Anda di halaman 1dari 79

PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA

TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN

WULANDARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Status


Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Wulandari
NIM I34100070
iv
v

ABSTRAK

WULANDARI. Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah


Dini di Perdesaan. Di bawah bimbingan SARWITITI SARWOPRASODJO.

Pernikahan yang dilakukan pada perempuan di bawah umur berkaitan


dengan kesiapan fisik maupun psikis yang belum mencapai kematangan termasuk
pembentukan identitas diri maupun sosial individu sebagai remaja yang berada
pada masa pencarian identitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi motif-motif dan faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini
yang terjadi, serta menganalisis hubungannya terhadap pembentukan identitas.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik purposive sampling dengan
jumlah responden sebanyak 30 orang. Pengujian pengaruh antara variabel faktor-
faktor menikah dini terhadap motif menikah dini dilakukan dengan menggunakan
uji regresi berganda, sedangkan variabel pembentukan identitas diuji melalui
pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi dilatarbelakangi oleh motif remaja untuk memenuhi
kebutuhan akan keamanan, sosial, dan harga diri. Pembentukan identitas yang
terbentuk pada remaja putri yang melakukan menikah dini ialah pembentukan
identitas diri kuat dan pembentukan identitas sosial lemah.

Kata kunci: Pernikahan dini, Faktor-faktor menikah dini, Motif menikah dini,
Pembentukan identitas

ABSTRACT
WULANDARI. The Influence of Economic Family State towards Motive of
Early Marriage in Rural Area. Supervised by SARWITITI
SARWOPRASODJO.

A marriage of under age women related with physical as well as


psychological state of readiness which have not reached maturity include the
formation of self identity and social identity as an adolescence that in fact are on
the search for identity. The purpose of this research is to identify the motives and
factors which aspects influenced early marriages that occurred, as well as
analyzing its relationship towards the formation of identity. The research was
carried out using survey research methods. Data collection was done using a
purposive sampling technique with 30 respondents. Influence testing between
variables factors of early married toward motives of early married conducted
using test of multiple regression while formation of identity tested through by
qualitatif description. The result showed that early marriage occurred by
adolescence motives to fulfill the security, social, and self esteem. The identity
formation related in adolescence who married early is strong formation self
identity and weak formation social identity.

Keywords: Early marriage, Factor-factor of early marriage, Motives of early


marriage, Identity formation.
vii

PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA TERHADAP


MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN

WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
ix

Judul Skripsi : Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah


Dini di Perdesaan
Nama : Wulandari
NIM : I34100070

Disetujui oleh

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _______________


x
xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif
Menikah Dini di Perdesaan” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan
syarat kelulusan sebagai Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi pernikahan dini yang masih
marak terjadi pada remaja putri perdesaan dan menganalisis pengaruhnya terhadap
pembentukan identitas remaja putri.
Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1) Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian skripsi ini.
2) Ibu Ratri Virianita, S.sos, M,Si selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir
Murdianto, M.Si selaku penguji akademik yang telah memberikan masukan
dan saran bagi perbaikan skripsi ini.
3) Mama Lina Rodiah, Teteh Purwaningsih serta Bapak Moh. Nurdin atas
semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran
penulisan skripsi ini.
4) Almarhum Papa Jana Kristiana dan Almarhum Abah Moch. Kasdi yang
senantiasa menemani dan menyemangati penulis lewat mimpi.
5) Lathiffida Noor Jaswandi, Citra dewi, dan Mugi lestari selaku sahabat
terdekat penulis yang senantiasa mengingatkan untuk tetap semangat dan
tidak mudah menyerah.
6) Dinasti Tri Ranti selaku teman seperjuangan dalam penelitian dan keluarga
Bapak Tholib yang telah berbaik hati membantu penulis selama penelitian.
7) Aparat KUA Kecamatan Anjatan, Aparat desa dan masyarakat Desa Anjatan
Utara atas kerjasama yang baik selama pengumpulan data.
8) Achmad Fauzi dan Sekar Anjani selaku teman satu bimbingan.
9) Dwi izmi, Saefihim dan Keluarga besar SKPM angkatan 47 yang telah
bersedia memberikan semangat, doa, dan dukungan, serta berkenan menjadi
rekan yang baik untuk bertukar pikiran.
Penulis menyadari bahwa karya ini terdapat banyak kekurangan, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini
nantinya dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juli 2014

Wulandari
xii
xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Pernikahan Dini 5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini 6
Perilaku dan Motif Perilaku 7
Remaja 9
Identitas Diri 10
Identitas Sosial 11
Kerangka Penelitian 12
Hipotesi Penelitian 13
Definisi Operasional 14
PENDEKATAN LAPANGAN 17
Metode Penelitian 17
Lokasi dan Waktu Penelitian 17
Teknik Pengambilan Sampel 17
Teknik Pengumpulan Data 18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 18
PROFIL DESA ANJATAN UTARA 21
Kondisi Geografis 21
Kondisi Demografi 22
Kondisi Sosial Budaya 25
Kondisi Sosial Ekonomi 26
Ikhtisar 26
GAMBARAN UMUM PELAKU PERNIKAHAN DINI 29
Pernikahan Dini yang Terjadi 29
Karakteristik Sosio Ekonomi 29
Karakteristik Biososial 33
Karakteristik Lingkungan 33
Motif yang Melatarbelakangi Pernikahan Dini 34
Tingkat Kejadian Perceraian 38
Ikhtisar 39
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MENIKAH DINI TERHADAP MOTIF 40
MENIKAH DINI
Pengaruh Tingkat Pendidikan Pelaku terhadap Motif Menikah Dini 42
Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua Pelaku terhadap Motif Menikah 42
Dini
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini 43
Pengaruh Umur Menstruasi Pertama terhadap Motif Menikah Dini 44
xiv

Pengaruh Tingkat Keyakinan Norma terhadap Motif Menikah Dini 44


Ikhtisar 45
PEMBENTUKAN IDENTITAS REMAJA PUTRI PELAKU 47
PERNIKAHAN DINI
Pembentukan Identitas Diri pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini 47
Pembentukan Identitas Sosial pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan 49
Dini
Ikhtisar 50
SIMPULAN DAN SARAN 51
Simpulan 51
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 57
RIWAYAT HIDUP 63
xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Luas lahan dan persentase pemanfaatan lahan Desa Anjatan 21


Utara, 2013
Tabel 2 Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga (KK) Desa 22
Anjatan Utara, 2014
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara 23
berdasarkan tingkat pendidikan, 2014
Tabel 4 Sebaran penduduk Desa Anjatan Utara menurut jenis pekerjaan, 24
2014
Tabel 5 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 30
Utara berdasarkan tiga golongan usia remaja, 2014
Tabel 6 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 30
Utara menurut usia saat menikah, 2014
Tabel 7 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 31
Utara menurut tingkat pendidikan, 2014
Tabel 8 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 31
Utara menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, 2014
Tabel 9 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 32
Utara berdasarkan status ekonomi keluarga, 2014
Tabel 10 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 33
Utara menurut usia menstruasi pertama, 2014
Tabel 11 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan Desa Anjatan Utara 34
menurut tingkat keyakinan terhadap norma, 2014
Tabel 12 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 35
Utara menurut tingkat motif menikah dini, 2014
Tabel 13 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 35
Utara menurut tingkat motif fisiologi, 2014
Tabel 14 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 36
Utara menurut tingkat motif rasa aman, 2014
Tabel 15 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 36
Utara menurut tingkat motif sosial, 2014
Tabel 16 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 37
Utara menurut tingkat motif harga diri, 2014
Tabel 17 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 37
Utara menurut tingkat motif aktualisasi diri, 2014
Tabel 18 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 38
Utara menurut status pernikahan, 2014
Tabel 19 Nilai koefisien regresi berganda antara faktor-faktor menikah 41
dini terhadap motif menikah dini, 2014
Tabel 20 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 47
Utara berdasarkan pembentukan identitas diri dan identitas
sosial, 2014
Tabel 21 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 48
Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikator-
indikator identitas diri, 2014
xvi

Tabel 22 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 49


Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikator-
indikator identitas diri, 2014

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka penelitian pengaruh pernikahan dini terhadap 13


pembentukan identitas remaja putri perdesaan
Gambar 2 Peta Desa Anjatan Utara 59
Gambar 3 Salah satu responden yang terpaksa putus sekolah dan 60
memutuskan untuk menikah diusia dini
Gambar 4 Salah satu responden yang terpaksa menjanda diusianya 60
yang masih muda
Gambar 5 Kondisi gang dan pemukiman masyarakat Desa Anjatan 60
Utara
Gambar 6 WC umum yang digunakan masyarakat Desa Anjatan 60
Utara
Gambar 7 Bank keliling sebagai salah satu lembaga ekonomi yang 61
dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidup
Gambar 8 Sungai menjadi sumber mata air bagi masyarakat 61
Gambar 9 Salah satu responden yang sudah menjalankan peran 61
sebagai ibu diusianya yang masih muda
Gambar 10 Usaha pembuatan batu bata dipinggiran sungai sebagai 61
salah satu usaha yang dijalankan oleh masyarakat Desa
Anjatan Utara

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi Penelitian 59
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian 60
Lampiran 3 Daftar Nama Responden 62
xvii

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus


dihadapi sebagian remaja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Diperkirakan
lebih dari 60 juta perempuan yang berusia 20-24 tahun di seluruh dunia menikah
sebelum mencapai usia 18 tahun. Secara nasional, jumlah kasus pernikahan dini di
Indonesia mencapai 1 359 kasus dengan rata-rata usia perkawinan di bawah usia
19 tahun (Zai 2012). Secara umum pernikahan dini cenderung terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Data Susenas (2006) menunjukkan bahwa
sebesar 68.88 persen perempuan telah menikah pada usia 10 tahun ke atas,
sementara laki-laki hanya sekitar 59.88 persen. Persentase pernikahan dini
tersebut secara umum terjadi di wilayah perdesaan. Analisis Survei Penduduk
Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005 yang dikutip Fadlyana dkk (2009)
menunjukkan bahwa pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di
perdesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun terdapat perbedaan yang cukup
tinggi yaitu 5.28 persen di perkotaan dan 11.88 persen di perdesaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan usia muda di perdesaan lebih
banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda dibandingkan perempuan
usia muda di perkotaan.
Keberadaaan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 No 1 bab II pasal 7
ayat 1 maupun ketetapan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) terkait
pembatasan minimal usia untuk melangsungkan pernikahan nyatanya tidak
memberikan dampak positif pada penekanan pernikahan dini di Indonesia.
Penelitian Zai (2012) menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian pernikahan
pada perempuan di bawah usia 20 tahun, yakni 4.8 persen pada usia 10-14 tahun
dan 41.9 persen pada usia 15-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa pernikahan
dini yang terjadi tidak dapat di batasi hanya oleh suatu peraturan. Pernikahan dini
yang terjadi merupakan suatu perilaku yang dipengaruhi oleh berbagai faktor-
faktor pendorong.
Faktor-faktor pendorong di setiap wilayah kejadian pernikahan dini
nyatanya memiliki keragaman. Jannah (2012) menemukan bahwa pernikahan dini
yang terjadi pada remaja perdesaan di Madura pada umumnya didorong oleh
kondisi ekonomi keluarga dan rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh baik
orangtua maupun remaja. Keluarga dari kalangan status ekonomi bawah dengan
mayoritas orangtua berpendidikan rendah secara sengaja menikahkan anak
perempuannya pada usia muda agar dapat meringankan beban keluarga. Penelitian
lain yang dilakukan Bayisenge (2009) menunjukkan bahwa nilai sosial budaya
yang ada berupa legitimasi sistem patriarki, pembentukan makna bersama terkait
nilai seorang gadis remaja serta praktik budaya mutilasi alat kelamin perempuan
menjadi pendorong pernikahan dini di wilayah Afrika. Pemaknaan negatif
masyarakat mengenai gadis remaja yang belum menikah dan pelabelan manja
pada gadis yang menempuh pendidikan tinggi mendorong orangtua akan sesegera
mungkin menikahkan anak perempuan mereka walau masih berusia remaja,
2

karena jika tidak dilakukan maka hal tersebut akan menjadi aib dan beban bagi
keluarga. Landung dkk (2009) menunjukkan bahwa dorongan rasa kemandirian
dan keinginan bebas pada remaja putri menjadi faktor pendorong pernikahan dini
pada masyarakat Kecamatan Sangalangi, Toraja.
Faktor-faktor pendorong tersebut erat kaitannya dengan motif individu
remaja putri dalam memutuskan untuk menikah dini. Penelitian Rusiani (2013)
menemukan bahwa motif menikah dini merupakan dorongan pada individu pelaku
pernikahan dini yang melatarbelakangi tingginya kejadian pernikahan dini di Desa
Girikarto, Kabupaten Gunung Kidul. Motif memenuhi kebutuhan dasar, sosial,
rasa aman dan harga diri menjadi dorongan yang kuat pada diri individu pelaku
pernikahan dini. Nyatanya, pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja putri
menimbulkan beberapa permasalahan fisiologi bagi para pelakunya. Sebagaimana
yang dinyatakan Jannah (2012) bahwa pernikahan yang dilakukan remaja putri
pada usia terlalu dini berpotensi pada kerusakan alat reproduksi yang disebabkan
oleh hubungan seks yang terlalu dini. Fadlyana dkk (2009) menyebutkan bahwa
anatomi tubuh remaja yang belum siap untuk proses mengandung maupun
melahirkan, berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstetric fistula. Data
United Nations Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa
15-30 persen persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik,
yaitu obstetric fistula1.
Masalah lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini ialah permasalahan
secara psikologis bagi para pelakunya. Pernikahan dini yang terjadi tidak jarang
berkontribusi pada tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa pernikahan
dini yang dilakukan memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja
dalam negosiasi dan pengambilan keputusan hidup. Hal tersebut berkaitan dengan
ketidakmampuan remaja putri dalam menyampaikan pendapat maupun sikapnya
ketika menghadapi permasalahan hidup, sehingga terjadi dominasi pasangan
(suami) yang lebih dewasa. Hal tersebut dijelaskan oleh Hermawan (2010) bahwa
kematangan diri remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan
antara suami-istri yang berujung pada perceraian dini. Oleh sebab itu, tidak jarang
ditemui remaja putri yang sudah menjanda pada usia yang masih muda.
Selain itu, pernikahan dini yang terjadi tak jarang merupakan pernikahan
yang dilakukan di bawah tangan. Hal tersebut berkaitan dengan pemaknaan
negatif pada diri remaja putri yang melakukan menikah dini. Pemaknaan negatif
tersebut berhubungan dengan pemaknaan diri individu maupun pemaknaan diri
sosial pelaku pernikahan dini. Hal ini berkaitan dengan pembentukan identitas diri
dan identitas sosial seorang remaja putri. Keberadaan individu remaja pada tahap
identitas versus kebingungan identitas (identity vs identity confusion) merujuk
pada masa dimana remaja harus memutuskan siapa dirinya (keberadaan diri), apa
dan bagaimana dirinya mencapai masa depannya (Steinberg 1993). Selain itu,
Purwadi (2004) menyebutkan bahwa keberadaan remaja sebagai individu pada
masa transisi mengakibatkan remaja akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan
beserta proses sosial yang ada. Oleh karena itu, akan terjadi krisis identitas yang
timbul akibat dari konflik internal antara keberadaannya sebagai remaja dan
statusnya sebagai seseorang yang telah menikah di usia yang masih sangat muda..
1
Obstetric fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin
atau feses ke dalam vagina.
3

Masalah tersebut menjadi perhatian dan perlu segera mendapat penyelesaian


yang baik, sebab jika krisis identitas tersebut tidak segera diselesaikan maka akan
menjadi sumber stress bagi remaja dalam menjalankan peran yang dimilikinya
(Sussman 2000 dikutip Baron dan Bryne 2003). Terlebih terkait keberadaan
individu sebagai remaja juga bagian dari suatu masyarakat, seorang individu
remaja diharapkan memiliki kesamaan identitas dengan identitas yang dimiliki
oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting untuk diteliti mengenai
pembentukan identitas baik diri maupun sosial pada remaja putri pelaku
pernikahan dini serta hubungan antara faktor-faktor pendorong pernikahan dini
dengan motif menikah dini.

Rumusan Masalah

Skinner yang dikutip Notoadmojo (2003) menjelaskan bahwa perilaku


merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar.
Perilaku yang muncul bisa berupa perilaku alami atau bisa juga berupa perilaku
operan (Skinner dikutip Walgito 1999). Menikah diusia dini merupakan perilaku
operan yang dipelajari melalui belajar sosial. Sebagaimana perilaku pada
umumnya, menikah dini juga dipengaruhi oleh motif-motif individu dalam
mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu pengertian yang meliputi semua
penggerak, alasan-alasan dan dorongan-dorongan dalam diri manusia yang
mengakibatkan dirinya berperilaku (Gerungan dikutip Santoso 2010). Masing-
masing individu memiliki motif-motif sendiri yang mendorongnya untuk menikah
dini. Keragaman motif individu tersebut menjadi hal yang penting untuk diteliti
berkaitan dengan maraknya menikah dini yang terjadi pada remaja putri
perdesaan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis
motif apa yang mempengaruhi remaja putri perdesaan dalam menikah dini?
Pernikahan dini yang terjadi memberikan berbagai permasalahan bagi
remaja putri yang melakukannya, baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana
dijelaskan oleh Bayisenge (2010) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi baik resmi maupun tidak resmi akan memberikan
dampak pada pelanggaran hak-hak remaja putri karena menghalangi seorang
remaja putri dari kebebasan, kesempatan untuk membangun diri dan hak-hak
lainnya termasuk hak atas kesehatan alat reproduksi, kesejahteraan, pendidikan
maupun partisipasi dalam masyarakat. Masalah-masalah yang ditimbulkan tidak
lain dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan orangtua,
remaja maupun masyarakat terkait masalah tersebut. Penelitian Achmad (2011)
menyebutkan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri di Indonesia
tidak lain dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong. Faktor-faktor tersebut
memberikan dorongan atau motif remaja untuk menikah dini. Oleh karena itu,
menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis faktor-faktor apa yang
mempengaruhi motif remaja putri perdesaan dalam menikah dini?
Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perjalanan kehidupan
manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak-
kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab. Santrock
(1998) menyebutkan bahwa pada masa tersebut seorang individu dipandang
sedang mengalami masa evaluasi dan penentuan statusnya di masa depan.
4

Pernikahan dini yang marak terjadi pada remaja putri perdesaan merujuk pada
perilaku sosial masyarakat yang dimaknai secara bersama. Pemaknaan tersebut
berkaitan dengan pemaknaan individu remaja terhadap identitas dirinya maupun
identitas sosialnya. Perilaku sosial tersebut dipengaruhi oleh dorongan atau motif-
motif individu remaja dalam menikah dini. Keberadaan remaja sebagai individu
yang berada pada masa transisi dengan segala motif individu yang mendorong
perilaku sosialnya tersebut berkaitan dengan pemaknaan atas diri maupun
sosialnya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis
bagaimana pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang melakukan
pernikahan dini?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka secara umum penelitian


ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan
identitas remaja putri perdesaan. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis motif-motif yang mempengaruhi remaja putri perdesaan
dalam menikah dini.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi motif remaja putri
perdesaan dalam menikah dini.
3. Menganalisis pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang
melakukan pernikahan dini.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kajian


pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang menikah
dini. Secara spesifik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa
pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pustaka dalam khasanah
penelitian mengenai pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja bagi
akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai pernikahan dini dan
pembentukan identitas remaja.
2. Bagi pembuat pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
khususnya BKKBN dalam pembuatan kebijakan yang tepat terkait penekanan
jumlah pernikahan dini dalam rangka menangani jumlah penduduk. Penelitian
ini juga diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam memahami pembentukan
identitas pada remaja guna membangun generasi bangsa yang beridentitas.
3. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai faktor-
faktor menikah dini, motif remaja dalam menikah dini dan kaitan hubungan
pernikahan dini terhadap pembentukan identitas remaja.
5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pernikahan Dini

Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 No.1 Pasal 1 menyebutkan bahwa


perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan lebih lanjut pada pasal
7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Berdasarkan definisi tersebut, Landung dkk (2009) menyimpulkan bahwa
pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang
perkawinan disebut dengan istilah pernikahan dini. Sejalan dengan definisi
tersebut, NGO (2002) menyebutkan bahwa Pernikahan dini merupakan
pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada usia 11-16 tahun.
Batasan usia yang lebih tua terkait pernikahaan dini dijelaskan oleh
Bayisenge (2010), pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi pada gadis di
bawah usia 18 tahun (baik resmi maupun tidak resmi). Definisi tersebut sejalan
dengan definisi pernikahan dini yang dijelaskan oleh UNICEF (2001), early
marriage atau pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada
usia kurang dari 18 tahun, dimana belum adanya kesiapan baik fisik maupun
psikologi dari gadis tersebut. Penelitian Jannah (2012) juga menyebutkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi merupakan pernikahan yang dilakukan gadis remaja
pada usia terlalu muda, sehingga tidak ada/kurang ada kesiapan biologis,
psikologis maupun sosial. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan pernikahan dini merupakan pernikahan yang
dilakukan oleh gadis remaja di bawah usia 18 tahun, dimana belum adanya
kesiapan fisik, psikologi maupun sosial.
Penelitian Jannah (2012) menyebutkan bahwa dari segi psikologi,
sosiologi maupun hukum Islam, pernikahan dini terbagi menjadi dua kategori,
yakni:
1. Pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni
dilaksanakan oleh kedua belah pihak (baik laki-laki maupun perempuan)
untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata
hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua
mempelai.
2. Pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada
hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis
dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk menutupi
perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat
adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini,
tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama melakukan
semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia
dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya.
6

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini

Achmad (2011) menyebutkan bahwa fenomena pernikahan dini yang


banyak terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu
diantaranya adalah faktor pergaulan bebas di kalangan remaja. Namun, Ahmad
(2011) juga menyebutkan masih terdapat beberapa faktor lainnya yang kuat dalam
mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini yang terjadi berkaitan
dengan keadaan sosio ekonomi remaja yakni meliputi tingkat pendidikan remaja,
tingkat pendidikan orangtua, dan status ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan
merupakan faktor penting dalam logika berpikir untuk menentukan perilaku
menikah di usia muda, perempuan yang berpendidikan rendah pada umumnya
menikah dan memiliki anak di usia muda (Widhaningrat dan Wiyono 2005).
Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan
orang tua, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat
pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait kesehatan reproduksi pada remaja
putri maupun dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Jannah (2012)
menegaskan bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu pendorong
terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat
SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak
mengetahui adanya akibat dari pernikahan di usia muda ini.
Penelitian Landung dkk (2009) menemukan bahwa adanya keinginan pada
remaja untuk dapat membantu perekonomian keluarga. Faktor ini berhubungan
dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Keadaan sosial ekonomi keluarga
yang rendah dimana orang tua tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara optimal sehingga mendorong remaja untuk
memutuskan menikah diusia dini. Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012)
menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya
pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban
ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini berkaitan dengan faktor ekonomi
keluarga, dimana pernikahan dini dianggap sebagai cara meringankan beban
keluarga. Anggapan bahwa jika seorang remaja putri sudah menikah, maka akan
tanggung jawabnya akan dialihkan kepada suaminya. Bahkan para orang tua yang
menikahkan anaknya di usia dini juga berharap jika anaknya sudah menikah akan
dapat membantu meningkatkan kehidupan orang tuanya.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja putri
ialah faktor biososial yang meliputi umur menstruasi pertama. Menstruasi pertama
merupakan salah satu tanda bahwa seorang gadis berada pada masa pubertas.
Masa pubertas merupakan masa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik
yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksual seorang remaja (Zai 2012).
Terjadinya menstruasi merupakan awal berfungsinya organ-organ reproduksi
seorang remaja. Apabila remaja tidak memiliki pengetahuan yang baik dan benar,
maka hal ini dapat menjadi sumber masalah bagi remaja terkait perilaku
seksualnya (Soejoeti 2001). Terutama bagi remaja putri, ini memiliki arti bahwa
seorang remaja putri sudah dapat mengalami kehamilan. Jika terjadi kehamilan
yang tidak diinginkan, maka pernikahan dini cenderung menjadi pilihan jalan
keluar. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur menstruasi pertama mempercepat
7

remaja memiliki pengalaman seksual dini yang menyebabkan kehamilan,


sehingga menggiring remaja perempuan ke dalam pernikahan dini.
Penelitian Zai (2012) menemukan bahwa umur menstruasi pertama yang
semakin cepat akan mempercepat seorang remaja memasuki pernikahan. Dengan
demikian, pernikahan dini rawan terjadi pada remaja dengan umur menstruasi
pertama yang cepat. Masih terdapatnya nilai budaya yang menganggap
kedewasaan seorang perempuan diukur dari kemampuannya untuk dapat
melahirkan seorang anak yang ditandai dengan menstruasi pertama,
mengakibatkan kejadian pernikahan dini lebih cepat terjadi pada remaja dengan
umur menstruasi pertama cepat. Sebagaimana yang terjadi pada remaja putri di
Afrika, penelitian Bayisenge (2010) menunjukkan masih terdapat budaya mutilasi
alat kelamin perempuan yang sudah menstruasi dan belum menikah sebagai cara
untuk mengontrol perilaku seks remaja putri. Oleh karena itu, tidak sedikit
orangtua akan segera menikahkan anak gadisnya sebagai perlindungan utama dari
budaya yang ada terkait perilaku seks remaja yang sudah mengalami menstruasi
pertama.
Penelitian Landung dkk (2009) menyebutkan bahwa keberadaan budaya lokal
(Parampo Kampung) pada masyarakat kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana
Toraja memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga
masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap pasangan yang
melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang
menyebabkan kaum pemuka adat tidak merniliki kemampuan untuk dapat
mengatur sistem budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan
perkawinan karena batasan tentang seseorang yang dikatakan dewasa masih
belum jelas. Menurut Hasyim dikutip Jannah (2012) menyebutkan bahwa dalam
konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial
dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Suhadi (2012) menjelaskan
bahwa dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, pernikahan
dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari
warisan tradisi dan dianggap sakral. Cara pandang tradisional terhadap
perkawinan sebagai kewajiban sosial, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup
besar terhadap fenomena pernikahan dini yang terjadi di Indonesia.

Perilaku dan Motif Perilaku

Sebagaimana diketahui perilaku atau aktivitas yang ada pada itu tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi merupakan akibat dari rangsangan yang diterimanya
baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Walgito (1999) menyebutkan bahwa
perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam pengertian yang luas merupakan
respon dari stimulus. Skinner yang dikutip Walgito (1999) membedakan perilaku
menjadi (a) perilaku yang alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant
behavior). Perilaku alami yaitu yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu
yang berupa refleks-refleks dan insting-insting, sedangkan perilaku operan yaitu
perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003) menjelaskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar.
Perilaku ini terjadi melalui proses stimulus terhadap organisme dan kemudian
8

organisme tersebut merespon. Respon yang muncul dipengaruhi oleh karakteristik


atau faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun stimulus yang diberikan sama, namun respon yang akan memunculkan
berbeda pada masing-masing individu. Notoadmojdo (2003) menjelaskan bahwa
terdapat empat hal-hal pokok yang mendorong seseorang berperilaku:
1. Pemikiran dan perasaaan yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap,
kepercayaan dan penilaian terhadap objek.
2. Orang penting sebagai referensi, apabila seseorang itu penting untuknya,
maka apa yang ia katakan atau berbuat cenderung dicontoh.
3. Sumber-sumber daya, mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di
dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way or life)
yang pada umum disebut kebudayaan.
Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu sehingga individu bertindak
atau berperilaku tertentu adalah adanya motif atau penggerak. Motif adalah apa
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, motif dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dalam diri dan di dalam subjek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman dikutip Rusiani
2013). Motif timbul dilatarbelakangi oleh keberadaan kebutuhan individu
terhadap hal tertentu, oleh Maslow yang dikutip Santoso (2010) motif dibagi
menjadi lima macam, yakni:
1. Physiological Needs (kebutuhan fisiologi)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhan
yang berhubungan dengan kondisi tubuh seperti pangan, sandang, papan,
maupun kebutuhan akan seks.
2. Safety Needs (kebutuhan rasa aman)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya yang berkenaan dengan keamanan dan keselamatan seperti
perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, dan jaminan keamanan.
3. Social Needs (kebutuhan sosial)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya untuk memiliki hubungan sosial yang baik dengan individu
lain. Individu berusaha mencari kasih sayang, persahabatan, penerimaan
dan perhatian. Contoh dari kebutuhan ini ialah diakui sebagai anggota dan
dianggap berpartisipasi.
4. Ego and Esteem Needs (kebutuhan penghargaan)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya yang berfokus pada ego, status, harga diri, dikenal, percaya
diri, dan gengsi individu setelah melakukan kegiatan seperti dihargai,
dipuji, dan dipercaya.
5. Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang dengan potensi diri
sepenuhnya. Individu akan mengembangkan diri dan berprestasi sebaik
mungkin sesuai dengan potensi diri sepenuhnya seperti kebutuhan
menyesuaikan diri dengan situasi.
9

Penelitian Rusiani (2013) menjelaskan kaitan teori ini dengan fenomena


pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Girikarto, Kabupaten Gunung
Kidul. Rusiani (2013) menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi disebabkan
oleh motif fisiologi dan motif rasa aman, yakni dorongan pribadi individu pelaku
untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, yakni kebutuhan akan seks,
kebutuhan ekonomi, dan kebutuhan keamanan dari pergaulan bebas yang terjadi
di kalangan remaja desa. Penelitian lain yang dilakukan oleh NGO (2002)
menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada gadis Hmong di Amerika
disebabkan oleh motif sosial dan penghargaan, dimana pernikahan dini yang
terjadi di dorong dari kebutuhan akan pengakuan sebagai individu yang dewasa
dan bebas dalam menentukan pilihan hidup baik di mata masyarakat Hmong
maupun di mata masyarakat Amerika. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka
yang dimaksud perilaku menikah dini dalam penelitian ini adalah suatu respon
dari stimulus melalui proses belajar yang di dorong oleh motif-motif untuk
memenuhi kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi
diri.

Remaja

Hall dikutip Santrock (1998) menganggap masa remaja merupakan masa


topan-badai dan stres (storm and stress). Hal tersebut disebabkan pada masa
tersebut seorang individu sedang mengalami masa pergolakan yang diwarnai
dengan konflik dan perubahan suasana hati. Pada masa tersebut pula seorang
remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Lebih
lanjut Santrock (1998) menjelaskan bahwa pada masa tersebut seorang individu
dipandang sedang melalui masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen, dan
menentukan statusnya kedepan.
Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin, yakni
adolescentia yang berarti masa muda. Pada masa muda, seorang individu sedang
berada pada masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial
(Dariyo 2004). Marcia yang dikutip Sprinthall dan Collins (2002) menyatakan
bahwa pada umumnya penggolongan remaja dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
remaja awal (11-15 tahun), remaja menengah (16-18 tahun), dan remaja akhir (19-
21 tahun). Seorang remaja mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat
dipisahkan menjadi tiga tahap secara berurutan:
a. Masa Remaja Awal
Masa remaja awal adalah masa remaja dengan usia 11-15 tahun. Secara
umum individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah
tingkat pertama (SMP). Masa ini remaja mengalami perubahan fisik yang
sangat drastis, misal pertambahan berat badan, tinggi badan, panjang organ
tubuh dan pertumbuhan fisik yang lainnya. Pada masa remaja awal memiliki
karakteristik sebagai berikut lebih dekat dengan teman sebaya, lebih bebas,
lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
b. Masa Remaja Menengah
Masa remaja menengah adalah masa remaja dengan usia sekitar 16-18
tahun. Umumnya individu pada masa ini sudah duduk di sekolah menengah
10

atas (SMA) dan berkeinginan mencapai kemandirian dan otonomi dari


orangtua, terlibat dalam perluasan pertemanan dan keintiman dalam sebuah
hubungan pertemanan. Masa remaja menengah ini memiliki karakteristik
sebagai berikut mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan,
mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir
abstrak, dan berkhayal tentang aktifitas seks. Remaja pada usia ini sangat
tergantung pada penerimaan dirinya di kelompokyang sangat dibutuhkan untuk
identitas dirinya dalam membentuk gambaran diri.
c. Masa Remaja Akhir
Masa remaja akhir adalah masa remaja dengan usia 19-21 tahun. Remaja
pada fase ini, umumnya remaja sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau
lulus SMA dan mungkin sudah bekerja. Individu pada masa ini fokus pada
persiapan diri untuk lepas dari orangtua menjadi kemandirian yang ingin
dicapai, membentuk pribadi yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir
ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi. Karakteristik dalam kelompok ini
adalah sebagai berikut pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam
mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan
rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.

Identitas Diri

Erikson yang dikutip oleh Purba (2012), identitas merupakan perasaan


subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu, dalam
berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan
menjadi orang yang sama, sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas
karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sejalan dengan definisi
tersebut, Erikson yang dikutip Deaux (2001) menyebutkan bahwa identitas diri
adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak
terlarut dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar,
atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai
dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan
orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin
menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.
Menurut Waterman yang dikutip Purba (2012) menyebutkan bahwa
identitas memiliki arti sebagai gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan
yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut.
Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena
tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk
memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup individu. Sejalan dengan definisi
tersebut, Baron dan Byrne (2003) menjelaskan bahwa identitas diri sangat
berhubungan erat dengan konsep self. Konsep self merupakan identitas diri
seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan
sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir. Self memberikan sebuah kerangka
berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita
sendiri termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan
banyak hal lainnya.
11

Marcia yang dikutip Walgito (1999) mengatakan bahwa identitas diri


merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu.
Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar
individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar
akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya,
jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber
eksternal untuk evaluasi diri. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka yang
dimaksud dengan identitas diri merupakan pemaknaan diri individu terkait cita-
cita, imajinasi dan ide-ide pribadi, nilai-nilai moral pribadi dan kesadaran akan
keunikan diri yang berkaitan dengan peran yang dijalankan.

Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan sebuah definisi diri yang memandu bagaimana


kita mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. Identitas sosial mencakup
banyak karakteristik unik, seperti nama, konsep diri, jenis kelamin, gender,
hubungan interpersonal (anak, perempuan, orangtua, dll), afiliasi politik atau
ideologi (feminis, demokrat, dll), atribut khusus (homoseksual, pintar,
keterbelakangan mental, dll) dan identitas etnik atau religius (Katolik, Muslim,
Orang Minangkabau, dll) (Deaux 2001). Selain itu, Baron dan Bryne (2003)
menyebutkan bahwa identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa
dirinya, termasuk atribut personal dan atribut yang dibaginya dengan oranglain
seperti gender dan ras.
Castells (2010) mendefinisikan identitas sosial sebagai aspek yang ada pada
individu terkait dirinya sendiri yang didapatnya dari kategori sosial tempat ia
berada. Identitas sosial merupakan semua identitas dikonstruksikan atau dibentuk
oleh sejarah, letak geografis, biologis, institusi-institusi produkif, collective
memory dan fantasi personal serta kekuasaan dari aparatur-aparatur dan syariah
keagamaan (kitab). Oleh karena itu, identitas sosial memiliki sifat majemuk /
jamak (plurality of identites), karena identitas sosial merupakan sumber
pemaknaan dan pengalaman serta atribut kultural yang diperuntukkan bagi
seseorang individu atau kumpulan aktor (collective actor). Sejalan dengan
definisi tersebut, Jackson dan Smith (1999) dikutip Baron dan Bryne (2003)
menyebutkan bahwa identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam
empat dimensi, yakni persepsi dalam konteks antarkelompok (hubungan antara
seseorang dengan grup lain yang menjadi perbandingan bagi diri individu), daya
tarik in-group (afek yang ditimbulkan dari in-group kepada diri individu),
keyakinan yang saling terkait (norma dan nilai yang menghasilkan tingkahlaku
anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi
keyakinan yang sama), depersonalisasi (definisi diri individu terhadap dirinya
sebagai bagian dari kategori sosial yang ada di lingkungan sosialnya).
Banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia
interpersonal. Kategori tersebut mengindikasikan sejauh mana individu serupa dan
tidak serupa dengan oranglain disekitar kita. Adapun komponen yang terdapat
dalam identitas sosial adalah the self (konsep diri), dan konsep diri sosial. Konsep
diri merupakan kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri sendiri yang
terorganisir. Artinya konsep diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang
12

menentukan bagaimana individu mengolah informasi tentang dirinya sendiri,


termasuk didalamnya motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan
banyak hal lainnya. Konsep diri sosial merupakan suatu identitas kolektif yang
meliputi hubungan interpersonal dan aspek-aspek identitas yang datang dari
keanggotaannya dalam suatu kelompok, seperti ras, etnis dan budaya (Baron dan
Bryne 2003). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka definisi identitas sosial
dalam penelitian ini adalah suatu pemaknaan diri sosial terkait kesadaran diri akan
kesamaan perilaku dengan suatu kelompok, kesadaran akan kewajiban menjaga
nama baik kelompok, kepatuhan terhadap adat istiadat dan moral yang berlaku di
dalam kelompok dimana individu tinggal.

Kerangka Penelitian

Menurut Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003), perilaku merupakan


respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Respon yang
muncul dipengaruhi oleh karakteristik individu maupun faktor-faktor luar dari
individu yang bersangkutan. Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu
sehingga individu bertindak dan berperilaku tertentu adalah keberadaan motif
yang dimiliki oleh individu. Perilaku menikah dini merupakan suatu perilaku
operan yang dipelajari remaja melalui proses belajar dari lingkungan. Perilaku
menikah dini yang dilatarbelakangi oleh motif individu yang diduga berkaitan
dengan keberadaan faktor-faktor pendorong menikah dini pada remaja.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zai (2012) menyebutkan
bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kejadian menikah dini di
kalangan remaja desa, yakni karakteristik sosio ekonomi, biososial, dan
lingkungan. Karakteristik sosio ekonomi merujuk pada tingkat pendidikan remaja,
tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan status ekonomi keluarga.
Tingkat pendidikan remaja dan orangtua berhubungan dengan pola pikir yang
dimiliki terkait dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Rendahnya
tingkat pendidikan tersebut diduga mempengaruhi keputusan dan motif remaja
dalam menikah dini. Rendahnya status ekonomi keluarga diduga mempengaruhi
keputusan orangtua maupun remaja putri untuk menikah dini guna membantu
orangtua dalam meringankan beban keluarga. Karakteristik lingkungan dalam hal
ini merujuk pada keyakinan terhadap norma, nilai dan kepercayaan yang diyakini
bersama di lingkungan sosial remaja. Diduga keyakinan remaja terhadap norma
yang ada mempengaruhi motif remaja untuk melakukan pernikahan di usia dini.
Selain itu, umur menstruasi pertama pada remaja putri diduga mempengaruhi
pernikahan dini yang terjadi. Hal tersebut berkaitan dengan motif remaja dalam
memenuhi kebutuhan seksualnya. Menstruasi yang telah dialami remaja putri
berkaitan dengan status kedewasaan dan kemampuannya untuk melahirkan.
Motif perilaku menikah dini yang beragam pada individu remaja putri
perdesaan diduga memiliki hubungan dengan pembentukan definisi diri remaja
sebagai individu yang unik maupun definisi diri remaja sebagai bagian dari
masyarakat. Hal tersebut merujuk pada pembentukan identitas diri maupun sosial
pada remaja. Sehingga diduga motif perilaku menikah dini diduga memiliki
hubungan secara signifikan terhadap pembentukan identitas remaja perdesaan.
Oleh karena itu, kerangka penelitian di bawah ini menggambarkan adanya
13

hubungan pengaruh antara karakteristik sosio ekonomi, biososial dan lingkungan


terhadap motif menikah dini pada remaja. Serta menggambarkan adanya
hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja putri
perdesaan.
Variabel yang diuji hubungan maupun pengaruhnya yaitu variabel faktor-
faktor pernikahan dini, variabel motif menikah dini dan variabel pembentukan
identitas sosial remaja putri. Variabel faktor-faktor penikahan dini yang dimaksud
dalam penelitian ini ialah tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan orangtua,
pekerjaan orangtua, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama remaja,
dan keyakinan terhadap norma. Variabel faktor-faktor pernikahan dini tersebut
diuji hubungan pengaruhnya terhadap motif menikah dini pada remaja.
Selanjutnya, variabel motif menikah dini dihubungkan terhadap pembentukan
identitas (diri dan sosial) remaja putri yang menikah dini. Adapun keterkaitan
antar variabel-variabel tersebut tersaji dalam kerangka penelitian di bawah ini.

Faktor-faktor menikah
dini

Tingkat pendidikan pelaku

Tingkat pendidikan ayah pelaku

Tingkat pendidikan ibu pelaku Motif menikah dini


1. Fisiologis
Status ekonomi keluarga 2. Keamanan
3. Sosial
4. Harga diri
Umur menstruasi pertama 5. Aktualisasi diri

Tingkat keyakinan terhadap


norma

Keterangan: Pembentukan identitas


remaja putri perdesaan:
: Mempengaruhi (secara kuantitatif) 1. Identitas diri
: Hubungan (secara kualitatif deskriptif) 2. Identitas sosial

Gambar 1 Kerangka penelitian pengaruh status ekonomi keluarga terhadap motif


menikah dini di perdesaan

Hipotesis Penelitian

1. Diduga Tingkat pendidikan pelaku, tingkat pendidikan ayah pelaku, tingkat


pendidikan ibu pelaku, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama,
tingkat keyakinan terhadap norma berpengaruh terhadap motif menikah dini.
14

2. Diduga terdapat hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan


identitas remaja putri perdesaan.

Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi yang digunakan oleh peneliti dalam


mengukur variabel-variabel yang di teliti. Adapun definisi operasional yng
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Tingkat pendidikan remaja adalah jenjang pendidikan formal yang pernah
ditempuh oleh responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala ordinal
yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Tinggi : SMA/SMK/Sederajat
- Sedang : SMP/MTS/Sederajat
- Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat
2. Tingkat pendidikan ayah adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang
pernah ditempuh oleh ayah responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah
skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Tinggi : SMA/SMK/Sederajat
- Sedang : SMP/MTS/Sederajat
- Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat
3. Tingkat pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah
ditempuh oleh ibu responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala
ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Tinggi : SMA/SMK/Sederajat
- Sedang : SMP/MTS/Sederajat
- Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat
4. Status ekonomi keluarga adalah tingkat kemampuan keluarga inti pelaku dalam
memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui
indikator tingkat pengeluaran keluarga per bulan. Skala pengukuran yang
dipakai adalah skala ordinal. Status ekonomi keluarga dibagi menjadi tiga
kategori (ditentukan berdasarkan data emik) yakni:
- Status ekonomi bawah, jika pengeluaran keluarga kurang dari Rp1 360 000
- Status ekonomi sedang, jika pengeluaran keluarga Rp1 360 000 - Rp2 600
000
- Status ekonomi atas, jika pengeluaran keluarga lebih dari Rp2 600 000
5. Umur menstruasi pertama adalah waktu pertama kali pelaku mengalami
menstruasi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang
terbagi menjadi dua kategori yakni:
- Lambat, jika pelaku mengalami menstruasi pertama pada usia lebih dari atau
sama dengan 13 tahun
- Cepat, jika mengalami mentruasi pertama pada usia di bawah 13 tahun
6. Keyakinan terhadap norma adalah total skor persepsi pelaku terkait keberadaan
norma yang berlaku, yakni meliputi nilai kedewasaan dan konsep menikah
yang berkembang di lingkungan pelaku tinggal. Variabel ini diukur dengan
menggunakan sepuluh pernyataan pada kuesioner dengan total minimum dan
maksimal dari semua pernyataan adalah 14 dan 33. Skala pengukuran yang
15

digunakan adalah skala ordinal. Variabel ini dibagi menjadi tiga kategori,
yakni:
- Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 14-20
- Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 21-26
- Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 27-33
7. Motif menikah dini adalah total skor kesesuaian pelaku terkait alasan tujuan
yang melatarbelakangi pelaku dalam menikah dini. Motif menikah dini dalam
penelitian ini terdiri dari lima kategori, yakni:
1. Fisiologis adalah alasan responden dalam menikah dini dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sandang,
papan maupun seks.
2. Keamanan adalah alasan responden dalam menikah dini yang bertujuan
untuk menghindari pergaulan bebas.
3. Sosial adalah alasan responden dalam menikah dini dengan tujuan guna
memperoleh kasih sayang, perhatian dan persahabatan (hubungan sosial).
4. Harga diri adalah alasan responden dalam menikah dini yang bertujuan
untuk memperoleh harga diri, status dan prestise.
5. Aktualisasi diri adalah alasan responden dalam menikah dini yang
bertujuan untuk terlepas dari aturan orangtua dalam rangka
mengembangkan potensi dalam diri.
Masing-masing kategori pada motif menikah dini akan dijabarkan dalam
bentuk pernyataan yang terangkum dalam kuesioner. Total pernyataan dari
kelima motif adalah 15 pernyataan dengan masing-masing komponen motif
menikah dini adalah tiga pernyataan. Total minimum dan total maksimum
dari semua pernyataan adalah 23 dan 55. Skala pengukuran yang digunakan
adalah skala ordinal. Variabel motif menikah dini dalam hubungannya
dengan perilaku menikah dini dibagi menjadi tiga kategori, yakni:
- Lemah, apabila skor total variabel berada pada rentang 23-33
- Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 34-44
- Kuat, apabila skor total variabel berada pada rentang 45-55
10. Pembentukan identitas remaja perdesaan adalah proses pemaknaan diri pada
setiap individu pelaku terkait identitas diri dan identitas sosial. Pembentukan
identitas remaja putri perdesaan yang dimaksud dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua, yakni:
a. Pembentukan identitas diri adalah total skor kesesuaian pelaku terhadap
pemaknaan diri yang berkaitan dengan hal-hal yang ia inginkan untuk
masa depannya seperti cita-cita, imajinasi pribadi setelah menikah, ide-
ide pribadi, kesadaran akan keunikan diri, nilai-nilai moral pribadi,
kepentingan pendapat diri. Identitas diri diukur dengan menggunakan
enam pernyataan pada kuesioner. Skala pengukuran yang digunakan
adalah skala ordinal yang terbagi menjadi dua kategori, yakni:
- Lemah, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 9-15
- Kuat, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 16-21
b. Pembentukan identitas sosial adalah proses penentuan diri individu
responden sebagai bagian dari kelompok masyarakat Desa Anjatan Utara
yang meliputi kesamaan perilaku dengan masyarakat, kesadaran akan
kewajiban menjaga nama baik desa, kepatuhan terhadap adat istiadat dan
moral lingkungan sosial. Identitas sosial diukur dengan menggunakan
16

delapan pernyataan pada kuesioner. Skala pengukuran yang digunakan


adalah skal ordinal yang terbagi menjadi dua kategori, yakni:
- Lemah, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 10-20
- Kuat, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 21-30
17

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei dengan metode penjelasan


(explanatory research). Penelitian explanatory research merupakan penelitian
yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data pokok dengan menjelaskan hubungan kausal antara
variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi 1989).
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan kuesioner, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan
melalui wawancara mendalam kepada responden maupun informan. Peubah yang
diteliti dalam penelitian ini terdiri dari peubah pengaruh yaitu faktor-faktor
menikah dini yang meliputi tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah,
tingkat pendidikan ibu, umur pertama menstruasi, keyakinan terhadap norma yang
berlaku dan peubah terpengaruh yakni motif menikah dini. Selain itu diteliti juga
hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan,


Kabupaten Indramayu. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut sesuai dengan topik
penelitian yang akan dilakukan, dimana lokasi tersebut merupakan salah satu desa
di Kecamatan Anjatan dengan tingkat pernikahan dini tertinggi. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan ditemukan bahwa banyak pernikahan yang terjadi
pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada usia di bawah 18 tahun. Pengambilan
data dilakukan pada bulan April tahun 2014. Kegiatan penelitian secara
keseluruhan diselenggarakan sejak bulan April hingga bulan Juli tahun 2014.

Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mengumpulkan data terkait


pernikahan yang terjadi pada usia dini di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan,
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pernikahan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah pernikahan baik resmi maupun tidak resmi yang dilakukan oleh
perempuan di bawah usia 18 tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
remaja putri Desa Anjatan Utara yang telah menikah, yakni sebanyak 207 orang.
Unit analisis penelitian adalah individu remaja. Responden pada penelitian ini
adalah remaja putri Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten
Indramayu yang melakukan pernikahan pertama saat usia di bawah 18 tahun.
Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 30 individu remaja
yang menikah dini dengan rentang usia maksimal 21 tahun (lihat lampiran 6).
18

Rentang usia maksimal tersebut sengaja dipilih dengan pertimbangan pada


rentang usia tersebut reponden masih menunjukkan karakteristik individu sebagai
remaja. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana sampel
dipilih berdasarkan penilaian dan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa teknik ini merupakan
teknik yang dianggap paling representatif dengan keadaan di lapangan, dimana
pernikahan dini yang dilakukan secara umum merupakan pernikahan tidak resmi
sehingga tidak tersedia daftar nama responden dengan kriteria yang sesuai dengan
tujuan penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan data
primer. Data sekunder berupa data terkait kependudukan dan gambaran umum
desa yang diperoleh dari kantor Desa Anjatan Utara. Data primer yang
dikumpulkan ialah data terkait pernikahan dini yang diperoleh dari wawancara
mendalam dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Anjatan dan
Lebe2 desa. Selain itu, data primer terkait keyakinan pelaku terhadap norma yang
berlaku, motif menikah dini, dan pembentukan identitas remaja yang diperoleh
melalui kuesioner. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden maupun
informan guna menggali data kualitatif dengan menggunakan pedoman
wawancara mendalam terkait gaya hidup dan alasan maraknya pernikahan dini.
Wawancara mendalam dimanfaatkan sebagai informasi penjelasan yang
diintegrasikan dengan jawaban yang ada pada kuisioner untuk mendukung dan
memperkuat data kuantitatif yang diperoleh.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner akan diolah


secara kuantitatif dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS for
Windows versi 20. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji
regresi linear berganda dan Uji korelasi rank spearman. Uji regresi linear
berganda digunakan untuk pengujian pengaruh antara faktor-faktor menikah dini
terhadap motif menikah dini. Adapun Faktor-faktor menikah dini yang diuji
sebagai variabel independen ialah tingkat pendidikan, tingkat pendidikan ayah,
tingkat pendidikan ibu, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama, dan
keyakinan terhadap norma yang ada. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk
pengujian hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas.
Pembentukan identitas yang diuji hubungannya dengan motif menikah dini
ialah pembentukan identitas diri dan pembentukan identitas sosial. Tingkat
kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 10 persen atau pada
taraf nyata 0,10 dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Interpretasi data
mengenai kekuatan hubungan antar dua variable yang dihasilkan dari Uji korelasi
rank spearman dalam penelitian ini digunakan pendapat dari Sarwono (2006)
2
Seseorang yang memiliki kewenangan untuk menikahkan dua individu baik secara resmi maupun
tidak resmi.
19

yang membagi kriteria kriteria hubungan sebagai berikut: (a) Tidak ada korelasi
antara dua variabel apabila koefisien korelasi sama dengan 0, (b) hubungan sangat
lemah apabila koefisien korelasi > 0 – 0.25, (c) hubungan cukup kuat apabila
koefisien korelasi > 0.25 – 0.5, (d) hubungan kuat apabila koefisien korelasi > 0.5
– 0.75, (e) hubungan sangat kuat apabila koefisien korelasi > 0.75 – 0.99, (f)
hubungan sempurna apabila koefisien korelasi sama dengan 1.
20
21

PROFIL DESA ANJATAN UTARA

Kondisi Geografi

Desa Anjatan Utara merupakan salah satu daerah dataran rendah yang terletak
di wilayah Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Secara
administratif, batasan Desa Anjatan Utara antara lain: (a) sebelah utara berbatasan
dengan Desa Limpas; (b) sebelah timur berbatasan dengan Desa Limpas; (c)
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Anjatan; (d) sebelah barat berbatasan
dengan Desa Cilandak lor dan Desa Anjatan. Sementara itu, jarak kantor
pemerintahan Desa Anjatan Utara dengan jalan raya Pantura adalah sejauh enam
kilometer, dengan pemerintahan Ibu kota Indramayu yaitu 50 kilometer, dengan
pemerintahan provinsi Jawa Barat yaitu 210 kilometer.
Akses untuk mencapai lokasi Desa Anjatan Utara cukup mudah dijangkau,
baik menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Ada angkutan
desa yang memfasilitasi masyarakat dalam melakukan mobilitas antar wilayah.
Kendaraan-kendaraan tersebut melewati jalan kabupaten sepanjang dua kilometer
dan jalan desa sepanjang 15 kilometer. Keberadaannya yang berdekatan dengan
Kantor Kecamatan Anjatan dan dilalui jalan raya penghubung Patrol-Subang serta
kondisi jalan terpelihara baik memungkinkan masyarakat Desa Anjatan Utara
berkembang.

Tabel 1 Luas lahan dan persentase pemanfaatan lahan Desa Anjatan Utara, 2013

Pemanfaatan lahan Luas (Ha) Persentase (%)


Pemukiman 32.0 4.45
Pesawahan 550.0 76.60
Perkebunan 2.5 0.35
Pekuburan 2.0 0.28
Pekarangan 131.0 18.25
Perkantoran 0.5 0.07
Total 718.0 100.00
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara, 2013

Tabel 1 menggambarkan komposisi pemanfaatan lahan Desa Anjatan utara


secara keseluruhan. Total luas wilayah Desa Anjatan Utara ialah 718 hektar
dengan kontur tanah coklat subur yang sebagian besar ditanami Padi dengan masa
musim panen dua kali dalam setahun. Selain padi, terdapat juga tanaman khas
wilayah ini yang dijadikan sebagai makanan khas masyarakat serta dijadikan
sebagai salah satu komoditi utama yang dihasilkan oleh masyarakat yakni
Semanggen3. Lahan pekarangan yang dimaksud ialah lahan di sekitar pemukiman
warga yang biasanya dimanfaatkan untuk ditanami tanaman buah-buahan maupun

3
Tanaman liar semacam rumput yang tumbuh disawah, dimanfaatkan sebagai sayuran yang
dimakan untuk dijadikan rujak oleh masyarakat.
22

sayuran seperti mangga, pisang dan kangkung. Hitungan lahan pekarangan


tersebut termasuk luas pemanfaatan lahan guna sungai-sungai yang dimanfaatkan
warga sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari seperti mandi, cuci, kaktus.
Aliran air tersebut berasal dari aliran-aliran sungai yang merupakan bagian dari
Daerah Aliran Sungai (DAS) bendungan Jatiluhur. Pemukiman warga yang cukup
padat dengan tata letak rapih berdasarkan gang-gang pada tiap dusun.
Pemanfaatan lahan perkantoran ialah pemanfaatan lahan guna pembangunan
sarana prasarana desa seperti kantor balai Desa Anjatan Utara, kantor KUA
Kecamatan Anjatan maupun kantor-kantor swasta seperti kantor bank-bank
sebagai pendukung kegiatan perekonomian masyarakat Desa Anjatan Utara.
Secara umum, lahan yang ada di Desa Anjatan Utara dimanfaatkan secara
produktif, baik sebagai lahan pesawahan, perkebunan, pekarangan, pemukiman,
pekantoran maupun pekuburan.

Kondisi Demografi

Desa Anjatan Utara terbagi menjadi empat dusun dengan sepuluh Rukun
Warga (RW) dan 28 Rukun Tetangga (RT). Adapun dusun yang terdapat di Desa
Anjatan utara ialah Dusun Babakan yang terdiri dari dua RW dengan enam RT,
Dusun Sabrang Wetan yang terdiri dari tiga RW dengan delapan RT, Dusun
Buyut Milah terdiri dari tiga RW dengan delapan RT, dan Dusun Sasak Mijan
terdiri dari dua RW dengan enam RT. Jumlah penduduk Desa Anjatan Utara
berdasarkan data monografi desa bulan maret tahun 2014 ialah sebanyak 8 875
jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4 369 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 4 506 jiwa. Sementara itu, jumlah kepala keluarga
(KK) di Desa Anjatan Utara ialah sebanyak 2 354 Kepala Keluarga (KK).
Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga (KK) Desa Anjatan
Utara menurut jenis kelamin, 2014

Jumlah penduduk Jumlah KK


Dusun
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Babakan 985 978 493 86
Sabrang wetan 1352 1379 667 112
Buyut milah 1195 1278 525 115
Sasak mijan 837 871 279 77
Total 4369 4506 1964 390
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Anjatan Utara


berjenis kelamin perempuan. Selain itu ditemui 390 KK dengan kepala keluarga
seorang perempuan. Jumlah tersebut mewakili janda-janda yang ditinggal mati
suaminya maupun para janda muda yang bercerai di usia dini. Janda muda
tersebut meliputi para remaja yang telah melakukan pernikahan di usia dini dan
23

tak jarang yang bercerai pada tahun yang sama dengan tahun pernikahan.
Kejadian tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh
masyarakat Desa Anjatan Utara. Adapun sebaran jumlah dan persentase penduduk
Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan


tingkat pendidikan, 2014

Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)


Tidak sekolah 106 1.5
SD/sederajat 3304 48.2
SLTP/sederajat 1945 28.3
SLTA/sederajat 1344 20.0
Perguruan tinggi/S1 153 2.0
Total 6852 100.0
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014

Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk Desa Anjatan Utara merupakan


masyarakat dengan rata-rata tingkat pendidikan yang rendah, yakni sekitar 3 304
jiwa penduduk Desa Anjatan Utara hanya menempuh pendidikan setingkat
sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan menengah atau sederajat SLTP hanya
ditempuh oleh sekitar 1 945 jiwa penduduk Desa Anjatan Utara, sedangkan
tingkat pendidikan tinggi atau sederajat SLTA hanya sekitar 1 344 jiwa penduduk
Desa Anjatan Utara yang mampu menempuhnya. Bahkan sebanyak 106 jiwa
penduduk Desa Anjatan Utara tidak pernah menempuh pendidikan apapun atau
dengan kata lain tidak sekolah. Sebagian besar masyarakat Desa Anjatan Utara
berpandangan bahwa menempuh pendidikan yang lebih tinggi bukanlah sesuatu
yang penting atau diutamakan. Pendidikan dasar setingkat SD sudah dianggap
cukup sebagai syarat berpendidikan bagi masyarakat, hal ini berkaitan dengan
kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat sehingga kurang mampu untuk biaya
sekolah. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu staff
pemerintah Desa Anjatan Utara, sebagai berikut:

“Dulu memang pendidikan tertinggi masyarakat itu Sekolah dasar (SD).


Namun, semakin ke sini masyarakat mulai sadar bahwa melanjutkan
pendidikan itu penting. Sekarang sudah naik, semenjak ada bantuan BOS
rata-rata pendidikan masyarakat usia muda ialah Sekolah Menengah
Pertama (SMP).” (UDN 42 tahun)

Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat Desa Anjatan Utara yang masih


tergolong cukup rendah dan keberadaan topografi desa dengan hamparan lahan
sawah yang cukup mendominasi luasan desa. Maka tak heran jika sebagian besar
masyarakat Desa Anjatan Utara memiliki pekerjaan utama sebagai petani maupun
buruh tani. Adapun sebaran penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan jenis
pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.
24

Tabel 4 Sebaran penduduk Desa Anjatan Utara menurut jenis pekerjaan, 2014

Dusun
Jenis Sabrang Buyut Sasak
Babakan Total
pekerjaan Wetan Milah Mijan
(jiwa)
(jiwa) (jiwa) (jiwa)
PNS 34 23 38 23 118
TNI/POLRI 7 6 4 3 20
Pensiunan 13 9 9 15 46
Wiraswasta 57 76 91 60 284
Industri kecil 7 7 6 8 28
Pedagang 134 150 195 123 602
Petani 423 450 356 402 1631
Buruh Tani 780 1426 988 521 3715
Pelajar 343 405 622 410 1780
Mahasiswa 8 11 15 12 46
Lain-lain 157 168 149 131 605
Total 1963 2731 2473 1708 8875
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014

Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan penduduk Desa Anjatan


Utara adalah petani dan buruh tani yakni sejumlah 5 346 jiwa. Selain jenis
pekerjaan yang tertera di atas, sebagian penduduk Desa Anjatan Utara yang
berusia produktif bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri
(Taiwan, Jepang, Arab saudi, Singapura, Abu Dhabi, Hongkong, Malaysia,
Korea) yakni sekitar 158 jiwa dengan mayoritas pekerjaan sebagai Pembantu
Rumah Tangga (PRT) dan buruh pabrik. Data monografi Desa Anjatan Utara
tahun 2014 menunjukkan 46 persen dari jumlah yang ada, penduduknya bekerja di
luar negeri dengan perusahaan atau penanggung jawab TKI yang belum jelas.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa
persentase tersebut termasuk didalamnya adalah para remaja putri. Hal tersebut
sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut:

“Ya memang beberapa remaja putri ada yang kerja di luar negeri. Ada yang
kerja jadi PRT tapi ada juga yang kerjanya di -pabrik botol-4, ya pekerjaan
jaman sekaranglah. Lumayan mungkin buat bantu-bantu orang tua disini.”
(ADN 45 tahun)

Pekerjaan sebagai karyawan di pabrik botol ditanggapi masyarakat sebagai


pekerjaan yang sudah umum terjadi sebagai pekerjaan kekinian. Diakui warga
bahwa hal tersebut didorong oleh nilai sosial yang berkembang di masyarakat
yakni dimana anak perempuan merupakan aset ekonomi keluarga. Anak
perempuan diharapkan dapat mengangkat derajat ekonomi keluarga. Salah satu
diantaranya adalah dengan cara bekerja ke luar negeri maupun luar kota.

4
Sebutan warga bagi pekerjaan asusila.
25

Kondisi Sosial Budaya

Penduduk Desa Anjatan Utara sebagian besar menganut agama Islam, yakni
sebesar 99.3 persen atau 8 814 jiwa. Sedangkan persentase 0.7 persen
penduduknya menganut agama Katolik sebanyak 5 jiwa, Protestan sebanyak 54
jiwa dan Hindu sebanyak 2 jiwa. Desa Anjatan Utara memiliki beberapa sarana
peribadatan yakni satu bangunan masjid, 19 bangunan musholla, sedangkan gereja
dan wihara tidak tersedia di Desa Anjatan Utara. Gereja dan Wihara tersedia di
luar desa, yakni berada di Desa Anjatan. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan, masyarakat Desa Anjatan Utara merupakan masyarakat yang masih
menjunjung tinggi rasa saling menghormati antar umat beragama. Tidak pernah
terjadi masalah antar warga mengenai perbedaan agama. Nilai-nilai toleransi antar
agama dianut warga secara baik. Kelembagaan pengajian masih eksis di Desa
Anjatan Utara, terhitung lebih dari empat kelompok pengajian yang masih aktif.
Umumnya peserta pengajian ialah para orangtua usia lanjut. Pengajian
dilaksanakan di mushola-mushola. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan
oleh salah satu Informan, sebagai berikut:

“Disini warganya saling toleransi antar agama. Walaupun rata-rata yang


non islam itu biasanya warga pendatang. Tapi tetap saja warga disini
saling menghargai untuk hal-hal tersebut.” (UDN 42 Tahun)

Kehidupan masyarakat Desa Anjatan Utara tergolong masyarakat yang cukup


modern, hal ini ditandai dengan penggunaan handphone sebagai alat komunikasi
warga khususnya dikalangan para remaja desa, selain itu semenjak sekitar tahun
2000-an internet juga sudah mulai masuk ke Desa Anjatan Utara. Kini sudah
tersedia beberapa warung-warung internet (warnet) di pinggiran jalan desa yang
dimanfaatkan oleh warga khususnya di kalangan remaja. Keberadaan warung-
warung internet tersebut memiliki pengaruh terhadap gaya hidup buruk remaja
desa, perilaku seks bebas semakin marak terjadi di kalangan remaja desa.
Warung-warung internet dengan akses internet yang bebas juga desain ruangan
sewa yang tertutup semakin mendorong perilaku seks bebas pada remaja. Banyak
terjadi perilaku mesum remaja yang dilakukan di warnet-warnet tersebut. Hal
tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai
berikut:

“Nikah dini banyak terjadi karena internet juga sih mbak. Kan sekarang
ada youtube tuh mbak bisa buka apa aja. Apalagi warnet itu kan ruangan-
ruangannya ketutup, bisa ngapain aja bebas di dalamnya. banyak tuh
pasangan yang pacaran disana. Dulu sempat ketahuan ada yang berbuat
mesum di warnet waktu digrebek polisi di salah satu warnet di sebrang
jalan itu. Warnetnya sempet tutup, tapi sekarang sudah buka lagi mbak. Ya
begitu remaja sini masih aja kaya dulu tingkahnya” (TLT 20 tahun)

Kurangnya kontrol orang tua terhadap kehidupan remaja menjadikan


maraknya kehidupan malam di kalangan remaja. Bermain judi dan mabok-
mabokan menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Desa Anjatan Utara
terlebih para remaja. Bermain judi kecil-kecilan bahkan dilakukan oleh ibu-ibu
rumah tangga ketika mengisi waktu luang. Bermain judi yang dilakukan
26

umumnya disebut barjenan, yakni permainan kartu wartet dengan minimal


nominal uang taruhan sebesar Rp500. Hal tersebut sejalan dengan yang
disampaikan oleh dua responden di lapangan, sebagai berikut:

“...Biasalah mbak main barjenan. Lumayan mbak buat tambah-tambah


uang jajan dari pada bengong atau ngegosip ga karuan kan” (EVT 20
tahun)

“...Pergaulan remaja desa emang diakui ga baik sih mbak. Suka mabok-
mabokan, suka bikin tuak sendiri gitu. Kalo malem masih suka keluyuran
kemana-mana sambil pada mabok. Trus sama suka pacaran di bekas
proyek pertamina disana mbak, pada mesum deh tuh disana” (RTN 21
tahun)

Kondisi Sosial Ekonomi

Secara umum kondisi ekonomi masyarakat Desa Anjatan Utara masih


tergolong rendah. Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai buruh
tani yang mengandalkan hidup dari hasil panen. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan, terlihat bahwa khusus masyarakat yang tinggal di dekat sungai,
bangunan tempat tinggal yang dihuni masih berdiri di atas tanah sewaan milik
dinas perairan, dan ketidakmampuan masyarakat dalam membangun fasilitas
MCK di dalam rumah. Sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan sungai
sebagai sumber air untuk kegiatan mandi, cuci, kaktus. Berdasarkan hasil
pengamatan selama penelitian, terlihat berdiri beberapa fasilitas MCK umum yang
terbuat dari bambu-bambu yang dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat,
sedangkan untuk kebutuhan masak dan minum, masyarakat desa membeli air yang
dijual warga lainnya yang telah memiliki air PAM di rumahnya, atau biasa disebut
ngangsu dengan harga Rp2000 per drum. Sebagian besar masyarakat pemukiman
warga sudah dialiri listrik, namun tak jarang banyak pemukiman warga masih
menggunakan listrik dengan cara menyambung dengan listrik tetangga.
Kesejahteraan masyarakat Desa Anjatan Utara masih tergolong cukup rendah,
hal ini berkaitan dengan pemanfaatan Bank Keliling oleh sebagian besar
masyarakat. Peminjaman dengan sistem bunga yang cukup tinggi masih dipilih
masyarakat sebagai strategi bertahan hidup. Sejalan dengan kondisi tersebut,
ditunjukan dalam profil Desa Anjatan Utara tahun 2013 bahwa masih terdapat 180
keluarga dengan rumah tidak layak huni dan keluarga miskin sosial sejumlah 1
120 keluarga.

Ikhtisar

Desa Anjatan Utara merupakan desa yang terletak di wilayah yang cukup
strategis. Keberadaannya dekat dengan jalan raya menjadikan desa ini cukup
mudah dijangkau, baik menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan
pribadi. Sebagian besar lahan yang ada, yakni sekitar 76.6 persen lahan yang ada
dimanfaatkan untuk lahan pesawahan, oleh karenanya tidak heran jika Desa
Anjatan Utara memiliki potensi SDA yang cukup besar di bidang pertanian.
27

Mayoritas penduduk Desa Anjatan Utara memiliki pekerjaan utama sebagai petani
maupun buruh tani, yakni sebesar 5 346 jiwa. Selain petani dan buruh tani,
sebagian besar penduduk bekerja di luar negeri dengan mayoritas pekerjaan
sebagai PRT maupun buruh pabrik. Agama islam menjadi agama mayoritas yang
dianut oleh masyarakat Desa Anjatan Utara, yakni sebesar 99.3 persen warganya
menganut agama islam. Gaya hidup masyarakat desa sudah cukup modern, yakni
ditandai dengan penggunaan handphone sebagai alat komunikasi dan pemanfaatan
internet. Kehidupan remaja Desa Anjatan Utara tergolong bebas, dimana remaja
pada umumnya masih berada diluar rumah ketika malam hari dan banyaknya
kejadian hamil di luar nikah pada remaja putri. Secara umum, kondisi ekonomi
masyarakat Desa Anjatan Utara masih tergolong rendah. Mayoritas masyarakat
masih memanfaatkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan MCK, jarang
sekali ditemui rumah penduduk yang memiliki kamar mandi di dalam rumah.
Selain itu, masih banyak masyarakat desa yang melakukan penyambungan listrik
ke rumah tetangga untuk memenuhi kebutuhan penerangan.
29

GAMBARAN UMUM PELAKU PERNIKAHAN DINI

Pernikahan Dini yang Terjadi

Pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada
umumnya merupakan pernikahan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak
resmi. Pernikahan di bawah tangan ini terpaksa di lakukan mengingat batas usia
remaja yang menikah tidak memenuhi syarat batas usia minimal yang ditetapkan
dalam Undang-undang perkawinan yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun
bagi laki-laki. Selain itu, kesulitan dan mahalnya biaya birokrasi dalam
pengurusan pernikahan dini secara resmi menjadi alasan kuat pernikahan dini di
bawah tangan ini terjadi. Sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh salah satu
orangtua pelaku pernikahan dini, sebagai berikut:

“Biaya ngurus-ngurusnya mahal mbak di pengadilan, nyaris 1 jutaan lebih


ditambah ribet, makannya gak heran kalo banyak yang milih nikah kiyai
(nikah tidak resmi) saja. Biayanya lebih murah dan gak ribet. Udah biasa
kok disini kayak gitu. Udah sama-sama saling maklumi” (JNO 30 tahun)

Pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada
umumnya merupakan pernikahan dini palsu. Pernikahan dini palsu ialah
pernikahan yang di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai
kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai (Jannah 2012).
Pernikahan dini yang dilakukan hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah
dilakukan oleh kedua mempelai, baik yang berakibat adanya kehamilan maupun
yang tidak berakibat adanya kehamilan. Hal tersebut sejalan dengan yang
disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut:

“Biasalah mbak, disini mah nikah dini. Pacaran lalu ketauan hubungan seks
pranikah, jadi di nikahkan saja takutnya hamil, tapi banyaknya emang yang
hamil duluan sih. Kasian orangtuanya daripada malu menanggung aib
makannya dinikahkan saja.” (RTN 21 tahun)

Pernikahan dini yang terjadi merupakan suatu perilaku sosial yang dipelajari
oleh remaja dari lingkungan. Perilaku tersebut muncul dipengaruhi oleh
karakteristik atau faktor-faktor pendorong baik yang berasal dari dalam diri
individu remaja maupun yang berasal dari luar. Berikut data yang berhasil
dikumpulkan terkait karakteristik-karakteristik individu remaja pelaku pernikahan
dini.

Karakteristik Sosio Ekonomi

Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan, didapatkan kelompok umur


responden yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni golongan remaja awal (14-15
tahun), golongan remaja menengah (16-18 tahun) dan golongan remaja akhir (19-
21 tahun). Adapun jumlah dan persentase sebaran usia responden berdasarkan tiga
golongan remaja dapat dilihat pada tabel 5.
30

Tabel 5 Jumlah dan persentase usia pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
berdasarkan tiga golongan remaja, 2014

Golongan remaja Jumlah Persentase (%)


Remaja awal 2 6.6
Remaja menengah 10 33.3
Remaja akhir 18 60.1
Total 30 100.0

Tabel 5 menunjukkan bahwa pelaku pernikahan dini termuda dalam


penelitian ini ialah berusia 14 tahun, sedangkan pelaku pernikahan dini tertua
dalam penelitian ini berusia 21 tahun. Secara umum, sebesar 60.1 persen remaja
pelaku pernikahan dini yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
golongan remaja akhir dengan rentang usia 19-21 tahun, yakni sebanyak 18 orang.
Adapun sebaran usia remaja pelaku pernikahan dini pada saat menikah dapat
dilihat pada tabel 7.

Tabel 6 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut usia pernikahan pertama, 2014

Usia saat menikah (tahun) Jumlah Persentase (%)


14 1 3.3
15 3 10.0
16 10 33.3
17 16 53.4
Total 30 100.0

Tabel 6 menunjukkan bahwa pernikahan dini yang banyak dilakukan oleh


remaja putri Desa Anjatan Utara ialah pernikahan dini pada rentang usia 14-17
tahun dengan mayoritas usia pernikahan pertama adalah 17 tahun yakni sebesar
53.4 persen. Usia pernikahan pertama termuda ialah remaja putri dengan usia 14
tahun yakni sebanyak satu remaja atau sekitar 3.3 persen, sedangkan usia
pernikahan dini tertua ialah usia 17 tahun yakni sebanyak 16 remaja atau sekitar
53.4 persen. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan didapatkan bahwa
sebenarnya di lapangan remaja dengan usia 14 tahun yang melakukan pernikahan
dini berjumlah lebih banyak, namun sebagian remaja putri ikut bersama suaminya
dan tinggal di luar desa, sebagian remaja putri lainnya tidak bersedia menjadi
responden penelitian, sedang sebagian besar remaja putri lainnya bekerja di luar
negeri. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden,
sebagai berikut:

“Banyak mbak yang nikah muda sih, sekitar usia 14 tahun-an, kelas 2 SMP
pada udah nikah. Tapi ga banyak yang tinggal di desa, kebanyakan ikut
31

suaminya. Jadi tinggal di rumah mertua di luar desa. Kalo ga pada kerja di
luar negeri kayak di Taiwan”. (ENT 20 tahun)

Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik sosio ekonomi remaja


yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Adapun sebaran jumlah dan
persentase tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden dapat dilihat
pada tabel 7.

Tabel 7 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat pendidikan, 2014

Pendidikan remaja Jumlah Persentase (%)


Tamat/tidak tamat SD 1 3.3
Tamat/tidak tamat SLTP 19 63.3
Tamat/tidak tamat SMA 10 33.4
Total 30 100.0

Tabel 7 menunjukkan bahwa mayoritas remaja hanya berpendidikan setingkat


SLTP saja yakni sebesar 66.6 persen. Persentase tersebut terdiri dari remaja
dengan pendidikan setingkat sekolah dasar sebesar 3.3 persen dan setingkat
sekolah menengah atau SMP sebesar 63.3 persen. Sedang pada tingkat pendidikan
atas atau setingkat SMA, data menunjukkan hanya sekitar 26.7 persen atau
sebanyak sepuluh remaja yang menempuh pendidikan terakhir SMA. Berdasarkan
data yang didapatkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas tingkat
pendidikan yang ditempuh remaja ialah SLTP / sederajat.

Tabel 8 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, 2014

Ayah Ibu
Pendidikan
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Tidak sekolah 5 16.7 9 30.0
Tidak tamat SD 3 10.0 5 16.7
Tamat SD 14 46.7 13 43.3
Tidak tamat SMP 1 3.3 1 3.3
Tamat SMP 6 20.0 2 6.7
Tamat SMA 1 3.3 0 0.0
Total 30 100.0 30 100.0

Tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas pendidikan tertinggi ayah maupun ibu


remaja ialah setingkat SD, yakni sebesar 46.7 persen dan 43.3 persen. Hanya
sekitar 23.3 persen ayah dari remaja dan sepuluh persen ibu dari remaja yang
32

menempuh pendidikan hingga tingkat SMP, dan hanya sekitar 3.3 persen orangtua
responden yang menempuh pendidikan setingkat SMA. Berbeda dengan
mayoritas pendidikan remaja, orang tua memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah yakni setingkat SD. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara yang
dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu
Informan, sebagai berikut:

“Dulu memang pendidikan tertinggi masyarakat Desa Anjatan Utara


itu Sekolah dasar (SD). Namun, semakin ke sini masyarakat mulai
sadar bahwa melanjutkan pendidikan itu penting. Sekarang sudah naik,
semenjak ada bantuan BOS rata-rata pendidikan masyarakat itu
SLTP”(UDN 42 tahun).

Variabel berikutnya yang diduga memiliki pengaruh terhadap motif menikah


dini pada remaja ialah status ekonomi keluarga. Berdasarkan data yang
dikumpulkan di lapangan maka diperoleh mayoritas responden yakni sekitar 50
persen merupakan individu yang berasal dari kalangan keluarga dengan status
ekonomi menengah, yakni dengan rata-rata pengeluaran keluarga sekitar Rp1 360
000 – Rp2 600 000 per bulan dan penghasilan Rp1 362 000 – Rp2 318 000 per
bulan. Tiga puluh persen remaja lainnya berasal dari keluarga dengan status
ekonomi rendah dengan rata-rata pengeluaran keluarga sekitar kurang dari Rp1
360 000 per bulan dan rata-rata penghasilan keluarga sekitar kurang dari Rp1 362
000 per bulan. Remaja yang berasal dari kalangan keluarga berstatus ekonomi
tinggi hanya sekitar 20 persen dengan rata-rata penghasilan keluarga sekitar lebih
dari Rp2 318 000 per bulan dan rata-rata pengeluaran sekitar lebih dari Rp2 600
000 per bulan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi
keluarga responden dapat dilihat pada tabel 9 berikut.

Tabel 9 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
berdasarkan status ekonomi keluarga, 2014

Status ekonomi keluarga Jumlah Persentase (%)


Bawah 9 30
Menengah 15 50
Atas 6 20
Total 30 100

Penggolongan status ekonomi yang ditunjukkan pada tabel 10 merupakan


penggolongan berdasarkan data pengeluaran keluarga per bulan yang diperoleh
secara umum dari 30 responden yang diinterpretasikan mewakili status ekonomi
masyarakat Desa Anjatan Utara. Jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran
keluarga di Provinsi Jawa Barat yakni sebesar Rp5 431 863 maka masyarakat
Desa Anjatan Utara termasuk masyarakat dengan status ekonomi rendah. Hal ini
dapat ditunjukan dari perumahan warga yang masih tergolong semi permanen,
tidak memiliki kamar mandi pribadi di dalam rumah maupun kebutuhan listrik
yang menumpang ke tetangga lain. Selain sebagian rumah-rumah warga berdiri di
atas tanah dinas perairan tanpa izin. Tercatat oleh pemerintahan Desa Anjatan
33

Utara terdapat sekitar 180 keluarga dengan rumah tidak layak huni dan keluarga
miskin sosial sejumlah 1 120 keluarga. Keberadaan bank keliling dengan suku
bunga peminjaman yang cukup tinggi masih eksis dimanfaatkan masyarakat
sebagai sumber dana ketika kekurangan atau musim paceklik demi memenuhi
kebutuhan hidup terutama kebutuhan akan pangan. Hal ini dapat dimaklumi
karena sebagian besar masyarakat, yakni sekitar 5 346 jiwa penduduk
bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan sehari-hari
yang pas-pasan.

Karakteristik Biososial

Umur menstruasi pertama atau menstruasi pertama merupakan salah satu


tanda bahwa seseorang berada pada masa pubertas. Masa pubertas merupakan
masa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi
perkembangan kehidupan seksual seorang remaja. Tanda pubertas ini diduga
memiliki pengaruh terhadap pernikahan dini. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan usia menstruasi pertama dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut usia mentruasi pertama, 2014

Usia mentruasi pertama Kategori* Jumlah Persentase (%)


9-12 Cepat 15 50
13-16 Lambat 15 50
Total 30 100
*kategorisasi berdasarkan penetapan BKKBN 2010

Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa seluruh remaja telah mengalami


menstruasi pertama sebelum menikah. Umur menstruasi pertama tercepat dialami
responden ialah usia sembilan tahun, sedang umur menstruasi pertama paling
lambat yang dialami responden ialah usia 16 tahun. Berdasarkan BKKBN (2010),
umur menstruasi pertama dikategorisasikan menjadi dua, yakni cepat apabila
umur menstruasi pertama kurang dari 13 tahun dan lambat apabila umur
menstruasi pertama lebih dari atau sama dengan 13 tahun. Berdasarkan
kategorisasi tersebut maka diperoleh data di lapangan sekitar 50 persen responden
memiliki umur menstruasi pertama cepat dimana responden mengalami
menstruasi pertama pada rentang usia 9-12 tahun dan sekitar 50 persen responden
mengalami menstruasi pertama pada rentang usia 13-16 tahun.

Karakteristik Lingkungan

Norma yang berlaku juga memiliki andil dalam memengaruhi maraknya


pelaksanaan pernikahan dini di kalangan remaja putri Desa Anjatan Utara.
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan maka didapatkan bahwa
34

sebesar 80 persen remaja putri rendah dalam meyakini norma yang berlaku di
masyarakat. Hanya sekitar 20 persen remaja yang mengaku yakin terhadap norma
yang berlaku di Desa Anjatan Utara mempengaruhi diri ketika memutuskan untuk
menikah dini. Adapun data yang diperoleh terkait keyakinan terhadap norma yang
berlaku pada responden dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat keyakinan terhadap norma, 2014

Tingkat keyakinan terhadap norma Jumlah Persentase (%)


Rendah 24 80.0
Sedang 4 13.3
Tinggi 2 6.7
Total 30 100.0

Tabel 11 menunjukkan bahwa mayoritas remaja menunjukkan ketidakyakinan


terhadap norma yang ada. Sebesar 80 persen remaja menunjukkan tingkat
keyakinan yang rendah terhadap norma yang ada. Hanya sekitar 6.7 persen remaja
menunjukkan tingkat keyakinan yang tinggi terhadap norma yang ada, sedangkan
13.3 persen lainnya remaja menunjukkan tingkat keyakinan sedang terhadap
norma yang ada. Norma-norma yang dimaksud dalam penelitian ini ialah norma-
norma terkait pemaknaan menikah, keutamaan menikah dibandingkan sekolah,
konsep perempuan yang tidak laku apabila menikah diusia tua maupun
pemahaman masyarakat bahwa akan jauh jodoh apabila menolak sebuah lamaran.
Nilai-nilai norma yang berkembang tersebut berkaitan dengan pemakluman
pernikahan dini yang disebabkan oleh kehamilan terlebih dahulu. Berdasarkan
data yang diperoleh di lapangan maka ditemukan bahwa norma tersebut
mendukung pernikahan dini yang terjadi, remaja menyanksikan norma yang ada
akan memaklumi seorang individu remaja putri ketika terjadi kehamilan di luar
nikah, sehingga remaja putri lebih memilih untuk menikah dini demi harga diri
dan rasa aman.

Motif yang Melatarbelakangi Remaja Putri Menikah Dini

Perilaku seseorang pada umumnya dilatarbelakangi oleh motif yang


dimiliki. Perilaku menikah dini dalam penelitian ini diduga berkaitan dengan
motif remaja. Motif menikah dini pada penelitian ini terbagi menjadi lima motif
yang didasarkan atas piramida kebutuhan Maslow, yakni physiological Needs
(kebutuhan fisiologi), safety Needs (kebutuhan akan keamanan), social Needs
(kebutuhan sosial), ego and Esteem Needs (kebutuhan harga diri), self-
actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri). Adapun jumlah dan persentase
motif responden dalam menikah dini dapat dilihat pada tabel 12.
35

Tabel 12 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif menikah dini, 2014

Tingkat motif menikah dini Jumlah Persentase (%)


Lemah 7 23.3
Sedang 16 53.4
Kuat 7 23.3
Total 30 100.0

Tabel 12 menunjukkan bahwa mayoritas responden yakni sebesar 53.4 persen


responden berada pada tingkat motif sedang dengan total jawaban kuesioner
sebesar 34-44. Tingkat motif kuat dan lemah responden menunjukkan persentase
yang sama yakni sebesar 23.3 persen responden. Sekitar 83 persen responden
hanya mencapai pada motif harga diri saja, sedang pada motif aktualisasi diri
hanya sekitar 17 persen saja. Responden menunjukkan bahwa pernikahan dini
yang dilakukan lebih didominasi oleh motif untuk memenuhi kebutuhan akan
keamanan (dengan maksud untuk menghindari zinah), sosial (keinginan untuk
lebih diperhatikan pasangan) dan harga diri (agar tidak menjadi aib bagi
keluarga). Ketiga motif tersebut menunjukkan persentase yang tinggi.

Tabel 13 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif fisiologi, 2014

Tingkat motif fisiologi Jumlah Persentase (%)


Lemah 3 10.0
Sedang 16 53.3
Kuat 11 36.7
Total 30 100.0

Tabel 13 menggambarkan bahwa 53.3 persen responden memiliki tingkat


motif yang sedang pada fisiologi dalam melatarbelakangi keputusannya untuk
menikah dini. Sedang hanya sebesar 36.7 persen responden yang menunjukkan
persentase kuat pada motif ini. Mayoritas remaja setuju bahwa menikah di usia
dini merupakan cara untuk meringankan tanggungan ekonomi keluarga, yakni
dengan menjadikan diri sebagai tanggungan suami ataupun tanggungan orangtua
suami. Motif ini merujuk pada pemenuhan kebutuhan kebutuhan dasar pelaku
pernikahan dini, baik ekonomi (sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan
seksual.
36

Tabel 14 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif rasa aman, 2014

Tingkat motif rasa aman Jumlah Persentase (%)


Lemah 3 10.0
Sedang 10 33.3
Kuat 17 56.7
Total 30 100.0

Tabel 14 memperlihatkan bahwa remaja putri Desa Anjatan Utara memiliki


motif rasa aman yang tinggi saat memutuskan untuk menikah dini yaitu sebesar
56.7 persen. Kekhawatiran akan pergaulan yang bebas dikalangan remaja desa
dan maraknya kehamilan di luar pernikahan mendorong responden untuk segera
menikah dengan pasangannya guna menghindari omongan buruk masyarakat.
Diketahui dalam beberapa kesempatan wawancara mendalam dengan remaja
pelaku pernikahan dini dan warga desa secara umum mengakui bahwa pernikahan
yang terjadi umumnya disebabkan oleh kehamilan yang terjadi di luar nikah
kalaupun tidak karena kehamilan di luar nikah biasanya dikarenakan pasangan
muda-mudi yang pacaran di dalam rumah salah satunya dalam kurun waktu lebih
responden, sebagai berikut:

“Saya dinikahkan oleh orangtua dengan pacar saya karena waktu itu
pacar saya main dirumah sampe tengah malem, waktu itu orangtua saya
sedang tidak di rumah walau saya tidak melakukan apa-apa, tapi orangtua
saya menyuruh saya untuk menikah saja karena dikhawatirkan jadi
omongan orang.” (YNT 18 tahun)

Tabel 15 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif sosial, 2014

Tingkat motif Jumlah Persentase (%)


Lemah 0 0
Sedang 12 40
Kuat 18 60
Total 30 100

Tabel 15 menunjukkan bahwa 60 persen remaja mengakui bahwa motif


menikah dini yang didasarkan oleh kebutuhan akan hubungan sosial memiliki
tingkat kuat dalam mempengaruhi remaja untuk menikah dini. Keinginan untuk
diperhatikan lebih oleh pasangan dan keinginan untuk memiliki hubungan
keluarga yang lebih luas mendorong remaja memutuskan untuk menikah diusia
muda. Selain itu, kesengajaan beberapa responden melakukan menikah dini ialah
agar mendapat restu dari orangtua pasangan untuk bisa tetap saling berhubugan.
Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai
berikut:
37

“Ya, beberapa pasangan yang menikah dini itu sengaja pura-pura sudah
hamil ke orangtuanya agar bisa dinikahkan. Biasanya hal tersebut
dikarenakan status ekonomi keluarga yang berbeda diantara pasangan
tersebut. Yang satu kaya, yang satu miskin lalu orangtua yang kaya
biasanya ga setuju lalu anaknya jadi pura-pura udah hamil duluan biar
dinikahkan” (JNN 32 tahun)

Tabel 16 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif harga diri, 2014

Tingkat motif harga diri Jumlah Persentase (%)


Lemah 3 10.0
Sedang 10 33.3
Kuat 17 56.7
Total 30 100.0

Tabel 16 menggambarkan bahwa 56.7 persen remaja mengakui bahwa motif


harga diri merupakan salah satu motif yang memiliki pengaruh terhadap
keputusannya untuk menikah dini. Tingkat motif harga diri yang kuat sejalan
dengan hasil pengamatan di lapang, dimana sebagian besar pernikahan dini yang
terjadi pada remaja disebabkan oleh alasan hamil terlebih dahulu atau terjadi
kebobolan pada remaja putri sehingga pernikahan dini dianggap sebagai jalan
terbaik untuk menjaga harga diri remaja putri. Hal tersebut sejalan dengan yang
disampaikan oleh dua responden di lapangan, sebagai berikut

“Mau gimana lagi mbak, sekarang saya sudah hamil. Kalau gak buru-
buru menikah saya bakal malu sama tetangga, nanti malah jadi omongan
orang. Kasian nanti orangtua saya juga ikut malu.” (RMM 14 Tahun)

“Waktu itu saya udah jadi omongan orang. Orang-orang bilang saya
udah hamil padahal belum. Yaudah biar ga malu, saya nikah aja sama
pacar saya.” (DWR 18 tahun)

Tabel 17 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
menurut tingkat motif aktualisasi diri, 2014

Tingkat motif aktualisasi diri Jumlah Persentase (%)


Lemah 11 36.7
Sedang 16 53.3
Kuat 3 10.0
Total 30 100.0

Tabel 17 menunjukkan bahwa 53.3 persen remaja menunjukkan tingkat


sedang pada motif aktualisasi diri. Sebesar 36.7 persen remaja menunjukkan
tingkat motif lemah pada motif ini, hanya sekitar sepuluh persen dari remaja yang
38

menunjukkan tingkat motif yang tinggi pada motif ini. Remaja mengakui bahwa
pernikahan dini yang dilakukan dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk
mengaktualisasi diri. Sebagian besar remaja memberikan respon negatif ketika
ditanya apakah menikah dikarenakan ingin terbebas dari orang tua. Sebagian
remaja menyampaikan bahwa menikah di usia dini bukan dikarenakan keinginan
dari diri atau bukan menjadi pilihan hidupnya, melainkan dikarenakan dorongan
orang tua yang tidak ingin menjadi malu akibat pergaulan bebas yang dijalani
remaja. Pernikahan dini, tidak menjadi tujuan pilihan remaja untuk
mengembangkan potensi diri maupun lepas dari kontrol orang tua. Bahkan
sebagian besar remaja yang telah menikah masih hidup dan makan dari orangtua.

Tingkat Kejadian Perceraian

Menikah pada usia dini diduga memiliki kontribusi terhadap tingginya angka
perceraian dini pada remaja. Kematangan diri remaja yang belum tercapai
mendorong terjadinya percekcokan dalam rumah tangga yang berakhir pada
perceraian. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maka diperoleh enam dari
30 responden atau sekitar 20 persen responden yang mengalami perceraian diusia
muda dengan rata-rata usia pernikahan ialah hanya sekitar satu tahun. Adapun
jumlah dan persentase status pernikahan dapat dilihat pada tabel 19.

Tabel 18 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
berdasarkan status pernikahan, 2014

Status pernikahan Jumlah Persentase (%)


Cerai 6 23.3
Tidak cerai 24 76.7
Total 30 100.0

Tabel 18 menunjukkan masih tingginya tingkat kejadian perceraian di usia


dini yakni sebesar 23.3 persen. Kejadian perceraian diusia dini yang terjadi
disebabkan terjadinya percekcokan dan banyaknya perbedaan yang ada diantara
remaja putri dan suami. Pernikahan yang berawal dari perkenalan di salah satu
sosial media, menjadikan remaja putri tidak begitu mengenal sosok sang suami.
Sebagai individu yang berada pada masa topan badai dan stress (storm and stress),
serta tingginya rasa keinginan untuk bebas remaja belum bisa menyadari bahwa
pernikahan yang dijalani ialah suatu komitmen bukan sekedar hubungan seperti
pacaran yang banyak dijalani oleh remaja pada umumnya, sehingga belum adanya
tanggung jawab pada dirinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Berdasarkan temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyaknya tuntutan
dari suami menjadikan remaja putri tidak mampu memenuhi apa yang diinginkan
suami. Usia suami yang lebih dewasa menjadikan remaja nampak belum mampu
berpendapat dan bernegosiasi dengan baik saat adanya percekcokan diantara
keduanya sehingga sang suami lebih memilih mencari individu lain yang lebih
mampu memahaminya. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh dua
responden, sebagai berikut
39

“Pernikahan saya hanya satu tahun mbak, setelah itu bercerai. Saya tidak
begitu mengenal siapa suami saya. Saya hanya mengenalnya dari facebook.
Waktu itu kenalan lalu ngajak nikah. Yaudah saya mau saja. Tapi ternyata
dianya begitu.Gak tanggung jawab. Yaudah cerai aja”. (YNT 18 Tahun).

“Saya sudah bercerai dengan suami saya mbak. Dulu cekcok terus, yaudah
cerai aja. Sekarang dia sudah menikah lagi dengan perempuan desa lain.”
(TLT 20 tahun)

Ikhtisar

Pernikahan dini yang terjadi pada remaja Desa Anjatan Utara pada
umumnya merupakan pernikahan dini palsu, yakni dilakukan sebagai
kamuflase dari moralitas kurang etis dari para pelakunya. Pernikahan dini yang
terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara merupakan pernikahan dini yang
dilakukan pada rentang usia 14-17 tahun. Mayoritas pernikahan dini dilakukan
pada usia 17 tahun, yakni sebesar 53.4 persen. Mayoritas tingkat pendidikan
para pelaku pernikahan dini di Desa Anjatan Utara ialah tingkat pendidikan
sedang atau setingkat SLTP, yakni sebesar 63.3 persen. Tingkat pendidikan
ayah dan ibu para pelaku pernikahan secara mayoritas adalah tingkat
pendidikan rendah atau setingkat SD, yakni sebesar 46.7 persen dan 43.3
persen. Mayoritas pelaku pernikahan dini berasal dari keluarga dengan status
ekonomi menengah kebawah, yakni dengan rata-rata pengeluaran keluarga
sebesar Rp1 360 000 – Rp2 600 000 per bulan dan penghasilan keluarga
sebesar Rp1 362 000 – Rp2 318 000 per bulan. Menstruasi pertama yang
mewakili tanda masuknya pubertas para pelaku pernikahan dini menunjukkan
bahwa sebesar 98 persen pelaku pernikahan dini telah mengalami menstruasi
pertama, dengan persentase yang seimbang antara kategori menstruasi cepat
dan lambat.
Karakteristik lingkungan (dalam penelitian ini keyakinan terhadap
norma) diduga termasuk menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan
pernikahan dini yang terjadi. Data di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas
pelaku pernikahan dini menunjukkan ketidakyakinan terhadap norma yang ada,
yakni sebesar 80 persen pelaku pernikahan dini menyanksikan norma yang ada
akan memberikan toleransi terhadap kehamilan yang terjadi. Hal tersebut
berkaitan dengan motif yang melatarbelakangi pelaku pernikahan dini ketika
memutuskan untuk menikah di usia dini. Data di lapangan menunjukkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi secara umum dilatarbelakangi oleh motif untuk
memenuhi kebutuhan akan rasa aman (dengan maksud menghindari zinah),
motif untuk memenuhi kebutuhan sosial (keinginan untuk lebih diperhatikan
oleh pasangan), dan motif untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri
(menutupi kehamilan yang terjadi agar tidak menjadi aib bagi keluarga).
41

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MENIKAH DINI


TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengaruh antara


karakteristik sosio ekonomi, biososial, dan lingkungan terhadap motif menikah
dini pada remaja putri di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten
Indramayu. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini ialah uji regresi
linear berganda dengan nilai probabilitas sebesar 0.10. Karakteristik sosioekonomi
yang dilakukan uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini ialah tingkat
pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, dan status
ekonomi keluarga. Karakteristik biososial yang dilakukan uji pengaruhnya
terhadap motif menikah dini adalah umur menstruasi pertama, sedangkan
karakteristik lingkungan yang dilakukan uji pengaruhnya terhadap motif menikah
dini adalah keyakinan terhadap norma. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan maka diperoleh hubungan pengaruh dari masing-masing variabel.
Adapun hasil analisis yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 19.

Tabel 19 Nilai koefisien regresi berganda antara faktor-faktor menikah dini


terhadap motif menikah dini, 2014

Faktor-faktor menikah dini Motif menikah dini (B)


Tingkat pendidikan remaja 0.829
Tingkat pendidikan ayah -4.292
Tingkat pendidikan ibu -3.704
Status ekonomi keluarga -4.030*
Umur menstruasi pertama 1.142
Keyakinan terhadap norma 4.239
Keterangan: B = koefisien regresi , *signifikan pada taraf nyata 10 %

Tabel 19 menunjukkan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa masing-


masing indikator memiliki nilai koefisien regresi yang berbeda-beda. Nilai
koefisien regresi yang dihasilkan menunjukkan seberapa besar pengaruh faktor-
faktor menikah dini terhadap motif menikah dini. Nilai positif dan negatif pada
koefisien regresi akan menjelaskan tentang pengaruh yang akan menaikkan atau
menurunkan motif menikah dini, untuk angka dengan tanda positif berarti akan
menaikkan motif menikah dini sedangkan angka dengan tanda negatif akan
menurunkan motif menikah dini. Adapun persamaan regresi yang didapat sebagai
berikut:

Y = 47,813 + 0,829 X1 – 4,292 X2 - 3,704 X3 - 4,030 X4 + 1,142 X5 + 4,239 X6

Berdasarkan hasil uji statistik regresi linear berganda yang dilakukan antara
faktor-faktor menikah dini terhadap motif menikah dini maka dihasilkan bahwa
hanya variabel status ekonomi keluarga yang menunjukkan pengaruh signifikan
terhadap motif remaja putri dalam menikah dini pada taraf nyata 10 persen.
42

Berikut penjelasan detail pada masing-masing variabel faktor-faktor menikah dini


yang di uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini.

Pengaruh Tingkat Pendidikan Remaja terhadap Motif Menikah Dini

Variabel tingkat pendidikan remaja, secara kuantitatif tidak menunjukkan


pengaruh nyata terhadap motif menikah dini. Hal ini ditunjukan dengan nilai
probabilitas signifikan yang dihasilkan dari keduanya sebesar 0.773. Nilai tersebut
lebih besar dari nilai probabilitas penelitian yakni 0.10. Jika dilihat dari koefisien
regresi yang dihasilkan yakni sebesar 0.829 maka nilai tersebut menunjukkan
bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan pelaku sebesar satu-satuan akan
menaikan rata-rata motif menikah dini sebesar 0.829 satu-satuan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak selamanya tingkat pendidikan yang tinggi akan
menunjukkan motif menikah dini yang kuat. Data di lapangan menunjukkan
bahwa motif menikah dini yang tinggi cenderung terjadi pada tingkat pendidikan
sedang yakni SLTP, sehingga data tersebut tidak menunjukkan bahwa semakin
rendah pendidikan remaja maka akan semakin kuat motif remaja untuk menikah
dini maupun sebaliknya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tingkat
pendidikan remaja memang bukan menjadi faktor yang mempengaruhi pernikahan
dini yang terjadi, tingkat pendidikan remaja bahkan menjadi salah satu akibat
yang diterima dari pernikahan dini yang terjadi.

Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua terhadap Motif Menikah Dini

Variabel tingkat pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu dari pelaku
secara kuantitatif tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap motif menikah
dini. Hal ini ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan yakni
0.140 dan 0.289. Berdasarkan kaidah keputusan analisis data statistik, jika nilai
probabilitas penelitian (dalam penelitian ini sebesar 0.10) lebih besar atau sama
dengan nilai probabilitas signifikan maka variabel independen tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Hal tersebut juga dapat
terlihat dari koefisien regresi yang dihasilkan yakni -4.292 dan -3.704. Nilai
koefisien regresi antara tingkat pendidikan ayah pelaku dengan motif menikah
dini sebesar -4.292 tidak menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan
ayah pelaku sebesar satu-satuan akan menurunkan rata-rata motif menikah dini
sebesar 4.292 satu-satuan. Berdasarkan hasil kualitatif di lapangan ditemukan
bahwa tingkat pendidikan ayah yang tinggi yakni setingkat SMA tidak
berpengaruh terhadap motif menikah dini pelaku menjadi rendah.
Sama halnya dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan Ibu tidak
menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif menikah dini remaja dengan
koefisien regresi sebesar -3.704. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap
kenaikan tingkat pendidikan Ibu pelaku satu-satuan akan menurunkan rata-rata
motif menikah dini sebesar 3.704 satu-satuan. Nyatanya di lapangan ditemukan
keseragaman data terkait tingkat pendidikan Ibu, yakni 90 persen hanya
menempuh pendidikan sembilan tahun. Berdasarkan data yang diperoleh
mengumpul pada kategori rendah atau tingkat pendidikan rendah yakni setingkat
43

SD, sehingga hasil tersebut tidak menunjukkan bahwa semakin rendah pendidikan
remaja maka akan mempengaruhi semakin kuat motif remaja untuk menikah dini
maupun sebaliknya, data tidak menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan
Ibu remaja maka akan semakin lemah motif menikah dini pada remaja.

Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini

Tabel 19 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan antara


status ekonomi keluarga dengan motif menikah dini pada remaja. Hal tersebut
ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan yakni sebesar
0.058. Berdasarkan kaidah keputusan analisis data statistik, jika nilai probabilitas
penelitian lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas signifikan. maka
variabel independen menunjukkan pengaruh signifikan terhadap variabel
dependen. Oleh karena itu, status ekonomi keluarga sebagai variabel independen
terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini sebagai
variabel dependen. Jika di lihat dari koefisien regresi yang dihasilkan yakni
sebesar – 4.030 menunjukkan bahwa setiap kenaikan status ekonomi keluarga
maka akan menurunkan rata-rata motif menikah dini sebesar 4.030 satu-satuan.
Hasil analisis tersebut sejalan dengan data yang diperoleh di lapangan, yakni
sekitar 80 persen responden berasal dari keluarga dengan status ekonomi
menengah ke bawah dengan pengeluaran keluarga rata-rata sekitar kurang dari
Rp1 360 000 per bulan. Status ekonomi tersebut sebenarmya berkaitan dengan
tingkat pendidikan remaja dimana sekitar 66.6 persen responden hanya
berpendidikan hingga SLTP saja, itu pun tidak seluruh responden berstatus tamat
SLTP. Sekitar 23.3 persen responden hanya menempuh pendidikan hingga kelas
dua SLTP saja. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orangtua dalam
membiayai pendidikan responden, sehingga responden secara terpaksa putus
sekolah dan lebih memilih menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak
diharapkan5. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu
responden, sebagai berikut:

“Ya gimana ya mbak, orangtua udah gak mampu membiayai saya sekolah.
Daripada tidak ada kerjaan, saya pacaran udah lama takut jadi omongan
orang, yasudah saya nikah saja” (RMN 17 tahun)

Hal ini sejalan dengan norma yang berkembang di lapangan bahwa terdapat
nilai yang berkembang bahwa anak perempuan merupakan aset ekonomi keluarga,
dimana anak perempuan diharapkan dapat mengangkat derajat ekonomi keluarga.
Salah satu diantaranya adalah dengan menikah diusia dini. Hasil analisis ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Landung dkk (2009)
yang menemukan bahwa adanya keinginan pada remaja untuk dapat membantu
perekonomian keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang rendah mendorong
remaja untuk berkeinginan bekerja di luar negeri. Keinginan tersebut berkaitan
dengan keinginan segera menikah. Mayoritas remaja putri yang bekerja di luar
negeri melakukan pernikahan terlebih dahulu sebelum berangkat pergi bekerja.
Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberikan rasa aman dan
5
Hamil diluar nikah lalu menjadi omongan orang.
44

menghindari omongan buruk masyarakat atas pekerjaan di luar negeri. Pada


masyarakat juga berkembang anggapan bahwa perempuan yang bekerja di luar
negeri selain bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) juga bekerja
sebagai karyawan di pabrik botol6. Selain itu, di masyarakat berkembang istilah
luruh duit yang memiliki arti sama dengan pekerjaan sebagai karyawan di pabrik
botol.

Pengaruh Umur Menstruasi Pertama terhadap Motif Menikah Dini

Variabel umur menstruasi pertama tidak menunjukkan pengaruh signifikan


terhadap motif menikah dini. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai probabilitas
signifikan yang dihasilkan keduanya yakni sebesar 0.714 dengan koefisien regresi
sebesar 1.142. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan menunjukkan bahwa setiap
kenaikan usia menstruasi pertama maka akan menaikan rata-rata motif menikah
dini sebesar 0.714 satu-satuan. Artinya, semakin cepat seorang remaja putri
mengalami menstruasi pertama maka akan menaikan rata-rata motif menikah dini.
Nyatanya di lapangan ditemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi tidak
memiliki kaitan dengan usia menstruasi pertama remaja putri. Hal ini sejalan
dengan hasil di lapangan bahwa pernikahan yang terjadi tidak dipengaruhi oleh
cepat lambat remaja mengalami menstruasi pertama dimana mayoritas menikah
dini memang terjadi pada remaja putri yang sudah mengalami menstruasi pertama,
namun di lapangan bahkan di temukan bahwa terdapat satu pelaku menikah dini
yang baru mendapatkan menstruasi pertama setelah menikah. Hal ini berkaitan
dengan pengertian kedewasaan seorang remaja putri di lapangan yang tidak dilihat
dari kemampuannya secara reproduksi, melainkan dilihat dari standarisasi umur
yakni 17 tahun. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu
responden, sebagai berikut:

“Ya sama dengan aturan undang-undang perkawinan, remaja putri yang


boleh nikah ya yang usianya sudah mencapai 17 tahun. Walau dia udah
mens tapi belum usia 17 tahun mah masih anak-anak” (SPD 42 tahun)

Pengaruh Tingkat Keyakinan Norma terhadap Motif Menikah Dini

Perilaku menikah dini merupakan perilaku operan yang dipelajari remaja


dari lingkungan tempat individu tinggal. Hal tersebut merujuk pada perilaku
menikah dini yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberadaan nilai dan norma yang
berkembang di masyarakat terkait keberadaan seorang remaja putri dan konsep
pernikahan. Pengaruh lingkungan dalam penelitian ini dihitung melalui tingkat
keyakinan remaja terhadap norma dan nilai yang berkembang. Berdasarkan hasil
uji statistik yang dilakukan maka dihasilkan bahwa tingkat keyakinan terhadap
norma tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif menikah dini yang
terjadi. Hal tersebut ditunjukan dari nilai koefisien regresi yang dihasilkan yakni
sebesar 4.239, yang berarti bahwa setiap kenaikan satu-satuan keyakinan remaja
terhadap norma maka akan menaikan rata-rata motif menikah dini sebesar 4.239
6
Ibid hal. 24
45

satu-satuan. Artinya, semakin yakin pelaku menikah dini terhadap norma yang
berlaku maka akan semakin kuat motif pelaku untuk menikah dini. Hal ini sejalan
dengan hasil di lapangan bahwa sebesar 80 persen remaja menunjukkan tingkat
keyakinan yang rendah terhadap norma yang ada. Pelaku menikah dini
menyanksikan norma yang ada akan memaklumi seorang individu remaja putri
diterima dan dimaklumi ketika terjadi kehamilan di luar nikah, sehingga lebih
memilih untuk menikah dini untuk menghindari sanksi sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin rendah keyakinan remaja terhadap norma yang ada
maka akan semakin kuat motif remaja untuk menikah. Hal tersebut sejalan dengan
yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut:

“Saya ga yakin mbak kalo masyarakat mau memaklumi saya yang hamil
dulu sebelum menikah. Makannya saya lebih pilih segera menikah ketika
saya sudah „terlalu dekat‟ dengan pacar saya biar ga dapet omongan ga
enak dari masyarakat” (RNY 20 tahun)

Ikhtisar

Bab ini menunjukkan bahwa hanya status ekonomi keluarga yang


memiliki pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini yang ada. Tingkat
pendidikan pelaku menikah dini, tingkat pendidikan ayah dan ibu pelaku, umur
menstruasi pertama dan keyakinan terhadap norma yang ada tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap motif menikah dini pada para pelaku. Hasil uji
statistik ini sejalan dengan kondisi di lapangan dimana status ekonomi merupakan
faktor kuat yang mempengaruhi dorongan atau motif para pelaku untuk menikah
dini. Keberadaan para pelaku dari golongan keluarga menengah ke bawah
mendorong pada motif yang kuat pada para pelaku untuk membantu
perekonomian keluarga. Tingkat pendidikan pelaku maupun orangtua menjadi
akibat yang ditimbulkan dari status ekonomi yang rendah sehingga tidak
memberikan kontribusi yang tinggi dalam mempengaruhi motif menikah dini
pada para pelaku menikah dini. Status kedewasaan pada para pelaku yang ditandai
dengan kecepatan usia mentruasi pertama nyatanya tidak menunjukkan pengaruh
terhadap motif menikah dini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketika
memutuskan untuk menikah dini para pelaku tidak menyadari atau
mempertimbangkan pengalaman menstruasi pertama. Begitu juga denga
keyakinan terhadap norma, pelaku menunjukkan bahwa ketidakyakinan bahwa
masyarakat akan memaklumi pernikahan yang dilakukan di usia muda.
46
47

PEMBENTUKAN IDENTITAS REMAJA PUTRI PERDESAAN


YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Pembentukan identitas pada remaja merupakan hal yang penting


diperhatikan mengingat keberadaan remaja sebagai individu yang berada pada
tugas perkembangan Identitas versus kebingungan identitas. Berdasarkan data di
lapangan menunjukkan bahwa pembentukan identitas pada remaja putri pelaku
pernikahan dini cenderung memiliki identitas diri yang kuat dibandingkan
identitas sosialnya sebagai remaja Desa Anjatan Utara. Berikut jumlah dan
persentase terkait pembentukan identitas diri dan identitas sosial remaja dapat
dilihat pada tabel 20.

Tabel 20 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
berdasarkan pembentukan identitas diri dan identitas sosial, 2014

Identitas diri Identitas sosial


Kategori
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Lemah 7 23.3 19 63.3
Kuat 23 76.7 11 36.7
Total 30 100.0 30 100.0

Tabel 20 menunjukkan bahwa sebesar 76.7 persen remaja pelaku pernikahan


dini menyadari akan pemaknaan dirinya sendiri berkaitan dengan hal-hal yang ia
inginkan untuk masa depannya yang didorong dari motivasi diri termasuk
motivasi menikah dini. Sedangkan 23.3 persen remaja lainnya menunjukkan rasa
kurang yakin atas pemaknaan dirinya sendiri terkait masa depan dan cita-citanya
terkait menikah dini. Sebesar 63.3 persen remaja menunjukkan bahwa individu
tidak merasa menjadi bagian dari kelompok remaja Desa Anjatan Utara. Hanya
sekitar 36.7 persen yang menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok
remaja Desa Anjatan Utara. Berikut penjelasan detail pada masing-masing
pmbentukan identitas pada remaja putri yang menikah dini.

Pembentukan Identitas Diri pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini

Hasil pengumpulan data di lapangan menunjukan bahwa remaja putri pelaku


pernikahan dini memiliki identitas diri yang kuat, dimana individu pelaku
menyadari akan pemaknaan diri yang berkaitan dengan cita-cita pribadi, imajinasi
pribadi, ide-ide pribadi, kesadaran akan keunikan diri, moral pribadi dan
kepentingan pendapat diri. Tabel 20 menunjukan bahwa 76.7 persen pelaku
pernikahan dini masih merasa menjadi individu yang unik dan memiliki cita-cita
walaupun sebagian besar keputusan terkait pilihan menikah dini bukanlah
keputusan diri sepenuhnya namun dipengaruhi juga oleh saran orang tua dan
omongan orang. Hal ini sejalan dengan kondisi di lapangan, dimana remaja yang
menikah dini bahkan akan merasa menjadi lebih sadar akan keberadaan dirinya
48

sendiri. Pelaku menikah dini mengakui menjadi lebih tahu apa saja yang akan
dilakukannya di masa depan. Responden bahkan menunjukkan identitas yang kuat
ketika dirinya dikaitkan dengan pernikahan dini. Responden mengakui menjadi
lebih mengutamakan pendapat diri di bandingkan omongan orang lain. Berikut
penjelasan lebih detail terkait pencapaian dari masing-masing indikator identitas
diri pelaku pernikahan dini.

Tabel 21 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara
berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikator-indikator identitas diri, 2014

Lemah (skor 1-2) Kuat (skor 3-4) Total


Indikator
identitas diri Persentase Persentase Persentase
Jumlah Jumlah Jumlah
(%) (%) (%)
Moral
23 76.6 7 23.4 30 100.0
pribadi
Cita-cita
19 63.3 11 36.7 30 100.0
pribadi
Imajinasi
8 73.3 22 26.7 30 100.0
pribadi
Ide-ide
3 10.0 27 90.0 30 100.0
pribadi
Kesadaran
akan 13 43.3 17 56.7 30 100.0
keunikan diri
Kepentingan
13 43.3 17 56.7 30 100.0
pendapat diri

Tabel 21 menunjukan bahwa tidak secara keseluruhan pencapaian pada


masing-masing indikator pembentukan identitas diri berada di tingkat yang kuat.
Sebagaimana pada indikator moral diri, 76.6 persen pelaku menunjukan bahwa
moral diri berada pada tingkat yang lemah, dimana pelaku pernikahan dini
cenderung mementingkan moral sosial yang berlaku pada masyarakat
dibandingkan dengan moral diri, hal ini berkaitan dengan motif yang
melatarbelakangi kejadian pernikahan dini yakni keamanan, sosial dan harga diri
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Moral sosial yang berlaku
pada masyarakat dalam hal ini ialah moral terkait seorang gadis, dimana tidak
diterima apabila seorang remaja putri mengalami kehamilan pranikah. Oleh sebab
itu, untuk memenuhi kepentingan tersebut maka remaja putri pada akhirnya
memutuskan untuk menikah diusia yang masih muda. Hal tersebut menunjukan
bahwa remaja putri lebih mementingkan moral sosial dibandingkan moral diri.
Indikator cita-cita pribadi dikaitkan dengan cita-cita menikah diusia yang
muda. Tabel 21 menunjukan bahwa 63.3 persen pelaku menunjukan bahwa
menikah dini bukan menjadi cita-citanya, menikah dini merupakan suatu
keterpaksaan dari keadaan yang ada, dimana remaja putri terpaksa menikah untuk
menutupi perilaku buruk yang telah dilakukannya bersama pasangannya. Cita-cita
ini berkaitan dengan rasa pesimis pada diri pelaku menikah dini, dimana para
49

pelaku menjadi kurang yakin dalam pencapaian cita-cita lainnya dimasa datang.
Begitu juga pada indikator ide-ide pribadi, imajinasi pribadi dan pendapat diri,
walaupun hasil pengumpulan data secara angka menunjukan tingkat yang kuat
pada indikator-indikator tersebut, namun secara kualitatif pelaku menunjukan
bahwa ide-ide pribadi, imajinasi pribadi dan pendapat diri tidak dapat
disampaikan secara tegas pada kehidupan sehari-hari. Ide-ide pribadi, imajinasi
pribadi dan pendapat diri lebih banyak dipendam dan tidak diungkapkan, dimana
pelaku pernikahan dini cenderung mementingkan ide-ide dan pendapat orang lain
(dalam hal ini suami, orangtua dan masyarakat).

Pembentukan Identitas Sosial pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini

Hasil pengumpulan data di lapangan menunjukkan bahwa remaja yang


menikah dini memiliki identitas sosial yang rendah. Pelaku pernikahan dini tidak
menyadari bahwa diri sebagai bagian dari remaja Desa Anjatan Utara. Remaja
mengakui bahwa remaja yang menikah dini tidak lebih baik dari remaja yang
menikah diusia tua. Pernikahan dini yang dilakukan sebagian besar merupakan
pernikahan yang dilakukan di bawah tangan. Hal ini disebabkan oleh usia yang
belum memenuhi syarat untuk melaksanakan pernikahan, juga dikarenakan
mahalnya biaya administrasi untuk mengurus dispensasi pernikahan di bawah
umur. Pemaknaan negatif terhadap individu remaja Desa Anjatan Utara yang
menikah dini mendorong pelaku pernikahan dini menghindari diri dari bagian
masyarakat. Berikut penjelasan lebih detail dari masing-masing indikator terkait
pembentukan identitas sosial.

Tabel 22 Jumlah pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat
kuat lemah terhadap indikator-indikator identitas sosial, 2014

Indikator Lemah (skor 1-2) Kuat (skor 3-4) Total


identitas Persentase Persentase Persentase
sosial Jumlah Jumlah Jumlah
(%) (%) (%)
Kesamaan 21 70.0 9 30.0 30 100.0
perilaku
dengan
masyarakat
Kesadaran 7 23.3 23 76.7 30 100.0
menjaga
nama baik
desa
Kepatuhan 9 30.0 21 70.0 30 100.0
terhadap adat
istiadat
Bagian dari 20 66.7 10 33.3 30 100.0
masyarakat
desa
50

Tabel 22 menunjukan bahwa indikator yang menunjukan tingkat lemah


pada pencapaian identitas sosial remaja putri pelaku pernikahan dini adalah
kesadaran akan kesamaan perilaku dengan masyarakat desa maupun kesadaran
menjadi bagian masyarakat. Sebesar 70.0 dan 66.7 persen pelaku pernikahan dini
menunjukan tingkat yang lemah. Hal tersebut disebabkan oleh pemaknaan negatif
yang melekat pada diri pelaku pernikahan dini di masyarakat Desa Anjatan Utara.
Jawaban yang diberikan oleh pelaku pernikahan dini tidak lain merupakan suatu
upaya penghindaran diri dari pemaknaan negatif yang ada. Sebagaimana
dijelaskan pada bab sebelumnya, pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat
Desa Anjatan Utara merupakan pernikahan di bawah tangan atau pernikahan tidak
resmi yang dilakukan guna mengatasi kekhawatiran orangtua para remaja putri
akan pergaulan bebas di kalangan remaja desa. Selain itu, tidak sedikit pelaku
pernikahan dini menunjukan bahwa pernikahan dini yang terjadi didorong oleh
kehamilan pranikah. Pemaknaan negatif terhadap individu remaja Desa Anjatan
Utara yang menikah dini mendorong remaja putri pelaku pernikahan dini
menghindari diri dari bagian masyarakat. Sedangkan pada indikator kepatuhan
terhadap adat istiadat dan kesadaran untuk menjaga nama baik, remaja pelaku
pernikahan dini menunjukan tingkat yang kuat, dimana pelaku mengakui bahwa
keputusan menikah dini juga didorong untuk mematuhi adat istiadat desa dan
menjaga nama baik desa yang pada hakikatnya yakni berperilaku berdasarkan
moral agama Islam.

Ikhtisar

Bab ini menunjukkan bahwa pembentukan kuat pada identitas diri para
pelaku dibandingkan dengan pembentukan identitas sosial para pelaku sebagai
remaja Desa Anjata Utara. Hal ini berkaitan dengan pernikahan dini yang
dilakukan. Mayoritas pernikahan dini yang dilakukan merupakan pernikahan dini
palsu yang bertujuan sebagai kamuflase kehamilan yang terjadi. Pernikahan di
bawah tangan mendorong para pelaku untuk membentuk identitas dirinya
dibandingkan identitas sosialnya sebagai bagian dari masyarakat. Pernikahan dini
yang ada malah menjadikan para pelaku menikah dini merasa menjadi lebih sadar
akan keberadaan dirinya sendiri yang meliputi harga diri dan cita-citanya di masa
depan. Hubungan yang lemah ditunjukan diantara motif menikah dini dengan
pembentukan identitas sosial, pasca menikah dini para pelaku menunjukkan sikap
menjauh terhadap identitas sosialnya sebagai bagian dari masyarakat Desa
Anjatan Utara. Hal tersebut disebabkan oleh rasa malunya menjadi bagian dari
masyarakat dengan tingkat pernikahan dini yang tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan tujuan penelitian ini, maka dapat dirusmuskan


kesimpulan sebagai berikut:
1. Pernikahan dini yang terjadi dipengaruhi oleh tiga motif remaja, yakni
motif keamanan, sosial dan harga diri. Motif keamanan berkaitan dengan
dorongan remaja putri untuk melindungi diri dari pergaulan bebas di
kalangan remaja desa. Motif sosial berkaitan dengan dorongan remaja
putri untuk lebih diperhatikan oleh pasangan maupun orangtua pasangan,
sedangkan motif harga diri berkaitan dengan dorongan remaja putri untuk
menutupi rasa malu atas kehamilan yang terjadi pada dirinya agar tidak
menjadi aib keluarga.
2. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap motif remaja dalam
menikah dini ialah faktor status ekonomi keluarga, sedangkan tingkat
pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, umur
menstruasi pertama, dan keyakinan terhadap norma tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap motif remaja dalam menikah dini..
3. Pembentukan identitas yang kuat terjadi pada pembentukan identitas diri
remaja, sedangkan pada pembentukan identitas sosial menunjukkan tingkat
yang lemah pada remaja putri yang melakukan pernikahan dini.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat
dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut:
1. Motif menikah dini yang dipengaruhi kuat oleh pemenuhan kebutuhan
akan keamanan, sosial dan harga diri pada dasarnya berkaitan dengan
kehamilan pranikah yang terjadi pada remaja putri, sehingga perlu adanya
ketegasan dari orang tua maupun lingkungan dalam mengontrol pergaulan
bebas remaja.
2. Pemerintah perlu melakukan peningkatan pendidikan di daerah perdesaan
sehingga terjadi perbaikan pola pikir remaja putri maupun orangtua juga
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan
status ekonomi keluarga.
3. Pembentukan identitas diri yang kuat namun tidak diimbangi dengan
pembentukan identitas sosial dikhawatirkan akan memunculkan individu
remaja yang hanya berfokus pada kehidupan diri sendiri dan kurang peduli
dengan lingkungan sekitar. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi
maupun pendidikan berkarakter sejak masa kanak-kanak sehingga akan
meminimalisasi kebingungan identitas pada masa remaja ini.
4. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada hubungan pernikahan
dini dengan modernisasi yang terjadi pada remaja perdesaan.
52
53

DAFTAR PUSTAKA

[BKKBN]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Kajian


pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia: Dampak
Overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaan di daerah.
[Dokumen]. [Internet]. [diunduh 29 Desember 2013]. Format/Ukuran:
PDF/2530 Kb. Dapat diunduh dari:
http://www.bkkbn.go.id/hasil%20pernikahan%20usia%20dini%20BKKBN
%

Achmad Z. 2011. Dampak sosial pernikahan dini (studi kasus di Desa Gunung Sindur
– Bogor). Skripsi. [Dokumen]. [Internet]. [Diunduh 1 Oktober 2013].
Format/Ukuran: PDF/2006 Kb. Dapat diunduh dari:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/21872/1/ZULKIFLI
%20AHMAD-FDK.pdf

Baron RA, Bryne D. 2003. Psikologi sosial Edisi kesepuluh. (Alih bahasa dari
bahasa inggris oleh Djuwita R, Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP).
Kristiaji WC dan Meyda R, Editor. Jakarta [ID]: Erlangga.. [Judul asli:
Social Psycology]

Bayisenge J. 2010. Early marriage as a barrier to girl’s education: a


developmental challenge in Africa. Ed 2010. Catholic Institute for
Development, Justice& Peace (CIDJAP) Press. [Dokumen].
[Internet].[diunduh 1 oktober 2013]. Format/Ukuran: PDF/272 Kb. Dapat
diunduh dari: http://www.ifuw.org/fuwa/docs/Early-marriage.pdf

Castells M. 2010. The power of identity. Edisi 2. Vol. 2. West Sussex (UK).
Blackwell publishing Ltd.

Dariyo A. 2004. Psikologi perkembangan remaja. Bogor [ID]. Ghalia Indonesia

Deaux K. 2001. Social identity, encyclopedia of women and gender. Vol.1.


[Dokumen]. [Internet]. [diunduh 1 Desember 2013]. Format/ukuran:
PDF/194 Kb. Dapat diunduh dari:
http://www.utexas.edu/courses/stross/ant393b_files/Articles/identity.pdf

Fadlyana E, Larasaty S. 2009. Pernikahan usia dini dan permasalahannya. Sari


Pediatri. Vol. 11 (No.2). Hal: 136-141. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 29
Desember 2013]. Format/Ukuran: PDF/138 Kb. Dapat diunduh dari:
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-2-11.pdf

Hermawan H. 2010 Pengaruh pernikahan dini terhadap perceraian dini (studi


kasus di pengadilan agama Klaten tahun 2008-2010). [Skripsi]. 60 hal.
[Dokumen]. [Internet]. [diunduh tanggal 30 september 2013].
Format/Ukuran: PDF/881 Kb. Dapat diunduh dari: http://Digilib.Uin-
Suka.Ac.Id/5643/
54

Jannah F. 2012. Pernikahan dini dan implikasinya terhadap kehidupan keluarga


pada masyarakat madura (perspektif hukum dan gender). Egalita. Vol.7
(No.1). [Dokument]. [Internet]. [diunduh 1 oktober 2013]. Format/Ukuran:
PDF/456 Kb. Dapat diunduh dari: http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/2113/pdf

[Kemenag]. Kementrian agama. [tanpa tahun]. Undang-undang perkawinan tahun


1974 No.1. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 20 Desember 2013].
Fomat/Ukuran : PDF/117 Kb. Dapat diunduh dari :
http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf

Landung J, Thaha R, Abdullah AZ. 2009. Studi kasus kebiasaan pernikahan usia
dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja.
Jurnal MKMI. Vol.5 (No.4). Hal: 89-94. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh
30 September 2013]. Format/Ukuran: PDF/6610 Kb. Dapat diunduh dari:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2971/MKMI%20v
ol%205%20pernikahan%20usia%20dini.pdf?sequence=2

Notoadmodjo. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta [ID]. PT. Rineka
Cipta.

NGO Bic. 2002. “Contesting "Culture": The Perspectives of Hmong American


Female Students on Early Marriage. Anlhrolvelogy & Ecathcaion Quarterly.
Vol. 33 (No.2). Hal: 163-188. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 5 November
2013]. Format/Ukuran: PDF/448 Kb. Dapat diunduh dari:
http://www.stanford.edu/group/hsu/documents/Hmong%20Early%20Marria
ge.pdf

Purba RM. 2012. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja yang
Mengalami Kekerasan Fisik pada Masa Kanak-Kanak. [Skripsi]. 121 hal.
[Dokumen]. [Internet]. [diunduh 31 maret 2014]. Format/ukuran: PDF/227
Kb. Dapat diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30842.

Rusiani S. 2013. Motif menikah dini dan implikasinya dalam kehidupan


keagamaan masyarakat desa Girikarto Kecamatan Tan Panggang Kabupaten
Gunung Kidul. 59 hal [Skripsi]. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 30
september 2013]. Format/ukuran: PDF/881 Kb. Dapat diunduh dari:
http://digilib.uin-suka.ac.id/7768/

Riswar R. 2013. Hubungan keaslian kampung naga dengan pembentukan identitas


masyarakat adat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 98 hal.

Santoso S. 2010. Teori-teori psikologi sosial. Bandung [ID]. PT. Refika Aditama.
55

Santrock JW. 1998. Perkembangan masa hidup Ed 13. (Alih bahasa dari bahasa
Inggris oleh Widyashinta B). Sallama NI. Editor. Jakarta [ID]. Erlangga.
[Judul asli: Life-Span Deveopment]

Sarwono J. 2006. Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yogyakarta (ID).


Graha Ilmu

Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Yogyakarta (ID).


LP3ES.

Soejoeti SZ. 2001. Perilaku seks di kalangan remaja dan permasalahannya. Media
Litbang Kesehatan. Vol 11. (No.1). Hal: 30-35.

Sprinthall NA, Collins AW. 2002. Adolescent psychology, a development View.


USA: Mc Graw – Hill, Inc

Suhadi. 2012. Pernikahan dini, perceraian, dan pernikahan ulang: sebuah telaah
dalam perspektif sosiologi. Jurnal Komunitas. Vol. 4 (No.2). [Dokument].
[Internet]. [diunduh 30 September 2013]. Format/Ukuran: PDF/304Kb.
Dapat diunduh dari:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2412/2465

UNICEF. 2001. Early Marriage Child Spouses. Innocenti Digest. No. 7 Hal: 1-30.
[Dokumen]. [Internet]. [diunduh 5 November 2013]. Format/Ukuran:
PDF/469 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.unicef-
irc.org/publications/pdf/digest7e.pdf

Walgito B. 1999. Psikologi sosial (Suatu pengantar). Yogyakarta (ID). CV Andi


Offset.

Widhaningrat, Sisdjiatmo K, Wiyono HN. 2005. Karakteristik demografi, sosial,


dan ekonomi perempuan Kelompok Usia early childbearing. Warta
Demografi. Vol. 36.(No.1). 17-29 hal.

Zai FA. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini pada
remaja di Indonesia (analisis data sekunder Riskesdas tahun 2010).
[Skripsi]. Depok [ID]: Universitas Indonesia. 182 hal.
.
56
57

LAMPIRAN
58
59

Lampiran 1 Lokasi penelitian

Gambar. 2. Peta Desa Anjatan Utara


60

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Gambar 3 Salah satu responden Gambar 4 Salah satu responden


yang terpaksa putus sekolah dan yang terpaksa menjanda diusianya
memutuskan untuk menikah diusia yang masih muda
dini

Gambar 5 Kondisi gang dan Gambar 6 WC umum yang


pemukiman masyarakat Desa Anjatan digunakan masyarakat Desa
Utara Anjatan Utara
61

Gambar 7 Bank keliling sebagai salah Gambar 8 Sungai menjadi sumber


satu lembaga ekonomi yang mata air bagi masyarakat.
dimanfaatkan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup.

Gambar 9 Salah satu responden yang Gambar 10 Usaha pembuatan


sudah menjalankan peran sebagai ibu batu bata dipinggiran sunggai
diusianya yang masih muda sebagai salah satu usaha yang
dijalankan oleh masyarakat Desa
Anjatan Utara
62

Lampiran 3 Daftar nama responden

Usia pernikahan pertama


No KODE NAMA Usia pelaku (tahun)
(tahun)
1 DWR 18 16
2 WTN 21 15
3 ENT 20 17
4 YNT 18 16
5 TLT 20 15
6 LNN 21 17
7 RNY 20 17
8 YED 21 17
9 YSS 18 17
10 RHU 20 17
11 FBY 17 16
12 SMT 21 17
13 IYK 17 15
14 RWN 18 16
15 NVU 19 17
16 YYT 19 17
17 NLR 18 16
18 SKF 21 17
19 SIH 19 17
20 GNG 17 16
21 RTN 21 17
22 IHI 21 16
23 TAA 14 14
24 USR 16 15
25 MLB 17 16
26 RKI 18 17
27 LDY 21 17
28 RMN 17 16
29 TNT 21 17
30 NPR 17 15
63

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Wulandari yang dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10
Februari 1992. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak Jana Kristiana dan
Ibu Lina Rodiah. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Aisyiyah
Sindang Laut pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan
formal di SD Negeri IV Cipeujeuh Wetan, Lemahabang, Kabupaten Cirebon
sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1
Karang Sembung selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis
melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Cirebon sampai tahun 2010. Pada
bulan Februari 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI)
Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di
organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) dari tahun 2010 sampai 2011. Pada tahun
yang sama penulis aktif sebagai wartawan magang Koran Kampus. Pada Tahun
2012, penulis menjabat sebagai anggota departemen pengembangan masyarakat
dari divisi sosial dan lingkungan BEM FEMA IPB. Semenjak tingkat pertama,
penulis aktif ikut serta dalam berbagai pertandingan bola voli yang
diselenggarakan di dalam kampus. Semenjak 2011-2013, penulis aktif sebagai
anggota tim bola voli putri Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu, penulis aktif
sebagai volunteer di berbagai kegiatan kepanitiaan baik di dalam maupun di luar
kampus.

Anda mungkin juga menyukai