Anda di halaman 1dari 21

VIRUS

DENGUE
KELOMPOK 3
Eka Elvira Mar’atus Sholechah 2004015164
Dewi Eka Apriliyani 2004015174
Nur Oktaviani Putri 2004015068
Reshi Setya Nurcahyani 2004015156

Kelas : 4A

Dosen Pengampu : Apt. Dwitiyanti., M.Farm


VIRUS DENGUE
Virus dengue adalah virus suatu penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, penyakit
yang muncul jika terkena virus ini yaitu penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus ini
pertama kali diketahui 73 tahun yang lalu saat terjadinya wabah di Nagasaki, Jepang

Di Indonesia menurut Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus demam berdarah


dengue (BDB) hingga Oktober atau pekan ke-43 tahun 2021 menunjukkan menurun jika
dibandingkan pada tahun 2020. Pada 2020, total kasus mencapai 108.303, sementara
sampai Oktober 2021, tercatat 37.646 kasus.

Merdeka. (2021). Data Kemenkes: Per Oktober 2021, Kasus DBD Jauhdi Bawah Tahun 2020.Diakses 4 April 2021,
https://www.merdeka.com/peristiwa/data-kemenkes-per-oktober-2021-kasus-dbd-jauh-di-bawah-tahun-2020.html
JURNAL 1
Perbandingan Tingkat Keparahan Infeksi Sekunder Virus
Dengue Pada Keempat Serotipe di Indonesia: Systematic Review
Tujuan : Mengetahui sebaran serotipe virus di suatu daerah, dan juga dapat menentukan patogenesis penyakit tersebut
yang dapat menimbulkan manifestasi berat pada penderita infeksi sekunder.

Halaman → 49 – 57
Tahun → 2021
Penulis → Annelin Kurniati, Ahmad Fandi, Mardhatillah Sariyanti, Ety Febrianti, Debie Rizqoh
Diakses melalui http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/1615 .
Summary Infeksi sekunder virus dengue dapat menimbulkan manifestasi ringan hingga berat. Sebaran serotipe virusdengue di berbagai
daerah berbeda-beda dan seiring waktu dapat mengalami perubahan. Terdapat empat serotype dengue, yaitu DENV-1, DENV-
2, DENV-3 dan DENV-4. Tujuan: Mengetahui sebaran serotipe virus di suatu daerah,dan juga dapat menentukan patogenesis
penyakit tersebut yang dapat menimbulkan manifestasi berat pada penderitainfeksi sekunder. Metode: Data yang diambil
adalah tingkat keparahan pada infeksi sekunder dan serotipe dengue.

Pencarian literatur dilakukan pada PMC dan chochrane. Kriteria pencarian dilakukan dengan penggunaan. Hasil: Didapatkan
387 literatur dengan 5 studi yang dilakukan analisis. Hasil analisis tersebut didapatkan bahwainfeksi sekunder lebih sering
tejadi pada pasien dengan infeksi dengue berulang dengan serotipe 2 (DENV-2), serotype 3 (DENV-3) dan serotipe 4 (DENV-
4). Simpulan: Infeksi sekunder virus dengue serotipe 2 (DENV-2) dan serotipe 3(DENV-3) yang dapat menimbulkan infeksi
dengue derajat berat.

Metode Penelitian ini dilakukan melalui pencarian literatur dengan menggunakan database PMC dan Chocrane. PICO (Populations,
penelitian Intervention, Comparison, Outcome) yang ditentukan berupa P: Pasien infeksi sekunder virus dengue sekunder. I: gejala
berat, C: gejala ringan, dan O: Perbandingan tingkat keparahan infeksi sekunder keempat serotipe virus dengue. Kriteria
inklusi pada penelitian ini tahun berupa publikasi dibatasi 5 tahun terakhir, Jurnal yang sesuai PICO, menggunakan Bahasa
Inggris, dapat diakses dengan keseluruhan (full text), menggunakan data primer dan menggunakan sampel manusia,
dilakukan di Indonesia, serta jurnal yang berfokus pada infeksi sekunder, serotipe dengue, tingkat keparahan.
Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah hanya menjelaskan salah satu jenis serotipe. Skrining penentuan literatur dilakukan
dengan menggunakan Prisma 2009 flowchart diagram dengan cara mengeliminasi jurnal yang terduplikasi, melakukan filter
sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan, skrining judul dan abstrak, serta teks keseluruhan, kemudian
dilakukan penilaian kualitas literatur yang terpilih menggunakan Central for Evidence Based Medicine (CEBM) Critical
Appraisal Checklist. Penilaian kualitas studi penting dilakukan untuk menilai relevansi penelitian berbasis bukti dengan
konteks yang dibahas dalam suatu review.
Hasil Penelitian ini merupakan tinjauan kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat keparahan infeksi
Penelitian sekunder virus dengue terhadap serotipe yang bersirkulasi di Indonesia. Saat ini terdapat empat serotipe yang dikenal
secara luas bersirkulasi di Indonesia yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.18 Berdasarkan serotipe yang diamati,
didapatkan tiga studi yang di lakukan Kosasih et al (2016), Megawati et al (2017), dan Sasmono et al (2019) menemukan
infeksi virus dengue serotipe tiga yang paling banyak ditemukan. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andriyoko et al. (2011) dan Utama et al (2019) menemukan serotipe yang dominan bersirkulasi di Indonesia adalah
serotype, Namun hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Haryanto et al (2016) di Jambi dan
Wardhani et al (2017)di Surabaya bahwa serotipe 1 yang paling dominan ditemukan.

Virus dengue memiliki genom 11 kb yang mengkode tiga protein struktural yaitu capsid (C), premembrane (I), dan envelope
(E), dan tujuh protein non struktural yaitu NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5. Keempat jenis serotipe virus
dengue dapat menimbulkan manifestasi klinis yang berbeda. Manifestasi klinis infeksi virus dengue terjadi akibat reaksi
tubuh terhadap virus yang menginfeksi. Pada kasus sekunder respon antibodi NS3 merupakan respon antibodi signifikan
dan spesifik sebagai protease virus terhadap antigen DENV-2. NS3 adalah target penting untuk sel T manusia. NS1 juga
terdeteksi pada kasus infeksi sekunder yang dapat berhubungan dengan kasus DBD, namun pada penelitian NS1 tidak
terdeteksi pada kasus primer. 20 NS1 pada DENV dapat menimbulkan kebocoran plasma, koagulasi dan trombositopenia.
NS4A, NS4B dan protein E yang disintesis DENV-2 dan DENV-3 dapat meningkatkan induksi sitokin TNF-α yang akan
menyebabkan manifestasi berat.

Infeksi virus dengue terdiri dari infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi pertama (primer) oleh salah satu dari keempat
jenis virus dengue akan menghasilkan kekebalan silang (cross protection) yang berlaku untuk keempat jenis virus dengue,
sehingga apabila terjadi infeksi kedua (sekunder) oleh virus dengue dengan tipe yang sama maka dapat menimbulkan
kekebalan seluler (cell mediated immunity) yang dapat bertahan seumur hidup.

Kesimpulan Infeksi sekunder lebih dominan terjadi kasus dengue dengan derajat keparahan yang berat. Jenis serotipe virus dengue
yang didapatkan pada infeksi sekunder lebih banyak ditemukan kasus serotipe 2, 3 dan 4 (DENV-2, DENV-3 dan DENV-4).
Infeksi sekunder virus dengue serotipe 2, 3 dan 4 dapat menimbulkan infeksi dengue derajat berat.
JURNAL 2
Gambaran IgG IgM Dengue Pada Anak Dengan Suspek Demam
Berdarah Dengue
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk Menentukan infeksi demam berdarah dengue primer pada anak berdasarkan hasil
pemeriksaan IgG IgM dengue, menentukan infeksi demam berdarah dengue sekunder pada anak berdasarkan hasil
pemeriksaan IgG IgM dengue, dan mengetahui hubungan infeksi demam berdarah dengue dengan usia anak.

Halaman → 22-27
Tahun → 2021
Penulis → Edison Harianja, Fauziyyah Surzanti, La Ode Marsudi, Didi Irwadi.
Diakses melalui http://jurnal.itkeswhs.ac.id/index.php/mlt/article/view/817
Summary Virus dengue (DENV) merupakan anggota kelompok B arbovirus dengan diameter 30 nm, bagian keluarga
(family) Flavaviridae, genus Flavavirus. Virus dengue terdiri atas empat jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi,
terutama Aedes aegypti, dan Aedes albopictus. Virus dengue dianggap sebagai virus arbovirus yaitu virus
yang ditularkan melalui arthropoda. Virus ini bisa menimbulkan infeksi primer dan infeksi sekunder. Infeksi
virus dengue menyebabkan penyakit dengan spektrum luas, diantaranya demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD), dan sindrom syok dengue (SSD).

Infeksi dengue ini sering menyerang anak usia dibawah 15 tahun dan merupakan penyebab kematian cukup
tinggi. Proporsi kasus terbanyak pada awal wabah menyerang anak berumur <15 tahun. Hal ini dikarenakan
anak usia dibawah 15 tahun memiliki tingkat imunitas yang lebih rendah dibandingkan anak usia diatas 15
tahun, sehingga mempunyai resiko lebih tinggi tertular virus dengue. Penyakit infeksi dengue timbul secara
akut dan dapat memburuk, serta sering berakibat fatal apabila terlambat tertangani.

Metode Metode penelitian yang digunakan adalah literatur review. Metode literatur review merupakan bentuk
penelitian penelitian yang dilakukan melalui penelusuran dengan membaca berbagai sumber baik buku, jurnal, dan
terbitan-terbitan lain yang berkaitan dengan topik penelitian, untuk menjawab isu atau permasalahan yang
ada. Sumber literatur yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri melalui Google Scholar, Portal Garuda,
Science Direct, Sari Pediatri, Research Gate, Elsevier, Pubmed, dan DOAJ dengan menggunakan kata
kunci IgG IgM dengue, Demam Berdarah Dengue, Anak. Penelusuran dilakukan sejak Januari 2021 sampai
dengan Juli 2021
Hasil Penelitian Meningkatnya infeksi sekunder pada anak berkaitan dengan usia anak yang masih bersekolah dan sering
bermain diluar dengan faktor daya tahan tubuh yang belum sempurna dibandingkan dengan usia dewasa,
faktor lingkungan yang dipengaruhi oleh perubahan iklim seperti curah hujan, dan faktor penularan usia anak
yang aktif bermain di sekolah maupun diluar rumah meningkatkan untuk digigit oleh nyamuk Aedes aegypti
sehingga dapat terinfeksi dengue lebih dari satu kali dengan serotipe berbeda seperti DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4.Anak-anak sering beraktivitas disekolah, dan cenderung duduk di dalam kelas dari pagi hingga
siang hari sehingga kaki mereka tersembunyi di dalam meja. Hal ini cenderung disukai nyamuk Aedes aegypti
untuk menggigit nya.

Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Demam berdarah
dengue sering terjadi pada anak usia muda karena faktor daya tahan tubuh yang belum sempurna bila
dibandingkan dengan usia dewasa. Sehingga anak beresiko lebih tinggi terkena penyakit termasuk penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue. Antibodi yang pertama kali terbentuk ketika infeksi dengue sekunder
yaitu IgG dan sudah dapat ditemukan sejak awal sakit atau awal demam. Antibodi IgG terdeteksi lebih dahulu
1-2 hari setelah tubuh terinfeksi dengue. Sementara antibodi IgM terdeteksi setelah 5-10 hari tubuh terinfeksi
dengue. IgM dan IgG yang terdeteksi pada infeksi sekunder umumnya perlu dilakukan pemeriksaan
laboraturium darah lengkap untuk melihat perkembangan infeksi demam berdarah dengue agar tidak semakin
menimbulkan manifestasi yang lebih berat.
Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa Infeksi demam berdarah dengue primer menunjukkan bahwa pasien
pertama kali terinfeksi dengue dengan hasil IgM(+) IgG(-) pada usia 5-12 tahun, infeksi demam berdarah
dengue sekunder menunjukkan bahwa pasien pernah terinfeksi dengue lebih dari satu kali dengan hasil IgM(-)
IgG(+) pada usia 5-14 tahun dan hasil IgM(+) IgG(+) pada usia 5-15 tahun, serta semakin muda usia, semakin
mudah terinfeksi demam berdarah dengue.
JURNAL 3
Lingkungan Tempat Tinggal Sebagai Faktor Resiko Infeksi Virus
Dengue Pada Anak-Anak
Tujuan : Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi terbarukan mengenai pengaruh lingkungan tempat
tinggal dengan kejadian infeksi demam berdarah masyarakat, sehingga dapat membantu melancarkan program
pemerintah dalam mengeradikasi nyamuk atau vektor yang dapat menyebabkan penyakit demam berdarah dengue.

Halaman → 1-7
Tahun → 2021
Penulis → Jefry Gilberth Koibur, Agung Bagus Sista Satyarsa, I Wayan Gustawan, I Gusti
Ngurah Sanjaya Putra, I Made Dwi Lingga Utama.
Diakses melalui http://journal.umpo.ac.id/index.php/IJHS/article/view/2984
Summary Anak-anak merupakan komoditi yang rentan mengalami infeksi dibandingkan dengan orang dewasa.
Menurut Suryantari dkk., berbagai macam faktor mempengaruhi terjadinya infeksi pada anak -anak
seperti higenitas dan kurang baiknya imunitas pada anak-anak. Hal ini akan berpengaruh pada kejadian
infeksi virus dengue pada anak-anak akan semakin tinggi. Beberapa kondisi lingkungan yang buruk,
genangan air yang tertampung dalam suatu wadah, tempat pemukiman yang padat khususnya daerah
perkotaan, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan khusunya untuk menguras bak mandi
dan gerakan pemberatasan sarang nyamuk, adalah merupakan faktor pencetus berkembang biaknya
nyamuk Ae. aegypti sebagai penyebab penyakit Demam Berdarah. Upaya-upaya pencegahan seperti
Program Pemberatasan Sarang Nyamuk (PSN) Abatasi, dan Fogging (pengasapan pada lokasi lokasi
sarang nyamuk), sudah sering dilakukan baik yang dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri atau pun
oleh pihak instansi pemerintah, namun kenyataannya penyakit tersebut masih tetap muncul bahkan
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di samping itu, mungkin diduga kuat ada pengaruh pada
aspek lingkungan Fisik, lingkungan biologi, lingkungan sosial, dan peran serta masyarakat dalam
program pemberatasan penyakit Demam Berdarah Dengue.

Metode penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian observasional analitikal dengan pendekatan cross-
sectional dimana peneliti akan melakukan pengumpulan data pada satu saat tertentu, yang dalam hal
ini bukan berarti semua subjek diamati tepat pada satu saat yang sama. Populasi dan sampel
dalam penelitian ini adalah anak-anak yang berkunjung untuk periksa kesehatan di Poli Anak,
Puskesmas Denpasar Selatan. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling,
sehingga diperoleh sampel minimal yang diperlukan sekitar 70 sampel. Adapun kriteria inklusi dan
eksklusi dalam penentuan sampel yakni untuk kriteria inklusi adalah semua pasien yang berkunjung ke
Poli Anak, sedangkan kriteria eksklusi adalah jawaban yang tidak lengkap dalam mengisi kuesioner.
Hasil Penelitian Hasil penelitian memperoleh risiko lokasi asal perkotaan dengan kejadian infeksi virus dengue ini memiliki
risiko yakni 2,7 kali dibandingkan dengan lokasi asal di pinggiran kota. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pendapat Purnama dkk., yang menyebutkan bahwa, mobilitas penduduk memudahkan penularan dari satu
tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan
kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. Keadaan dalam rumah responden secara signifikan meningkatkan
risiko kejadian demam berdarah dengue di Kota Denpasar. Tempat-tempat perindukan yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah tempat-tempat yang kurang mendapat perhatian dari petugas kesehatan
termasuk jumantik maupun anggota masyarakat. Mobilitas penduduk memiliki pengaruh terhadap risiko
infeksi virus dengue. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hubungan yang signifikan. Selain itu, risiko
yang diperoleh sebesar 3,2 kali pada penduduk dengan mobilitas padat atau tinggi dibandingkan dengan
daerah dengan penduduk mobilitas rendah. Penelitian ini juga sesuai diperoleh oleh Subagia dkk.,
memperoleh bahwa penduduk dengan mobilitas tinggi memiliki risiko sebesar 3,12 kali mengalami demam
bedarah dengue dibandingkan dengan penduduk dengan mobilitas yang rendah. Mobilitas penduduk secara
signifikan mempengaruhi kejadian DBD di Kota Denpasar ini dapat dipengaruhi oleh adanya kontak
lingkungan secara tidak langsung yang dapat menjadikan infeksi virus dengue lebih mudah terjadi.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa lingkungan tempat tinggal di wilayah perkotaan
dengan mobilitas penduduk yang tinggi menjadi faktor risiko utama terjadi infeksi virus dengue dan demam
berdarah dengue pada anak-anak di wilayah kerja Puskesmas Denpasar Selatan. Adapun beberapa
rekomendasi yang dapat diberikan oleh penulis adalah dengan memanfaatkan teknologi dan informasi oleh
petugas kesehatan dalam memaksimalkan upaya pencegahan orang tua yang memiliki anak pada
lingkungan tempat tinggal khususnya yang memiliki mobilitas penduduk yang tinggi.
JURNAL 4
Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten
Sleman
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ventilasi berkasa, kelembaban, pencahayaan dan
hubungan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian demam berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas Kalasan
Kabupaten Sleman. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian
Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman dapat dilakukan uji Chi-square dan
menggunakan uji fisher exact sebagai uji alternatif dengan instrumen yang digunakan yaitu lembar observasi.

Halaman → 19-24
Tahun → 2021
Penulis → Sucinah Wijirahayu, Tri Wahyuni Sukesi.
Diakses melalui https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/20902/14949
Summary Pada dasarnya penularan penyakit DBD ini terjadi dikarenakan adanya penderita maupun pembawa virus
dengue. Kejadian DBD terjadi karena adanya faktor pemicu seperti pendidikan, keadaan sosial ekonomi,
pengetahuan, imunitas, kelembaban udara, curah hujan, keadaan sanitasi lingkungan.4 Penularan penyakit
DBD yang paling bepengaruh yaitu dilihat dari faktor lingkungan yang meliputi lingkungan fisik, kimia dan
biologi. Lingkungan sangat berperan dalam distribusi keberadaan organisme vektor dari penyakit berbasis
lingkungan. Selain kondisi lingkungan fisik, keadaan suatu rumah juga mempengaruhi dalam penyebaran
penyakit DBD ini. Keadaan lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat memberikan peluang yang
besar terhadap terjadinya penyakit DBD. Kondisi lingkungan fisik rumah yang dimaksud yaitu ventilasi
berkasa, kelembaban, dan pencahayaan. Ventilasi merupakan suatu bangunan rumah yang mana selain
sebagai tempat sirkulasi udara dan sebagai tempat masuknya cahaya. Secara teori rumah yang tidak sehat
dapat menimbulkan berbagai macam penyakit apabila rumah tersebut tidak memiliki ventilasi yang memadai.
Keadaan rumah dengan kondisi ventilasi yang tidak terpasang kasa nyamuk akan memudahkan nyamuk
untuk masuk dan mengigit manusia yang ada di dalam rumah. Kegunaan ventilasi lainnya untuk menjaga
stabilitas suhu tubuh, mengatur suhu ruang dan juga dapat mengurangi kelembaban dan sebagai tempat
pencahayaan masuk kedalam ruangan rumah. Kelembaban suatu ruangan juga berisiko untuk
perkembangan biakan nyamuk Aedes aegypti. Karena kelembaban merupakan salah satu kondisi lingkungan
yang mana dapat mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk dan umur nyamuk karena seperti yang
diketahui sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa-pipa udara. Kelembaban udara yang optimal untuk
ketahanan nyamuk untuk berkembang biak sekitar 81,5% hingga 89,5%. Pencahayaan seperti yang diketahui
nyamuk menyukai tempat yang memiliki pencahayaan yang minim yaitu kurang dari 60 lux dan menjadikan
tempat yang minim cahaya tersebut sebagai tempat istirahatnya dan mempengaruhi aktifitas nyamuk
tersebut.
Metode penelitian Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan menggunakan rancangan penelitian Case
Control, yaitu suatu rancangan penelitian yang membandingkan antara kelompok kasus dengan
kelompok kontrol untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya paparan8.
Subyek yang digunakan sebanyak 32 sampel dengan pebandingan kasus kontrol adalah 8 kasus
dan 24 kontrol. pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yaitu teknik penentuan
sampel dengan beberapa pertimbangan. Untuk pengambilan sampel kasus diperoleh dari data
Puskesmas Kalasan untuk bulan Agustus 2018 sedangkan untuk menentukan kontrol dilakukan
proses matching antara subyek yang kasus dengan subyek yang kontrol. Instrumen yang digunakan
yaitu lembar observasi dan check list. Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah kondisi
lingkungan fisik rumah yang meliputi ventilasi berkasa, kelembaban, dan pencahayaan.
Hasil Penelitian 1) Hubungan antara ventilasi berkasa dengan kejadian Demam Berdarah Dengeu di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Kalasan menunjukan bahwa kondisi ventilasi berkasa rumah responden yang menderita DBD
dengan yang tidak menderita DBD sebagian rumah ada yang dipasang kasa nyamuk, namun sebagian
besar responden kebanyakan ventilasi rumahnya tidak menggunakan kasa nyamuk. Keberadaan ventilasi
pada suatu bangunan selain untuk pencahayaan juga digunakan sebagai tempat pertukaran udara dan
ventilasi dapat dimanfaatkan oleh vektor untuk keluar masuk ke dalam rumah. Kasa nyamuk atau kawat
kasa merupakan salah satu alat pelindung yang terbuat dari besi yang dipasangkan pada ventilasi.
Pemakaian kasa pada ventilasi yaitu sebagai salah satu upaya pencegahan penularan penyakit DBD yang
mana penggunaan kasa ini bertujuan agar nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah dan menggigit
manusia. Selain penggunaan kasa nyamuk pada ventilasi beberapa kebiasaan masyarakat dilapangan
yang juga menjadi faktor penyebaran vektor DBD yaitu kebiasaan membuka pintu dan jendela di pagi-
siang hari. Untuk mencegah masuknya vektor DBD sebaiknya ventilasi dilapisi dengan kasa nyamuk serta
tidak membuka pintu dan jendela sehingga kemungkinan nyamuk untuk masuk ke dalam rumah dan
mengigit manusia akan semakin kecil

2) Hubungan antara kelembaban dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas
Kalasan Kabupaten Sleman. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian
DBD ini dikarenakan kondisi kelembaban yang hampir sama antara kelembaban di rumah responden yang
menderita DBD dengan rumah responden yang tidak menderita DBD. Secara deskriptip rata-rata
kelembaban yang didapatkan pada saat penelitian di rumah responden baik yang kasus maupun kontrol
menujukan hasil yang sama yaitu <60%.
Hasil Penelitian 3) Hubungan antara pencahayaan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja
Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman. Rumah dengan pencahayaan yang kurang serta ditambahnya
dengan penghuni rumah yang padat dan memiliki kebiasan yang dapat mendukung perkembangbiakan
dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti dan ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Purba18 yang
menyatakan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk untuk beristirahat pada suatu
tempat, bila intensitas cahaya rendah dan kelembaban yang tinggi maka kedua hal ini menjadikan kondisi
yang baik untuk perkembanganan dan penyebaran nyamuk. Pada intensitas cahaya yang rendah nyamuk
akan berterbangan serta larva nyamuk akan bertahan lebih lama di suatu ruangan dalam kontainer
apabila keadaanya gelap.

Kesimpulan Hasil analisis data dan pembahasan pada hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian
demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut

1) Ada hubungan antara ventilasi berkasa dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja
Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman.

2) Tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja
Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman.

3) Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja
Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman Saran.
JURNAL 5
Analisis Sebaran Spasial Kerawanan Penyakit Demam Berdarah
Dengue Tahun 2010 – 2019 di Kota Banda Aceh
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis sebaran spasial kerawanan demam
berdarah dengue di Kota Banda Aceh berdasarkan data sekunder tahun 2010 – 2019. Data yang dipergunakan untuk
menganalisis sebaran spasial DBD ini adalah curah hujan bulanan, kelembaban udara bulanan, suhu udara bulanan, dan
kepadatan penduduk

Halaman → 1607-1615
Tahun → 2021
Penulis → Asniati, SM Indirawati, B Slamet
Diakses melalui http://www.ojs.serambimekkah.ac.id/jse/article/view/2650
Summary Curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kepadatan penduduk dapat mempengaruhi
parasit dan vector DBD. Genangan air yang disebabkan oleh turunnya hujan dapat menjadi media
perkembangbiakannya nyamuk sedangkan kelembaban dibawah 60% akan menghambat dan
memperpendek umur nyamuk. Curah hujan, kelembaban, suhu dan kepadatan penduduk adalah
faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh terhadap peningkatan dan penularan penyakit
DBD. Cara penyimpanan air yang salah pada saat musim kemarau akan menjadi breeding place
yang dapat menambah populasi nyamuk. Selain itu populasi nyamuk juga bisa meningkat apabila
curah hujan kecil terjadi dalam waktu yang lama. Pada suhu kurang dari 20 ºC siklus reproduksi
dan fertilasi nyamuk betina akan berkurang. Selain itu kasus DBD juga akan semakin tinggi jika
kepadatan penduduk pada suatu wilayah semakin tinggi.

Perkembangan pemanfaatan Geographic Information System (GIS) untuk analisis spasial (spatial
analysis) sudah sedemikian luas. Dalam bidang kesehatan, pemanfaatan GIS sangat besar dalam
pemantauan sebaran suatu penyakit dalam suatu wilayah. Salah satu penyakit yang bisa
dianalisis sebaran spasialnya adalah kasus DBD. Data dan Informasi yang berkaitan dengan
penyakit DBD seperti jumlah penderita, lokasi penderita dan fasilitas kesehatan dapat simpan,
dianalisis dan kemudian bisa dipanggil kembali dengan lebih cepat dan dapat disajikan sebagai
informasi baru berbasis spasial (peta). Penyajian data terkait kasus DBD dalam bentuk Peta,
seperti kerawanan DBD, jumlah kasus per keluraham/kecamatan dan ketersediaan fasilitas
kesehatan akan lebih informative bagi dinas terkait dibandingkan penyajian dalam bentuk grafik
maupun tabel. Dengan mengetahui sebaran spasialnya maka akan memudahkan dalam
penanganan DBD dan pencegahan penyebaran DBD.
Metode penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data series curah hujan bulanan, kelembaban udara
bulanan, suhu udara bulanan, dan kepadatan penduduk. Data time series yang digunakan adalah
data dari Tahun 2010 sampai 2019 yang diperoleh dari data sekunder dari instansi terkait. Penelitian
dilaksanakan di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Secara administrasi Kota Banda Aceh dibagi
menjadi 9 kecamatan dan sebanyak 90 kelurahan.
Hasil Penelitian 1. Curah Hujan .Hasil analisis terhadap data curah hujan yang diperoleh dari 9 stasiun curah hujan
selama kurun waktu dari tahun 2010 sampai 2019 di Kota Banda Aceh, yaitu stasiun Baiturrahman,
Banda Raya, Jaya Baru, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Lampineung, Meuraxa, dan Ulee
Kareng. memperlihatkan bulan puncak curah hujan dan puncak kasus DBD dari tahun 2010 sampai
dengan Tahun 2019. Sebagian besar bulan puncak curah hujan terjadi pada bulan November.
Puncak kasus DBD sebagian besar terjadi pada saat bulan puncak curah hujan, yaitu pada bulan
November, Desember, dan Januari. Adapun puncak kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2010
sampai dengan Tahun 2014. Kemudian kasus DBD menurun dari tahun 2015 sampai tahun 2018
dan naik kembali pada Tahun 2019, sedangkan kasus DBD terendah di tahun 2018.

2. Kelembaban. Bulan kelembaban tertinggi dan puncak kasus DBD dalam satu tahun kalender dari
tahun 2010 sampai 2019. Puncak kasus DBD sebagian besar terjadi pada saat bulan dengan tingkat
kelembaban tertinggi, yaitu pada bulan September, Oktober, November, Desember, dan Januari.
Korelasi antara kelembaban dengan kasus DBD yang tertinggi adalah antara kasus DBD dengan
kelembaban satu bulan sebelumnya, dengan korelasi 0,7727 atau 77,27 %. Kasus DBD dengan
kelembaban pada bulan yang sama hanya 42,06 % dan kasus DBD dengan kelembaban 2 bulan
sebelumnya adalah 53,17 %.
Hasil Penelitian 3. Suhu. Tingkat suhu dan jumlah Kasus DBD tertinggi terjadi pada suhu 26 °C – 27 °C. Dari tahun 2010
sampai Tahun 2019 Kasus DBD tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan suhu rata – rata 26,4 °C.
selanjutnya puncak kasus DBD tertinggi kedua terjadi pada bulan Desember dengan suhu rata – rata 26,8
°C dan kasus DBD tertinggi ketiga terjadi pada bulan Februari dengan suhu rata – rata 26,6 °C.

4. Peta Kerawanan. Hasil analisis spasial sebaran kerawanan DBD diperoleh wilayah yang mempunyai
kerawanan tinggi di kota banda Aceh adalah Kecamatan Jaya Baru, Baiturrahman, Kuta Alam dan Syiah
Kuala. Kecamatan Kuta Alam termasuk kecamatan dengan laporan kasus DBD tertinggi di Kota Banda
Aceh (Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2019). Salah satu penyebab maraknya kasus DBD di
Kecamatan Kuta Alam adalah pemukiman yang sangat padat dengan kondisi saluran air yang tidak
memadai. Keberadaan pasar induk di Kecamatan Kuta Alam sebagai tempat berkumpulnya para
pedagang dan pembeli dari seluruh wilayah Kota Banda Aceh menghasilkan banyak sampah dan terjadi
genangan air. Dengan tingkat kerawanan yang tinggi ini, maka di kecamatan perlu ada kegiatan rutin
fogging nyamuk demam berdarah.

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peta spasial yang
dihasilkan dari tahun 2010 – 2019 Kota Banda Aceh Sebagian besar berwarna merah, artinya Kota Banda
Aceh termasuk ke dalam wilayah dengan tingkat kerawanan DBD beresiko tinggi. Parameter curah hujan,
suhu, kelembaban dan kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Banda Aceh di
dukung dengan uji statistik korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus DBD berkorelasi dengan
curah hujan sebesar 25,07 %. Kasus DBD berkorelasi dengan kelembaban yaitu sebesar 42,06%.
Sedangkan korelasi antara suhu dengan kasus DBD adalah -47,26%. Hasil analisis spasial kerawanan
DBD menunjukkan bahwa kerawanan DBD tinggi terdapat di Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan
Baiturrahman, Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Syiah Kuala.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai