Ternyata impian menjadi mahasiswa UGM yang membanggakan itu terbuktikan juga.
Marsetio yang berhasil lulus di S-3 UGM pada tahun 2012.
1
Ketika berpangkat kapten, dia sempat kuliah di Universitas W.R. Supratman
(Unipra). Kala itu dia menjalani kuliah ngumpet-ngumpet. Komandan tidak senang
kalau melihat stafnya sekolah. Sampai saya sempat ditanya, “Mas Tio mengapa kamu
kuliah di Amerika segala, saya enggak sekolah saja pangkat saya sampai colonel.”
Tidak heran bila kuliah strata satu (S-1) diselesaikan selama 7 tahun.
Selanjutnya, karena sering berlayar, berbalik lagi, saya kuliah di S-2 dengan memilih
Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Wijaya Putra, Surabaya.
Begitu jadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Marsetio mengukuhkan
niatnya dengan mengalokasikan anggaran untuk pendidikan. Ia menghentakkan gagasan
bahwa menjadi komandan kapal harus punya program magister dan doktor. “Maka dari
itu, siapkan anggarannya untuk melanjutkan pendidikan. Pelaksanaan program ini
tergantung pada personel. Kalau untuk pendidikan dan pengembangan SDM ‘kan
boleh. Langkah ini akhirnya menjadi role model di angkatan lain. Panglima Pak Andika
kebetulan juga senang pendidikan,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, manfaat praktis kuliah dalam menjalankan tugas sebagai TNI
AL sangat membantu. Misalnya, ketika dia mengadakan keputusan-keputusan strategis,
2
keputusan yang cepat dan tepat, serta lebih futuristik. Marsetio mengungkap, “Saya
pernah kuliah di Universitas Harvard (Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat)
tentang industri di Abad 21 sekaligus menulis buku Kepemimpinan Nusantara. Buku ini
bisa menjadi salah satu acuan di dalam kepemimpina kemiliteran dan sipil apabila
ingin menjadi pemimpin yang baik.”
Begitu pentingnya keberadaan sekolah sehingga perlu kiat-kiat khusus agar bisa
mengatur waktu. Hal ini tidak lepas dari perjalanan kariernya. Pada saat dia berpangkat
letnan dua, letnan satu, kapten, sampai mayor, ada pengaturan ala Belanda yang
membuat bodoh. Kendati demikian, dia mengambil celah agar tetap bisa berkuliah.
Pada pukul 13.30 apel siang, makan siang, kemudian pukul 14.00 sampai 16.00 makan
dan istirahat, lalu disuruh tidur. Namun, Marsetio (yang kala itu berpangkat kapten)
memanfaatkan waktu luang untuk menuntut pelajaran di perguruan tinggi. Dia dari
rumah atau kapal sudah harus berpakaian rapi dan memakai sepatu untuk mengikuti
kuliah.
3
Ia melanjutkan, “Hal yang unik lagi, saya ‘kan Guru Besar Bidang Pertahanan
Maritim. Kalau jadi guru besar harus diuji. Kalau syarat guru besar, jumlah angka
kredit kumulatif (kum) minimal 850, saya sudah mempunyai 1.150 kum.”
Maka, suatu hari yang direncanakan adalah berkumpulah enam profesor dan
satu doktor sekretarisnya. Mereka mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin menguji,
tetapi ingin tahu karena dia adalah guru besar pertama di bidang maritim. Marsetio
lantas menyarankan kepada kementerian bahwa Ilmu Pertahanan agar tidak menjadi
bagian humaniora, jadi subhumaniora. Perlu ada cabang sendiri namanya Ilmu
Pertahanan. “Saya menjadi guru besar yang diuji enam guru besar dari IPB, UI, UGM,
dan Universitas Hasanudin sehingga dinyatakan menjadi guru besar pada Bidang
Pertahanan Maritim,” ujarnya.
Merger
4
Padahal, Indonesia berada di antara dunia benua dan dua samudra. Pertanyaannya
bagaimana memosisikan Pelindo. Mengapa Singapura dari 33 sampai 35 juta twenty-
foot equivalent unit (TEUs), sedangkan sejumlah 18 sampai 19 juta TEUs dari
Indonesia? Pelindo sekarang sudah menjadi satu. Indonesia sudah membuat pelabuhan
baru Batam New Port. Pimpinannya harus memahami leadership dan kekuatan bisnis.
Kalau Singapura memiliki pelabuhan 550 sampai 600 hektare, Indonesia baru
membangun 350 hektare di utaranya. Syaratnya mempunyai manajemen yang bagus,
pengolahan bisnis yang bagus, dan memiliki networking.
Ia berharap sebanyak 20 juta TEUs selama ini masuk Singapura, menjadi masuk
Indonesia. Apalagi, Indonesia sebagai negara besar yang memiliki bargaining untuk
kemaritiman. Berkaitan dengan hal ini ada teori academic thinking. Menurut Mahan
(perwira Angkatan Laut Amerika Serikat), terdapat enam syarat sebuah negara
dikatakan maritim, yaitu lokasi geografis, karakteristik dari tanah dan pantai, luas
wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan lembaga pemerintahan.
“Baru Pak Jokowi (tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pendahulu) yang
membuat visi dan misi negara Indonesia dengan visi Maritim. Beliau mengatakan
bahwa kita punya lima pilar maritim. Agar Indonesia maju harus memahami budaya
maritim, sumber daya maritim, konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan
pertahanan maritim. Kelak Indonesia akan menduduki nomor empat ekonominya di
dunia setelah Cina, India, dan Amerika,” katanya.
5
Menata Batam
Bicara soal menata Batam, dia mengatakan bahwa kota terbesar di Provinsi
Kepulauan Riau ini memang banyak mafianya. Namun, sekarang ini sudah mulai
membaik. Di sekitar Batam terdapat 16 titik labuh jangkar. Menteri, sekjen, dirjen, dan
direkturnya yang sekarang dilebur. “Bayangkan kalau mau di Singapura sebuah kapal
yang akan masuk harus mengantre dan membayar 6.000 dolar AS, sedangkan di
Indonesia gratis,” ujarnya.
Selanjutnya, rapat tingkat menteri memutuskan tinggal enam. Hal ini dikontrol
betul supaya menaati aturan. Misalnya, kemarin kapal ke-32 ketangkap. Ada yang
panjangnya 350 meter, 300 meter, dan 200 meter ketangkap ketika mau masuk
Singapura melalui wilayah Indonesia.
Ada masalah serius di bidang transportasi laut terkait dengan soal peti kemas,
sudah 2 tahun para pengusaha mengeluh selain susah tarifnya naik, solusi seperti apa?
6
Marsetio menjawab, ”Tergantung dari sisi mana karena Covid-19, misalnya,
banyak kontainer kita yang diekspor ke Cina. Akan tetapi, penerimaan ikan di sana
sangat ketat. Jadi, kalau ada ikan yang mengandung Covid, ada yang dikembalikan, ada
yang langsung dimusnahkan. Kita membatasi untuk sedikit mungkin impor guna
menjaga balance. Jika ekspor naik, maka harga kontainer sewanya menjadi mahal. Ini
terkait dengan kebutuhan supply dan demand.”
Kalau pintar bahasa Inggris, cerdas, dan punya integritas, menurut dia, daftar di
mana saja pasti akan diterima. Selanjutnya menyesuaikan, meng-update tidak hanya
sebatas ilmu yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan Menteri Nadiem Makarim
bahwa kelulusan dan ranking tidak menjamin. Konsekuensinya diperlukan sikap
bagaimana berintegritas, beradaptasi, membangun networking, dan kesungguhan berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau ada yang praktik kerja di Pelindo, bisa
difasilitasi. “Tentu tidak perorangan, tetapi melalui lembaga,” pungkasnya.
Budi Wahyono