OLEH :
TAHUN 2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas segala rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan Asuhan Keperawatan Round Table Disscusion (RTD) yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn. S dengan Diagnosa Medis BPH + BBB + Retensi
Urine dengan Tindakan TUR-Prostat + Litotripsi BBB di Ruang IBS OK RSU Ganesha”
dengan baik.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka melaksanakan RTD di RSU Ganesha.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapat bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. I Wayan Yudiana Sp. U sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
3. Ns. Ari Rati Asari, S.Kep sebagai Ketua Komite Keperawatan RSU Ganesha
4. Ns. Gede Suadnyana, S.Kep sebagai sub Komite Etik Keperawatan RSU Ganesha
5. Teman-teman IBS OK yang selalu memberi dukungan dan motivasi dalam
menyelesaikan makalah Round Table Discusion
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan askep ini
sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna kesempurnaan Askep RTD ini.
Penulis berharap semoga Asuhan Keperawatan ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca pada umumnya dan bagi kami selaku penulis dan penyusun pada
khusunya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................1
1. Pengertian..............................................................................................2
2. Anatomi Fisiologi.................................................................................. 3
3. Etiologi ................................................................................................. 3
4. Patofisiologi ...........................................................................................4
5. Manifestasi Klinis.................................................................................4
6. Penatalaksanaan.....................................................................................6
7. Pemeriksanaan Penunjang.................................................................... 7
8. Klasifikasi.............................................................................................8
9. Komplikasi........................................................................................... 10
1. Pengkajian............................................................................................22
3. Intervensi Keperawatan........................................................................ 22
4. Implementasi Keperawatan................................................................... 25
1
5. Evaluasi Keperawatan.........................................................................27
A. PENGKAJIAN
1. Data Umum..........................................................................................44
2. Riwayat Kesehatan..............................................................................45
4. Pemeriksaan Fisik................................................................................ 51
5. Pre - Operatif....................................................................................... 54
6. Intra Operatif.......................................................................................67
7. Post Operatif........................................................................................88
BAB IV PENUTUP.........................................................................................104
A. KESIMPULAN......................................................................................104
B. SARAN................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................105
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lower urinary tractus symptoms (LUTS) adalah masalah yang banyak dialami
oleh laki-laki di seluruh dunia. Masalah yang dialami berupa frekuensi berkemih yang
meningkat, nokturia, inkontinensia urin, aliran urin yang lambat, aliran urin yang terputus
atau sensasi tidak puas setelah berkemih. Laki-laki yang mengalami LUTS secara
langsung akan menganggu kualitas hidup dan menjadi penyebab morbiditas (Arslantas et
al., 2017).
Salah satu dari masalah yang memerlukan penanganan yang tepat adalah
inkontinensia urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah penyakit fisik. Pada laki-
laki pembesaran kelenjar prostat menyebabkan obstruksi aliran urin dari kandung kemih
(Bruno, 2019).
Benign prostat hyperplasia (BPH) termasuk kesulitan dalam mulai dan perasaan
buang air kecil yang tidak lengkap. Saat kelenjar prostat tumbuh lebih besar, ia menekan
uretra dan mempersempitnya lalu menghalangi aliran urin. Kandung kemih mulai
mendorong lebih keras untuk mengeluarkan air seni, yang menyebabkan otot kandung
kemih menjadi lebih besar dan lebih sensitif. Ini membuat kandung kemih tidak pernah
benar-benar kosong dan menyebabkan perasaan perlu sering buang air kecil. Gejala lain
termasuk aliran urin yang lemah. (Nunes et all, 2018)
1
Ada beberapa jenis pembedahan yang dapat dilakan untuk penderita BPH salah
satu yang paling sering dilakukan yakni Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat melalui uretra (resektroskop).
Keuntungan dari tindakan ini adalah tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi resiko
terjadinya infeksi, lebih aman bagi pasien berisiko, hospitalisasi dan periode pemulihan
lebih singkat, angka morbiditas lebih rendah dan menimbulkan sedikit nyeri
(Smeltzer,2015).
1
BAB II TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Benign prostatic hyperplasia atau benigna prostat hyperplasia (BPH) disebut juga
Nodular hyperplasia, benign prostatic hypertrophy atau Benign enlargement of the
prostate (BEP) yang merujuk kepada peningkatan ukuran prostat pada laki-laki usia
pertengahan dan usia lanjut. Benigna prostat hipertropi (BPH) adalah pembesaran
kelenjar dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula
dengan berat kira-kira 20 gram, berada di sekeliling uretra dan di bawah leher kandung
kemih pada pria. Bila terjadi pembesaran lobus bagian tengan prostat akan menekan dan
uretra akan menyempit.
Hyperplasia dari kelenjar prostat dan sel-sel epitel mengakibatkan prostat menjadi
besar. Ketika prostat cukup besar akan menekan saluran uretra menyebabkan obstruksi
uretra baik secara parsial maupun total. Hal ini dapat menimbulkan gejala-gejala urinary
hesiiitancy, seringberkemih, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan retensi urin
(Suharyanto, T. 2009)
1. ANATOMI
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di depan
rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan
ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012). Prostat
memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai
bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan
vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital.
Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal
dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti
(Moore & Agur, 2002).
1
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas
deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga
uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila
terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colokdubur (Sjamsuhidajat
dkk, 2012). Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra.
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar
sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona 15 transisional
hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terdapat pada
zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer
(Junqueira, 2007).
Kelenjar prostat mengandung cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot
polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan
dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah kelenjar limfe
hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat dkk, 2012).
2. FISIOLOGI
7
a. Kelenjar Kelamin Pria :
1
bulbourethralis. Akhirnya cairan seminal ini diejakulasikan selama rangsangan
seksual. Sekresi prostat ini merupakan komponen paling besar dari cairan seminal
(Wibowo, 2012).
1
yang disebabkan oleh apa saja pada sphincter urethra atau urethra itu sendisi, akan
menyebabkan retensi urin akut. Keadaan demikian dapat disembuhkan dengan
memasang kateter ke dalam vesica urinaria atau melakukan prostatektomi pada
pasien tertentu (Wibowo, 2012).
Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli – buli dan mengitari uretra.
Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada diafragma urogenital atau sering
disebut otot dasar panggul.Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih
sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 4 cm dan tebal kurang
lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari jaringan kelenjar,
jaringan stroma (penyangga ) dan kapsul. Cairan yang dihasilkan kelenjar prostat
bersama cairan dari vesikula seminalis dan kelenjar cowper merupakan komponen
terbesar dari seluruh cairan semen. Bahan – bahan yang terdapat dalam cairan
semen sangat penting dalam menunjang fertilitas, memberikan lingkungan yang
nyaman dan nutrisi bagi spermatozoa serta proteksi terhadap invasi mikroba.
C. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain
1
yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain (Kemenkes RI, 2019):
1. Dihydrotestosteron
4. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
D. PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada
penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh
pada pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
1
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu hiperaktif kandung kemih,
inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016). Perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini
berkembang, akan terjadi perubahan patologi,anatomi yang ada pada pria usia 50
tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan
elemen glandular pada prostat.
E. MENIFESTASI KLINIS
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh krena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buangair kecil dan terasa belum puas
1
Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005)
a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing
tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari.
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis
F. PENATALAKSANAAN
1. Observasi
Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan ialah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), dan mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi Medikamentosa
a. Penghambat adrenergika
Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas destrusor.
b. Penghambat 5-a-reduktase
c. Fitoterapi
1
1). Terapi Bedah
1
Transurethral Resection of the Prostate (TURP) merupakan operasi
tertutup tanpa insisi, serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap
potensi kesembuhan, dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan
secara terus menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah
dilakukan reseksi,. dipasang kateter foley tiga saluran nomer 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah
dari kandung kemih. Irigasi kandung kemih yang konstan dilakukan
setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas
tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter setelah 3-5 hari setelah operasi dan
pasien sudah berkemih dengan lancer. Penyembuhan terjadi dengan granula
dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Nuari & Widayati, 2017).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam
mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan dapat
mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada kecurigaan
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau
terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter
(Purnomo, 2014).
1
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Oleh
karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Purnomo,
2014).
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit
dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti :
1
usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian besar guidelines
yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan
PSA sebagai salah satu pemeriksaan BPH (Ikatan Ahli Urologi
Indonesia (IAUI), 2015).
2. Pencitraan
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.
Pemeriksaan PIV (Pielografi Intravena) dapat menerangkan kemungkinan adanya:
kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi
prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal,
dan penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli. Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai
PIV atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada
saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya
sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal ditemukan
adanya:
1) Hematuria
2) Infeksi saluran kemih
3) Insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG)
4) Riwayat urolitiasis
5) Riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia
(IAUI, dalam Purnomo, 2014).
b. Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
1
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume
kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai
guideline (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menetukan jumlah
residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli-buli.
Disamping itu ultrasonografi transrectal mampu untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama
(Purnomo, 2014).
c. Pemeriksaan Lain
1. Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi yang dapat dihitung dengan
kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah
miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL
dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal
mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal
mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.
2. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin
yang meliputi lama waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum pancaran,
dan volume urin yang dikemihkan. Pemeriksaan yang lebih teliti lagi yaitu
urodinamika.
H. KLASIFIKASI
1
itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH. Derajat berat
BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150cc. Ada rasa ridak enak BAK
atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
I. KOMPLIKASI
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagimenampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intravesika meningkat
1
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
1
Perubahan keseimbangan
Interaksi sel epitel dan
antara hormone estrogen dan
stoma
Proses Menua testosteron
BPH
1
Prosedur pembedahan
1
BAB III
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS PASIEN
Identitas pasien berupa nama, tempat dan tanggal lahir, umur, alamat, nomor rekam
medis, penanggung jawab, serta data penunjang identitas lainnya.
2. RIWAYAT PENYAKIT
Riwayat kesehatan yang dimiliki pasien meliputi riwayat masuk rumah sakit, riwayat
kesehatan yang dimiliki selama ini, riwayat penyakit terdahulu serta riwayat penyakit
keluarga.
3. PENGKAJIAN BIO-PSIKO-SOSIAL-SPIRIUAL
a. Pre Operatif :
Fase ini dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika
klien dikirim ke meja operasi.
Kaji kemampuan klien untuk melakukan koping terhadap pembedahan yang akan
datang. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
1
Breath Kaji pernapasan klien, seperti frekuensi napas klien, pergerakan
b. Intra Operasi
Fase intra operasi dimulai ketika Klien dipindahkan ke ruang operasi dan
berakhir saat dipindahkan ruangan lain yang memberikan layanan pemulihan
paska operasi atau pembedahan.
Catat waktu mulai dan selesai operasi
1
Catat waktu mulai dan selesai anesthesia
Kaji satus klinis Klien (brain, blood, breath, bowel, blader, dan bone)
c. Post Operasi
Fase post operatif dimulai saat pemindahan Klien ke unit perawatan pasca anastesi
(recovery room) dan berakhir saatt kondisi Klien kembali ke fungsi optimal.
Kaji status pasca bedah klien (tanda-tanda vital, bising usus, distensi abdomen)
1
Kaji keselamatan, meliputi: diperlukan penghalang samping tempat tidur,
kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang dan dapat
berfungsi.
Perawatan, meliputi: cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran
cairan.
Kaji kemampuan Klien dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan
1
Inspeksi : Kebersihan kepala, warna rambut hitam keputihan, tidak ada kelainan
bentuk kepala, Pasien nampak meringis menahan nyeri.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, mengkaji kerontokan dan kebersihan rambut, kaji
pembengkakan pada muka.
b. Mata
Inspeksi : Keadaan pupil isokor atau anisokor, refleks cahaya tidak ada gangguan,
konjungtiva anemis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan atau peningkatan tekanan intraokuler pada kedua
bola mata.
c. Hidung
Inspeksi : Bersih, tidak terdapat polip, tidak terdapat nafas cuping hidung
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada hidung
d. Telinga
Inspeksi : simetris telinga kanan dan kiri, tidak ada luka, telinga bersih tidak ada
serumen.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
e. Mulut
Inspeksi : tidak ada kelainan kogenital (bibir sumbing), warna, kesimetrisan,
sianosis atau tidak, pembengkakkan, lesi, amati adanya stomatitis pada mulut, amati
jumlah dan bentuk gigi, gigi berlubang, warna, plak, dan kebersihan gigi
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan pada pipi dan mulut bagian dalam.
f. Leher
Inspeksi : tidak ada luka, kesimetrisan, masa abnormal
Palpasi : mengkaji adanya distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar tiroid.
g. Thorak :
1). Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat luka, ekspansi dada simetri
Palpasi : Tidaknya nyeri tekan, vokal fremitussama antara kanan dan kiri
Perkusi : normalnya berbunyi sonor.
Auskultasi : normalnya terdengar vasikuler pada kedua paru.
2). Jantung
1
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 & 5 mid clavicula sinistra.
Perkusi : normalnya terdengar pekak
Auskultasi : normalnya terdengan tunggal suara jantung pertama dan suara
jantung kedua.
h. Abdomen
Inspeksi : tidak ada odema, tidak terdapat lesi
Auskultasi : dengarkan bising usus apakah normal 5-20x/menit
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada perut bagian bawah
Perkusi : kaji suara apakah timpani atau hipertimpani
i. Ekstremitas
Atas
Inspeksi : mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstremitas atas, Integritas ROM
(Range Of Motion), kekuatan dan tonus otot.
Palpasi : mengkaji bila terjadi pembengkakan pada ekstremitas atas
Bawah
Inspeksi : mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstremitas atas, Integritas ROM
(Range Of Motion), kekuatan dan tonus otot.
Palpasi : mengkaji bila terjadi pembengkakan pada ekstremitas atas
j. Integritas kulit
Inspeksi : warna kulit, kelembapan, akral hangat atau tidak
Palpasi :integritas kulit, CRT (Capilary Refil Time) pada jari normalnya < 2 detik
k. Genetalia
Inspeksi : laki-laki, terpasang folley kateter 3 lubang (treeway catheter) dengan
Irigasi NaCl 0,9% (urine berwarna merah muda kemerahan hingga merah muda
jernih setelah pembedahan).
1. Pre Operasi
1
a. Retensi urine berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra dibuktikan dengan
sensasi penuh pada kandung kemih, disuria, anuria, distensi kandung kemih,
dribbling.
b. Nyeri Akut berhubungan dengan kontraki otot suprapubik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri, tampak meringis, gelisah, HR meningkat.
2. Intra Operasi
b. Risiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive; kerusakan integritas kulit
c. Risiko perdarahan dibuktikan dengan iritasi mukosa kandung kemih pasca tindakan
pembedahan
3. Post operasi
1
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pre Operasi
1
2. Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
dengan kontraksi otot 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui
keperawatan..x….menit
suprapubik dibuktikan dengan durasi, frekuensi, kualitas, karakteristik dari nyeri
diharapkan nyeri Klien dapat
mengeluh nyeri, tanpak intensitas nyeri. yang dirasakan Klien
menurun dengan kriteria hasil
meringis, gelisah, HR 2. Untuk mengetahui tingkat
Tingkat Nyeri: 2. Identifikasi skala nyeri. Gunakan
meningkat. nyeri yang dirasakan Klien
a. Keluhan nyeri menurun skala nyeri dengan Klien dari 0
(tidak ada nyeri) – 10 (nyeri 3. Agar Klien merasa lebih
b. Meringis menurun
paling buruk). nyaman
c. Gelisah menurun 4. Untuk mengetahui
3. Gunakan komunikasi terapeutik
Kontrol Nyeri: penanganan nyeri lebih
untuk mengetahui nyeri dan
lanjut serta mencegah
a. Melaporkan nyeri respon Klien terhadap nyerinya
memberatnya respon nyeri
terkontrol 4. Kaji dengan Klien faktor-faktor
5. Untuk mengetahui pengaruh
b. Kemampuan mengenali yang dapat meningkatkan/
nyeri yang dirasakan
nyeri mengurangi nyerinya
terhadap kehidupan sehari-
c. Kemampuan
5. Identifikasi pengaruh nyeri
hari
menggunakan teknik
non-farmakologis
1
terhadap kualitas hidup (kualitas Klien
1
khawatir dengan akibat dari
Tingkat Ansietas : 2. Monitor verbal serta non verbal dari 2. Untuk mengetahuitingkat
kondisi yang dihadapi, Klien
a) Klien mengatakan kecemasan kecemasan Klien
tampak gelisah, tampak tegang
khawatir akibat kondisi
3. Identifikasi kemampuan mengambil 3. Untuk memastikan keputusan
yang dihadapi menurun
keputusan klien dalam mengambil
b) Klien mengatakan rasa
tindakan perawatan
4. Gunakan pendekatan terapeutik
kebingungan menurun
yang menenangkan 4. Untuk membuat Klien lebih
c) Perilaku gelisah menurun
tenang
d) PerilakuTegang menurun 5. Dorong keluarga Klien untuk
e) Diaforesis menurun mengungkapkan perasaan, 5. Untuk mengetahui
Tremor menurun ketakutan persepsi kecemasan Klien dan
keluarga
6. Jelaskan semua prosedur yang
akan dilaksanakan termasuk sensasi 6. Kecemasan Klien dapat
yang akan dirasakan selama berkurang dengan
prosedur berlangsung. mengetahui tentang tindakan
1
2. Intra Operasi
Perioperatif dibuktikan keperawatan selama ..x….menit 1. Monitor suhu tubuh 1. Untuk mengetahui adanya
dengann suhu diharapkan suhu tubuh Klien dapat penurunan suhu tubuh
2. Identifikasi penyebab hipotermi
membaik dengan kriteria hasil 2. Untuk mengetahui faktor-
lingkungan rendah, (terpapar suhu lingkungan rendah)
Termoregulasi: faktor yang memperberat
prosedur pembedahan 3. Monitor tanda gejala hipotermia
kondisi
a. Menggigil menurun (menggigil, hipertensi/hopotensi,
3. Untuk mengetahui adanya
diuresis, dll)
b. Kulit merah menurun penurunan suhu tubuh
4. Lakukan penghangatan pasif
c. Suhu tubuh membaik 4. Untuk meminimalisir
(selimut/linen)
(36,0°C ≤37,5°C) terjadinya hipotermi
5. Lakukan penghangatan aktif
5. Untuk meminimalisir
d. Suhu kulit membaik internal (Cairan NaCl hangat)
kejadian hipotermi
1
2. Risiko Infeksi dibuktikan Setelah diberikan asuhan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
dengan efek prosedur 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak 1. Mencegah penyebaran
keperawatan selama ..x….menit
invasive; kerusakan dengan Klien dan lingkungan Klien infeksi nosocomial
diharapkan tidak terjadi infeksi
integritas kulit; 2. Pertahankan teknik aseptic pada Klien 2. Mencegah terajadinya
pada Klien dengan kriteria hasil
berisiko tinggi infeksi
Tingkat Infeksi:
a. Demam menurun Pengontrolan Infeksi Intraoperatif Pengontrolan Infeksi
Integritas Kulit dan Jaringan: sesuai protocol. Mengatur temperatur 2. Memastikan kondisi ruang
ruangan diantara 20 oC sampai 24 oC dan operasi sesuai prosedur dan
a. Kerusakan jaringan sedang
kelembaban ruangan 40 % sampai 60 % protokol
b. Kerusakan lapisan kulit
3. Periksa alat-alat atau instrument yang akan 3. Mencegah kontaminasi
sedang
disterilisasi bersih dari kotoran (mis. darah/ microorganisme
Suhu kulit membaik
cairan tubuh lainnya, bebas dari karat,
4. Untuk memastikan prosedur
ketajaman)
Operasi berjalan sesuai
4. Periksa kelayakan alat steril yang akan protokol
digunakan untuk pembedahan (mis. 5. Untuk memastikan udara yang
Tanggal sterilisasi/ tanggal kadaluarsa, dihasilkan tetap bersih dan
kelayakan pembungkus instrument)
1
5. Periksa kelayakan system laminar airflow steril
11. Lakukan irigasi luka dengan cairan steril dari pajanan microrganisme
1. Bersihkan kulit sekitar luka setelah luka di operasi tetap bersih dan steril
jahit
1
2. Tutup luka dengan kain kasa steril
2. Untuk mencegah terpapar
3. Fiksasi drain dan kateter, jika terpasang
microorganisme
4. Hitung semua kasa dan instrument sebelum
3. Untuk mencegah terlepas
time out.
4. Untuk mencegah adalanya alat
5. Pastikan catatan dan dokumentasi
maupun benda yang tertinggal
pembedahan dalam keadaan lengkap
pada tubuh Klien
6. Informasikan hasil perhitungan jumlah alat,
5. Sebagai legalitas bahwa
kain kasa, dan jarum pada operator
tindakan operasi berjalan
sebelum operasi mulai dan sebelum luka
sesuai prosedur
ditutup lapis demi lapis
6. Mencegah benda maupun alat
instrument tertinggal di dalam
tubuh klien
3. Risiko perdarahan Setelah diberikan asuhan Pencegahan Perdarahan Pencegahan Perdarahan
dibuktikan dengan tindakan
keperawatan selama ..x….menit 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan 1. Untuk mengetahui ada
pembedahan
diharapkan tidak terjadi tidaknya kejadian perdarahan
2. Monitor jumlah dan kenampakan
perdarahan dengan kriteria hasil pada Klien
kehilangan darah
Tingkat Perdarahan: 2. Dapat memperkirakan dan
3. Catat hemogblobin dan hematocrit
a. Perdarahan pasca operasi mencegah terjadinya
Monitor protein koagulasi (PT/PTT,
menurun perdarahan
fibrinogen, jumlah platelet)
b. Memberan mukosa lembap 3. Hb dan hematocrit
5. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
meningkat merupakan komponen
1
c. Tanda vital membaik 6. Kolaborasi pemberian obat pengontrol penting dalam perfusi
perdarahan, jika perlu jaringan dan indicator
volume cairan
7. Kolaborasi pemberian produk darah,
4. Memastikan status
jika perlu
pembekuan darah Klien baik
5. Memastikan tanda vital Klien
dalam kondisi stabil
6. Dapat melakukan persiapan
produk darah
7. Untuk mencegah terjadinya
Perdarahan
4. Post Operasi
1
1. Risiko Infeksi dibuktikan Setelah diberikan asuhan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
dengan efek prosedur 1. Monitoring tanda dan gejala infeksi
keperawatan selama
invasive; kerusakan integritas (demam, edema, kemerahan, 1. Untuk mengetahui adanya
..x….menit diharapkan tidak
kulit; pus,dll) gejala infeksi local dan
terjadi infeksi pada Klien
Cuci tangan sebelum dan sesudah sistemik
dengan kriteria hasil
kontak dengan Klien dan 2. Mencegah penyebaran
Tingkat Infeksi: lingkungan Klien infeksi nosocomial
a. Demam menurun
3. Pertahankan teknik aseptic pada 3. Mencegah terajadinya
b. Kemerahan pada luka Klien berisiko tinggi infeksi
operasi menurun
Perawatan Luka
c. Bengkak pada luka Perawatan Luka
operasi menurun 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
Integritas Kulit dan 2. Kolaborasi pemberian antibiotic, jika 2. Untuk mencegah Infeksi
Jaringan: perlu
a. Kerusakan jaringan
sedang
b. Suhu kulit membaik
1
1
2Risiko jatuh dibuktikan Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Jatuh Pencegahan Jatuh
. dengan efek agen
keperawatan selama ... x ... 1. Identifikasi faktor risiko jatuh 1. Untuk mencegah Klien
farmakologis anastesi
jam diharapkan Klien tidak (≤24 jam pasca operasi, efek terjatuh
mengalami jatuh dengan famarakologis sedasi) 2. Untuk menentukan
kriteria hasil: 2. Hitung Risiko Jatuh dengan tindakan/ penanganan lebih
Tingkat Jatuh lanjut
menggunakan skala (mis. Fall
3. Agar intervensi yang
a. Tidak mengalami jatuh Morse Scale, humpty dumpty
diberikan sesuai dengan
dari tempat tidur scale)
kondisi Klien
b. Tidak mengalami jatuh 3. Monitor kemampuan berpindah
4. Untuk mengurangi resiko
saat dipindahkan 4. Pastikan roda tempat tidur dalam
Klien terjatuh
Koordinasi Pergerakan kondisi terkunci
5. Untuk mengurangi resiko
a. Kontrol otot meningkat 5. Pasang handrail tempat tidur
Anjurkan memanggil perawat jika Klien terjatuh
b. Kontrol gerakan
membutuhkan bantuan untuk 6. Untuk mencegah Klien
meningkat
berpindah terjatuh dari tempat tidur
c. Keseimbangan gerakan
meningkat
1
3. Risiko perdarahan dibuktikan Setelah diberikan asuhan Pencegahan Perdarahan Pencegahan Perdarahan
dengan tindakan pembedahan keperawatan selama..x….menit
4. Monitor tanda dan gejala perdarahan 3. Untuk mengetahui ada
diharapkan tidak terjadi
tidaknya kejadian perdarahan
5. Monitor jumlah dan
perdarahan dengan kriteria hasil
pada Klien
kenampakan kehilangan
Tingkat Perdarahan:
4. Dapat memperkirakan dan
darah
a. Perdarahan pasca operasi
mencegah terjadinya
6. Catat hemogblobin dan hematocrit
menurun
perdarahan
Monitor protein koagulasi (PT/PTT,
d. Memberan mukosa
fibrinogen, jumlah platelet) 8. Hb dan hematocrit
lembap meningkat
merupakan komponen
8. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
Tanda vital membaik
penting dalam perfusi
9. Kolaborasi pemberian obat
jaringan dan indicator
pengontrol perdarahan, jika perlu
volume cairan
Kolaborasi pemberian produk darah, jika
9. Memastikan status
perlu
pembekuan darah Klien baik
10. Memastikan tanda vital
Klien dalam kondisi stabil
11. Dapat melakukan
persiapan produk darah
12. Untuk mencegah terjadinya
Perdarahan
1
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Imlementasi merupakan pengolahan dan perwujudan dari suatu rencana keperawatan yang telah di susun pada tahap
perencanaan. Fokus pada intervensi keperawatan antara lain: mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah komplikasi,
menemukan perubahan sistem tubuh, menetapkan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan dokter (Wahyuni,
Nurul. S, 2016)
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatannya. Tujuan
evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada psserencanaan (Sri
Wahyuni, 2016)
Teknik penulisan SOAP menurut (Zaidin Ali, 2010) adalah sebagai berikut :
3. S (Subjective) : bagian ini meliputi data subjektif atau informasi yang didapatkan dari klien setelah mendapatkan
tindakan, seperti klien mnguraikan gejala sakit atau menyatakan keinginannya untuk mengetahui tentang
pengobatan. Ada tidaknya data subjektif dalam catatan perkembangan tergantung pada keakutan penyakit klien.
4. O (Objective) : Informasi yang didapatkan berdasarkan hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan
perawat setelah tindakan. Misalnya pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, observasi atau hasil radiologi.
5. A (Assesment) : Membandingkan antara informasi subjektif & objektif dengan tujuan & kriteria hasil yang
kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, atau masalah tidak teratasi.
1
6. P (Planning) : Perencanaan bergantung pada pengkajian situasi yang dilakukan oleh tenaga
ksehatan. Rencana dapat meliputi instruksi untuk mengatasi masalah klien, mengumpulkan data tambahan tentang
masalah klien, pendidikan bagi individu atau keluarga, dan tujuan asuhan. Rencana yang terdapat dalam evaluasi atau
catatan.
SOAP dibandingkan dengan rencana pada catatan terdahulu, kemudian dapat ditarik keputusan untuk merevisi,
memodifikasi, atau meneruskan tindakan yang lalu. Rencana tindak lanjut dapat berupa : rencana diteruskan jika
masalah tidak berubah, rencana dimodifikasi jika masalah tetap dan semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil
belum memuaskan, rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada
serta diagnosa lama dibatalkan, rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang diperlukan adalah
memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru (Hemanus, 2015).
1. Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan, sehingga rencana mungkin dihentikan.
2. Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan, sehingga pada penambahan waktu, resources, dan
intervensi sebelum tujuan berhasil.
3. Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan sehingga perlu :
b. Membuat outcome yang baru, mungkin autcome pertama tidak realistis atau mungkin keluarga tidak
menghendaki terhadap tujuan yang disusun oleh perawat.
Intervensi keperawatan harus dievaluasi dalam hal ketepatan untuk mencapai tujuan sebelumnya.