Anda di halaman 1dari 225

MODEL PERILAKU SELF CARE PENGARUHNYA TERHADAP

KUALITAS HIDUP (QUALITY OF LIFE), KONTROL METABOLIK,


DAN KONTROL LIPID PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI KOTA BINJAI

DISERTASI

Oleh

RINA AMELIA
108111008/IKM

PROGRAM STUDI S3 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2018

UNIVERSITAS SUMATERA
MODEL PERILAKU SELF CARE PENGARUHNYA TERHADAP
KUALITAS HIDUP (QUALITY OF LIFE), KONTROL METABOLIK,
DAN KONTROL LIPID PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI KOTA BINJAI

DISERTASI

Diajukan Sebagai Satu Syarat


untuk Memperoleh Doktor (Dr)
dalam Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

RINA AMELIA
108111008/IKM

PROGRAM STUDI S3 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2018

UNIVERSITAS SUMATERA
UNIVERSITAS SUMATERA
PERNYATAAN

MODEL PERILAKU SELF CARE PENGARUHNYA TERHADAP


KUALITAS HIDUP (QUALITY OF LIFE), KONTROL METABOLIK,
DAN KONTROL LIPID PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI KOTA BINJAI

DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam disertasi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar doktor di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka

Medan, Januari 2018


Penulis

Rina Amelia
108111008/IKM

UNIVERSITAS SUMATERA
Telah diuji
Pada Tanggal : 23 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK


Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD, KEMD
2. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes
3. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M
4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes
5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes
6. Dr. Juanita, S.E, M.Kes

UNIVERSITAS SUMATERA
ABSTRAK

Diabetes merupakan penyakit kronik yang membutuhkan pengobatan


secara medis sepanjang hidup, sehingga perubahan perilaku dan gaya hidup
sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi dan terjadinya kematian. Perilaku
self care yang baik akan membuat diabetes terkontrol dan mencegah terjadinya
komplikasi dan membuat kualitas hidup menjadi lebih baik.
Tujuan penelitian adalah untuk membuat model perilaku self care pasien
diabetes Tipe 2 di Kota Binjai dan menganalisis pengaruh model tersebut dengan
kualitas hidup, kontrol metabolik dan kontrol lipid pasien diabetes tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan tipe explanatory research
dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 yang datang dan kontrol di 8 puskesmas induk di Kota
Binjai. Sampel penelitian sebanyak 115 orang dengan metode pengambilan
sampel secara consecutive sampling yaitu berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan. Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial, uji hipotesis
dilakukan dengan analisis jalur, untuk menguji kesesuaian model menggunakan
godness of fit test. Analisis Model Structural Equation Model dilakukan dengan
menggunakan Amos 16.0
Hasil penelitian menunjukkan terbentuknya model perilaku self care di
kota Binjai yang nilai psikometrik yang baik (valid, reliabel dan pemodelan fit).
Model tersebut dibentuk dari tujuh indikator yaitu pengetahuan, sikap,
komunikasi, pembiayaan, dukungan keluarga, motivasi, dan efikasi diri. Ketujuh
indikator tersebut mempunyai kontribusi terbentuknya perilaku self care yang
baik, hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi merupakan indikator yang
paling besar kontribusinya terhadap perilaku self care. Hasil analisis
menunjukkan terdapat pengaruh antara perilaku self care dengan kualitas hidup,
kontrol metabolik dan kontrol lipid pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai (p<0.05)

Kata kunci: Model perilaku self care, kualitas hidup, kontrol metabolik, kontrol
lipid

UNIVERSITAS SUMATERA
ABSTRACT

Diabetes is a chronic disease that requires medical treatment throughout life, in


this situation, changes in behavior and lifestyle are needed to prevent
complications and the occurrence of death. Good self-care behavior will make
diabetes controlled and prevent complications and make quality of life better.

The aim of the study was to create a model of self-care behavior of Type 2
diabetic patients in Binjai City and to analyze the effect of the model with the
quality of life, metabolic control and lipid control of the diabetic patient. This
research is a survey research with explanatory research type with cross sectional
approach. The study population was all patients of Type 2 Diabetes Mellitus who
came and control at 8 primary health centers in Binjai City. The sample of
research as many as 115 people with the method of sampling by consecutive
sampling that is based on predetermined criteria. Data were analyzed descriptively
and inferentially, hypothesis test was done by path analysis, to test the suitability
of model using godness of fit test. The Structural Equation Model analysis was
performed using Amos 16.0

The results showed the formation of self-care behavior model in Binjai city that
good psychometric value (valid, reliable and fit modeling). The model is formed
from seven indicators namely knowledge, attitude, communication, financing,
family support, motivation, and self efficacy. The seven indicators have
contributed to the formation of good self-care behavior, the results showed that
motivation is the greatest indicator of contribution to self-care behavior. The
results showed that there was influence between self care behavior with quality of
life, metabolic control and lipid control of DM Type 2 patients in Binjai City

Keywords: Self care behavior model, quality of life, metabolic control, lipid
control

UNIVERSITAS SUMATERA
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat dan Karunia yang tiada henti sehingga dapat menyelesaikan disertasi
yang berjudul “Model Perilaku Self Care Pengaruhnya Terhadap Kualitas
Hidup (Quality of Life), Kontrol Metabolik, dan Kontrol Lipid Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Kota Binjai”. Disertasi ini merupakan prasyarat
dalam memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat pada
Program Doktor Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-
tingginya saya ucapkan kepada Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK dan Prof. Dr.
dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK(K), FINASIM Selaku Promotor; Prof.
Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD, KEMD, FINASM selaku co-promotor 1 dan Dr.
Ir. Erna Mutiara, M.Kes selaku co-promotor 2, yang dengan penuh perhatian dan
keikhlasan hati telah meluangkan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan,
masukan dan arahan semenjak saya mulai menyusun disertasi sampai pada hingga
selesai pendidikan ini.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari pihak lain maka
disertasi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum.
beserta staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) beserta
staf yang telah memberikan saya izin, fasilitas dan dukungan sehingga saya
dapat menyelesaikan pendidikan ini
3. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si
beserta staf atas kesempatan dan fasilitas serta dukungan yang diberikan
sehingga saya dari mulai perkuliahan sampai dapat menyelesaikan pendidikan
ini.
4. Ketua Program Studi S2/S3 IKM Ibu Ir. Etty Sudaryati, MKM, PhD beserta
staf atas kesempatan dan dukungan serta perhatian yang diberikan sehingga
saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.
5. Kepada: Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, Dr. Drs. Zulfendri, SKM, Dr. dr.
Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, dan Dr. Juanita, SE. M.Kes selaku penguji
sejak tahap kolokium sampai ujian promosi yang telah berkenan memberikan
masukan-masukan yang sangat berharga untuk lebih menyempurnakan
penulisan disertasi ini.
6. Seluruh staf pengajar Program Doktoral pada Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang memberikan bekal keilmuan
yang bermanfaat bagi saya.
7. Seluruh Staf Pengajar Kedokteran Komunitas: Ketua Departemen Kedokteran
Komunitas Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, Dr. dr. Juliandi Harahap,
MA, dr. Yuki Yunanda, M.Kes, Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.CMFM, Dr.
Zulkifli, MSi, dr. Ismiralda Siregar, M.Kes, dr. Putri Eyanoer, MS Epi, PhD,

UNIVERSITAS SUMATERA
Sri Lestari, SP, M.Kes, serta Prianda yang telah memberikan bantuan dan
dukungan selama masa pendidikan, semoga menjadi amal sholeh dan dicatat
sebagai pahala.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Binjai dan Kepala Puskesmas Kota Binjai yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan semua bantuan
sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.
9. Para pegawai puskesmas di Kota Binjai yang membantu terlaksananya
penelitian ini.
10. Seluruh pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang datang ke 8 puskesmas di Kota
Binjai, terima asih atas kesediaan dan waktu luangnya, semoga selalu sehat
dan teratur dalam berobat.
11. Kepada Sahabatku dr. Rusdiana, M.Kes dan dr. Maya Savira, M.Kes yang
telah menjadi Tim yang baik dalam penelitian, trima kasih buat persahabatan
dan kerjasamanya semoga kita dapat bekerjasama lagi di penelitian lainnya
dan semoga segera melanjutkan sekolah ke jenjang doktoral.
12. Kepada para enumerator yang telah membantu dalam proses pengambilan
data dan proses di lapangan
13. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Doktoral angkatan 2010
Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan dukungan dan semangat sejak awal perkuliahan sampai
selesainya disertasi ini.
14. Secara khusus, terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang
setinggi-tingginya ananda ucapkan kepada yang mulia Ibunda Alm. Hj.
Maryati Kahar dan Ayahanda Alm Drs. Agustaman guru-guru hebat yang
telah mengasuh, mendidik, membesarkan dan mendoakan kami dengan penuh
kesabaran, keteladanan dan pengorbanan yang tiada berhingga. Semoga
diampuni segala kesalahan mereka, diterima amal ibadahnya dan mereka
ditempatkan dalam sorga Allah SWT bersama dengan orang-orang yang
beriman, Aamin YRA, dan semoga Ama dan Apa dapat tersenyum bangga
melihat ananda yang telah menyelesaikan sekolah yang seperti yang Ama dan
Apa harapkan
15. Kepada mertua Ibunda Sarjilah dan ayahanda Alm. Sarjio yang telah
mencintai, menyayangi, memberikan semangat dan doa yang tidak pernah
putus kepada ananda, Kepada Ibunda Sarjilah terima kasih buat
kesabarannya, semoga ibunda selalu sehat dan panjang umur, Aamiin.
16. Kepada suamiku tercinta dr. Hendri Wijaya, M.Ked (Ped), Sp.A, DTM&H
terima kasih untuk cinta kasih, dukungan serta semangat yang diberikan
kepada istrimu sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dan mohon
maaf untuk segala kealpaan dan kelalaian selama pendidikan.
17. Kepada anak-anakku : M. Faiz Lutfi Wijaya, M. Attar Fadhil Wijaya, dan
Fathir Ahmad Wijaya, terima kasih nak untuk kebahagiaan dan pengertian
yang kalian berikan kepada Bunda terutama selama Bunda sekolah, kalian
adalah penyemangat bunda, Bunda minta maaf atas kehilangan waktu
bermain bersama mudah-mudahan kalian menjadi anak-anak yang sholeh dan
dapat menempuh pendidikan yang lebih lagi dari ayah dan bunda

UNIVERSITAS SUMATERA
18. Kepada Abang Dr. Drs. Aries Tanno, MSi. Ak. CA, Uni Trisna Dewi, SIP,
Uni Anne Putri, SE, MSc, Ak, CA serta kakak dan abang ipar Uni Gusmayeni
Amd, Pip Davindra S.Sos. Orang-orang terdepan yang selalu mendukung
tanpa pamrih, yang telah memberikan dukungan, motivasi, semangat dan
selalu mendoakan yang terbaik untuk adik tercintanya.
19. Keponakan tercinta Hanif, Salsa, Hafizh, Ica. Trima kasih buat doa-doanya
buat bunda, semoga kalian sukses dalam studinya.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam


penulisan disertasi ini, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun sehingga guna perbaikan penulisan penulisan dimasa yang akan
datang.

Medan, Januari 2018

RINA AMELIA

UNIVERSITAS SUMATERA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS DIRI

1. Nama Lengkap : dr. Rina amelia, MARS, FISPH FISCM


2. Tempat dan Tanggal Lahir : Padang, 20 April 1976
3. Alamat Rumah : Jln. T.A Hamzah N0. 25 Dusun V Desa
4. Kwala Begumit. Kecamatan Binjai
Kabupaten Langkat
5. Pekerjaan : Dosen Departemen Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran USU
6. Pangkat/Golongan : III/d Penata Tk.I
7. Nomor Telepon/Fax : 08126446484/08116180352
8. Alamat e-mail : drrinaamelia@gmail.com

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


No. Tingkat Pendidikan Tempat/jurusan/Program Tahun Lulus
Studi
1 Sekolah Dasar SDN. NO. 81 Padang 1990
2 Sekolah Menengah SMPN. NO. 7 Padang 1992
Pertama
3 Sekolah Menengah Atas SMAN. No 2 Padang 1994
4 Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokeran USU 1998
5 Dokter Fakultas Kedokeran USU 2000
6 Magister Administrasi Fakultas Kesehatan 2008
Rumah Sakit Mayarakat USU

III. RIWAYAT PEKERJAAN

No. Jabatan Tempat Tahun

1 Dokter PTT Puskesmas Simonis 2001


Kabupaten
Labuhan Batu
2 Kepala Puskesmas Puskesmas Simonis 2002
Kabupaten
Labuhan Batu
3 Staf Dosen Departemen 2003-sekarang
Kedokteran Komunitas
FK USU

UNIVERSITAS SUMATERA
IV. PUBLIKASI ILMIAH
1. The Correlation Between Body Mass Index and Self-Efficacy with Blood
Glucose Level in Type 2 Diabetes Mellitus. Advanced Science Letters,
Volume 23, Number 4, April 2017, pp. 3606-3609(4)
ISSN: 1936-6612 (Print): EISSN: 1936-7317 (Online). Copyright ©
2000-2017 American Scientific Publishers. All Rights Reserved.
http://www.aspbs.com/science.htm
2. The Correlation Between the Level of HbA1c with Total Serum
Cholesterol of Uncontrolled Type 2 Diabetes Mellitus Patients in Binjai,
Sumatera Utara
Advanced Science Letters, Volume 23, Number 4, April 2017, pp. 3610–
3613 (2017).ISSN: 1936-6612 (Print): EISSN: 1936-7317 (Online).
Copyright © 2000-2017 American Scientific Publishers. All Rights
Reserved. http://www.aspbs.com/science.htm
3. The Correlation Between Self Care Behavior and the Level of Hba1c of
the Patients with Diabetes Mellitus Type 2 in Binjai City, Sumatera Utara
Province
Publication : phico-16. Part of Series: Advances in Health Sciences
Research
ISBN: 978-94-6252-333-3. ISSN: 2468-5739
4. Anthropometric Correlation with Blood Glucose Level in Community
Health Center Tuntungan, in Medan City. Publication : phico-16. Part of
Series: Advances in Health Sciences Research. ISBN: 978-94-6252-333-
3. ISSN: 2468-5739
5. Self-Efficacy of Relationship with The Quality of Life of Type 2 Diabetes
Patients In Tuntungan Community Health Centers (Puskesmas) Medan.
PONTE Journal (Italy). Vol. 72, Issue 12, Desember 2016. ISSN
0032423X, ISSN On-line 0032-6356
6. The Relationship Between Type 2 Diabetes Mellitus and The Occurrence
of Stroke Among Neurology Patients At Haji Adam Malik Hospital
Medan Indonesia. PONTE Journal (Italy). Vol. 72, Issue 10, Oktober
2016. ISSN 0032423X, ISSN On-line 0032-6356
7. The Correlation between Level of Diabetic Patients’ Knowledge with
Quality of Life in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus at Haji Adam
Malik Hospital Medan. The 8th Chemical Engeneering on Science and
Application (AIC-UNSYAIH and ChESA) UNSYIAH – ISSN: 2089-
208X. Banda Aceh, 9-11 September 2015.
8. Hubungan Perilaku Perawatan kaki dengan Terjadinya Komplikasi Luka
Kaki Diabetes pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Tuntungan

UNIVERSITAS SUMATERA
Medan.(Prosiding Seminar nasional dalam Rangka Dies Natalis USU ke-
64). ISBN : 970-458-925-X
9. The Correlation Between Body Mass Index and Self-Efficacy with Blood
Glucose Level in Type 2 Diabetes Mellitus. Proceeding of : International
Conference on Public Health for Tropical and Coasta Development
(ICOPH-TCD 2016). Semarang, Indonesia. October 15 th-17th 2016.
ISBN: 978-602-74235-5-8
10. The Correlation Between the Level of HbA1c with Total Serum
Cholesterol of Uncontrolled Type 2 Diabetes Mellitus Patients in Binjai,
Sumatera Utara
Proceeding of : International Conference on Public Health for Tropical
and Coasta Development (ICOPH-TCD 2016). Semarang, Indonesia.
October 15 th-17th 2016. ISBN: 978-602-74235-5-8
11. Characteristics of Type 2 Diabetes Mellitus Patients Based on Blood
Sugar Level and Hba1c in Binjai Public Health Centres. Advanced
Science Letters, Volume 23, Number 4, April 2017, pp. pp. 3599-3601(3)
(2017).ISSN: 1936-6612 (Print): EISSN: 1936-7317 (Online).Copyright
© 2000-2017 American Scientific Publishers. All Rights Reserved.
http://www.aspbs.com/science.htm
12. Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Perawat dalam Asuhan
Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara, Medan. Majalah Kedokteran Nusantara (The
Journal of Medical School) tahun 2009. ISSN : 0216-325X (Tesis)

V. SEMINAR DAN WORSHOP YANG PERNAH DIIKUTI


1. Pelatihan Pengolahan Data Persamaan Simultan dan Seemingly
Unrelated Regression, Medan (28 – 29 Nov 2016)
2. Scientific Journal writing Training, Medan 8-10 September 2016.
3. Workshop Penyususnan Proposal, Pelaksanaan dan Pelaporan Kegiatan
Pengabdian kepada Masyarakat Program Mono Tahun dan Multi Tahun.
Program Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek
Dikti, Medan 1 Maret 2016
4. Workshop Penyusunan Proposal (01 Maret 2016)
5. Pelatihan Cara Uji Klinik yang Baik (Good Clinical Practice) (Medan 15-
17 Okt 2014)
6. Pelatihan Penguatan Kompetensi Dosen Penasehat Akademik (PA) dan
Penilaian Hasil Belajar, Angkatan I thn 2014 ( Medan18 Juni 2014)
7. Pelatihan Pembelajaran Aktif (Active Learning) di Perguruan
Tinggi (Medan 07,08,09 dan 11 April 2014)

vi

UNIVERSITAS SUMATERA
8. Workshop Pengembangan Keterampilan Soft Skill/Tutorial dalam
Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Angkatan I
Tahun 2014, Medan 22 April 2014.
9. Pelatihan Analisis Survival pada Penelitian Klinis (Medan 12
Maret 2014)
10. Pelatihan Item Development & Item Review
11. CBT, Medan 13 Februari 2014
12. Workshop Implementasi Sistem Mutu Universitas Sumatera Pengelola
Baru Gugus Jaminan Mutu (GJM) dan Gugus Kendali Mutu (GKM)
siklus 6 tahun 2013.
13. Workshop nasional penguji dan pelatih PS OSCE UKDI (11
November 2012)
14. Workshop Pengembangan Kompetensi Dokter Keluarga. PT. ASKES
(PERSERO) Divisi Regional I` Berastagi 30-31 Mei 2012 Manajemen
Utara Unit
15. Pelatihan Dosen Pembimbing Karta Tulis Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Kedokteran USU, Medan, 3-4 Februari 2012
16. Pelatihan Penulisan Manuscript untuk Jurnal Elektronik. FK USU,
Medan, 1 November 2012.
17. Training Fasilitator Evidence Based Medicine, Medan 9-10 2012
18. Workshop Analisis Data dengan CONTENT ANALYSIS 7 WEFT-
QDA, Medan 31 Januari 2012

VI. PENGABDIAN MASYARAKAT


1. Peningkatan Ketrampilan Dokter Kecil Sebagai Petugas Usaha
Kesehatan Sekolah Di Sekolah Dasar Kecamatan Medan Belawan. Kota
Medan. Pendanaan DRPM DIKTI tahun 2016
2. Kursus Singkat Kesehatan Berkelanjutan Persatuan Perubatan
Homeopathy Malaysia. FK USU, 14-18, Maret 2016.
3. Peningkatan Keterampilan Keluarga Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
tentang Pengukuran Kadar Gula Darah Mandiri, Pengaturan Diet,
Aktifitas Fisik, Konsumsi Obat Anti Diabetes dan Deteksi Dini Tanda-
tanda Komplikasi Akut Diabetes di Puskesmas Kota Binjai. Tahun 2016
4. Pelatihan Dokter Kecil di Sd Al Azhar Medan tahun 2014

UNIVERSITAS SUMATERA
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK...........................................................................................................i
ABSTRACT........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
RIWAYAT HIDUP............................................................................................v
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
DAFTAR TABEL..............................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xiii

BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................1
1.2 Permasalahan..........................................................................11
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................11
1.4 Hipotesis Penelitian................................................................12
1.5 Tujuan Penelitian....................................................................13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA....................................... .................... 14


2.1 Diabetes Melitus 14
2.1.1 Definisi.........................................................................14
2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi...............................................14
2.1.3 Faktor Resiko...............................................................17
2.1.4 Patogenesis...................................................................17
2.1.5 Patofisiologi.................................................................19
2.1.6 Manifestasi Klinis........................................................25
2.1.7 Diagnosis......................................................................26
2.1.8 Komplikasi...................................................................27
2.2 Kualitas Hidup (QoL).............................................................27
2.2.1 Definisi.........................................................................28
2.2.2 Kualitas Hidup terkait Kesehatan...............................29
2.2.3 Penilaian Kualitas Hidup Pasien
Diabetes.......................................................................30
2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas
Hidup Pasien Diabetes............................................................32
2.4 Perilaku Self Care (Perawatan Diri).......................................35
2.4.1 Defenisi.......................................................................35
2.4.2 Konsep Dasar Self Care..............................................39
2.4.3 Perilaku Self Care pada Pasien
Diabetes Melitus.........................................................39
2.4.4 Program Self Care pada Pasien
Diabetes.......................................................................40
2.4.5 Penerapan Program Self Care.....................................40

2.5 Hubungan Perilaku Self Care dengan 48


x

UNIVERSITAS SUMATERA
Kualitas Hidup........................................... .....................
2.6 Rangkuman Jurnal Penelitian Self Care.................................50
2.7 Konsep Perilaku......................................................................60
2.8 Landasan Teori........................................................................66
2.6 Kerangka Konsep Penelitian...................................................70

BAB 3. METODE PENELITIAN.................................................................73


3.1 Jenis Penelitian.................................................................. 73
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................... 74
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian........................................ 74
3.4 Metode Pengumpulan Data............................................... 76
3.5 Variabel dan Definisi Operasionil..................................... 77
3.5.1 Variabel Penelitian................................................. 67
3.5.2 Defenisi Operasionil......................... ..................... 78
3.6 Metode Pengukuran.......................................................... 67
3.6.1 Pengujian validitas Instrumen……....................... 82
3.6.2 Pengujian Reliabilitas Instrumen…...................... 82
3.6.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas....................... 83
3.7 Etika Penelitian................................................................. 85
3.8 Metode Analisa Data......................................................... 85
3.8.1 Statistik Deskriptif……………….. ..................... 85
3.8.2 Structural Eguation Model (SEM) ..................... 86
3.9 Pengembangan Model Teoritis ..................... 87
dan Diagram Jalur
3.9.1 Pengembangan Model Teoritis……....................... 87
3.9.2 Pengembangan Diagra ..................... 87
Jalur……....
3.9.3 Konversi Diagram Jalur ke dalam
Persamaan…………………………...................... 88
3.9.4 Memilih Matriks Input dan 88
Estimasi Model…………………… ....................
3.9.5 Menilai Masala...........................89
Identifikasi……….
3.9.6 Evaluasi Model dengan Kriteri
Goodness-of-fit............................................................89
3.9.7 .Interpretasi dan Modifikas.................... 91
Model….

BAB 4. HASIL PENELITIAN.....................................................................93


4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian...................................................93
4.2 Karakteristik Responden Penelitian.......................................94
4.3 Deskriptif Hasil Penelitian.....................................................96
4.3.1 Karakteristik dan Dimensi
Pembentuk Self Care.................................................96
4.3.2 Karakteristik Kualitas Hidup dan

UNIVERSITAS SUMATERA
Dimensi Kualitas Hidup................................................98
4.3.3 Kontrol Metabolik dan Lipid Pasien............................99
Diabetes
4.4 Analisis Faktor Konfirmatori….............................................100
4.4.1 Analisis Faktor Konfirmatori Self
care............................................................................100
4.4.2 Analisis Faktor Konfirmatori
Kualitas Hidup…........................................................102
4.4.3 Analisis Faktor Konfirmatori
Metabolik…................................................................103
4.4.4 Analisis Faktor Konfirmatori Lipid............................104
4.5 Analisis Structural Equation Model 105
(SEM) Lengkap…………………………... ........................

BAB 5. PEMBAHASAN.............................................................. 118


5.1 Karakteristik Responden...................................................... 118
5.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi
Membentuk Perilaku Self Care................... ........................ 120
5.3 Perilaku Self Care Pasien Diabetes Melitu
Tipe 2 di Kota Binjai............................................................ 138
5.4 Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Kota Binjai............................................................ 141
5.5 Pengaruh Perilaku Self Care dengan
Kontrol Metabolik Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Kota Binjai................................... ........................ 144
5.6 Pengaruh Perilaku Self Care dengan Profil
Lemak Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Kota Binjai........................................................................... 146
5.7 Pengaruh Perilaku Self Care dengan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Kota Binjai Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Kota Binjai...................... ........................ 148
5.8 Model Perspektif Perilaku Self Care Pasien
Diabetes Tipe 2 di Kota Binjai…......................................... 149
5.9 Implikasi Hasil Penelitian………………… ...................... 150
5.10 Keterbatasan Penelitian……………………...................... 153

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan......................................................................... 158
6.2 Saran............................................................ ....................... 159

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................158
LAMPIRAN......................................................................................................174

DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman

UNIVERSITAS SUMATERA
2.1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM........................................................ 26
2.2 Domain Penilaian Kualitas Hidup Instrumen WHOQoL-BREF.. 31
2.3 Penelitian Perilaku Self Care Serta Faktor yang
Memengaruhinya dan Hubungan Perilaku Self Care dengan
Kontrol Metabolik Pada Pasien DM Tipe 2................................. 51
3.1 Distribusi Jumlah Pasien Diabetes Berdasarkan Puskesmas…… 76
3.2 Definisi Operasional Variabel Laten Eksogen/ Variabel
Independen………………………………………………………. 78
3.3 Definisi Operasional Variabel Laten Endogen/ Variabel
Dedependen…………………………………………………........ 78
3.4 Definisi Operasional Variabel Indikator Self Care…………….... 79
3.5 Definisi Operasional Variabel Sosiodemografi Penelitian............ 80
3.6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Perilaku Self Care 83
3.7 Model Persamaan……………………………………………….... 88
3.8 Goodness of Fit Indices 91
4.1 Distribusi Karakteristik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Kota 95
Binjai............................................................................
4.2 Karakteristik Perilaku Self Care Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 97
di Kota Binjai.................................................................................
4.3 Distribusi Dimensi Perilaku Self Care Pasien Diabetes Melitus 97
Tipe 2 di Kota Binjai......................................................................
4.4 Karakteristik Kualitas Hidup Pasien Diabetes.............................. 98
4.5 Distribusi Kategori Kualitas Hidup Pasien Diabetes.................... 98
4.6 Distribusi Dimensi Kualitas Hidup Pasien Diabetes.................... 99
4.7 Distribusi Nilai Parameter Kontrol Metabolik dan Lipid Pasien 100
Diabetes…………………………………………………………
4.8 Indeks Pengujian Kelayakan Model SEM Sebelum Modifikasi.. 106
4.9 Indeks Pengujian Kelayakan Structural Equation Model (SEM) 108
4.10 Hasil Uji Regression Weight……………………………………. 109

DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
3.1 Skema Analisis Model Penelitian……………………… 88
4.1 Uji Konfirmatori Self care…………………………………… 101
4.2 Uji Konfirmatori Kualitas Hidup………………………… 102
4.3 Uji Konfirmatori Metabolik……………………………… 103
4.4 Uji Konfirmatori Lipid………………………………… 104
4.5 Uji Model Struktural Sebelum Modifikasi……………… 105
4.6 Uji Model Struktural Sesudah Modifikasi……………… 107

xi

UNIVERSITAS SUMATERA
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman


1. Hasil Output Analisis Data……………………………… 174
2. Kuesioner Penelitian........................................................... 186
3. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian................... 190
4 Surat Pernyataan Bersedia Ikut Penelitian.......................... 192
5. Ethical Clearance............................................................... 193
6. Surat Permohonan Izin Penelitian...................................... 194

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya (PERKENI, 2015). Proporsi kejadian DM tipe 2

mencapai 90-95% dari seluruh populasi di dunia (American Diabetes Association,

2015). Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015,

tingkat prevalensi global penderita DM pada tahun 2014 sebesar 8,3% dari

keseluruhan penduduk di dunia dan mengalami peningkatan pada tahun 2014

menjadi 387 juta kasus, diperkirakan sebanyak 415 juta penduduk dunia sekarang

menderita diabetes dan diprediksi tahun 2040 jumlah insiden diabetes akan

mengalami peningkatan sebesar 642 juta pada rentang usia 20-79 tahun. Diabetes

juga diprediksi akan menjadi penyebab utama kematian ke-7 pada tahun 2030 dan

mayoritas kematian terjadi di negara menengah (WHO, 2015). WHO

memperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia akan terus meningkat, dari

semula 8,4 juta penderita di tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta di tahun 2030.

Indonesia merupakan yang negara menempati urutan ke 7 dengan

penderita diabetes sejumlah 8,5 juta penderita setelah Cina, India dan Amerika

Serikat, Brazil, Rusia, Mexico (IDF, 2015). Angka kejadian DM menurut data

Riskesdas (2013) terjadi peningkatan dari 1,1% di tahun 2007 meningkat menjadi

2,1% di tahun 2013 dari keseluruhan penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Data

terbaru di tahun 2015 yang ditunjukkan oleh Perkumpulan Endokrinologi

1
UNIVERSITAS SUMATERA
2

(PERKENI) menyatakan bahwa jumlah penderita diabetes di Indonesia telah

mencapai 9,1 juta orang. Sekarang ini Indonesia disebut-sebut telah bergeser naik,

dari peringkat ke-7 menjadi peringkat ke-5 teratas negara-negara dengan jumlah

penderita diabetes terbanyak dunia. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, karena

Indonesia masih berada di urutan ke-10 pada tahun 2011 lalu.

Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2013 adalah 2.1%. Angka

tersebut lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). Prevalensi diabetes di

Indonesia yang telah didiagnosis dokter adalah 1,4%, jumlah ini diperkirakan

akan terus meningkat (Depkes RI, 2013). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan

Dasar tahun 2013, sebanyak 31 provinsi (93,9%) menunjukkan kenaikan

prevalensi diabetes yang cukup berarti. Prevalensi tertinggi diabetes pada umur ≥

15 tahun menurut diagnosis dokter / gejala hasil Riskesdas tahun 2013 adalah di

Provinsi Sulawesi Tengah (3,7%), kemudian disusul Sulawesi Utara (3,6%) dan

Sulawesi Selatan (3,4%). Sedangkan yang terendah adalah di Provinsi Lampung

(0,8%), kemudian Bengkulu dan Kalimantan Barat (1,0%). Provinsi dengan

kenaikan prevalensi terbesar adalah Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu 0,8% pada

tahun 2007 menjadi 3,4% pada 2013. Provinsi dengan penurunan prevalensi

terbanyak adalah Provinsi Papua Barat, yakni 1,4% pada tahun 2007 menjadi

1,2% pada tahun 2013 (Depkes RI, 2013). Prevalensi penderita diabetes di

Sumatera Utara pada tahun 2013 adalah 1,8% lebih tinggi dari angka nasional dan

hasil Riskesdas sebelumnya yaitu 0,8% (Departemen Kesehatan RI, 2009) dan

2,3% prevalensi diabetes yang didiagnosis dokter berdasarkan wawancara gejala

juga lebih tinggi dari angka nasional (2,1%) (Departemen Kesehatan RI, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA
3

Penyakit diabetes ini dikenal juga dengan sebutan “life long disease”

dikarenakan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan selama rentang hidup

penderitanya. Diabetes merupakan penyakit kronik yang membutuhkan

pengobatan secara medis sepanjang hidup dan perubahan dari gaya hidup oleh si

penderita untuk mencegah terjadinya kesakitan akibat komplikasi dan terjadinya

kematian (Ayele et al., 2012). Bila terjadi komplikasi akan menambah

pembiayaan dan akan berdampak terhadap kualitas hidupnya.

Tujuan penatalaksanaan diabetes secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan

jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes, memperbaiki kualitas hidup, dan

mengurangi risiko komplikasi akut, sedangkan tujuan jangka panjang: mencegah

dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas akibat

diabetes, untuk tercapainya tujuan tersebut, maka dilakukan pengendalian

hiperglikemi, tekanan darah, berat badan, dan lipid, melalui pengelolaan pasien

secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku,

yaitu dengan perencanaan makan (diet), latihan (olahraga), pemantauan glukosa

darah, terapi (bila diperlukan) dan lain-lain yang dapat diperoleh di rumah sakit

atau klinik khusus diabetes (PERKENI, 2015).

Penatalaksanaan diabetes dibutuhkan perubahan perilaku dan gaya hidup,

termasuk aktivitas fisik, perubahan pola makan, pemantauan kadar glukosa darah,

dan kepatuhan terhadap pengobatan. Kualitas hidup pasien diabetes dapat

ditingkatkan dengan pelaksanaan pendidikan manajemen diri (self care) dalam

UNIVERSITAS SUMATERA
4

membantu pasien mengelola kondisi tersebut. Menurut American Association of

Diabetes (ADA), sangat penting bagi orang-orang dengan diabetes menerapkan

perilaku perawatan diri (self care behaviour) sehingga dapat meningkatkan

kualitas hidup mereka sekaligus mengurangi komplikasi terkait kondisi

penyakitnya (Bonner et al., 2016).

Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk

mengontrol diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan

komplikasi (Sigurdardottir, 2005). Self care dapat diartikan kemampuan individu,

keluarga, dan komunitas untuk promosi kesehatan, mencegah penyakit, menjaga

kesehatan, menangani penyakit dan disabilitas dengan atau tanpa bantuan

penyedia layanan kesehatan (Webber, 2013). Perilaku self care pada diabetes

merupakan proses evolusioner perkembangan pengetahuan atau kewaspadaan

dengan mempelajari bertahan hidup dengan kompleksitas alami diabetes dalam

konteks sosial. Perilaku self care membuat pasien harus merubah pola hidupnya

selama ini menjadi pola hidup yang lebih sehat dengan adanya bantuan dan

monitoring yang ketat dari petugas kesehatan sehingga dapat terlaksana dengan

sukses (Steinsbekk et al., 2015). Self care yang berkelanjutan pada dasarnya dapat

membentuk cara hidup seseorang dalam mencegah, mengenali, dan mengelola

penyakit yang dideritanya, sehingga diharapkan perilaku self care yang baik dan

yang berkelanjutan akan meningkatkan derajat kesejahteraan seseorang karena

melaksanakan perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri

(Kusniah, 2010), perilaku self care yang baik mempunyai peranan penting dalam

manajemen diabetes, terutama dalam mencegah terjadinya komplikasi diabetes.

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Komplikasi menjadikan penyakit diabetes semakin parah dan memerlukan waktu

yang lama untuk sembuh dan meningkatnya pembiayaan kesehatan. American

Diabetes Association mengemukakan bahwa penderita diabetes yang kurang

mendapatkan edukasi mengenai perawatan diri mempunyai risiko empat kali lebih

besar mengalami komplikasi dibandingkan dengan yang mendapatkan edukasi

baik (Holt et al., 2013).

Menurut Orem (2001), Self care merupakan usaha individu, tindakan

tingkah laku yang dipelajari dan merupakan tindakan yang disengaja untuk

mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraannya

(Kusniyah et al., 2010). Self care pada pasien diabetes pada saat sekarang ini

merupakan hal yang krusial (penting sekali). Berdasarkan data yang ada diketahui

bahwa 98% dari diabetes care merupakan self care (Mohebi et al., 2013).

Perilaku yang mencerminkan self care meliputi: pengontrolan gula darah,

perencanaan diet, aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan atau insulin (Jalilian et

al., 2014, Tol et al., 2012, Ayele et al., 2012, Mohebi et al., 2013). Menurut

American Assosiation of Diabetes Educator (AADE, 2014), terdapat 7 perilaku

yang esensial self care yaitu: healthy eating (diet sehat), being active (aktifitas

fisik yang cukup), monitoring (kontrol kadar gula darah), taking medicine

(konsumsi obat anti diabetes atau insulin), problem solving (pemecahan masalah),

healthy coping (koping yang sehat) dan reducing risk (mengurangi risiko).

Pelaksanaan ketujuh perilaku ini mempunyai korelasi positif dengan terkontrolnya

kadar gula darah, mengurangi komplikasi dan peningkatan kualitas hidup pasien

diabetes.

UNIVERSITAS SUMATERA
6

Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa self care sangat

erat kaitannya dengan status kesehatan pasien diabetes. Penelitian yang dilakukan

di poliklinik Endokrin RSUP. Hasan Sadikin Bandung menunjukkan terdapat

pengaruh yang signifikan antara tingkat self care dengan kadar HbA1C pada

pasien yang datang ke poliklinik (Kusniyah et al., 2010). Penelitian yang

dilakukan oleh Aditama (2011) menyatakan ada hubungan antara self-care, self

efficacy, dan social support dengan kadar HbA1C di puskesmas Boyolali di

Provinsi Jawa Tengah (Aditama, 2011). Walaupun terdapat variasi yang

signifikan pada setiap negara, perilaku self care pasien diabetes kurang optimal

hampir pada semua negara, hanya 46% dari pasien DM Tipe 1 dan 39% dari

pasien DM Tipe 2 berhasil dan sukses dari setidaknya dua per tiga bidang self-

care (Ayele et al., 2012). Kondisi ini dibuktikan dengan masih tingginya angka

komplikasi penderita diabetes di seluruh dunia.

Hasil penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes

Study (UKPDS) di Amerika Serikat, sebuah penelitian independen tentang

diabetes yang melibatkan puluhan ribu peserta, menunjukkan prevalensi

komplikasi diabetes tipe 2 mencapai 50% saat pasien terdiagnosa diabetes

pertama kali (Ortiz, 2010). Komplikasi terbesar adalah retinopati (21%) dan

Electro Cardio Graph (EKG) yang tidak normal (18%). Sementara kondisi di

Indonesia seperti penelitian yang dilakukan oleh Gofur (2007) di unit diabetes

RSU Dr. Soetomo Surabaya, menemukan sebanyak 51% penderita diabetes

mengalami komplikasi Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 49% mengalami

komplikasi non PJK. Bila penderita diabetes ditemukan disertai komplikasi,

UNIVERSITAS SUMATERA
7

maka biaya pengobatan menjadi meningkat dan akan berdampak terhadap kualitas

hidup. Data kesehatan di Amerika Serikat diketahui diabetes termasuk penyakit

dengan biaya pengobatan terbesar kedua setelah kanker. Di Cina, biaya

pengobatan diabetes yang disertai komplikasi mikro-vaskular dan makro-vaskular

meningkat hingga 93,5% (Sarwono, 2010).

Hasil review dari beberapa penelitian diketahui faktor-faktor yang dapat

memengaruhi tingkat self care dapat dikategorikan: 1). Faktor yang berasal dari

pasien, yaitu: pengetahuan, sikap, kepercayaan, kepedulian terhadap

kesehatannya, adherensi yang rendah, dukungan sosial, ekonomi, demografi dan

budaya, 2). Faktor yang berasal dari dokter, yaitu: komunikasi efektif dokter-

pasien, hubungan dokter-pasien yang kurang menyenangkan, pengetahuan dokter

yang kurang tentang diabetes, 3) Faktor yang berhubungan dengan fasilitas

pelayanan kesehatan, yaitu: akses ke pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan

yang mahal, distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata (Shrivastava et al.,

2013). Ketiga faktor di atas mempunyai peran dan bersama-sama akan

memengaruhi perilaku self care pasien diabetes, seperti halnya komunikasi dokter

pasien menjadi hal yang sangat penting dalam edukasi, demikian halnya motivasi

dan dukungan keluarga. Menurut ADA (2012), untuk mencapai kadar glukosa

yang terkontrol, seorang pasien diabetes harus mempunyai akses ke pemberi

pelayanan diabetes yang berpengalaman (dokter). Selain komunikasi yang efektif

dan empati yang terjadi antara dokter dan pasien, dokter harus mampu

meningkatkan pemahaman pasien mengenai penyakitnya (patient education)

dengan cara penyuluhan ataupun dengan alat-alat yang dapat dimengerti oleh

UNIVERSITAS SUMATERA
8

pasien, dengan demikian pasien dapat merawat dirinya sendiri (self care) dan

mampu melakukan manajemen sendiri (self management) terhadap penyakitnya

(Mercer dkk, 2012).

Tingkat pemahaman pasien (patient education) tentang penyakitnya, unsur

penting dalam perilaku self care. Menurut Blum (1974) faktor perilaku memegang

peranan penting dalam memengaruhi derajat kesehatan manusia. Perilaku

merupakan hasil dari seluruh kegiatan manusia baik diamati dan tidak diamati

(Green et.al, 1980). Secara teoritis, ranah perilaku manusia terdiri dari tiga aspek

yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor.

Menurut Green et.al. (1980), ada tiga aspek yang memengaruhi perilaku

kesehatan seseorang yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor

pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors). Faktor

predisposisi mencakup: pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan (belief) masyarakat terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat,

tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. Faktor pemungkin meliputi

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

Misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja,

ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat,

rumah sakit, poliklinik, dokter, bidan. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan

perilaku key-person, sikap dan perilaku petugas kesehatan dan adanya undang-

undang dan peraturan dari pemerintah yang terkait dengan masalah kesehatan.

UNIVERSITAS SUMATERA
9

Pengetahuan serta kemandirian penderita diabetes menjadi hal yang

penting dalam usaha pencegahan komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup

penderita. Pengelolaan dan perawatan secara tepat diperlukan agar kualitas hidup

penderita diabetes terpelihara baik, sehingga ia dapat mempertahankan rasa

nyaman dan sehat. Kualitas hidup yang rendah dapat memperburuk komplikasi

dan dapat berakhir kecacatan atau kematian (Mandagi, 2010). Penyakit diabetes

mempunyai komplikasi yang dapat mengenai hampir seluruh organ tubuh (the

great imitator), apabila terjadi komplikasi kepada pasien tentu saja hal ini sangat

berpengaruh terhadap kualitas hidupnya.

Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakteristik fisik, mental,

sosial, emosional, yang mencakup afek dan komplikasi terapi penyakit secara

luas, yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam

lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya (CDC, 2000).

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat

kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapat pengelolaan

yang sesuai dengan pengelolaan penyakit tertentu. Kualitas hidup merupakan

dampak kesehatan yang sangat penting, mewakili dan menjadi tujuan utama dari

setiap pengobatan atau intervensi keperawatan dan sudah menjadi kebutuhan bagi

seseorang, bukan hanya kuantitas seseorang bertahan hidup (Hariyono, 2011).

Studi yang dilakukan oleh Mandagi (2010), menghasilkan faktor-faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup pasien diabetes. Adapun faktor-faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup pasien diabetes adalah pengetahuan,

kepatuhan makan obat, dukungan keluarga dan diet. Kemudian Mandagi (2010)

UNIVERSITAS SUMATERA
1

juga menemukan bahwa umur penderita, jenis olah raga yang dilakukan serta jam

tidur juga berpengaruh terhadap kualitas hidup. Hariyono (2011) menemukan

bahwa kemampuan merawat diri sendiri (self care) berhubungan dengan kualitas

hidup penderita diabetes.

Menurut Rubin dan Peyrot (1999), kualitas hidup penderita DM tipe 2

dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, sosial demografi, komplikasi, lamanya

sakit, kontrol KGD, faktor psikosial (dukungan sosial), regimen terapi. Untuk

menilai kualitas hidup penderita DM tipe 2, digunakan instrumen yang telah

dikembangkan. Salah satu instrumen tersebut adalah kuesioner WHOQOL-BREF.

Kuesioner WHOQOL-BREF terdiri dari 26 butir pertanyaan yang menilai 4

domain kualitas hidup. Pertanyaan tersebut terdiri dari satu butir pertanyaan yang

menilai kualitas hidup secara keseluruhan, satu butir pertanyaan tentang kesehatan

secara umum, dan satu butir pertanyaan dari setiap 24 aspek dalam domain

penilaian kualitas hidup tersebut. Instrumen ini juga telah diuji cobakan di

berbagai negara, termasuk Indonesia (Salim dkk, 2007). Selain itu, penilaian

kualitas hidup dapat juga dengan menggunakan pemeriksaan hasil laboratorium

pasien dengan melihat parameter seperti HbA1C dan profil lemak sebagai

indikator bahwa telah terkontrolnya diabetes dengan baik, untuk memperbaiki

kualitas hidup penderita diabetes, perlu ditetapkan indikator untuk pembentuk

perilaku self care. Instrumen yang ada untuk penilaian perilaku self care hanya

mengukur tanpa menggambarkan indikator pembentuk perilaku self care,

sehingga dibutuhkan sebuah instrumen yang tidak hanya dapat menilai perilaku

self care tetapi juga mengetahui indikator-indikator pembentuknya sehingga

UNIVERSITAS SUMATERA
1

dengan mengetahui indikator perilaku self care akan memudahkan proses

intervensi untuk memperbaiki perilaku self care pasien diabetes. Penelitian ini

pada akhirnya akan menghasilkan sebuah model perspektif tentang peningkatan

perilaku self care pasien Diabetes Tipe 2 di Kota Binjai beserta instrumen

penilaian perilaku self care dengan menggunakan indikator-indikator pembentuk

perilaku self care tersebut. Model ini pada akhirnya akan dapat menjadi sebuah

acuan dalam upaya peningkatan perilaku self care pasien diabetes terutama di

tingkat pelayanan primer, selain itu model ini memberikan masukan kepada pihak

pelayanan kesehatan terutama pelayanan primer untuk dapat mengetahui dan

memenuhi indikator-indikator perilaku self care sehingga semua pasien diabetes

mempunyai perilaku self care yang baik.

Kota Binjai merupakan salah satu kota madya yang ada di provinsi

Sumatera Utara. Merupakan kota kecil dengan penduduk yang padat. Kota Binjai

saat ini telah menjadi kota dengan pertumbuhan ekonomi penduduknya meningkat

dengan cepat. Kondisi ini berdampak terhadap perubahan gaya hidup

masyarakatnya, hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatkan jumlah penderita

Diabetes Melitus Tipe 2 setiap tahunnya (Data Dinas Kesehatan Kota Binjai,

2016). Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak yang ada di 8 puskesmas induk

dalam beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan peringkat serta jumlah

penderita DM Tipe 2 di kota Binjai. Data tahun 2015 menyebutkan bahwa DM

Tipe 2 menduduki peringkat 10 penyakit terbanyak dengan jumlah kasus 712

orang, sedangkan data tahun 2016 menyebutkan bahwa diabetes mengalami

kenaikan peringkat menjadi No. 7 dengan jumlah penyakit terbanyak dengan

UNIVERSITAS SUMATERA
1

jumlah kasus 1.419 kasus (Badan pusat statistik kota Binjai). Selain itu salah satu

komplikasi diabetes yaitu penyakit hipertensi juga meningkat jumlah penderitanya

setiap tahun, diperkirakan pada tahun 2016 terdapat 3.128 orang yang menderita

hipertensi yang datang ke 8 puskesmas di Kota Binjai, dan diperkirakan akan

meningkat jumlah penderitanya setiap tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Lindarto dkk (2016) yang dilakukan disalah satu pusat

perbelanjaan moderen (mall) yang terbesar di kota Binjai, hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari 1.554 pengunjung yang ikut dalam penelitian ini

dijumpai 1.238 orang (79,7%) mengalami obesitas. Obesitas merupakan suatu

kondisi terjadinya kenaikan berat badan melebihi normal (gizi lebih), obesitas

merupakan faktor risiko untuk mengalami gangguan metabolik seperti Diabetes

melitus Tipe 2. Hal ini secara umum dapat menggambarkan kondisi kesehatan

masyarakat Binjai yang terkait dengan pola konsumsi, kebiasaan makan yang

mengakibatkan meningkatnya prevalensi obesitas.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan kajian literatur dan studi empirik, maka rumusan masalah

penelitian adalah :

1. Bagaimanakah desain model perilaku self care pasien diabetes di Kota

Binjai?

2. Apakah desain model perilaku self care tersebut berpengaruh terhadap

kualitas hidup (quality of life), parameter kontrol metabolik dan kontrol

lipid pasien Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai?

UNIVERSITAS SUMATERA
1

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah merancang model perilaku self care pasien

diabetes di Kota Binjai dan menganalisis pengaruhnya terhadap kualitas hidup,

parameter kontrol metabolik (KGD dan kadar Hba1C) dan kontrol lipid (Total

Kolesterol, HDL Kolesterol, LDL Kolesterol, Trigliserida ) pasien Diabetes

Melitus tipe 2 di kota Binjai. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan:

a. Mengetahui model perilaku self care pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di

kota Binjai

b. Mengetahui indikator-indikator pembentuk perilaku self care pada pasien

Diabetes Melitus Tipe 2 di kota Binjai.

c. Menganalisis pengaruh model perilaku self care terhadap kualitas hidup

pasien Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai

d. Menganalisis pengaruh model perilaku self care terhadap kontrol

metabolik pasien Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai.

e. Menganalisis pengaruh desain model perilaku self care terhadap kontrol

lipid pasien Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai.

1.4 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini dikembangkan berdasarkan tujuan penelitian

adalah: ada pengaruh model perilaku self care pasien diabetes terhadap kualitas

hidup, dan parameter kontrol metabolik (KGD dan kadar Hba1C) dan kontrol

lipid (Total Kolesterol, HDL Kolesterol, LDL Kolesterol, Trigliserida ) pasien

Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai.

UNIVERSITAS SUMATERA
1

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bidang Pengembangan Ilmu

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang

berarti bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, yaitu promosi

kesehatan dan perubahan perilaku. Perilaku self care merupakan

perilaku yang mandiri dari pasien penyakit kronik seperti diabetes,

tidak mudah mengubah perilaku orang dewasa, dengan mengetahui

determinan perilaku self care akan dapat membantu dalam proses

terbentuknya perilaku baru yaitu perilaku yang mandiri terhadap

penyakitnya.

2. Bagi Praktisi

a. Hasil penelitian ini menjadi masukan kepada dokter dan petugas

kesehatan lainnya untuk dapat berkontribusi dalam proses perubahan

perilaku pada pasien diabetes, sehingga proses kemandirian pasien

dapat diwujudkan secara cepat dan tepat.

b. Hasil penelitian ini juga menggambarkan pentingnya peran serta

keluarga dan masyarakat bagi pasien diabetes, maka dari itu

diharapkan dokter dan petugas kesehatan selalu melibatkan peran serta

keluarga dan masyarakat sehingga perilaku mandiri pasien dapat

terwujud.

3. Bidang Kebijakan Kesehatan

a. Hasil penelitian ini menjadi masukan kepada pembuat kebijakan

(kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten) untuk membuat Standar

UNIVERSITAS SUMATERA
1

Operational Procedure (SOP) terhadap pasien diabetes terutama di

tingkat pelayanan primer, sehingga pasien diabetes mempunyai

kemadirian dan kualitas hidup yang baik.

UNIVERSITAS SUMATERA
1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Militus (DM)

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health

Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan

sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat

tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik

dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut

atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006).

2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi

Diabetes Melitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesis terjadinya

kondisi hiperglikemia. Klasifikasi ini bermanfaat dalam pemberian terapi pasien

DM (Powers, 2005). Secara umum, Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua

tipe. DM tipe 1 adalah Diabetes Melitus yang terjadi akibat disfungsi sel Beta

Pankreas yang hanya dapat diobati dengan pemberian insulin (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus). Sedangkan DM tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes

Mellitus) merupakan diabetes yang timbul akibat ketidakmampuan tubuh untuk

berespon secara normal terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas,

16

UNIVERSITAS SUMATERA
1

kondisi ini dikenal dengan resistensi insulin. Selain itu juga dikenal istilah

Diabetes Gestasional yaitu kondisi hiperglikemia yang terjadi selama masa

kehamilan. Diabetes Gestasional lebih sering didiagnosis melalui skrining

sebelum masa kelahiran dibanding berdasarkan keluhan-keluhan yang dilaporkan

pasien (WHO, 2011). Klasifikasi etiologis diabetes berdasarkan American

Diabetes Association (2005) adalah sebagai berikut:

1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (defisiensi insulin absolut)

Defisiensi insulin absolut pada DM Tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel

beta pankreas yang dipicu oleh suatu reaksi autoimun. Reaksi autoimun ini

mungkin dipicu oleh faktor eskternal pada individu yang rentan secara

genetik. Kerusakan ini berlangsung selama beberapa bulan sampai

beberapa tahun hingga terjadi penurunan massa sel beta pankreas.

Penurunan jumlah sel beta pankreas ini menyebabkan penurunan produksi

insulin. Penurunan jumlah produksi insulin ini pada akhirnya

mengakibatkan konsentrasi insulin dalam darah tidak dapat mengontrol

kadar glukosa plasma. DM tipe1 biasanya berkembang pada masa kanak-

kanak atau dewasa muda. DM tipe1 adalah intoleransi glukosa yang paling

sering didiagnosa pada individu berumur kurang dari 30 tahun. Namun,

tidak tertutup kemungkinan perkembangan penyakit ini terjadi di usia

dewasa, sedangkan Diabetes Mellitus Tipe 2 (resistensi insulin dengan

defisit sekresi insulin

2. DM Tipe 2, sekresi insulin dikatakan tidak adekuat karena pasien

mengalami resistensi insulin. Resistensi insulin di hati menyebabkan

UNIVERSITAS SUMATERA
1

ketidakmampuan hati menekan produksi glukosanya. Resistensi insulin di

perifer menyebabkan terganggunya uptake glukosa perifer. Kombinasi

keduanya menyebabkan peningkatan glukosa darah baik saat puasa

maupun setelah makan. Pada tahap awal perjalan penyakitnya, konsentrasi

insulin dalam darah biasanya sangat tinggi. Pada tahap lebih lanjut,

produksi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan menyebabkan

semakin buruknya keadaan hiperglikemia pada pasien DM tipe 2. Pada

umumnya, perkembangan penyakit ini terjadi di usia dewasa dan semakin

meningkat seiring bertambahnya umur.

3. Diabetes Mellitus tipe lainnya. Termasuk kedalam kelompok ini adalah

defek genetik pada sel beta pankreas, defek genetik pada kerja insulin,

penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati dan kerusakan sel beta

pankreas yang diinduksi obat-obatan atau zat kimia. Salah satu DM tipe

lain yang paling sering dibicarakan adalah maturity-onset diabetes of

youth (MODY. MODY memiliki 6 mutasi autosomal dominan yang

spesifik. Termasuk diantaranya gen untuk hepatocyte nuclear factor-1𝛼

(HNF-1𝛼; MODY 3, Glukokinase (MODY 2), HNF-4𝛼 (MODY 1),

Insulin Promoter Factor (IPF-1; MODY 4), HNF-1𝛽 (MODY 5), dan

NeuroD1 (MODY 6). Individu dengan defek genetik ini memiliki riwayat

keluarga penderita DM yang kuat dengan berat badan yang normal dan

terdiagnosa sebelum berusia 25 tahun. Dulunya MODY diklasifikasikan

sebagai salah satu bentuk DM tipe 2. Namun tidak terjadinya peningkatan

berat badan pada penderita MODY dan defek genetik yang berbeda antara

UNIVERSITAS SUMATERA
1

MODY dengan DM tipe 2 menyebabkan klasifikasi tersebut tidak dipakai

lagi.

4. Diabetes Gestasional. Diabetes gestasional didefinisikan sebagai

intoleransi glukosa dengan onset atau terdeteksi saat kehamilan.

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko DM tipe 2 antara lain adalah (Powers, 2005):

a. Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua)

b. Saudara kandung dengan DM tipe 2)

c. Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2)

d. Aktivitas fisik

e. Etnis

f. Gangguan Toleransi Glukosa

g. Riwayat Diabetes Gestasional atau melahirkan bayi dengan berat

h. Lahir > 4kg

i. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)

j. Kadar kolesterol HDL ≤35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar

k. Trigliserida ≥250 mg/dL (2,82 mmol/L)

l. Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigracans

m. Riwayat kelainan darah

2.1.4 Patogenesis

DM tipe 1 berkembang sebagai hasil dari efek sinergis antara genetik,

lingkungan dan faktor-faktor imunologik yang secara bersama-sama merusak sel

beta pankreas. Individu yang diduga secara genetik memiliki massa sel beta

UNIVERSITAS SUMATERA
2

normal saat lahir mulai kehilangan sel beta akibat destruksi autoimun yang terjadi

dalam beberapa bulan sampai tahun. Proses autoimun ini dipicu oleh suatu infeksi

atau stimulus lingkungan dan dipertahankan oleh molekul spesifik sel beta. Pada

sebagian besar individu, penanda imunologik muncul setelah kejadian yang

memicu tetapi sebelum gejala klinis diabetes muncul. Massa sel beta mulai

berkurang, dan sekresi insulin secara progresif mengalami gangguan, walaupun

kadar glukosa darah normal masih dapat dipertahankan. Penurunan jumlah sel

beta bervariasi antar individu, pada sebagian pasien penurunan jumlah sel beta

berlangsung dengan cepat sementara pada sebagian yang lain berlangsung lebih

lambat. Gejala klinis diabetes tidak muncul sampai setidaknya 80% jumlah sel

beta dihancurkan. Pada titik ini, residu sel beta fungsional masih berfungsi namun

secara jumlah tidak cukup untuk mempertahankan kadar gula darah tetap normal.

Kondisi yang memicu transisi antara gangguan toleransi glukosa dengan diabetes

sering dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan insulin, seperti yang mungkin

terjadi selama infeksi atau pubertas. Resistensi insulin dan sekresi insulin yang

abnormal memegang peran sentral dalam perjalanan DM tipe 2. Walaupun

sejumlah kontroversi timbul terkait yang mana dari dua hal tersebut yang

merupakan defek primer munculnya DM tipe 2, kebanyakan hasil studi

mendukung pendapat bahwa resistensi insulin mendahului gangguan sekresi

insulin dan bahwa diabetes muncul hanya jika sekresi insulin menjadi tidak

adekuat (Powers, 2005).

UNIVERSITAS SUMATERA
2

2.1.5 Patofisiologi

a. Biosintesis, Sekresi, dan Kerja Insulin

Insulin adalah suatu hormon yang disintesis di sel beta pankreas dan

berfungsi dalam proses masuknya glukosa dari darah ke dalam sel. Proinsulin

disintesis oleh ribosom pada retikulum endoplasma yang kasar, dan pengeluaran

enzimatik peptida pemandu (Verma et al.) memotong pembentukan ikatan

disulfida serta pelipatan terjadi di dalam sisterna organel ini. Molekul proinsulin

diangkut ke dalam aparatus golgi, di sini proteolisis serta pengemasan ke dalam

granul dimulai. Granul terus mematangkan diri ketika melintasi sitoplasma

menuju membran plasma. Proinsulin dan insulin keduanya bergabung dengan

seng untuk membentuk heksamer, tetapi karena sekitar 95% dari proinsulin

tersebut diubah menjadi insulin, kristal hormon terakhir inilah yang memberikan

keistimewaan morfologik kepada granul tersebut. Peptida C dengan jumlah

ekuimolar terdapat di dalam granul ini, kendati molekul ini tidak membentuk

struktur kristal. Dengan perangsangan yang tepat, granul yang matur akan

menyatu dengan membran plasma dan melepaskan isinya ke dalam cairan

ekstrasel lewat proses eksositosis.

Pankreas manusia menyekresikan 40-50 unit insulin per hari yang

mewakili sekitar 15-20% hormon yang disimpan di dalam kelenjar. Sekresi

insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem

mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel beta pada pulau Langerhans. Faktor yang

mempengaruhi sekresi insulin antara lain peningkatan kadar glukosa darah,

hormon, dan preparat farmakologik. Dalam keadaan fisiologis, insulin

UNIVERSITAS SUMATERA
2

disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase,

sehingga sekresinya berbentuk bifasik. Seperti dikemukakan, sekresi insulin

normal yang bifasik ini akan muncul setelah adanya rangsangan seperti glukosa

dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan berfungsi menjaga regulasi

glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun

setelah mendapat beban. Kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara

sinkron tersebut menjaga kadar glukosa darah normal, sekaligus mencerminkan

metabolisme glukosa yang fisiologis. Sekresi fase I (acute insulin secretion

response = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan

terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir cepat. Sekresi fase I biasanya

mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk

mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam segera setelah

makan. Kinerja AIR yang baik amat penting dalam metabolisme glukosa karena

akan sangat menentukan bagi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah

pascaprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang cepat serta adekuat perlu

untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara

normal. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya

hiperglikemia akut pascaprandial atau lonjakan gula darah pascaprandial.

Selanjutnya setelah sekresi fase I berakhir, muncul sekresi fase II (sustained

phase, latent phase) dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan

dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase I, tugas

pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase II. Sekresi

insulin fase II yang berlangsung relatif lebih lama, puncaknya (secara kuantitatif)

UNIVERSITAS SUMATERA
2

akan ditentukan oleh berapa besar kadar glukosa darah di akhir fase I. Jadi terjadi

semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase II terhadap kinerja fase I

sebelumnya.

Apabila sekresi fase I tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam

bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase II. Peningkatan produksi insulin

tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar

glukosa darah (pascaprandial) tetap dalam batas normal. Insulin berperan penting

pada berbagai proses biologis dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme

karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam utilisasi glukosa pada hampir seluruh

jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak dan hepar. Pada jaringan perifer seperti

jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor yang terdapat

pada membran sel. Ikatan antara insulin dan reseptor regulasi atau metabolisme

glukosa di dalam sel otot dan lemak, dengan mekanisme kerja yang belum begitu

jelas. Beberapa hal telah diketahui, diantaranya meningkatkan kuantitas GLUT-4

(glucose transporter – 4) padamembran sel, karena proses translokasi GLUT-4

dari dalam sel diaktivasi oleh adanya transduksi sinyal. Regulasi glukosa tidak

hanya ditentukan oleh metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di

jaringan hepar. Untuk mendapatkan metabolisme glukosa normal diperlukan

mekanisme sekresi insulin disertai aksi insulin yang berlangsung normal. Seperti

dikemukakan, jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa

tubuh.

Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan

produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan

UNIVERSITAS SUMATERA
2

glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan melalui efek

inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara

berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan

inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin

tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2006). Insulin juga merupakan

inhibitor kuat proses lipolisis di hati serta jaringan adiposa dan dengan demikian

memiliki efek anabolik tak langsung. Hal ini sebagian disebabkan oleh

kemampuan insulin untuk menurunkan kadar cAMP (yang dalam jaringan ini

ditingkatkan oleh hormon lipolitik glukagon dan epinefrin) tetapi juga oleh

kenyataan bahwa insulin juga menghambat aktivitas enzim lipase yang peka

terhadap kerja hormon. Inhibisi ini agaknya disebabkan oleh aktivasi fosfatase

yang melakukan reaksi defosforilasi sehingga menginaktivasi enzim lipase atau

enzim protein kinase yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin

menurunkan kadar asam lemak bebas yang beredar. Hal ini turut menghasilkan

kerja insulin terhadap metabolisme karbohidrat, mengingat asam lemak

menghambat glikolisis pada beberapa tahap dan menstimulasi glukoneogenesis.

Insulin umumnya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme protein, yaitu

merangsang sintesis protein dan memperlambat penguraian protein.

Insulin menstimulasi ambilan asam amino netral oleh otot, yaitu suatu efek

yang tidak berkaitan dengan ambilan glukosa atau dengan penyatuan selanjutnya

asam amino ke dalam protein. Efek insulin terhadap sintesis protein yang umum

di dalam otot kerangka serta jantung dan di hati diperkirakan terjadi pada tingkat

translasi mRNA (Granner, 2003).

UNIVERSITAS SUMATERA
2

b. Patofisiologi Diabetes Melitus

DM tipe 2 ditandai dengan adanya tiga kondisi abnormal: gangguan

sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan produksi glukosa yang berlebihan

oleh hepar. Obesitas terutama viseral dan sentral sangat umum ditemui pada DM

tipe 2. Adiposit menghasilkan sejumlah produk produk biologis (leptin, TNF-α,

asam lemak bebas, resistin dan adiponektin) yang memodulasi sekresi dan kerja

insulin serta berat badan, dan mungkin juga berperan dalam terjadinya resistensi

insulin (Powers, 2005).

Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara

klinis. Pada saat tersebut sel Beta Pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan

ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru

sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas,

baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya

peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis Diabetes

Melitus (Soegondo, 2006).

a) Resistensi Insulin. Ialah penurunan kemampuan insulin untuk bekerja

secara efektif pada jaringan target (khususnya otot dan hepar). Mekanisme

molekular terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dapat

dijelaskan secara utuh. Terdapat pengurangan jumlah reseptor insulin dan

aktivitas tirosin kinase pada otot rangka, namun perubahan ini lebih

kepada akibat sekunder dari kondisi hiperinsulinemia yang terjadi dan

bukan defek primernya. Patogenesis dari resistensi insulin saat ini lebih

fokus pada defek sinyal PI- 3-kinase, yang mengakibatkan penurunan

UNIVERSITAS SUMATERA
2

translokasi GLUT-4 ke membran plasma, dibandingkan abnormalitas-

abnormalitas lainnya. Namun, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin

resisten terhadap efek insulin. Contohnya jalur yang mengendalikan

pertumbuhan dan diferensiasi sel dan menggunakan jalur mitogen-

avtivated protein (MAP) kinase, yang berpotensial meningkatkan kondisi

terjadinya aterosklerosis pada diabetes.

b) Gangguan Sekresi Insulin. Sekresi dan sensitivitas insulin adalah saling

berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin terutama meningkat sebagai

respon terhadap resistensi insulin guna mempertahankan kadar glukosa

darah normal. Gangguan sekresi insulin yang terjadi sebenarnya ringan

dan hanya secara selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi

glukosa saja. Respon terhadap bahan-bahan nonglukosa seperti arginin

masih dipertahankan. Namun demikian, gangguan sekresi insulin ini akan

berjalan sampai pada tahap sekresi insulin inadekuat yang berat. Alasan

terjadinya penurunan kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masihbelum

jelas.

c) Peningkatan Produksi Glukosa Hepar. Pada DM tipe 2, resistensi

insulin pada hepar merefleksikan kegagalan hiperinsulinemia untuk

menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi hiperglikemia dan

penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa pascaprandial.

Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa awal

diabetes, meskipun sepertinya setelah onset gangguan sekresi insulin dan

resistensi insulin pada otot rangka (Powers, 2005).

UNIVERSITAS SUMATERA
2

2.1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi utama penyakit DM adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat

(1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; (Ayele et al.)

berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai jaringan, dan (3) peningkatan

produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Poliuri, polidipsi dan penurunan

berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai, merupakan gejala utama

defisiensi insulin. Kadar glukosa plasma jarang melampaui 120 mg/dL pada

manusia normal, kendati kadar yang jauh lebih tinggi selalu dijumpai pada pasien

defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai (pada

manusia umumnya >80 mg/dL), taraf maksimal reabsorpsi glukosa pada tubulus

renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glukosuria).

Volume urine meningkat akibat terjadinya diuresis osmotik dan kehilangan air

yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria): kejadian ini

selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas)1 bertambahnya rasa

haus dan gejala banyak minum (polidipsia). Glukosuria menyebabkan kehilangan

kalori yang cukup besar (4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang

diekskresikan keluar); kehilangan ini, jika ditambah lagi dengan hilangnya

jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat

kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang

normal atau meningkat (Granner, 2003).

2.1.7 Diagnosis

Uji diagnosis diabetes dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala

dan tanda diabetes, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA
2

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko diabetes.

Serangkaian uji diagnosis akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan

penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau

kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti Dengan Tes Toleransi Glukosa

Oral (TTGO).

Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM

Gangguan Diabetes
Tes Normal Glukosa
Toleransi
KGDP (mg/dl) < 100 100-125 ≥ 126
TTGO (mg/dl) < 140 140-199 ≥ 200
HbA1c (%) < 5,7 5,7-6,4 ≥ 6,5

Sumber: PERKENI, 2011

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah

lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus

vulva pada pasien wanita (Gustaviani, 2006). The National Diabetes Data Group

dan WHO menetapkan kriteria diagnostik untuk diabetes (Powers, 2005) sebagai

berikut:

1) Gejala diabetes disertai kadar glukosa darah ad random ≥ 11,1 mmol/L

(200 mg/dL), atau

2) Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (126 mg/dL), atau

3) Kadar glukosa darah dua jam pascaprandial ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL)

selama tes toleransi glukosa oral

UNIVERSITAS SUMATERA
2

2.1.8 Komplikasi

1) Komplikasi Akut

Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State

(HHS) adalah komplikasi akut diabetes. Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD),

kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator

terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.

Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton

dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati

dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam

asetoasetat (AcAc) dan 3-betahidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic

Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium

menyebabkan keadaan hyperosmolar (Soewondo, 2006).

2) Komplikasi Kronik

Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan

terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangipati maupun

makroangiopati. Komplikasi kronik DM antara lain retinopati, neuropati,

nefropati, dan penyakit jantung koroner (Waspadji, 2006).

2.2 Kualitas Hidup (QoL)

Kualitas hidup adalah sesuatu yang dapat dipandang dari berbagai aspek,

sebuah sebuah konsep yang dinamis, perhatian utama yang dibutuhkan untuk

pemuasan secara psikologi. Kualitas hidup merujuk pada evaluasi yang dapat

dilakukan terhadap kesejahteraan seseorang. Hal ini diasumsikan sebagai

kepuasan subjektif seseorang terhadap sebaik apa seseorang dalam menjalani

UNIVERSITAS SUMATERA
3

hidupnya. Pernyataan baik atau tidaknya kehidupan seseorang tidak dinilai dari

apakah dia berguna bagi orang lain, tetapi dinilai dari sebaik apa seseorang

menjalani kehidupannya sendiri (Bognar, 2005).

2.2.1 Definisi

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi seseorang tentang

keberadaan atau posisi dirinya dalam hidup dalam konteks kebudayaan dan sistem

kepercayaan yang dianutnya dan berhubungan dengan tujuan (goals), ekspektasi

(expecatations), standar (standards) dan concerns. Kualitas hidup merupakan

suatu konsep yang luas dan dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik

individu yang bersangkutan, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan

sosial, kepercayaan pribadi dan hubungan individu tersebut dengan

lingkungannya.

Kualitas hidup (quality of life) adalah konsep yang mencakup karakteristik

fisik, mental, sosial, emosional, yang mencakup afek dan komplikasi terapi

penyakit secara luas, yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan

dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya (CDC,

2000). Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan

tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapat

pengelolaan yang sesuai dengan pengelolaan penyakit tertentu. Kualitas hidup

merupakan dampak kesehatan yang sangat penting, mewakili dan menjadi tujuan

utama dari setiap pengobatan atau intervensi keperawatan dan sudah menjadi

kebutuhan bagi seseorang, bukan hanya kuantitas seseorang bertahan hidup

(Hariyono, 2011). Kualitas hidup merujuk pada evaluasi yang dapat dilakukan

UNIVERSITAS SUMATERA
3

terhadap kesejahteraan seseorang. Hal ini diasumsikan sebagai kepuasan subjektif

seseorang terhadap sebaik apa seseorang dalam menjalani hidupnya. Pernyataan

baik atau tidaknya kehidupan seseorang tidak dinilai dari apakah dia berguna bagi

orang lain, tetapi dinilai dari sebaik apa seseorang menjalani kehidupannya sendiri

(Bognar, 2005).

Kualitas hidup adalah sebuah konsep multidimensi yang luas yang

mencakup evaluasi subjektif dari aspek positif dan negatif dari kehidupan.

Meskipun kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam kualitas hidup,

terdapat juga beberapa aspek lain yang mempengaruhi kualitas hidup seperti

aspek budaya, sistem nilai, dan spiritualitas (CDC, 2011). Kualitas hidup telah

menjadi suatu alat ukur yang relevan dalam uji klinis, penggunaannya semakin

meluas dan berkembang sebagai suatu indikator yang valid dan menguntungkan

dalam sebuah penelitian medis. Kualitas hidup dapat dilihat dari suatu individu,

kelompok dan populasi besar dari pasien.

2.2.2 Kualitas Hidup Terkait Kesehatan-Health-Related Quality of Life


(HRQoL)

Menurut WHO (2014), sehat adalah keadaan fisik, mental yang lengkap,

dan bukan hanya ketiadaan penyakit. Sementara itu, HRQL didefinisikan sebagai

persepsi individual terhadap posisi seseorang di kehidupannya dalam konteks

kebudayaan dan sistem nilai yang berlaku pada kehidupannya dan hubungannya

dengan tujuan, harapan, standard, dan perhatian seseorang. HRQL merupakan

suatu konsep yang luas mengenai cara yang kompleks dalam kesehatan fisik,

keadaan psikologis, kepercayaan personal, hubungan sosial, dan hubungan dengan

lingkungan (WHO, 1997). Pada investigasi HRQoL, parameternya antara lain

UNIVERSITAS SUMATERA
3

subjektivitas, kondisi fisik, psikologis, dan sosial, juga bipolaritas (autonomi dan

ketergantungan) . Hal ini diikuti dengan pengukuran kesehatan dan efek dari

perawatan klinis yang mengikutsertakan tidak hanya perubahan pada frekuensi

dan keparahan penyakit tetapi juga pengukuran pada perbaikan kesejahteraan dan

kualitas hidup.

Kualitas hidup dalam konteks kesehatan disebut sebagai health related

quality of life (HRQoL). Estimasi derajat kesejahteraan dapat dinilai dengan

mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan status kesehatan

seseorang/Health related quality of life (HRQoL). Karena definisi sehat bersifat

multidimensional, maka HRQoL juga bersifat multidimensional yang meliputi

domain fisik, mental, emosional dan social functioning.

2.2.3 Penilaian Kualitas Hidup Pasian Diabetes

Pada penilaian kualitas hidup penderita DM diperlukan metode

pengukuran yang valid, karena ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

hasil pengukuran seperti prevalensi diabetes tipe 2 yang tinggi di dunia, sifat

penyakit kronis dari DM yang memerlukan terapi terus menerus dan

kecenderungan memiliki penyakit komplikasi yang dapat mempengaruhi kualitas

hidup pasien (Adikusuma et al., 2013).

Salah satu contoh kuesioner yang sering digunakan untuk pengumpulan

data tentang kualitas hidup seseorang adalah World Health Organization Quality

of Life (WHOQoL)-BREF. Beberapa penelitian juga sering menggunakan

kuesioner berupa WHOQoL untuk menilai kualitas hidup penderita DM.

WHOQoL-BREF adalah sebuah kuesioner yang terdiri dari 4 domain (kesehatan

UNIVERSITAS SUMATERA
3

fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan) yang memberikan penilaian

akurat untuk kualitas hidup. Untuk kesehatan fisik terdiri dari 7 pertanyaan,

psikologis 6 pertanyaan, hubungan sosial 3 pertanyaan dan lingkungan 8

pertanyaan dimana setiap format pertanyaan terdiri dari 5 yaitu sangat buruk,

buruk, biasa saja, baik dan sangat baik yang ditandai dengan skala 1-5. Seluruh

skala pertanyaan kemudian dijumlahkan dan akan diberi nilai dari skala 0-100.

Semakin tinggi nilai mengindikasikan semakin tinggi kualitas hidup seseorang

(Maudrene et al., 2014). Domain kualitas hidup pada kuesioner WHOQOL-BREF

dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Domain Penilaian Kualitas Hidup Instrumen WHOQoL-BREF

No. Domain Aspek yang Dinilai


1. Kesehatan Aktivitas sehari-hari dan Ketergantungan terhadap
Fisik substansi obat dan bantuan medis
Energi dan kelelahan serta Mobilitas
Nyeri dan ketidaknyamanan serta Tidur dan istirahat
Kemampuan bekerja
2. Psikologis Gambaran diri (Bodily Image) dan penampilan
Perasaan negative dan Perasaan positif
Self-esteem, Spiritualitas, agama dan keyakinan pribadi
Berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
3. Hubungan Hubungan personal
Sosial Dukungan social
Aktivitas seksual
4. Lingkungan Sumber daya finansial
Kebebasan, keselamatan fisik dan keamanan
Perawatan kesehatan dan sosial: kemudahan akses dan
kualitas, Lingkungan tempat tinggal
Kesempatan untuk mendapatkan informasi baru dan
keterampilan
Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi / aktivitas di
waktu luang, Lingkungan fisik (polusi, bising, lalu
lintas, dan cuaca), Transportasi`
Sumber: WHOQoL-BREF Introduction, Administration, Scoring and Generic
Version of the Assessment, 1996.

UNIVERSITAS SUMATERA
3

2.3 Faktor-fakor yang Memengaruhi Kualitas Hidup (QoL) pada Pasien


Diabetes

Kualitas hidup merujuk pada evaluasi yang dapat dilakukan terhadap

kesejahteraan seseorang. Hal ini diasumsikan sebagai kepuasan subjektif

seseorang terhadap sebaik apa seseorang dalam menjalani hidupnya. Pernyataan

baik atau tidaknya kehidupan seseorang tidak dinilai dari apakah dia berguna bagi

orang lain, tetapi dinilai dari sebaik apa seseorang menjalani kehidupannya sendiri

(Bognar, 2005). Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kualitas hidup penderita

diabetes adalah :

1) Jenis kelamin. Pada karakteristik jenis kelamin, rata-rata skor kualitas

hidup laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Kiadaliri et al., 2013). Hal ini

dimungkinkan karena laki-laki lebih bisa menerima kenyataan dengan

diabetesnya sehingga keluhannya lebih sedikit. Laki-laki mempunyai sikap

yang lebih positif dibanding perempuan pada semua dimensi, sehingga

dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin pasien mempengaruhi

kualitas hidup pasien.

2) Usia. Usia salah satu yang menentukan tingkat kualitas hidup penderita

diabetes. Semakin tua usia penderita diabetes (>65 tahun) mempunyai

kualitas hidup yang lebih jelek dibandingkan penderita diabetes yang lebih

muda (Kiadaliri et al., 2013)

3) Sosial ekonomi (pendapatan, edukasi, pendidikan). Status sosioekonomi

(termasuk pendapatan, edukasi dan pekerjaan) berhubungan dengan

kualitas hidup seseorang. Sebuah penelitian yang diakukan oleh (Grey et

UNIVERSITAS SUMATERA
3

al., 1998) menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosioekonomi

semakin tinggi kualitas hidup seseorang. Faktor pendidikan juga

mempengaruhi kualitas hidup pasien dimana pendidikan yang lebih tinggi

memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Spasić et al., 2014)

4) Komplikasi. Pada pasien diabetes yang sudah terjadi komplikasi biasanya

kualitas hidupnya lebih buruk dibandingkan yang belum terjadi komplikasi

(Rizkifani et al., 2014) (Spasić et al., 2014). Pada penelitian tentang

komplikasi diabetes penyakit vaskular dan non vaskular contohnya

penyakit jantung. Pada pasien diabetes tanpa penyakit vaskular hanya

berdampak kecil pada kualitas hidup. Sementara pasien diabetes dengan

komplikasi berupa penyakit vaskular mempunyai dampak yang lebih besar

pada kualitas hidup (Wandell, 2005)

5) Lama menderita diabetes. Lamanya pasien menderita penyakit merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian

menyatakan bahwa semakin lama durasi diabetes yang diderita oleh

pasien, semakin rendah kualitas hidup pasien tersebut, pasien dengan

durasi diabetes kurang dari 5 tahun memiliki kualitas hidup lebih tinggi

dibandingkan dengan kualitas hidup pasien dengan durasi diabetes lebih

dari 10 tahun Seorang penderita yang memikirkan komplikasi mempunyai

kualitas hidup yang lebih buruk, hal ini mungkin berhubungan dengan

lamanya seseorang menderita diabetes (Grey et al., 1998)

UNIVERSITAS SUMATERA
3

6) Status pernikahan. Kualitas hidup yang lebih baik dilaporkan pada

seseorang yang sudah menikah dibandingkan dengan yang belum menikah

(Grey et al., 1998)

7) Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan bantuan yang diperoleh

individu dari interaksinya dengan orang lain yang menumbuhkan perasaan

nyaman dan aman bagi individu yang bersangkutan. Sebuh penelitian

menunjukkan bahwa dukungan sosial memberikan pengaruh terhadap

kualitas hidup penderita DM. Pada penderita DM yang cenderung

mengalami banyak stresor akibat perkembangan penyakit maupun

pengelolaannya akan mengalami perubahan pada kualitas hidupnya dan

hal tersebut dipengaruhi oleh dukungan sosial. Oleh karena itu,

menurunnya dukungan sosial yang dirasakan penderita DM dapat

melemahkan kemampuan individu dalam mengatasi permasalahan hidup

sehingga menurunkan kualitas hidupnya. Dukungan sosial dapat

meningkatkan kesehatan fisik terutama terkait dengan kontrol gula darah

yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhan dalam perawatan diri

penderita DM. Hal ini akan menurunkan risiko komplikasi pada penderita

DM dan meningkatkan kualitas hidupnya (Antari et al., 2012)

8) Manajemen diri dan perawatan diri yang baik (self management dan self

care). Tingkat kemandirian berasal dari edukasi yang diberikan kepada

pasien, sehingga pasien mempunyai kemandirian dalam mengawaal

penyakitnya. Edukasi dan kemandirian pasien mempunyai hubungan yang

signifikan dengan kondisi dan keadaan umum penderita diabetes (AADE,

UNIVERSITAS SUMATERA
3

2014b). Semakin tingkat kemampuan pasien dalam mengelola penyakitnya

(self care) akan semakin lebih baik kualitas hidupnya. Seperti penelitian

yang dilakukan terhadap 1.263 orang penderita diabetes tipe 2 yang

tinggal di daerah kota dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah,

yang diberikan edukasi tentang AADE7TM Self-Care Behaviors selama 30

menit setiap sesi, kemudian dilakukan evaluasi dijumpai kemampuan self

care mereka meningkat dan menurunnya angka komplikasi diabetes yang

terjadi termasuk hipertensi dan gangguan ginjal.

2.4 Perilaku Self Care (Perawatan Diri)

2.4.1 Definisi

Menurut WHO (2009), self care (perawatan diri) adalah kemampuan

individu, keluarga, dan komunitas untuk meningkatkan kesehatan/promosi

kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan menangani penyakit

dan disabilitas dengan atau tanpa bantuan penyedia layanan kesehatan (Webber et

al., 2013). Self care adalah bagian dari pelayanan kesehatan primer. Dengan

tingginya beban penyakit dan meningkatnya penyakit yang belum

disosialisasikan, ada keharusan untuk memfokuskan kembali promosi kesehatan,

pencegahan penyakit, dan perawatan diri selama sakit dalam menghidupkan

kembali pelayanan kesehatan primer. Pengertian self care menurut Orem adalah

suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu

sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan

dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey and

Alligood, 2006).

UNIVERSITAS SUMATERA
3

Selain self care juga ada istilah self-management atau manajemen diri.

Self-management adalah kapasitas individual, komunitas atau autoritas nasional

untuk berinisiatif menerima tanggung jawab untuk perkembangan kesehatan

mereka sendiri dan mengadopsi pengukuran yang adekuat untuk menjaga

kesehatan yang dimengerti oleh mereka dan diterima oleh mereka, mengetahui

kekuatan dan sumber mereka dan bagaimana untuk menggunakan mereka dan

mengetahui kapan, dan untuk apa tujuannya, yang selanjutnya diberikan ke yang

lain untuk dukungan dan kerja sama. Manajemen diri berhubungan dengan tugas-

tugas yang harus dilakukan seseorang untuk hidup baik dengan satu atau lebih

kondisi kronis. Tugas-tugas ini termasuk meningkatkan kepercayaan diri untuk

menghadapi manajemen medis, aturan manajemen, dan manajemen emosional

(British Columbia Ministry of Health, 2011). Saat manajemen diri dihubungkan

dengan hasil hal ini sering digambarkan sebagai tingkah laku pasien, keahlian,

dan perilaku, sebagai contoh pasien:

a) Mempunyai pengetahuan tentang kondisinya dan/atau manajemennya;

b) Mengadopsi manajemen diri mengenai rencana perawatan yang disetujui

dan dinegosisasikan dengan tenaga kesehatan profesional;

c) Aktif membagi penetapan keputusan dengan tenaga kesehatan;

d) Memonitor dan mengatur tanda dan gejala kondisinya;

e) Menangani pengaruh dari kondisinya terhadap fisik, emosi, pekerjaan, dan

fungsi sosial

f) Mengadopsi gaya hidup yang fokus pada pencegahan dan intervensi faktor

resiko

UNIVERSITAS SUMATERA
3

g) Mempunyai akses ke dan percaya pada kemampuan untuk menggunakan

pelayanan pendukung.

Ruang lingkup dari self care meliputi promosi kesehatan, pencegahan

penyakit, pengontrolan penyakit, pengobatan sendiri, perawatan reaktif dan

penyembuhan (menunjuk spesialis dan institusi untuk perawatan, dan rehabilitasi

termasuk perawatan paliatif) (WHO, 2009). Mekanisme untuk promosi self care

melalui pemberdayaan komunitas sesuai dengan sosial-budaya, konteks

lingkungan dan bahasa, melihat kembali aturan dan tanggung jawab institusi

pendukung, memperkuat jaringan diluar dari sektor kesehatan; mengidentifikasi

dan mengumpulkan praktisi kesehatan self care dan mengidentifikasi masalah

kesehatan, media, dan sekolah.

Promosi self care dilakukan pada berbagai level:

a) Level nasional

b) Level komunitas

c) Keluarga dan individual

Intitusi untuk promosi self care meliputi komunikasi tenaga kerja kesehatan yang

harus ditingkatkan melalui edukasi dan reorientasi, pemerintahan lokal dan sektor

publik yang relevan, kelompok mandiri: sekolah; aktor untuk edukasi, informasi

dan media.

Pelatihan self-care dapat meliputi beberapa bidang dari self-care dan

perilaku spesifik antara lain (Webber et al., 2013) :

UNIVERSITAS SUMATERA
4

1. Gerakan kesehatan termasuk kemampuan individu untuk mendapatkan,

memproses dan mengerti informasi kesehatan dasar dan pelayanan

dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang sesuai.

2. Kewaspadaan diri terhadap kondisi fisik dan mental meliputi mengetahui

indeks massa tubuh sendiri, level kolesterol, tekanan darah, screening

kesehatan.

3. Aktivitas fisik meliputi aktivitas fisik intensitas moderat seperti berjalan,

bersepeda, atau berenang.

4. Aktivitas fisik meliputi aktivitas fisik intensitas moderat seperti berjalan,

bersepeda, atau berenang.

5. Partisipasi dalam olahraga yang diinginkan secara teratur.

6. Makan makanan sehat meliputi diet yang bernutrisi dan seimbang dengan

asupan kalori yang sesuai.

7. Menghindari perilaku beresiko seperti berhenti merokok, membatasi

penggunaan alkohol, melakukan vaksinasi, melakukan hubungan seksual

yang aman, menggunakan tabir surya.

8. Higienitas yang baik meliputi mencuci tangan teratur, menggosok gigi dan

mencuci makanan sebelum dikonsumsi.

9. Penggunaan produk, servis, diagnostik, dan obat-obatan yang rasional dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan bahayanya dan digunakan

sesuai kebutuhan

UNIVERSITAS SUMATERA
4

2.4.2 Konsep Dasar Self Care Diabetes

Teori self care dalam keperawatan yang dikemukaan oleh Dorothea Orem,

bertujuan untuk meningkatkan kemandirian klien sehingga klien dapat berfungsi

secara optimal. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan

bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga

dapat membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara

kesehatan dan kesejahteraan. Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri,

sedangkan orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas self care

mereka (self care deficit). Diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai

kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan

kebutuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu (Kusniawati, 2011).

2.4.3 Perilaku Self Care pada Pasien Diabetes Mellitus

Tantangan terbesar bagi pada tenaga kesehatan adalah menentukan

kebutuhan dan keperluan individu dengan penyakit kronis seperti diabetes.

Pentingnya pemantauan teratur pasien diabetes dengan tenaga kesehatan memiliki

nilai signifikan dalam menanggulangi komplikasi jangka panjang. Kebutuhan

penderita diabetes tidak hanya terbatas pada kontrol kadar gula darah tapi juga

mencegah komplikasi, membatasi gangguan fisik, dan rehabilitasi (Shrivastava et

al., 2013). Self care merupakan program atau tindakan yang harus dijalankan

sepanjang kehidupan diabetisi dan menjadi tanggung jawab penuh bagi setiap

penderita diabetes. Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan

untuk mengontrol diabetes meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan

komplikasi (Webber et al., 2013)

UNIVERSITAS SUMATERA
4

Untuk mencegah kecacatan dan kematian yang serius, pengobatan diabetes

membutuhkan dedikasi untuk memberlakukan perilaku self care pada berbagai

bidang, termasuk pemilihan makanan, aktivitas fisik, pengobatan yang sesuai, dan

monitoring kadar gula darah (Ayele et al., 2012)

2.4.4 Program Self Care pada Pasien Diabetes

American Association of Diabetes Educators (AADE) mengeluarkan

AADE7 Self-Care Behaviors sebagai kerangka edukasi manajemen pasien

diabetes secara terpusat dan juga pelayanannya. Perilaku penting self-care untuk

keberhasilan dan efektivitas manajemen diri diabetes ada tujuh yaitu (AADE,

2014):

1. Pola makanan yang sehat

2) Meningkatkan kegiatan jasmani

3) Memantau kadar gula darah

4) Mengonsumsi obat sesuai aturan

5) Keterampilan mengatasi masalah

6) Berperilaku sehat

7) Menurunkan resiko.

Aktivitas self-care berhubungan dengan perilaku seperti rencana diet,

menghindari lemak tinggi, meningkatkan olahraga, pemantauan kadar gula darah

dan perawatan kaki (Shrivastava et al., 2013).

2.4.5 Penerapan Program Self-Care

Walaupun terdapat variasi yang signifikan pada setiap negara, perilaku

self-care pada diabetes kurang optimal pada semua negara. Hasil penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA
4

menunjukkan hanya 46% dari pasien diabetes tipe 1 dan 39% dari pasien diabetes

berhasil sukses dari setidaknya dua per tiga bidang self care (Shrivastava et al.,

2013).

Studi-studi yang telah dilakukan mengemukakan bahwa kurangnya

perawatan dan dukungan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan

edukasi orang-orang dengan diabetes dan tenaga kesehatan profesional di negara

maju dan berkembang. Walaupun perilaku self-care sangat menentukan faktor

untuk mengontrol penyakit dan komplikasi yang berkaitan, self-care menjadi

sesuatu yang penting sejak faktor-faktor seperti pengetahuan penderita diabetes,

kemampuan fisik, faktor emosional, kepercayaan diri, dan persepsi lain dari

pasien mempengaruhi perilaku self-care. Penghalang terlaksananya perilaku self-

care yang optimal, terutama di negara yang berkembang adalah adanya

permasalahan dalam sosio-demografis dan budaya seperti akses dengan obat,

harga yang mahal, kepuasan pasien dengan perawatan medis mereka, derajat dari

gejala, distribusi tenaga kesehatan yang tidak menyeluruh antara daerah perkotaan

dengan daerah terpencil.

Selain dari pihak penderita diabetes, tenaga kesehatan juga memiliki faktor

kendala. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di 17 negara, didapatkan tenaga

kesehatan percaya bahwa walaupun dengan keuntungan teknologi dan tersedianya

pengobatan yang lebih baik, kebijakan pelayanan kesehatan saat ini masih kurang

lengkap untuk menangani dan mengobati penderita diabetes secara efektif dan

walaupun edukasi manajemen mandiri dianggap penting tetapi pelaksanaannya

masih kurang. Selain itu dukungan psikososial dianggap sebagai kunci dalam

UNIVERSITAS SUMATERA
4

perawatan diabetes, tenaga kesehatan profesional masih kekurangan sumber,

pelatihan, dan dana untuk menyediakannya. Hal ini dapat menyebabkan tenaga

kesehatan profesional merasa tidak mampu (Holt et al., 2013).

2.4.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Self Care Pasien Diabetes

Beberapa faktor dapat memengaruhi perilaku self care pada pasien

diabetes, yaitu:

1) Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan perilaku self

care. Beberapa penelitian menyatakan hubungan yang signifikan antara

usia dan self care. Usia merupakan salah satu faktor penting dalam

kemandirian pasien diabetes, semakin meningkat usia akan semakin

meningkatkan persepsi tentang kemandirian dan keterpaduan dalam

pengobatan diabetes, sementara usia yang lebih muda mempunyai persepsi

yang lebih kurang (Baquedano et al., 2010).

2) Jenis Kelamin

Terdapat perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam menerapkan

perilaku self care. Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki

memiliki perilaku self care yang lebih baik daripada perempuan (Bai et al.,

2009). Perempuan memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada

laki-laki dan memiliki perilaku self care yang lebih rendah daripada laki-

laki (Made, 2014).

UNIVERSITAS SUMATERA
4

3) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan

perilaku self care. Pasien yang berpendidikan formal cukup tinggi

biasanya akan mempunyai perilaku self care yang lebih baik (Tol et al.,

2012). Hal ini disebabkan pemahaman yang lebih baik terhadap

penyakitnya dan informasi yang disampaikan oleh dokter ketika

berkonsultasi. Informasi yang disampaikan terkait tentang pengaturan gizi

dan melaksanakan olah raga sebagai pilar dalam pengendalian diabetes

(Dehghani-Tafti et al., 2015)

4) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan dorongan yang berasal dari luar penderita dan

menentukan perilaku self care dari pasien. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa pasien yang mempunyai lingkungan keluarga dan

pasangan akan mempunyai kemandirian yang lebih baik dibandingkan

dengan yang tidak punya lingkungan sosial dan pasangan (Aditama, 2011).

Pasien yang memiliki dukungan sosial yang baik akan mempunyai

perilaku self care yang lebih baik dibandingkan yang tidak punya

dukungan soasial (Dehghani-Tafti et al., 2015).

5) Sosial Ekonomi

Diabetes merupakan kondisi penyakit yang memerlukan biaya yang cukup

mahal sehingga akan berdampak terhadap kondisi ekonomi keluarga

terutama bagi masyarakat golongan ekonomi rendah. Pada masyarakat

golongan ekonomi rendah, mereka tidak dapat melakukan pemeriksaan

UNIVERSITAS SUMATERA
4

kesehatan secara kontinu disebabkan karena keterbatasan biaya, sedangkan

penderita diabetes harus melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan

minimal 1-2 minggu sekali untuk memantau kondisi penyakitnya agar

terhindar dari komplikasi potensial yang dapat muncul akibat penyakitnya

(Nwanko et al., 2010). Menurut Bai et al. (2009) juga menjelaskan bahwa

sosial ekonomi berpengaruh terhadap perilaku self care DM.

6) Lama Menderita Diabetes

Penderita DM tipe 2 yang lebih dari 11 tahun dapat mempelajari perilaku

self care berdasarkan pengalaman yang diperolehnya selama menjalani

penyakit tersebut, sehingga penderita dapat lebih memahami tentang hal-

hal terbaik yang harus dilakukannya untuk mempertahankan status

kesehatannya, salah satunya dengan cara melakukan perilaku self care

dalam kehidupannya sehari-hari dan melakukan kegiatan tersebut secara

konsisten dan penuh rasa tanggung jawab. Durasi DM tipe 2 yang lebih

lama pada umumnya memiliki pemahaman yang adekuat tentang

pentingnya perilaku self care sehingga dapat dijadikan sebagai dasar bagi

mereka untuk mencari informasi yang seluas-luasnya tentang perawatan

DM tipe 2 melalui berbagai cara/media dan sumber informasi lainnya (Bai

et al., 2009).

7) Aspek Emosional

Aspek emosional yang dialami oleh penderita diabetes akan

mempengaruhi perilaku self care. Penderita yang menerima dan

memahami segala kondisi yang terjadi akibat penyakitnya maka akan

UNIVERSITAS SUMATERA
4

memudahkan penderita untuk melakukan perilaku self care yang harus

dijalankan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, untuk

menentukan keberhasilan perilaku self care diperlukan tingkat

penyesuaian emosional yang tinggi sehingga penderita mampu beradaptasi

dengan kondisi penyakitnya dan menerima konsekuensi perilaku self care

yang harus dijalankannya (Kusniawati, 2011).

8) Motivasi

Motivasi diri merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi penderita

DM tipe 2 dalam melakukan perilaku self care terutama dalam hal

mempertahankan diet dan monitor gula darah. Penderita diabetes yang

memiliki motivasi baik akan melakukan perilaku self care dengan baik

pula untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu pengontrolan gula darah

sehingga pada akhirnya komplikasi DM tipe 2 dapat diminimalkan

(Shigaki et al., 2010). Mills (2008) dalam (Shigaki et al., 2010)

menyatakan ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan untuk

mendukung anggota keluarga yang menderita diabetes yaitu dengan

meningkatkan kesadaran dirinya untuk mengenali penyakit nya bahwa

diabetes tidak bisa disembuhkan, sehingga pasien memiliki kesadaran

yang tinggi untuk mengelola penyakitnya. Selain itu tinggal bersama

dengan anggota keluarga yang sakit dan memberikan bantuan,

menyediakan waktu, mendorong untuk terus belajar dan mencari tambahan

pengetahuan tentang diabetes merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang

UNIVERSITAS SUMATERA
4

bisa dilakukan keluarga dalam rangka memberi dukungan pada anggota

keluarga yang sakit.

9) Komunikasi Dokter Pasien

Komunikasi dokter dan pasien merupakan kegiatan yang sangat penting

dalam rangka penyembuhan pasien. Hubungan yang baik antara penderita

diabetes dengan petugas kesehatan akan memfasilitasi penderita diabetes

dalam melakukan perilaku self care. Pencapaian tujuan agar penderita

diabetes dapat melakukan perilaku self care yang efektif, maka petugas

kesehatan harus menjelaskan tentang tujuan pengobatan, masalah yang

mungkin dijumpai, tindakan apa yang harus dilakukan dalam perilaku self

care dan strategi dalam melakukan manajemen penyakit. Peningkatan

komunikasi antara penderita diabetes dan petugas kesehatan akan

meningkatkan kepuasan, kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan

yang harus dijalankan dan meningkatkan status kesehatan. Meningkatkan

partisipasi penderita dalam mengambil keputusan dan meningkatkan

komuniksai kesehatan akan meningkatkan perilaku self care. Komunikasi

petugas kesehatan merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh

terhadap perilaku self care (Kusniawati, 2011).

10) Pengetahuan

Pengetahuan penderita diabetes tentang penyakitnya dan hal-hal yang

berkaitan dengan pengobatan dan pencegahan merupakan sesuatu yang

sangat menentukan terhadap perilaku mandiri pasien. Penelitian yang

dilakukan di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

UNIVERSITAS SUMATERA
4

Semarang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat

pengetahuan tentang diabetes mellitus dengan gaya hidup penderita

diabetes (Hairi, 2013). Gaya hidup mencerminkan komplikasi, angka

hospitalisasi dan angka mortalitas pada pasien diabetes (Hernández, 1996).

Dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan yang baik menghasilkan

gaya hidup yang baik sehingga dapat menurunkan tingkat mortalitas dan

morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes.

11) Efikasi Diri (Self Efficacy)

Efikasi diri merupakan faktor penting dalam pembentukan self care.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa efikasi diri

merupakan salah satu faktor penentu dan sangat menentukan terbentuknya

perilaku self care pada pasien diabetes (Dehghani-Tafti et al., 2015).

Efikasi diri mendorong proses kontrol diri untuk mempertahankan prilaku

yang dibutuhkan dalam mengelola perawatan diri pada pasien diabetes

(Kott, 2008). Efikasi diri juga menentukan bagaimana seseorang merasa,

berpikir, memotivasi diri dan berperilaku dari waktu ke waktu (Beckerle

dan Lavin, 2013). Keberhasilan pengelolaan diabetes tergantung efikasi

diri pasien itu sendiri untuk melakukan perawatan diri yang dirancang

untuk mengontrol gejala dan menghindari komplikasi (Wu et al., 2007).

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui

apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu,

efikasi diri juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan

DM karena berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijil dan

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Shortridge-Baggett, 2014; Wu et al., 2007). Efikasi diri merupakan

keyakinan individu tentang kemampuan pribadi terhadap kinerja perilaku.

Dalam hal manajemen diri DM, efikasi diri adalah keyakinan pasien

terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai perilaku manajemen

diri DM (Al-Khawaldeh, Al-Hassan dan Froelicher, 2012). Efikasi diri

adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes,

seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri

yang lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri

diabetes yang lebih baik (Hunt et al., 2012).

12) Pembiyaan Kesehatan

Tidak bisa dipungkiri bahwa ketersediaan dana dalam pengobatan menjadi

salah satu yang menentukan kelangsungan pasien dalam menjalani

pengobatan. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu

kepatuhan pasien datang berjumpa dengan dokternya kembali adalah

adanya jaminan pembiyaan yang tersedia. Pembiyaan kesehatan tentu

disesuaikan dengan sistem pembiyaan kesehatan yang ada di Indonesia.

Berdasarkan keputusan pemerintah sejak tanggan 1 Januari 2014 sistem

pembiyaan kesehatan Indonesia menggunakan BPJS. Prinsip BPJS adalah

pembayaran kapitasi yang dilakukan secara praupaya. Dengan adanya

sisitem pembiyaan BPJS diharapkan kepatuhan pasien tentu lebih baik

karena sudah adanya biaya yang tersedia.

UNIVERSITAS SUMATERA
5

2.5 Hubungan Perilaku Self Care dengan Kualitas Hidup

Perjalanan penyakit diabetes menyebabkan diabetisi rentan mengalami

peningkatan terhadap resiko terjadinya komplikasi. Ketika seorang telah terjangkit

komplikasi, maka akan berdampak pada menurunnya Umur Harapan Hidup

(UHP), penurunan kualitas hidup, serta meningkatnya angka kesakitan (Nwankwo

et al., 2010). Terjadinya penurunan kualitas hidup dikarenakan diabetisi belum

mampu melakukan perawatan mandiri (perilaku self care). Kualitas hidup

penderita akan terganggu dari segi keadaan kesehatan fisik, psikologis, sosial dan

lingkungan. Terdapat hubungan signifikan yang kuat dengan arah positif antara

perilaku self care dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2, semakin meningkat

perilaku self care, maka semakin meningkat pula kualitas hidup penderita

diabetes. Diperkirakan perilaku self care mempengaruhi kualitas hidup sebesar

36% (Made, 2014). Semakin baik perilaku self care, kontrol glikemik juga akan

semakin baik (Padma et al., 2012).

Salah satu parameter yang dapat kita gunakan untuk menilai kemandirian

pasien diabetes dalam mengelola penyakitnya dan kualitas hidupnya adalah

dengan pemeriksaan kontrol metabolik meliputi pemeriksaan Kadar Gula Darah

(KGD), HbA1C dan pemeriksaan profil lipid (kolesterol, HDL dan LDL).

Penelitian menunjukkan bahwa retinopati, neuropati, dan nefropati berhubungan

dengan kontrol glikemik yang buruk (Wijesuriya et al., 2012). Penelitian yang

dilakukan di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

menunjukkan, terdapat hubungan antara tingkat self care dengan kadar HbA1C

yang artinya semakin tinggi tingkat self care maka semakin baik tingkat HbA1C-

UNIVERSITAS SUMATERA
5

nya (Kusniyah et al., 2010). Penelitian prospektif yang dilakukan di Inggris (UK

Prospective Diadetes Study) menunjukkan bahwa nilai HbA1C merupakan

parameter yang penting dalam menilai kontrol metabolik penderita diabetes,

penurunan nilai HbA1C berkisar 1-7% akan mengurangi resiko komplikasi

mikrovaskuler sebesar 37%, gangguan pembuluh darah perifer sebesar 43%,

mengurangi resiko serangan jantung sebesar 14% dan stroke sebanyak 12%

(Spasić et al., 2014). Menurut Tol et.al (2012) seorang diabetisi yang dapat

melaksanakan perilaku Self care dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari

terkontrolnya metabolisme tubuhnya, kesehatan jantung yang terjaga dan dari

kesehatan psikososialnya (Tol et al., 2012). Sehingga dapat disimpulkan ada

korelasi anntara kadar HbA1C dengan komplikasi yang terjadi pada pasien

diabetes (Spasić et al., 2014)

Kualitas hidup yang baik merupakan refleksi dari pencapaian maksimal

dari semua upaya intervensi yang dilakukan oleh pasien diabetes yaitu

menerapkan self care dalam kehidupannya (Spasić et al., 2014). Pasien yang

mengalami komplikasi mempunya kualitas hidup yang lebih buruk pada seluruh

domain kualitas hidup (fisik, psikologi, sosial) dibandingkan dengan pasien yang

dapat mengontrol penyakitnya (tidak terjadi komplikasi).

UNIVERSITAS SUMATERA
5

2.6 Rangkuman Jurnal Penelitian Perilaku Self Care Pasien DM Tipe 2

Berikut disampaikan jurnal-jurnal penelitain mengenai perilaku self care

pasien diabates serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Tabel 2.3 Penelitian Perilaku Self Care dan Hubungan Perilaku Self Care
dengan Kontrol Metabolik Pada Pasien DM Tipe 2

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


1 Hubungan Self
Studi 1. Terdapat hubungan
Care Diabetes
Putu Inge 2014 korelasional signifikan dengan
dengan Kualitas
Ruth Bandung (cross sectional) arah positif antara
Hidup Pasien DM
Suantika Teknik self care diabetes
Tipe 2 di
pengumpulan dengan kualitas
Poliklinik Interna
data hidup pasien DM
RSUD Bandung
menggunakan tipe 2 (R: 0.361)
kuesioner 2. Kontribusi self care
Summary diabetes dengan
Self care kualitas hidup
Diabetes Activity pasien DM tipe 2:
(SCDA) dan self care
kuisioner memengaruhi
WHOQOL- kualitas hidup (36x)
BREF
2 Peran perawatan Shrivastav Journal of Review Artikel Ada 7 perilaku
diri (self care) a et al. Diabetes an perawatan diri yang
dalam pengelolaan Metabolic penting pada
Diabetes Melitus Disorder penderita DM yaitu:
Tipe 2 2013 1. Makanan sehat
2. Aktivitas fisik
3. Pemantauan KGD
4. Konsumsi obat
5. Kemampuan
memecahkan
masalah
6. Keterampilan
mengatasi stres
7. Pengurangan
perilaku berisiko
Ketujuh perilaku ini
berkorelasi positif
dengan kontrol
glikemik, kualitas
hidup dan komplikasi
pada pasien DM Tipe
2

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


3 Analisis faktor Kusniawati Tesis. Desain penelitian Hasil penelitian
yang berkontribusi Fakultas cross sectional, menunjukkan bahwa
terhadap ilmu jumlah sampel Dorongan internal,
Self care Diabetes keperawata 100 responden, keyakinan,
pada klien Program dengan teknik komunikasi petugas
Diabetes Melitus magister purposive kesehatan
Tipe 2 di Rumah keperawata sampling, komunikasi
Sakit Umum Depok pengumpulan data berkontribusi
Tangerang juli 2011 menggunakan terhadap self care
kuesioner. diabetes
Analisis statistik Faktor paling
menggunakan dominan berkontribus
koefisien korelasi terhadap
Pearson, Uji T self care diabetes
Independen dan adalah komunikasi
Regresi Linier petugas kesehatan.
Ganda
4 Hubungan antara Wiwit Tesis, Studi cross 1. Self-care, self-
self-care, self Aditama Program sectional efficacy, jenis
efficacy, pasca kelamin, usia,
dukungan sosial Sarjana pekerjaan,
dengan kontrol Fakultas pendapatan,
glikemik (HbA1c) Kedoktera pendidikan, status
pada pasien DM n UGM perkawinan, durasi
Tipe 2 di Yogyakart DM berhubungan
Puskesmas a, 2011 dengan kontrol
Banyudono dan glikemik
Puskesmas 2. Uji bivariate:
Ngemplak di variabel yang
Provinsi Jawa paling berpengaruh
Tengah untuk mengontrol
kadar gula darah
dengan DM tipe 2
adalah dukungan
sosial
5 Mengukur Weinger. 2005 Tujuan Hasil Penelitian: The
Diabetes Self- et al. Penelitian; SCI-R adalah
Care: Sebuah Untuk menguji singkat, ukuran
analisis sifat psikometrik psychometrically
psikometri dari dari Self-Care persepsi kepatuhan
Self-Care Inventarisasi- terhadap diabetes
Inventarisasi revisi (SCI-R) dianjurkan perilaku
(SCI-R)-direvisi perawatan diri dari
dengan orang orang dewasa tipe 1
dewasa atau 2 DM

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


6 Faktor-faktor Kisokant 2013 A review article Model untuk
yang h et al. manajemen diri dari
memengaruhi DM,
manajemen diri menggunakan model
(self management) kronis perawatan
dari Diabetes (CCM), self-
Mellitus monitoring untuk
meningkatkan
manajemen diri
a. Budaya, dukungan
sosial
mempengaruhi
manajemen diri
DM Hambatan
untuk manajemen
diri dari DM
b. Informasi
Kesehatan
c. Tingkat
Pengetahuan
tentang diabetes,
Motivasi pasien
dan faktor
psikologis lainnya
d. Budaya
mempengaruhi
manajemen diri
dari DM, dukungan
sosial untuk
manajemen diri
dari DM
7 Pengaruh Atak et. 2008 Studi Hasil Penelitian:
pemberian al intervensional Pendidikan pasien
pendidikan memiliki efek
tentang diabetes terbatas pada
terhadap pengetahuan dan
pengetahuan, perilaku manajemen
perilaku diri tetapi
manajemen diri pendidikan yang
dan efikasi diri diberikan
pasien DM Tipe 2 mempunyai
efek/hubungan yang
signifikan pada
efikasi diri

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


8 Faktor-faktor
1. Abbasali 2015 Cross sectional 1. Tidak ada
yang menentukan
Dehgha perbedaan yang
Perawatan Diri
ni-Tafti signifikan antara
(self care) pada
et al. jenis kelamin,
Pasien Diabetes
status perkawinan
Berdasarkan
dengan perawatan
Model
diri
Kepercayaan
2. Perilaku
Kesehatan (Heath
perawatan diri
Belief Model)
independen dari
variabel.
3. Hasil penelitian
ini menunjukkan
perbedaan yang
signifikan antara
dukungan sosial
dan perilaku
perawatan diri
4. Tinggi tingkat
pendidikan
mengarah ke
efisiensi yang
lebih besar dan
kemampuan
pasien diabetes
untuk melakukan
perilaku
perawatan diri.
5. Tidak ada
perbedaan yang
signifikan antara
metode
pengendalian gula
darah dan
pendidikan.
6. Self-efficacy
ditemukan
sebagai prediktor
penting dari
perilaku
perawatan diri
pada diabetes.

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


9 Hubungan Tingkat Yulianti, 2010 Rancangan Hasil penelitian
self care at el. penelitian: menunjukkan:
dengan Tingkat deskriptif Terdapat
HbA1c Pada menggunakan hubungan yang
Klien Diabetes studi korelasi. antara tingkat self
Melitus Tipe 2 Di Pengambilan care dengan
Poliklinik sampel
tingkat HbA1C.
Endokrin RSUP consecutive
Dr. Hasan Sadikin sampling
Nilai koefisien
Bandung berjumlah 93 korelasi Rank
sampel. Spearman rs =
Teknik 0,601 (p< 0,001)
pengumpulan dan berpola positif
data artinya semakin
menggunakan tinggi tingkat self
kuesioner care maka
modifikasi self semakin baik
care inventory- tingkat HbA1C-
revised (SCI-R).
nya.
10 Evaluasi praktek (2012) Studi cross Praktek perawatan
perawatan diri sectional. diri memiliki
dan komponen Praktek hubungan yang
yang perawatan diri signifikan dengan
mempengaruhiny pasien diukur kontrol metabolik,
a pada pasien dengan kardiovaskular, dan
diabetes tipe 2 Ringkasan indeks psikososial.
Kegiatan
Diabetes
perawatan diri
(SDSCA)
11 Faktor Terkait Afnan A. Master of Metode: Hasil: Prevalensi
dengan Al- Science Pengembangan kontrol glikemik
Kepatuhan Untuk Ibrahim 2012 kuesioner yang buruk (HbA1c)
Diabetes self care Robert T. Thesis berdasarkan adalah 78,8%.
Perilaku dan Jackson, submitted literatur penelitian sekitar 59,3% dari
Glikemik to the yang berkaitan pasien
Pengendalian Faculty of dengan diabetes diklasifikasikan
antara Orang the manajemen diri sebagai "miskin"
Kuwait Dengan Graduate kuesioner terdiri kepatuhan terhadap
Diabetes Tipe 2 School of dari 41 pertanyaan perilaku diabetes
(2012) the pengumpulan data perawatan diri.
Universit melalui multi-stage Diet memiliki
y of stratified random hubungan kuat
Maryland, sampling dari 8 dengan skor perilaku
College pusat kesehatan diabetes perawatan
Par primer di ibukota diri P <0,05)

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


12 Perawatan Diri Baquedan 2010 Penelitian ini Hasil penelitian:
(self care) Pasien et al. menguji 1. Kemampuan
dengan Diabetes kemampuan perawatan diri
Mellitus dirawat perawatan diri berhubungan
di sebuah pasien dm Tipe 2 dengan jenis
Layanan Darurat dan berhubungan kelamin, tingkat
di Meksiko variabel pendidikan, usia,
sosiodemografi waktu sejak
dan klinis. diagnosis klinis,
tingkat pendidikan,
2. Kehadiran
profesional adalah
penting untuk
memotivasi dan
membantu
individu untuk
mengembangkan
kemampuan
perawatan diri
3. Kemampuan
perawatan diri
sesuai dengan usia,
usia yang
merupakan faktor
penting dalam
persepsi hambatan
lingkungan untuk
kepatuhan
pengobatan.
Semakin tua
seseorang,
semakin tinggi
persepsi nya
hambatan
lingkungan.
4. Kemampuan
perawatan diri
pasian DM terkait
dengan faktor-
faktor sosial dan
budaya sebagai
dimensi penting
dari perawatan
diri.

UNIVERSITAS SUMATERA
5

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


13 Prediktor Albright Family Survey, Cross Perawatan diri
perilaku TL, et al. medicine sectional berhubungan dengan
perawatan diri 33:5 2001 usia, kepuasan pasien
pada orang May pg dengan hubungannya
dewasa dengan 354-60 nya dokter-pasien,
diabetes tipe 2: stres pribadi, dan
sebuah studi konteks keluarga.
RRNeST. (2001) konteks social`
Analisis multivariat
menunjukkan
bahwa, kepuasan
pasien, stres pribadi
dan konteks sosial
yang sangat terkait
dengan perawatan
diri
14 Efek dari Junling (2013)/ Cross sectional a. Perawatan diri
perawatan diri, Gao, et China pasien diabetes
self-efficacy, al. dan efikasi diri,
dukungan sosial dukungan sosial
pada kontrol dan komunikasi
glikemik pada dokter pasien
orang dewasa memiliki efek
dengan diabetes langsung pada
tipe 2 kontrol glikemik
b. Hubungan positif
signifikan dari
self-efficacy,
dukungan sosial
dan PPC dengan
diabetes
perawatan diri,
tapi mempunyai
efek tidak
langsung pada
HbA1c
c. Komunikasi
dokter-pasien
positif terkait
dengan dukungan
social

UNIVERSITAS SUMATERA
6

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


15 Peran Persepsi Abdul- Inggeris, Survey, cross Persepsi penyakit
Penyakit dan Self- Razak, et 2016 sectional dan keyakinan self-
Efficacy al efficacy adalah
prediktor penting
dari perilaku
manajemen diri dan
berpotensi
memandu intervensi
yang efektif.
16 Prediktor Diabetes Azylina 2016, Survey cross Adanya hubungan
Self-Manajemen Gunggu Malaysia sectional yang signifikan
pada Diabetes et al. Tujuannya antara DSM dan
Tipe 2 Pasien adalah untuk kepercayaan dalam
menentukan efektivitas
prediktor untuk pengobatan,
DSM. dukungan keluarga,
Wawancara tatap dan self-efficacy.
muka
17 Perilaku Lidia Meksiko, Penelitian  Terdapat hubungan
Perawatan Diri Guadalupe 2010 deskriptif signifikan antara
and Indikator Compean, korelasional ini perilaku perawatan
Kesehatan pada et al. bertujuan untuk diri dan HbA1c,
Pasien dengan menganalisis trigliserida, BMI dan
Diabetes tipe 2 perilaku % lemak tubuh
perawatan diri  Analisis multivariat
dan hubungan menunjukkan dari
dengan indikator semua dimensi
kesehatan perawatan diri, diet
(HbA1c, profil adalah yang paling
lipid, BMI, LP prediktif untuk
dan % LT) indikator kesehatan,
18 Menilai Hubungan Smalls et United Tujuan dari  Faktor kejahatan,
antara faktor al. States, penelitian ini kekerasan, dan
lingkungan tempat 2015 adalah untuk kurangnya sumber
tinggal dengan menilai efek dari daya telah terbukti
perilaku faktor hambatan untuk hasil
perawatan diri dan lingkungan kesehatan yang
dampak kesehatan terhadap hasil optimal pada DM.
pasien diabetes kesehatan yang  Kerawanan pangan,
berhubungan kegiatan lingkungan,
dengan diabetes estetika, dan dukungan
dan perilaku sosial memiliki korela
perawatan diri dengan perilaku
perawatan diri.

UNIVERSITAS SUMATERA
6

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Judul Author Tahun Metodologi Hasil


Hubungan Self- Jeanny Rancangan Peningkatan satu
Care Dengan Rantung penelitian cross satuan self-care, akan
Kualitas Hidup et al. sectional, meningkatkan kualitas
Pasien Diabetes melibatkan 125 hidup sebesar 6.1%.
Melitus (DM) Di anggota Peningkatan self-care
Persatuan PERSADIA dapat dilakukan
Diabetes cabang Cimahi. melalui pengembangan
Indonesia Alat ukur self- program edukasi,
(Persadia) Cabang care adalah meningkatkan
Cimahi Summary of kompetensi perawat
Diabetes Self- dalam memberikan
Care Activities asuhan keperawatan
(SDSCA), dan melakukan
Diabetes Quality screening depresi
Of Life (DQOL) terhadap pasien DM.
dan Beck
Depression
Inventory II.

2.7 Konsep Perilaku

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Hereditas atau faktor keturunan

adalah konsepsi dasar atau modal pengembangan perilaku organisme tersebut,

sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk pengembangan perilaku

tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor dalam rangka

terbentuknya perilaku disebut proses belajar atau learning process (Notoatmodjo,

2003).

Menurut Bloom (1960) dalam Notoatmodjo (2003), ada tiga domain

perilaku, yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (tindakan).

1) Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu hasil tahu yang terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan dapat terjadi

UNIVERSITAS SUMATERA
6

melalui panca indra manusia, yaitu: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,

dan raba. Dimana sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indra penglihatan

dan pendengaran (Notoatmodjo,2007). Seperti yang dikutip kembali oleh

Notoadmodjo, menurut penelitian yang dilakukan oleh Rogers (1974), didapati

hasil bahwasannya sebelum seseorang mengadopsi prilaku baru, maka didalam

diri orang tersebut terjadi lima proses yang terjadi secara berurutan. Proses

tersebut adalah:

1. Awareness (Kesadaran), adalah suatu keadaan dimana orang tersebut telah

menyadari. Kesadaran ini didahului oleh suatu stimulus terlebih dahulu.

2. Interest (Merasa Tertarik), adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa

tertarik terhadap stimulus atau suatu objek. Pada tahap ini sikap objek

sudah mulai muncul.

3. Evaluation (Mengevaluasi), adalah suatu keadaan dimana objek sudah

mulai mempertimbangkan baik dan buruknya stimulus tersebut bagi

dirinya. Pada tahap ini sudah menunjukan sikap yang lebih baik lagi.

4. Trial (Mencoba), adalah suatu keadaan dimana objek sudah mulai

mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

stimulus.

5. Adoption (Mengadopsi), adalah suatu keadaan dimana ada objek telah

berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya

terhadap stimulus.

Menurut Notoatmodjo (2007), Pengetahuan yang dicakup dalam domain

kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

UNIVERSITAS SUMATERA
6

1. Tahu.

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Tolak ukur apakah seseorang tahu tentang yang dipelajari adalah

menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan.

2. Memahami.

Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Tolak ukur seseorang sudah pada tahap ini adalah

dapat menyimpulkan, meramalkan apa yang telah dipelajari.

3. Aplikasi.

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya. Contoh aplikasi adalah,

dapat menggunakan rumus-rumus, hukum, metode, prinsip.

4. Analisis.

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Contoh

analisis adalah mampu menggambarkan, membuat bagan, membedakan,

mengelompokkan materi yang didapat.

5. Sintesis.

Sintesis menujuk kepada kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang

UNIVERSITAS SUMATERA
6

baru. Pada tahap ini seseorang dapat menemukan formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang telah ada.

6. Evaluasi.

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian terebut

berdasarkan kriteria yang dibuat sendiri ataupun dari kriteria yang telah

ada

2) Sikap

Sikap adalah suatu reaksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau

objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup (Notoadmodjo, 2007).

Sedangkan menurut Purwanto (1999), sikap adalah pandangan atau perasaan yang

disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu objek. Sikap dapat bersifat

positif dan negatif. Pada sikap positif terdapat kecendrungan tindakan adalah

mendekati, menyenangi, mengharapkan suatu objek tertentu. Sedangkan sikap

negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak

menyukai objek tertentu.

Sikap relatif lebih menetap, timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak

lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau

diubah. Dalam psikologi sosial, sikap adalah kecendrungan individu yang dapat

ditentukan dari cara-cara berbuat (Notoatmodjo, 2003). Menurut Alport (1954)

yang menjelaskan bahwa sikap memiliki 3 komponen pokok yang secara

UNIVERSITAS SUMATERA
6

bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Notoatmodjo, 2007). 3 komponen

pokok, yaitu:

a) Kepercayaan (keyakinan) terhadap ide atau konsep pada suatu objek.

b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c) Kecendrungan untuk bertindak.

Menurut Notoadmodjo (2007), berdasarkan tingkatannya secara berurutan

sikap dapat dibedakan atas empat tingkatan, yaitu:

1. Menerima. Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan.

2. Merespon. Merespon diartikan bahwa seseorang akan memberikan

jawaban bila ditanya, mengerjakan yang disuruh, menyelesaikan tugas.

3. Menghargai. Menghargai dapat diindikasikan berupa mengajak orang lain

untuk mmengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

4. Bertanggung jawab. Merupakan tingkatan sikap tertinggi, dimana orang

tersebut akan bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih

dengan segala resiko yang ada.

Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, Menurut Purwanto (1999) ciri-ciri sikap

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan orang tersebut dan dalam hubungannya dengan

objeknya.

UNIVERSITAS SUMATERA
6

2. Sikap dapat berubah-ubah, karenanya sikap dapat dipelajari. Sikap dapat

berubah jika terdapat keadaan dan syarat tertentu yang mempermudah

sikap pada orang tersebut.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tapi senantiasa berhubungan dengan suatu

objek. Sikap terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenan

dengan suatu objek tertentu yang dirumuskan dengan jelas.

4. Objek sikap dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat merupakan

kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap memiliki segi motivasi dan segi perasaan. Sikap ini dapat

membedakan sikap dari kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki

seseorang.

Ciri-ciri sikap menurut Mar’at (1981), yang dikutip kembali oleh

Norfarihah (2009) adalah sebagai berikut:

1. Sikap dibentuk dan diperoleh sepanjang perkembangan seseorang dalam

hubungan dengan objek tertentu.

2. Sikap dapat berubah sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat tertentu

terhadap suatu kelompok.

3. Sikap dapat berupa suatu hal tertentu, tetapi dapat pula berupa kumpulan

dari hal-hal tersebut.

4. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan perasaan.

UNIVERSITAS SUMATERA
6

3) Praktek atau Tindakan (practice)

Sikap belum terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap

menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung, antara lain adalah

fasilitas. Tingkatan dari praktek ini adalah sebagai berikut:

a) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b) Respons terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

c) Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktek tingkat tiga.

d) Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktek tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi

kebenaran tindakan tersebut.

2.8 Landasan Teori

Perilaku merupakan sebuah fenomena yang rumit yang kadang sulit buat

dijabarkan. Berbagai macam teori perilaku beserta ahlinya bermunculan dan

berkembang untuk menjelaskan fenomena perilaku dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Masing-masing teori tentu saja mempunya kekuatan dan

UNIVERSITAS SUMATERA
6

kelemahan masing-masing, dari berbagai macam teori tersebut tidak ada satu teori

yang betul-betul dapat diterima dengan baik dan menggambarkan fenomena

secara universal, sehingga berbagai teori tersebut dapat digunakan dan

menjelaskan sesuai dengan fenomena yang ada di masyarakat (Glanz et. all,

2008). Salah satu teori yang sudah lama dikenal dan banyak digunakan adalah

teori perubahan perilaku menurut Green et al. (1980) teori ini dikenal dengan

nama PRECEDE yang merupakan singkatan dari Predisposing, Reinforcing, and

Enabling Constructs in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation.

Peta jalan menyajikan semua kemungkinan jalan, sedangkan teori menunjukkan

jalan tertentu untuk diikuti. Berbeda dengan teori yang lain, tujuan utama Model

PRECEDE bukan untuk memprediksi atau menjelaskan hubungan antar faktor

yang dianggap terkait dengan hasil yang menarik. Sebaliknya, tujuan utamanya

adalah menyediakan struktur untuk penerapannya teori dan konsep secara

sistematis untuk merencanakan dan mengevaluasi perilaku kesehatan, mengubah

program dalam model terbaru Green dan Kreuter versi terbaru (Green dan

Kreuter, 2005), mereka membuat titik bahwa banyak aplikasi dan validasi

dukungan PRECEDE sebagai model dan memenuhi syarat sebagai model teoritis

atau kausal dalam beberapa aplikasinya (Glanz et.al, 2008).

Pada Teori PROCEED ini menjelaskan bahwa secara umum ada 3 faktor

yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang, yaitu faktor predisposisi,

faktor pendorong (enabling) dan faktor penguat (reinforcing). Masing-masing

faktor tersebut mempunya pengaruh yang berbeda untuk terjadinya sebuah

perilaku (Green at al., 1980).

UNIVERSITAS SUMATERA
6

Faktor predisposisi adalah faktor yang mendahului/mengawali

terbentuknya sebuah perilaku, atau bisa disebutkan merupakan faktor yang

menjadi motivasi terbentuknya sebuah perilaku. Termasuk ke dalam faktor

predisposisi adalah pengetahuan, sikap, nilai, persepsi dan kepercayaan. Secara

umum dapat dikatakan bahwa faktor predisposisi ini merupakan kecendrungan

pribadi untuk melakukan sesuatu. Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor

predisposisi ini dapat dikatakan sebagai pendorong dan penghambat secara

langsung terbentuknya sebuah perilaku. Dalam beberapa kasus di masyarakat,

faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, dan latar belakang keluarga juga

menjadi faktor yang menentukan terbentuknya perilaku (Green et al. 1980).

Faktor pemungkin/pendorong (enabling) adalah faktor yang mendahului

untuk perujudan dari motivasi dan aspirasi yang sudah ada. Faktor pendorong

merupakan skil (keahlian) dan sumber-sumber pendukung yang diperlukan untuk

terbentuknya sebuah perilaku. Sumber-sumber daya tersebut seperti fasilitas

pelayanan kesehatan, kemampuan/skill petugas kesehatan, gedung tempat

pelayanan atau sumber-sumber lain yang berperan pada pelayanan kesehatan.

Fakor biaya, jarak, akses kepada pelayanan, transportasi juga termasuk ke dalam

faktor ini, termasuk keterampilan pribadi dan sumber daya serta sumber daya

masyarakat (Green et al. (1980).

Faktor penguat adalah faktor-faktor yang menentukan dan menunjang dan

mempertahankan perilaku kesehatan yang sudah mulai ada. Faktor yang

kesehatanyang berperan dalam perilaku yang memberikan menyediakan, insentif,

atau hukuman yang terus berlanjut untuk suatu perilaku dan berkontribusi pada

UNIVERSITAS SUMATERA
7

ketekunan atau kepunahannya, termasuk manfaat sosial serta fisik dan

penghargaan tangibel serta imajinasi atau perwakilan (Green et al. (1980).

PRECEDE adalah model perencanaan yang banyak digunakan yang telah

memandu desain program dalam beragam pengaturan dan untuk banyak masalah

kesehatan, modelnya juga dimasukkan ke dalam dokumen kebijakan nasional

untuk kesehatan masyarakat. Setelah fase berurutan PRECEDE membantu

memastikan program pembangunan itu dapat direplikasi dan fase-fase dalam

proses dapat didokumentasikan untuk kritik selanjutnya, ini juga memberikan

poin penting untuk menerapkan teori perilaku kesehatan. Pada setiap tahap,

bijaksana untuk mempertimbangkan dampak analisis baru terhadap keputusan

sebelumnya. Perencanaan program biasanya merupakan proses berulang dimana

keputusan sebelumnya perilaku kesehatan dan pendidikan kesehatan terus

dievaluasi berdasarkan data baru, sumber daya, dan keputusan lainnya,

sebagaimana adanya diilustrasikan dalam studi kasus. Model PRECEDE dapat

digunakan untuk meningkatkan evaluasi masalah kesehatan, perilaku kesehatan,

dan perubahan yang diinginkan dan dapat berfungsi sebagai panduan untuk

perencanaan dan evaluasi intervensi. Model ini memberikan terstruktur kerangka

kerja untuk menerapkan teori perilaku kesehatan di semua tingkatan. Konsisten

dengan prinsip penelitian partisipatif berbasis masyarakat, model ini menekankan

masyarakat partisipasi dalam memilih prioritas perilaku atau isu yang harus

ditangani. Akhirnya, kerangka kerja mendorong pendekatan multidisiplin dan

penilaian komprehensif dari beberapa faktor yang berkontribusi terhadap masalah

kesehatan masyarakat saat ini. Kerangka PRECEDE dengan fokus pada

UNIVERSITAS SUMATERA
7

kegunaannya untuk mengintegrasikan teori ke dalam perencanaan program

promosi kesehatan. PRECEDE memberikan pendekatan yang sistematis untuk

prioritas menetapkan berbagai faktor penentu dari banyak masalah kesehatan

kompleks saat ini dan pilihan untuk intervensi. Secara skematis dapat

digambarkan penerapan teori penatalaksanakan diabetes dengan Teori Perilaku

Green.

Predisposing Factors Knowledge and perceptions about diabetes Diabetes


health beliefs Self-image

Enabling Factors
Skills
Project Sugar 1 Interventions to conduct
Nurse glucoseclinic
case manager visitsBehaviors
monitoring and foot care
Community health worker home visits Telephone follow-up Prima
Health
Foot care
Access to supplies Difficulty controlling diabetes Problem
Blood
HbA1c
glucose self-
Blood
monitoring
pressure
Medication
Lipids
adherence
Weight
Dietary
Health
adherence
status
Physical
activity

Diabetes
related
complications
Reinforcing Factors
Primary care
physician advice
Family
social support

Gambar 2.1 Application of PRECEDE to Diabetes Care and Self-Management


Interventions (Green et al.,1980).

UNIVERSITAS SUMATERA
7

2.9 Kerangka Konsep

Berikut ini adalah kerangka konsep penelitian yang dikembangkan untuk

mendapatkan perilaku self care dan kaitannya dengan kualitas hidup pasien

diabetes.

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Psikologis
Kesehatan Fisik
Pengetahuan
Hubungan Sosial
Sikap

Motivasi Lingkungan
Kualitas
Hidup

Efikasi diri

Komunikasi
Dokter Pasien Perilaku Kontrol Metabolik
Self Care

Pembiyaan
Kesehatan
HbA1C
Dukungan Sosial
Kontrol Lipid
KGD

Total Kolesterol

Keterangan:
Variabel laten Trigliserida

Variabel Indikator
HDL
Pengaruh Dibentuk
LDL

UNIVERSITAS SUMATERA
7

Penjelasan Kerangka Konsep Penelitian:

1. Perilaku self care pasien pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai merupakan

perilaku mandiri dalam mengelola penyakitnya. Terbentuknya perilaku

self care tersebut memerlukan waktu panjang serta banyak faktor yang

memengaruhinya. Berdasarkan teori perubahan perilaku oleh Green dkk

(1980), faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

yaitu faktor predisiposisi, faktor pemungkin/penguat dan faktor

pendorong.

2. Perilaku Self care merupakan variabel laten eksogen (variabel

independen). Variabel laten merupakan variabel yang unobserved atau

variabel yang tidak dapat diukur secara langsung.

3. Untuk mengukur perilaku Self care dibutuhkan variabel indikator

(observed variabel) yang dapat diukur secara langsung dengan

menggunakan kuisioner. Variabel indikator pada penelitian ini adalah:

pengetahuan, sikap, motivasi, efikasi diri, komunikasi pembiayaan dan

dukungan sosial.

4. Perilaku self care pasien diabetes yang telah diukur kemudian dianalis

untuk mengetahui pengaruhnnya terhadap kualitas hidup, kontrol

metabolik dan kontrol lipid pasien diabetes.

5. Kualitas hidup, kontrol metabolik dan kontrol lipid merupakan variabel

laten endogen (variabel dependen).

6. Kualitas hidup terdiri dari empat indicator/domain: yaitu kesehatan fisik,

psikologis, hubungan sosial dan lingkungan yang diukur menggunakan

UNIVERSITAS SUMATERA
7

kuisioner. Kontrol metabolik mempunyai indikator yaitu: Kadar Gula

Darah (KGD) dan kadar HbA1C. Kontrol lipid mempunyai empat

indikator, yaitu: Total Kolesterol, HDL Kolesterol, LDL Kolesterol dan

Trigliserid. Kedua indikator ini dinilai dari hasil pemeriksaan darah pasien

DM Tipe 2.

UNIVERSITAS SUMATERA
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross

sectional. Penelitian ini bertujuan merancang desain model perilaku self care

pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai dan menganalisis model perilaku self care

tersebut dengan kualitas hidup, kontrol metabolik, dan kontrol lipid pasien DM

Tipe 2 di kota Binjai. Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) langkah penelitian.

Langkah pertama merancang desain model perilaku self care. Desain model ini

dibuat bertujuan untuk mendapatkan model yang sesuai dengan karakteristik

masyarakat Indonesia khususnya Kota Binjai, instrumen tersebut dibuat

berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang sebelumnya dan teori yang

mendukung. Langkah kedua adalah untuk menganalisis pengaruh model

perilaku self care yang telah dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dengan

kualitas hidupnya (QoL) dan kotrol metabolik dan kontrol lipid pasien DM Tipe 2

di Kota Binjai. Hasil penelitian ini pada akhirnya menghasilkan sebuah model

perilaku self care pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai serta pengaruh model tersebut

terhadap kualitas hidup, kontrol metabolik, kontrol lipid.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di delapan puskesmas di Kota Binjai. Pengambilan

data dilakukan selama 1 (satu) bulan.

7
UNIVERSITAS SUMATERA
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien penderita Diabetes

melitus Tipe 2 yang datang berobat jalan di 8 (delapan) puskesmas induk yang

ada di Kota Binjai, dengan kriteria sebagai berikut :

Kriteria Inklusi :

1. Pasien diabetes yang tercatat di puskesmas dan kontrol ke 8 puskesmas di

Kota Binjai

2. Pasien datang ke puskesmas secara mandiri tanpa bantuan orang lain

3. Pasien berumur 40-65 tahun

4. Bersedia secara sukarela dan berkomitmen mengikuti penelitian.

Kriteria Eksklusi:

1. Diabetes pada wanita hamil atau menyusui

2. Pasien diabetes yang terjadi komplikasi yang mempunya dampak

gangguan aktivitas fisik, mental dan emosional.

3. Pasien yang tidak bisa bekerja sama selama penelitian dilakukan.

3.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien diabetes yang datang ke

8 (delapan) puskesmas induk di kota Binjai.

a. Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel dengan consecutive sampling, dimana semua

pasien diabetes yang memenuhi kriteria dimasukkan sebagai responden peserta

penelitian.

7
UNIVERSITAS SUMATERA
b. Besar Sampel

Pada penggunaan Structural Equation Model (SEM) dibutuhkan besar

sampel yang besar agar hasil yang didapat mempunyai kredibilitas yang cukup

(trustworthy results), Beberapa pertimbangan dalam penentuan sampel adalah

data terdistribusi normal, untuk mengurangi dampak tidak terdistribusi normal

sebuah distribusi data, digunakan besar sampel yang besar. Berdasarkan hal

tersebut, secara umum besar sampel yang diperlukan untuk model SEM dengan

besar variabel laten sampai dengan 5 buah, dan setiap variabel laten dijelaskan

oleh 3 atau lebih indikator, maka dibutuhkan besar sampel 100-150 data. Namun

untuk model yang sangat kompleks, dengan lebih dari enam variabel laten, besar

sampel 200 data dapat diterima sebagai sampel yang representatif pada analisa

SEM. Pada penelitian ini ditentukan besar sampel penelitian adalah 115 orang.

3.4 Metode Pengumpulan data

Ada 2 jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini, yaitu data primer

dan sekunder. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara

memakai kuesioner terstruktur dan pemeriksaan darah.

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari responden

dengan metode wawancara yaitu data dari aspek-aspek pembentuk perilaku Self

care dan kualitas hidup serta hasil pemeriksaan laboratorium penderita diabetes

(Kadar Hba1C, KGD dan profil Lemak).

7
UNIVERSITAS SUMATERA
3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari fasilitas pelayanan kesehatan primer. Data

sekunder dari dinas Kesehatan Kota Binjai dan data-data penderita DM Tipe 2 di

8 puskesmas induk di kota Binjai.

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional

Definisi operasional menjelaskan cara pengukuran dari variabel dependen

dan variabel independen. Defenisi operasional merupakan jembatan penghubung

mulai dari level teori hipotesis konstruk sampai level observasi dari variabel-

variabel. Defenisi operasional dari seluruh variabel akan dijelaskan secara

sistematis yaitu dengan menerangkan: definisi, cara ukur, alat ukur dan hasil

ukur.

7
UNIVERSITAS SUMATERA
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikator
Variabel Definisi Operasional Indikator / Cara Ukur Skala
Alat Ukur Ukur
Perilaku Tingkah laku seorang Dimensi perilaku self Wawancara Interval
Self Care pasien dalam merawat care yang hasil
dirinya agar dapat dikembangkan pengisian
mengontrol penyakit adalah berasal dari kuesioner
diabetes yang dideritanya faktor
serta mencegah predisposisi(pengeta-
komplikasi yang meliputi huan, sikap,
pengaturan makan, olah motivasi, efikasi
raga dan makan obat. diri), faktor
pemungkin
(komunikasi dan
pembiyaan) dan
faktor penguat
(dukungan sosial)
Kualitas Kondisi fisik, mental dan Dimensi kualitas Wawancara Interval
Hidup emosional pasien diabetes hidup adalah estimasi hasil
tipe 2 yang berhubungan derajat kesejahteraan pengisian
dengan penyakit yang yang berhubungan kuesioner
dideritanya sekarang ini. dengan status
kesehatan seseorang.
Meliputi dimensi
kesehatan fisik,
dimensi psikologis,
dimensi hubungan
sosial, dimensi
lingkungan
Kadar Kadar /jumlah glukosa Alat yang digunakan: Pengambilan Rasio
HbA1C yang berikatan dengan Premier Hb 9210, darah vena
Hemoglobin di dalam sel Metode Pemeriksaan dan langsung
darah merah pasien dengan diperiksa di
penderita DM Tipe 2 pada menggunakan laboratorium
saat dilakukan Metode afinitas
pemeriksaan Doronat + Metode
Modifikasi HPLC
KGD Jumlah gula atau kadar Alat yang digunakan: Pengambilan Rasio
gula yang beredar di Pentra 400, Metode darah vena
dalam darah pasien pemeriksaan dengan dan langsung
penderita DM Tipe 2 pada Spectrophotometer diperiksa di
saat dilakukan Colorimeter + Full laboratorium
pemeriksaan Automatic Method
Profil Kadar/jumlah lemak Alat yang digunakan: Pengambilan Rasio
Lemak yang berada dalam aliran Pentra 400, Metode darah vena
darah, meliputi kadar pemeriksaan dengan dan langsung
Cholesterol, HDL, LDL Spectrophotometer diperiksa di
dan Total Cholesterol Colorimeter + Full laboratorium
Automatic Method

7
UNIVERSITAS SUMATERA
Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel Sosio demografi
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Skala Ukur/
Ukur Hasil Ukur
Usia Lama hidup responden Wawancara Kuesioner Rasio
berdasarkan tanggal
lahir, dihitung sampai
ulang tahun terakhir.
Jenis Perbedaan gender Wawancara Kuesioner Nominal
Kelamin responden 1. Laki-laki
2. Perempuan
Pendidikan Pendidikan formal Wawancara Kuesioner Ordinal
terakhir yang 1. Tidak sekolah
ditamatkan responden. 2. SD
3. SMP
4. SMA
5. PT
Status Status pernikahan Wawancara Kuesioner Nominal
Pernikahan responden saat 1. Menikah
penelitian 2. Belum Menikah
3. Janda/ Duda
Pekerjaan Aktivitas sehari-hari Wawancara Kuesioner Nominal
yang dilakukan untuk 1. Tidak Bekerja/
memenuhi kebutuhan IRT
hidup/keluarga 2. Swasta
3. Buruh
4. PNS/TNI/
POLRI
5. Lain-lain
Penghasila Tingkat sosial ekonomi Wawancara Kuesioner Ordinal
n/Status pasien berdasarkan 1. Rendah:
Sosial jumlah penghasilan <Rp.2.037.000
keluarga / bulan 2. Cukup:
berdasarkan UMR di Rp.2.037.000 -
Kota Binjai Rp.4.000.000

3. Tinggi:
>Rp.4.000.000
Suku Etnik responden yang Wawancara Kuesioner Nominal
berbeda berdasarkan 1. Batak
keunikan budaya 2. Mandailing
tersendiri yang lazim 3. Jawa
di masyarakat 4. Melayu
Indonesia 5. Minang
6. Aceh
7. Dll
Wawancara Kuesioner Ordinal
Lama Sakit Rentang waktu 1. <5 tahun
menderita diabetes, 2. 5-10 tahun
dihitung semenjak 3. >10 tahun
pertama kali didiagnosis

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.6. Metode Pengukuran

Instrumen pada penelitian ini terdiri dari:

a. Instrumen perilaku self care: merupakan pengetahuan, sikap, komunikasi,

pembiayaan, dukungan keluarga, motivasi dan efikasi diri. Teknik

pengukuran dari komponen tersebut adalah menggunakan skala Likert

dengan 5 pilihan jawaban, adapaun skor untuk pilhan jawaban adalah

untuk pernytaan positif : skor 5 = untuk jawaban sangat setuju, skor 4 =

setuju, skor 3 = netral/tidak tahu, skor 2 = tidak setuju dan skor 1= sangat

tidak setuju. Untuk pernyataan negatif kebalikannya yaitu skor 5 = untuk

jawaban sangat tidak setuju, skor 4 = tidak setuju, skor 3 = netral/tidak

tahu, skor 2 = setuju dan skor 1= sangat setuju.

b. Instrumen kualitas hidup. Instrumen ini terdiri dari dimensi kesehatan

fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Penilaian skor kualitas

hidup mempunyai rentang 1-5. Skor yang paling tinggi (5) menunjukkan

pasien tidak pernah terganggu kualitas hidupnya.

c. Instrumen kontrol metabolik yang diukur dengan data rasio berdasarkan

hasil pengukuran pada pasien menggunakan indikator KGD dan HbA1C

d. Instrumen kontrol lipid yang juga diukur dengan data rasio berdasarkan

hasil pengukuran pada pasien dengan menggunakan indikator HDL, LDL,

TG dan TC

e. Instrumen karakteristik sosio demografi, meliputi umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan dan suku

bangsa.

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.6.1 Pengujian Validitas Instrumen

Pengujian validitas dilakukan terhadap model perilaku self care yang telah

dirumuskan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Pengujian dilakukan

kepada pasien DM Tipe 2 yang mempunyai karakteristik yang sama dengan

subjek penelitian sebanyak 30 orang. Pengujian validitas dilakukan dengan

mengkorelasikan skor setiap item pertanyaan dengan skor total variabel. Ukuran

keterkaitan antar butir pertanyaan ini umumnya dicerminkan oleh korelasi

jawaban antar pertanyaan (nilai r≤0,03) (Sugiono, 2002). Pertanyaan yang

memiliki korelasi rendah dengan butir pertanyaan yang lain, dinyatakan sebagai

pertanyaan yang tidak valid. Metode yang digunakan untuk memberikan penilaian

terhadap validitas konstrak adalah korelasi produk momen (Moment product

correlation/Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor

total, sehingga sering disebut inter item-total correlation.

3.6.2 Pengujian Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Setiap alat pengukur seharusnya

memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran relatif konsisten dari

waktu ke waktu. Menentukan reliabilitas bisa dilihat dari nilai Alpha jika nilai

Alpha lebih besar dari nilai r tabel maka bisa dikatakan reliabel. Ada juga yang

berpendapat reliabel jika nilai r≥0,60. Untuk mengetahui sejauh mana konsistensi

hasil penelitian jika kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka dilakukan

uji reliabilitas terhadap kuesioner yang telah dipersiapkan dengan rumus Koefisien

Reliabilitas Alpha (Sugiono, 2002).

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.6.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum dilakukan

pengambilan data penelitian. Pengujian tersebut dilakukan kepada pasien DM

Tipe 2 yang mempunyai karakteristik yang sama dengan subjek penelitian

sebanyak 30 orang. Berikut disampaikan hasil uji validitas dan reliabiltas

instrumen perilaku self care pasien DM Tipe 2.

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Self care

Variabel Variabel Terukur Nilai Ket


Bentukan r
Sikap X1.1a Pasien DM punya peran besar dalam 0.563 Valid
(X1.1) mengontrol penyakitnya
X1.1b Pasien yang aktif mengontrol penyakitnya 0.622 Valid
akan terhindar dari komplikasi
X1.1c Olah raga dapat dilakukan sesuai dengan 0.787 Valid
ketersediaan waktu
X1.1d Olah raga dapat dilakukan di mana saja 0.892 Valid
dan jenis yang kita suka
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.870 (Reliabel)
X1.2a Saya merasa senang jika melakukan apa yang 0.593 Valid
disarankan dokter
Motivasi X1.2b Saya senang jika gula darah saya berada dalam 0.512 Valid
(X1.2) rentang yang normal
X1.2c Saya ingin orang lain melihat bahwa saya 0.730 Valid
dapat mengontrol makanan saya dan saya tetap
fit
X1.2d Saya merasa bersalah jika saya tidak 0.664 Valid
mengontrol makanan
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.792 (Reliabel)
X1.3a Saya mampu memilih makanan yang benar 0.830 Valid

Efikasi X1.3b Saya mampu mengikuti aturan makan 0.693 Valid


Diri yang sehat dari waktu ke waktu
(X1.3) X1.3c Saya mampu mengikuti pola makan sehat 0.741 Valid
ketika saya menghadiri suatu pesta
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.877 (Reliabel)

8
UNIVERSITAS SUMATERA
Tabel 3.3 (Lanjutan)

Variabel Variabel Terukur Nilai Ket


Bentukan r
X1.4a DM penyakit keturunan 0.866 Valid
Pengetahu- X1.4b Penyakit DM dapat disembuhkan 0.934 Valid
an X1.4c Gejala peningkatan KGemetar dan berkeringat 0.866 Valid
(X1.4) adalah tanda-tanda peningkatan gula darah
X1.4d Sering buang air kecil dan haus adalah tanda- 0.866 Valid
tanda gula darah rendah
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.670 (Reliabel)
X1.5a Dokter yang merawat saya memberikan 0.895 Valid
informasi mengenai pentingnya mengontrol
kadar gula darah
X1.5b Dokter yang merawat saya memberikan 0.845 Valid
Komunikasi informasi mengenai pengaturan makanan
(X1.5) (diet) untuk dapat mengontrol KGD
X1.5c Dokter yang merawat saya memberikan 0.837 Valid
informasi mengenai latihan fisik/olah
raga yang dapat mengontrol KGD
X1.5d Dokter yang merawat saya memberikan 0.886 Valid
informasi mengenai dosis obat yang harus
saya konsumsi setiap hari
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.967 (Reliabel)
X1.6a Saya dapat kontrol dengan teratur dan bertemu 0.693 Valid
dengan dokter sesui dengan jadwal nya tanpa
kuatir biaya yang harus saya keluarkan
X1.6b Saya mempunyai tabungan khusus untuk 0.674 Valid
Pembiayaan kesehatan saya
(X1.6) X1.6c Saya mempunyai asuransi untuk kesehatan 0.706 Valid
X1.6d Saya jarang berjumpa dokter karena saya harus 0.645 Valid
menyiapkan dana khusus terlebih dahulu
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.676 (Reliabel)
Dukungan X1.7a Pasangan/keluarga saya selalu 0.785 Valid
Keluarga mendampingi saya setiap konsul dengan
(X1.7) dokter 0.842 Valid
X1.7b Pasangan/keluarga selalu mengingatkan
saya untuk makan obat setiap hari 0.911 Valid
X1.7c Pasangan/keluarga saya selalu
mengawasi makanan yang saya konsumsi 0.872 Valid
X1.7d Pasangan/keluarga saya perhatian
dengan semua keluhan yang saya alami
Koefisien Reliabilitas (Cronbach Alpha) = 0.892 (Reliabel)

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.7 Etika Penelitian

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu harus

membuat lembar penjelasan yang jujur dan terbuka tentang prosedur, tujuan,

keuntungan, dan kerugian yang dapat terjadi selama penelitian berlangsung

kepada responden penelitian, kemudian dinilai dan ditelaah oleh komisi Etika

Penelitian Kesehatan FK USU. Hal ini diperlukan untuk memperoleh Persetujuan

Etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etika Penelitian Kesehatan FK USU

(Ethical Clearance terlampir). Keikut-sertaan responden bersifat sukarela dan

mereka berhak tidak bersedia atau mengundurkan diri selama proses

pengumpulan data berlangsung. Apabila responden bersedia maka calon

responden menanda tangani surat persetujuan mengikuti penelitian (inform

consent) (terlampir). Kerahasiaan responden dijamin oleh peneliti dan data-data

yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini.

Selama penelitian berlangsung, segala pembiayaan adalah tanggung jawab

peneliti dan tidak membebani responden.

3.8 Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan untuk menjawab pengujian hipotesis

menggunakan statistik deskriptif dan analisis Struktural Equation Model (SEM).

Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini akan menggunakan bantuan

teknologi komputer yaitu Amos 16.0 dan SPSS 18.0.

3.8.1 Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran

mengenai karakteristik responden dan jawaban dari responden penelitian

8
UNIVERSITAS SUMATERA
mengenai bagaimana tanggapan pasien terhadap bentuk self care mereka kepada

penyakit diabetes mellitus dan kemudian bagaimana tanggapan serta aksi mereka

yang tergambar dari kualitas hidup mereka, kontrol metabolik dan kontrol lipid

yang harus dipenuhi

3.8.2 Structural Equation Model (SEM)

Structural Equation Model (SEM) adalah sekumpulan teknik-teknik

statistikal yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif

rumit secara simultan (Ferdinand, 2006). Langkah-langkah pembentukan model

persamaan struktural (SEM) adalah sebagai berikut :

1) Pengembangan model berbasis teori

2) Pengembangan diagram jalur untuk menunjukkan hubungan kausalitas

3) Konversi diagram jalur ke dalam serangkaian persamaan structural dan

spesifikasi model pengukuran

4) Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas model yang dibangun

5) Menilai masalah identifikasi

6) Evaluasi model dengan kriteria goodness-of-fit

7) Interpretasi dan modifikasi model

3.9 Pengembangan Model Teoritis dan Diagram Jalur

3.9.1 Pengembangan Model Teoritis

Pengembangan model persamaan struktural (SEM) harus berdasarkan pada

hubungan kausalitas yang memiliki justifikasi teori yang kuat. Keyakinan atas

hubungan kausalitas dengan anggapan adanya hubungan sebab akibat antara dua

variabel atau lebih, didasarkan pada justifikasi teoritis yang mapan.

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.9.2 Pengembangan Diagram Jalur

Pengembangan diagram jalur bertujuan untuk menggambarkan hubungan

kausalitas yang ingin diuji. Biasanya hubungan kausalitas dinyatakan dalam

bentuk persamaan. Dalam model persamaan struktural, hubungan kausalitas itu

cukup digambarkan dalam sebuah diagram jalur, selanjutnya bahasa program akan

mengkonversi gambar menjadi persamaan dan persamaan menjadi estimasi

(Ferdinand, 2006).

Skema analisis model penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. di

bawah ini:

Gambar 3.1 Skema Analisis Model Penelitian

8
UNIVERSITAS SUMATERA
3.9.3 Konversi Diagram Jalur ke dalam Persamaan

Setelah model teoritis digambarkan dalam diagram jalur, spesifikasi model

tersebut ke dalam rangkaian persamaan. Persamaan yang dibangun terdiri dari :

persamaan struktural dan persamaan spesifikasi model pengukuran. Persamaan

struktural dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antara berbagai

konstrak. Spesifikasi model pengukuran dibangun untuk menentukan variabel

tertentu untuk mengukur konstrak tertentu dan menentukan serangkaian matrik

yang menunjukkan korelasi yang dihipotesiskan antara konstrak atau variabel.

Tabel 3.4 Model Persamaan


Konsep Eksogenous Konsep Endogenous
Selfcare1 = λ1 selfcare + e1 Qol1 = λ8 qol + e8
Selfcare2= λ2 selfcare + e2 Qol2 = λ9 qol + e9
Selfcare3= λ3 selfcare + e3 Qol3 = λ10 qol + e10
Selfcare4= λ4 selfcare + e4 Qol4 = λ11 qol + e11
Selfcare5= λ5 selfcare + e5 MET1 = λ12 metabolik + e12
Selfcare6= λ6 selfcare + e6 MET2 = λ13 metabolik + e13
Selfcare7= λ7 selfcare + e7 LIP1 = λ14 lipid + e14
LIP2 = λ15 lipid + e15
LIP3 = λ16 lipid + e16
LIP4 = λ17 lipid + e17
Model Struktural
Selfcare : £1 qol + £2 metabolik + £3 lipid + e18

3.9.4 Memilih Matriks Input dan Estimasi Model

Pemodelan dan estimasi SEM hanya menggunakan matriks

varian/kovarian atau matriks korelasi sebagai data input untuk keseluruhan

estimasi yang dilakukan. Data observasi individual akan segera dikonversi ke

dalam bentuk matriks kovarian atau matriks korelasi sebelum estimasi dilakukan.

Dalam memilih matriks input sebaiknya memilih matriks kovarian, sebab standart

error yang dilaporkan matriks kovarian lebih akurat dan lebih sesuai untuk

8
UNIVERSITAS SUMATERA
memvalidasi hubungan kausalitas dibanding dengan matriks korelasi. Setelah

memilih matriks input, dilanjutkan dengan pemilihan teknik estimasi model.

3.9.5 Menilai Masalah Identifikasi

Salah satu masalah yang dihadapi penggunaan program komputer untuk

estimasi model kausalitas adalah masalah identifikasi. Masalah identifikasi pada

prinsipnya adalah masalah ketidakmampuan dari model yang dikembangkan

untuk menghasilkan estimasi yang unik. Apabila ditemukan masalah identifikasi,

satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menambah

konstrain pada model yang dianalisis, hal ini berarti mengeliminasi jumlah

estimated coefficients.

3.9.6 Evaluasi Model dengan Kriteria Goodness-of-fit

Pada langkah ini kesesuaian model perlu dievaluasi dengan berbagai

kriteria goodness-of-fit. Sebelum model diuji, langkah pertama yang perlu

dilakukan adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memenuhi

asumsi-asumsi SEM.

Dalam model persamaan struktural digunakan asumsi sebagai berikut:

a) Ukuran sampel adalah minimum 5 (lima) kali parameter yang diestimasi

b) Evaluasi atas asumsi normalitas dalam data dengan z score. Bila z score lebih

besar dari nilai kritis, maka dapat diduga bahwa distribusi data adalah tidak

normal. Nilai kritis dapat ditentukan berdasarkan tingkat signifikansi yang

dikehendaki.

c) Evaluasi atas outlier dengan mengamati kasus atau observasi yang

mempunyai nilai Z-score  3,0 akan dikategorikan sebagai outlier. Sedangkan

8
UNIVERSITAS SUMATERA
multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan kriteria Jarak

Mahalanobis pada tingkat p< 0,001. Jarak diuji dengan Chi-Square (2) pada

df sebesar jumlah variabel bebasnya. Ketentuan bila Mahalanobis > dari nilai

2 adalah multivariate outlier (Hair,1995).

d) Evaluasi terhadap multicollinearity dan singularity dengan mengamati

determinan matriks kovarians. Dengan ketentuan apabila determinan sampel

kovarians mendekati angka nol (kecil) mengindikasikan adanya

multikolinearitas atau singularitas.

e) Bila asumsi SEM telah dipenuhi, model dapat diuji melalui berbagai cara uji

kriteria goodness-of-fit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.5, yaitu:

Tabel 3.5 Goodness of Fit Indices


Cut-
Goodness-of-fit index off
Keterangan
Value
X2 – Chi Square Diharapkan Menguji apakah model sesuai dengan data
kecil
Significance of probability  0,05 Uji signifikansi perbedaan antara matriks
covariance data dan matriks covariance yang
diestimasi
The Root Mean Square Error Mengkompensasi kelemahan Chi-Square pada
of Approximation (RMSEA)  0,08 sampel besar (Hair, 1995)
Goodness-of-fit index (GFI)  0,90 Menghitung proporsi tertimbang varians dalam
matriks sampel yang dijelaskan oleh matriks
covariance populasi yang diestimasi (analog
dengan R2 dalam regresi berganda)
(Bentler,1983)
Adjusted Goodness-of-fit  0,90 GFI yang disesuaikan terhadap degree of
Index (AGFI) freedom (df) (Arbuckle,1997)
The Minimum Sampel
Discrepancy Function dibagi  2,00 Kesesuaian antara data dengan model
degree of freedom
(CMIN/df)
Tucker Lewis Index (TLI)  0,95 Perbandingan antara model yang diuji dengan
baseline model (Hair,1995;Arbuckle,1997)
Comparative Fit Index (CFI)  0,95 Uji kelayakan model yang tidak sensitif
terhadap besar sampel dan kerumitan model
(Arbuckle,1997)
Sumber : Diolah dari Latan (2013)

9
UNIVERSITAS SUMATERA
Setelah kesesuaian model diuji, evaluasi lain yang harus dilakukan adalah

penilaian validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk memastikan

bahwa masing-masing pertanyaan akan terklasifikasi pada variabel-variabel yang

telah ditetapkan. Sedangkan uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh

mana hasil pengukuran tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran dua kali

atau lebih terhadap pertanyaan yang sama dengan menggunakan alat ukur yang

sama juga. Instrumen yang dipakai dengan menggunakan formula alpha

cronbach. Suatu instrumen dikatakan valid apabila memiliki alpha cronbach

lebih dari 0,60.

3.9.7 Interpretasi dan Modifikasi Model

Langkah terakhir adalah menginterpretasikan model dan memodifikasi

model yang tidak memenuhi syarat pengujian. Hair et al., (1995) memberi

pedoman untuk mempertimbangkan perlu tidaknya melakukan modifikasi pada

sebuah model, yaitu dengan cara melihat jumlah residual yang dihasilkan oleh

model tersebut. Batas keamanan untuk jumlah residual adalah 5%. Bila jumlah

residual dari semua kovarian lebih besar dari 5% maka modifikasi model perlu

dipertimbangkan. Namun apabila nilai residual yang dihasilkan oleh model lebih

besar dari 2,58 maka perlu mempertimbangkan untuk menambah jalur baru

terhadap model yang diestimasi.

91

UNIVERSITAS SUMATERA
9

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Binjai. Kota Binjai mempunyai letak

geografis Binjai 03°03’40” – 03°40’02” LU dan 98°27’03” – 98°39’32” BT.

Ketinggian rata-rata adalah 28 meter di atas permukaan laut. Kota Binjai sebagai

salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari

Pusat Kota Medan (± 30 menit perjalanan), bahkan batas terluar Kota Binjai

dengan batas terluar Kota Medan hanya berjarak ± 8 Km. Kota Binjai berbatasan

sebelah Utara dengan Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dan Kecamatan

Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, Selatan dengan Kabupaten

Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, sebelah Barat dengan Kabupaten Langkat,

Timur dengan Kabupaten Deli Serdang.

Kota Binjai yang memiliki luas 9.023,62 Ha (± 90,23 Km2) terdiri dari 5

(lima) Kecamatan yaitu Kecamatan Binjai Selatan, Binjai Kota, Binjai

Timur, Binjai Utara, dan Binjai Barat dengan 37 kelurahan dan jumlah penduduk

keseluruhan sejumlah 261.490 jiwa, terdiri dari 130.551 laki-laki dan 130.939

perempuan dengan kepadatan penduduk 2.898 jiwa/km2 dan rata-rata 4,34 jiwa

per rumah tangga (data tahun 2014). Penduduk Binjai terdiri dari berbagai etnis

antara lain Melayu, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak

Simalungun, Jawa, Banten, Minang, Aceh, China dan India dengan pemeluk

agama mayoritas Islam dan yang mempunyai kesadaran politik dan keamanan

yang cukup tinggi, sehingga mendukung kondisi keamanan yang sangat

92
UNIVERSITAS SUMATERA
93

kondusif. Kota Binjai sebagai kota jasa, perindustrian, perdagangan dan

pemukiman telah berupaya memacu laju pertumbuhan pembangunan ekonomi

Kota Binjai. Laju pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kota Binjai atas dasar harga berlaku tahun 2014 sebesar 11,36 %. Hal ini

menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu

sebesar 10,81% pada tahun 2013. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan

kesehatan masyarakat, Kota Binjai memiliki 8 Puskesmas yang terletak di lima

kecamatan, yaitu puskesmas Binjai Estate, Rambung, Binjai Kota, Tanah Tinggi,

Kebun Lada, Jati Makmur, H.A.H. Hasan, dan Bandar Senembah. Diantara

kedelapan puskesmas ini, Puskesmas Tanah Tinggi dan Puskesmas H.A.H. Hasan

merupakan puskesmas rawat inap yang juga melayani pelayanan spesialis di

puskesmas yaitu spesialis penyakit dalam, spesialis anak dan spesialis kebidanan.

4.2 Karakteristik Responden Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien DM Tipe 2 yang datang

berobat dan kontrol ke 8 puskesmas induk yang ada di Kota Binjai, penentuan

sampel berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sehingga dapat dikumpulkan

sampel sebanyak 113 orang. Untuk data karakteristik yang responden pada

penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, penghasilan,

status pernikan dan suku bangsa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

UNIVERSITAS SUMATERA
94

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien Diabetes di Kota Binjai

Karakteristik Frekuensi (orang) Persentase (%)


Kelompok Umur
Dewasa awal (26-35 tahun) 3 2,6
Dewasa akhir (36-45tahun) 9 7,8
Lansia awal (46-55 tahun) 39 33,9
Lansia akhir (56-65 tahun) 64 55,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 30 26,1
Perempuan 85 73,9
Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD 7 6,0
Tamat SD/sederajat 22 19,0
SLTP 28 24,3
SLTA 37 32,1
Akademi/PT 26 22,6
Pekerjaan
Pekerjaan tidak tetap/serabutan 58 50,4
Buruh 4 3,4
Petani 5 3,5
Wiraswasta 9 7,8
PNS 20 17,4
Lain-Lain 19 16,5
Penghasilan
<Rp. 2.037.000 58 50,4
Rp. 2.037.000- Rp. 4.000.000 36 31,3
>Rp. 4.000.000 21 18,3
Status Perkawinan
Menikah 89 77,4
Janda/Duda 26 22,6
Suku Bangsa
Jawa 51 44,4
Batak 9 7,8
Melayu 11 9,6
Padang 10 8,7
Banjar 3 2,6
Karo 8 6,9
Lain-Lain 23 20
Jumlah 115 100
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui kelompok usia terbanyak adalah

kelompok lansia akhir (56-65 tahun) dengan proporsi 55,7%.

UNIVERSITAS SUMATERA
95

Berdasarkan jenis kelamin pasien diabetes yang datang ke puskesmas

mayoritas adalah perempuan dengan proporsi 73,9%. Berdasarkan tingkat

pendidikan, paling banyak tingkat pendidikan pasien diabetes yang datang ke

puskesmas di Kota Binjai adalah SLTA dengan proporsi 32,1%. Berdasarkan

pekerjaan maka melalui survei diketahui bahwa pasien penyakit DM Tipe 2 di

Kota Binjai didominasi oleh pesien yang memiliki pekerjaan tidak tetap yaitu

sebanyak 50,4%. Berdasarkan tingkat pendapatan perbulan, paling banyak adalah

yang berpenghasilan dibawah UMR (<Rp.2.037.000,-) dengan proporsi 50,4%.

Mayoritas responden menikah dengan proporsi 77,4%. Kemudian mayoritas

pasien merupakan penduduk bersuku jawa dengan proporsi 44,4%.

4.3 Deskriptif Hasil Penelitian

4.3.1 Karakteristik Self care dan Dimensi Pembentuk Self care Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Kota Binjai

Tabel berikut menjelaskan karakteristik self care berdasarkan indikator

pembentuknya yaitu pengetahuan, sikap, komunikasi, dukungan keluarga,

pembiayaan, motivasi dan efikasi diri.

Tabel 4.2 Karakteristik Perilaku Self Care Pasien Diabetes di Kota Binjai

Perilaku Self care Jumlah Butir Pertanyaan


Pengetahuan 4
Sikap 4
Komunikasi 4
Pembiayaan 4
Dukungan Keluarga 4
Motivasi 4
Efikasi Diri 4
Total Perilaku Self care 28
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
96

Dari Tabel 4.2 dapat diketahui dimensi perilaku self care dibentuk dari 7

indikator/variabel yang masing-masing mempunyai pertanyaan-pertanyaan

dengan total seluruh pertanyaan berjumlah 28. Selanjutnya dimensi self care

ditetapkan menjadi dua kelompok yaitu baik dan kurang baik. Penentuan kategori

baik apabila total skor dari setiap indikator pembentuk self care berjumlah lebih

besar dari rata-rata skor setiap domain (data berdistribusi normal), dan penentuan

kategori kurang apabila mempunyai total skor setiap domain kurang dari nilai rata

setiap domain, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3 Distribusi Dimensi Perilaku Self care Pasien Diabetes

Dimensi Baik Kurang


Perilaku Self care n % n %
Pengetahuan 63 55 52 45
Sikap 67 58 48 42
Komunikasi 58 50 57 50
Pembiayaan 62 54 53 46
Dukungan Keluarga 78 68 37 32
Motivasi 82 71 33 29
Efikasi Diri 58 50 56 49
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Hasil Tabel 4.3 menunjukkan dimensi self care yang paling baik adalah

dimensi motivasi pasien dalam berobat (71%), sedangkan dimensi yang kecil

adalah efikasi diri dan komunikasi (50 %).

4.3.2 Karakteristik Kualitas Hidup dan Dimensi Kualitas Hidup Pasien


Diabetes Melitus Tipe 2 di Kota Binjai

Penilaian kualitas hidup menggunakan kuisioner WHOQoL yang menilai

kualitas yang terdiri dari domain kesehatan fisik, domain psikologikal, domain

kesehatan sosial, secara umum penilaian kualitas hidup pasien DM tipe 2 di Kota

UNIVERSITAS SUMATERA
97

Binjai dikempokkan berdasarkan tingkatannya, yaitu kualitas hidup sangat baik,

baik, sedang dan buruk, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.4 Distribusi Kategori Kualitas Hidup Pasien Diabetes

Kualitas Hidup Frekuensi (orang) Persentase (%)


Baik 4 3,5
Cukup 110 95,7
Kurang 1 0,9
Total 115 100
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Dari Tabel 4.4 di atas dapat diketahui mayoritas pasien DM Tipe 2 di Kota

Binjai memiliki kualitas hidup yang cukup yaitu sebanyak 110 orang (95,7%),

sedangkan terdapat satu orang (0,9%) yang mempunyai kualitas hidup kurang..

Penilaian kualitas hidup dengan WHOQol-BREF selain menilai kualitas hidup

secara umum juga dapat menilai kualitas hidup berdasarkan 4 domain, yaitu

domain kesehatan fisik, psikologis, sosial dan lingkungan, untul lebih jelasnya

dapat dilihat pada table di bawah ini:

Tabel 4.5 Distribusi Kualitas Hidup Berdasarkan Domain

Domain Kualitas Kualitas Hidup Kualitas Hidup Kualitas Hidup


Hidup Baik Cukup Kurang
n % n % n %
Fisik 25 21,7 88 76,5 2 1,7
Psikologis 51 44,3 63 54,8 1
0,9
Sosial 18 15,7 97 84,3 - -
Lingkungan
Sumber: Hasil Pengolahan 36 31,3
Data (2017) 79 68,7 - -

Dari hasil Tabel 4.5 berdasarkan keempat domain tersebut diketahui secara

umum kualitas hidup pasien diabetes berdasarkan domain fisik, psikologis, social

dan lingkungan berada pada kategori yang cukup yaitu sebanyak 88 orang

(76,5%) untuk domain fisik, sebanyak 63 orang (54,8%) untuk domain psikologis,

UNIVERSITAS SUMATERA
98

sebanyak 97 orang (84,3%) untuk domain sosial dan 79 orang (68,7%) untuk

domain lingkungan.

4.3.3 Kontrol Metabolik Pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai

Salah satu variabel yang menjadi penilaian penelitian ini adalah nilai

parameter kontrol metabolik sebagai hasil pemeriksaan yang objektif yang

berkaitan dengan perilaku self care pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai. Kontrol

metabolik yang diperiksa pada penelitian ini meliputi KGD adrandom (sesaat),

kadar HbA1C dan pemeriksaan profil lemak (Kolesterol Total, HDL Kolesterol,

LDL Kolesterol dan Trigliserida). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 4.6 Distribusi Nilai Parameter Kontrol Metabolik Pasien Diabetes

Kontrol Metabolik Rerata SD Nilai Nilai


Minimum Maksimum
KGD (mg/dL) 267,5 103,2 95,0 600,0
HbA1C (%) 9,9 2,3 4,9 15,5
Total Kolesterol (mg/dL) 219,5 42,8 115,0 385,0
LDL Kolesterol (mg/dL) 132,5 37,4 53,0 257,0
HDL Kolesterol (mg/dL) 45,7 12,4 25,0 91,0
Trigliserida (mg/dL) 207,6 113,9 54,0 753,0
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Hasil dari Tabel 4.6 dapat diketahui nilai rata-rata KGD 267.5 mg/dL,

HbA1C adalah 9.9 %, Total Kolesterol 219.5 mg/dL (hiperkolesterolemia), LDL:

132.5 mg/dL HDL: 45.7 mg/dL TG: 207.6 mg/dL.

UNIVERSITAS SUMATERA
99

4.4 Uji Asumsi SEM

Namun sebelum melakukan uji pada tahan Structural Equation Model maka

dipastikan terlebih dahulu bahwa data dan model yang uji sudah memenuhi

asumsi di antara outlier univariat dan multivariate serta asumsi normalitas dan

multikolinearitas dan singularitas. Berikut hasil ujinya, yaitu:

A. Uji Outlier. Uji outlier terdiri dari outlier univariat dan multivariat yang

dilakukan dengan mengamati nilai Z-score. Data dikatakan tidak terjadi

outlier jika memiliki nilai minimum dan maksimum Z-score kurang dari ± 3

(Ferdinan, 1999). Hasil asumsi outlier memperlihatkan bahwa secara

keseluruhan tidak ada nilai p2 yang lebih kecil nilainya daripada 0,001

sehingga kecil kemungkinan data mengandung ouliter (hasi asumsi outlier

terlampir)

B. Normalitas

Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh

mempunyai distribusi atau sebaran yang normal atau tidak. Jika data

berdistribusi normal maka uji hipotesis yang dilakukan adalah statistik

parametik, dan jika tidak berdistribusi normal maka dilakukan statistik non

parametrik. Uji normalitas pada AMOS diketahui dari nilai skewness dan

kurtosis. Data dikatakan berdistribusi normal jika mempunyai nilai CR

skewness dan kurtosis berada pada kisaran ±2,58 baik secara univariat maupun

multivariat.

Hasil uji normalitas menunjukkan jika menggunakan rule of thumb (petunjuk

praktis) dari Current et al., (1997) dalam Dachlan (2014) maka semua variabel

UNIVERSITAS SUMATERA
10

dalam model penelitian ini memenuhi asumsi normalitas univariat dan

multivariat. Data menunjukkan bahwa tidak ditemukan koefisien skewness

yang harga absolutnya lebih besar dari 3, dan juga tidak ditemukan koefisien

kurtosis yang harga absolutnya lebih besar dari 8. Untuk asumsi normalitas

multivariatenya diketahui harga absolut CR yang dihasilkan (2,404) tidak

lebih besar dari 2,580 sehingga dinyatakan data memenuhi asumsi normalitas

multivariat diterima. Jadi secara keseluruhan data berdistribusi normal (hasil

uji normalitas terlampir)

C. Uji Multikolineritas

Uji asumsi ini dapat dilakukan sekaligus dengan menguji confirmatory factor

analysis (CFA) pada setiap variabel yang digunakan pada model penelitian

ini, dan berikutnya melihat pada hasil uji nilai Goodness of Fit model.

Berdasarkan (Dachlan, 2014) menyebutkan bahwa pemeriksaan

multikolineritas dilakukan khususnya dalam rangka validasi model

pengukuran dalam analisis faktor konfirmatori (CFA). Selama ketentuan

normalitas multivariat terpenuhi maka uji SEM pada model dapat dilanjutkan

pada tahapan uji berikutnya.

4.5 Analisis Faktor Konfirmatori

Analisis faktor konfirmatori (CFA) digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk

menilai validitas dan reliabilitas instrumen dan menilai apakah suatu variabel

merupakan indikator yang baik (valid dan reliabel) atau tidak. Uji ini dilakukan

untuk melihat butir-butir pernyataan yang layak untuk dipergunakan dalam

mewakili variabel-variabel bebas dalam penelitian ini. Uji ini dilakukan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA
10

analisis faktor konfirmatori pada masing-masing variabel laten. Apabila nilai

loading factor pada indikator lebih dari nilai 0,30 (> 0,30) maka indikator dapat

digunakan untuk mengukur variabel latent tersebut (Ghozali, 2005).

Berdasarkan hasil uji konfirmatori, diperolah hasil uji validitas dan reliabilitas

konstruk atau variabel. Uji ini merupakan uji untuk memastikan indikator telah

membentuk satu kesatuan pada masing-masing variabel laten yang diwakilikan

dan dapat diterima dalam membentuk variabel yang diwakilkannya. Selain itu

bisa juga ditentukan berdasarkan nilai loding faktornya yang menunjukkan posisi

indikator diantara indikator lainnya dalam satu variabel. Uji validitas bisa dilihat

dari nilai probabilitas masing-masing indikator yang memenuhi nilai di bawah

nilai 0,05, dan untuk standar ketentuan uji reliabilitas dapat kita gunakan nilai CR

≥ 0,07 (Ghozali, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA
10

4.5.1 Analisis Faktor Konfirmatori Self care

Berikut ini adalah hasil uji konfirmatori variabel self-care, yaitu:

Gambar 4.1 Uji Konfirmatori Self care

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
10

Berikutnya adalah hasil uji validitas dan reliabilitas untuk variabel self care, pada

Tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7 Hasil Analisis Uji Data (Validitas dan Reliabilitas) Variabel Self Care
Standardized
C.R. P Keterangan
Loading
Pengetahuan <--- SC 0,876 2.092 0,036 Valid dan Reliabel
Sikap <--- SC 0,813 0,730 0,0001 Valid dan Reliabel
Motivasi <--- SC 1,056 4.335 0,0001 Valid dan Reliabel
Efikasi diri <--- SC 0,964 3.323 0,0001 Valid dan Reliabel
Komunikasi <--- SC 0,916 7.058 0,0001 Valid dan Reliabel
Pembaiyaan <--- SC 0,330 0.33 0,041 Valid dan Reliabel
Dukungan sosial <--- SC 0,320 0.578 0,003 Valid dan Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Data pada Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa seluruh indikator atau dalam

hal ini faktor yang membangun variabel self care dapat diterima atau dinyatakan

valid dan reliabel karena hasil uji memperlihatkan bahwa seluruh nilai p pada

setiap faktor dibawah nilai 0,05 (≤ 0,05) dan nilai CR pada maisng-masing

faktor/indikator yang membangun self care berada di atas 0,07 (≥0,07). Ketentuan

lain yang juga menyatakan bahwa indikator atau faktor pembentuk variabel self

care dinyatakan valid dan reliabel adalah seluruh nilai loding faktornya

(standardized loading) adalah di atas 0,03 (> 0,03). Sehingga seluruh faktor

diterima dan dinyatakan mampu mengukur variabel kualitas hidup dan akan

dimasukan dalam uji full model berikutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA
10

4.5.2 Analisis Faktor Konfirmatori Kualitas Hidup

Berikut ini adalah hasil uji konfirmatori variabel kualitas hidup, yaitu:

Gambar 4.2 Uji Konfirmatori Kualitas Hidup

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berikutnya adalah hasil uji validitas dan reliabilitas untuk variabel kualitas hidup,

pada Tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8 Hasil Analisis Uji Data (Validitas dan Reliabilitas) Variabel Kualitas
Hidup (Qol)

Standardized
C.R. P Keterangan
Loading
Psikologis <--- Qol 0,546 1,830 Valid dan
0,007 Reliabel

Sosial <--- Qol 0,997 7,020 Valid dan


0,0001 Reliabel
Valid dan
Lingkungan <--- Qol 0,992 4,333 0,0001 Reliabel
Valid dan
Fisik <--- Qol 0,979 9,515 0,0001 Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
10

Data pada Tabel 4.8 memperlihatkan bahwa seluruh indikator atau dalam

hal ini faktor yang membangun variabel kualitas hidup dapat diterima atau

dinyatakan valid dan reliabel karena hasil uji memperlihatkan bahwa seluruh nilai

p pada setiap faktor dibawah nilai 0,05 (≤ 0,05) dan nilai CR pada maisng-masing

faktor/indikator yang membangun kualitas hidup berada di atas 0,07 (≥0,07).

Ketentuan lain yang juga menyatakan bahwa indikator atau faktor pembentuk

variabel kualitas hidup dinyatakan valid dan reliabel adalah seluruh nilai loding

faktornya (standardized loading) adalah di atas 0,03 (> 0,03). Sehingga seluruh

faktor diterima dan dinyatakan mampu mengukur variabel kualitas hidup dan akan

dimasukan dalam uji full model berikutnya.

4.5.3 Analisis Faktor Konfirmatori Metabolik

Berikut ini adalah hasil uji konfirmatori variabel metabolik, yaitu:

Gambar 4.3 Uji Konfirmatori Metabolik

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
10

Berikutnya adalah hasil uji validitas dan reliabilitas untuk variabel kontrol

metabolik , pada Tabel 4.9 berikut:

Tabel 4.9 Hasil Analisis Uji Data (Validitas dan Reliabilitas) Variabel Kontrol
Metabolik

Standardized Loading C.R. P Keterangan


KGD <--- Met 0,411 6,276 Valid dan
0,0001 Reliabel
HBA1C <--- Met 1,534 5,692 Valid dan
0,0001 Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Data pada Tabel 4.9 memperlihatkan bahwa seluruh indikator yang

membangun variabel kontrol metabolik dapat diterima atau dinyatakan valid dan

reliabel karena hasil uji memperlihatkan bahwa seluruh nilai p pada setiap

indikator dibawah nilai 0,05 (≤ 0,05) dan nilai CR pada maisng-masing indikator

yang membangun kontrol metabolik berada di atas 0,07 (≥0,07). Ketentuan lain

yang juga menyatakan bahwa indikator pembentuk variabel kontrol metabolik

dinyatakan valid dan reliable adalah seluruh nilai loding faktornya (standardized

loading) adalah di atas 0,03 (> 0,03). Sehingga seluruh indikator diterima dan

dinyatakan mampu mengukur variabel kontrol metabolik dan akan dimasukan

dalam uji full model berikutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA
10

4.5.4 Analisis Faktor Konfirmatori Lipid

Berikut ini adalah hasil uji konfirmatori variabel lipid, yaitu:

Gambar 4.4 Uji Konfirmatori Lipid

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berikutnya adalah hasil uji validitas dan reliabilitas untuk variabel kontrol lipid,

pada Tabel 4.10, berikut:

Tabel 4.10 Hasil Analisis Uji Data (Validitas dan Reliabilitas)


Variabel Kontrol Lipid

Standardized
C.R. P Keterangan
Loading
HDL <--- Lipid 0,321 7,594 Valid dan
0,0001 Reliabel

LDL <--- Lipid 0,596 5,562 Valid dan


0,0001 Reliabel

TG <--- Lipid 0,811 6,911 Valid dan


0,0001 Reliabel
Valid dan
TC <--- Lipid 0,581 5,471 0,0001 Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
10

Data pada Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa seluruh indikator atau dalam hal ini

faktor yang membangun variabel kontrol lipid dapat diterima atau dinyatakan

valid dan reliabel karena hasil uji memperlihatkan bahwa seluruh nilai p pada

setiap indikator dibawah nilai 0,05 (≤ 0,05) dan nilai CR pada masing-masing

indikator yang membangun kontrol lipid berada di atas 0,07 (≥0,07). Ketentuan

lain yang juga menyatakan bahwa indikator pembentuk variabel kontrol lipid

dinyatakan valid dan reliabel adalah seluruh nilai loding faktornya (standardized

loading) adalah di atas 0,03 (> 0,03). Sehingga seluruh indikator diterima dan

dinyatakan mampu mengukur variabel kontrol lipid dan akan dimasukan dalam uji

full model berikutnya.

4.6 Analisis Structural Equation Model (SEM) Lengkap

Berikutnya adalah melakukan analisis struktural modal secara lengkap.

Setelah melakukan analisis konfirmatori dan diketahui model sudah fit, maka

masing-masing konstruk empiris (indikator) dapat digunakan untuk

mendefinisikan konstruk laten dan seluruh model.

Berikut ini model konsep penelitian secara lengkap yang telah diuji

dengan menggunakan AMOS. Hasil analisis pada AMOS dapat dilihat pada

Gambar berikut :

UNIVERSITAS SUMATERA
10

S
umber: Hasil Pengolahan Data (2017)
Gambar 4.5 Uji Model Struktural Sebelum Modifikasi

Berdasarkan gambar 4.5 maka diperoleh penjelasan untuk uji kelayakan

model berikut ini, yaitu:

Sumber: Hasil Pengolahan Data


Gambar 4.5 Uji Model Struktural Sebelum Modifikasi

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berdasarkan gambar 4.5 maka diperoleh penjelasan untuk uji kelayakan model

berikut ini, yaitu:

Tabel 4.11 Indeks Pengujian Kelayakan Model SEM Sebelum Modifikasi

Goodness of Fit
Cut-off Value Hasil Analisis Evaluasi Model
Index
χ2 - Chi-square Diharapkan kecil 1314 Tidak baik
Probability ≥ 0,05 0,0001 Tidak baik
RMSEA ≤ 0,08 0,100 Marginal
GFI ≥ 0,90 0,558 Tidak Baik
AGFI ≥ 0,90 0,518 Tidak baik
TLI ≥ 0,90 0,378 Tidak baik

UNIVERSITAS SUMATERA
11

Berdasarkan data pada Tabel 4.11 dilakukan analisis pengujian model dengan

menggunakan kriteria Goodness of Fit (GOF). Hasilnya menunjukkan bahwa GoF

model tersebut belum terpenuhi secara keseluruhan, dan disimpulkan model

belum fit dengan data yang digunakan oleh peneliti.

AMOS merekomendasikan untuk menghubungkan beberapa residual dari

beberapa indikator tersebut agar model menjadi fit dengan data menggunakan

panduan Tabel Modification Indices (tercantum dalam lampiran). Melalui Tabel

Modification Indices ini, dilakukan beberapa modifikasi kovarians model yaitu

dengan cara menghubungkan antar kovarian model. Sehingga nantinya model

akan memenuhi standar Goodness of Fit dan dikatakan model sudah fit. Sehingga

dihasilkan model baru seperti ini :

Gambar 4.6 Uji Model Struktural Sesudah Modifikasi


Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
11

Kemudian kita dapat menguji kelayakan model melalui Tabel Goodness of Fit

(GoF) yaitu Tabel 4.12, yaitu:

Tabel 4.12 Indeks Pengujian Kelayakan Structural Equation Model (SEM)

Goodness of Fit Cut-off Value Hasil Analisis Evaluasi Model


Index
χ2 - Chi-square Diharapkan kecil 1301 Marginal
Probability ≥ 0,05 0.001 Marginal
RMSEA ≤ 0,08 0,097 Marginal
GFI ≥ 0,90 0,974 Baik
AGFI ≥ 0,90 0,932 Baik
TLI ≥ 0,90 0,905 Baik
CFI ≥ 0,90 0,938 Baik
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berdasarkan pada Tabel 4.12 diketahui bahwa uji kelayakan model setelah

dilakukan modifikasi menjadi baik atau dikatakan fit berdasarkan data Goodness

of Fit sehingga bisa dilanjutkan pada analisis berikutnya dan digunakan untuk

menguji hipotesis penelitian. Adapun hasil uji untuk mengetahui kebenaran

hipotesis penelitian ini bisa digunakan tabel Regression Weigh berikut ini :

Tabel 4.13 Hasil Uji Regression Weight

Keterangan
Hubungan Antar Variabel Estimate p
Self care  Kualitas hidup (Qol) 0,879 0,0001 Signifikan
Self care  Komunikasi 0,976 0,0001 Signfikan
Self care  Sikap 0,150 0,0001 Signifikan
Self care  Motivasi 1,013 0,0001 Signifikan
Self care  Efikasi diri 0,974 0,003 Signifikan
Self care  Pengetahuan 0,961 0,002 Signifikan
Self care  Pembiayaan 0,182 0,009 Signifikan
Self care  Dukungan keluarga 0,041 0,019 Signifikan
Self care  Metabolik 0,413 0,002 Signifikan
Self care  Lipid 0,301 0,001 Signifikan
Kualitas hidup  0,987 0,0001 Signifikan
(Qol) Fisik
Kualitas hidup  0,998 0,0001 Signifikan
(Qol) Sosial
Kualitas hidup  0,997 0,0001 Signifikan
(Qol) Lingkungan

UNIVERSITAS SUMATERA
11

Tabel 4.13 (Lanjutan)

Hubungan
 Antar Variabel Estimate p Keterangan
Kualitas hidup psikologis 0,704 0,034 Signifikan
(Qol)
Metabolik  KGD 0,842 0,0001 Signifikan
Metabolik  HBA1C 0,788 0,0001 Signifikan
Lipid  HDL 0,045 0,0001 Signifikan
Lipid  LDL 0,656 0,050 Signifikan
Lipid  TG 0,811 0,004 Signifikan
Lipid  TC 0,594 0,001 Signifikan
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Berdasarkan data pada Tabel 4.13 dapat diketahui hasil uji hubungan pada

model struktural berdasarkan data output regression weight hasil analisis data.

Maka kita dapat menyajikan hasil untuk menguji hipotesis penelitian sebagai

berikut ini, yaitu:

1. Variabel self care dibentuk oleh 7 faktor yaitu pengetahuan, sikap, motivasi,

efikasi diri, komunikasi pembiayaan dan dukungan sosial. Ketujuh faktor

tersebut mampu mengukur atau membentuk variabel self care seorang pasien.

Ketujuh faktor tersebut juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap

perubahan self care seorang pasien penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai.

Komunikasi berhubungan signifikan terhadap self care dengan nilai p (0,0001)

dan besarnya hubungan yang terbentuk adalah 0,976. Kemudian faktor sikap

berhubungan signifikan terhadap self care dengan nilai p (0,0001) dan

besarnya hubungan yang terbentuk adalah 0,150. Faktor motivasi

berhubungan signifikan terhadap self care dengan nilai p (0,0001) dan

besarnya hubungan yang terbentuk adalah 1,013. Faktor efikasi diri

berhubungan signifikan terhadap self care dengan nilai p (0,003) dan besarnya

hubungan tersebut adalah 0,974. Faktor pengetahuan berhubungan signifikan

UNIVERSITAS SUMATERA
11

terhadap self care dengan nilai p (0,002) dan besarnya hubungan tersebut

adalah 0,961. Faktor pembiayaan berhubungan signifikan terhadap self care

dengan nilai p (0,009) dan besarnya hubungan tersebut adalah 0,182. Faktor

dukungan keluarga berhubungan signifikan terhadap self care dengan nilai p

(0,019) dan besarnya hubungan tersebut adalah 0,041. Data di atas menjadi

gambaran bagaimana hubungan ketujuh faktor terhadap variabel self care,

sehingga dapat diperoleh informasi bahwa seluruh faktor berhubungan

signifikan terhadap pembentukan variabel self care pasien, dan diketahui

bahwa faktor motivasi merupakan faktor yang paling berhubungan atau

berperan dalam pembentukan variabel selfcare pasien dengan nilai p (0,0001)

dan nilai estimasi pengaruhnya adalah 1,013. Motivasi secara nyata dan kuat

berperan dalam membentuk variabel self care. Kemudian diikuti oleh faktor

komunikasi dengan nilai estimasi pengaruh (0,976), faktor efikasi diri dengan

nilai estimasi pengaruh (0,974), faktor pengetahuan dengan nilai estimasi

(0,961), faktor pembiayaan dengan nilai estimasi pengaruh (0,182), faktor

sikap dengan nilai estimasi pengaruh (0,150) dan yang paling rendah

pengaruhnya terhadap self care adalah faktor dukungan keluarga dengan nilai

estimasi pengaruh (0,041).

2. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hidup

dengan nilai p (0,0001) dan besarnya pengaruh adalah 0,879 (87,9%). Data ini

memperlihatkan bahwa self care pasien penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai

memiliki pengaruh yang kuat dan secara nyata mempengaruhi terhadap

kualitas hidup pasien tersebut sebesar 87,9%. Perilaku self care pasien akan

UNIVERSITAS SUMATERA
11

memberikan dampak yang positif terhadap perubahan kualitas hidup yang

lebih baik. Semakin baik self care pasien maka akan semakin baik kualitas

hidup pasien dan sebaliknya.

3. Variabel Kualitas hidup dibangun oleh 4 faktor yaitu fisik, psikologis,

lingkungan dan hubungan sosial. Seluruh faktor tersebut mampu memberikan

pengaruh atau memiliki hubungan yang signifikan terhadap perubahan

kualitas hidup pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai.

Faktor fisik memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup

dengan nilai p (0,0001) dan besar nilai estimasi hubungan adalah 0,987.

Faktor sosial memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup

dengan nilai p (0,0001) dan besar nilai estimasi hubungan adalah 0,998.

Faktor lingkungan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup

pasien dengan nilai p (0,0001) dan besar nilai estimasi hubungan adalah 0,997.

Faktor psikologis memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup

pasien dengan nilai p (0,034) dan besar nilai estimasi hubungan adalah 0,704.

Data di atas menjadi gambaran bahwa seluruh faktor yang membangun

variabel kualitas kehidupan memiliki peran dan hubungan yang kuat terhadap

perubahan kualitas hidup seorang pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2

di Kota Binjai. Faktor hubungan sosial merupakan faktor yang paling berperan

dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perubahan kualitas hidup

pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai yaitu sebesar 0,998.

Faktor-faktor yang berikutnya memiliki peran terhadap perubahan kualitas

hidup pasien adalah faktor lingkungan sebesar 0,997, faktor fisik sebesar

UNIVERSITAS SUMATERA
11

0,987 dan terakhir yang paling kecil pengaruhnya atau perannya adalah faktor

psikologis yaitu sebesar 0,704.

4. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel

metabolik dengan nilai p (0,002) dan besarnya pengaruh adalah 0,413

(41,3%). Data ini memperlihatkan bahwa self care pasien penderita DM Tipe

2 di Kota Binjai memiliki pengaruh yang kuat dan secara nyata mempengaruhi

terhadap kontrol metabolik dalam tubuh pasien penderita DM Tipe 2 di Kota

Binjai tersebut sebesar 41,3%. Artinya perilaku self care pasien yang terdiri

dari sikap, pengetahuan, motivasi, dukungan keluarga, pembiayaan,

komunikasi dan efikasi diri pasien akan mampu mengendalikan kontrol

metabolik dalam tubuh pasien atau perilaku self care pasien akan memberikan

dampak yang positif terhadap kontrol metabolik pasien. Jika semakin baik

aktivitas self care pasien maka akan semakin baik manfaatnya bagi kontrol

metabolik pasien tetapi sebaliknya jika self care pasien tidak baik maka akan

mengganggu dan memberikan dampak buruk bagi kontrol metabolik pasien

penderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai.

5. Variabel kontrol metabolik pasien dibentuk oleh KGD dan HBA1C pasien

penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai. Berdasarkan hasil analisis data diketahui

bahwa KGD dan HBA1C memiliki peran yang signifikan atau mampu

memberikan dampak terhadap kontrol metabolik pasien dengan nilai

signifikansi KGD p (0,0001) dan besar nilai estimasi pengaruhnya terhadap

kontrol metabolik pasien adalah 0,842. Sedangkan HBA1c memiliki peran

yang signifikan atau berdampak pada kontrol metabolik pasien dengan nilai

UNIVERSITAS SUMATERA
11

signifikansi HBA1c p (0,0001) dan nilai estimasi pengaruhnya terhadap

kontrol metabolik pasien adalah 0,788. Sehingga diketahui bahwa peran KGD

jauh lebih besar dan memberikan dampak yang lebih kuat terhadap kontrol

metabolik pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai

6. Variabel kontrol lipid dibangun oleh 4 indikator yaitu HDL, LDL, TG dan

Total kolesterol dimana seluruh indikator tersebut memberikan peran dan

pengaruh yang signifikan terhadap kontrol lipid pasien yang menderita DM

Tipe 2 di Kota Binjai. Adapun besar signifikansi peran dan pengaruh yang

diberikan masing-masing indikator terhadap kontrol lipid pasien adalah

sebagai berikut (1) HDL memiliki peran yang signifikan sebesar nilai p

(0,0001) dan nilai estimasi pengaruh terhadap kontrol lipid adalah 0,045 (2)

LDL memiliki peran yang signifikan sebesar nilai p (0,050) dan nilai estimasi

pengaruh terhadap kontrol lipid adalah (0,656) (3) TG memiliki peran yang

signifikan sebesar nilai p (0,004) dan nilai estimasi pengaruh terhadap kontrol

lipid adalah 0,811 (4) Total Kolesterol memiliki peran yang signifikan sebesar

nilai p (0,001) dan nilai estimasi pengaruh terhadap kontrol lipid adalah 0,594.

Data hasil analisa penelitian diketahui bahwa yang paling besar signifikansi

peran terhadap kontrol lipid adalah adalah HDL artinya HDL paling kuat

memberikan dampak terhadap kontrol lipid pasien. Tetapi untuk faktor yang

paling besar dalam mempengaruhi atau memberikan perubahan pada angka

kontrol lipid pasien penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai adalah TG.

7. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel lipid

pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai dengan nilai p

UNIVERSITAS SUMATERA
11

(0,001) dan besarnya pengaruh adalah 0,301 (30,1%). Data ini

memperlihatkan bahwa selfcare pasien penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai

memiliki pengaruh yang kuat dan secara nyata mempengaruhi terhadap

kontrol lipid dalam tubuh pasien penderita DM Tipe 2 di Kota Binjai tersebut

sebesar 30,1%. Artinya perilaku self care pasien yang terdiri dari

pengetahuan, sikap, motivasi, efikasi diri, komunikasi pembiayaan dan

dukungan sosial pasien akan mampu mengendalikan kontrol lipid dalam tubuh

pasien atau perilaku self care pasien akan memberikan dampak yang positif

terhadap kontrol lipid pasien. Jika semakin baik aktivitas self care pasien

maka akan semakin baik manfaatnya bagi kontrol lipid pasien tetapi

sebaliknya jika self care pasien tidak baik maka akan mengganggu dan

memberikan dampak buruk bagi kontrol lipid pasien penderita penyakit DM

Tipe 2 di Kota Binjai.

8. Variabel self care pasien penderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien, kontrol

metabolik dan kontrol lipid yang ada di dalam tubuh pasien penderita DM

Tipe 2. Self care berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas hidup pasien

dengan nilai p (0,0001) dan besar nilai estimisi pengaruhnya adalah 0,879

(87,9%). Artinya selfcare memberikan pengaruh yang kuat dan secara nyata

berbanding lurus dengan perubahan kualitas hidup pasien sebesar 87,9%. Jika

semakin baik aktivitas self care yang dilakukan oleh pasien maka akan

semakin baik kualitas hidup yang dirasakan oleh pasien. Sebaliknya jika

aktivitas selfcare pasien sangat kecil atau tidak baik maka akan berdampak

UNIVERSITAS SUMATERA
11

pada kualitas hidup pasien yang tidak baik juga. Kemudian self care

berpengaruh positif signifikan terhadap kontrol metabolic pasien penderita

DM Tipe 2 di Kota Binjai dengan nilai signifikansi p (0,002) dan besar nilai

estimasi pengaruhnya adalah 0,413 (41,3%). Artinya self care memberikan

dampak positif atau perubahan yang kuat dan secara nyata terhadap kontrol

metabolik tubuh pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai

sebesar 41,3%. Jika semakin baik aktivitas self care yang dilakukan oleh

pasien maka akan memberikan perubahan angka yang baik dan normal pada

kontrol metabolik tubuh pasien yang menderita DM Tipe 2 yang akan mampu

mengendalikan kadar gula dalam darah dan memberikan tubuh yang lebih

sehat. Sebaliknya jika pasien tidak melakukan aktivitas self care-nya dengan

baik atau negatif maka akan berdampak negatif atau memberikan angka yang

tidak baik pada kontrol metabolik dalam tubuh pasien yang akan mengganggu

kesehatan pasien. Berikutnya adalah pengaruh self care terhadap kontrol lipid

pada tubuh pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai.

Pengaruhnya adalah positif signifikan dengan nilai signifikansi p (0,001) dan

besar nilai estimasi pengaruhnya adalah 0,301. Artinya adalah self care yang

baik dari pasien penderita penyakit DM Tipe 2 akan memberikan dampak

yang nyata dan kuat terhadap perubahan angka atau kadar lipid dalam tubuh

pasien sebesar 30,1% sehingga tubuh pasien menjadi lebih baik dan sehat.

Sebaliknya jika pasien tidak menjalankan aktivitas self carenya dengan baik

atau negatif maka akan memberikan pengaruh negatif juga kepada kadar lipid

UNIVERSITAS SUMATERA
11

pada tubuh pasien penderita DM Tipe 2 yang akhirnya akan mengganggu

kesehatan tubuh pasien dan membuat pasien semakin sulit untuk sembuh.

9. Variabel self care yang dilakukan oleh pasien paling besar pengaruh dan

dampaknya adalah terhadap variabel kualitas hidup pasien yaitu sebesar nilai p

(0,0001) dan besar pengaruhnya adalah 0,879 atau 87,9% Selanjutnya self

care berdampak besar terhadap variabel kontrol metabolik yaitu p (0,002) dan

besar pengaruhnya adalah 0,413 atau 41,3%. Sedangkan pengaruh self care

terhadap kontrol lipid pasien adalah p (0,001) dan besar pengaruhnya adalah

0,301 atau 30,1%.

Adapun hasil uji untuk mengetahui kebenaran hipotesis penelitian ini bisa

dapat diketahui pada tabel ringkasan uji hipotesis berikut ini :

Tabel 4.14 Hasil Uji Hipotesis Penelitian

Hubungan Antar Variabel Estimate P Keterangan Hipotesis


Kualitas hidup 0,879 0,0001 Signifikan Ha = Diterima
Self care 
(Qol)
Self care  Komunikasi 0,976 0,0001 Signfikan Ha = Diterima
Sel fcare  Sikap 0,150 0,0001 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Motivasi 1,013 0,0001 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Efikasi diri 0,974 0,003 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Pengetahuan 0,961 0,002 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Pembiayaan 0,182 0,009 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Dukungan Ha = Diterima
0,041 0,019 Signifikan
keluarga
Self care  Metabolik 0,413 0,002 Signifikan Ha = Diterima
Self care  Lipid 0,301 0,001 Signifikan Ha = Diterima
Sumber Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
1

BAB 5

PEMBAHASA

5.1 Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan usia penderita DM Tipe 2 yang berada di

Kota Binjai mayoritas adalah kelompok usia lansia akhir (56-65 tahun) yang

berjumlah 64 orang (56.6 %). Usia merupakan salah satu faktor risiko seseorang

menderita penyakit diabetes. WHO menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu

dekade umur pada seseorang yang telah melampaui usia 30 tahun, KGD puasa

akan naik sekitar 1-2 mg/dL (Putra, 2015), semakin meningkat usia seseorang

maka meningkat risiko peningkatan KGD dan gangguan toleransi glukosa, hal ini

disebabkan karena melemahnya semua fungsi organ tubuh termasuk sel Pankreas

yang bertugas menghasilkan insulin (Kurniawati, 2011). Menurut Heltomi (2012)

Diabetes melitus dapat terjadi pada semua kelompok usia terutama di atas 40

tahun karena risiko terkena diabetes akan meningkat dengan bertambahnya usia

dan biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun.

Hasil penelitian diketahui penderita DM Tipe 2 lebih banyak berjenis

kelamin perempuan dibandingkan laki-laki yaitu sebanyak 85 orang (75,2%).

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (2014)

bahwa pasien DM Tipe 2 lebih banyak pada perempuan yaitu sebanyak 77 orang

(81,92%), hal ini dikarenakan secara fisik perempuan memiliki peluang

peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar seperti saat sindroma siklus

bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopause dan wanita hamil. Penyakit

diabetes juga merupakan penyakit yang diturunkan, sehingga penyakit ini

UNIVERSITAS SUMATERA
120

UNIVERSITAS SUMATERA
12

cenderung lebih banyak terjadi pada perempuan akibat lebih tingginya angka

kelahiran dengan jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki (Gautam,

2009). Selain hal tersebut di atas, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan

diketahui secara umum perempuan lebih banyak yang memanfaatkan pelayanan

kesehatan di puskesmas dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan tingkat pendidikan responden, sebagian besar tingkat

pendidikan penderita diabetes merupakan tamatan SMA yaitu sebanyak 37 orang

(31,4%). Hal ini menggambarkan tingkat pendidikan penderita diabetes di Kota

Binjai berada pada tingkat pendidikan yang cukup. Hasil penelitian lain oleh

Juwitaningtyas (2014) dan Baur et.al (2013) diketahui tingkat pendidikan pasien

diabetes terbanyak pada tamatan SMP. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi

perilaku masyarakat, termasuk perilaku konsumsi dan pencegahan penyakit,

sehingga penyakit diabetes lebih banyak diderita oleh masyarakat berpendidikan

kurang dengan tingkat sosial ekonomi yang menengah kebawah.

Berdasarkan tingkat pendapatan perbulan, paling banyak responden adalah

yang berpenghasilan dibawah UMR (<Rp.2.037.000,-) dengan proporsi 50%.

Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan yang terdekat dengan

masyarakat, selain pelayanan yang diberikan secara menyeluruh (promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif), pelayanan puskesmas terjangkau bagi seluruh

lapisan masyarakat. Dengan adanya ketersediaan obat dan tenaga kesehatan

masyarakat (terutama tingkat sosial menengah ke bawah) lebih memilih berobat

ke puskesmas, meskipun adanya BPJS yang memungkinkan ke rumah sakit,

masyarakat terutama di sekitar puskesmas lebih memilih untuk berobat dan

UNIVERSITAS SUMATERA
12

kontrol ke puskesmas karena lebih cepat dan mudah dalam mendapatkan

pelayanan.

Berdasarkan status pernikahan, mayoritas responden mempunyai status

menikah dengan proporsi 78,8%, berdasarkan suku diketahui mayoritas bersuku

Jawa dengan proporsi 45,1%. Masyarakat kota Binjai berasal dari berbagai suku

bangsa, sama seperti kota Medan yang sangat majemuk.

5.2 Faktor-faktor yang Berkontribusi Membentuk Perilaku Self Care

A. Pengetahuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan pasien diabetes di Kota

Binjai secara umum berada pada kategori baik (55.0%). Berdasarkan hasil

analisis SEM diketahui bahwa pengetahuan berkontibusi dalam membentuk

perilaku Self care. Pengetahuan dalam hal ini pengetahuan penderita diabetes

tentang penyakitnya dan hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan dan

pencegahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan terhadap perilaku

mandiri pasien. Menurut Rogers (1974) pengetahuan atau kognitif merupakan hal

yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku atau tindakan seseorang karena

dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan, oleh karena itu pemberian materi tentang diabetes dan

penatalaksanaannya akan meningkatkan pengetahuan serta dapat menjadi dasar

untuk merubah perilaku pasien diabetes.

Penelitian yang dilakukan di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat

UNIVERSITAS SUMATERA
12

pengetahuan tentang diabetes dengan gaya hidup penderita diabetes (Hairi, 2013).

Gaya hidup mencerminkan komplikasi, angka hospitalisasi dan angka mortalitas

pada pasien diabetes (Hernández, 1996). Tingkat pengetahuan yang baik

menghasilkan gaya hidup yang baik sehingga dapat menurunkan tingkat

mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes.

Pengetahuan juga merupakan faktor dominan yang menentukan kepatuhan pasien

diabetes, artinya semakin tinggi pengetahuan maka semakin patuh pasien

sehingga akan terkontrol diabetesnya (OR= 14.3) (Tombokan, 2015).

Pada penelitian yang dilakukan di India selatan, edukasi/konseling yang

diberikan oleh farmasi kepada pasien diabetes tidak hanya meningkatkan

pengetahuan, sikap dan tindakan pasien tetapi juga meningkatkan kualitas hidup

pasiennya (Adepu, 2007).

Pengetahuan diartikan sebagai hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan menjadi landasan yang kuat untuk

pasien diabetes untuk menjadi mandiri, sehingga pemberian edukasi menjadi hal

yang mutlak diberikan kepada pasien diabetes untuk meningkatkan

pengetahuannya, seperti halnya empat pilar penatalaksanaan diabetes yang

disampaikan oleh PERKENI, bahwa edukasi menjadi pilar utama dalam

manajemen dan tatalaksana diabetes.. Edukasi bertujuan memberikan

edukasi/pengetahuan komprehensif mengenai program diet dan olahraga agar

UNIVERSITAS SUMATERA
12

pasien termotivasi untuk mengubah perilaku hidupnya menjadi lebih sehat.

Edukasi terbukti memiliki efektivitas dalam meningkatkan kontrol gula darah

pasien Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2). Peran edukasi sangat penting dalam

tatalaksana diabetes sehingga diperlukan standarisasi pemberian edukasi DM oleh

petugas kesehatan. Komponen edukasi DM terdiri dari edukasi gizi dan edukasi

olahraga. Pasien diabetes yang diberikan intervensi program diet dan olahraga

mengalami penurunan berat badan dan kadar glukosa darah yang lebih signifikan

(Rofil et al., 2017).

Edukasi merupakan pendidikan atau latihan mengenai pengetahuan dan

keterampilan. Pasien diabetes perlu mendapatkan informasi minimal yang

diberikan setelah diagnosis ditegakkan, mencakup pengetahuan dasar tentang

diabetes, pemantauan mandiri, sebab-sebab tingginya kadar glukosa darah, obat

hipoglikemia oral, perencanaan makan, perawatan, kegiatan jasmani, tandatanda

hipoglikemi dan komplikasi. Pasien diabetes yang mempunyai pengetahuan cukup

tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, sehingga akan

dapat mengendalikan kondisi penyakitnya dan penyandang diabetes dapat hidup

lebih berkualitas. Edukasi dan informasi yang tepat dapat meningkatkan

kepatuhan penderita dalam menjalani program pengobatan yang komprehensif,

sehingga pengendalian kadar glukosa darah dapat tercapai. Dengan kepatuhan

yang lebih, maka akan lebih mudah menyerap informasi berkaitan dengan

penyakitnya sehingga pasien diabetes relatif dapat hidup normal bila mengetahui

kondisinya dan cara penatalaksanaan penyakitnya tersebut (Putri, et al., 2013).

Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah

UNIVERSITAS SUMATERA
12

merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Adapun perilaku yang

diinginkan antara lain adalah: mengikuti pola makan sehat, meningkatkan

kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes dan obat obat-obat pada keadaan

khusus secara aman dan teratur, dan melakukan Pemantauan Glukosa Darah

Mandiri (PGDM) (Utomo, 2011).

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi pasien diabetes

menurut PERKENI (2015) adalah :

1) Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya

kecemasan.

2) Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang

sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.

3) Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.

4) Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan

pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program

pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan

laboratorium.

5) Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.

6) Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

7) Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.

8) Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan

keluarganya.

9) Gunakan alat bantu audio visual.

UNIVERSITAS SUMATERA
12

Keberhasilan dari pengobatan diabetes ini selain dengan pengobatan

secara medik, dalam bentuk pemberian obat juga dipengaruhi dengan pola diet

dan olahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Kepatuhan penderita adalah

perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet,

kebiasaan hidup sehat dan ketepatan berobat. Hal ini berkenaan dengan kemauan

dan kemampuan penderita untuk mengikuti cara hidup sehat yang berkaitan

dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal

pemeriksaan. Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang lama karena diabetes

akan diderita seumur hidup dan sangat kompleks karena membutuhkan

pengobatan dan perubahan gaya hidup sehingga seringkali pasien menjadi tidak

patuh dan cenderung putus asa dengan program terapi yang lama, kompleks dan

tidak menghasilkan kesembuhan (Putri, et al., 2013).

Keteraturan pemeriksaan gula darah di pelayanan kesehatan yang

dilakukan oleh responden seringkali hanya sebatas untuk mengetahui

perkembangan dari diabetes yang dialami dan pemberian obat tanpa ada sikap

atau langkah berkelanjutan untuk mengendalikannya. Selain itu, kurangnya

informasi atau edukasi pada saat pemeriksaan bisa menjadi salah satu faktor

belum efektifnya proses pemeriksaan teratur terhadap pengaruhnya dalam

pengendalian glukosa darah. Salah satu tujuan dari dianjurkan pemeriksaan teratur

yang dilakukan oleh penderita Diabetes Melitus adalah sebagai upaya dalam

deteksi dini terjadinya komplikasi serta upaya penanganan klinis yang baik (Putri,

et al., 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA
12

Di dalam praktek sehari-hari perlu dilakukan penyuluhan bagi para

diabetisi agar bisa melakukan pola hidup sehat. Sepuluh petujuk pola hidup sehat

yang disingkat GULOH-SISAR (Tjokroprawiro et al., 2014) terdiri dari:

1) G (Gula): diabetisi sebaiknya pantang gula dan bagi non diabetes membatasi

asupan gula.

2) U (Urat): untuk mencegah atau mengatasi hiperurisemia maka batasi

konsumsi JAS-BUKET (Jeroan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas,

Kaldu, Kacang-kacangan, Emping, Tape).

3) L (Lemak): batasi TEK-KUK-CS2 (Telur, Keju-Kepiting, Udang, Kerang,

Cumi, Susu, Snata).

4) O (Obesitas): lakukan penurunan berat badan jika terjadi besitas dengan target

lingkar pinggang untuk laki-laki <90 cm dan untuk wanita <80 cm.

5) H (Hipertensi): untuk pasien hipertensi batasi ekstra garam dan makanan asin.

6) S (Sigaret): berhenti merokok.

7) I (Inaktivitas): lakukan olahraga setiap hari yang bisa mengeluarkan kalori

± 300 kkal.hari atau jalan 3 km atau sit up 50-200x/hari.

8) S (Stres): usahakan tidur nyenyak 6-7 jam sehari, bila tidur malam kurang

dapat diganti dengan tidur siang.

9) A (Alkohol): berhenti mengkonsumsi alkohol.

10) R (Regular Check Up): lakukan kontrol setiap 3,6,12 bulan, konsultasi pada

ahli.

Edukasi yang diberikan secara teratur dan berkelanjutan diharapkan

semakin meningkatkan pengetahuan pasien diabetes. Tingkat pengetahuan pasien

UNIVERSITAS SUMATERA
12

DM dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya ketersediaan informasi, kejelasan

informasi, komunikasi dokter/petugas kesehatan dan tingkat pendidikan. Tingkat

pengetahuan pasien DM juga sangat erat hubungannya dengan tingkat

pendidikannya (Alaboudi et al., 2014). Pasien diabetes yang mempunyai

pendidikan yang baik akan lebih dapat memahami edukasi yang diberikan dan

akan lebih mudah dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian meninjukkan tingkat pendidikan mayoritas pasien diabetes

di kota Binjai adalah SMA, hal ini bisa menjadi salah satu penyebab tingkat

pengetahuan pasien diabetes berada pada kategori yang baik karena dapat

memehami edukasi yang diberikan dengan baik, selain itu komunikasi dengan

dokter/petugas kesehatan yang juga baik dan lancar. Hal ini disebabkan oleh

puskesmas di Kota Binjai memiliki program posyandu lansia, kegiatan posyandu

tersebut dilakukan di 8 puskesmas induk, dimana setiap puskesmas terdapat 1-2

posyandu lansia, posyandu lansia mempunyai kegiatan rutin setiap bulannya

(biasanya setiap 2 minggu) seperti pemeriksaan kesehatan, pemberian obat-

obatan, penyuluhan dan senam lansia. Hasil survei yang dilakukan di 8

puskesmas diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut cukup

tinggi, hal ini dapat diketahui dari tingginya kehadiran serta keaktifan mereka

untuk mengikuti seluruh kegiatan tersebut, malahan ada beberapa posyandu lansia

yang mempunyai kegiatan setiap jumat pagi untuk melaksanakan senam bersama

yang dipandu oleh trainer yang mereka gaji dengan dana mereka bersama. Hal

ini menggambarkan bahwa mereka sudah dapat memahami penyakitnya dan

berusaha untuk sehat dengan melaksanakan hidup sehat. Pada pelaksanaan

UNIVERSITAS SUMATERA
12

posyandu tersebut terlihat petugas puskesmas juga menunjukkan kepedulian yang

tinggi dan berkomunikasi dengan baik dan akrab dengan pasien diabetes yang

datang.

B. Sikap

Sikap pada penelitian ini adalah positif (baik) (58%), berdasarkan hasil

analisis SEM diketahui bahwa sikap berkonrtibusi membentuk perilaku self care.

Sikap adalah suatu reaksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.

Manifestasi sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup (Notoadmodjo, 2007).

Sedangkan menurut Purwanto (1999), sikap adalah pandangan atau perasaan yang

disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu objek. Sikap dapat bersifat

positif dan negatif pada sikap positif terdapat kecendrungan tindakan adalah

mendekati, menyenangi, mengharapkan suatu objek tertentu. Sedangkan sikap

negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak

menyukai objek tertentu.

Sikap yang terbentuk dalam diri seseorang adalah hasil dari proses

penginderaan. Hasil proses penginderaan dari melihat, mendengar dan merasakan

akan melahirkan pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi, kemudian dari

proses pemahaman tersebut seseorang akan memberikan penilaian atau sikap

(Sunaryo, 2004). Sikap tidak dibawa sejak lahir, selalu berhubungan dengan

objek, dapat berlangsung lama atau sebentar, bahkan sikap mengandung faktor

perasaan dan motivasi (Walgito, 2001). Menurut Sunaryo (2004), sikap tidak

dibawa sejak lahir tetapi dapat dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman

UNIVERSITAS SUMATERA
13

individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pembentukan sikap

dipengaruhi oleh faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma, hambatan dan

pendorong) dan internal (fisiologis, psikologis, dan motif). Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa sikap dipengaruhi pula oleh pendidikan. Umumnya semakin

tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pula sikapnya biasanya makin tinggi

pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dan

memahami sesuatu. Sikap pasien diabetes di Binjai yang baik dapat disebabkan

karena pengetahuan yang sudah baik mengenai diabetes sehingga menimbukan

sikap yang positif. Pengetahuan dan sikap yang baik akan menghasilkan perilaku

atau tindakan yang baik juga, karena sikap dapat dikatakan kesediaan untuk

bertindak, demikian juga sebaliknya (Phitri, 2013).

C. Komunikasi Dokter-Pasien

Hasil penelitian menunjukkan komunikasi dokter/petugas kesehatan-

pasien berada pada kategori yang baik (50%). Berdasarkan hasil analisa SEM

diketahui bahwa komunikasi dokter-pasien berkonrtibusi membentuk perilaku self

care. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Kusniawati (2010), bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara komunikasi petugas kesehatan dengan

perilaku self care. Semakin lancar komunikasi yang dilakukan akan semakin baik

perilaku self care pasien diabetes. Komunikasi merupakan komponen penting dan

kunci keberhasilan pengobatan terutama pengobatan pasien kronik seperti

diabetes. Komunikasi yang baik dan efektif antara dokter/petugas kesehatan dan

pasien diabetes dapat menjadi energi positif, motivasi dan penyemangat pasien

yang berdampak kepada kesehatannya (Fong et.al., 2010). Komunikasi yang

UNIVERSITAS SUMATERA
13

terjalin adalah komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi

yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk

kesembuhan pasien (Dalimunthe, 2015). Komunikasi antara tenaga kesehatan dan

pasien mempengaruhi kualitas pertukaran informasi dan hubungan dalam

pelayanan primer. Komunikasi yang berpusat pada pasien dapat meningkatkan

kepercayaan pasien dan memudahkan dokter dalam memahami kebutuhan dan

keinginan pasien, serta keputusan dalam pemilihan pengobatan. Kepercayaan

pasien dan pembuatan keputusan yang sesuai akan meningkatkan kepatuhan

pengobatan pasien. Perilaku komunikasi yang berpusat pada pasien merupakan

strategi dimana dokter menumbuhkan kepercayaan pasien, yang akan

meningkatkan kepatuhan pasien (Ratanawongsa, 2013). Komunikasi yang terjalin

dengan pasien diabetes dapat terbagi dalam 2 jenis komunikasi, yaitu komunikasi

yang terjadi secara umum dan komunikasi spesifik mengenai penyakit diabetes

dalam upaya melakukan edukasi. Kedua komunikasi yang terjalin ini sama-sama

berpengaruh kepada self care pasien, semakin efektif komunikasi yang terjalin

akan semakin baik perilaku self care pasien diabetes (Piete et al., 2003).

Pada prinsipnya, pasien diabetes memiliki peran utama mencapai self care

yang baik, sedangkan petugas kesehatan mempunyai kontribusi dalam proses

tersebut dengan melakukan edukasi yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan

pasien, mengatasi masalah yang dihadapai sehubungan dengan penyakitnya secara

langsung ataupun tidak langsung, memberi dukungan sehingga tercapai perilaku

self care yang baik. Idealnya penanganan diabetes dilakukan secara terpadu,

dengan melibatkan dokter ahli metabolik-endokrin, ahli gizi, petugas laboratorium

UNIVERSITAS SUMATERA
13

dan perawat yang terlatih. Dengan adanya kolaborasi ini diharapkan pasien akan

mandiri dan mempunyai perilaku self care yang baik dan bersinambung

(Kusniawati, 2010).

Komunikasi petugas kesehatan dalam hal pemberian informasi/pendidikan

kesehatan tentang self care diabetes merupakan hal yang penting untuk

meningkatkan efektifitas dalam perawatan klien dengan DM tipe 2. Piette et al.

(2003) menjelaskan bahwa komunikasi yang bersifat umum dan komunikasi

khusus diabetes mempunyai hubungan terhadap self care. Kedua dimensi

komunikasi tersebut berhubungan secara bebas terhadap self care pada setiap

empat area yang diuji, yaitu perawatan kaki, obat, diet dan latihan (Kusniawati,

2011).

Komunikasi petugas kesehatan berpengaruh terhadap self management

terutama berkaitan dengan pengaturan makan (diet). Komunikasi yang dijalankan

oleh petugas kesehatan berkaitan dengan pendidikan kesehatan tentang bagaimana

tindakan yang harus dilakukan oleh klien dalam kehidupan sehari-hari agar gula

darah dapat terkontrol sehingga komplikasi akibat diabetes dapat diminimalkan

(Heisler et al, 2007). Pemberian informasi yang berhubungan dengan pengelolaan

diabetes yang terjadi saat klien datang ke pusat pelayanan kesehatan meupakan

salah satu dimensi komunikasi petugas kesehatan (Piette et al., 2003). Aspek

komunikasi yang dibutuhkan yang dapat menunjang efektifitas self care diabetes

yaitu penjelasan atau pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan tindakan

self care diabetes yang meliputi penjelasan tentang diet, latihan, monitoring gula

darah, obat-obatan dan perawatan kaki (Kusniawati, 2011).

UNIVERSITAS SUMATERA
13

Sebuah penelitian tentang pelatihan komunikasi dokter – pasien di layanan

primer menunjukkan bahwa pelatihan komunikasi memperbaiki hubungan dokter

dengan pasien sehingga menimbulkan kepuasan dikedua belah pihak, kesediaan

pasien terlibat dalam pengambilan keputusan medis, serta komitmen pasien

terhadap rencana pengobatan, perubahan gaya hidup dan perbaikan kesehatan

pasien (South-Paul et al, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat menunjukkan bahwa

komunikasi yang terjadi antara dokter/petugas kesehatan dengan pasien diabetes

di kota Binjai sudah terjalin dengan baik, hal ini terlihat ketika pasien tidak

canggung ketika berjumpa dan dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan

penyakitnya kepada dokter/petugas dengan terbuka dan tidak canggung, juga

dapat dilihat pasien merasa dekat dan saling melempar candaan ketika berkumpul

di puskesmas ataupun di posyandu lansia. Komunikasi yang telah baik ini tentu

saja akan lebih menambah pemahaman pasien.

D. Pembiayaan Kesehatan

Hasil penelitian menunjukkan dimensi pembiayaan kesehatan pasien

diabetes di Kota Binjai berada pada kategori yang baik (54%). Berdasarkan hasil

analisis SEM diketahui pembiyaan kesehatan berkontribusi membentuk perilaku

self care pasien diabetes di Kota Binjai. Pembiayaa terkait dengan ketersediaan

dana dan kemampuan finansial dari pasien diabetes dalam melaksanakan

pengobatan. Ketersediaan dana mutlak diperlukan untuk kelangsungan

pengobatan pasien. Pasien yang mempunyai ketersediaan dana/jaminan

pengobatan akan mempunyai tingkat kepatuhan dan kemandirian lebih tinggi.

UNIVERSITAS SUMATERA
13

Sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia sekarang diarahkan agar semua

masyarakat Indonesia ditanggung oleh asuransi kesehatan BPJS, sehingga dengan

adanya BPJS masyarakat tidak perlu kuatir untuk datang ke pelayanan kesehatan

guna mendapatkan pelayanan kesehatan yang terstandar. Dari hasil wawancara

yang dilakukan kepada pasien diabetes di Kota Binjai, diketahui bahwa sebagian

besar pasien sudah memiliki BPJS (80%), sehingga mereka mendapatkan

pelayanan kesehatan untuk diabetesnya seperti pemeriksaan gula darah,

pemeriksaan laboratorium serta obat-obatan anti diabetik di puskesmas ataupun di

rumah sakit rujukan secara gratis. Dari 115 pasien diabetes dalam penelitian ini

ada beberapa pasien yang tidak memiliki BPJS (20%) dari hasil wawancara

diketahui bahwa mereka tidak merasa kuatir tentang kelangsungan pengobatan

terkait dengan pembiayaan, karena menurut mereka pelayanan yang mereka

dapatkan di puskesmas cukup terjangkau sehingga mereka tidak perlu

menyiapkan dana khusus untuk dapat terus berobat.

E. Dukungan Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan dimensi dukungan keluarga merupakan

salah satu komponen pembentuk perilaku self care pasien diabetes di Kota Binjai.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui dukungan keluarga terhadap pasien

diabetes adalah berada pada kategori yang baik (68 %). Dukungan Keluarga

diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang lain yang dicintai atau

dipedulikan, diyakini dan dihargai, dan sebagai bagian dari komunikasi serta

hubungan mutual sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis

pada orang yang dihadapkan pada situasi stres (Taylor, 2006). Dukungan tersebut

UNIVERSITAS SUMATERA
13

keluarga/sosial dapat diperoleh dari suami/istri, pasangan, kerabat, rekan kerja,

dan lingkungan komunitas. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi stres

psikososial, seperti depresi atau kecemasan, pada saat-saat sulit dan berhubungan

dengan berbagai keuntungan kesehatan, termasuk efek positif terhadap penyakit

jantung koroner, diabetes, penyakit paru, arthritis, dan kanker. Ini juga dapat

mengurangi kecenderungan seseorang akan sakit, kecepatan penyembuhan ketika

sakit, dan mengurangi risiko mortalitas pada penyakit serius, sebaliknya,

kekurangan dukungan sosial di saat-saat sulit sangan membebani pikiran,

terutama pada orang-orang dengan kebutuhan tinggi akan dukungan sosial namun

sulit untuk mendapatkannya, seperti lansia dan korban keadaan-keadaan yang

mendadak (Kim et al., 2008).

Pada pasien diabetes, dukungan keluarga yang diberikan dapat membantu

kemandirian dan perilaku self care, dukungan yang biasa diterima dari

keluarganya antara lain berupa dorongan dari keluarga untuk mengontrol

kesehatannya ke rumah sakit, selain itu keluarga juga membantu pasien dalam

mendukung usahanya melakukan perawatan terkait diabetes seperti pengaturan

pola makan, pengaturan minum obat dan memberikan informasi terkait

pengobatan misalnya dengan menggunakan tanaman tradisional yang dapat

menurunkan kadar gula darah. Dukungan keluarga seperti inilah yang mungkin

dapat meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2 (Tamara et al., 2014).

Salah satu perilaku self care yang sangat membutuhkan dukungan

keluarga adalah perilaku kontrol gula darah. Perilaku kontrol gula darah ini

merupakan perilaku yang penting karena dapat mencegah terjadinya komplikasi

UNIVERSITAS SUMATERA
13

dan kematian dini pada pasien diabetes (Gao et al., 2013). Belgrave dan Lewis

(1994) meneliti peran dukungan keluarga, ternyata dukungan keluarga secara

signifikan berhubungan dengan perilaku kesehatan yang positif dengan mematuhi

aktifitas kesehatan (Wu et al., 2006). Menurut Bomar (2004) dukungan keluarga

adalah suatu bentuk perilaku melayani yang dilakukan oleh keluarga baik dalam

bentuk dukungan emosional (perhatian, kasih sayang dan simpati), dukungan

penghargaan (menghargai, umpan balik), dukungan informasional (saran, nasehat

dan informasi) maupun dalam bentuk instrumental (bantuan tenaga, dana dan

waktu). Hasil penelitian Ariani (2011) menemukan bahwa ada hubungan antara

dukungan sosial/keluarga dengan efikasi diri.

Dukungan keluarga merupakan orang-orang terdekat dan disayang akan

meningkatkan semangat dan motivasi kepada pasien untuk selalu sehat (Isworo

dan Saryona, 2010). Dukungan keluarga/sosial merupakan proses yang terjadi

selama masa hidup, dengan sifat dan tipe dukungan sosial bervariasi pada masing-

masing tahap siklus kehidupan keluarga. Walaupun demikian, dalam semua tahap

siklus kehidupan, dukungan sosial/ keluarga memungkinkan keluarga berfungsi

secara penuh dan dapat meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga

(Friedman, 2010). Dukungan kelurga yang diberikan kepada pasien diabetes dapat

berupa dukungan positif tetapi dapat juga dukungan yang negatif/obstruktif.

Dukungan yang bersifat positif akan meningkatkan self care pasien diabetes,

namun dukungan yang bersifat negatif akan terjadi sebaliknya (Mayberry, 2014).

Selain dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga, dukungan juga

dapat diberikan oleh lingkungan tempat tinggal dan orang-orang yang berada di

UNIVERSITAS SUMATERA
13

lingkungan tersebut, karena hal ini juga akan mempengaruhi dan mempunyai

hubungan yang signifikan dengan perilaku perawatan diri pada diabetes. Apabila

faktor tersebut terganggu maka akan berdampak langsung kepada perilaku pasien

diabetes (Smalls et al., 2015). Hal ini mendukung hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Aditama (2011) bahwa dukungan sosial merupakan faktor yang

paling berperan dalam mengendalikan KGD dan kadar HbA1c pasien diabetes di

Boyolali Jawa Tengah.

Penelitian Tang et al. (2008) mendapatkan bahwa dukungan sosial

memiliki peran penting memengaruhi kualitas hidup yang spesifik pada pasien

DM, demikain juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Goz et al. (2007)

menyatakan bahwa dukungan sosial berbanding lurus dengan kualitas hidup.

Sebuah penelitian di China yang meneliti efek dari perawatan diri, efikasi

diri, dan dukungan sosial terhadap kontrol glikemik mendapatkan hasil bahwa

faktor-faktor tersebut berhubungan secara langsung dengan kontrol glikemik.

Didapatkan bahwa efikasi diri dan dukungan sosial secara signifikan berhubungan

dengan kadar HbA1c (p<0.001 dan p=0.009) (Gao et al., 2013).

Dukungan keluarga pada penelitian ini bernilai baik dapat disebabkan oleh

pola kehidupan masyarakat di Kota Binjai masih sangat kekeluargaan dan gotong

royong. Meskipun Kota Binjai merupakan kota yang terdekat dengan kota

Medan, tetapi masyarakatnya belum sepenuhnya menjadi masyarakat perkotaan

yang lebih ke individualisme. Mereka masih memperhatikan kebersamaan dan

tolong menolong antara mereka dan tentu saja saling dukung dalam keluarga. Hal

ini dapat kita lihat pada penyelenggaraan posyandu lansia, penduduk setempat

UNIVERSITAS SUMATERA
13

dengan senang hati melaksanakan kegiatan di rumahnya dan malah merasa tidak

dibebani dan tidak dipungut bayaran. Pada pelaksanaan posyandu lansia, para

anggota posyandu, kader dan petugas kesehatan saling menyapa dan bercanda

dengan lepas sehingga tercipta suasana yang akrab dan kekeluargaan.

Menurut Bomar (2004) dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku

melayani yang dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk dukungan emosional

(perhatian, kasih saying dan simpati), dukungan penghargaan (menghargai,

umpan balik), dukungan informasional (saran, nasehat dan informasi) maupun

dalam bentuk instrumental (bantuan tenaga, dana dan waktu). Hasil penelitian

Ariani (2011) menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial/keluarga

dengan efikasi diri.

F. Motivasi

Hasil penelitian menunjukkan dimensi motivasi merupakan salah satu

komponen pembentuk perilaku self care pasien diabetes di Kota Binjai. Motivasi

dapat menimbulkan suatu perubahan energi dalam diri seseorang dan pada

akhirnya akan berhubungan dengan kejiwaan, perasaan dan emosi untuk bertindak

dan melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan, kebutuhan dan keinginan tertentu.

Kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh adanya

kekuatan pendorong baik dalam diri maupun diluar diri manusia. (Kusniawati,

2011). Motivasi merupakan faktor yang penting bagi pasienDM tipe 2 karena

motivasi yang ada pada diri pasien DM tipe 2 akan mampu memberikan dorongan

yang kuat bagi klien DM tipe 2 untuk melakukan perilaku self care diabetes,

sehingga akan tercapai pengontrolan gula darah secara optimal dan meminimalkan

UNIVERSITAS SUMATERA
13

terjadinya komplikasi akibat diabetes. Shigaki et al (2010) menjelaskan bahwa

motivasi diri merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi pasien DM tipe 2

dalam melakukan self care diabetes terutama dalam hal mempertahankan diet dan

monitor gula darah. Pasien DM tipe 2 yang memiliki motivasi baik akan

melakukan tindakan self care diabetes dengan baik pula untuk mencapai tujuan

yang diiginkan yaitu pengontrolan gula darah sehingga pada akhirnya komplikasi

DM dapat diminimalkan (Kusniawati, 2011).

Keyakinan terhadap efektifitas penatalaksanaan diabetes merupakan

pemahaman pasien tentang pentingnya self care diabetes dalam pengelolaan

pasien DM tipe 2. Pemahaman tersebut akan merefleksikan keyakinan pada diri

klien sejauhmana tindakan-tindakan self care diabetes tersebut dapat membantu

pasien dalam mengontrol gula darah (Xu Yin et al., 2008). Pasien yang memiliki

keyakinan kuat bahwa aktifitas self care diabetes merupakan tindakan yang efektif

dalam pengelolaan diabetes maka pasien akan melakukan perilaku self care

dalam kehidupanya sehari-hari. Perilaku self care diabetes tersebut akan menjadi

tanggung jawab klien dalam mengelola penyakitnya, sehingga klien akan selalu

memperhatikan self care diabetes (Kusniawati, 2011).

Motivasi mengacu pada “alasan” seseorang dalam berperilaku atau sesuatu

yang menggerakkan kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Motivasi

intrinsik adalah motivasi yang diwujudkan dalam kenyamanan personal,

ketertarikan, atau kesenangan. Para peneliti sering membandingkan motivasi

instrinsik dengan motivasi ekstrinsik, yang merupakan motivasi yang diperoleh

dari sebuah paksaan. Secara tradisional, para pendidik menganggap bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA
14

motivasi instrinsik lebih disenangi dan memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi melingkupi cakupan

kepercayaan, persepsi, nilai, ketertarikan, dan tindakan yang semuanya berkaitan

erat. Sebagai hasilnya, berbagai usaha untuk menilai motivasi dapat berfokus pada

perilaku kognitif (seperti pemantauan dan penggunaan strategi), aspek non-

kognitif (seperti persepsi, keyakinan, dan sikap), atau keduanya (Lai, 2011).

Motivasi merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri maupun dari

luar individu untuk melakukan tugas tertentu guna mencapai suatu tujuan

(Bandura, 1994). Motivasi pasien DM dapat berfluktuasi disebabkan oleh

pengobatan yang lama dan biaya yang besar sehingga dapat menimbulkan

masalah psikologis pada diri pasien seperti rasa frustasi, cemas, dan depresi

Masalah psikologis ini dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk melakukan

pengobatan (Ariani, 2011).

G. Efikasi Diri

Hasil penelitian menunjukkan dimensi efikasi diri merupakan salah satu

komponen pembentuk perilaku self care pasien diabetes di Kota Binjai.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui efikasi diri pasien diabetes lebih

banyak berada pada kategori baik dengan probabilitas 58 %.

Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori

sosial kognitif pada tahun 1977. Efikasi diri merupakan keyakinan individu

terhadap kemampuannya untuk mengelola penyakit kronis secara mandiri.

Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri DM,

UNIVERSITAS SUMATERA
14

seseorang yang hidup dengan DM yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih

tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri DM yang lebih baik.

Self efficacy berhubungan dengan perilaku spesifik dalam self management

diabetes. Hal ini didukung dengan penelitian dari Mishalia (2011) yang

menyatakan bahwa efikasi diri yang rendah pada setiap perilaku pasien diabetes

yang direkomendasikan berhubungan dengan berkurangnya adherensi terhadap

perilaku spesifik tersebut. Perilaku pasien diabetes yang direkomendasikan berupa

pengaturan diet, olahraga, pemantauan kadar gula darah, penggunakan obat dan

insulin yang teratur dan perawatan kaki (Manjula, 2013). Perilaku yang paling

sering dilakukan oleh pasien diabetes adalah penggunakan obat dan insulin,

disusul dengan perawatan kaki, pengaturan pola makan, olahraga dan terakhir

yang paling jarang dilakukan adalah pemantauan kadar gula darah (Albikawi and

Abuadas, 2015).

Hasil berbagai penelitian menunjukkan masih banyak pasien diabetes yang

mempunyai efikasi diri yang rendah, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ariani

(2011) menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki efikasi diri

baik sebanyak 58 orang (52,7%), dan efikasi diri yang tidak baik sebanyak 52

orang (47,3%). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Aditama et.al

(2011), menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat efikasi diri

rendah sebanyak 40 orang (71,43%), dan yang memiliki tingkat efikasi diri tinggi

sebanyak 16 orang (28,57%). Hal ini disebabkan karena efikasi diri seseorang

dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga masing-masing pasien memiliki

tingkat efikasi diri yang berbeda. Penelitian lainnya yang dilakukan Ratnawati et

UNIVERSITAS SUMATERA
14

al (2016) pada 37 pasien DM tipe-2 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,

menunjukkan nilai rata-rata efikasi diri adalah 3.63 dengan kategori cukup.

Semakin tinggi efikasi diri semakin akan meningkat perilaku self care serta

adherensi pengobatan dan juga meningkatkan kualitas hidup (Walker, 2014).

Seseorang yang hidup dengan DM tipe-2 yang memiliki skor efikasi diri tinggi

lebih mungkin untuk melakukan diet, olahraga, serta perilaku sehat lainnya

(Ratnawati et al, 2016). Sehingga secara tidak langsung efikasi diri berbanding

terbalik dengan kontrol glikemik. Hal ini juga didukung oleh penelitian Indelicato

(2017) juga menyatakan bahwa tingkat efikasi diri yang lebih rendah berhubungan

dekat dengan kontrol glikemik yang buruk. Pada penelitian Al-Khawalde, et al

(2012) pasien dengan efikasi diri yang tinggi memiliki kontrol glikemik yang

lebih baik.

5.3 Perilaku Self Care Pasien Diabetes Tipe 2 di Kota Binjai

Perawatan diri (self care) didefinisikan sebagai tindakan inisiatif individu

untuk mengambil langkah gaya hidup yang sehat; untuk memenuhi kebutuhan

sosial, emosional dan psikologis mereka; mempertahankan kondisi jangka

panjang mereka; dan untuk mencegah penyakit lebih lanjut atau kecelakaan.

Manfaat dari perawatan diri sangat besar dapat dirasakan oleh pasien. Menurut

para pendukung model perawatan kronis (salah satu model yang paling

komprehensif dari perawatan untuk kondisi jangka panjang) bahwa semua pasien

dengan penyakit kronis membuat keputusan dan terlibat dalam perilaku yang

mempengaruhi kesehatan mereka (manajemen diri), pengendalian penyakit dan

hasilnya pergantung pada derajat signifikan dari efektivitas manajemen diri

UNIVERSITAS SUMATERA
14

(Kennedy, et al., 2007). Beberapa sumber menjelaskan bahwa dalam aplikasi di

klinik self care diabetes diartikan sama dengan self management pada klien DM.

Self care diabetes merupakan program atau tindakan yang harus dijalankan

sepanjang kehidupan pasien dan menjadi tanggungjawab penuh bagi setiap pasien

diabetes (Bai et al, 2009).

Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk

mengontrol diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan

komplikasi (Sigurdardottir, 2005). Sedangkan Sousa dan Zauszniewski (2005)

mendefinisikan self care diabetes merupakan kemampuan seseorang dalam

melakukan self care dan penampilan tindakan self care diabetes untuk

meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah. Berdasarkan uraian pengertian

diatas dapat disimpulkan bahwa self care diabetes adalah tindakan mandiri yang

dilakukan oleh klien diabetes dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk

mengontrol gula darah yang meliputi aktifitas pengaturan pola makan (diet),

latihan fisik (olahraga), pemantauan kadar gula darah, minum obat dan perawatan

kaki.

Self care adalah proses perkembangan pengetahuan atau kesadaran dalam

proses pembelajaran untuk tetap bertahan dengan keadaan yang komplek pada

pasien DM tipe 2 dilihat dari konteks sosial. Terdapat konstribusi yang positif

antara pasien DM dengan aktivitas self care yang telah diberikan penyuluhan

tentang pentingnya self care. Adanya promosi kesehatan tentang self care pada

pasien DM tipe 2 dapat menunda terjadinya komplikasi dalam waktu yang relatif

lama (Shrivastava, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA
14

Pada penelitian ini, peneliti telah berhasil mengembangkan komponen

pembentuk perilaku self care pasien diabetes tipe 2 yaitu: pengetahuan, sikap,

komunikasi, pembiayaan, dukungan keluarga/sosial, motivasi dan efikasi diri.

Seorang pasien diabetes mempunyai perilaku Self care yang baik apabila

mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit diabetes serta

pengelolannya, mempunyai sikap yang positif, mempunyai komunikasi yang baik

dengan dokter dan petugas kesehatan yang merawatnya, mempunyai kemampuan

dalam pembiyaan penyakitnya, mendapat dukungan yang positif dari keluarga dan

orang-orang sekitar, mempunyai motivasi yang kuat untuk sembuh dan

mempunyai efikasi diri yang baik. Hasil penelitian ini telah membuktikan

komponen-komponen apa saja yang membentuk perilaku self care serta seberapa

kuat hubungannya.

Pada penelitian ini ditemukan rata-rata perilaku self care pasien DM Tipe

2 di Kota Binjai adalah 359,8 (SD 29,5), dari hasil tersebut diketahui secara

umum perilaku self care pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai dapat dikategorikan

sudah baik (66,4%). Perilaku self care yang baik pada pasien DM Tipe 2 dapat

diketahui dari ketujuh indikator pembentuk perilaku self care yang telah

dirumuskan diawal penelitian secara umum berada pada kategori yang baik, hasil

ini akan menggambarkan perolehan dari perilaku self carenya. Ketujuh indikator

yang dirumuskan diawal penelitian menjadi determinan perilaku self care. Untuk

terbentunya perilaku self care yang baik banyak faktor yang mempengaruhi,

secara umum ada faktor internal dan eksternal. Apabila kita mengacu kepada

Teori perilaku Green dapat kita klasifikasikan faktor-faktor yang

UNIVERSITAS SUMATERA
14

menentukan/determinan perilaku self care adalah dari faktor predisposi

(pengetahuan, sikap, motivasi, efikasi diri), faktor pemungkin (komunikasi pasien

dengan dokter/petugas kesehatan dan faktor pendorong (dukungan keluarga).

Perilaku merupakan sesuatu yang kompleks, untuk terbentuk suatu perilaku

dibutuhkan waktu dan upaya yang secara bersinambung dalam pemberian

informasi, selain itu pasien juga harus mempunyai niat yang kuat untuk berubah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistria (2013)

yaitu perilaku self care pasien DM Tipe 2 rawat jalan di puskesmas Kalirungkut

Surabaya berada pada kategori baik.

5.4 Kualitas Hidup Pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai

Hasil penelitian menujukkan kualitas hidup pasien diabetes di Kota Binjai

berada pada kategori cukup (95,7%). Berdasarkan dari keempat domain diketahui

semua domain berada pada kategori yang cukup. Domain psikologis dan domain

lingkungan merupakan domain yang mempunyai kualitas hidup baik lebih banyak

dibandingkan domain yang lain yaitu 44,3% untuk psikologis dan 31,3 % untuk

lingkungan.

Kualitas hidup menurut WHO adalah persepsi seseorang tentang

keberadaan atau posisi dirinya dalam hidup dalam konteks kebudayaan dan sistem

kepercayaan yang dianutnya dan berhubungan dengan tujuan (goals), ekspektasi

(expectations), standar (standards) dan concerns. Penilaian kualitas hidup

dilakukan dengan menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF yang membagi

kualitas hidup menjadi 4 domain, yaitu domain kesehatan fisik, psikologis,

hubungan sosial dan lingkungan.

UNIVERSITAS SUMATERA
14

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien DM di Kota

Binjai jika dikelompokkan maka pasien dengan kualitas hidup adalah cukup.

Angka ini menunjukkan bahwa hanya sedikit pasien DM yang mengalami

penuruan kualitas hidup akibat DM. Hal ini mungkin diakibatkan karena perilaku

self care yang sudah baik serta rendahnya angka komplikasi pada pasien diabetes.

Komplikasi DM dengan dampak terbesar terhadap kualitas hidup adalah ischemic

heart disease, stroke, dan neuropati (Solli et al., 2010).

Domain kesehatan psikologis merupakan domain lebih banyak mempunyai

kategori yang baik dibandingkan domain yang lain. Hal ini menjelaskan bahwa

penderita diabetes tidak merasa ada gangguan pada domain ini pasien diabetes di

kota Binjai memiliki kepuasan yang lebih baik pada aspek penampilan, perasaan

negatif yang jarang, perasaan positif yang sering, self esteem yang lebih baik dan

spiritualitas dan kemampuan berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi yang baik.

Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem

dukungan keluarga dan agama yang sangat kuat. Dukungan keluarga yang kuat

dikaitkan dengan adaptasi psikologis pasien yang lebih baik terhadap penyakitnya

(Odili et al., 2009). Hal ini bertetangan dengan penelitian Gholami (2013) yang

menunjukkan bahwa nilai terendah pasien DM di Neyshabur, Iran adalah pada

domain psikologis. Namun, perlu diingat bahwa persepsi individu terhadap

kualitas hidup mungkin berbeda antar budaya dan antar negara (Bani-Issa, 2010).

Domain hubungan sosial adalah domain dimana pasien diabetes hanya

berada pada kategori baik dan cukup saja dan tidak ada pasien yang mempunyai

kualitas hidup yang kurang pada domain ini. Hal ini menjelaskan bahwa pasien

UNIVERSITAS SUMATERA
14

diabetes di kota Binjai tidak mempunyai masalah dengan aspek hubungan sosial.

Domain ini menilai aspek hubungan personal, dukungan sosial dan aktivitas

seksual.

Hasil penelitian menunjukkan domain lingkungan adalah domain yang lebih

banyak terganggu dibandingkan dengan domain yang lain, meskipun secara

umum masih pada kategori lebih banyak yang tidak terganggu. Salah satu aspek

penilaian dalam domain ini adalah kemudahan akses dan kualitas perawatan

kesehatan dan sosial. Kepuasan pasien DM di 8 puskesmas di Kota Binjai dalam

menjangkau perawatan kesehatan dan kualitas pelayanan yang diberikan

tercermin dalam nilai pada domain ini dah hal ini diamati oleh peneliti saat

melakukan wawancara pengambilan data dengan responden penelitian. Aspek lain

yang dinilai pada domain ini adalah hubungan sosial. Nilai yang tinggi pada

domain ini mungkin disebabkan oleh dukungan yang diberikan keluarga pasien

sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan rasa dan hubungan

kekeluargaan yang tinggi serta family care giver support system yang kuat.

Nilai rata-rata kualitas hidup beserta domain kualitas hidup bervariasi dan

berbeda antar penelitian dan antar negara. Hal ini menjadi bukti bahwa kualitas

hidup adalah suatu konsep yang subjektif dan dipersepsikan secara berbeda oleh

setiap individu dan dipengaruhi oleh budaya setempat (Bani-Issa, 2010).

Misalnya, penelitian kualitas hidup terhadap pasien DM di Uni Emirat Arab

menunjukkan kualitas hidup yang baik, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor

misalnya pendapatan masyarakat negara tersebut yang sangat tinggi, keakraban

antar keluarga dan hubungan yang erat antar anggota keluarga dan stabilitas

UNIVERSITAS SUMATERA
14

politik negara tersebut (Bani-Issa, 2010). Oleh sebab itu, penilaian kualitas hidup

pada penderita DM di Indonesia mungkin memberikan hasil yang bervariasi

karena banyaknya suku dan budaya bangsa Indonesia.

5.5 Pengaruh Perilaku Self Care dengan Kontrol Metabolik (Kadar


HbA1C dan KGD) Pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara

perilku self care dengan kadar HbA1C dan Kadar Gula Darah (KGD) pasien DM

Tipe 2 di Kota Binjai. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya

yang menyatakan bahwa perilaku self care berpengaruh dengan nilai HbA1c

pasien DM Tipe 2, semakin baik perilaku self care semakin terkontrol kadar

HbA1c pasien diabetes (Aditama, 2011; Ortiz, 2010; Goa et all., 2013). Indikator

objektif yang dapat digunakan untuk mengontrol pasien diabetes (indek glikemik)

adalah KGD dan HbA1C. Secara historis, pengukuran KGD merupakan inti

diagnosis diabetes. Diabetes tipe 1 memiliki karakteristik klinis cukup jelas,

dengan peningkatan konsentrasi glukosa yang tiba-tiba dan ekstrim, disertai

gejala, sehingga batasan kadar glukosa darah yang spesifik tidak dibutuhkan

untuk diagnosis klinis. Sebaliknya, diabetes tipe 2 memiliki onset bertahap,

dengan peningkatan kadar glukosa bertahap, dan diagnosisnya membutuhkan nilai

glukosa spesifik untuk membedakannya dengan populasi nondiabetes

(International Expert Comitee, 2009). Hubungan antara A1c dan glukosa plasma

adalah kompleks. Kadar HbA1c lebih tinggi didapatkan pada individu yang

memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes. Banyak

UNIVERSITAS SUMATERA
14

penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks rerata kadar glukosa selama

beberapa minggu sampai bulan sebelumnya (Sultanpur et al., 2010).

HbA1C merupakan indikator terbaik untuk risiko komplikasi masa depan.

Tujuan pemeriksaan HbA1C adalah untuk mengetahui gambaran kadar glukosa

darah harian rata rata dan derajat keseimbangan karbohidrat selama 2 bulan yang

lalu, untuk memantau progresivitas penyakit, dan untuk mengetahui

perkembangan komplikasi DM. Pemeriksaan HbA1C lebih baik daripada

pemeriksaan gula darah puasa. Oleh karena itu pemeriksaan HbA1C dilakukan

minimal 2 kali dalam setahun (ACBD UK, 2008). Semakin tinggi nilai HbA1C

maka semakin tinggi penderita berisiko terkena komplikasi. Setiap penurunan 1%

kadar HbA1C dapat menurunkan risiko gangguan pembuluh darah mikrovaskuler

sebanyak 35%, menurunkan komplikasi lain 21% serta menurunkan risiko

kematian 21%. Kadar HbA1c terbentuk pada pasca translasi yang berlangsung

secara lambat dan tidak dipengaruhi oleh enzim sepanjang jalur hidup eritrosit,

oleh karena itu apabila eritrosit lebih tua maka kadar HbA1C lebih tinggi

dibanding eritrosit muda. Beberapa penelitian menyebutkan nilai HbA1C yang

kurang dari 7% akan menurunkan risiko mikrovaskuler pada pasien diabetes.

(ACBD UK, 2008; Florkowski C., 2013; American Diabetes Association, 2005).

Penelitian yang dilakukan di poliklinik Endokrin RSUP Hasan Sadikin

Bandung menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat self

care dengan kadar HbA1C pada pasien yang datang ke poliklinik (Kusniyah et

al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2011) menyatakan ada

hubungan antara self-care, self efficacy, and social support dengan kadar HbA1C

UNIVERSITAS SUMATERA
15

di public health centres di Boyolali di Provinsi Jawa (Aditama, 2011). Perawatan

diri pada diabetes membutuhkan pasien untuk membuat modifikasi gaya hidup

dengan bantuan dari petugas kesehatan (Shrivastava et al., 2013). Perilaku

perawatan diri (Self care behavior) menjadi salah satu komponen yang esensial

untuk pasien DM tipe 2 karena perilaku ini akan membantu pasien menjaga dan

meningkatkan derajat kesehatan mereka. Orang dengan penyakit kronis seperti

diabetes perlu perilaku perawatan diri selama seumur hidup mereka dan itu

termasuk kegiatan yang paling penting seperti pola makan yang sehat dan

seimbang, follow-up terapi medis, pemantauan kadar glukosa untuk menyesuaikan

diet, tingkat aktivitas dan obat yang diresepkan. Menggunakan strategi gaya hidup

tepat dan perawatan diri adalah elemen kunci dalam pencegahan diabetes yang

menimbulkan komplikasi lebih parah (Farahani et al., 2016). Pasien diabetes

yang melaksanakan perilaku self care yang baik dan teratur setiap hari akan

berdampak terhadap kesehatannya, hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Zuniga (2013) menemukan adanya penurunan level HbA1C yang

signifikan pada 3 bulan pertama dengan total follow up 12 bulan pada pasien yang

melakukan adherensi terhadap program self care. Dijumpai penurunan 0,7% pada

kadar glukosa darah pada mayoritas peserta (59.5%).

Rubin et all. (1998) meneliti pada 213 sampel yang diberikan pelatihan

mencakup self-care diabetes (mencakup olahraga, nutrisi, pemantauan glukosa

darah, dan pengaturan injeksi insulin). Kemudian dalam tempo enam bulan

sampel diukur nilai HbA1C dalam darah dan dijumpai adanya perbedaan yang

signifikan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Von Arx et all. (2016) meneliti

UNIVERSITAS SUMATERA
15

perbedaan antara pasien DM yang sekadar menjalankan terapi (treatment belief)

dan pasien DM yang menjalankan perilaku sehat (health behavior) berkaitan

dengan keberhasilan terapi DM. Menurut Von Arx et al. (2016) perilaku sehat

menimbulkan ketaatan pengobatan yang lebih baik dibanding pasien yang sekadar

menjalankan terapi. Hasil penelitian ini dijumpai pengetahuan HbA1C pasien

yang meningkat akan menurunkan kadar HbA1C pasien. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gao. J et al. (2013)

mengungkapkan bahwa pasien DM yang melakukan perawatan diri diabetes

secara langsung dapat mengendalikan kadar gula darahnya, dengan melakukan

perubahan gaya hidup sesuai dengan pendidikan kesehatan yang diberikan kepada

pasien.

Tindakan pengendalian DM sangat di perlukan, khususnya dengan

mengusahakan tingkat gula darah sedekat mungkin dengan normal, merupakan

salah satu usaha pencegahan yang terbaik terhadap kemungkinan berkembangnya

komplikasi dalam jangka panjang. Adapun kriteria untuk menyatakan

pengendalian yang baik diantaranya: tidak terdapat atau minimal glukosuria, tidak

terdapat ketonuria, tidak ada ketoasidosis, jarang sekali terjadi hipoglikemia,

glukosa 2 jam setelah makan normal, dan HbA1c (Glycated Hemoglobin atau

Glycosylated Hemoglobin) normal. Dari keenam kriteria tersebut, maka hasil

pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat

dibanding pemeriksaan yang lain untuk menilai status glikemik jangka panjang

dan berguna pada semua tipe penyandang DM.

UNIVERSITAS SUMATERA
15

Kendali glikemik yang baik berhubungan dengan menurunnya komplikasi

DM. Temuan utama studi diabetes, Diabetes Control and Complication Trial

(DCCT) telah menunjukkan pentingnya tes HbA1C. Studi menunjukkan bahwa

menurunkan angka HbA1C dapat menunda atau mencegah komplikasi kronis.

Studi juga menunjukkan bahwa menurunkan kadar hemoglobin HbA1C agar tetap

dalam kadar normal dapat meningkatkan peluang seseorang untuk tetap sehat.

Pengendalian DM tipe 1 dengan HbA1C yang baik dapat mengurangi komplikasi

kronik DM antara 20–30%. Bahkan hasil dari the United Kingdom Prospective

Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan setiap penurunan 1% dari HbA1C (misal

dari 9 ke 8%), akan menurunkan risiko komplikasi sebesar 35%.

Pengendalian kadar HbA1C pada batas normal bagi penderita DM

menuntut suatu perubahan perilaku dalam periode yang cukup panjang dan

berkesinambungan. Perilaku dalam mengontrol diabetes ini sangat penting, akan

tetapi banyak pasien yang tidak berhasil melakukan manajemen diri secara

konsisten (Hunt et al., 2012). Pasien diabetes yang mendapatkan pengetahuan

tentang manajemen perawatan diri untuk penyakitnya, juga sulit melakukan

perubahan perilaku dan gaya hidup. Pasien tidak selalu menerapkan perubahan

perilaku yang diinginkan (Sharoni dan Wu, 2012), dan banyak penderita diabetes

yang tidak terlibat dalam semua praktik manajemen diri (Hunt et al., 2012; Al-

Khawaldeh, Al-Hassan dan Froelicher, 2012).

Dasar kesuksesan dalam manajemen perawatan diri dari penyakit apapun

adalah efikasi diri. Bandura (1994, dalam Beckerle dan Lavin, 2013) menjelaskan

bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk

UNIVERSITAS SUMATERA
15

mencapai suatu tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam

hidupnya.

5.6 Pengaruh Perilaku Self Care dengan Profil lemak Pasien DM Tipe 2 di
Kota Binjai

Profil lemak menjadi salah satu parameter yang dinilai sebagai kontrol

glikemik pasien diabetes. Pemeriksaan profil lemak meliputi Total Kolesterol,

HDL Kolesterol, LDL Kolesterol dan Trigliserida. Hasil pemeriksaan profil

lemak pasien diketahui terjadi peningkatan jumlah rata-rata normal. Hasil analisis

menyatakan terdapat pengaruh antara perilaku self care dengan profil lemak

pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai.

Gangguan lipid dijumpai pada penderita DM dan berperan dalam

terjadinya komplikasi kardiovaskular. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme

lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam

plasma. Karakteristik utama dari dislipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol

total, trigliserida (TG), low density lipoprotein (LDL), dan penurunan kadar high

density lipoprotein (HDL). Gambaran dislipidemi pada DM tipe 2 yang paling

sering ditemukan adalah peningkatan kadar TG dan penurunan kadar HDL.

Walaupun kadar LDL tidak selalu meningkat, tetapi partikel LDL akan

mengalami penyesuaian perubahan (modifikasi) menjadi bentuk kecil dan padat

yang bersifat aterogenik (Hanum, 2013; Josten et al., 2006; Cantika, 2014)

Kelainan metabolisme lemak pada DM Tipe 2 adalah percepatan

katabolisme lemak, disertai peningkatan pembentukan benda-benda keton, dan

penurunan sintesis asam lemak trigliserida. Kelainan ini terjadi akibat efek insulin

UNIVERSITAS SUMATERA
15

pada metabolisme lemak. Insulin juga meningkatkan pengambilan glukosa dalam

sel hati, kemudian glukosa akan masuk pada jalur glikolisis dan menjadi piruvat

dengan hasil akhir berupa asetil-KoA, yang merupakan substrat awal sintesis

asam lemak.

Pada DM Tipe 2 yang tidak terkontrol, kadar trigliserida dan kilomikron

serta FFA plasma meningkat. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh

penurunan pengangkutan trigliserida ke dalam depot lemak. Penurunan aktivitas

lipoprotein lipase juga berperan dalam penurunan pengangkutan ini (Hanum,

2013). Berdasarkan konsep diatas diketahui kecendrungan terjadinya peningkatan

profil lemak pada pasien diabates (Hanum, 2013; Josten et al., 2006; Cantika,

2014; Singh dan Kumar, 2012 ; Ozder dan Aclan, 2014; Kamble, 2015).

Kenaikan profil lemak ini biasanya sejalan dengan kontrol glikemik yang

tinggi, dapat disimpulkan pasien diabetes yang tidak terkontrol akan berisiko

terjadi peningkatan kadar trigliserida dalam darah (Priyadi et al., 2012; Loei et al.,

2014). Peningkatan profil lemak ini dapat dipengaruhi beberapa faktor selain

kontrol glikemik, umur dan lamanya diabates juga mempengaruhinya

(Palawi,2014). Kenaikan profil lemak biasanya banyak terjadi pada usia tua yaitu

kelompok umur 59 tahun, tersering peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar

HDL. Peningkatan TG dan penurunan HDL mempunyai hubungan bermakna

terhadap usia (Josten, 2006).

UNIVERSITAS SUMATERA
15

5.7 Pengaruh Perilaku Self Care dengan Kualitas Hidup Pasien DM


Tipe 2 di Kota Binjai

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh antara perilaku self care

dengan kualitas hidup pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai. Self care dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien diabetes dimana terdapat perasaan puas dan

bahagia dapat menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana mestinya. Menurut

Yudianto (2008) menyebutkan beberapa aspek dari penyakit diabetes yang

mempengaruhi kualitas hidup adalah adanya kebutuhan khusus yang terus-

menerus berkelanjutan dalam perawatan DM, seperti pengaturan diet, adanya

pembatasan aktivitas fisik, mengontrol kadar gula darah; gejala apa saja yang

kemungkinan timbul ketika kadar gula darah tidak stabil; komplikasi yang dapat

timbul akibat dari penyakti diabetes dan disfungsi seksual (Yudianto, 2008).

Toobert DJ, dalam “The Summary of Diabetes Self-Care Activities Measure”

menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pasien DM untuk

mendapatkan kualitas hidup yang baik diantaranya pengaturan diet, foot care,

pengawasan gula darah mandiri dan hygiene. Penelitian Sulistria tingkat self care

pasien rawat jalan DM tipe 2 di Puskesmas Kalirungut Surabaya aktivitas self

care cukup baik mengenai pengaturan pola makan (diet), olahraga dan terapi.

Namun pada pengukuran kadar gula darah dan perawatan kaki tingkat self care

pasien masih kurang.

UNIVERSITAS SUMATERA
15

5.8 Model Perspektif Perilaku Self Care Pasien Diabetes Tipe 2 di Kota
Binjai

Berdasarkan hasil penelitian diketahui ketujuh indikator merupakan indikator

yang berkontribusi terhadap perilaku self care pasien DM Tipe 2 di Kota Binjai.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketujuh indikator tersebut harus ada dan

dimiliki oleh pasien diabates sehingga mempunyai perilaku self care yang baik,

perilaku self care yang baik akan membuat mereka mampu mengontrol diabetes

dan mempunyai kualitas hidup yang baik. Ketujuh indikator tersebut dapat

diperoleh dari puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan primer yang

menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang bekerjasama

dengan keluarga dan masyarakat, secara skematis model tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:

Bimbing
an

Informasi
Edukasi Komunikasi
Pasien Diabetes Informasi
Dokter Keluarga

Kepatuhan Motivasi Dukungan Pembiayaa

Perilaku
Self Care

Kualitas Hidup Kontrol Glikemik Kontrol Lipid

UNIVERSITAS SUMATERA
15

5.9. Novelty Penelitian (Kebaharuan Hasil Penelitian)

Hasil penelitian ini terdapat beberapa kebaharuan (novelty penelitian), dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Penelitian ini bersifat original,/asli karena sepanjang pengetahuan peneliti

belum ada penelitian terdahulu yang meneliti tentang perilaku self care yang

menggunakan indikator yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

2. Penelitian ini menghasilkan sebuah Model perspektif tentang peningkatan

perilaku self care pasien Diabetes Tipe 2 di Kota Binjai. Terbentuknya

periaku yang mandiri pasien diabetes ditentukan oleh 7 indikator. Apabila

ketujuh indikator tersebut dimiliki oleh pasien diabates akan dapat diprediksi

meningkatnya perilaku self care menjadi baik dan tingkat kemandirian

pasien akan meningkat, hal ini akan berdampak terhadap menurunnya angka

komplikasi dan meningkatnya kualitas hidup.

3. Model perspektif peningkatan perilaku self care ini dibentuk dari indikator-

indikator yang telah dirumuskan berdasarkan teori dan hasil penelitian

sebelumnya, model ini telah diuji dan dinyatakan bahwa indikator-indikator

tersebut mempunyai kontribusi yang besar dalam penentuan perilaku self

care.

4. Dengan mengetahui model perspektif perilaku self care ini, dapat dilakukan

kendali dan intervensi indikator-indikator tersebut untuk memperoleh

perilaku self care yang baik pada pasien diabates di Kota Binjai pada

umumnya dan mungkin juga dapat diterapkan di tempat yang lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA
15

5.10 Implikasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam beberapa hal:

1. Implikasi terhadap Pelayanan Kesehatan

Sebagai tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit,

harus mengetahui kebutuhan pasien ketika datang ke sana. Pada pelayanan

diabetes, obat saja tidak cukup untuk mengontrol diabetes dan mencegah

terjadinya komplikasi, tetapi ada aspek-aspek lain seperti komunikasi dan

pemberian edukasi. Dengan adanya model perspektif perilaku self care ini,

menjadi masukan kepada tempat pelayanan kesehatan terutama pelayanan

primer untuk dapat menyediakan kebutuhan dan melengkapi sarana dan

prasarana sehingga indikator-indikator yang membentuk perilaku self care

tersebut dapat diberikan kepada setiap pasien diabetes, sehingga diabetes

dapat terkontrol dengan baik sehingga mencegah terjadinya komplikasi.

2. Implikasi terhadap Petugas Kesehatan (Dokter, perawat, tenaga gizi )

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pasien diabetes dalam

mengendalikan kadar gula darahnya. Selain ketersediaan obat, petugas

kesehatan yang mereka jumpai seperti dokter, perawat, petugas gizi,

memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku self care.

Komunikasi yang baik serta motivasi dan perhatian serta edukasi yang

diberikan sangat meningkatkan pemahaman pasien terhadap penyakitnya,

petugas kesehatan yang berempati, komunikatif dan suportif sangat

dibutuhkan untuk dalam kondisi ini. Hasil penelitian ini akan menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA
15

masukan besar kepada petugas kesehatan untuk memperbaiki komunikasi

yang terjalin dengan pasien untuk meningkatkan perilaku self care nya.

3. Implikasi terhadap Masyarakat

Peran keluarga dan orang-orang terdekat sangat besar terhadap pasien

diabates. Keluarga yang memberikan motivasi, keluarga yang mendampingi

berhubungan erat dengan perilaku self care yang pada akhirnya dapat dinilai

dari kontrol metaboliknya. Hasil penelitian ini akan membuka pikiran

keluarga dan masyarakat untuk selalu memberikan dukungan kepada

saudara, keluarga serta tetangga mereka yang menderita diabetes sehingga

mereka dapat menerima penyakitnya dan dapat memperbaiki perilakunya

sehingga dapat mandiri mengontrol penyakitnya dengan baik.

4. Implikasi terhadap Keilmuan

Berdasarkan telah konseptual dan studi empirik, maka penelitian ini

merekomendasikan sebuah model prediksi perilaku self care pada pasien

DM Tipe 2 di pelayanan primer. Besar harapan hasil penelitian ini menjadi

bagian dari pengembangan keilmuan, khususnya Ilmu kesehatan

Masyarakat. Hasil penelitian ini diaharapkan menjadi masukan untuk

memperbaiki perilaku pasien diabates, sehingga program yang dilaksanakan

di pelayanan kesehatan lebih fokus terhadap indikator-indikator dalam

penelitian ini dan lebih tepat sasaran.

UNIVERSITAS SUMATERA
16

5.11 Keterbatasan Penelitian


Cakupan dan lingkup penelitian yang sangat luas, menyebabkan munculnya

keterbatasan dalam penelitian ini yang tidak bisa dihindari, keterbatasan tersebut

antara lain:

1. Determinan perilaku self care yang pada akhirnya dirumuskan menjadi

indikator pembentuk perilaku self care, secara teori dan dalam aplikasinya di

lapangan, sebetulnya masih banyak indikator yang dipertimbangkan dapat

membentuk dan mempengaruhinya, tetapi dalam penelitian hanya

merumuskan 7 indikator saja, apabila konsep teori yang digunakan mengacu

kepada teori perubahan perilaku yang lain atau digunakan beberapa teori,

mungkin saja akan mencakup beberapa indikator lain yang dapat

mempengaruhi dan membentuk self care yang dapat diaplikasikan di

pelayanan primer.

2. Untuk penilaian kualitas hidup pada penelitian ini menggunakan instrumen

kualitas Hidup dari WHO, sehingga aspek yang dinilai dalam kualitas hidup

terkait dengan kesehatan fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. Penilaian

kualitas hidup pada pasien diabetes sebenarnya terdapat beberapa instrumen

yang digunakan. Masing-masing instrumen mempunyai ruang lingkup

penilaian yang berbeda, apabila digunakan instrumen yang lain pada

penelitian ini, mungkin dapat mengungkap aspek lain yang berkaitan dengan

gangguan kualitas hidup yang dirasakan oleh pasien diabates.

UNIVERSITAS SUMATERA
16

3. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, data cross sectional

memiliki keterbatasan dalam menerangkan stabilitas pengaruh antar variabel

yang dilibatkan dalam dalam suatu penelitian dari waktu ke waktu.

4. Sampel penelitian ini adalah pasien yang berobat di 8 puskesmas induk di

Kota Binjai, kita ketahui bahwa pasien diabates yang datang ke puskesmas

adalah pasien dengan sosial ekonomi menengah ke bawah yang mungkin saja

kondisi ini berpengaruh terhadap ambang batas kepuasan serta kualitas

hidupnya yang mungkin dibandingkan dengan pasien diabetes yang berobat

di rumah sakit dan praktek dokter spesialis. Untuk itu perlu dilakukan

penelitian lanjutan tentang perilaku self care dan kualitas hidup pasien

diabetes yang datang ke rumah sakit dan praktek dokter spesialis, sehingga

didapatkan indikator perilaku self care yang mewakili semua pasien Diabetes

Melitus Tipe 2 yang berada di Kota Binjai, dan mungkin dapat mewakili

Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA
1

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat

disimpulkan model yang menjelaskan perilaku self care pengaruhnya terhadap

kualitas hidup, dan parameter kontrol metabolik (KGD dan kadar Hba1C) dan

kontrol lipid (Total Kolesterol, HDL Kolesterol, LDL Kolesterol, Trigliserida )

pasien Diabetes Melitus tipe 2 di kota Binjai. Secara lebih khusus yaitu:

1. Komponen pembentuk model perilaku self care pasien DM Tipe 2 di Kota

Binjai memiliki nilai psikometrik yang baik (valid, reliabel, dan

pemodelan fit) yang mencakup semua variabel laten (eksogen dan

endogen) beserta indikator yang diteliti

2. Indikator pembentuk perilaku self care berjumlah 7, dimana seluruh faktor

berhubungan signifikan terhadap pembentukan variabel self care pasien,

faktor motivasi merupakan faktor yang paling berperan dalam

pembentukan variabel self care pasien dengan nilai p (0,0001) dan nilai

estimasi pengaruhnya adalah 1,013, faktor komunikasi dengan nilai

estimasi pengaruh (0,976), faktor efikasi diri dengan nilai estimasi

pengaruh (0,974), faktor pengetahuan dengan nilai estimasi (0,961), faktor

pembiayaan dengan nilai estimasi pengaruh (0,182), faktor sikap dengan

nilai estimasi pengaruh (0,150) dan yang paling rendah pengaruhnya

terhadap self care adalah faktor dukungan keluarga dengan nilai estimasi

pengaruh (0,041).

162

UNIVERSITAS SUMATERA
16

3. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas

hidup dengan nilai p (0,0001) dan besarnya pengaruh adalah 0,879 (87,9%).

4. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel

metabolik dengan nilai p (0,002) dan besarnya pengaruh adalah 0,413

(41,3%).

5. Variabel self care berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel lipid

pasien yang menderita penyakit DM Tipe 2 di Kota Binjai dengan nilai p

(0,001) dan besarnya pengaruh adalah 0,301 (30,1%).

6. Variabel self care yang paling besar pengaruh terhadap variabel kualitas

hidup pasien yaitu sebesar nilai p (0,0001) dan besar pengaruhnya adalah

0,879 atau 87,9% Selanjutnya self care berdampak besar terhadap variabel

kontrol metabolik yaitu p (0,002) dan besar pengaruhnya adalah 0,413 atau

41,3%. Sedangkan pengaruh self care terhadap kontrol lipid pasien adalah p

(0,001) dan besar pengaruhnya adalah 0,301 atau 30,1%.

6.2 Saran
1. Hasil penelitian ini menjadi masukan kepada setiap pelayanan primer untuk

meningkatkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan perilaku self care

2. Model perilaku self care dapat digunkan di pelayanan primer untuk

perbaikan pelayanan pasien diabetes untuk kota Binjai dan mungkin juga

bisa digunakan di kota lain di Indonesia.

3. Kepada kepala puskesmas di Kota Binjai untuk meningkatkan program

edukasi kepada pasien diabetes dan meningkatkan keterlibatan keluarga

sehingga perilaku yang sudah baik dapat dipertahankan.

UNIVERSITAS SUMATERA
16

4. Melakukan kegiatan monitoring kontrol metabolik dan kontrol lipid secara

berkala dan pemeriksaan lain seperti mata dan fungsi ginjal untuk

memantau terjadinya komplikasi.

UNIVERSITAS SUMATERA
1

DAFTAR PUSTAKA

Abrahim, M., Larsson-Mauleon, A., Hjelm, K., 2011. Self-care in type 2 diabetes:
A systematic literature review on factors contributing to self-care among
type 2 diabetes mellitus patients. International Master in Caring Sciences.

Adepu, R., Rasheed, A., dan Nagavi, B.G., 2007. Effect of Patient Conseling on
Quality of Life in Type-2 Diabetes Mellitus Patients in Two Selected
South Indian Community Pharmacies: A Study. Indian Journal of
Pharmaceutical Sciences 2007, 69 (4): 519-524.
Albikawi, Z. F., and Abuadas, M., 2015. Diabetes Self Care Management
Behaviors Among Jordanian Type Two Diabetes Patients. American
International Journal of Contemporary Research, 5 (3).pp1-5

Al-Khawaldeh, O. A., Al-Hassan, M. A., and Froelicher, E. S., 2012. Self-


Efficacy, Self-Management, and Glycemic Control in Adults With Type 2
Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes and Its Complications 26(1),
pp. 10-16.

ALAboudi, I.S., Hassali, M.A., Shafie, A.A., ALRubeaan, K., dan Hassan, A.,
2014. Knowledge, Attitudes and Quality of Life of Type 2 Diabetes
Patients in Saudi Arabia. Saudi Pharmaceutical Journal 2014. Doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsps.2014.08.001.
Aditama, W. 2011. The Relationship Of Self-Care, Self Efficacy, And Social
Support With Glycemic Control(Hba1c) Among Type-2 Diabetes
Mellitus Patients In Banyudono 1 And Ngemplak Public Health
Centres In Boyolali District Central Java Province. Thesis, Postgraduate
Program Faculty Of Medicine, Gadjah Mada University

American Association of Diabetes Educator, 2014. AADE7™ Self-Care


Behaviors American Association of Diabetes Educators (AADE) Position
http://www.diabeteseducator.org/export/sites/aade/_resources/pdf/publicati
ons/AA7_Position_Statement_Final.pdf. [Accessed March, 23 th 2015]

American Diabetes Association, 2012. Third-Party Reimbursement for Diabetes


Care, Self-Management Education and supplies. Diabetes Care, 35(1)
http://www.care.diabetesjournals.org. [Accessed March, 23 th 2015]

Aditama, W., 2011. The relationship of self-care, self efficacy, and social support
with glycemic control (hba1c) among type-2 diabetes mellitus patients in
Banyudono 1 and Ngemplak public health centres in Boyolali district
central java province. Thesis, Postgraduate Program Faculty Of Medicine,
Gadjah Mada University

165
UNIVERSITAS SUMATERA
16

Adikusuma W., Perwitasari DA., Supadmi W., 2013. Evaluasi Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Farmasains 2(3). pp. 1-8

American Diabetes Association, 2005. The Metabolic Syndrome: Time for a


critical appraisal. Diabetes Care 28(9):2289-304.

Antari, G., Rasdini, I., Triyani, G. 2012. Besar pengaruh dukungan sosial terhadap
kualitas hidup pada penderita diabetes melitus tipe 2 di poliklinik interna
RSUP Sanglah. http://ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/download/
5598/4249. [ Accessed: 3 Februari 2016 ]

Ariani, Y., 2011. Hubungan Antara Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe
2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Di RSUP.H.Adam Malik
Medan. Tesis, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok

Ariyanto, RW., 2014. Karakteristik Faktor – Faktor Risiko Kejadian Diabetes


Mellitus Tipe 2 pada Pasien di RSUD Labuang Baji Makassar Periode Juli
-Desember 2013. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makasar

Association for Clinical Biochemistry and Diabetes United Kingdom, 2008.


Standardisation of the Reference Method for the Measurement of HbA1c
to Improve Diabetes Care, London. The Association for Clinical
Biochemistry and Diabetes United Kingdom

Ayele, K., Tesfa, B., Abebe, L., Tilahun, T., Girma2, E. 2012. Self care behavior
among patients with diabetes in Harari, Eastern Ethiopia: The health belief
model perspective. PLoS ONE 7(Martin et al.): e35515.

Ayuningtyas, M.F., 2010. Evaluasi Drug Therapy Problems Obat Hipoglikemia


Kombinasi Pada Penderita Geriatri Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi
Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari-Juni 2009,
Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.

Bai, Y.L., Chiou, C.P., & Chang, Y.Y. 2009. Self – care behaviour and related
factor in older people with type 2 diabetes. Journal of Clinical
Nursing, 18(1), pp.3308 - 15.

Bani-Issa, W., 2011. Evaluation of the health-related quality of life of Emirati


people with diabetes: integration of sociodemographic and disease-related
variables. Eastern Mediterranean Health Journal, 17 (11): 826-829.

UNIVERSITAS SUMATERA
16

Baur, B., Manna, N., Sarkar, J., Basu, G., Bandyopadhyay, L. dan Bhattacharya,
K., 2013. An epidemiological study on risk factors of diabetes mellitus
among the patients attending a tertiary care hospital of West Bengal, India.
GJMEDPH, 2(4), pp.1-7

Bandura, A., 1997. Self - Efficacy: The Exercise Of Control. Available from:
http://www.uky.edu/ ~eushe2/Pajares/self-efficacy.html#bandura
[ Accessed : 2 April 2015 ]

Baquedano, I. R., Santos, M. A. d., Martins, T. A., Zanetti, M. L., 2010. Self-care
of patients with diabetes mellitus cared for at an emergency service in
mexico1. Rev. Latino-Am. Enfermagem. www.eerp.usp.br/rlae, 18(6), pp.
1195-202.

Beckerle, C. M., and Lavin, M. A., 2013. Association of Self-efficacy and Self-
care with Glycemic Control in Diabetes. Diabetes Spectrum, 26 (3), pp.
172-178.

Bloom B.S., 1956. Taxonomy of Educational Objectives The Classification of


Educational Goals, Unites States of America, David McKay Compani
Inc. pp:62-185

Bognar, G., 2005. The concept of quality of life. Social Theory and Practice,
31(1), pp.1-20.

Bonner, T., Foster M, and Spears-Lanoix E. 2016. Type 2 Diabetes Related Foot
Care Knowledge And Foot Self-Care Practice Interventions In The United
States: A Systematic Review Of The Literature. Diabetic Foot and Ankle
2016 (7): 29758. pp.1-8

British Columbia Ministry of Health, 2011. Self-management support: A Health


Care Intervention.
Cantika, Giska. 2014. Perbedaan Profil Lipid Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Obese dan Non-Obese di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

CDC, 2000, Measuring Healthy Days, population Assessment of Health-Realted


Quality of Life, Atlanta, Georgia.

CDC, 2011. Centers for disease control and prevention. Health related quality of
life (hrqol). March 17, 2011 ed. Atlanta, USA:
http://www.cdc.gov/hrqol/concept.htm.

UNIVERSITAS SUMATERA
16

Coonrod, B.A., Betschart, J. and Harris, M.I., (1994). Frequency and


Determinants of Diabetes Patient Education among Adults in the US
Population. Diabetes Care, 17(8), pp.852-858.
http://dx.doi.org/10.2337/diacare.17.8.852

Dalimunthe, H.A., 2015. Hubungan Antara Komuniksi Terapeutik dengan


Motivasi Mengikuti Panduan DSME (Diabetes Self Management
Education). Jurnal Psikologi Konseling, 7(1) pp.1-5

Dinas Kesehatan RI., 2007, Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Sumatera
Utara, (http:/www.dinkes.go.id dikutip pada 10 April 2012)

Dehghani-Tafti, A., Mahmoodabad, S.S.M., Morowatisharifabad, M.A.,


Ardakani, M. A., Rezaeipandari, H., Lotfi, M. H, 2015. Determinants of
self-care in diabetic patients based on health belief model. Global Journal
of Health Science, 7(5), pp. 33-43.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Tahun 2030 Prevalensi


Diabetes Melitus di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. Available
from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-
2030-prevalensi-diabetesmelitus-di-indonesia-mencapai- 213 - juta orang
html. [Accessed April 2012]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Farahani, Z. Purfarzad, M. Ghorbani, Z.G Zare, F. Ghorbani, 2016. The impact of


Multimedia Software Support on the Knowledge and SelfCare Behaviors
of Patients with Type 2 Diabetes: a Randomized Clinical Trial. Journal of
Caring Sciences, 5 (2), 111-120
Fathmi, A., 2012. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula Darah pada
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Daerah Karanganyar.
Jakarta: Tugas Kelompok, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Ferdinand, A., 2014. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen,


Edisi 5. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Press.
Semarang, Indonesia.

Florkowski C., 2013. HbA1c as a Diagnostic Test for Diabetes Mellitus-


Reviewing the Evidence. The Australian Association of Clinical
Biochemists. 34(2):75-83

UNIVERSITAS SUMATERA
16

Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2010). Buku ajar keperawatan
Keluarga: Riset, teori, dan praktik, alih bahasa, Akhir Yani s. Hamid dkk;
Ed 5. Jakarta: EGC

Gao et al., 2013. Effects of self-care, self-efficacy, social support on glycemic


control in adults with type 2 diabetes. BMC Family Practice; 14:66.
Med. 2000;20:300–1
Gautam, Y., Sharma, Bhatnagar, M.K. dan Trehan, R.R., 2009. A Cross
Sectional Study of QOL of Diabetic Patient At Tertiary Care Hospital In
Delhi. Indian Journal Of Community Medicine Volume : 34 | Issue :
4 | Page : 346-350
Gholami, A., Azini, M., Borji, A., Shirazi, F., Sharafi, Z., dan Zarei, E., 2013.
Quality of Life in Patient with Type 2 Diabetes: Application of
WHOQOL-BREF scale. Shiraz E-Medical Journal 2003, 14 (3): 162-171.

Ghozali, I, 2013. Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan


Program AMOS 21.0. Edisi V. Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Press, Semarang, Indonesia

Glanz , K., Rimer, B.K., Viswanath, K., 2008. Health Behavior and Health
Education Theory Research and Practice. 4 th Edition. San Fransisco,
Jossey Bass A Willey Imprint. pp: 407-29

Gofur, A., 2007. Prevalensi komplikasi penyakit jantung koroner (PJK) pada
penderita DM Tipe 2 di Pusat Diabetes dan Nutrisi RSU Dr. Soetomo
Surabaya, skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Green, L. W., Kreuter, M. W., Deeds, S. G., Partridge, K. B., 1980. Health
education planning a diagnostic approach, California, Mayfield Publishing
Company.

Grey, M., Boland, E. A., Yu, C., Sullivan-Bolyai, S., Tamborlane, W. V. 1998.
Personal and family factors associated with quality of life in adolescents
with diabetes. DIABETES CARE, 21(6), pp. 909-14.

Gustaviani R., 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed: In: Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus
A., Marcellus S.K., Siti S. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. H.
1857-59

Haas, I., Maryniuk, M., Beck, J., et al., 2012. National standards for diabetes self
management education and support. Diabetes Care, 35(30), pp.1630–1637.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Hairi, L.M., Apriatmoko, R., dan Sari, L.N., 2013. Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan tentang Diabetes Mellitus dengan Gaya Hidup Penderita
Diabetes Mellitus Tipe II di Desa Nyatnyono, Kecamatan Ungaran Barat,
Kabupaten Semarang. Skripsi. PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran,
Semarang.

Hair J.F. et.al (1995), ―Multivariate Data Analysis With Reading‖, Fourth
Edition, Prentice Hall. New Jersey

Handelsman, Y., Bloomgarden, Z. T., Grunberger, et al., 2015. American


association of clinical endocrinologists and american college of
endocrinology – clinical practice guidelines for developing a diabetes
mellitus comprehensive care plan – 2015. Diabetes Guidelines, Endocr
Prac, 21(Suppl 1), pp. 1-87

Hanum, N.N., 2013. Hubungan Kadar Glukosa Darah Puasa dengan Profil
Lipid Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Cilegon Periode Januari-April 2013. Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hariyono, 2011. Hubungan Selfcare dengan kulitas hidup penderita Diabetes


Mellitus di poli Penyakit Dalam RSUD Jombang.

Heisler M, Piette JD, Spencer M, Kieffer E, Vijan S. 2005. The Relationship


Between Knowledge of Recent HbA 1c Values and Diabetes Care
Understanding and Self-Management. Diabetes Care 28:816–822

Heltomi, M., 2012. Profil Klinis Dan Laboratorium Penderita Diabetes Melitus
Tipe II Di Instalasi Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek
Provinsi Lampung Periode Juni – Desember 2010. Skripsi, Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati Lampung

Hernandez, A.Q., Granja, L.L., Serrano, V.C., Luna, J.A.M., Leyva, P.M., dan
Moreno, I.Q., 2000. Quality of Life for Diabetic Patients. Revista Cubana
de Medicina General Integral 2000, 16 (1), pp. 50-56.
Hunt, C. W., Wilder, B., Steele, M. M., Grant, J.S., Pryor, E. R., and Moneyham,
L., 2012. Relationships Among Self-Efficacy, Social Support, Social
Problem Solving, and Self Management in A Rural Sample Living
With Type 2 Diabetes Mellitus. Research and Theory For Nursing
Practice, 26(2), pp. 126-141.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Holt, R. I. G., Nicolucci, A., Burns, K. K., et al., 2013. Diabetes attitudes, wishes
and needs second study (dawn2tm : Cross-national comparisons on
barriers and resources for optimal care—healthcare professional
perspective. Diabetic Medicine, 30, pp. 789–98

IDF. 2013. IDF Diabetes Atlas [Online]. Brussels, Belgium: International


Diabetes Federation. Available: http://www.idf.org/diabetesatlas
[Accessed march, 23 th 2014].
Indelicato, L., et al., 2017. Psychological distress, self-efficacy, and glycemic
control in type 2. Nutr Metab Cardiovasc Dis 27 (4), pp.300-06.

Isworo, A., 2010. Hubungan Depresi dan Dukungan Keluarga terhadap Kadar
Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di RSUD
Sragen. Jurnal Keperawatan Soedirman, 5(1), pp.37-46.
Iunes, D. H., Rocha, C. l. B. J., Borges, N. C. S., Marcon, C. O., Pereira, V. r. M.,
Carvalho, L. C. 2014. Self-care associated with home exercises in patients
with type 2 diabetes mellitus. Journal.pone, 9(12), pp. 1-13.

Jalilian, F., Motlagh, F. Z., Solhi, M., Gharibnavaz, H. 2014. Effectiveness of self-
management promotion educational program among diabetic patients
based on health belief model. Journal of Education and Health Promotion,
3(14), pp. 1-5.

Joseph F. Hair, Jr., William C. Black, Barry J.Babin, Rolph E. Anderson, Ronald
L.Tatham, 2006 .Multivariate Data Analysis. (sixth edition), Pearson
Prentice Hall Education International.

Josten S., Mutmainnah, Hardjoeno. 2006. Profil Lipid Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2, 2006. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. Vol. 13( 1) 20-22.

Juwitaningtyas, F.M., 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap


Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Mellitus dalam
Pencegahan Luka Kaki Diabetik di Desa Mranggen Polokarto Sukoharjo.
Skripsi. Program Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Kakouros N. (2011). Platelet Function in Patients With Diabetes Mellitus: from a


Theoritical to a Practical Perspective. Intern J Endocrinology.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013,


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Tahun 2003 Prevalensi DM di


Indonesia mencapai 21.3 Juta Orang. Available from :
http://www.depkes.go.id/article/print/16040700002/menkes-mari-kita-
cegah- diabetes-dengan-cerdik.html [Accessed 20 April 2011]

Khunti, K., Gray, L. J., Skinner, T., et al., 2012. Effectiveness of a diabetes
education and self management programme (desmond) for people with
newly diagnosed type 2 diabetes mellitus: Three year follow-up of a
cluster randomised controlled trial in primary care. British Medical
Journal, 344:e233, pp.1-12

Kiadaliri, A. A., Najafi, B., Mirmalek-Sani, M. 2013. Quality of life in people


with diabetes: A systematic review of studies in iran. Journal of Diabetes
& Metabolic Disorders, 12(54), pp. 1-10.

Kott, K. B., 2008. Self-efficacy, outcome expectation self-care behaviour and


glycosylated haemoglobin level in persons with type 2 diabetes.
http://search.proquest.com/docview/304558972 [ Accessed : 30 March
2015 ]

Kusniawati, 2011. Analisis faktor yang berkontribusi terhadap Self Care Diabetes
pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Tangerang.
Tesis, Program Magister Keperawatan Universitas Indonesia

Kusniyah, Y., Nursiswati, Rahayu, U. 2010. Hubungan Tingkat dengan Tingkat


HbA1C pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin
RSUP.dr. Hasan Sadikin Bandung.

Lai, E.R. (2011). Motivation: A Literature Review. Available from:


http://images.pearsonassessments.com [Accessed 29 November 2016].

Latan, Hengky. 2013. Model Persamaan Struktural: Teori dan Implementasi


AMOS 21.0. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Lindarto, D., Shierly, and Syafril, S., 2016. Neck Circumference in


Overweight/Obese Subjects who Visited the Binjai Supermall in
Indonesia. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 4(3),
pp.319–323. http://doi.org/10.3889/oamjms.2016.072

Loei, G. S. C., Pandelaki, K., & Mandang, V. (2014). Hubungan kadar Hba1C
dengan kadar profil lipid pada pasien Diabetes mellitus tipe 2 di poliklinik
endokrin & metabolik RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. E-clinic, 2(1).

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Made, S. I., Ruth S, I., Putu, Putra, Y.I.D. 2014. Hubungan Self Care Diabetes
dengan Kualitas Hidup Pasien DM Tipe 2 di Poliklinik Interna Rumah
Sakit Umum Daerah Badung. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Available :
http://erepo.unud.ac.id/10027/1/786f4330b618f3ce566057d9c684da4d.pdf
[Accesed 19 Mei 2015].
Mahendran K, Balu, Santha K, Santhoskumar N, Desigan E, Gnana, Anwar,
Mohammad. Serum homocysteine and Lipid Profile Levels in Type 2
Diabetes Mellitus Patients. International Journal of Medical Research and
Health Sciences. Volume 2 Issue 2 April-June.

Mandagi, A.M., 2010. Faktor yang berhubungan dengan Satus Kualitas Hidup
Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Pakis Kecamatan sawahan Kota
Surabaya. http://www alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/pdf. [Accesed
15Juli 2016].

Mandagi, A.M., 2010. Faktor yang Berhubungan dengan Status Kualitas


HidupPenderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Pakis Kecamatan
Sawahan Kota Surabaya. (Online) http://www
alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/pdf

Manjula, G. B., Premkumar, J., 2016. Effects of a Behavioral Intervention on


Self-Efficacy, Self-Care Behavior and HgA1C Values among Patients
with Type 2 Diabetes Mellitus. International Journal of Nursing
Education; 8, pp. 1-5.

Martin, J. S., Padilla, J., Jenkins, N. T., et al., 2012. Functional adaptations in the
skeletal muscle microvasculature to endurance and interval sprint training
in the type 2 diabetic oletf rat. The American Physiological Society
Journal, 113(1), pp. 1223-32.

Marzano R.J., Kendal J.S., 2007. The New Taxonomy of Educational


Objectives. Second edition, California. Corwin Press. pp:21-34

Maudrene TL.,Tan BD., Hao KE., et al., 2014. WHOQOL-BREF Among


Singaporean Patients with Type II Diabetes Mellitus. BMJ. 4(17), pp.
3293-3316.

Mayberry, L.S and Chandra Y.O., 2014. Family involvement is helpful and
harmful to patients’ self-care and glycemic control. NIH Public Access.
Patient Educ Couns. 2014 December ; 97(3): 418–425.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Mercer S.W.,Jani B.D., Maxwell M., Wong S.Y.S., Watt GCM, 2012. Patient
Enablement Requires Physician empathy : a cross sectional study of
general practice consultation in areas of high and low sosioeconomic
deprivation in Scotland. BMC Family Practice, 13(6), pp.1-9

Mishalia, M., Omera, H., Heymannb, D. A., 2011. The importance of measuring
self-efficacy in patients with diabetes. Family Practice;28 (1), pp.82-87.

Mohebi, S., Azadbakht, L., Feizi, A., Sharifirad, G., Kargar, M. 2013. Review the
key role of self-efficacy in diabetes care. Journal of Education and Health
Promotion, 2(13), pp. 1-7.

Murti, B, 2010, Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian kuantitatif dan
kualitatif di Bidang kesehatan, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Pres.

Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan,


Yogyakarta, Penerbit Andi Offset

Notoatmodjo, S., 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasi, Jakarta, Penerbit
Rineka Cipta

Nwanko, C. H., Nandy, B., & Nwanko, B. O. 2010. Factor influencing diabetes
management outcome among patients attending government health
facilities in South East, Nigeria. International Journal of Tropical
Medicine, 5 (2), pp. 28 – 36.

Odili, V., Ugboka, L., dan Oparah, A., 2008. Quality of Life of People With
Diabetes in Benin City As Measured With WHOQOL-BREF. The Internet
Journal of Law, Healthcare and Ethics, 6(2).
Ortiz L.G.C., Cabriales E.C.G., Gonzalez J.G.G., Meza M.B.G. 2010. Self-Care
Behaviors and Health Indicators in Adults with Type 2 Diabetes. Rev.
Lation-Am. Enfermagem; 18(4):675-680.
Ozder, Aclan. 2014. Lipid profile abnormalities seen in T2DM patients in primary
healthcare in Turkey: a cross-sectional study. Ozder Lipids in Health and
Disease 2014, 13:183.

Perhimpunan Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI), 2015. Konsensus


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Available from : http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf [Accessed 12
November 2017].

Powers A.C., 2005. Diabetes Mellitus. In: Kasper, D.L., Anthony S. F.,Dan L.L.,
Eugene B., Stephen L.H., and J. L.J. In: Harrison’s Principles of
Internal Medicine Ed 16. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc. 2152-2179.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Piette, J.D., Schillinger, D., Potter, M.B., & Heisler, M. (2003). Dimensions Of
Patient-Provider Communication And Diabetes-Self Care In An Ethnically
Diverse Population. Journal of General Internal Medicine, 18, 624-633.

Rizkifani, S., Perwitasari, D., Supadmi, W. 2014. Pengukuran kualitas hidup


pasien diabetes melitus 01 rs pku muhammadiyah bantul. FARMASAINS
2(3).

Rubin R.R., Peyrot M., 1999. Quality of life and diabetes. Diabetes Metabolism
Research and Review, vol. 15, pp. 205-18

Patil, et al. 2012. Korelasi Gula Darah dengan Lingkar Pinggang dan Indeks
Massa Tubuh di Populasi India. Mumbai : Global J. Pharmacol., 6 (1): 08-
11.

Perkins, B.A., 2011. Glycemic Control is Related to the Morphological Severity of


Diabetic Sensorimotor Polyneuropathy. Diabetes Care. 24(4): 748‐752.

Putra, W.K.Y, 2012. Pengukuran Antropometri Pengganti untuk Mendeteksi


Kasus BBLR di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya. Universitas
Indonesia. Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Kekhususan Gizi Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Depok Indonesia

Putri, N.H.K., Isfandiari, M.A., 2013. Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM


Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula Darah. Skripsi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya : pp.234-243.

Priyadi, Rheza, Saraswati, Made Ratna. 2012. Hubungan Antara Kendali


Glikemik Dengan Profil Lipid Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Raykov, Tenko and Marcoulides, George, A. 2006 ―A First Course in Structural


Equation Modeling‖ (2nd ed), Lawrence Erlbaum Associates, Inc. New
Jersey.

Rofil, F., Setiawati, E.P., Wiramihardja, S., 2017. Gambaran Pelayanan Konseling
Gizi dan Olahraga pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas
Kota Bandung. JSK, (2) 4 pp1-5.

Rondonuwu, GR., Rompas, S., 2016. Hubungan Antara Perilaku Olahraga


Dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wolaang Kecamatan Langowan Timur. E-journal(e-Kp) (4)
1pp 1-5

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Rubin R. 1998. Differential effect of diabetes education on self regulation and life
stage behaviors. Diabetes Care. 1998;14:335–8
Santoso, S., 2007, Structural Equation Modelling. Kosep dan Aplikasi dengan
AMOS, Jakarta, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Sarwono. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis,
dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi,
Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1884-1888.

Sharoni, S. K. A. & Wu, S. F. V. (2012). Self-efficacy and self-care behavior of


Malaysian patients with type 2 diabetes a cross sectional survey. Nursing
and Health Sciences, 14, 38–45.

Shigaki, C., Kruse, R. L., Mehr, D., Sheldon, K. M., Bin Ge., & Moore, C., 2010.
Motivation and diabetes self-management. Journal of Psychology, 6
(3), pp. 110 – 115.

Shrivastava, S. R., Shrivastava, P. S., Ramasamy, J., 2013. Role of self-care in


management of diabetes mellitus. Journal of Diabetes & Metabolic
Disorders, 12(14), pp. 1-5

Singh, G. and Kumar, A.K. 2012. A Study of Lipid Profile in Type 2 Diabetic
Punjabi Population. Journal of Exercise Science and Physiotherapy. Vol.
8, No. 1: 7-10

Sigurdardottir, A.K. (2005). Self-Care In Diabetes : Model Of Factors Affecting


Self Care. Journal Of Clinical Nursing (14). pp.301-3014.

Smalls B.L., Gregory C.M., Zoller J.S., Egede L.E. 2015. Assesing the
relationship between neighborhood factors and diabetes related health
outcomes and self-care behaviors. BMC Health Services Research;
15:445.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2011). Brunner &
suddarth’s textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Singh, Bradley, 2006. Quality of life in diabetes. Health Psychology Research,


Department of Psychology, Royal Holloway, University of London,
Egham, Surrey TW20 0EX, United Kingdom.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Soegondo S., 2006. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus


Tipe 2. In: Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti
S. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jilid III Ed 4, H 1860-3.

Soewondo. 2006. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus A.,
Marcellus S.K., Siti S. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jilid III
Ed 4, H 1874-7.

South-Paul, J.E., Matheny, S.C., Lewis, E.L. 2011. Diagnosis dan Terapi Terkini
Kedokteran Keluarga. Edisi 3. EGC. Jakarta.
Suyono S., 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo A.W., Bambang S.,
Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas I
ndonesia Jilid III Ed 4, H 1852-6.

Sultanpur CM, Deepa K, Kumar SV. Comprehensive review on HbA1c in


diagnosis of diabetes mellitus. Int J Pharm Sc Rev Resc. 2010;3:119-21.

Spasić, A., Radmila, R. V., Đorđević, A. C., Stefanović, N., Cvetković, T. 2014.
Quality of life in type 2 diabetic patients. Scientific Journal of the Faculty
of Medicine, 31(3), pp. 193-200.

Sturt, J., Hearnshaw, H., & Wakelin, M. (2012). Validity and reliability of the
DMSES UK: a measure of self-efficacy for type 2 diabetes self
management. Primary Health Care Research & Development, 11, 374–
381.

Tamara, E., Bhayyaki, and Nauli, F.A. (2014). Hubungan antara Dukungan Keluarga dan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe II di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau. JOM PSIK. 1(2), pp. 1-7.

Taylor, S.E. (2006). Health Psychology. (6th ed). Singapore: MC. Grow Hill Book
Company
Tol, A., Shojaeezadeh, D., Sharifirad, G., Eslami, A., Mohajeritehrani, M.,
Baghbanian, A., 2012. Evaluation of self-care practices and relative
components among type 2 diabetic patients. Journal of Education and
Health Promotion 1(19), pp. 1-5.

Tol A, D. , Shojaeezadeh D., Sharifirad G., Alhani F., Tehrani M.M., 2012.
Determination of empowerment score in type 2 diabetes patients and its
related factors. Journal of the Pakistan Medical Association, 62(1), pp16-
20.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Verma, M., Paneri, S., Badi, P., Raman, P. G., 2006. Effect of increasing duration
of diabetes mellitus type 2 on glycated hemoglobin and insulin sensitivity.
Indian J Clin Biochem, 21(1). Pp.142-6.

Walker, J. R., Smalls, B. L., Hernandez-Tejada, M. A., Campbell, J. A., Leonard,


E., 2014. Effect of diabetes self-efficacy on glycemic control, medication
adherence, self-care behaviors, and quality of life in a predominantly low-
income, minority population.Egede. Ethn Dis; 24(3): 349–355.

Wandell, P. E. 2005. Quality of life of patients with diabetes mellitus an overview


of research in primary health care in the nordic countries. Scandinavian
Journal of Primary Health Care, vol.23, pp. 68-74.

Waspadji S., 2006. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,


Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Sudoyo A.W., Bambang S.,
Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jilid III Ed 4, H 1884-8

Webber, D., Guo, Z., Mann, S., 2013. Self-care in health: We can define it, but
should we also measure it? Self Care Journal, 4(5), pp.101-106.

Wild, Sarah, Gojka Roglic, Anders Green, Richard Sicree, and Hilary King. 2004.
Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000 and
Projections for 2030. Diabetes Care 27(5). Pp.1047-1053.

World Health Organization, 2009. Self-care in the context of primary health care.
Report of the Regional Consultation Bangkok, Thailand, 7–9 January 2009

, 2011. Diabetes. Available from: http://www.who.int/mediacentre/


factsheets/fs312/en/index.html. [Accessed 27 Agustus 2015]

, 2014. WHO Quality of Life-BREF (WHOQOL-BREF). Available from:


http://www. who.int /substance_abuse/research_tools/whoqolbref/en/
[Accessed 15 April 2014 ]

, 1997. Measuring quality of life. Available from: http://www.who.int


/mental_health/media/68.pdf---, 2009. Self-care in the context of primary
health care.

Xu Yin, Toobert, D., Savage, C., Pan, W., & Whitmer, K. (2008). Factor
Influencing Diabetes Self-Management In Chinese People With Type 2
Diabetes. Research in Nursing & Health, 31, 613-625.

UNIVERSITAS SUMATERA
17

Von Arx L, Gydesen H, dan Shovland S. 2016. Treatment belief , health behavior,
and their association with treatment outcome in Type 2 diabetes. BMJ
Open Diabetes Res Care, 2016;4(1):e00016

Wahyuni, R., Arsin, A.A., dan Abdullah, A.Z., 2012. Faktor yang Berhubungan
dengan Tingkat Kecemasan pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di RS
Bhayangkara Andi Mappa Oudang Makassar. Skripsi. Badan Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Wu, S.F.V., 2007. Effectiveness of Self- management for Person with Type 2
Diabetes Following the Implementation of a Self-efficacy Enhancing
Intervention Program in Taiwan. Available from:
http://eprints.qut.edu.au /16385/1/Shu-Fang_Wu [ Accessed: 30 March
2015]

Yamin, S., 2009, Structural Equation Modelling. Belajar lebih Mudah Teknik
Analisis Kuesioner dengan Lisrel-PLS, Yogyakarta, Penerbit
Salemba Infotek.

Yoo, H., Kim, C. J., Jang, Y., & You, M-A. (2011). Self-efficacy associated with
self-management behaviours and health status of South Koreans with
chronic diseases. International Journal of Nursing Practice, 17, 599–606.

Zuniga R. 2013 .The Influence Of Group Medical Visits On Patients’ Behavioral


Intentions, Self-Management Behaviors, And Clinical Outcomes.
Presented to the Faculty of the University of Alaska Anchorage and the
University of Alaska Fairbanks

UNIVERSITAS SUMATERA
18

Lampiran

Hasil Uji Asumsi Outlier data


Tabel Uji Asumsi Outlier

Observation Mahalanobis
p1 p2
number d-squared
114.000 95.621 0.001 0.034
107.000 94.971 0.001 0.001
24.000 91.251 0.001 0.001
25.000 85.587 0.003 0.001
28.000 83.580 0.005 0.001
15.000 80.661 0.008 0.002
37.000 78.874 0.012 0.001
40.000 76.186 0.020 0.002
47.000 74.935 0.025 0.003
110.000 73.949 0.030 0.003
99.000 72.786 0.037 0.004
88.000 72.765 0.037 0.001
10.000 72.324 0.040 0.001
45.000 72.136 0.041 0.001
72.000 71.701 0.044 0.001
96.000 71.123 0.049 0.001
32.000 70.289 0.056 0.001
22.000 70.008 0.059 0.001
109.000 69.311 0.066 0.001
115.000 68.698 0.072 0.001
19.000 68.373 0.076 0.001
16.000 68.040 0.080 0.001
44.000 67.952 0.081 0.001
17.000 67.777 0.083 0.001
67.000 66.488 0.101 0.001
31.000 66.205 0.105 0.001
11.000 66.039 0.108 0.001
18.000 65.970 0.109 0.001
56.000 65.543 0.116 0.001
65.000 65.124 0.123 0.001
8.000 64.459 0.135 0.001
108.000 63.496 0.153 0.001
30.000 63.250 0.158 0.001

UNIVERSITAS SUMATERA
18

68.000 63.020 0.163 0.001


12.000 62.720 0.170 0.001
70.000 62.215 0.181 0.001
23.000 61.881 0.189 0.001
27.000 61.264 0.204 0.001
69.000 61.171 0.206 0.001
34.000 61.028 0.210 0.001
59.000 60.143 0.233 0.002
101.000 59.905 0.240 0.002
113.000 56.904 0.332 0.195
14.000 56.612 0.342 0.204
87.000 56.488 0.346 0.178
33.000 56.120 0.359 0.204
57.000 56.057 0.361 0.166
7.000 55.988 0.363 0.134
29.000 55.932 0.365 0.105
82.000 54.300 0.425 0.449
50.000 53.874 0.441 0.512
98.000 53.873 0.441 0.438
5.000 53.262 0.464 0.564
9.000 53.131 0.469 0.533
61.000 51.681 0.526 0.866
4.000 51.634 0.527 0.832
62.000 51.441 0.535 0.827
41.000 51.117 0.548 0.848
38.000 50.037 0.590 0.962
80.000 49.694 0.604 0.970
39.000 49.664 0.605 0.957
54.000 49.494 0.611 0.953
6.000 49.173 0.624 0.961
64.000 48.444 0.652 0.987
13.000 48.389 0.654 0.981
71.000 48.256 0.659 0.977
2.000 47.551 0.686 0.992
103.000 47.501 0.687 0.989
111.000 46.458 0.725 0.999
93.000 46.344 0.729 0.998
46.000 46.343 0.729 0.997
42.000 46.184 0.735 0.996
84.000 45.922 0.744 0.996
102.000 45.797 0.748 0.995

UNIVERSITAS SUMATERA
18

53.000 45.194 0.768 0.998


1.000 44.555 0.789 1.000
26.000 44.010 0.806 1.000
21.000 43.623 0.817 1.000
85.000 43.108 0.832 1.000
90.000 42.764 0.841 1.000
94.000 42.757 0.842 1.000
20.000 42.739 0.842 1.000
52.000 42.428 0.850 1.000
51.000 41.876 0.865 1.000
97.000 41.730 0.868 1.000
3.000 41.187 0.881 1.000
66.000 41.165 0.881 1.000
86.000 40.390 0.898 1.000
60.000 40.369 0.899 1.000
100.000 39.407 0.917 1.000
43.000 39.325 0.919 1.000
91.000 39.222 0.921 1.000
104.000 39.004 0.924 1.000
36.000 37.828 0.943 1.000
83.000 37.534 0.947 1.000
74.000 36.977 0.954 1.000
78.000 36.610 0.958 1.000
63.000 36.414 0.960 1.000
35.000 36.073 0.964 1.000
49.000 35.645 0.968 1.000
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

Tabel Asumsi Normalitas Data

Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.


TC 15 24 -0.565 -2.475 -0.79 -1.73
TG 45 75 -1.779 -7.787 2.241 4.906
LDL 24 40 -0.726 -3.177 0.861 1.884
HDL 4 385 -0.491 -2.151 3.759 8.228
HBA1C 1 600 0.522 2.285 0.133 0.291
KGD 1 15.5 -0.332 -1.452 0.13 0.285
y4#5 2 5 0.886 3.878 0.461 1.008
y3#5 3 5 -1.633 -7.148 0.885 1.938
y2#5 2 5 1.055 4.619 7.513 16.447
y4#4 2 5 0.084 0.367 -0.414 -0.905

UNIVERSITAS SUMATERA
18

y4#3 2 5 0.552 2.418 -0.209 -0.457


y4#2 3 5 -0.573 -2.508 -1.283 -2.808
y4#1 3 5 -0.67 -2.933 -1.155 -2.528
y3#4 2 4 0.941 4.12 1.826 3.996
y3#3 2 4 0.065 0.286 3.05 6.676
y3#2 2 5 0.545 2.385 4.655 10.189
y3#1 2 5 0.796 3.484 4.899 10.724
y2#4 2 4 -0.825 -3.613 3.003 6.574
y2#3 2 4 0.258 1.129 3.73 8.164
y2#2 2 4 0.233 1.02 2.711 5.934
y2#1 1 4 -1.284 -5.62 6.418 14.048
y1#4 2 4 0.627 2.747 3.56 7.792
y1#3 2 4 -1.006 -4.406 2.434 5.329
y1#2 2 4 -0.627 -2.747 3.56 7.792
y1#1 2 4 -0.112 -0.492 4.661 10.203
x7#4 1 5 -1.2 -5.253 2.796 6.12
x7#3 1 5 -3.02 -13.835 12.692 27.783
x7#2 3 5 -0.063 -0.275 0.261 0.572
x7#1 2 5 -1.14 -4.993 6.623 14.497
x6#4 3 5 -1.433 -6.275 1.04 2.276
x6#3 1 4 0.137 0.599 -0.213 -0.466
x6#2 2 4 0.05 0.221 2.474 5.416
x6#1 2 4 0.003 0.015 -0.979 -2.143
x5#4 1 5 -0.959 -4.197 1.448 3.169
x5#3 1 5 -1.275 -5.582 3.05 6.677
x5#2 1 5 -1.715 -7.507 5.854 12.815
x5#1 2 5 -1.087 -4.759 3.155 6.906
x4#4 1 5 -1.121 -4.906 1.938 4.243
x4#3 1 5 -1.664 -7.287 7.565 16.559
x4#2 2 5 -1.292 -5.655 5.651 12.371
x4#1 1 5 -1.422 -6.226 3.85 8.429
x3#4 1 5 -0.921 -4.033 1.261 2.76
x3#3 1 5 -0.634 -2.776 0.502 1.099
x3#2 1 4 0.374 1.637 -0.913 -1.999
x3#1 1 4 -0.093 -0.409 -1.299 -2.843
x2#4 2 4 -0.224 -0.98 -1.216 -2.661
x2#3 1 5 -1.456 -6.374 4.82 10.551
x2#2 1 5 -1.448 -6.338 5.358 11.728
x2#1 2 5 -1.19 -5.211 1.537 3.363
x1#4 1 4 -0.712 -3.115 0.466 1.02
x1#3 1 3 0.995 4.355 -0.197 -0.432

UNIVERSITAS SUMATERA
18

x1#2 1 5 0.07 0.306 0.47 1.03


x1#1 1 4 -0.961 -4.205 1.218 2.667
Multivariate 16,365 2,404
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2017)

UNIVERSITAS SUMATERA
18

Lampiran : Hasil Output Analisis Data

Modification Indices Untuk Modifikasi Model

Covariances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change


e68 <--> selfcare 12.444 -.194
e67 <--> e68 5.024 .033
e62 <--> e66 4.387 .028
e59 <--> e62 4.902 -.012
e56 <--> e68 4.428 -.025
e54 <--> selfcare 4.342 -.148
e54 <--> e68 15.168 .158
e72 <--> e68 10.280 .100
e72 <--> e56 8.789 -.035
e71 <--> e65 4.554 -.332
e71 <--> e63 41.059 .256
e71 <--> e67 13.182 -.062
e70 <--> e63 6.245 -.047
e69 <--> e72 5.190 .042
e69 <--> e70 5.884 -.025
e52 <--> e57 4.907 .444
e51 <--> e65 8.189 1.751
e51 <--> e69 6.502 .224
e50 <--> e55 4.447 -3.268
e50 <--> e56 10.699 3.153
e50 <--> e71 4.450 -6.347
e44 <--> e68 4.800 .068
e44 <--> e62 4.392 .014
e44 <--> e56 6.545 -.030
e44 <--> e72 35.868 .185
e44 <--> e70 9.259 .053
e43 <--> e68 14.044 .129
e43 <--> e59 5.999 -.066
e43 <--> e56 8.317 -.038
e43 <--> e72 39.371 .214
e43 <--> e49 5.167 10.962
e43 <--> e44 50.962 .243
e41 <--> e71 8.179 .055
e40 <--> e69 16.737 .052

UNIVERSITAS SUMATERA
18

M.I. Par Change


e39 <--> e40 5.272 .031
e38 <--> e55 4.748 -.025
e38 <--> e71 6.314 -.056
e38 <--> e42 8.629 .028
e38 <--> e41 12.069 -.034
e37 <--> e66 8.216 -.119
e37 <--> e63 9.030 -.068
e37 <--> e56 6.545 -.021
e37 <--> e71 7.579 -.070
e37 <--> e70 21.601 .055
e37 <--> e52 6.128 -.629
e37 <--> e40 6.689 -.037
e37 <--> e38 8.334 .036
e36 <--> e38 5.083 .021
e35 <--> e59 10.275 -.045
e35 <--> e71 5.957 .052
e35 <--> e70 12.008 -.034
e35 <--> e69 12.283 .037
e34 <--> e63 4.674 .045
e34 <--> e62 4.219 .008
e34 <--> e59 11.967 -.052
e34 <--> e40 11.454 .044
e34 <--> e38 5.003 -.026
e34 <--> e37 5.261 -.030
e34 <--> e35 8.436 .032
e33 <--> e67 4.104 -.019
e33 <--> e62 6.878 .011
e33 <--> e61 5.853 -.024
e33 <--> e55 5.250 .028
e33 <--> e71 6.183 .059
e33 <--> e53 4.845 .167
e33 <--> e41 6.333 .026
e33 <--> e38 4.662 -.026
e33 <--> e34 4.021 .024
e31 <--> e67 10.279 -.024
e31 <--> e62 13.617 .013
e31 <--> e59 4.919 .028
e31 <--> e55 5.257 .023
e31 <--> e69 6.349 -.025
e31 <--> e40 5.581 -.026
e31 <--> e39 4.917 -.023

UNIVERSITAS SUMATERA
18

M.I. Par Change


e31 <--> e38 12.958 -.035
e31 <--> e36 10.312 .027
e31 <--> e33 4.818 .023
e30 <--> e67 5.044 -.015
e30 <--> e71 4.711 .037
e30 <--> e52 4.134 .349
e30 <--> e38 5.539 -.020
e29 <--> e67 15.211 .028
e29 <--> e62 11.152 -.011
e29 <--> e71 14.566 -.072
e29 <--> e70 5.360 .020
e29 <--> e44 4.586 -.034
e29 <--> e41 4.594 -.018
e29 <--> e38 16.771 .039
e29 <--> e36 5.254 -.018
e29 <--> e35 5.937 -.022
e29 <--> e33 20.405 -.046
e28 <--> e57 4.758 .046
e27 <--> e43 4.380 .064
e26 <--> e71 5.150 .068
e26 <--> e35 5.298 .033
e25 <--> e62 4.930 -.011
e25 <--> e43 6.255 -.062
e25 <--> e35 10.834 -.043
e25 <--> e34 12.283 -.049
e25 <--> e31 5.632 .028
e24 <--> e59 4.066 .049
e24 <--> e57 5.916 .041
e24 <--> e56 4.152 .024
e24 <--> e54 4.003 .081
e24 <--> e70 6.394 .044
e24 <--> e52 7.730 1.035
e24 <--> e51 5.010 -.327
e23 <--> e72 10.135 -.109
e22 <--> e61 4.168 -.022
e21 <--> e51 4.355 -.269
e21 <--> e49 6.036 -9.508
e20 <--> e49 4.218 -9.771
e20 <--> e23 6.505 -.095
e19 <--> e58 4.924 .017
e19 <--> e49 4.185 -8.980

UNIVERSITAS SUMATERA
18

M.I. Par Change


e19 <--> e48 4.233 .209
e19 <--> e20 59.980 .260
e18 <--> e65 4.795 -.212
e18 <--> e71 6.580 .071
e18 <--> e48 8.173 -.215
e18 <--> e39 6.115 -.036
e18 <--> e31 4.070 .025
e18 <--> e19 12.350 -.079
e17 <--> e23 4.785 .056
e17 <--> e19 5.045 -.052
e17 <--> e18 6.606 .043
e16 <--> e71 5.440 .100
e15 <--> e56 5.158 -.027
e14 <--> e65 6.090 .274
e14 <--> e58 7.490 -.017
e14 <--> e56 9.335 .031
e14 <--> e50 5.918 5.229
e14 <--> e48 7.604 .239
e14 <--> e18 10.603 -.064
e14 <--> e17 4.591 .043
e14 <--> e15 4.878 -.059
e13 <--> e68 4.146 .072
e13 <--> e66 7.040 .183
e13 <--> e55 7.172 -.058
e13 <--> e52 7.170 1.129
e13 <--> e21 4.486 .066
e13 <--> e17 11.799 -.091
e12 <--> e66 5.301 .172
e12 <--> e58 5.888 .022
e12 <--> e52 11.415 1.544
e12 <--> e49 6.993 -14.221
e12 <--> e43 4.877 -.093
e12 <--> e42 5.355 .045
e12 <--> e41 4.125 -.040
e12 <--> e21 9.827 .105
e12 <--> e17 7.438 -.079
e12 <--> e13 48.333 .300
e11 <--> e66 4.671 -.159
e11 <--> e72 4.778 .082
e11 <--> e52 19.202 -1.978
e11 <--> e51 10.145 .564

UNIVERSITAS SUMATERA
18

M.I. Par Change


e11 <--> e33 5.585 -.057
e11 <--> e24 5.773 -.090
e10 <--> e50 4.342 -7.712
e10 <--> e34 4.915 .062
e10 <--> e30 7.985 -.059
e9 <--> e10 15.232 .245
e8 <--> e66 5.898 .136
e8 <--> e57 5.785 .037
e8 <--> e50 5.044 -5.218
e8 <--> e10 6.000 .103
e8 <--> e9 7.891 .111
e7 <--> e55 9.516 .047
e7 <--> e72 4.448 -.055
e7 <--> e50 9.682 6.540
e7 <--> e43 4.682 -.062
e7 <--> e23 10.133 .091
e7 <--> e20 7.313 -.076
e7 <--> e18 9.495 .059
e7 <--> e17 13.540 .072
e7 <--> e14 8.103 .063
e6 <--> e52 4.259 .668
e6 <--> e37 4.677 -.040
e6 <--> e24 6.562 .069
e6 <--> e20 6.179 .073
e6 <--> e19 4.202 .055
e6 <--> e17 6.357 -.051
e6 <--> e13 5.290 .070
e6 <--> e12 8.239 .095
e5 <--> e52 7.022 1.075
e5 <--> e51 5.300 -.367
e5 <--> e48 4.047 .222
e5 <--> e26 5.978 .067
e5 <--> e11 5.357 -.095
e5 <--> e6 7.591 .081
e3 <--> e69 6.196 .050
e3 <--> e52 4.442 -.845
e3 <--> e51 4.233 .324
e3 <--> e33 4.896 -.047
e3 <--> e19 5.077 .075
e3 <--> e17 4.025 -.051
e3 <--> e9 11.356 .155

UNIVERSITAS SUMATERA
19

M.I. Par Change


e3 <--> e5 5.083 -.082
e3 <--> e4 6.069 .090
e2 <--> e66 4.743 .171
e2 <--> e24 9.202 -.122
e2 <--> e10 6.093 .146
e2 <--> e6 10.412 -.113
e1 <--> selfcare 4.324 -.147
e1 <--> e68 15.135 .158
e1 <--> e24 4.048 .081

UNIVERSITAS SUMATERA
19

Goodness of Fit Summary Model Sebelum Modifikasi

CMIN

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF


Default model 117 2798.071 1314 .000 2.129
Saturated model 1431 .000 0
Independence model 53 3881.830 1378 .000 2.817

RMR, GFI

Model RMR GFI AGFI PGFI


Default model 30.045 .558 .518 .512
Saturated model .000 1.000
Independence model 27.837 .390 .366 .375

Baseline Comparisons

NFI RFI IFI TLI


Model CFI
Delta1 rho1 Delta2 rho2
Default model .279 .244 .422 .378 .407
Saturated model 1.000 1.000 1.000
Independence model .000 .000 .000 .000 .000

Parsimony-Adjusted Measures

Model PRATIO PNFI PCFI


Default model .954 .266 .388
Saturated model .000 .000 .000
Independence model 1.000 .000 .000

NCP

Model NCP LO 90 HI 90
Default model 1484.071 1335.654 1640.182
Saturated model .000 .000 .000
Independence model 2503.830 2321.657 2693.549

FMIN

Model FMIN F0 LO 90 HI 90
Default model 24.544 13.018 11.716 14.388
Saturated model .000 .000 .000 .000
Independence model 34.051 21.963 20.365 23.628

UNIVERSITAS SUMATERA
19

RMSEA

Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE


Default model .100 .094 .105 .000
Independence
.126 .122 .131 .000
model

AIC

Model AIC BCC BIC CAIC


Default model 3032.071 3242.671 3353.228 3470.228
Saturated model 2862.000 5437.800 6789.998 8220.998
Independence
3987.830 4083.230 4133.311 4186.311
model

ECVI

Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI


Default model 26.597 25.295 27.967 28.444
Saturated model 25.105 25.105 25.105 47.700
Independence
34.981 33.383 36.645 35.818
model

HOELTER

HOELTER HOELTER
Model
.05 .01
Default model 58 59
Independence model 44 45

Goodness of Fit Summary Model Setelah Modifikasi

CMIN

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF


Default model 130 2708.281 1301 .001 2.082
Saturated model 1431 .000 0
Independence
53 3881.830 1378 .000 2.817
model

UNIVERSITAS SUMATERA
19

RMR, GFI

Model RMR GFI AGFI PGFI


Default model 28.287 .974 .932 .922
Saturated model .000 1.000
Independence
27.837 .390 .366 .375
model

Baseline Comparisons

NFI RFI IFI TLI


Model CFI
Delta1 rho1 Delta2 rho2
Default model .902 .961 .955 .905 .938
Saturated model 1.000 1.000 1.000
Independence
.000 .000 .000 .000 .000
model

Parsimony-Adjusted Measures

Model PRATIO PNFI PCFI


Default model .944 .285 .413
Saturated model .000 .000 .000
Independence
1.000 .000 .000
model

NCP

Model NCP LO 90 HI 90
Default model 1407.281 1261.866 1560.407
Saturated model .000 .000 .000
Independence
2503.830 2321.657 2693.549
model

FMIN

Model FMIN F0 LO 90 HI 90
Default model 23.757 12.345 11.069 13.688
Saturated model .000 .000 .000 .000
Independence
34.051 21.963 20.365 23.628
model

UNIVERSITAS SUMATERA
19

RMSEA

Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE


Default model .097 .092 .103 .000
Independence
.126 .122 .131 .000
model

AIC

Model AIC BCC BIC CAIC


Default model 2968.281 3202.281 3325.123 3455.123
Saturated model 2862.000 5437.800 6789.998 8220.998
Independence
3987.830 4083.230 4133.311 4186.311
model

ECVI

Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI


Default model 26.038 24.762 27.381 28.090
Saturated model 25.105 25.105 25.105 47.700
Independence
34.981 33.383 36.645 35.818
model

HOELTER

HOELTER HOELTER
Model
.05 .01
Default model 59 60
Independence
44 45
model

UNIVERSITAS SUMATERA
19

Hasil Regression Weights Model

Estimate S.E. C.R. P Label


Qol <--- selfcare 1.000
kom <--- selfcare 1.000
sik <--- selfcare 1.000
mot <--- selfcare .670 .161 4.174 *** par_37
efi <--- selfcare -.556 .186 -2.995 .003 par_38
peng <--- selfcare .273 .141 1.945 .002 par_39
pem <--- selfcare -.041 .076 -.538 .009 par_40
duk <--- selfcare -.039 .108 -.360 .019 par_41
Met <--- selfcare -.894 .547 -1.636 .002 par_42
Lip <--- selfcare -.627 1.478 -.425 .001 par_43
fisik <--- Qol 1.000
sos <--- Qol .455 .102 4.468 *** par_44
ling <--- Qol .834 .119 6.983 *** par_45
psi <--- Qol .591 .279 2.122 .034 par_46
x1#1 <--- sik 1.000
x1#2 <--- sik .000 .002 .253 .800 par_1
x1#3 <--- sik .005 .011 .404 .686 par_2
x1#4 <--- sik -.002 .006 -.399 .690 par_3
x2#1 <--- mot 1.000
x2#2 <--- mot 1.268 .343 3.699 *** par_4
x2#3 <--- mot 1.780 .450 3.952 *** par_5
x2#4 <--- mot -.092 .201 -.456 .648 par_6
x3#1 <--- efi 1.000
x3#2 <--- efi .887 .413 2.148 .032 par_7
x3#3 <--- efi -1.941 .690 -2.813 .005 par_8
x3#4 <--- efi -.619 .387 -1.602 .109 par_9
x4#1 <--- peng 1.000
x4#2 <--- peng .752 .566 1.329 .184 par_10
x4#3 <--- peng 2.530 1.321 1.915 .056 par_11
x4#4 <--- peng 4.619 2.366 1.952 .051 par_12
x5#1 <--- kom 1.000
x5#2 <--- kom 1.271 .114 11.154 *** par_13
x5#3 <--- kom 1.032 .149 6.914 *** par_14
x5#4 <--- kom 1.209 .159 7.605 *** par_15
x6#1 <--- pem 1.000
x6#2 <--- pem 1.321 .726 1.820 .069 par_16
x6#3 <--- pem 1.252 .536 2.334 .020 par_17
x6#4 <--- pem .095 .327 .291 .771 par_18
x7#1 <--- duk 1.000

UNIVERSITAS SUMATERA
19

Estimate S.E. C.R. P Label


x7#2 <--- duk .154 .530 .290 .772 par_19
x7#3 <--- duk .002 .034 .051 .959 par_20
x7#4 <--- duk .090 .331 .273 .785 par_21
y1#1 <--- fisik 1.000
y1#2 <--- fisik .806 .082 9.857 *** par_22
y1#3 <--- Fisik .721 .090 7.969 *** par_23
y2#1 <--- Sos 1.000
y2#2 <--- Sos 1.336 .341 3.917 *** par_24
y2#3 <--- Sos 1.212 .325 3.732 *** par_25
y2#4 <--- Sos 1.561 .367 4.256 *** par_26
y3#1 <--- ling 1.000
y3#2 <--- ling .949 .153 6.211 *** par_27
y3#3 <--- ling .593 .140 4.239 *** par_28
y3#4 <--- ling .349 .138 2.532 .011 par_29
y4#1 <--- psi 1.000
y4#2 <--- psi 1.211 .211 5.732 *** par_30
y4#3 <--- psi .111 .082 1.362 .173 par_31
y4#4 <--- psi -.206 .078 -2.649 .008 par_32
KGD <--- Met 1.000
HBA1C <--- Met 38.629 10.470 3.690 *** par_33
HDL <--- Lip 1.000
LDL <--- Lip .995 2.256 .441 .050 par_34
TG <--- Lip 3.408 7.853 .434 .004 par_35
TC <--- Lip .730 1.664 .439 .001 par_36
y1#4 <--- Fisik .457 .097 4.694 *** par_47
y2#5 <--- Sos 1.932 .456 4.233 *** par_48
y3#5 <--- ling .830 .296 2.807 .005 par_49
y4#5 <--- psi -.030 .071 -.428 .668 par_50

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate
Qol <--- selfcare .879
kom <--- selfcare .976
sik <--- selfcare .150
mot <--- selfcare 1.013
efi <--- selfcare .974
peng <--- selfcare .961
pem <--- selfcare .182
duk <--- selfcare .041

UNIVERSITAS SUMATERA
19

Estimate
Met <--- selfcare .413
Lip <--- selfcare .301
Fisik <--- Qol .987
Sos <--- Qol .998
ling <--- Qol .997
psi <--- Qol .704
x1#1 <--- sik 5.200
x1#2 <--- sik .004
x1#3 <--- sik .046
x1#4 <--- sik -.024
x2#1 <--- mot .728
x2#2 <--- mot .862
x2#3 <--- mot .931
x2#4 <--- mot -.113
x3#1 <--- efi .592
x3#2 <--- efi .518
x3#3 <--- efi -.867
x3#4 <--- efi -.447
x4#1 <--- peng .402
x4#2 <--- peng .400
x4#3 <--- peng .795
x4#4 <--- peng .924
x5#1 <--- kom .932
x5#2 <--- kom .966
x5#3 <--- kom .888
x5#4 <--- kom .903
x6#1 <--- pem .420
x6#2 <--- pem .689
x6#3 <--- pem .421
x6#4 <--- pem .037
x7#1 <--- duk 1.885
x7#2 <--- duk .266
x7#3 <--- duk .003
x7#4 <--- duk .114
y1#1 <--- kes .979
y1#2 <--- kes .970
y1#3 <--- kes .946
y2#1 <--- hub .820
y2#2 <--- hub .896
y2#3 <--- hub .891
y2#4 <--- hub .947

UNIVERSITAS SUMATERA
19

Estimate
y3#1 <--- ling .932
y3#2 <--- ling .941
y3#3 <--- ling .845
y3#4 <--- ling .648
y4#1 <--- psi .928
y4#2 <--- psi 1.029
y4#3 <--- psi .165
y4#4 <--- psi -.323
KGD <--- Met .842
HBA1C <--- Met .788
HDL <--- Lip .045
LDL <--- Lip .656
TG <--- Lip .811
TC <--- Lip .594
y1#4 <--- kes .841
y2#5 <--- hub .960
y3#5 <--- ling .759
y4#5 <--- psi -.050

UNIVERSITAS SUMATERA
19

KUESIONER PENELITIAN

MODEL PERILAKU SELF CARE PENGARUHNYA TERHADAP


KUALITAS HIDUP (QUALITY OF LIFE), KONTROL METABOLIK,
DAN KONTROL LIPID PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI KOTA BINJAI

KARAKTERISTIK RESPONDEN

No. Responden :
Nama (Inisial) responden :
Umur :.....................tahun
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Alamat Rumah :.....................................................
Tingkat pendidikan :
1. Tidak bersekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. PT

Pekerjaan :
1. Tidak bekerja
2. Petani/pedagang/buruh
3. PNS/TNI/POLRI
4. LAIN-LAIN, sebutkan
Penghasilan perbulan/UMR
1. ˂ Rp. 2.037.000
: 2. Rp. 2.037.000 - Rp. 4.000.000
3. ˃ Rp. 4.000.000

Status pernikahan :
1. Menikah
2. Tidak menikah
3. Janda/duda

Lama menderita DM : ………… tahun..................bulan


Suku Bangsa :
Agama :
Jumlah orang dalam rumah :

UNIVERSITAS SUMATERA
20

DATA PENYAKIT DAN PENGOBATAN

Lama menderita diabetes :


Riwayat keluarga diabetes :
Tempat pelayanan diabetes :
Biaya Pengobatan setiap bulan (total)
Perincincian biaya obat : Rp.................................
Biaya Dokter : Rp.................................
Biaya Laboratorium : Rp.................................
Biaya Radiologi : Rp..................................
Pemeriksaan yang terakhir dilakukan :...........................................

Pemeriksaan Kadar Gula Darah sendiri : 1. Punya, merek.....................


2. Tidak

Ketersediaan obat setiap bulan : 1. Ya


2. Tidak, karena....
3. Kadang-kadang, karena...........

DATA DOKTER YANG MERAWAT

Dokter yang merawat : dokter umum/dokter spesialis


Tempat pelayanan diabetes yang dikunjungi :
a) Puskesmas..........................................................
..................
b) Praktek dokter swasta, alamat :
.........................................
c) Klinik khusus diabetes, alamat :
.........................................

Jarak dari rumah ke tempat pelayanan : ......km/......................menit


Transportasi ke tempat pelayanan :
Data kunjungan rutin : 1. Ada (.......xbulan) 2. Tidak
Waktu Konsultasi : 2. Ada(.........menit) 2. Tidak

UNIVERSITAS SUMATERA
20

A. INSTRUMEN INDIKATOR PERILAKU SELF CARE PASIEN DM


NO. Dimensi Butir Pertanyaan Penilaian
SS S TT TS STS
1 Pengetahuan DM penyakit keturunan
12 Pada penderita DM jika ada luka akan sulit
disembuhkan
18 Gemetar dan berkeringat adalah tanda-
tanda peningkatan gula darah
19 Sering buang air kecil dan haus adalah
tanda-tanda gula darah rendah
Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS
1 Sikap Pasien DM punya peran besar dalam
mengontrol penyakitnya
2 Pasien yang aktif mengontrol penyakitnya
akan terhindar dari komplikasi
7 Olah raga dapat dilakukan sesuai dengan
ketersediaan waktu
8 Olah raga dapat dilakukan di mana saja
dan jenis yang kita suka
Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS
1 Komunikasi Dokter yang merawat saya memberikan
dokter informasi mengenai pentingnya
pasien mengontrol kadar gula darah
5 Dokter yang merawat saya memberikan
informasi mengenai pengaturan makanan
(diet) untuk dapat mengontrol KGD
6 Dokter yang merawat saya memberikan
informasi mengenai latihan fisik/olah raga
yang dapat mengontrol KGD
7 Dokter yang merawat saya memberikan
informasi mengenai dosis obat yang harus
saya konsumsi setiap hari
Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS
1 Pembiyaan Saya dapat kontrol dengan teratur dan
bertemu dengan dokter sesui dengan
jadwal nya tanpa kuatir biaya yang harus
saya keluarkan
2 Saya mempunyai tabungan khusus untuk
kesehatan saya
3 Saya mempunyai asuransi untuk kesehatan
saya
6 Saya jarang berjumpa dokter karena
saya harus menyiapkan dana khusus
terlebih
dahulu
Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS
1 Dukungan Pasangan/keluarga saya selalumendampingi
Keluarga saya setiap konsul dengan dokter
2 Pasangan/keluarga selalu mengingatkan
saya untuk makan obat setiap hari
4 Pasangan/keluarga saya selalu mengawasi
makanan yang saya konsumsi
5 Pasangan/keluarga saya perhatian dengan
semua keluhan yang saya alami

UNIVERSITAS SUMATERA
20

Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS


Motivasi Saya merasa senang jika melakukan apa
yang disarankan dokter
6 Saya senang jika gula darah saya berada
dalam rentang yang normal
13 Saya ingin orang lain melihat bahwa saya
dapat mengontrol makanan saya dan saya
tetap fit
15 Saya merasa bersalah jika saya tidak
mengontrol makanan
Dimensi Butir Pertanyaan SS S TT TS STS
1 Efikasi Diri Saya mampu memilih makanan yang benar
8 Saya mampu mengikuti aturan makan
yang sehat dari waktu ke waktu
12 Saya mampu mengikuti pola makan sehat
ketika saya menghadiri suatu pesta
14 Saya mampu mengikuti penyesuaian
rencana makan ketika saya sedang stres
(tertekan) atau bersemangat

UNIVERSITAS SUMATERA
20

LEMBAR PENJELASAN

Dengan hormat,
Saya, Rina Amelia, saat ini, saya sedang menjalankan penelitian dengan

judul Disain Model Perilaku Self Care Pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup

(Quality of Life) dan Parameter Kontrol Metabolik Pada Penderita Diabetes

Melitus Tipe 2 di Kota Binjai Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk

mendapatkan gelar doktor di FKM USU.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk merancang sebuah model untuk

perilaku self care yang setelah model tersebut didapatkan dilanjutkan dengan

penilaian kualitas hidup dan penilaian kontrol metabolik. Untuk menentukan

model self care dan penentuan kualitas hidup nantinya digunakan kuesioner yang

akan ditanyakan kepada Bapak/Ibu, untuk menilai parameter kontrol metabolik

akan dilakukan dengan pemeriksaan darah yang diambil dari darah vena (lipatan

lengan). Proses pengambilan darah langsung dilakukan oleh petugas

Laboratorium yang sudah terampil dan terlatih sehingga dapat melakukannya

dengan standar yang telah ada. Untuk penilaian parameter kontrol metabolik juga

dilakukan oleh dokter spesialis patologi klinik sehingga hasil laboratorium dapat

dipertanggung jawabkan.

Keikutsertaan Bapak/Ibu pada penelitian ini adalah sukarela, apabila

Bapak/ibu menolak untuk ikut dalam penelitian ini tidak akan berpengaruh

terhadap pelayanan yang diberikan oleh puskesmas. Apabila bapak/ibu setuju ikut

dalam penelitian ini dapat menandatangani surat pernyataan persetujuan ikut

dalam penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA
20

Semua data dan informasi yang saya dapatkan beserta idenditas pribadi

Bapak/Ibu sepenuhnya digunakan untuk kepentingan penelitian dan akan saya

jaga kerahasiannya, dan menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Bila terdapat

hal yang kurang dimengerti, Bapak/ibu dapat bertanya langsung pada saya atau

dapat menghubungi saya di nomor 08126444284

Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi pada kegiatan

penelitian ini saya ucapkan terima kasih

Hormat Saya,

Rina Amelia

UNIVERSITAS SUMATERA
20

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA IKUT PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah

ini: Nama :

Umur :

Alamat :

Telp/Hp :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian Disain Model


Perilaku Self Care Pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup (Quality of Life)
dan Parameter Kontrol Metabolik Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
di Kota Binjai, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan bersedia
ikut serta dalam penelitian tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Binjai,............................2016

(............................................)

UNIVERSITAS SUMATERA

Anda mungkin juga menyukai