Anda di halaman 1dari 70

PROPOSAL RISET

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANAK


DENGAN RETARDASI MENTAL DI SLB YAYASAN AMAL
MULIA INDONESIA CIPULIR KEBAYORAN LAMA
JAKARTA SELATAN

Proposal Riset Ini Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keparawatan (S. Kep)

OLEH :

ANGGI DIAN PUTRI


08160100074

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
TAHUN 2017
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Riset dengan judul :

“PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANAK DENGAN


RETARDASI MENTAL DI SLB YAYASAN AMAL MULIA INDONESIA
CIPULIR KEBAYORAN LAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2017’’

Telah Mendapat Persetujuan Untuk Dilaksanakan Uji Proposal Pada:

Jakarta, 27 September 2017

Pembimbing,

(Ns. Aisyah Safitri, S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul

“Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan Retardasi Mental di

SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran Lama Jakarta

Selatan Tahun 2017”.

Proposal ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh

gelar Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

Jakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberi semangat, dan terima kasih

juga kepada:

1. Bapak Dr, dr. H. M. Hafizzurachman, MPH selaku Ketua Umum

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM).

2. Kepala SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia

3. Ibu Ns. Yeni Koto, S.Kep, M.Kes selaku Ketua Jurusan Program

Studi Sarjana Keperawatan.

4. Ibu Ns. Aisyah Safitri, S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J selaku Dosen

Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan

pengarahan kepada peneliti selama penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf dan dosen pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Indonesia Maju.

6. Seluruh staf SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia.

iii
7. Teman – teman angkatan 2016 kelas B Ekstensi untuk kebersamaan

selama ini, motivasi dan suka duka yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari akan kekurangan – kekurangan yang ditemukan dalam

penyusunan proposal ini, maka dengan lapang dada penulis menerima segala

kritik dan saran yang membangun guna kemajuan bersama, semoga hasil karya ini

dapat memberikan manfaat dan mohon maaf bila terdapat kesalahan selama

proses penulisan ini berjalan. Akhir kata semoga Allah SWT selalu memberikan

rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Jakarta, September 2017

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................2
B. Perumusan Masalah Penelitian............................................10
C. Tujuan Penelitian..................................................................11
1. Tujuan Umum.....................................................................11
2. Tujuan Khusus....................................................................11
D. Manfaat Penelitian................................................................12
1. Manfaat Aplikatif...............................................................12
2. Manfaat Teoritis.................................................................12
3. Manfaat Metodologis..........................................................13
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN....................................................13
A. Teori dan Konsep Terkait....................................................13
1. Retardasi Mental.................................................................13
2. Konsep Keluarga................................................................29
B. Penelitian Terkait..................................................................42
BAB III METODE PENELITIAN............................................................43
A. Desain Penelitian...................................................................43
B. Partisipan...............................................................................46
C. Tempat dan Waktu Penelitian.............................................47
D. Etika Penelitian.....................................................................48
E. Prosedur Pengumpulan Data...............................................51
F. Alat Pengumpulan Data........................................................52
G. Validitas Data........................................................................53
H. Pengolahan Data....................................................................54
I. Analisis Data..........................................................................55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN

v
DAFTAR LAMPIRAN

1. Informed Concent

2. Persetujuan Menjadi Partisipan

3. Pedoman Wawancara

4. Pedoman Catatan Lapangan (Field Note)

5. Lembar Konsultasi

6. Sejarah dan Data Siswa SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia

vi
vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara

hubungan pria dan wanita. Anak adalah seseorang yang berusia kurang

dari delapan belas tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan

khusus baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat,

2009).

Sedangkan menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam

kandungan (KPAI, 2015).

Pengertian tumbuh kembang adalah suatu proses berkelanjutan mulai

dari konsepsi sampai dengan maturitas yang dipengaruhi oleh faktor

lingkungan dan faktor bawaan. (Soetjiningsih, 2010). Pengertian tumbuh

kembang anak adalah suatu proses yang sifatnya kontinu, yang dimulai

sejak di dalam kandungan hingga dewasa. Di dalam proses perkembangan

anak terdapat masa – masa kritis, dimana pada masa tersebut diperlukan

suatu stimulasi yang berfungsi agar potensi si anak berkembang.

1
Perkembangan anak akan optimal jika terdapat interaksi sosial yang sesuai

dengan kebutuhan anak di berbagai tahap perkembangannya. (Adriana,

2013).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang dinamik

sepanjang kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi pada satu fase

menjadi dasar perkembangan pada fase berikutnya. Tumbuh diuraikan

sebagai suatu peningkatan dalam ukuran, seperti tinggi dan berat badan

atau tiap bagian tubuh. Sedangkan kembang adalah peningkatan fungsi

dan keterampilan yang bersifat kompleks, bersifat kualitatif berupa

perubahan psikososial, kognitif, atau fungsi moral. Anak dikatakan sehat

apabila pertumbuhan dan perkembangannya sesuai dengan tahap umur,

tidak mengalami gangguan penyakit secara fisik maupun mental (Wahyu,

2010). Tidak setiap anak lahir dengan sempurna, ada anak yang lahir

dengan kebutuhan – kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah

anak yang memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan

kekhususannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial

terlambat dalam mencapai tujuan – tujuan/kebutuhan dan potensinya

secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan

bicara, cacat tubuh, retardasi mental, atau gangguan emosional (Fadhli,

2010).

Masalah kesehatan jiwa khususnya pada anak dan remaja perlu

menjadi fokus utama tiap upaya peningkatan sumber daya manusia,

mengingat anak dan remaja merupakan generasi yang perlu disiapkan


sebagai kekuatan bangsa. Jika ditinjau dari porsi penduduk, 40% dari total

populasi terdiri dari anak dan remaja berusia 0 – 16 tahun, 13% dari

jumlah populasi ini adalah anak berusia di bawah lima tahun. Ternyata7-

14 % dari populasi anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa,

termasuk anak dengan Retardasi Mental (Hamid, 2009).

Menurut data dari Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011, jumlah

penyandang disabilita di Indonesia mencapai 3,11% atau sebesar 6,7 juta

jiwa. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah penyandang

disabilitas lebih besar yaitu 6% dari total populasi penduduk Indonesia.

Akan tetapi bila mengacu pada Standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB

(WHO), jumlah penyandang disabilitas di negara berkembang sebesar

10% dari total populasi penduduk. Berdasarkan survei dari PT Surveyor

Indonesia (Persero), jumlah populasi penyandang disabilitas tertinggi

berada di Provinsi Jawa Barat sekitar 50,90%, sedangkan populasi

terendah berada di Provinsi Gorontalo sekitar 1,65%.

Menurut data (Juli 2012), jumlah penyandang disabilitas di

Indonesia tercatat sebanyak 4.783.267 jiwa termasuk retardasi mental.

Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, jumlah populasi penyandang

disabilitas laki – laki lebih banyak yaitu sekitar 57,96%. Di Jakarta sendiri,

yang merupakan kota terbesar di Indonesia terdapat sekitar 21.000 jiwa

penyandang disabilitas.

Istilah retardasi mental sering disebut juga dengan tuna grahita atau

hambatan mental (mentally handicap. Maria J. Wantah, 2007).


Tuna Grahita juga dapat diartikan keterbatasan substansi dalam

memfungsikan diri. Keterbatasan ini ditandai dengan terbatasnya

kemampuan fungsi kecerdasan yang terletak dibawah rata – rata (IQ 70

atau kurang) dan ditandai dengan terbatasnya kemampuan tingkah laku

adaptif minimal di dua area atau lebih (tingkah laku adaptif berupa

kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam kehidupan

rumah, keterampilan sosial, pemanfaatan sarana umum, mengarahkan diri

sendiri, area kesehatan dan keamana, fungsi akademik, pengisian waktu

luang dan bekerja) (Wibowo, 2008).

Retardasi mental adalah kelainan dalam pertumbuhan dan

perkembangan pada mental intelektual sejak bayi/dalam kandungan atau

masa bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik biologis

maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan

ciri-ciri dan klasifikasi tertentu : 1) Kecerdasan sangat terbatas. 2)

Ketidakmampuan sosial yaitu tidak mampu mengurus diri sendiri,

sehingga selalu memerlukan bantuan orang lain. 3) Keterbatasan minat. 4)

Daya ingat lemah. 5) Emosi sangat labil. 6) Apatis, acuh tak acuh terhadap

sekitarnya. 7) Kelainan badaniah khusus jenis mongoloid badan bungkuk,

tampak tidak sehat, muka datar, telinga kecil, badan terlalu kecil, kepala

terlalu besar, mulut melongo, mata sipit.

Anak dengan retardasi mental membutuhkan dukungan dari

keluarga. Keluarga merupakan bagian terpenting dalam kehidupan

manusia, yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Beberapa ahli menguraikan
arti keluarga sesuai dengan perkembangan masyarakat. Keluarga adalah

salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai

satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada

hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama

dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan

dalam satu periuk.

Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang

terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan

anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke

atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga (KPAI, 2015). Secara

umum keluarga berperan sebagai penyedia, pengatur rumah tangga,

perawatan anak, sosialisasi anak, rekreasi, persaudaraan, seksual dan

terapeutik. Sementara peran informal adalah pendorong, pengharmonis,

inisiator, pendamai, penhalang, dominator, pengikut, pencari pengakuan,

sahabat, perawat keluarga, koordinator keluarga dan penghubung keluarga.

Keberadaan anak dengan retardasi mental ini dalam keluarga akan

menjadi stressor tersendiri bagi setiap anggota keluarga karena keluarga

merupakan suatu sistem. Beberapa sumber stressor saling mempengaruhi

dan dapat memperburuk tingkat stressor pada keluarga. Kekhawatiran

keluarga terhadap masa depan anak dan kesembuhan anak sering menjadi

alasan utama penyebab stres pada keluarga. Selain itu pengetahuan, tingkat
pendidikan dan kemampuan orang tua dalam merawat anak serta

penerimaan atas kehadiran anak redardasi mental dalam lingkungan

keluarga sangat menentukan stres yang akan dirasakan oleh keluarga.

Kebutuhan finansial untuk biaya pengobatan dan perawatan anak retardasi

mental yang begitu besar akan menambah beban keluarga dalam

melakukan pengasuhan dan perawatan. Selain itu penilaian negatif atau

stigma dari masyarakat masih sering dialami oleh keluarga yang memiliki

anak dengan kecacatan, Goffman (1963) dalam Malsch (2008).

Schulz dan Sherwood (2008) menyebutkan keluarga mengalami stres

dan beban yang berkembang menjadi ketegangan fisik dan psikologis dan

dapat mempengaruhi hubungan dalam lingkungan keluarga dan pekerjaan.

Sementara Waltz (2002) dalam Fitryasari (2009) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa dalam keluarga yang merawat anak dengan kebutuhan

khusus, selalu ada satu orang yang menjadi dominan dalam melakukan

perawatan. Ketidakmampuan dalam membagi tanggung jawab dalam

mengasuh dan melibatkan anggota keluarga yang lain dapat menyebabkan

konflik dalam keluarga.

Sedangkan perawat sangat berperan dalam usaha pencegahan dan

penanggulangan anak retardasi mental melalui program imunisasi,

pencegahan kehamilan dini pada remaja putri, pengkajian terhadap

resiko/kebutuhan/masalah pada anak dan keluarga, memberikan informasi

berupa pendidikan kesehatan, bahaya narkoba dan rokok, kebersihan diri,

dan kebutuhan gizi. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan


pada anak dengan retardasi mental perlu melibatkan beberapa jenis

spesialisasi dalam keperawatan yang harus bekerja sama, yaitu perawat

komunitas, perawat anak dan perawat jiwa. Hal ini dijelaskan karena

perawat adalah tenaga kesehatan terbesar dan paling banyak meluangkan

waktu bersama pasien (Potter & Perry, 2007).

SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia adalah yayasan yang bergerak

dibidang sosial yang berlokasi di Jakarta Selatan. SLB ini adalah yayasan

milik pribadi yang melayani bagi orang–orang kurang beruntung/mampu,

kemudian berkembang menjadi panti asuhan dan sekolahan bagi anak

berkebutuhan khusus di lingkungan yayasan.

Data yang diperoleh dari SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia pada

tanggal 09 Agustus 2017 jumlah siswa SLB Yayasan Amal Mulia

Indonesia yaitu sebanyak 83 orang siswa dengan 50 orang siswa laki–laki

dan 33 orang siswa perempuan termasuk siswa dengan retardasi mental.

Terdiri dari 13 kelas, 1 kelas berisi 7 orang siswa, dan 15 guru pengajar.

Berdasarkan studi pendahuluan dengan wawancara, didapatkan data

beberapa orang tua merasa sedih, khawatir. Wawancara pertama Ny A

(30 tahun) dengan anak inisial An T (8 tahun). Pada saat An T berusia 5

tahun, Ny A menyadari anaknya berbeda, setiap kali ditanyai sering

terlihat seperti orang bingung atau tidak bisa fokus padahal sebelumnya

anaknya terlihat baik – baik saja. Ny A merasa sedih dengan keadaan

anaknya dan membawa An T ke dokter. Atas saran keluarga Ny A

memindahkan anaknya untuk bersekolah di SLB. Ny A mengatakan harus


sabar, dan sering mengajak bicara anaknya. Harapan Ny A terhadap An T

agar bisa merespon saat ada yang bertanya atau mengajak ngobrol,

sehingga memudahkan anaknya dalam segala hal.

Wawancara kedua Ny W (53 tahun) dengan anak inisial An G (17

tahun), Ny W mengetahui tentang kondisi anaknya yang berbeda dengan

anak yang lainnya saat anaknya sekolah TK. Saat itu An G terlambat

dalam hal belajar dibandingkan teman – temannya yang lain. Anak – anak

yang lain cepat memahami dan mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya,

sedangkan An G tidak mengerti. Melihat kondisi anaknya yang seperti itu,

Ny W merasa minder. Saat SD Ny W menyekolahkan anaknya di SLB dan

juga berobat ke dokter. Ny W mengatakan sudah bisa menerima keadaan

anaknya yang memerlukan perhatian khusus dan juga merasa senang

karena sekarang An G sudah bisa mulai mandiri, seperti mandi, mencuci

pakaian, memakai pembalut saat siklus haid, namun tetap dalam

pengawasan. Ny W berharap agar kedepannya bisa lebih mandiri dan

makin cepat mengerti.

Wawancara ketiga Ny S (67 tahun) dengan cucu inisial An P (7

tahun), Ny S mengatakan saat berusia 1 tahun 6 bulan An P menjalani

operasi mata. Ny S mengetahui kondisi cucunya yang berbeda dengan

anak yang lainnya saat berusia 2 tahun. Anak lain sudah mulai bisa

berbicara, An P belum bisa berbicara. Ny S dan keluarga merasa sedih dan

minder. Ny S selalu mengajak An P bermain supaya An P terbiasa

bercerita dan sambil terus belajar berbicara. Ny mengatakan sekarang An


P sudah mulai bisa berbicara meski belum jelas, An P juga rajin ke masjid.

Ny S merasa bangga dan berharap An P semakin pandai berbicara serta

menjadi anak yang soleh.

Wawancara keempat Ny E (40 tahun) dengan anak inisial An I (11

tahun), Ny E mengetahui tentang kondisi anaknya yang berbeda dengan

yang lainnya saat anaknya sekolah di TK. Ny E mengatakan anaknya

terlalu aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang berlebihan Ny E merasa

khawatir dan minder dengan keadaan anaknya, membawanya berobat ke

dokter. Ny E mengatakan berat mengasuh An I karena harus selalu diawasi

agar tidak membuat masalah. Harapan Ny E terhadap An I yaitu An I

mampu menguasai diri agar tidak menyebabkan masalah kedepannya.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian ”Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan Retardasi

Mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran Lama

Jakarta Selatan Tahun 2017.”

B. Perumusan Masalah Penelitian

Anak dengan retardasi mental membutuhkan bantuan dalam

berinteraksi, berkomunikasi dan membutuhkan pengawasan dan arahan

dalam berperilaku sehingga dapat menimbulkan ketergantungan pada

keluarga dalam waktu yang lama dan mempengeruhi sistem keluarga serta

membutuhkan keluarga yang memiliki sistem dukungan yang kuat serta


kemampuan pemberdayaan keluarga yang dapat memberikan perawatan

yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan anak retardasi mental.

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan diketahui orang tua

yang memiliki anak dengan retardasi mental merasa sedih dan khawatir.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitiannya

adalah “Bagaimana Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan

Retardasi Mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir

Kebayoran Lama Jakarta Selatan tahun 2017?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui pengalaman keluarga dalam merawat anak dengan retardasi

mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran

Lama Jakarta Selatan Tahun 2017.

2. Tujuan Khusus

2.1. Diketahui perasaan keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir

Kebayoran Lama Jakarta Selatan Tahun 2017.

2.2. Diketahui apa yang dipikirkan/persepsi keluarga dalam merawat

anak dengan retaedasi mental di SLB Yayasan Amal Mulia

Indonesia Cipulir Kebayoran Lama Jakarta Selatan Tahun 2017.


2.3. Diketahui harapan keluarga dalam merawat anak dengan retardasi

mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran

Lama Jakarta Selatan.

2.4. Diketahui hambatan keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir

Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

2.5. Diketahui dukungan keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir

Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

2.6. Diketahui upaya keluarga dalam merawat anak dengan retardasi

mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran

Lama Jakarta Selatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikatif

1.1. Untuk memberikan informasi bagi perawat untuk lebih

mengembangkan perannya selain sebagai pemberi pelayanan

tetapi sebagai advokat bagi anak dan keluarga.

1.2. Untuk memberikan informasi bagi lembaga pelayanan dan

sekolah luar biasa.


2. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan gambaran untuk ilmu keperawatan tentang

pengalaman keluarga dalam mendampingi dan merawat anak retardasi

mental sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam

mengembangkan desain asuhan keperawatan dalam merawat anak

retardasi mental.

3. Manfaat Metodologis

3.1. Untuk menjadi data pendukung untuk penelitian selanjutnya

tentang perawatan anak retardasi mental.

3.2. Untuk menambah pengetahuan untuk perkembangan ilmu

keperawatan terutama asuhan keperawatan jiwa yang

berhubungan dengan peran keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori dan Konsep Terkait

1. Pengalaman

Pengalaman didefenisikan sebagai sesuatu yang pernah dialami

(dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya) bisa berupa peristiwa

yang baik maupun peristiwa yang buruk. Dengan pengalaman tersebut

dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu

(Sanjaya, 2011 dalam Wahyuni, 2013).

Pengalaman merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia sehari-harinya. Pengalaman juga sangat berharga

bagi setiap manusia, dan pengalaman juga dapat diberikan kepada

siapa saja untuk digunakan dan menjadi pedoman serta pembelajaran

manusia (Daru Purnomo, 2014). Aktivitas di dalam diri atau

pengalaman dari seseorang akan menghasilkan hasil persepsi yang

berbeda. Pendapat ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat

tekanan dalam persepsi pada umumnya adalah objek-objek yan

memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, persepsi yang

sering kita alami (konsisten) secara berulang-ulang maka dengan

sendirinya akan terekam didalam memori kita dan menjadi sebuah

pengalaman atau persepsi yang akan di recall kembali apabila kita


mengalami sensasi yang sama dilain waktu (Afiyanti dan Rachwati,

2014).

2. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan kata lain dari tuna grahita. Tuna

berarti merugi dan grahita berarti pikiran, sehingga dapat diartikan

suatu kondisi terbelakang mental.

a. Pengertian

The American Association of Mental Deficiency (AAMD)

dan Dianostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi

keempat (DSM–IV) mendefinisikan retardasi mental sebagai fungsi

intelektual keseluruhan yang secara bermakna di bawah rata–rata

yang menyebabkan atau berhubungan gangguan pada perilaku

adaptif dan bermanifestasi selama periode perkembangan yaitu,

sebelum usia 18 tahun (Kaplan Sadock and Grebb, 2010).

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa

edisi ke–III (PPDGJ III) retardasi mental adalah suatu keadaan

perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang

terutama ditandai oleh adanya keterampilan selama masa

perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat

intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan

sosial (Salmioah, 2010).


Retardasi mental adalah gangguan perkembangan jiwa pada

masa perkembangan, sehingga berpengaruh terhadap tingkat

kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,

bahasa, motorik dan sosial, Maslim (2001), WHO (2008) dalam

Sutini (2009).

b. Proses Terjadinya

Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh

masalah biologis yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan

kromosom, racun yang berasal dari lingkungan, kekurangan

nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan penyakit–penyakit yang

menimpa wanita hamil, bayi dan anak–anak (Leonard &

Haugaard, 2008).

Proses terjadinya retardasi mental dipengaruhi oleh

berbagai aktor, dan faktor maternal merupakan faktor terbesar

yang menentukan kesehatan anak. Pada banyak kasus penyebab

retardasi mental menggambarkan pengaruh kait–mengait antara

faktor genetik (turunan) dengan faktor lingkungan.

(Lumbantobing, 2007).

1. Faktor Genetik

a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah

kromosom pada retardasi mental. Sindroma Down

umumnya terjadi karena kromosom 21 dari ibu gagal


terpisah selama proses meiosis (pembelahan sel yang

terjadi selama pembentukan sel reproduksi). Ketika

sepasang kromosom yang tidak terpisah ini bersatu

dengan kromosom 21 dari ayah, anak tersebut menerima

tiga salinan kromosom 21 (label trisomi 21 juga

digunakan untuk mendeskripsikan Sindroma Down).

Kasus langka ketika Sindrome Down disebabkan oleh

translokasi bagian kromosom 21 ke kromosom 14.

Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000

kelahiran. Karena abnormal kromosom berasal dari sel

telur ibu dalam empat per lima kasus, prevalensi

Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu.

Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000

kelahiran pada ibu yang berusian dibawah 33 tahun dan

sekitar 38 dari 1000 kelahiran pada ibu yang berusia

diatas 44 tahun.

Anak dengan Sindroma Down menunjukkan hendaya

khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun mereka

mengerti bahasa. Kemampuan mereka dalam berbicara

pada umumnya terdiri dari kalimat sederhana dan sering

mengalami masalah dalam artikulasi, sehingga kalimat

yang disampaikan sulit dimengerti. Anak Sindroma

Down sering digambarkan sangat bersosilisasi dan lebih


sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan

anak dengan penyebab organik bentuk retardasi mental.

b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum

retardasi mental yang diwariskan. Ditemukan sekitar 1

dari 4000 kelahiran pada laki–laki dan 1 dari 8000

kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X

disebabkan oleh mutasi pada bagian lengan panjang

kromosom X. Mutasi ini berada pada gen yang saat ini

disebut Fragile X Mental Retardation Gene (FMRI).

Perempuan lebih sedikit terkena sindroma ini

dibandingkan laki–laki karena hanya satu kromosom X

yang aktif dalam setiap sel. Karena perempuan

mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan

sebuah gen FMRI normal mungkin menjadi aktif dalam

banyak sel yang juga terdapat sebuah kromosom X yang

termutasi, sehingga sel mereka lebih sedikit rusak.

Dibandingkan laki–laki yang hanya mempunyai satu

kromosom X, semua sel dengan kromosom X dengan

gen FRMI yang termutasi akan menjadi rusak.

Hampir semua laki–laki dengan sindroma Fragile X

mengalami gangguan kognitif dalam rentang sedang

sampai berat. Anak dengan sindroma Fragile X sering

berbicara sangat cepat, mengulangnya beberapa kali


sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga

menunjukan perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang

disebabkan oleh kewaspadaan berlebihan (hyperurosal)

dari sistem saraf otonom, menyebabkan reaksi berlebihan

pada situasi sosial.

c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan

oleh sebuah mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase

(PAH), yang ditemukan pada bagian lengan pendek

kromosom 12. Prevalensi PKU diperkirakan 1 dari

10.000 kelainan diantara keturunan Eropa bagian barat

dan prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan

lain.

d. Sndroma Williams disebabkan oleh penghapusan gen

pada kromosom 7. IQ anak dengan Sindroma Williams

sekitar 75% berada pada rentang 50–70 sehingga

memperlihatkan kesulitan belajar. Anak–anak dengan

sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap

ramah dan bersahabat. Meskipun begitu, mereka

kesulitan untuk mendapatkan teman. Hal ini dapat

disebabkan karena keterbatasan kognitif atau

kemungkinan karena sikap ramah mereka yang

membosankan dan tindakan hiperaktif yang membuat

temannya merasa menjengkelkan. Pada anak yang lebih


besar dan dewasa sering menunjukan tingkat kecemasan

yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir

terhadap waktu dan mempunyai banyak ketakutan.

e. Sindroma Prader–Willi disebabkan oleh abnormalitas

kromosom 15 dan sekitar 65% kasus disebabkan oleh

penghapusan gen dari kromosom di pahak ayah.

Prevalensi kasus ini sekitar 1 dari 1000 kelahiran. IQ ada

umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat

sedang pada retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol

adalah obesitas. Anak dan dewasa dengan sindroma ini

hampir selalu merasa lapar dan merasa asik dengan

makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan

bahwa mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat,

keras kepala, pemarah, sedikit sensitif dan cemas, dan

mereka bisa menangis dan merasa sakit hati dengn

mudah.

f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di

area yang sama dengan sindroma Prader-Willi yaitu

kromosom 15, penghapusan terjadi dari kromosom ibu.

Hendaya kogniti yang dialami oleh sindroma ini lebih

berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi.

Kebanyakan anak tidak dapat berbicara dan memiliki


fitur wajah yang tidak normal, sering menunjukan

espresi wajah yang bahagia.

2. Faktor Lingkungan

a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak

menelan timbal dalan jumlah besar dalam waktu yang

relatif singkat dan berefek bahaya dan permanen.

Menelan timbal dalam jumlah yang rendah dapat berefek

ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif,

seperti rendahnya skor IQ dan masalah membaca.

b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.

c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil

bisa sangat berefek pada perkembangan janin, namun

efeknya dapat bervariasi pada janin walaupun ibu mereka

mengkonsumsi alkohol yang sama. Mengkonsumsi

alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal

alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa

otak anak, hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan

hiperaktif.

d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama

kehidupan bisa membahayakan fungsi kognitif, tetapi

tampaknya hanya ketika malnutrisi berat. Trisemester


tiga dan bulan keenam kehidupan merupakan waktu yang

paling sensitif karena saat itu perkembangan otak terjadi.

e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya

kognitif pada anak adalah meningitis dan ensefalitis.

Rubela dan sifilis sangat mudah tertransfer dari ibu

kepada janinnya.

f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi

kognitif. Jatuh dari sepeda atau dari trampoline adalah

sumber berbagai cedera.

c. Tanda–Tanda Retardasi Mental

Tabel 2.1. Tanda-tanda Fisik Atipik yang Dapat Dihubungkan


dengan Bertambahnya Insiden Retardasi Mental

Tanda–Tanda Fisik
Rambut Tangan
Keriting ganda Metakarpal ke–4 atau ke–5
Halus, mudah putus, cepat pendek
abu–abu atau putih Jari–jari tangan pendek,
menyeluruh gemuk
Jarang atau tanpa rambut Jari–jari tangan panjang, tipis,
meruncing
Ibu jari tangan lebar
Klinodaktili
Kelainan dermatoglifik
(misalnya triradius distal)
Garis kulit telapak tangan
melintang
Kelainan kuku
Mata Kaki
Mikroftelmia Metatarsal ke–4 atau ke–5
Hipertelorisme pendek
Hipotelorisme Jari kaki tumpang tindih
Miring ke atas dan ke luar Jari kaki pendek, gemuk
atau ke bawah dan ke luar Ibu jari kaki besar dan lebar
Lipatan epikantus sebelah Garis kulit yang mengarah
dalam dan sebelah luar dari sudut jari kaki pertama
Koloboma iris atau retina dan kedua terlihat dalam
Bintik–binti Brushfield Kelainan dermatoglifik
Pupil terletak eksentris
Nistagmus
Telinga Genetalia
Pinna letak rendah Genetalia yang tidak jelas
Pembentukan heliks Mikropenis
sederhana atau abnormal Testis besar
Hidung Kulit
Jembatan hidung rata Bintik–bintik cafe-au-lait
Ukuran kecil Nevus depigmentasi
Lubang hidung menghadap
ke atas
Wajah Gigi
Panjang filtrum bertambah Bukti adanya kelainan
Hipoplasia maksila atau pembentukan email
mandibula (enamelogenesis)
Kelainan odontogenesis
Mulut
Bentuk bibir atas V terbalik
Lengkungan palatum lebar
atau tinggi
Kepala
Mikrokranium
Makrokranium
(Behrman, 2009).

d. Kriteria Diagnostik dan Tingkatan Retardasi Mental

Kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-

IV–TR (2010) adalah:


1. Fungsi intelektual secara signitifikan: IQ lebih kurang 70

atau dibawah pada seseorang individu melakukan tes IQ.

2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang

muncul pada fungsi adaptif (keefektifan seseorang dalam

memenuhi standar yang diharapkan untuk kelompok

masyarakat) dalam minimal dua dari bidang berikut:

komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup,

kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber

komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik,

pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan.

3. Terjadi sebelum umur 18 tahun.

Tingkatan retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi

Keterbelakangan Mental Amerika Serikat (American

Association of Mental Retardation):

a. Retardasi mental lambat belajar (slow learner, IQ 85-90)

b. Retardasi mental taraf perbatasan (borderliner, IQ 70-84)

c. Retardasi mental ringam (debil atau moron) (mild, IQ

55-69)

d. Retardasi mental sedang (moderate, IQ 36-54)

e. Retardasi mental berat/imbecile (sever, IQ 20-35)

f. Retardasi mental sangat berat atau idiot (profound, IQ

0-19)
e. Terapi Retardasi Mental

Redardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa

kelompok gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial.

Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan

primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock, 2010).

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan

untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang

menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai

dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk (1)

pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat umum tentang retardasi mental, (2)

usaha terus – menerus dari professional bidang kesehatan

untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan

kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk memberikan

pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, (4)

eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan

kerusakan sistem saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu

dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis

prenatal dan postnatal yang sesuai dan berbagai program

pelengkap dan bantuan pelayanan sosial dapat menolong

menekan komplikasi medis dan psikososial.


b. Pencegahan sekunder dan tersier

Jika suatu gangguan gangguan yang disertai dengan

retardasi mental telah dikenali, gangguan harus diobati

untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk

menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.

Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan

emosional dan perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.

Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas yang

memiliki anak tersebut memerlukan modalitas.

Terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat

kecerdasan anak:

1) Pendidikan untuk anak: lingkungan pendidikan untuk

anak–anak dengan retardasi mental harus termasuk

program yang lengkap yang menjawab latihan

keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan

latihan kejuruan.

2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamik

3) Pendidikan keluarga

4) Intervensi farmakologis

f. Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental

Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik

H. Erickson, fase perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai


usia tua dan fase itu secara biologik dan psikologik individu

mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke taraf fungsional

berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar – dasar organik biologik

tidak defektif dan mempunyai bawaan (genetic endowment) yang

normal (Kusumawardhani, 2013). Perilaku sosial menurut

Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain,

baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi

proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja,

2011).

Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan

sosialnya dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun,

pada tiap tahapan perkembangan anak retardasi mental selalu

mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan

perilaku anak retardasi mental berada di bawah usia kalendernya

dan ketika usia 5–6 tahun mereka belum mencapai kematangan

untuk belajar di sekolah, Bratanata (1979) dalam Efendi (2006).

Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan

mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi

mental sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat

karena tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau

karena tngkah lakunya tidak sesuai dengan tingkat umurnya.

Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi perilaku yang

ditampilkan tampak seperti anak – anak. Akibatnya anak retardasi


mental tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan

(Kemis & Rosnawati, 2013).

Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam

memenuhi segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah

frustasi dan pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang

sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud

penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian

yang salah tersebut seperti kompensasi yang berlebihan,

pengalihan (displacement), nakal (delinquent), regresi, destruksi,

agresif dan lain–lain (Efendi, 2006).

Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis &

Rosnawati (2013), yaitu; 1) Hiperaktivitas seperti meraih obyek

tanpa tujuan, tidak bisa diam dan duduk lama. 2) Mengganggu

teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit teman,

mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel. 3) Beralih

perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu

kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon

semua obyek yang ada disekitarnya. 4) Mudah frustasi yaitu

menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil dan

disalahkan orang lain (teman, guru). 5) Sering menangis yaitu

menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika merasa erganggu

dan tidak terpenuhi keinginannya. 6) Merusak benda/barang

seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen, melempar


barang, menggigit meja/kursi, mencoret–coret meja, mengotori

dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela. 7)

Melukai diri sendiri dengan membentur–benturkan kepala,

memukul–mukul pipi/dagu, mengorek–ngorek luka di tangan atau

kaki dan menjambak rambut. 8) Meledak – ledak (impulsif) yaitu

mudah marah/tersinggung dan tidak kooperatif. 9) Menarik diri

yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan

berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukan

kepala.

Tingkah laku sosial tercakup hal–hal seperti keterikatan dan

ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah

laku moral. Tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah

kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah

keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang telah

diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika

anak merasa takut, tegang dan kehilangan orang yang menjadi

tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya

bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak retardasi mental

lebih banyak bergantung pada oang lain, dan kurang terpengaruh

oleh bantuan sosial (Soemantri, 2007).

Mc Iver menggunakan Children’s Personality Quastinare dan

menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki–laki emosinya

tidak matang, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat


dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Anak retardasi mental

perempuan mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang

dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan. Anak

retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih

muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar,

tidak mampu memikul tanggungjawab sosial sehingga harus

selalu dibimbing dan diawasi (Somantri, 2007).

2. Konsep Keluarga

a. Pengertian

Menurut Bailon dan Maglaya (1978, dalam Sudiharto, 2007)

keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu

rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau

adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya,

mempunyai peran masing–masing dan menciptakan serta

mempertahankan suatu budaya. Menurut Friedman (1998) dalam

Sudiharto (2007) keluarga adalah dua atau lebih individu yang

tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi

pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta

mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

Keluarga berdasarkan pengertian diatas adalah kumpulan dua

orang atau lebih yang memiliki ikatan pertalian darah,

perkawinan atau adopsi yanh hidup bersama–sama dalam satu


rumah tangga dan saling berinteraksi, berkomunikasi, memiliki

masing–masing peran dan menggunakan kultur yang sama.

Keluarga memiliki sebuah ketahanan, yaitu kondisi dinamik

sebuah keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta

mengandung kemampuan fisik–materil dan psikis–mental

spiritual guna hidup dan mengembangkan diri dan keluarganya

untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir

dan kebahagiaan batin, sehingga keluarga dengan anak retardasi

mental diharapkan dapat memberdayakan seluruh kemampuan

yang dimiliki baik secara fisik, materi, psikologis, dan spiritual.

Keluarga dengan anak retardasi mental adalah keluarga dengan

salah satu atau lebih anggota keluarganya mengalami retardasi

mental yang memerlukan bantuan dalam pemenuhan kebutuhan

hidupnya sepanjang waktu (long life) sehingga dapat mengganggu

peran dan fungsi keluarga.

Tipe keluarga menurut (Harmoko, 2012):

1. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya

terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang diperoleh dari

keturunannya atau adopsi atau keduanya.

2. Extended Family adalah keluarga inti ditambah dengan

sanak saudara, misal kakek, nenek, keponakan, saudara

sepupu, paman atau bibi.


3. Reconstituted Nuclear adalah pembentukan baru dari

keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri,

tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-

anaknya.

4. Dyanic Nuclear adalah suami istri yang sudah berumur dan

tidak mempunyai anak, keduanya/salah satunya bekerja di

rumah.

5. Dual Carier adalah suami/istri atau keduanya berkarir tanpa

anak.

6. Three Generation, tiga generasi atau lebih tinggal dalam

satu rumah.

7. Cohobing Couple, dua orang atau satu pasangan yang

tinggal bersama tanpa pernikahan.

b. Peran dan Fungsi Keluarga

Peran keluarga adalah hal–hal yang harus dilakukan oleh

individu–individu dalam keluarga saat menghadapi situasi

tertentu agar memenuhi harapan diri dan orang lain (Friedman,

2010). Peran dalam keluarga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

peran formal dan peran non formal. Peran formal merupakan

peran parental dan peran perkawinan, yang terdiri dari penyedia,

pengatur rumah tangga, perawatan anak, sosialisasi anak, rekreasi,

persaudaraan, seksual dan terapeutik. Sementara peran informal


adalah pendorong, pengharmonis, inisiator, pendamai, penhalang,

dominator, pengikut, pencari pengakuan, sahabat, perawat

keluarga, koordinator keluarga dan penghubung keluarga.

Fungsi keluarga (Harmoko, 2012) :

1. Fungsi Afektif

Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga

yang merupakan basis kekuatan dari keluarga. Fungsi

afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikologis.

Keberhasilan fungsi afektif tampak melalui keluarga yang

gembira dan bahagia.

2. Fungsi Sosialisasi

Dimulai saat lahir dan akan diakhiri dengan kematian.

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung

seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah

perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang

terpola sosial yang dialam.

3. Fungsi Reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan

keturunan dan menambah sumber daya manusia. Dengan

adanya program keluarga berenca. Pada penderita Diabetes

Melitus perlu dikaji riwayat kehamilannya untuk

mengetahui adanya tanda–tanda Diabetes Melitus


Gestasional, karena Diabetes Gestasional terjadi pada saat

kehamilan.

4. Fungsi Ekonomi

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan,

pakaian dan rumah, mencari sumber–sumber penghasilan

untuk pemenuhan keluarga.

5. Fungsi Perawatan Keluarga/Pemeliharaan Kesehatan

Fungsi perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital

dalam pengkajian keluarga. Keluarga memberikan

perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara

bersama–sama merawat anggota keluarga yang sakit.

c. Tugas Kesehatan Keluarga

Tugas kesehatan keluarga menurut Friedman (1998) dalam

Bowden & Jones (2010) yaitu,

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga.

Keluarga dan anggota keluarga yang perlu mengenal dan

mengetahui keadaan kesehatan dan perubahan yang terjadi

akibat retardasi mental.

b. Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini

merupakan upaya keluarga untuk mencari pertolongan yang

tepat sesuai dngan keadaan keluarga. Keluarga harus secara

dini memperhatikan pertumbungan dan perkembangan anak


bila dirasakan terjadi ketidaksesuaian dengan keadaan normal

misalnya yang terjadi pada anak retardasi mental.

c. Merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan

kesehatan, yang tidak dapat membantu diri karena cacat atau

usianya terlalu muda, termasuk anggota keluarga yang

mengalami retardasi mental, serta keluarga perlu

merencanakan tindakan lanjut atau perawatan agar masalah

yang lebih parah tidak terjadi.

d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin

kesehatan anggota keluarga, dengan mempertahankan

suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarrga.

e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya

bagi anggota keluarga dengan mempertahankan hubungan

timbal balik antara keluarga dan lembaga–lembaga

kesehatan.

d. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Keluarga sebagai

Caregiver

Kemampuan keluarga memberikan perawatan kepada

pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Green (1980)

dalam Notoatmodjo (2007), faktor–faktor yang mempengaruhi

kesehatan meliputi: a) Predisposing factor atau faktor


predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap

hal–hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. b)

Enabling faktor atau faktor pemungkin yaitu mencakup

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi

masyarakat termasuk fasilita pelayanan kesehatan seperti rumah

sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, posbindu, pos obat desa,

dokter atau bidan praktek swasta. Faktor ini pada dasarnya

mendukung terwujudnya perilaku kesehatan. c) Reinforcing

factor atau faktor penguat meliputi sikap dan perilaku tokoh

masyarakat, tokoh agama, para petugas kesehatan yang ada di

masyarakat, termasuk undang–undang dan peraturan–peraturan

baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan kesehatan.

Menurut Williams (2007) dalam penelitian Fatmadona

(2013) proses interaksi caregiver dipengaruhi oleh faktor:

a. Komitmen

Komitmen merupakan penanda suatu hubungan erat dengan

seseorang, terutama hubungan antara pasien dengan keluarga

sebagai caregiver. Terdapat 4 dimensi komitmen, yaitu :

tanggung jawab, memprioritaskan pasien, memberikan

dukungan, keyakinan adanya kasih sayang.


b. Harapan

Harapan berhubungan dengan pandangan pasien dan keluarga

di masa mendatang. Harapan terhadap kenyataan perlu

dibangun oleh caregiver dalam membina hubungan caregiver

dengan pasien.

c. Penentuan Peran

Dalam merawat pasien, keluarga akan menghadapi perawatan

kompleks pasien yang memerlukan pembagian tanggung

jawab. Dalam hal tersebut caregiver memerlukan penentuan

peran dalam merawat pasien.

d. Hubungan Caregiving

Keberhasilan proses perawatan juga ditentukan dengan

hubungan yang terjalin antara keluarga sebagai caregiver

dengan pasien.

e. Beban Keluarga dalam Merawat Anak Retardasi Mental

1. Difinisi Beban Keluarga

Beban keluarga dapat diartikan sebagai suatu

keadaan yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara

kebutuhan keluarga dengan kemampuan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan yang dimaksud

adalah sebuat stressor, Sementara Fontaine (2003) dalam

Fitrysari (2009) mengatakan bahwa beban keluarga adalah


tingkat pengalaman distress keluarga sebagai efek dari

keberadaan anggota keluarga terhadap keluarganya.

Karakteristik keluarga dengan anak retardasi mental

tergantung dari kemampuan keluarga untuk mengatasi

stressor dan cara keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental.

2. Jenis Beban Keluarga

Ada dua jenis pengelompokan beban keluarga

(WHO, 2008), yaitu :

a. Beban Obyektif, yaitu beban yang berhubungan

dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga

meliputi gangguan hubungan antar anggota

keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas

kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif

terhadap kesehatan fisik anggota keluarga.

b. Beban Subyektif, yaitu beban yang berhubungan

dengan reaksi psikologis anggota keluarga meliputi

perasaan kehilangan, kesedihan, cemas, dan malu

dalam situasi sosial, koping stress terhadap

gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan

karena perubahan hubungan. Rosenzweig (2002)

dalam Fitrysari (2009) menekankan beban pekerjaan


dirasakan ketika orang tua tidak mampu mengatur

peran sebagai seseorang yang bekerja dan sebagai

pengasuh dengan anak kebutuhan khusus. Hal ini

akan semakin dirasakan sebagai beban yang berat

oleh seorang ibu yang bekerja, dimana ibu adalah

anggota keluarga yang paling banyak terlibat dalam

memberikan asuhan keperawatan kepada anak

dengan retardasi mental.

3. Jenis Beban Keluarga dalam Merawat Anak dengan

Retardasi Mental

Beban keluarga dengan anak retardasi mental

diartikan sebagai stres atau efek dari anak dengan retardasi

mental stres pada keluarga dapat dilihat dari adanya

gangguan pada fungsi keluarga. Anak dengan retardasi

mental akan menimbulkan masalah selain pada

individunya sendiri juga pada keluarga dan masyarakat

(Hamid, 2010).

Jenis beban yang dirasakan keluarga terkait

keberadaan anak dengan retardasi mental dapat berupa

beban mental dan material, yaitu:


a. Beban fisik, akan dirasakan sebagai kelelahan dan

keluhan fisik oleh anggota keluarga yang terlibat

dalam proses pengobatan dan perawatan.

b. Beban sosial, terjadi saat keluarga merasa tidak

diterima di masyarakat karena ada salah satu anggota

yang mengalami keterbatasan.

c. Beban waktu, ini dialami oleh keluarga, karena

hampir seluruh waktu dihabiskan untuk mengasuh dan

merawat anak dengan retardasi mental, bahkan

keluarga mengorbankan waktu pribadi, waktu untuk

bekerja, waktu untuk bergaul dengan lingkungan dan

waktu untuk berbagi dengan anggota keluarga lain.

d. Beban keuangan, sangat berhubungan dengan

kebutuhan pengobatan dan perawatan dalam jangka

waktu panjang.

Seluruh beban yang dirasakan keluarga merupakan

stressor yang harus dihadapi oleh seluruh anggota

keluarga bersama – sama dan keluarga akan berusaha

mengatasi stressor yang dialami keluarga dengan

menggunakan berbagai sumber yang ada di dalam maupun

di luar keluarga. Pemanfaatan sumber – sumber tersebut

akan memperkuat kemampuan koping keluarga. Koping


keluarga adalah respon yang positif, sesuai dengan

masalah, yang dipengaruhi afektif, persepsi, dan respon

perilaku, dimana keluarga dan subsistemnya menggunakan

untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres

yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa (Friedman,

2010).

f. Dukungan bagi Keluarga dengan Anak Retardasi Mental

Keberadaan anak retardasi mental dalam keluarga

merupakan sebuah sistem membutuhkan dukungan baik dari

internal keluarga maupun sistem sosial. Dukungan sosial

merupakan suatu kenyamanan fisik dan emosional yang diberikan

kepada seseorang dan berasal dari keluarga, teman kerja, orang

lain dilingkungan ekitar kita, Kendler, Myers & Prescott (2005)

dalam Fitrysari (2009).

Keluarga yang dapat menerima keadaan dirinya yang

mempunyai anak retardasi mental akan tetap memberikan

dukungan misalnya perhatian dan kasih sayang yang cukup. Anak

dengan retardasi mental memerlukan bantuan dan dukungan dari

keluarga serta orang lain untuk menunjang hubungan dengan

individu agar dapat berjalan lancar. Dukungan tersebut dapat

berupa bimbingan dan arahan yang bijaksana dari keluarga

misalnya menanamkan pengertian pada anak, bahwa setiap


manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Sikap positif

keluarga terhadap anak dengan retardasi mental akan membantu

anak memandang dirinya secara realistis serta menilai kekuatan

dan kelemahannya secara objektif, Wall (1993) & Hurlock (1991)

dalam Fitrysari (2009).

g. Stigma Masyarakat tentang Anak Retardasi Mental

Stigma menurut Jones (1984) dalam Fitrysari (2009),

merupakan sebuah penilaian masyarakat terhadap perilaku atau

karakter yang tidak sewajarnya. Masyarakat sering keliru

memahami anak dengan retardasi mental. Retardasi mental bukan

gangguan jiwa. Perilaku yang ditampilkan kadang – kadang aneh

dan tidak lazim itu disebabkan karena anak dengan retardasi

mental mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat

hambatan dalam perkembangan kognitifnya dan memiliki

hambatan dalam perilaku adaptif. Selain itu pemberian label

retardasi mental yang permanen merupakan bentuk diskriminasi

dan vonis yang harus disandang seumur hidup dan membentuk

persepsi masyarakat bahwa anak dengan retardasi mental sebagai

manusia yang tidak normal. Bagi anak retardasi mental itu sendiri

keberadaan dalam masyarakat tidak jarang menimbulkan ejekan,

hinaan dari orang–orang disekitar yang akan mengakibatkan

timbulnya rasa sedih, tidak aman, minder dan frustasi.


Sedangkan self stigma merupakan reaksi dan penilaian pada

diri sendiriakibat suatu masalah yang diderita, dan penilaian

dibuat berdasarkan penilaian diri dan penilaian negatif dari

lingkungan. Seorang anak dengan retardasi mental sangat besar

pengaruhnya dalam kehidupan keluarga. Keterbatasan

kemampuannya dapat menimbulkan permasalahan–permasalahan

di dalam keluarga, bahkan dapat menimbulkan perselisihan dalam

keluarga, saling menyalahkan, dan saling menggugat. Keadaan

krisis di dalam keluarga ini membuat anak dengan retardasi

mental semakin sulit untuk berkembang.

Stigma dirasakan oleh setiap anggota keluarga dan

mempengaruhi seluruh area kehidupan keluarga, menyebabkan

isolasi secara fisik dan sosial serta membatasi kesempatan

anggota keluarga untuk dapat berintegrasi dengan kehidupan di

lingkungan masyarakat, Goffinan (1963) dalam Malsch (2008).

B. Penelitian Terkait

1. Pada penelitian sebelumnya yang diteliti oleh Ayu Supatri (2014)

dengan judul “Pengasuhan Orang Tua Yang Memilik Anak Retardasi

Mental” dengan hasil menunjukan bahwa cara pengasuhan orang tua

yang memiliki anak retardasi mental pada tiap informan berbeda–beda

dikarnakan faktor dan latar belakang.


2. Penelitian lainnya berjudul “Gambaran peran ibu dalam perawatan

anak yang menderita retardasi mental di SLB Kurnia Asih Desa

Pandean Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang” yang diteliti oleh

Anisa Putri Pravitasari, Pepin Nahariani dan H. Miftachul Huda

(2014) dengan hasil menunjukkan bahwa sebagian besar seluruh

responden tidak berperan dalam perawatan anak yang menderita

retardasi mental di SLB Kurnia Asih sebanyak (55,89%).

3. Penelitian berikutnya yang diteliti oleh Zemmy Arfandi, Eko Susilo,

dan Cipta Galih Widodo (2013) dengan hasil penelitian adanya

hubungan yang signitifkan antara dukungan sosial keluarga dengan

kemampuan perawatan diri anak retardasi mental, dimana pengaruh

tersebut yang makin baik dukungan sosial keluarga maka semakin

baik juga kemampuan perawatan diri anak dengan retardasi mental.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiono, 2013). Desain penelitian

yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Alasan peneliti menggunakan desain penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi karena dalam penelitian ini

peneliti mencoba untuk dapat menggali dan memahami fenomena tentang

apa yang dialami partisipan, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan lain–lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata–kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan metode alamiah.

Pendekatan fenomenologi merupakan suatu pendekatan riset yang

menyampaikan intisari dari pengalaman kehidupan individu yang diteliti.

Fenomenologi berkontribusi mendalami pemahaman tentang berbagai

perilaku, tindakan dan gagasan masing–masing individu terhadap

kehidupannya melalui sudut pandangnya yang diketahui dan diterima

secara benar. Adapun penjelasan tentang pengalaman individu berdasarkan

pendekatan fenomenologi adalah berbagai persepsi individu tentang

keberadaannya di dunia, kepercayaan dan nilai–nilai yang dimilikinya

tentang sesuatu dari sudut pandangnya (Manen, 2007).


Pengalaman yang dimaksud untuk dapat diteliti dengan pendekatan

fenomenologi adalah pengalaman yang bersifat universal yang dialami

oleh seorang individu terhadap suatu fenomena yang dialaminnya dalam

kehidupan sehari–hari (Afiyanti, 2014). Fenomenologi terdiri dari 6

macam yaitu fenomenologi penampilan (Apperances), fenomenologi

esensi (Essences), fenomenologi konstitusi (Constitutive), fenomenologi

deskriptif (Descritive), fenomenologi reduksi (Reductive), dan

fenomenologi hermeneutik (Straubert & Carpenter, 2012).

Pada penelitian ini peneliti mengikuti tahapan pendekatan

fenomenologi deskriptif seperti yang dikemukakan oleh Spiegelberg

(1978) dalam Straubert & Carpenter (2011), yaitu tahapan pertama adalah

bracketing, dimana tahap ini dilakukan oleh peneliti dan partisipan.

Peneliti melakukan bracketing dengan cara menghindari asumsi - asumsi

pribadi terhadap fenomena yang sedang diteliti. Bracketing dilakukan

sejak awal hingga peneliti mengumpulkan dan melakukan analisis data,

dimana peneliti bersikap netral dan terbuka dengan fenomena yang ada.

Tahap kedua yaitu menelaah fenomena. Menelaah fenomena dilakukan

melalui proses eksplorasi, analisis, dan deskripsi fenomena untuk

memperoleh gambaran yang utuh dan mendalam dari fenomena untuk

memperoleh gambaran yang utuh dan mendalam dari fenomena. Peneliti

mengidentifikasi tiga langkah untuk menelaah fenomena yaitu: intuiting,

analyzing, describing (Strubert & Carpenter, 2011).


Tahap intuiting, peneliti memasuki secara total dengan empati dan

menghargai ungkapan informan pada fenomena yang diteliti dan mrupakan

proses dimana peneliti mulai tahu tetang fenomena yang digambarkan

informan. Peneliti bersifat alami tanpa mempengaruhi informan.

Tahap analyzing, peneliti mengidentifikasi intisari fenomena tentang

persepsi kebutuhan spiritual pada usia lanjut berdasarkan data–data yang

diperoleh dari informan. Pada tahap ini peneliti melakukan identifikasi

seteliti dan secermat mungkin untuk memperoleh keakuratan dan

kemurnian hasil sesuai dengan pengalaman informan.

Tahap decribing, merupakan tahap terakhir dari fenomenologi

deskrptif. Pada tahap ini peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam

tentang fenomena yang diteliti. Deskripsi tulisan ini bertujuan untuk

mengkomunikasikan arti dan makna persepsi kebutuhan spiritual pada usia

lanjut sesuai pandangan informan. Ketiga langkah tersebut merupakan satu

kesatuan dalam pemahaman arti dan makna menggunakan pendekatan

fenomenologi deskriptif dan pelaksanaannya dilakukan secara berurutan.

B. Partisipan

Populasi atau partisipan adalah keseluruhan kelompok individu atau

objek yang diminati peneliti. Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada

jumlah sampel yang besar, namun pada kasus tipikal sesuai kekhususan

masalah peneliti. Penentuan jumlah partisipan yang terlalu besar akan

mempersulit dalam proses analisis dan mendeskripsikan hasil penelitian,


namun jumlah sampel yang terlalu kecil pun akan berpengaruh pada

tercapainya saturasi data.

Saturasi mencerminkan tidak adanya informasi baru yang didapat

karena terjadi pengulangan informasi sesuai dengan tujuan penelitian.

Peneliti fenomenologi cenderung menggunakan sampel yang kecil,

partisipan biasanya 10 atau kurang (Polit & Back, 2012). Jumlah sampel

yang direkomendasikan untuk suatu penelitian fenomenologi adalah 3–10

partisipan, Duke (1984) dalam Creswell (2013).

Teknik pengambilan partisipan akan diambil secara purposive

sampling, yang terdiri dari 3–10 partisipan sampai tercapainya saturasi

data atau kejenuhan data. Kriteria inklusi dalam penelitian kualitatif ini

antara lain: caregiver yang merupakan keluarga dari anak dengan retardasi

mental (SLB C), mampu berkomunikasi secara jelas, anggota keluarga

yang kooperatif dan bersedia menjadi partisipan dengan memberikan

persetujuan atau informed consent, Adapun kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah keluarga dari anak yang bukan dengan retardasi

mental (bisu/SLB B).

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah “SLB

Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran Lama Jakarta Selatan”

yang berlokasi di Jalan Masjid Almubarok No. 16 Cipulir Kebayoran

Lama Jakarta Selatan.


Adapun untuk waktu penelitian dimulai dari tanggal 10 Oktober

2017 sampai dengan 20 Desember 2017. Proses wawancara, observasi dan

dokumentasi nantinya akan dilakukan langsung di SLB Yayasan Amal

Mulia Indonesia.

D. Etika Penelitian

Penelitian yang dilakukan harus memenuhi persyaratan etik untuk

melindungi hak partisipan terutama jika peneliti dilakukan terhadap

kelompok rentan seperti anak–anak, lanjut usia, klien dengan gangguan

jiwa, hiv aids dan klien dengan kebutuhan khusus maupun keluarganya.

Karena hal ini dapat menyebabkan terjadinya masalah etik dari hubungan

sosial antara peneliti dan partisipan tersebut (Afiyanti dan Rachmawati,

2014).

Etika penelitian yang akan diterapkan pada penelitian ini mengacu

pada prinsip etik menurut Afiyanti dan Rachmawati, (2014) yaitu prinsip:

1. Menghargai Harkat dan Martabat Para Partisipan

Penerapan prinsip ini dapat dilakukan peneliti untuk memenuhi

hak – hak partisipan dengan cara menghormati autonomi (respec for

autonomy), menjaga kerahasiaan data (confidentiality), menghargai

privasi dan digniti serta menjaga identitas partisipan. Partisipan

memiliki hak autonomi untuk menentukan keputusannya secara sadar

dan sukarela / tanpa paksaan, setelah diberikan penjelasan oleh peneliti


dan memahami bentuk partisipasinya dalam penelitian yang akan

dilakukan.

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan berbagai informasi yang

diberikan oleh para partisipan. Untuk menjamin kerahasiaan data,

peneliti wajib menyimpan seluruh dokumen hasil pengumpulan data

berupa lembar persetujuan mengikuti penelitian (informed consent),

biodata, hasil rekaman, dan transkrip wawancara yang hanya bisa

diakses oleh peneliti. Hasil rekaman diberi kode partisipan tanpa nama

(hak autonomi) untuk selanjutnya disimpan dalam file khusus. Semua

data hanya boleh digunakan untuk keperluan proses analisis data

sampai penyusunan laporan penelitian.

2. Memperhatikan Kesejahteraan Partisipan

Penerapan prinsip ini dilakukan peneliti dengan memenuhi hak–

hak partisipan dengan cara memperhatikan kemanfaatan (beneficience)

dan meminimalkan resiko (non-meleficience). Prinsip memperhatikan

kesejahteraan partisipan menyatakan bahwa setiap penelitin harus

mempertimbangkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar

daripada resiko/bahaya yang dapat ditimbulkan dari kegiatan riset yang

dilakukan.

Peneliti wajib meyakinkan bahwa kegiatan penelitian yang

dilakukan tidak menimbulkan bahaya, tidak mengeksploitasikan dan

tidak mengganggu kenyamanan partisipan sekecil apapun baik bahaya

secara fisik, maupun bahaya secara psikologis. Pada penelitian ini tidak
melakukan tindakan eksperimen yang dapat merugikan partisipan

melainkan hanya melakukan wawancara terkait pengalaman keluarga

dalam merawat anak dengan retardasi mental.

3. Keadilan (Justice)

Meliputi hak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak

mendapatkan keleluasaan pribadi. Hak diperlakukan dengan adil

dipenuhi dengan sikap peneliti akan memperlakukan semua partisipan

secara adil dengan tidak membeda–bedakan dan memberikan hak yang

sama pada setiap partisipan.

4. Lembar Persetujuan Partisipan (Informed Consent)

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dan partisipan penelitian, dengan memberi lembar persetujuan.

Informed Consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan

dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi partisipan

kepada keluarga yang memenuhi kriteria. Peneliti memberikan

informasi lengkap tentang tujuan, manfaat dan proses penelitian yang

akan di ikutinya. Setelah calon partisipan paham akan informasi yang

telah diberikan maka penelitian akan meminta kesediaan calon

partisipan untuk menanda tangani informed consent.

Peneliti juga akan menginformasikan partisipan memiliki hak

untuk memutuskan tidak melanjutkan keikutsertaannya dalam

penelitiannya tanpa sanksi apa pun dan dari siapa pun, partisipan juga

berhak untuk tidak menjawab pertanyaan wawancara yang dapat


menimbulkan rasa tidak nyaman bagi dirinya untuk menceritakan

pengalamannya yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. jika

partisipan tidak nyaman untuk berpartisipasi lebih lanjut, partisipan

dengan sukarela dapat mengundurkan diri dari proses penelitian

kapanpun ia inginkan.

E. Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti

sendiri, dimana peneliti secara langsung melakukan wawancara

menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara semi

terstruktur.

Sedangkan alat bantu yang digunakan pada saat wawancara adalah

pedoman wawancara, alat bantu perekam dan catatan lapangan. Pedoman

wawancara merupakan panduan yang digunakan dalam wawancara semi

terstruktur, sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara

dan penggalian data (Sugiyono, 2007), sedangkan catatan lapangan

peneliti gunakan untuk mencatat ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan reaksi

partisipan ketika berbicara (Afiyanti dan Rachmawati, 2014).

Menurut Irawan (2007) hal–hal yang perlu dikuasai oleh peneliti

dalam melakukan wawancara adalah: mempersiapkan pedoman

wawancara dan pedoman field note (catatan lapangan), menciptakan

suasana rileks, menghindari pertanyaan tertutup, jika partisipan tidak

memberikan jawaban atau diam, ingatlah keadaan inipun merupakan data


bagi peneliti, hindari kekakuan saat wawancara, jangan mempengaruhi

jawaban partisipan, gunakan alat bantu perekam untuk merekam, tidak

menafsirkan, menyimpulkan, menambahkan dan mengurangi data dari

partisipan.

F. Validitas Data

Validitas data dalam penelitian ini dilakukan pada data primer.

Untuk menjamin validitas data primer, peneliti melakukan uji validitas

atau disebut juga dengan triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi meliputi

empat hal, yaitu: (1) Triangulasi Metode, yaitu dilakukan dengan cara

membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. (2)

Triangulasi Antar Peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok),

yaitu dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan

dan analisis data. (3) Triangulasi Sumber Data, dimana peneliti menggali

kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dan sumber

perolehan data. (4) Triangulasi Teori, dimana hasil akhir penelitian

kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau Thesis Statement

informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang

relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau

kesimpulan yang dihasilkan.


Triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

triangulasi sumber data yang dilakukan dengan cara mengklarifikasi hasil

dari wawancara partisipan dengan petugas SLB dan menguraikan secara

mendalam tentang pengalaman keluarga dalam merawat anak dengan

retardasi mental.

G. Prosedur Pengumpulan Data

1. Pra Penelitian

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dimulai dari

prapenelitian, dimana peneliti melakukan studi pendahuluan di SLB

Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir Kebayoran Lama Jakarta

Selatan. Setelah peneliti mempersiapkan surat permohonan izin studi

pendahuluan dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

(STIKIM) dan bertemu dengan kepala TU SLB. Tindakan yang

dilakukan selanjutnya yaitu menyeleksi partisipan yang sesuai dengan

kriteria penelitian.

2. Melakukan Studi Pustaka

Peneliti telah melakukan beberapa point pada tahap ini antara lain

menyusun bab I, II, dan III. Penulis juga melakukan kajian terhadap

sumber–sumber bacaan lain untuk menambah pengetahuan tentang

pengalaman keluarga dan anak retardasi mental.

3. Menyusun Pedoman Wawancara


Pada tahap ini peneliti telah mempersiapkan pedoman–pedoman

wawancara yang disiapkan peneliti bertujuan agar pertanyaan–

pertanyaan yang diajukan penulis nantinya tetap pada konteks dan tidak

melenceng dari tema penelitian itu sendiri.

4. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini akan dimulai pada tanggal 10 Oktober

2017. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu

mempersiapkan hal–hal yang dibutuhkan penelitian. Peneliti

menyerahkan proposal penelitian yang disertai dengan surat izin

penelitian yang dikeluarkan oleh kampus STIKIM.

Pada tahap ini peneliti melakukan wawancara sesuai dengan

kesepakatan yang telah dilakukan partisipan sebelumnya dengan

mengajukan pertanyaan inti terkait pengalaman keluarga merawat anak

dengan retardasi mental. Wawancara diawali dengan mengingatkan

kembali kontrak atau kesepakatan untuk melakukan wawancara.

Kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam terkait dengan

topik pengalaman keluarga dalam merawat anak dengan retardasi

mental berdasarkan anduan wawancara yang telah disiapkan.

H. Pengolahan Data

Penulisan hasil pengumpulan data dilakukan setelah proses observasi

dan wawancara, penulisan dilakukan dengan pembuatan naskah transkrip

berdasarkan hasil wawancara dan filed note. Isi suatu transkrip berupa
transformasi dari bahasa dan ekspresi verbal atau berbagai informasi yang

terjadi dari kegiatan penelitian dalam bentuk tulisan perkataan partisipan

(Kvale, 2011). Sebelum dianalisis peneliti membaca hasil transkrip dan

catatan lapangan sebanyak 3–4 kali agar dapat memahami data dengan

baik dan dapat melakukan analisis data.

I. Analisis Data

Analisis data pada pendekatan kualitatif merupakan analisis yang

bersifat subyektif, karena peneliti adalah instrumen utama untuk

pengambilan data dan analisis data penelitiaannya. Proses analisis data

pada pendekatan kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan proses

pengumpulan data (Afiyanti dan Rachmawati, 2014). Secara umum

kegiatan analisis data pada pendekatan kualitatif memiliki lima tahap

penting yang perlu dilakukan peneliti yaitu: 1) Mempersiapkan data, 2)

Mengordinasikan data, 3) Mereduksi data dalam bentu tema–tema yang

saling berhubungan melalui proses koding, 4) Membuat

ringkasan/kodensasi kode–kode yang telah dihasilkan, 5)

Mempresentasikan data tersebut dalam bentuk gambar, tabel, atau materi

diskusi (Creswell, 2013).

Proses analisa data pada penelitian ini menggunakan metode

interprestasi proses koding yaitu menyusun secara sistematik data yang

ditemukan secara lengkap dan rinci. Proses ini dimulai dengan

mendengarkan deskripsi yang verbal partisipan, diikuti dengan kegiatan


membaca dan menbaca kembali transkrip verbatim. Peneliti menganalisis

pertanyaan–pertanyaan spesifik dan mengkategorikan kedalam kluster–

kluster yang akan membentuk tema.

Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:

1. Membuat Transkrip

Memberi gambaran pengalaman personal terhadap fenomena yang

diteliti, yaitu peneliti mulai dengan mendengarkan deskripsi verbal

partisipan, membaca dan membaca ulang deskripsi tersebut.

Selanjutnya, peneliti manganalisis pertanyaan–pertanyaan spesifik

untuk memberi gambaran penuh tentang pengalamannya sendiri

terhadap fenomena yang diteliti.

2. Pertanyaan Signitifkan

Membuat daftar pertanyaan yang signitifkan. Peneliti menemukan

pernyataan–pernyataan tentang bagaimana partisipan hanya

mengalami berbagai pengalaman mereka yang dibuat dalam suatu

daftar pernyataan–pernyataan yang signitifkan.

3. Unit Makna

Mengelompokan pernyataan yang signitifkan tersebut dikumpulkan

dalam suatu unit data/informasi yang lebih besar, yang disebut “unit

meaning” atau tema–tema.


4. Deskripsi Teks/Wacana

Menuliskan deskripsi atau interprestasi “apa” yang dialami partispan

terkait fenomena yang diteliti. Ini yang disebut “suatu deskripsi

tekstural” tentang suatu pengalaman apa yang dialami dan dilengkapi

dengan contoh–contoh verbal tim partisipan.

5. Deskripsi Struktural

Menuliskan “bagaimana” pengalaman yang dialami pertisipan. Ini

yang disebut dengan “deskripsi struktural” dan peneliti menfleksikan

pada settingan atau konteks fenomena yang diteliti dialami partisipan.

6. Deskripsi Gabungan (Interprestasi Data)

Menuliskan deskripsi gabungan yaitu menggabungkan deskripsi

tekstural dan ini yang disebut “intisari struktural” dari pengalaman

partisipan dan representasikan aspek inti dari studi fenomenologi yang

dituliskan peneliti melalui interprestasi data.


Lampiran 3. Pedoman Wawancara

PEDOMAN WAWANCARA SEMI TERSTRUKTUR

Judul Penelitian : Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan


Retardasi Mental
Waktu Wawancara :
Tanggal :
Tempat :
Kode Partisipan :
Pertanyaan :
1) Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Saudara mengetahui anaknya berbeda dari anak
lainnya?
2) Bagaimana persepsi/pandangan Bpk/Ibu/Saudara dengan keberadaan anak
dengan keterbelakangan mental?
3) Bagaimana lingkungan Bpk/Ibu/Saudara menanggapi anak dengan
keterbelakangan mental?
4) Apa harapan Bpk/Ibu/Saudara kepada anak dikemudian hari?
5) Hambatan-hambatan seperti apa yang Bpk/Ibu/Saudara jumpai dalam
merawat anak dengan keterbelakangan mental?
6) Apakah Saudara merasakan adanya anggapan negatif dari orang sekitar
dengan anak keterbelakangan mental?
7) Sumber dan jenis dukungan seperti apa yang Bpk/Ibu/Saudara dapatkan
dalam merawat anak keterbelakangan mental?
8) Bagaimana upaya yang telah dilakukan keluarga dalam merawat anak dengan
keterbelakangan mental?
Lampiran 4. Pedoman Catatan Lapangan

PEDOMAN CATATAN LAPANGAN

Nama Partisipan: Kode Partisipan:

Tempat Wawancara: Waktu Wawancara:

Suasana tempat saat akan wawancara:

Gambaran kondisi partisipan saat akan wawancara:

Posisi partisipan dengan peneliti:

Gambaran respon partisipan selama wawancara:

Gambaran suasana tempat selama wawancara:

Respon partisipan saat terminasi:


Lampiran 1. Informed Concent

INFORMED CONCENT

Kepada Yth.
Calon Partisipan Penelitian
Di Tempat

Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Anggi Dian Putri
NPM : 08160100074
Adalah mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM) yang akan melakukan penelitian dengan
judul “Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan Retardasi
Mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir, Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan tahun 2017”.
Dengan ini, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam
penelitian saya. Jawaban dan identitas yang Bapak/Ibu berikan, akan saya jaga
kerahasiaannya dari publikasi umum dan akan saya gunakan untuk kepentingan
pendidikan. Atas bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.

Jakarta, September 2017

Peneliti
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama (inisial) :
Umur :
Alamat :
Saya bersedia/tidak bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian yang
berjudul “Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan Retardasi
Mental di SLB Yayasan Amal Mulia Indonesia Cipulir, Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan tahun 2017”.
Demikian pernyataan ini saya buat tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain.

Jakarta, September 2017

Partisipan
DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, S.M 2008. Penanganan Anak Tunagrahita. http://pustaka.unpad.ac.id.

Diakses tanggal 28 Juli 2017

Anisa Putri Pravitasari, Pepin Nahariani, Miftachul Huda. 2014. Gambaran Peran

Ibu Dalam Perawatan Anak Yang Menderita Retardasi Mental di SLB

Kurnia Asih Desa Pandean Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang.

http://jurnalperawat.stikespemkabjombang.ac.id. Diakses tanggal 02

Agustus 2017

Zemmy Arfandi, Eko Susilo, Gipta Galih Widodo. 2013. Hubungan Antara

Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kemampuan Perawatan Diri Pada

Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Ungaran. Perpusnwu.web.id.

Diakses tanggal 02 Agustus 2017

Ayu Supartini. 2014. Karya Tulis Ilmiah Pengasuhan Orang Tua Yang Memiliki

Anak Retardasi Mental. Digilib.uin-suka.ac.id. Diakses tanggal 02

Agustus 2017

Hamid, A. Y. S. 2009. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Sugiono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta


Hidayat, A. Aziz Alimul. 2013. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta : Salemba Medika

Afiyanti, Rachmawati. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Riset

Keperawatan. Jakarta : RajaGrapindo Persada

Fitryasari, R. 2009. Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak Autis di Sekolah

Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya. Tesis UI

Anda mungkin juga menyukai