Anda di halaman 1dari 11

MATERI AJAR

KEPERAWATAN HIV/ AIDS


Oleh: Andi Eka Pranata, S.ST., S.Kep., Ns., M.Kes

A. Familiy Centered Care dalam Perawatan Klien HIV/ AIDS


Sebelum membahas lebih dalam terkait dengan family centered care, hendaknya
kita memahami dulu konsep yang mendasari pelayanan berbasis keluarga ini. Konsep
Family-Centered Care sebagai filosofi dalam memberikan pelayanan keperawatan di Rumah
Sakit merupakan pendekatan yang bisa dilakukan karena dalam pendekatan ini terjadi
hubungan timbal balik antara penyedia pelayanan, pasien dan keluarga sehingga akan
meminimalkan konflik yang selama ini timbul sebagai akibat kurangnya informasi dan
komunikasi. Family-Centered Care dapat dipraktekkan dalam segala tahapan usia dan
berbagai macam latar belakang.
Family-Centered Care didefinisikan oleh Association for the Care of Children's
Health (ACCH) sebagai filosofi dimana pemberi perawatan mementingkan dan melibatkan
peran penting dari keluarga, dukungan keluarga akan membangun kekuatan, membantu
untuk membuat suatu pilihan yang terbaik, dan meningkatkan pola normal yang ada dalam
kesehariannya selama anak sakit dan menjalani penyembuhan. Konsep FCC ini sangat
cocok diterapkan pada pasien yang menderita HIV/ AIDS, karena pasien tersebut
membutuhkan dukungan penuh dari keluarga (Peterson, 2004).
Berikut ini adalah bentuk-bentuk dukungan yang bisa diberikan oleh keluarga pada
ODHA:
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional merupakan suatu upaya yang diberikan dalam memperlihatkan
perasaan maupun kasih sayang terhadap seseorang ketika berada dalam kondisi labil.
Hal ini seperti yang ditunjukan oleh keluarga ketika ada anggota keluarga yang terinfeksi
HIV/AIDS
2. Dukungan Penghargaan
Perhatian dan penerimaan keluarga kepada ODHA, merupakan suatu semangat bagi
ODHA dalam menjalani kehidupan mereka. Adanya penerimaan dari keluarga
berdampak secara signifikan dalam proses pengobatan yang dilakukan oleh ODHA.
3. Dukungan Materi
Berbagai cara dilakukan oleh keluarga untuk membantu pengiobatan anaknya. Mereka
melakukan berbagai cara untuk memperoleh uang agar dapat membeli obat yang
dikonsumsi oleh anggota keluarga yang terinfeksi.
4. Dukungan Informasi
Upaya yang dilakukan oleh keluarga besar saat menerima atau mengetahui tentang
kondisi anggota keluarga yang terinfeksi HIV adalah berusaha untuk mencari informasi
sebanyak mungkin terkait dengan penyakit yang dialami oleh anak atau anggota
keluarganya, disamping itu merekameminta saran dari berbagai pihak yang
berkepentingan terkait dengan kondisi yangdialami oleh anak/anggota keluarga lainnya.
5. Dukungan Bersosialisasi
Setelah mengumpulkan informasi dan memperoleh saran dari berbagai pihak maka
keluarga berusaha untuk terlibat di lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan
kepada orang dengan HIV/AIDS yaitu melalui kepompokkelompok dukungan. Upaya
yang dilakukankeluarga merupakan suatu cara untuk membantu Orang Dengan
HIV/AIDS tidak merasa terisolasi dari lingkungan sosialnnya. ( Nancy Rahakbauw.
2016.Dukungan Keluarga Terhadap Kelangsugan Hidup ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS. Jurnal HIV/AIDS, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dukungan keluarga.
Dukungan-dukungan di atas sangat berharga dalam membangung optimisme
ODHA dalam menjalani kehidupannya, sehingga stabilitas imun dari ODHA bisa terwujud.
Oleh karena itu, konsep implementasi dari FCC pada ODHA harus mengacu pada nilai-nilai
sebagai berikut:
1. Martabat dan kehormatan Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati
pandangan dan pilihan pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang
budaya pasien dan keluarg abergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan pada
ODHA
2. Berbagi informasi
3. Praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang berguna bagi
pasien dan keluarga dengan benar dan tidak memihak kepada pasien dan keluarga.
Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu, lengkap, akurat agar dapat
berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan pada ODHA
4. Partisipasi
5. Pasien pada ODHA dan keluarga termotivasi berpartisipas idalam perawatan dan
pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.
6. Kolaborasi
7. Pasien pada ODHA dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi.
Perawat berkolaborasi dengan pasien pada ODHA dan keluarga dalam pengambilan
kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi

B. Penggunaan ARV pada klien HIV/ AIDS


Sama halnya dengan penyakit infeksius pada umumnya, penderita HIV/ AIDS pun
perlu mendapatkan sebuah treatment untuk mengontrol replikasi dari virus dan
meningkatkan daya tahan dari penderita, sehingga imun akan terbentuk dan terhindari
infeksi oportunistik. Berikut ini adalah strategi pemerintah terkait dengan program
pengendalian HIV/ AIDS:
1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini:
a) Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV
perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat
jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b) Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan
pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP),
pasien IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti
WPS, waria, LSL dan penasun.
c) Kabupaten/kota dapatmenetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan
intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta
surveilans berkala.
d) Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar
pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status
epidemi dari tiap kabupaten/kota.
e) Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
f) Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ketingkat Puskemas
g) Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes
HIV dan terapi ARV.
h) Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui
layanan PIMS dan PTRM
2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis
a) Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KDT-Fixed Dose
Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap
hari pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa
menelan obat.
b) Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c) Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun
stadium klinisnya pada:
1) Kelompok populasi kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna
napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain
2) Populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi TB-HIV,
pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya
HIV negative (pasangan sero- diskor), dan bayi/anak dengan HIV (usia < 5
tahun)
3) Semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas
d) Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten
melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.
e) Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV
Sebelum memberikan edukasi terkait penggunaan ARV pada ODHA, hendaknya
petugas kesehatan mengetahui secara detail seputar farmakologis dari ARV sendiri. Berikut
ini adalah beberapa informasi farmakologis seputar ARV:
1. Jenis ARV yang beredar di Indonesia
Ada beberapa jenis ARV yang telah tersedia bagi penderita HIV dan AIDS, antara lain
Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddI), D4T (Stavudine), Abacavir
(ABC) yang merupakan satu golongan NRTI, dan beberapa ARV dari golongan NNRTI,
seperti Nevirapine (NVP) dan Efavirenz (EFV).
Menurut Nursalam (2007) saat ini sudah banyak obat-obatan yang dapat diberikan
untuk penderita HIV/ AIDS yaitu ARV (Anti Retroviral Virus) yang dapat digunakan
untuk menghentikan aktivitas virus dan memulihkan sistem imun. Berbagai jenis ARV
yang ada yaitu diantaranya:
a) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Obat ini dikenal dengan analog nukleosida yang menghambat proses perubahan
RNA virus menjadi DNA (proses ini dilakukan oleh virus HIV agar bereplikasi).
Contoh golongan ini adalah AZT, ZCV, ddc, ddi.
b) Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)
Yang termasuk golongan ini adalah tnofofir (TDF).
c) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara
mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi. Contoh golongan ini
adalah NVP, DLP, BI-RG.
d) Protease Inhibitor
Contohnya adalah IDV (indinavir), NFV (nelvinavir).
e) Fusion Inhibitor
Contoh gologan ini adalah Enfufirtide (T-20).
2. Fungsi ARV
ARV berfungsi sebagai penghambat replikasi HIV dalam CD4, sehingga dapat
menekan jumlah virus dalam darah. Karena jumlah virus dapat terus ditekan, jumlah
CD4 pun dapat kembali naik. Meningkatknya jumlah CD4 yang berkelanjutan akan
mencapai normal, sehingga penyakit-penyakit penyerta infeksi oportunistik yang
biasanya muncul pada saat CD4 rendah tidak akan muncul pada ODHA yang sudah
melakukan terapi ARV. Akan tetapi, ARV tidak dapat menyembuhkan infeksi-infeksi
yang sudah terlanjur muncul, tetapi dapat mencegah munculnya infeksi-infeksi baru
yang disebabkan oleh rendahnya CD4 (Madyan, 2009).
3. Efek Samping
Obat-obatan HIV tersebut dapat menimbulkan efek samping pada orang yang
mengkonsumsinya. Efek samping timbul karena pengobatan HIV merupakan tindakan
yang kompleks antara menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan toksisitas obat.
Efek samping obat HIV jangka pendek meliputi mual, muntah, diare, sakit kepala, lesu,
dan susah tidur. Oleh karena itu, pemberian ARV pada ODHA perlu dilakukan
pendampingan dan motivasi dari petugas kesehatan atau konselor. Seringkali efek
samping obat ARV menjadi alasan penderita menghentikan terapi dan hal ini sangat
merugikan pasien karena bisa menimbulkan resistensi/ kekebalan obat dan
memburuknya kondisi pasien (Elisanti, 2018).

C. Asuhan Keperawatan HIV/ AIDS


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan mencangkup pengumpulan informasi subjektif dan objektif
(misalnya, tanda tanda vital, wawancara pasien/ keluarga, pemeriksaan fisik dan
peninjauan informasi riwayat pasien yang diberikan oleh pasien/keluarga, atau di
temukan dalam rekam medik. Perawat juga mengumpulkan informasi tentang kekuatan
pasien/ keluarga (untuk mengidentifikasi peluang promosi kesehatan) dan risiko ( untuk
mencegah atau menunda potensi masalah). Pengkajian dapat didasarkan pada teori-
teori keperawatan yang ada yang telah dikembangkan menjadi kerangka. Kerangka ini
yang menyediakan cara untuk mengkategorikan data dalam jumlah yang besar ke dalam
kategori data terkait. Pengkajian dilakuakan untuk memahami masalah yang dialami oleh
pasien sehingga dapat ditentukan diagnosis yang sesuai untuk melaksanakan tindakan
keperawatan.Selama langkah pengkajian dan diagnosis dari proses keperawatan,
perawat mengumpulkan data mengolahnya menjadi informasi, dan kemudian mengatur
informasi yang bermakna dalam kategori pengetahuan, yang dikenal sebagai diagnosis
keperawatan. Pengkajian memberikan kesempatan terbaik bagi perawat untuk
membangun hubungan terapeutik yang efektif dengan pasien. Dengan kata lain,
pengkajian adalah aktivitas intelektual dan interpersonal. (NANDA, 2018).
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016) dalam melaksanakan pengkajian perawat
harus mengkaji tanda dan gejala yang dibagi menjadi dua kategori yaitu tanda mayor
dan minor. Berikut ini adalah contoh tanda dan gejala defisit nutrisi pada HIV/AIDS
sebagai berikut:
Gejala dan Subyektif Obyektif
Tanda
Mayor - 1. Berat badan
menurun minimal
10% di bawah
rentang ideal
Minor 1. Cepat kenyang setelah makan 1. Bising usus hiperaktif
2. Kram/ nyeri abdomen 2. Otot pengunyah
3. Nafsu makan menurun lemah
3. Otot menelan lemah
4. Membrane mukosa
pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun
7. Rambut rontok
berlebihan
8. Diare

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau respon
individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada risiko masalah
kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan merupakan bagian
penting dalam menetukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu pasien
mencapai kesehatan yang optimal. Diagnosis keperawatan ini bertujuan untuk
mengetahui pendapat pasien dan keluarga mengenai situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Proses penegakan diagnosis keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu analisis data,
identifikasi masalah, dan perumusan diagnosis. Analisis data dilakukan dengan
membandingkan data dengan nilai normal serta melakukan pengelompokkan data.
Identifikasi masalah yaitu melakukan identifikasi data-data kedalam kelompok masalah
aktual, risiko, dan promosi kesehatan. Perumusan diagnosis dilakukan sesuai dengan
masalah yang telah diidentifikasi dengan menggunakan pola PES, yaitu problem sebagai
masalah inti dari respon klien terhadap kondisi kesehatannya, etiologi sebagai penyebab
atau faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan, dan sign/symptom berupa
tanda yang berupa data objektif dan gejala yang berupa data subjektif. (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016).
Masalah (problem) dalam diagnosis pada pasien HIV/AIDS yaitu defisit nutrisi. Menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) defisit nutrisi masuk ke dalam kategori
fisiologi dengan subkategori nutrisi dan cairan. Defisit nutrisi adalah asupan nutrisi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Adapun penyebab (etiologi) yang
menimbulkan terjadinya masalah defisit nutrisi yaitu ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien.
Sedangkan tanda dan gejala (sign/symptom) yang muncul berupa tanda gejala mayor
dan minor. Tanda dan gejala mayor diantaranya berat badan menurun minimal 10 % di
bawah rentang ideal (objektif). Sedangkan tanda gejala minor diantaranya cepat kenyang
setelah makan, kram/nyeri abdomen, nafsu makan menurun (subjektif) serta bising usus
hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, membran mukosa pucat,
sariawan, serum albumin turun, rambut rontok berlebihan, diare (objektif).
Diagnosa keperawatan dalam penelitian ini adalah defisit nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan/ Ketidakmampuan mencerna makanan dan
mengabsorbsi nutrient ditandai dengan berat badan menurun minimal 10 % di bawah
rentang ideal, cepat kenyang setelah makan, nyeri abdomen, nafsu makan menurun,
bising usus hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, membran mukosa
pucat, sariawan, serum albumin turun, rambut rontok berlebihan, dan diare.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah segala perawatan yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang di harapkan. Luaran keperawatan ini mengarahkan status diagnosis keperawatan
setelah dilakukan intervensi keperawatan. (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Setiap
rencana keperawatan terdiri atas tiga komponen yaitu label, definisi dan tindakan.
Tindakan ini terdiri atas observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi.
Defisit nutrisi adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Dalam perencanaan keperawatan pada pasien
HIV/AIDS dengan defisit nutrisi mengacu kepada Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI) yang merupakan aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur yang
meliputi kondisi, perilaku, dan persepsi dari pasien, keluarga, dan komunitas sebagai
respon terhadap perencanaan keperawatan. Dalam hal ini mengunakan standar luaran
yaitu status nutrisi yang diharapkan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme membaik (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019).
Sedangkan perencanaan keperawatan dirumuskan sesuai dengan Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) yang merupakan segala rencana tindakan yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahun dan penilaian klinis untuk
mencapai standar luaran yang diharapkan. Dalam hal ini perencanaan keperawatan
terdiri dari : manajemen nutrisi dan promosi berat badan. (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018) Adapun intervensi yang dapat dirumuskan pada pasien HIV/AIDS dengan defisit
nurisi adalah sebagai berikut:
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
a. Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen nutrisi
ketidakmampuan keperawatan selama 3x 24 1. Identifikasi alergi dan
menelan makanan/ diharapkan asupan nutrisi intoleransi makanan
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan 2. Identifikasi makanan
mencerna makanan metabolisme membaik. yang disukai
dan mengabsorbsi SLKI label : Status Nutrisi 3. Monitor asupan
nutrient d.d berat 1. Porsi makanan yang makanan
badan menurun dihabiskan meningkat 4. Monitor hasil
minimal 10% di bawah (5) pemeriksaan
rentang ideal, cepat 2. Kekuatan otot laboratorium
kenyang setelah pengunyah meningkat 5. Lakukan oral hygiene
makan, nyeri abdomen, (5) sebelum makan, jika
nafsu makan menurun, 3. Kekuatan otot menelan perlu
bising usus hiperaktif, meningkat (5) 6. Kolaborasi dengan ahli
otot pengunyah lemah, 4. Serum albumin dalam gizi untuk menentukan
otot menelan lemah, batas normal (3,5-4,5 jumlah kalori dan jenis
membran mukosa mg/dL) nutrient yang
pucat, sariawan, serum 5. Perasaan cepat dibutuhkan jika perlu
albumin turun, rambut kenyang menurun (5) b. Promosi berat badan
rontok berlebihan dan 6. Nyeri abdomen 1. Monitor adanya mual
diare menurun (5) dan muntah
7. Sariawan menurun (5) 2. Monitor berat badan
8. Diare menurun (5) 3. Sediakan makanan
9. Frekuesi makan yang tepat sesuai
membaik (5) kondisi pasien
10. Nafsu makan membaik c.
(5)
11. Bising usus membaik
(5)
12. Membran mukosa
tidak pucat lagi (5)

4. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tahap pelaksanaan rencana tindakan keperawatan
yang telah disusun oleh perawat untuk mengatasi masalah pasien. Implementasi
dilaksanakan sesuai rencana yang sudah dilakukan, teknik dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi
yang sudah dilakukan dan bagaimana respon dari pasien (Bararah & Jauhar, 2013).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi
ini merupakan membandingkan hasil yang telah dicapai setelah proses implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan dan kriteria hasil
evaluasi yang telah diharapkan dapat terapai. Proses evaluasi dalam asuhan
keperawatan di dokumentasikan dalam SOAP (subjektif, objektif, assesment, planing ).
(Bararah & Jauhar, 2013).
a) Subyektif
Subjektif yaitu respon evaluasi tertutup yang tampak hanya pada pasien yang
mengalami dan hanya dapat dijelaskan serta diverifikasi oleh pasien tersebut. Pada
pasien HIV/AIDS dengan defisit nutrisi diharapkan pasien mengatakan tidak cepat
kenyang setelah makan, kram/nyeri abdomen menurun, nafsu makan meningkat.
b) Obyektif
Objektif yaitu respon evaluasi yang dapat dideteksi, diukur, dan diperiksa menurut
standar yang diterima melalui pengamatan, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
medis lainnya. Pada pasien HIV/AIDS dengan defisit nutrisi diharapkan berat badan
tidak menurun, bising usus normal, otot pengunyah normal, otot menelan normal,
membran mukosa tidak pucat lagi, sariawan menurun, serum albumin normal (3,5-
4,5 mg/dl), diare menurun.
c) Assessment
Assessment adalah proses evaluasi untuk menentukan telah tercapainya hasil yang
diharapkan. Ketika menentukan apakah hasil telah tercapai, perawat dapat menarik
satu dari tiga kemungkinan yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian, tujuan
tidak tercapai.
d) Planning
Planning adalah penilaian tentang pencapaian tujuan untuk menentukan rencana
tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan assessment.
Referensi:
Elisanti AD. (2018). HIV-AIDS, Ibu Hamil dan Pencegahan pada Janin. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish.

Madyan AS. (2009). Aids dalam Islam. Yogyakarta: Penerbit Mizan.

Petersen M, F, Cohe J, Parsons V, (2004) Family-Centered Care: Do we Practice What We


Preach?, JOGNN July/Agustus 2004.

Anda mungkin juga menyukai