Walid II bin Yazid (125-126H/742-743M)

12.  Yazid III bin Al-Walid (126H/743M)

13.  Ibrahim bin Al-Walid (126-127H/743-744M)

14.  Marwan bin Muhammad (127-132H/744-750M)

Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan julukan marwan al-himar (manusia keledai).
Karena kebesarannya yang luar biasa dan kesanggupannya menahan perasaan. Sebenarnya ia adalah
penguasa yang besar tapi sayang, ia muncul ketika daulat Bani Umayyah sedang merosot.

Dia wafat pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah.

C.       MASA KEMAJUAN BANI UMAYYAH

Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan tertumpu pada
usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin
terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-
ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara,
Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-
negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet
dan Rusia.

Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup front tiga penting,
yaitu sebagai berikut:

Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke
Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah.

Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga
menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.

Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi
dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amudarya).
Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat.

Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh
masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah bin Sofyan dan
tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha
penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.

Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan wilayah,
meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah
keberaniannya  mengepung kotaKonstantinopel melalui suatu ekspedisi  yang di pusatkan di kota 
pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti
Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota
RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai
Oxus dan Afghanistan.

Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik.
Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai
Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga
melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan
kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.

Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas.
Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn
memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota
Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas
pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di
Mar’asy dan ‘Amuriah.

            Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah
segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad
menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera dapat di rebut,
menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair
kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan
Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.

Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-masing:

1.      Bidang Kemiliteran

Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah di bidang
kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik
kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di miliki sebelumnya.
Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng dan
parit. Kuffah danBasroh merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi kekuatan pasukan
Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan,
yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan.
Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-
tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan terbentuknya
angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar kelautan untuk merancang
pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.

2.      Sistem Sosial

Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non Muslim, dan kelompokm
Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan karena mereka sebagai kelompok
pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka
semua mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang
dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir di katakan
tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok
Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.

3.      Kemajuan Arsitektur

Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka mencurahkan
perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah bangunan megah, Masjid Baitul
Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa
Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga
masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus
yang didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa
monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari
batu kapur yang berwarna kuning kemerah-merahan.

4.      Bidang Politik

Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru. Guna
untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin
kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah
dibantu oleh beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan tugas ,
yang meliputi:

a.       Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat
menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.

b.      Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan


penerimaan negara.

c.       Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
ketentaraan.

d.      Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan


dan ketertiban.

e.       Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-
badan peradilan dan hakim setempat.

Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah
kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga
kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang
dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan
Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan,
intelektual dan peradaban.

1.        Dinamika Politik

Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan
memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak
hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria,
namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-
serangan dari rival politiknya.

a.   Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga
dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan
Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi
kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).

b.   Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga
masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan orang 
Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-
hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan
pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria
itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan
orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung(mawali) bangsa Arab.
Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu
Arab dan Mawali.

Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah
yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka
bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang
bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.

c.   Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini
memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:

1)    Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah


qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah
bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para Ulama.

2)    Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah
menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:

a)         Syiria dan Palestina;

b)        Kuffah dan Irak;

c)        Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan  

             Yamamah;

d)        Arenia;

e)         Hijaz;

f)         Karman dan India;

g)        Egypt (Mesir);
h)        Ifriqiyah (Afrika Utara);

i)         Yaman dan Arab selatan, dan

j)         Andalusia.

3)   Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam


Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar
Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[2] Untuk mengurusi
administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur Jenderal) yang
membawahi beberapaamir sebagai penguasa satu wilayah.

Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen
pokok (dewan) yaitu :

a)    Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus
surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka.
Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa Arab
sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi
sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah
bahasa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.

b)   Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj
diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.

c)    Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-
berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang
menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.

d)   Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah
harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang
dituju.

4)    Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu membangun
bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain
mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-
daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat-
istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah
Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani
Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain
dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-
wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam.
Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.

5)      Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan.
Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota
Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh
daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium
dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah
merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan
pasukan dan kapal perang mereka.

Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu:
Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan
mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan
Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di
daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk
ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota
Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).

Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan
ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut.
Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada
kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan
seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke
Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[3]

Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi
wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya
disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah
menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi
kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[4]

Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia
menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu
diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan
Brahmanabat.

2.      Dinamika Ekonomi

Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab
bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah
diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku
kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam,
akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan
Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium,
sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.
Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat
dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera,
keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan
untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan
dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam
yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah
mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.

Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam
bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan,
format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi
kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at
Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar
gaji mereka.

3.      Dinamika Sosial

Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan
posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil
rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni
bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk
memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan
pemakaian bahasa Arab dengan cepat.

Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah
munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses
khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.

4.      Intelektual dan Keagamaan

Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi,
seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al
Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh
negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab
mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan
dalam soal tata bahasa Arab.

Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah.
Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi,
Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran
tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.

Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai
tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan
khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits
Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian
menjadi dokter pribadinya.[5]

Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis,
selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-
aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan
non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi ilmu pengetahuan
bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi,
al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari
Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).

5.      Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)

Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke
delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu
kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu
kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti meliputi
daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah
Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu jaringan penting dari
rute utama perdagangan  Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika
Hitam dengan Asia Tengah.

6.      Kedudukan Amir al-Mu’minin

     Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-Rasydun yang
menguasai keduanya.Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun dari keluarga Umayyah.

7.      Sistem Fiskal

       Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman permulaan
Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu kewajiban yang harus
dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama
seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara,
pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang
hukuman dan tawanan perang, perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga
dan para Ulama.

       Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran dengan mata
uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum Muslimin namun
belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.

8.   Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz

       Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada perintahan
yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang damai, lemah,
lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk Islam, dan
mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan tidak mengganggu
lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani Hasyim untuk membentuk
gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan inilah
yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya.

9.      Sistem Peradilan
       Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan perkara
dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan politik.

10.  Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab

     Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada
masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai
berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Dan terjadi
pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-
Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk
memperlajari tata bahasa Arab.

       Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai


macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran, ilmu
Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan seni bangunan yang
terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock) yang didirikan di Yerussalem
pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.

11.  Sistem Militer

       Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau
setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang wajib
militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.

Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah terdiri
dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada
bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara,
Andalusia, dan lain-lain.

a.       Perluasan ke Asia Kecil

             Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil
menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian diserang kota
Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman.
Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel
di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang berani seperti
Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan ini
selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini. Penyerangan pertama ini
gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.

b.      Perluasan ke Timur

             Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari
Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah pimpinan Al-
Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan
Samarkand. Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai Balukhistan,
Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).

c.       Perluasan ke Afrika Utara

             Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena
kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar
dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan.

             Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada masa Umayyah timur. Pada masa
Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Pada
tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth
(Gothik) Barat yang telah berkuasa selama 300 tahun.[6]

12.  Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair

Ketika Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau menyatkan
setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah meminta untuk
memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini semua orang terpaksa
tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Pada tahun 680 M, Husein pindah dari
Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui
khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan tentara Husein kalah sedangkan
Husein mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di
Karbela.

Gerakan Syi’ah semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling terkenal
diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Walaupun dibantu
oleh kalangan kaum Mawali di Persia, Armenia dan lain-lain,  Mukhtar terbunuh oleh pasukan
oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.

Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh.
Tentara Yazid kemudian mengepung Mekkah dan akhirnya terjadi pertempuran, pada pertempuran
ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan
Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M.

Adapun prestasi Dinasti Umayyah

1.    Bidang Fisik

Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan
sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti
Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:

a.         Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya,

b.         Membangun jalan raya,

c.         Mencetak mata uang,

d.         Membangun panti asuhan,


e.         Membangun gedung pemerintahan,

f.          Memblingun masjid,

g.         Membangun rumah sakit, dan

h.         Membangun sekolah studi kedokteran.[7]

2.    Perluasan Wilayah Kekuasaan.

Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi sebagai berikut:

a.       Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi',

b.      Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur,

c.       Menguasai Bizantium,

d.     Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani,

e.       Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan

   Maroko,

f.       Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni

   Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova,

g.      Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica,

h.       Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand,

   dan

i.       Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[8]

D.       MASA KEMUNDURAN BANI UMAYYAH

Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan
kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak luar.

Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan
membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:

1.        Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab
yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota
keluarga istana.

2.        Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik
politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus
terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah. Penumpasan terhadap
gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

3.        Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani
Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti Umayyah mendapat kesulitan untuk
menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa
tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan
keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.

4.        Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan awam kecewa karena
perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

5.        Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan
penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh
pemerintah Dinasti Umayyah.

Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya
mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani
Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti Umayyah yang
dijumpainya.

Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur
melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan
akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyyah pada masa
khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.[9]

III.   KESIMPULAN

Masa kekhalifahan Bani Umayyah yang hanya berumur 89 tahun yaitun di mulai pada masa
Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak mengalami kemajuan perkembangan yang cukup pesat.

                        Pada masa Muawiyyah bi Abu Sofyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa
khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di lanjutkan kembali.

Ekspansi ke Barat secara besar-besaran di lanjutkan di zama Al-Walid bin Abdul Malik. Masa
pemerintahan Al Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyyah bin Abu Sofyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu
dengan menyediakan kuda yang yang lengkap dengan peralatanya di sepanjang dalam. Dia juga
berusaha menertibkan angkatan bersenjatan dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim atau qodhi mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Qodhi adalah
seorang spesialis di bidangnya.

IV.   PENUTUP

Demikian makalh ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan
kontruktif sangat di harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalh ini
dapat di jadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Hasymy, A., Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Hitti, Philip K., Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing,
Bandung: Sumur Bandung, tth

Suryanegara,Ahmad Mansur , Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2012.

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Beragai Aspeknya,  Jakarta: UI Press, 1978.

Osman, A.Latif, Ringkasan Sejarah,Jakarta: Widjaya, 1951.

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2010.

Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung : Pustaka Setia ,

2013.

Souyb, Jousouf, Sejarah Umayyah,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

[1] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm.
127.

[2] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) hlm.151.

[3] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung Sumur


Bandung.tth) hlm.85

[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,  (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1, hlm.61.

[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010), h.40

[6] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (cet ke-5, Bandung: Salamadani, 2012), hlm. 64-65

[7] Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.236

[8]A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951), h.99

[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 118-136.
PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH II (DI ANDALUSIA)

oleh: Amirul Bahri


A. PENDAHULUAN
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode Islam klasik. Andalusia mencapai puncak
keemasannya.Banyak prestasi yang mereka peroleh bahkan pegaruhnya membawa Eropa dan
kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, Andalusia juga dikatakan mampu menyaingi
Baghdad yang ada di timur. Banyak orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas Islam
disana. Ketika itu bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang Eropa. Selama delapan abad,
Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang gemilang. Namun
peradaban yang di bangun dengan susah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus
ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum
Muslimin sendiri dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari keterbelakangan.
Kebangkitan yang meliputi hampir semua element peradaban, terutama di bidang politik yakni
dengan dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya sampai kemajuan di bidang
science dan teknologi.

B. PEMBAHASAN
1. Penaklukan dan Pemerintahan
Al Andalus berarti “untuk menjadi hijau pada akhir musim panas” dan merujuk pada wilayah yang
diduduki oleh kerajaan Muslim di Spanyol Selatan yang meliputi kota-kota seperti Almeria, Malaga,
Zadiz, Huelva, Seville, Cordoba, Jaen dan Granada.
Andalusia terletak di benua Eropa barat daya dengan batas-batas ditimur dan tenggara adalah laut
tengah, diselatan benmua Afrika yang terhlang oleh selat Gibraltar, dibarat samudra atlantik dan
utara ole teluk Biscy. Pegunungan Pyneria ditimur laut membatasi Andalusia dengan Prancis.
Andalusia adalah sebutan pada masa Islamm bagi daerah yang dikenal dengan senanjung Liberia
(kurang lebih 93 % wilayah Spanyol, sisanya Portugal) dan Vadalusia. Sebutan ini berasal dari kata
Vandalusia, yang berarti negeri bangsa vandal, karena bagian selatan semenanjung itu pernah
dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka diusir ke Afrika Utara oleh Bangsa Goth pada abad ke 5
M.
Kondisi sosial masyarakat Andalusia menjelang penaklukan Islam sangat memperihatinkan.
Masyarakat terpolarisasi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya. Sehingga
ada masyarakat kelas satu,dua dan tiga. Kelompok masyarakat kelas satu, yakni penguasa, terdiri
atas raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama dan tuan tanah besar. Kelas dua terdiri
atas tuan-tuan anak kecil. Tuan tanah kecil adalah golongan rakyat kecil adalah golongan rakyta kelas
dua (second citizen). Kelompok masyarakat kelas tiga terdiri atas pada budak termasuk budak tani
yang nasibnya tergantung pada tanah, penggembala, nelayan, pandai besi, orang Yahudi dan kaum
buruh dengan imbalan makan dua kali sehari. Mereka tidak dapat menikmati hasil tanah yang
mereka grap. Rakyat kelas dua dan tiga yang sangat teritindas oleh kelas atas banyak lari ke hutan
karena trauma dengan penindasan para penguasa. Demi mempertahankan hidup, mereka terpaksa
harus mencari nafkah dengan jalan membunuh, merampas atau membajak. Dekadensi moral
mereka itu bersamaan dengan jatuhnya ekonomi mereka.
Penaklukan oleh pasukan atas Andalusia member dampak positif yang luar biasa. Andalusia dijadikan
tempat ideal dan pusat pengembangan budaya. Ketika peradaban Eropa tenggelam dalam kegelapan
dan kehancuran, obor Islam menyinari seluruh Eropa melalui Adalusia, kepada bangsa Vandhal, Goth
dan berber. Islam menegakkan keadilan yang belum dikenal sebelumnya. Rakyat jelata tertindas
yang hidup dalam kegelapan mendapat sinar keadilan, memiliki kemerdekaan hidup dan
menentukan nasibnya sendiri. Para budak pada bangsa Goth dimerdekakan oleh para penguasa
Muslim dan diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Sikap toleransi kaum muslim
adalah perjanjian damai dengan pihak para penguasa yang telah ditaklukan. Kebebasan, persamaan
dan persaudaraan yang diterapkan, memungkinkan bangsa-bangsa yang ditaklukkan itu ikut ambil
abgian dalam pemerintahan bersama-sama dengan para penguasa Muslim. Jadi Islam tidak
mengenal adanya perbedaan kasta dan keyakinan. Saat ditaklukan, tingkat peradaban Andalusia
sangat rendah dan keadaan umumnya begitu menyedihkan, sehingga kaum Muslim lebih banyak
mengajar dari pada belajar. Eropa sendiri di satu pihak diganggu oleh bangsa Berber Jerman.
Sementara itu filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan telah lama pindah tempat ke Syria dan Persia.
Penaklukan semenanjung ini diawali dengan pengiriman 500 orang tentara muslim dibawha
pimpinan Tarif bin Malik pada Ramadhan tahun 91 H/710 M. Ia dan pasukannya mendarat disebuah
tempat yang diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil dan tariff kembali ke Afrika Utara membawa
banyak ghanimah. Musa bin Nushair, Gubernur Jenderal Al Maghrib di Afrika Utara kala itu,
kemudian mengirimkan 7000 orang tentara dibawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Ekpsedisi kedua ini
mendarat dibukit karang Gibraltar (Jabal At Thariq ) pada tahun 92 H/711 . Diatas bukit itu, Thariq
berpidato untuk membangkitkan semngat juang pasukannya, karena tentara musuh yang akan
dihadapi jumlahnya 100.000 orang. Thariq mendapat tambahan 5000 orang tentara dari Afrika Utara
sehingga total jumlah pasukannya menjadi 12.000 orang.
Pertempuran pecah didekat muara sungai Salado (Lagend Janda) pada bulan Ramadhan 92 H/19 Juli
711. Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya,
sampai akhirnya Toledo, ibukota Gothia Barat, dapat direbut pada bulan September tahun itu juga.
Bulan Juni 712 M. Musa berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang
kota-kota yang belum ditaklukkan oleh Thariq sampai bulan Juni tahun berikutnya. Di kota kecil
Talavera, Thariq menyerahkan kepemimpinan pada Musa. Pada saat itu pula Musa mengumumkan
Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Penaklukan selanjutnya diarahkan ke kota-kota bagian utara hingga mencapai kaki pengunungan
Pyrenia. Di balik pegunungan itu terbentang tanah Galia dibawah kekuasaan bangsa Prancis. Musa
berambisi menaklukkan wilayah dibalik pegunungan itu, namun khalifah al walid tidak merestuinya
bahkan ia memanggil Musa dan Thariq untuk pulang ke Damaskus. Sebelum berangkat Musa
menyerahkan kekuasaan kepada Abd Al Aziz bin Musa. Abd Aziz berhasil menaklukkan Andalusia
sudah jatuh ke tangan umat Islam, kecuali Galicia sebuah kawasan yang terjal dan tandus di bagian
barat laut semenanjung itu.
Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Umayyah sampai tahun 132 H/ 750 M.
Selama periode tersebut, para gubernur Umawiyah di Andalusia berusaha mewujudkan impian Musa
bin Nushair untuk menguasai Galia. Akan tetapi, dalam pertempuran Poitiers didekat Tours pada
tahun 114 H / 732 M tentara Islam dibawah pimpinan Abd Al – Rahman Al – Ghafiq di pukul mundur
oleh tentara Nasrani Eropa dibawah pimpinan Kartel Martel. Itulah titik akhir dari serentetan sukses
umat Islam diutara pegunungan Pyneria. Setelah itu mereka tidak pernah meraih kemenangan yang
berarti dalam menghadapi serangan balik kaum Nasrani Eropa. Ketika daulah Bani Umayyah runtuh
pada tahun 132 H / 750 M. Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Abbas sampai Abd
Al Rahman bin Muawiyah, cuvu khalifah Umawiyah kesepuluh hisyam bn Abd Malik,
memproklamasikan propinsi itu sebagai Negara yang berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak
proklamasi itu. Andalusia memasuki babak baru sebgai sebuah Negara berdaulat dibawah kekuasaan
Bani Umayyah II yang beribukota di Codova sampai tahun 422 H/1031.
Sejak pertana kali menginjakkan kaki ditanah Andalusia hingga jatuhny kerajaan Islam terakhir
disana, Islam memainkan peranan yang sangat yang dilalui umat Islam di Andalusia dapat dibagi
menjadi enam periode :

a. Periode Pertama (711 – 755 M)


Pada periode ini, Andalusia berada dibawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah
Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik Andalusia belum
tercapai secara sempurna , gangguan – gangguan masih terjadi baik dari dalam maupu luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan diantara elit penguasa, terutama akibat
perbedaan etnis dan golongan, terutama antara Basbar asal Afrika Utara dan Arab. Didalam etnis
arab sendiri, terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisy (Ara Utara) dan
Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkna konflik politik, terutama
ketika tidak ada figus penguasa yang tangguh. Itulah sebabnya di Andalusia pada saat itu, tidak ada
gubernur yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam jangka eaktu yang agak lama.
Gangguan dari luar dari sisa-sisa musuh lama di Andalusia yang bertempat tinggal di daerah-daerah
pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Karena seringnya
konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Andalusia
belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir
dengan datangnya Abd AL Rahman Al Dakhil pada tahun 138 H/755 M.

b. Periode Kedua (755-912 M)


Pada periode ini, Andalusia berada dibawah pemerintahan amir, tetapi tumduk kepada pusat
pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh khalifah abbasiyah di Baghdad. Penguasa
Andalusia pada periode ini adalah Abd Al Rahman Al Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd Al Rahman Al
Ausath, Muhammad bin Abd Al Rahman, Munzir bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad.
Mengenai Ad Dakhil, diceritakan sewaktu dinasti bani umayyah tumbang oleh dinasti abbasiyah
terjadi pembunuhan massal dan pengejaran terhadap sisa-sisa keluarga Umayah. Ia melarikan diri
menyusuri Afrika Utara hingga tiba di Meknes. Maroko dan pindah ke Melilla, dekat Ceuta di pesisir
laut tangah menghadap semenanjung Liberia. Inilah buat pertama kalinya seorang pangeran Bani
Umayyah masuk ke Andalusia, sehingga ia mendapat gelar Ad Dakhil. Setelah melumpuhkan
penguasa Andalusia, Yusuf bin Abd Ar Rahman, ia akhirnya berkuasa disana.
Pada periode ini, Andalusia mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik
maupun dalam bidang perdaban. Abd Al Rahman Al Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-
sekolah dikota-kota besar. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam dan Hukum
dikenal sebagai pembaharu dalam bidang militer. Dialah yang memprakasai tentara bayaran di
Andalusia. Sedang Abd Al Rahman Al Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.
Para periode ini, berbagai ancaman dan kerusakan terjadi. Pada pertengahan abad ke 9 M. Stabilitas
munculnya gerakan Kristen fanatic yang mencari kesyahidan (Martydom). Tetapi gerakan ini tidak
mendapat simpati dikalangan intern Kristen sendiri, karena pemerintahan Islam kala itu
mengembangkan kebebasan beragama. Peribadatan tidak dihilangi, bahkan mereka juga tidak
dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerinthan atau emnajdi karyawan pada intansi militer.
Gangguan politik paling serius dating dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada
tahun 852 M membentuk Negara kota dan bertahan sampai 80 tahun. Disamping itu, sejumlah
orang yang tidak puas terhadap penguasa melancarkan revolusi, yang terpenting diantaranya
pemberontakan Hafshun dan anaknya yang berpusat dipegunungan dekat Malaga.
c. Periode Ketiga (912-1013 M)
Pada periode ini, Andalusia diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah. Penggunaan gelar ini
berawal dari berita bahwa al muktadir. Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad meninggal dunia
dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Maka Abdurrahman III menilai bahwa keadaan ini menunjukkan
suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini
merupakan moment yang paling tepat untuk mmakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan
Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Maka dari itu, gelar khalifah ini mulai dipakai sejak tahun 929
M Khalifah besar yang memerintah pada periode ini yaitu Abd Al Rahman Al Nasir (912-916 M),
Hakam II (961-976M) dan Hisyam II (976-1009M).
Pada periode ini, Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi Baghdad di timur.
Al Nashir mendirikan universitas di cordova yang perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu
buku. Hakam II juga juga seoreang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini,
masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung
cepat.

d. Periode ke empat ( 1013 – 1086)


Pada periode ini.Andalusia terpecah menjadi lebih 20 kerajaan kecil. Masa ini disebut Muluk al –
Thawaif (Raja Golongan ) mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis Barbar. Slovia ata u
Andalus yang bertikai satu sama lain sehingga menimbulka keberania umat Kristen di utara untuk
menyerang. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, para pihak yangbertikai sering meminta
bantuan kepada raja – raja Kristen. Periode ini meskipun terjadi ketidakstabilan tetapi dalam bidang
peradaban mengalami kemajuan karena masing – masing ibu kota kerajaan local ingin menyaingi
Cordova sehingga muncullah kota –kota besar seperti Toledo, Sevilla, Malaga, dan Granada.

e. Periode ke lima ( 1086 – 1248)


Pada periode ini meskipun Andalusia terpecah – pecah dalam beberapa Negara, tetapi terdapat satu
kekuatan yang dominan, yakni dinasti Murabhitun (1086-1143) dan dinasti Muwahidun (1146-1235
M). murabhitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf bin Tasytin di
afrika utara. Ia masuk ke Andalusia atas undangan penguasa islam disana yang tengah menikul
beban berat perjuangan mempertahankan negri dari serangan orang Kristen. Ia dan tentaranya
masuk Andalusia pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan castilia. Karena perpecahan
dikalangan raja- raja muslim, yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Andalusia dan berhasil.
Tetapi sepenggantinya adalah raja – raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini
berakhir baik di afrika utara maupun Andalusia sendiri.
Sepeninggal murabhitun, muncul-muncul dinasti kecil, tapi berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146
M, dinasti muwahidun di afrika utara yang didirikan oleh mehammad bin tumart. Dinasti ini datang
ke Andalusia dibawah pimpinan abd al mun’im. Antara tahun 1114 dan 1115 M, kota-kota muslim
penting di Andalusia seperti cordova. Almeria dan cannada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk
jangka beberapa decade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan – kekuatan Kristen
dapat dipukul mundur akan tetapi, tidak lama setelah itu Muwahhidun mengalami keambrukan.
Tentara Kristen, pada tahun 1212 M, mendapat kemenangan besar di Las Navas de Tolesa.
Kekalahan – kekalahan yang dialami oleh Muwahhidun memaksa penguasanya keluar dari Andalusia
dan kembali ke afrika utara pada tahun 1235 M. Tahun 1238 M cordova jatuh ke tangan penguasa
Kristen dan Seville jatuh di tahun 1248 M. Seluruh Andalusia kecuali Granada lepas dari kekuasaan
islam.
f. Periode ke enam ( 1248 – 1492)
Pada periode ini, islam hanya berkuasa di daerah Granada. Dibawah dinasti bani ahmar (1232-1492
M) yang didrikan oleh Muhammad bin Yusuf bin Nasr bin al-Ahmar . peradaban mengalami
kemajuan tetapi hanya berkuasa di wilayah yang kecil seperti pada masa kekuasaan Abdurrahman
an –Nashir. Namun pada decade terkhir abad 14 M, dinasti ini telah lemah akibat perebutan
kekuasaan. Kesempatan ini dimanfaatkan olen kerajaan Kristen yang telah mempersatukan diri
melalui pernikahan antar Esabella dan Aragon dengan raja Ferdinand dari Castilla untuk bersama –
sama merebut kerajaan Granada. Pada tahun 1487 menguasai Almeria tahun 1492 menguasai
Granada. Raja terakhir Granada, Abu Abdullah, melarikan diri ke afrika utara.
Pada akhir abad ke 14 M pihak Kristen sangat antusias untuk mengkristenkan pemeluk yahudi dan
muslim. Pada 1391 yahudi dipaksa menerima Baptisme tahun 1478 program pemaksaan agama
diresmikan dan memerintahkan yahudi untuk memilih baptisme atau pengusiran. Tahun 1492 nyaris
seluruh pemeluk yahudi diusir dari Andalusia.
Gerakan reconquisa terus berlanjut. Tahun 1499, kerajaan Kristen Granada melakukan pemaksaan
orang islam untuk menganut Kristen dan buku – buku tentang islam di bakar. Tahun 1502 kerajaan
Kristen ini mengeluarkan perintah supaya orang islam Granada keluar dari negri ini kalau tidak mau
menjadi Kristen. Umat islam harus memilih antara masuk Kristen atau keluar dari andalus sebagai
orang terusir. Maka banyak orang islam yang menyembunyikan keislamannya dan melahirkan
kekristenannya. Timbul pula pembrontakan – pembrontakan. Pada tahun 1596, muslim Granada
membrontak dibantu oleh kerajaan usmaniyah. Antara tahun 1609-1614 M kira-kira sekitar setengah
juta kaum muslimin Andalusia pindah ke afrika utara. Ini merupakan perpindahan terakhir umat
islam Andalusia. Sejak saat itu tak ada lagi umat islam di Andalusia.

2. Kemajuan peradaban

a. Di bidang Ilmu Pengetahuan


Pemisahan Andalusia dari bagdad secara politis, tidak berpengaruh terhadap transisi keilmuwan dan
peradaban antara keduanya. Banyak muslim Andalusia yang menuntut ilmu di negri islam belahan
timur dan tidak sedikit pula ulama dari timur yang mengembangkan ilmunya di Andalusia.
Prestasi umat islam dalam memajukan ilmu pengetahuan tidak diperoleh secara kebetulan,
melainkan dengan kerja keras melauli beberapa tahapan system pengembangan. Mula – mula
dilakukan beberapa penerjemah kitab – kitab klasik yunani, romawi, india , Persia. Kemudian
dilakukan pensyarahan dan komentar terhadap terjemahan tersebut, sehingga lahir komentator-
komentator muslim kenamaan. Setelah itu dilakukan koreksi teori – teori yang sudah ada, yang acap
kali melahirkan teori baru sebagai hasil renungan pemikir – pemikir muslim sendiri. Oleh karena itu,
umat islam tidak hanya berperan sebagai jembatan penghubung warisan budaya lama dari zama
klasik ke zaman baru. Terlalu banyak teori orisinil temuan mereka yang besar sekali artinya sebagai
dasar ilmu pengetahuan modern.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu tidak terlepas kaintannya dari
kerjasam yang harmonis antara penguaa, hartawan dan ulam. Umat islam di Negara – Negara islam
waktu itu berkeyakinan bahwa memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaaan umumnya,
merupakan salah satu kewajiban pemerintahan. Kesadaran kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh para pendukung ilmu telah menimbulkan hasrat untuk mengadakan
perpustakaan – perpustakaan, disamping mendirikan lembaga – lembaga pendidikan. Sekolah dan
perpustakaan umum maupun pribadi banyak dibangun diberbagai penjuru kerajaan, sejak dari kot
besar sampai ke desa-desa.
Andalusia pada kala itu sudah mencapai tingkat peradaban yang sangat maju, sehingga hamper tidak
ada seorangpun penduduknya yang but huruf. Dalam pada itu, eropa Kristen baru mengenal asas-
asas pertam ilmu pengetahuan, itupun tebatas hanya pada beberapa orang pendeta saja. Dari
Andalusia ilmu pengetahuan dan peradaban arab mengalir ke Negara-negara eropa Kristen, melalai
kelompok – kelompok terpelajar mereka yang pernah menuntut ilmu di universitas Cordova, Malaga,
Granada, sevilla atau lembaga – lembaga ilmu pengetahuan lainnya Andalusia. Yang pada gilirannya
kelak akan mengantarkan eropa memasuki periode baru masa kebangkitan. Bidang – bidang ilmu
pengetahuan yang paling menonjol antara lain :

a. Filsafat
Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan
sejarah islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang di lalui ilmu pengetahuan Yunani
Arab ke Eropa abad ke 12 minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada
abad ke-9 selama pemerintahan bani umayyah. Tokoh pertama dalam sejarah filsafat Andalusia
dalah Abu Bakr Muhammad bin al-Syaigh yang terkenal dengan nama Ibnu Bajjah. Karyanya adalah
Tadbir al-muwahhid, tokoh kedua adalah Abu Bakr bin Thufail yang banyak menulis masalh
kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang terkenal adalah Hay bin Yaqzhan. Tokoh
terbesar dalam bidang filsafat di Andalusia adalah Ibnu Rusyd dari cordova. Ia menafsirkan maskah –
naskah aristoteles dan menggeltuti masalah – masalah menahun tentang keserasian filsafat agama.

b. Sains
Ilmu kedokteran , music, matematika, astronomi dan kimia berkembang dengan baik di Andalusia.
Ibarhim bin yahya al Naqqash terkenal dalam ilmuastronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya
gerhana matahari dan berhasil membuat teropong yang dapat menentukan jarak tata surya dan
bintang. Ahmad bin abbas dari cordova adalah ahli dalam bidang obat – obatan. Umm al-hassan bint
abi ja’far dan saudara perempuan al hafidz adalah dua orang dokter dari kalangan wanita.
Di bidang sejarah dan geografi, muncul ibnu jubair yang menulis negri – ngri muslim mediterania dan
ibnu batutah yang mengadakan ekspedisi hingga mencapai samudra pasai dan cina. Ibnu al-khatib
menyusun riwayat Granada sedang Ibnu khaldun dari tunis adalah perumus filasafat sejarah.

c. Fiqh
Andalusia mayoritas menganut madhzab maliki, yang pertama kali diperkenalkan oleh ziyyad bin abd
al-rahman. Ahli – ahli fiqih lainnya diantaranya adalah ibnu yahya, seorang qadhi, kemudian abu
bakar al quthiyah, munzir bin sa,if al-baluthi dan ibnu hazim yang terkenal.

d. Musik dan Kesenian


Dibidang ini dikenal seorang tokoh bernama Hasan bin Nafi yang berjuluk Zaryah. Dia juga terkenal
sebagai penggubah lagu dan sering mengajarkan ilmunya kepada siapa saja sehingga
kemasyhurannya makin meluas.

e. Bahasa dan Sastra


Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan islam di Andalusia. Hal itu
dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non Islam. Bahkan penduduk asli Andalusia
menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab
baik ketrampilan bahasa maupun tata bahasa Tokohnya antara lain : Ibnu Sayyidh, Ibn Malik
pengarang alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur dan Abu Hayyan
al-Gharmatti dan muncul banyak karya sastra seperti al-iqd al-farid karya ibn abd rabbib, al-
Dzakhirah fii Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam dan kitab al-Qalaid karya al-Fath bin Khaqan.

b. Di bidang pembanguna fisik


Samah bin Malik menjadikan cordova sebagai ibu kota propinsi Andalusia menggantikan sevilla pada
tahun 100H/719M. Ia membangun tembok dinding kota, memugar jembatan tua yang dibangun
penguasa romawi dan membangun kisaran air. Ketika ad-Dakhil berkuasa, cordova diperindah serta
dibangun benteng di sekeliling kota dan istana. Air danau dialirkan melalui pipa-pipa ke istana dan
rumah penduduk. Kebanggan cordova lainnya adalah al-Qashr al-Kabir, alRushafa, masjid jami’
cordova, jembatan cordova, al-Zahra dan al-Zahirah
Al-Qashr al-Kabir adalah kota satelit yang dibangun ad-Dakhil dan disempurnakan oleh beberapa
penggantinya. Didalamnya dibangun 430 gedung yang diantaranya merupakan istana – istana
megah. Al-Rushafa adalah sebuah istana yang dikelilingi taman yang luas dan indah, yang dibangun
ad-Dakhil yang masih tgak berdiri hingga sekarang adalah masjid jami’ cordova didirikan tahun
170H/786M dengan dana 80.000dianr. masjid ini memiliki sebuah menara yang tingginua 20 meter
terbuat dari marmer dan sebuah kubah besar yang didukung oleh 300 buah pilar yang terbuat dari
marmer pula. Ditengah masjid terdapat tiang agung yang menyangga 1000 lentera. Ada Sembilan
buah pintu yang dimiliki masjid ini, semuanya terbuat dari tembaga kecuali pintu maqsurah yang
terbuat dari emas murni. Ketika cordova jatuh ke tangan Fernando III pada tahun 1236, masjid ini
dijadikan gereja dengan nama santa maria, tetapi dikalangan orang Andalusia lebih popular dengan
ia mezquita, berasal dari bahasa arab al-Masjid.
Al-Nashir pada tahun 325 H/ 936 M membangun kota satelit dengan nama salah seorang selirnya al-
Zahra. Kemegahannya hamper menyamai al-Qashr al-Kabir. Ia dilengkapi taman indah yang disela-
selanya mengalir air dari gunung, danau kecil berisi ikan beraneka warna dan sebuah taman
margasatwa. Sementara pada tahun 368 H / 978 M Al Manshur membangun kota Al Zairah dipinggir
Wadi Al Kabir, tidak jauh dari Cordova. Al Zahirah dilengkapi dengan taman – taman indah, pasar,
toko , masjid dan bangunan umum lainnya.

3. Analisis Kemajuan Peradaban Andalusia


Salah Satu mengapa Andalusia mengalami kemajuan pesat di dalam peradabannya menurut penulis
salah satunya disebabkan policy dari para penguasanya yang mempelopori berbagai kegiatan ilmiah.
Meskipun ada ketegangan politik dengan Baghdad timur tapi tidak selalu terjadi konfrontasi militer.
Banyak para sarjana Islam dari wilayah Barat menimpa ilmu di Timur dengan membawa bukum teori
dan gagasan pengetahuan, begitu pula sebaliknya. Jadi meskipun umat islam terpecah secara politik
tapi tetap dalam bingkai kesatuan budaya dunia Islam. Perpecahan politik pada periode Al Muluk Al
Thawa’if tidak menyebabkan mundurnya ilmu pengetahuan dan peradaban, bahkan setiap penguasa
di negeri-negeri kecil tersebut saling berkompetensi dalam ilmu pengetahuan terutama usaha untuk
menyaingi Cordova.
Sedang aspek kehancuran Andalusia dari berbagai literature menurut penulis disebarkan karena
adanya konflik dengan Kristen. Islami yang terjadi kurang sempurna. Kerajaan – kerajaan Kristen
taklukan asal tidak melakukan perlawanan militer dibiarkan mempertahankan hukum dan adat
mereka, yang pada gilirannya akan menciptakan kubu komunitas berbeda antara Arab Islam dengan
Andalusia Kristen yang memicu adanya nasionalisasi. Pada periode kemunduran Islam, kerajaan-
kerajaan Kristen ini akhirnya dapat menghimpun kekuatan untuk mengenyahkan Islam dari
Andalusia tertama karena kondisi Andalusia yang yang terpencil secara militer, sehingga sulit
mendapat bantuan militer kecuali hanya dari Afrika Utara.
Faktor krusial lainnya didalam intern umat Islam telah terdapat perpecahan. Terutama masalah yang
berkaitan dengan etnis dan sosial. Sering dijumpai konflik antara komunitas Arab Utara dan Arab
Selatan, antara Barbar dengan arab Selatan, antara Barbar dengan Arab serta problem naturalisasi
bagi para mukallaf, yang masih dipandang sebelah mata, terutama dengan pemberian term ibad dan
muwalladun yang bertedetensi merendahkan. Yang paling fatal lagi adalah tidak adanya mekanisme
yang jelas dalam suksesi kepemimpinan. Sehingga sering menimbulkan gejolak politik yang
melemahkan Negara.
Dari aspek pengaruh peradaban Andalusia terhadap kebangkitan Eropa (renaissance) adalah dipicu
dengan banyaknya kaum terpelajar Eropa yang belajar di pusat-pusat studi di Andalusia sehingga
menyerap berbagai gagasan dan pola pemikiran berbagai tokoh pengetahuan seperti Ibnu Rusyd
serta berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa melalui terjemahan Arab yang dipelajari, yang
kemudian di konversi ke bahasa latin. Yang pada akhirnya mempercepat terjadinya proses reformasi,
rasionalisasi hingga pada fase pencerahan di Eropa.

C. PENUTUP
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai
kejayaannya disana. Banyak prestasi yang mereka peroleh bahkan pengaruhnya membawa Eropa
dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks. Tapi pada abad 10 M dunia Islam mulai
menampakkan tanda-tanda kemunduran, begitu juga peradabannya. Kemunduran itu terjadi
setapak demi setapak, sehingga pada pertengahan abad ke 12 M , tibalah saatnya masa keruntuhan
Islam.

1. http://www.hispanicmuslims.com/andalusia.html
2. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, Cet.
Ke 1 , 2007, hlm .227-228
3. Ibid, hlm. 228
4. Ibid,hlm.233-235.
5. P.M.Holt (ed), The Cambridge History Of Islam, Cambridge: Press Syndicate Of The University Of
Cambridge, 1970, hlm.406.
6. Ali Shodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta :
LESFI,Cet.Ke 2, 2004, hlm.79-80.
7. Ibid
8. Ibid, hlm.80 – 81
9. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1993, hlm.93.
10. Ibid,hlm.94
11. Joesoe Souyb, Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova,Jakarta : Bulan Bintang, Cet.Ke 1, 1997,
hlm.9.
12. Badri Yatim, op cit, hlm.95-96
13. Ibid, hlm.96.
14. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, Cet Ke 2, 2004, hlm.120.
15. Badri Yatim, op cit, hlm.99.
16. L,P Harvey, Islamic Spain, Chicago : The University Of Chichgo Press,1990, hlm.20.
17. Musyrifah Sunanto, op cit, hlm. 122-123.
18. Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet.Ke 1,
1999,hlm.598.
19. Ibid
20. Ali Shodiqin dkk, op cit, hlm.95-96.
21. Badri Yatim, op cit, hlm.101-103.
22. Philip K Hitti, History Of Arabs, London : MacMillan and Co Ltd,Cet. Ke 10, 1970, hlm.567.
23. Ali Shodiqin dkk, op cit, hlm.84-87.

DAFTAR PUSTAKA
Bullet, Ricard W, Conversion to Islam In The Medieval Period, Massachusetts : President and Fellow
Of Harvard College, 1979.
Harvey, L,P, Islamic Spain, Chicago : The University Of Chichgo,1990.
Hitti, Philip K, History Of Arabs, London : Mac Millan and co LTD,Cet. Ke 10, 1970.
Holt,P.M dkk (ed), The Cambridge History Of Islam, New York : Cambridge University Press, 1970.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, CetKe 1 ,
2007.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet.Ke 1, 1999.
Shodiqin, Ali dkk, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta :
LESFI,Cet.Ke 2, 2004.
Souyb, Joesoe, Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova,Jakarta : Bulan Bintang, Cet.Ke 1, 1997.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, Cet Ke 2, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. Nke-1, 2006.

Anda mungkin juga menyukai