Memberantas Korupsi
Editor:Redaksi Lombok Post
8 Maret 2021
Raja Mataram Lombok terakhir Anak Agung Gde Ngurah ( dua dari kiri) berpose
di Batavia. Kemungkinan foto ini diambil sekitar sekitar tahun 1872 setelah
pelantikannya sebagai raja. (rijkmuseum.nl)
Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, korupsi telah lama menjadi penyakit
akut yang merongrong kerajaan-kerajaan Nusantara. Di paruh pertama abad ke
19, Raja Mataram Lombok juga dipusingkan oleh persoalan yang satu ini.
———————————
Iklan beras murah Lombok bertebaran di sejumlah koran di Bandar Bandar utama
Asia. Ini belum termasuk posisi Lombok yang strategis di jalur utama pelayaran
internasional.
Tapi melimpahnya hasil beras kerajaan bukan tanpa ancaman. Korupsi dari para
pejabat kerajaan membuat raja resah. Mereka memperkaya diri melalui jalur
panjang distribusi gabah dari ladang petani hingga lumbung beras kerajaan.
Soal yang satu ini, naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace yang berkunjung ke
Lombok antara Juni-Juli 1856 itu punya cerita sendiri. Ia menuliskan satu babak
khusus tentang upaya Raja Mataram memutus mata rantai korupsi di negerinya
dalam buku The Malay Archipelago.
Alkisah, suatu hari raja mulai mengendus perilaku buruk para penggawa kerajaan
yang kerap menyelewengkan padi saat musim panen tiba.
Baca Juga : Operasi Starfish 1945: Misi Rahasia Australia yang Gagal di
Sekotong
Awalnya, raja heran dengan laporan bendaharanya yang menyebutkan jumlah padi
yang disetor pada musim panen terus menurun. Padahal kualitas panen setiap tahun
terus membaik dan hampir tidak ada gagal panen di kerajaannya.
Para kepala kampung yang mengumpulkan padi dari petani sering mengambil
sejumlah bagian dari jumlah yang disetorkan. Alasannya para pejabat desa ini
harus menunjukkan kewibawaan dengan menunjukkan isi lumbung mereka lebih
dari penduduk lainnya.
Sejumlah tentara
Belanda terlihat di Taman Mayura sekitar tahun 1894. (sumber .
https://www.europeana.eu/)
Raja sebenarnya tahu bawahaannya ini korupsi. Namun ia kesulitan untuk
membuktikan lantaran tidak mempunyai data berapa jumlah penduduk secara
keseluruhan. Maksudnya, jika raja mengetahui jumlah penduduk maka jumlah padi
yang harus di setorkan ke negara akan terlihat jelas dengan cara menghitung
kewajiban perpenduduk dikali jumlah penduduk tersebut.
Karena itu raja ingin melaksanakan cacah jiwa (sensus penduduk). Namun
pertanyaannya bagaimana agar para aparat pemerintahan yang ditugaskan tidak
tahu bahwa tujuan sensus ini untuk menghitung jumlah harta yang mereka korupsi
setiap musim padi.
Hampir sepekan raja berpikir keras mengenai strategi sensus ini agar bisa berjalan
secara rahasia. Inilah yang membuat Raja terlihat murung dan hanya mengurung
diri dalam istananya di Cakranegara.
Raja yang murung dan lesu membuat seisi istana gundah. Bahkan tersiar kabar
bahwa raja terkena guna-guna. Semua orang saling curiga. Pendeta dan orang
pintar juga ikut mencari siapa gerangan yang berani meneluh sang raja.
Baca Juga : Lombok hingga Batavia: Perburuan Rempah dan Hasrat Para
Penjajah
Saking tingginya kecurigaan, seorang nakhoda kapal asal Irlandia yang kebetulan
memiliki tampang sangar hampir jadi korban. Karena wajahnya yang
menyeramkan itu ia ditangkap. Ia dikira tukang sihir dan nyaris ditusuk dengan
keris.
Beruntung setelah menjelaskan kepada petugas bahwa ia, hanya seorang nahkoda
kapal yang hendak mengangkut beras dari pelabuhan nyawanya selamat. Ia,
diperkenankan kembali ke Ampenan, namun kapalnya belum diizinkan berlayar.
Dalam penyendirian itu, ahirnya ide briliant itu muncul. Aha…!!!!!. Raja
mengumpulkan semua pejabat, pendeta dan pangeran yang ada di Mataram.
“Selama beberapa hari hatiku sangat sakit, tetapi aku tidak tahu sebabnya. Akan
tetapi sekarang kesusuahan itu hilang karena aku telah bermimpi. Semalam Roh
(penunggu) Gunung Agung muncul dihadapanku dan berkata agar aku pergi ke
puncak gunung (Gunung Rinjani). Kalian semua boleh menyertaiku hingga
mendekati puncak, tapi kemudian aku harus mendaki sendiri dan Roh Agung akan
muncul dihadapanku. Ia akan mengatakan sesuatu yang penting bagiku, bagi kalian
penduduk pulau ini. Sekarang pergilah ke seluruh pulau. Selain itu tiap kampung
harus menyediakan tenaga untuk merambah (membuat) jalan agar kita dapat
melewati hutan dan naik ke puncak gunung,’’ ujar raja.
Suasana Cakranegara
diambil oleh ilmuan Franz Heger sekitar tahun 1904. (sumber : europeana.eu)
Tersebarlah kabar bahwa raja akan mendaki Rinjani. Seluruh desa yang akan
dilalui bergotong royong menyiapkan jalan yang akan dilalui iring-iringan sang
raja. Bukit diratakan, jurang dibuatkan jembatan
dan semua penduduk melibatkan diri dalam misi besar ini.
Sementara itu para pejabat mempersiapkan membagi rute menjadi beberapa etape.
Dalam setiap ahir etape sebuah lokasi peristirahatan untuk raja dibangun berserta
perlengkapan lainnya. Setelah persiapan dirasa cukup para pangeran, pendeta dan
pejabat menghadap raja untuk mengabarkan persiapan.
Hari yang ditentukan tiba. Masyarakat yang ingin ikut telah datang di sekitar istana
sejak semalam. Raja berangkat dengan sebuah kuda besar yang tinggi. Tanpa
sanggurdi dan pelana, raja tetap berwibawa di atas kain cerah yang melapisi
punggung kuda.
Sementara para pejabat yang lebih rendah dan masyarakat lainnya harus
menyesuaikan mengendarai kuda yang lebih pendek. Sementara pengiring
memanjang di belakang berjalan kaki sambil memikul perlengkapan.
Hari kedua, rombongan ini telah sampai di perkampungan terakhir yang berbatasan
dengan hutan. Pada hari keempat raja telah berada di pelawangan. Ia, kemudian
mendaki puncak diiringi para pendeta dan pangeran yang terlihat letih. Terkadang
mereka harus ditandu para pengiring untuk melajutkan perjalanan.
Dalam belaian angin pagi Raja dan sejumlah kecil pengiring hampir tiba di puncak.
Ia, meminta para pejabat yang menyertai menunggu di tempat. Raja naik ke
puncak yang hanya berjarak beberapa puluh meter ditemani ajudan dalam jarak
beberapa meter saja.
Beberapa saat kemudian raja turun dari puncak bukit dengan air muka serius.
Rautnya seperti orang yang baru menerima kabar yang maha penting. Dia tak
berkata apapun. Ia meminta semua pengiring untuk menemaninya pulang.
Hari-hari itu tak ada yang paling ditunggu selain apa gerangan titah sang roh agung
kepada raja. Ini menjadi perbincangan hangat, di pasar, langgar, pura hingga alun-
alun kota dan persawahan. Semua menunggu pengumuman dari raja.
Tiga hari kemudian, Raja mengumpulkan para pendeta, pejabat dan pangeran.
Inilah saatnya perintah dari Roh Agung itu di sebarkan. Dihadapan mereka yang
telah hadir, Raja menuturkan wangsit yang diterimanya dari puncak Rinjani.
‘’O,,,,, Raja! Banyak wabah penyakit dan bencana akan melanda bumi, melanda
manusia, melanda kuda dan melanda ternak. Akan tetapi karena aku tau kau dan
rakyatmu mematuhiku serta telah datang mendaki gunungku yang agung aku akan
memberitahu cara menghindar dari malapetaka itu.’’ kata raja menirukan wangsit
yang ia terima.
Semua yang hadir masih berdebar-debar apa gerangan cara untuk menghindar dari
malapetaka ini. Setelah diam sejenak, raja kemudian memberitahukan bahwa Roh
Agung meminta untuk dibuatkan 12 bilah keris. Bahan keris itu terbuat dari jarum
sesuai dengan jumlah penduduk di setiap desa.
Maka setiap kepala desa harus mengumpulkan jarum sesuai dengan jumlah warga
yang dipimpinnya. Kelak jika ada desa yang terkena wabah penyakit, sebilah keris
itu akan dikirim ke desa tersebut sebagai penangkal.
Namun, kata raja menegaskan. Jika jumlah jarum yang dikumpulkan untuk
membuat keris itu sesuai dengan jumlah penduduk keris ini akan mqmpu menolak
bala. Dan sebaliknya jika jumlah jarum tersebut kurang wabah akan semakin
menggila.
Semua pangeran dan kepala desa segera menyebar mengabarkan berita luar biasa
ini. Dengan cepat para kepala desa mengumpulkan jarum dalam ikatan sesuai
dengan jumlah penduduk. Melihat kesigapan ini raja tersenyum simpul melihat
misinya berjalan lancar.
Lalu pada satu hari yang ditentukan, jarum-jarum yang diminta telah terkumpul.
Raja menerimanya sendiri kemudian mencatat jumlah jarum dari setiap sesuai
dengan penduduknya. Data penduduk masing-masing akhirnya terkumpul.
Jarum-jarum itu kemudian diserahkan ke empu pembuat keris untuk dilebur dan
ditempa.
Tak lama setelah keris selesai musim panen tiba. Para kepala daerah dan kepala
desa mengantar upeti masing-masing ke istana. Bila jumlah upeti ini hanya
berkurang sedikit dari sewajarnya raja tak mengatakan apapun. Akan tetapi kalau
upeti itu berkurang hingga setengah atau seperempat, maka kini raja tau apa yang
harus dikatakan pada para kepala desa yang korup itu.
“Jarum yang kamu kirim dari desamu jauh lebih banyak dari desa lain, tapi
upetimu lebih sedikit dari upetinya. Kembalilah dan periksa siapa yang tidak
membayar pajak,’’ kata raja.
Dengan strategi ini tahun-tahun berikutnya setoran upeti hasil bumi terus meninggi
karena raja tau siapa yang korupsi. Dan bagi para koruptor yang tetap nekat raja
memberlakukan hukuman mati.
‘’Raja Lombok (Anak Agung) pun menjadi kaya raya, ia menambah jumlah
prajurit. Membeli perhiasan emas untuk para isterinya. Membeli kuda hitam dari
orang Belanda dan mengadakan pesta-pesta besar bila anaknya lahir atau menikah,
Tidak ada raja atau sultan yang di kalangan orang Melayu yang dapat menandingi
kebesaran Raja Lombok,’’ kata Wallace.
Sementara untuk Keris, masyarakat tetap percaya akan tuahnya. Setiap ada
bencana benda keramat ini dikeluarkan. Ia akan dikembalikan ke istana ketika
wabah selesai yang diiringi dengan upacara penyelamatan. Dan jika keris tidak
dapat menolak bala, mereka akan tahu bahwa ada kejanggalan dalam pengiriman
jarum untuk membuat keris itu. (r2)