Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

SISTEM SARAF OTONOM

Nama Mahasiswa : Afghani Nuzul Ramadhan


NIM : N011201123
Kelas Praktikum : A (Senin Siang)
Kelompok :6

ASISTEN :
Dheanna Rahmanira Anshar, S.Si.

LABORATORIUM FARMAKOLOGI - TOKSIKOLOGI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
I. Hasil Pengamatan

KELOMPOK PERLAKUAN DEFEKASI DIURESIS GROO


MING
Epinefrin - - 10
1
Kontrol (API) - - 5
Epinefrin - - 13
2
Kontrol (API) - - 4
Propranolol - 1 14
3 Kontrol
- - 3
(NaCMC)
Propranolol - 2 15
4 Kontrol
- - 5
(NaCMC)
Pilokarpin - - 20
5
Kontrol (API) - - 1
Atropin - 2 27
6
Kontrol (API) - - 2

II. Pembahasan
Bagian sistem saraf yang mengatur fungsi viseral tubuh disebut sistem saraf
otonom.Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi
gastro- intestinal pengosongan kandung kemih, berkeringat suhu tubuh dan
banyak aktivitas lainnya.Ada sebagian yang diatur saraf otonom sedangkan yang
lainnya sebagian saja [1].
Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur fungsi
viseral tubuh. Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang
terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks
serebri khususnya korteks limbik, dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat
yang lebih rendah sehingga demikian mempengaruhi pengaturan otonomik [1].
Sistem saraf simpatis berperan penting dalam situasi penuh ancaman seperti
aktivitas fisik berat, situasi darurat, atau penuh stress. Respon ini disebut juga
respon “fight or flight” karena sistem saraf simpatis menyiapkan tubuh untuk
melawan atau lari dari ancaman. Dalam situasi ini, jantung berdetak lebih cepat
dan lebih kuat, tekanan darah meningkat akibat penyempitan pembuluh darah,
saluran pernafasan berdilatasi untuk memaksimalkan aliran udara, glikogen dan
simpanan lemak diuraikan untuk mengeluarkan bahan bakar tambahan ke dalam
darah, dan pembuluh darah yang memperdarahi otot rangka dilatasi [2].
Sistem saraf parasimpatis berperan dalam keadaan tenang dan santai dimana
pada keadaan ini, tubuh melakukan aktivitas tanpa ancaman seperti aktivitas pada
pencernaan. Sistem saraf parasimpatis mendorong tubuh untuk berespon “rest and
digest” yaitu memperlambat aktivitas yang ditingkat kan oleh sistem saraf
simpatis [2].
Pada praktikum ini diberi beberapa perlakuan pada mencit yaitu epinefrin,
propranolol, pilokarpin dan atropine yang kemudian dibandingkan dengan control
negatif berupa aqua pro injection (API) dan Na-CMC. Setelah beri perlakuan
tersebut, dilakukan pengamatan grooming, diuresis dan defekasi pada mencit.
Grooming pada mencit berarti membersihkan diri baik dengan menjilat atau
menggaruk. Efek ini ditimbulkan karena meningkatnya produksi kelenjar saliva
(liur). Perilaku grooming sebagai salah satu indikator gejala depresi pada mencit
jika dilakukan dalam durasi yang tidak singkat [3].
Diuresis memiliki dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air [4]. Defekasi merupakan suatu
proses evakuasi tinja dari dalam rektum, yaitu bahan yang tidak digunakan lagi
dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh [5].
Perlakukan epinefrin mencit mengalami 10 kali grooming sedangkan
diuresis dan defekasi tidak terjadi. Epinefrin merupakan obat golongan
simpatomimetik dengan mekanisme meningkatkan aktivitas simpatis dengan
mengikat ke reseptor adrenergik. Oleh karena itu pada mencit dialami grooming
namun dalam frekuensi yang lebih kecil dibandingkan perlauan obat lain. Tidak
terjadi diuresis dan defekasi karena efek tersebut bekerja karena rangsangan saraf
parasimpatis. Sehingga perlakuan epinefrin dan efek yang ditimbulkan pada
mencit sesuai dengan pustaka [6].
Perlakuan propranolol mencit mengalami grooming sebanyak 14 kali,
diuresis sebanyak 2 kali dan tidak terjadi defekasi. Propanolol merupakan obat
golongan simpatolitik dengan mekanisme menurunkan aktivitas simpatis dengan
memblok reseptor adrenergik atau menghambat pelepasan NE. Simpatolitik juga
merangsang saraf parasimpatis oleh karena itu pada mencit dialami grooming.
Frekuensi diuresis dan defekasi yang kecil dapat disebabkan karena mencit yang
diberi perlakukan telah dipuasakan terlebih dahulu sehingga tidak ada tambahan
makanan dalam tubuh mencit [6].
Perlakuan pilokarpin mencit mengalami 20 kali efek grooming., sedangkan
efek diuresis dan defekasi tidak terjadi pada mencit. Pilokarpin merupakan obat
golongan parasimpatomimetik dengan mekanisme meningkatkan aktivitas
parasimpatis dengan meniru efek dari Ach. Salah satu efek dari saraf parasimpatis
yaitu dilatasi pembuluh darah dan banyak produksi saliva. Hal tersebut sesuai
pustaka bahwa mencit mengalami grooming akibat produksi saliva yang
berlebih. Saraf parasimpatis juga merangsang efek defekasi dan diuresis namun
pada mencit tidak ditemukan efek tersebut, hal ini dapat disebabkan karena mencit
yang diberi perlakukan telah dipuasakan terlebih dahulu sehingga tidak ada
tambahan makanan dalam tubuh mencit [6].
Perlakuan atropin mencit mengalami efek grooming sebanyak 27 kali,
diuresis sebanyak 2 kali dan tidak terjadi defekasi. Atropin merupakan obat
parasimpatolik yang menghambat sistem saraf parasimpatis (mendukung kerja
simpatis) [7]. Parasimpatolik merupakan obat yang menghambat terjadinya efek
yang dihasilkan dari aktivitas susunan saraf parasimpatis [8]. Ini sesuai dengan
pustaka bahwa grooming yang berlebihan terjadi di bawah pengaruh saraf
simpatis. Namun pada mencit terjadi diuresis tidak sesuai pustaka karena saraf
parasimpatis yang dihambat akan memperlambat terjadinya diuresis dan defekasi
[6]. Hal ini dapat disebabkan karena faktor kesalahan dalam praktikum yaitu
injeksi yang kurang tepat sehingga dosis yang diberikan tidak maksimal dan efek
obat tersebut juga tidak bekerja dengan maksimal pada mencit.
Perlakuan yang diberikan tersebut dibandingkan dengan kontrol negatif
berupa aqua pro injection (API) dan Na-CMC. Pada perlakuan dengan kontrol
negatif tersebut mencit mengalami grooming, tidak mengalami diuresis dan
defekasi. Grooming yang ditimbulkan tidak terlalu berlebihan dan masih dalam
batas wajar (sedikit). Ini dikarenakan perlakuannya menggunanakan API dan Na-
CMC. API dan Na-CMC digunakan hanya sebagai pengontrol negatif yang
digunakan untuk membandingkan antara respon hewan coba yang diberi obat dan
yang tidak diberi obat sehingga tidak memberikan efek yang berlebihan pada
hewan [9].

III. Kesimpulan dan Saran


III.1 Kesimpulan
Dari keempat perlakuan tersebut pemberian atropin menghasilkan frekuensi
grooming yang lebih banyak ini dikarenakan atropin merupakan obat
parasimpatolik yang menghambat sistem saraf parasimpatis (mendukung kerja
simpatis). Grooming yang berlebihan terjadi di bawah pengaruh saraf simpatis.
Pada pemberian propranolol dan atropine ditemukan mencit mengalami diuresis
namun dalam jumlah kecil. Pada pemberian propranolol telah sesuai dengan
pustaka namun pemberian atropine tidak sesuai dengan pustaka. Hal ini dapat
disebabkan karena faktor kesalahan dalam praktikum yaitu injeksi yang kurang
tepat sehingga dosis yang diberikan tidak maksimal dan efek obat tersebut juga
tidak bekerja dengan maksimal pada mencit. API dan Na-CMC digunakan hanya
sebagai pengontrol negatif yang digunakan untuk membandingkan antara respon
hewan coba yang diberi obat dan yang tidak diberi obat sehingga tidak
memberikan efek yang berlebihan pada hewan.
III.1 Saran
Sebaiknya praktikan lebih mengoptimalkan koordinasi antar perangkat
golongan dan anggota golongan agar hal-hal yang diperlukan saat praktikum nanti
dapat tersedia tepat waktu dan praktikum dapat berjalan dengan lancar.
IV. Daftar Pustaka
[1] Cahyono, Iwan Dwi, Himawan Sasongko, and Aria Dian Primatika.
"Neurotransmitter dalam fisiologi saraf otonom." Jurnal Anestesiologi
Indonesia 1.1 2009: 42-55.
[2] Sherwood L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. 2014. Jakarta:
EGC.
[3] Ardianty V dan BS Manurung. Perubahan Perilaku Grooming dan Imobilitas
Mencit Balb/C Terinduksi Depresi yang Disuplementasi Tempe sebagai
Sumber Paraprobiotik. Jurnal Agroteknologi. 2020. 14(01) : 1-12.
[4] Tanu I. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. 2009. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
[5] Guyton AC dan JE Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007. Jakarta:
EGC.
[6] Chalik R. Anatomi dan Fisiologi Manusia. 2016. Jakarta: Kemenkes RI.
[7] Kee JL dan ER Hayes. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. 1996.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
[8] Setiawati A dan G Sulistia. Farmakologi dan Terapi. 2007. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
[9] Aprilia T dan A Firmansyah. Pengujian Potensi Sediaan Injeksi Kering
Amoksilin-Klavulanat Pada Variasi Waktu Penyimpanan. Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi Indonesia. 2012. 1(2) : 12-19.
V. Lampiran
Lampiran I. Skema Kerja

Menyiapkan alat dan bahan praktikum

Menyiapkan mencit yang telah


dipuasakan sebelumnya untuk diberikan
perlakuan.

Memberikanperlakuan epinefrin,
propranolol, atropin, pilokarpin, aqua
pro injection (API) dan Na-CMC pada
mencit secara oral dan injeksi sesuai
dosis yang telah ditentukan.

Mengamati mencit yang melakukan grooming, diuresis dan defekasi akibat

Mencatat hasil pengamatan dan


membandingkan dengan
pustaka.
Lampiran II. Dokumentasi

Gambar 1. Pemberian pilokarpin Gambar 2. Pemberian API

Gambar 3. Pengamatan grooming Gambar 4. Pengamatan diuresis dan defekasi

Anda mungkin juga menyukai