Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ibadah syukur pasca kematian salah satu anggota keluarga merupakan tradisi dari setiap
jemaat. Ibadah syukur ini dihadiri oleh keluarga besar almarhum/ah, dan juga keluarga
mengundang jemaat untuk hadir mengikuti ibadah bersama. Ibadah syukur ini juga diartikan
sebagai ibadah penghiburan dimana keluarga mendapat kekuatan serta penghiburan pasca
kehilangan orang yang mereka kasihi. Menurut Emmons dan Stern syukur memiliki arti ganda,
satu duniawi dan satu transenden. Dalam arti duniawinya, syukur adalah perasaan yang terjadi di
antara pribadi ketika seseorang mengakui bahwa dirinya menerima manfaat yang berharga dari
yang lain.1Menurut Park, Peterson, dan Seligman, salah satu kekuatan positif yang paling
memberikan keuntungan bagi diri individu adalah ungkapan syukur.2 Emmons dan McCullough
mengatakan bahwa bersyukur telah dikonseptualisasikan sebagai suatu bentuk perasaan atau
emosi, sikap, kebajikan moral, kebiasaan, sifat kepribadian, atau respon koping pada individu
dalam menjalani kehidupan.3

Ketika GPM melakukan deregulasi terhadap peringatan hari-hari kematian sebagai upaya
kristalisasi pemahaman agama lokal/suku maka GPM menciptakan sebuah teologi baru bahwa
“kematian orang Kristen adalah kematian bersama Kristus” artinya, siapa yang percaya kepada
Kristus, ketika ia mengalami kematian maka di hari itu juga ia telah mati bersama Kristus.
Teologi gereja ini kemudian merubah cara pikir dan pelayanan gereja sehingga tidak ada lagi
peringatan-peringatan kematian tersebut dan kalaupun masih dilakukan hanya sebuah syukur
keluarga.4

1
R. A. Emmons &R. Stern (2013). Gratitude as a psychotherapeutic intervention. Journal of Clinical Psychology: In
Session, 69, 846–855.
2
N. Park, C. Peterson & M. E. P. Seligman, (2004). Strengths Of Character And Well– Being. Journal of Social and
Clinical Psychology, 23(5), 603-619.
3
R. A. Emmons, M.E. McCullough (2003). Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental Investigation of
Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life. Journal of Personality and social Psychology, 84(2), 3377-389.
Doi: 10.1036/0022-3514.84.2.377.
4
Wawancara dengan Pdt. Drs. A. J. S. Werinussa, M.Si (Ketua Sinode GPM) pada 03 Februari 2021, di kantor Sinode
GPM.

1
Pada masyarakat Galala-Hative Kecil mereka mengenal Tunjuitam sebagai pengucapan
syukur keluarga atas peristiwa kedukaan, dengan cara mengumpulkan kaum keluarga dan
bersama jemaat menyatakan syukur pada hari minggu di gereja setempat. Kumpul keluarga
sering terjadi diberbagai daerah dan memeberi dampak positif bagi keluarga yang berduka yakni
menemani, menghibur dan memberi penguatan.Mengapa dilakukan? Kita melakukan Tunjuitam
sebagai tanda terima kasih. Bukan hanya untuk keluarga secara genealogis/hubungan darah,
tetapi siapa saja yang di anggap bagian dari keluarga dan komunitas bersama, yang membantu
dan menguatkan dalam kedukaan, maka saat Tunjuitam berlangsung harus memberitahukan pada
mereka sebagai bagian dari ucapan syukur.5 Jadi menurut mereka Tunjuitam itu sebagai bentuk
penguatan-penguatan dan juga bentuk pendampingan bagi mereka. Mengapa? Karena Tunjuitam
ini sudah menjadi budaya, karena ada nilai-nilai dibalik budaya tersebut, seperti kebersamaan,
mendampingi keluarga, nilai solidaritas social.

Secara social Tunjuitam dilihat sebagai ikatan kekerabatan dengan keluarga yang berduka
untuk saling menopang, saling menguatkan, walaupun ada deregulasi GPMyang menyatakan
bahwa perayaan tiga hari kematian, tujuh hari kematian, empat puluh hari kematian tidak lagi
dilakukan. Tetapi masyarakat Galala-Hative Kecil tetap melakukan hal tersebut. Karena secara
social memperlihatkan adanya berbagai cara yang dilakukan masyarakat untuk membangun
suatu komunitas. Dalam Tunjuitam, terdapat nilai moral dari semua proses pelaksanaanya,
sehingga keluarga dan jemaat terikat dalam satu rasa emosional yang kemudian membawa
mereka secara sadar berempati terhadap individu/ keluarga yang mengalami kehilangan atas
kematian salah satu anggota keluarga. Empati tersebut, mereka tunjukkan dengan membantu,
memberikan sumbangan (material), menemani, menguatkan dan bersama-sama menghadiri
proses Tunjuitam.

Pasca kematian, lingkungan keluarga dan bantuan orang-orang sekitar entah tetangga atau
komunitas jemaat sangat membantu memulihkan luka batin akibat krisis situasional. Ini yang
dibutuhkan oleh orang berduka untuk menjalani proses kedukaan yang normal. Mengapa?
Karena Orang yang mengalami kedukaan, ingin untuk dikunjungi, ditemani, dihibur dan
dikuatkan, sehingga kualitas kehadiran keluarga/ tetangaan/ jemaat menunjukan bahwa banyak
yang memberi dukungan dan ingin berbagai beban dengan orang yang berduka, walau orang
5
Wawancara dengan Bpk.Yafet Akerina (Masyarakat Pendatang yang melakukan Tunjuitam), pada tanggal 11
Februari 2021.

2
yang berduka sendiri tidak memaksakan hal itu. Dukungan, pemahaman dan kehangatan dari
lingkungan sekitar orang yang berduka merupakan kunci dari sebuah adaptasi baru dan cara
mengatasi kesedihan yang dialami oleh individu/keluarga yang berduka.

Secara teologi Peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian mungkin dianggap “kafir” dan
membawa beban komersial secara ekonomi tetapi dalam prakteknya dapat dikatakan sebagai
bentuk perjumpaan bukan hanya sekedar perjumpaan yang bersifat hura-hura, tetapi perjumpaan
atas dasar solidaritas antar sesama dengan keluarga yang berduka, yang membawa topangan dan
pemulihan. Mengapa? Karena perjumpaan kita dengan keluarga yang berduka hanya akan
sampai saat jenazah dimakamkan, setelah itu keluarga yang berduka akan dibiarkan seorang diri
menjalani masa-masa krisisnya.Erick Lindeman dalam artikelnya yang diterbitkan pada tahun
1944, “Symptomatology and Management of Acute Grief”, menemukan berbagai gejala
gangguan kejiwaan yang dialami oleh orang yang mengalami kedukaan, dan itu berlangsung 10-
14 hari (shock awal). Setelah shock awal ini, datang kesedihan yang intens yang menyebabkan
orang yang berduka mengasingkan diri dari kontak sosial. 6 Dengan adanya Tunjuitam ini mampu
memberi ruang untuk bersama turut menopang kehidupan keluarga yang sedang berduka.
Mengapa orang saling menopang? Secara Teologi Kristen Tunjuitam memiliki nilai-nilai
Teologi, relasi dalam kedukaan orang membutuhkan kehidupan dalam kebersamaan secara
Sosial, saling membantu dalam segi Ekonomi, memperkuat kehidupan beriman secara Religius
(ibadah), dan secara Psikologi mereka dibantu untuk penguatan jiwa mereka.

Secara teologi juga Tunjuitam dilihat sebagai cara mendamaikan, karena setiap keluarga
pasti ada terjadi konflik yang mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang baik, renggang
hubungan keluarga, bahkan lumpuhnya kerjasama. Tunjuitam menjadi basis pemdamaian secara
internal. Kemudian menyembuhkan, secara psikologis akan mengganggu individu/keluarga
yang berduka baik dalam kehidupan social bahkan religious. Dengan kehadiran keluarga
bersama lainnya di pelaksanaan Tunjuitam, ada nilai menyembuhan bagi orang berduka, dihibur
karena ada yang menemani dalam kedukaan. Tunjuitam menawarkan fungsi menyembuhkan
lewat kata-kata penguatan keluarga/ tetangga/ kerabat yang melayat, khotbah pelayan gereja
sehingga memberikan motivasi untuk terus melanjutkan hidup karena kematian telah melepaskan
ketergantungan terhadap orang yang sudah meninggal. Keluarga/ tetangga/kaum kerabat yang

6
Eric Lindeman, “Symptomatology and Management of Acute Grief”. (American Journal of Psychiatry, 1944), 2-3

3
hadir dalam pelaksanaan Tunjuitam bertujuan untuk menghibur sekaligus mendampingi
keluarga.

Di Tunjuitam fungsi mendukung terlihat ketika jemaat menopang hidup orang yang
berduka dalam persekutuan yang berdoa secara bersama. Hal ini nyata dan dirasakan oleh orang
yang berduka, lewat nyanyian, doa, jabatan tangan dan khotbah dari pelayan. Dukungan bersama
dari orang banyak menjadikan individu/kaum keluarga bersemangat menjalani hidup ke depan
tanpa orang yang mereka kasihi, melalui pekerjaan, pendidikan dan hubungan sosial lainnya.
Kemudian mengutuhkan,Kesediaan keluarga yang berduka untuk melakukan Tunjuitam bukan
hanya untuk mengutuhkan keluarga/kaum kerabat terdekat sebagaimana tradisi yang diwariskan
leluhur/orang totua tetapi mau meminta dukungan moril lewat kehadiran dan
kebersamaan.Ketika sampai pada tahap mengutuhkan, maka tiap individu/keluarga bahkan
komunitas jemaat siap untuk mengembangkan diri dan berarti bagi dirinya, orang lain.
Hubungannya dengan Tuhan lewat akta (doa) syukur merupakan wujud dari relasi dengan
manusia. Konsep kumpul keluarga yang bersyukur terlahir karena mengutuhkan
individu/keluarga jemaat dengan Tuhan. Peran keluarga/jemaat sangat besar, sehingga Tunjuitam
adalah kesempatan bagi individu/keluarga dan jemaat di satukan dalam hidup yang damai dan
harmonis. Ini yang mau ditunjukan kepada generasi selanjutnya agar konsep mengutuhkan ini
bisa dipahami dengan baik.

Dengan demikian dari masalah yang timbul diatas, Tunjuitam ini menarik untuk dikaji.
Dan penulis mengkaji “TUNJUITAM” dengan sub judul “Suatu Kajian Teologi Sosial-Tujuh
Hari Masa Hitam pada Masyarakat Galala-Hative Kecil”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang Tunjuitam?


2. Bagaimana kajian Teologi Kontekstual tentang Tunjuitam?

4
1.3. Tujuan Penulisan

Yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

1. Mendeskripsikan pemahaman jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang Tunjuitam.


2. Mendeskripsikan kajian Teologi Kontekstual tentang Tunjuitam.
1.4. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis, memberi sebuah sumbangan bagi Fakultas Teologi khususnya


pendidikan Ilmu Teologi untuk memahami nilai falsafah hidup social pada Tunjuitam.
2. Manfaat Institusi, bagi Gereja agar menyadari bahwa pentingnya solidaritas social
dikalangan Pelayan dan Jemaat.
3. Manfaat Praktis, sebuah konstribusi kepada Jemaat Galala-Hative Kecil mengenai
pentingnya hidup dalam kebersamaan secara social, saling membantu dan menguatkan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritik

Kematian merupakan bagian real kehidupan manusia. Kematian adalah juga kenyataan

keterbatasan kehidupan manusia, meskipun Kitab Suci memandang kematian sebagai hal yang

alami. Kematian adalah tema yang penting untuk tetap dibicarakan. Di satu sisi, kematian

dianggap tabu7oleh masyarakat, namun di sisi lain orang harus menerima kematian sebagai

kenyataan. Blaise Pascal pernah menulis pada Abad ke-17, “Karena tidak berhasil mengatasi

kematian, kesengsaraan, ketidaktahuan, umat manusia memutuskan untuk tidak memikirkan

kematian agar bisa berbahagia.”8 Mungkin manusia tidak mau memikirkan kematian karena

berbagai alasan, tetapi kematian tetap merupakan bagian dari realitas kehidupan yang tidak bisa

dihindari. Secara pribadi, seseorang sudah meyakini bahwa dirinya akan mati, namun dalam

kenyataan tetap sulit menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan, juga selalu raguragu

dan tidak siap menghadapi kematian. Sikap percaya dan menerima kematian ternyata tidak selalu

sejalan.

Dalam kristianitas, kematian perlu diterima sebagai bagian dari realitas kehidupan manusia

dan sebagai suatu proses menuju kebangkitan dan kehidupan abadi. Meskipun begitu, masih

muncul kesulitan pada sebagian umat kristiani untuk menerima kematian sebagai bagian dari

hidup. Peristiwa kematian sulit diperdamaikan dengan janji kebangkitan dan keselamatan yang

7
Joseph Ratzinger, Eschatology: Death and Eternal Life, terj. Michael Waldstein, ed.
Aidan Nichols (Washington, D.C.: The Catholic University of America Press, 1988),
69.
8
Louis Leahy, Esay Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi
Berdasarlan Data Empiris Baru, terj. Anzis Kleden dan Benyamin Mola (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991) 66-67.

6
diwartakan dalam Kitab Suci. Kesulitan menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan dapat

membuat umat kristiani menghindari, merasa ragu-ragu, takut, dan tidak siap terhadapnya. Salah

satu aspek yang memunculkan sikap-sikap tersebut ialah bahwa kematian itu pasti, tetapi kapan

waktunya tidak ada yang tahu. Oleh sebab itu, seruan dalam Kitab Suci mengajak setiap orang

untuk berjaga-jaga senantiasa sebab tidak ada yang tahu akan hari maupun saatnya (Mat.25:13).

Bagi seorang Kristen, karenanya, kematian bukanlah hal yang perlu ditakuti dan bukan pula

merupakan akhir kehidupan manusia di dunia. Dalam pandangan kristiani, kematian dimaknai

sebagai peristiwa iman9, sebab tidak berarti bahwa hidup manusia dibinasakan dan dilenyapkan,

melainkan diubah atau ditransformasi.

Kematian seseorang dan kedukaan yang dialami oleh keluarga menimbulkan reaksi

kepedulian, keprihatinan terhadap suatu peristiwa yang tidak pernah diharapkan yaitu kematian.

Ketika keluarga yang berduka merasakan duka, maka sebagai orang saudara bersama-sama

mengalami kedukaan. Hal ini terlihat lewat kebersamaan dengan keluarga yang berduka, mulai

ketika berita kematian itu terdengar, proses pemakaman hingga pelaksanaan Tunjuitam.

Tunjuitam memiliki nilai budaya melalui sesuatu yang hidup dalam pikiran manusia yang

dilakukan saat ada kematian dan merupakan karya manusia yang bernilai serta mengalami proses

sampai kepada menghasilkan suatu budaya, yang mencakup nilai, kultur, norma dan hasil cipta

manusia. Nilai budaya itu terlihat dalam asal usul Tunjuitam yang dipahami dalam tujuan

menyatukan “keluarga besar” yang terikat sistim kekeluargaan berdasarkan hubungan darah.

Tunjuitam dipahami sebagai instrumen untuk menjaga tradisi “kumpul keluarga” sehingga ada

kesadaran terhadap tindakan kolektif.

Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia yang diciptakan untuk mencapai


kesejahteraan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Para ahli antropologi merumuskan

9
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004) 572.

7
defenisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah. E. B. Taylor menulis dalam bukunya
yang terkenal “Primitive Culture” bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang
di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat,
dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. C. Kluckhohn dan W. H. Kelly mendefenisikan tentang kebudayaan sebagai hasil
Tanya jawab dengan ahli-ahli antropologi, ahli hokum, ahli psikologi, ahli sejarah, filsafat dan
lain-lain. Menurut mereka kebudayaan adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah yang
explisit, impisit, rasional, irrasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman-pedoman
yang potensial bagi tingkah laku manusia.10

Bakker menegaskan bahwa dalam budaya setempat terkandung begitu banyak nilai dan
norma yang mengatur tata kelakuan, pola hidup, dan tindakan manusia. Nilai-nilai budaya yang
terekspresi dalam tindakan manusia termasuk interaksi yang berlangsung dalam masyarakat akan
memunculkan citra budaya guna melahirkan pola kemanusiaan yang sejati.11 Penegasan Bakker
ini mengisyaratkan bahwa budaya Tunjuitam yang lahir sebagai produk budaya masyarakat telah
meletakan sebuah karakter social yang menjiwai setiap masyarakat di Gatik. Dalam budaya itu
terdapat nilai-nilai yang positif yang berguna untuk membangun kehidupan bersama.

Nilai-nilai budaya yang positif ini dipahami oleh Bevans sebagai pekerjaan Allah. Oleh
karena itu budaya dapat dipakai sebagai dasar untuk berefleksi tentang Allah dan pekerjaan-Nya
dalam kehidupan manusia. Stephen Bevans dalam bukunya mengenai model-model teologi
kontekstual meletakan pendekatan antropologi sebagai salah satu model dalam membangun
teologi kontekstual. Antropologi tertarik pada perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya bagaimana orang berpikir.12 Model antropologi sangat menaruh perhatian pada nilai
dan kebaikan manusia. Menurutnya dalam setiap pribadi, masyarakat, budaya, Allah menyatakan
kehadiran ilahi-Nya. Dengan demikian teologi bukan saja perkara yang menghubungkan
pewartaan dari luar, tetapi betapapun sifatnya yang adibudaya dengan kontekstual khusus. Hal
ini hendak menegaskan bahwa budaya masyarakat sangat berperan di dalam membangun
kerangka berteologi. Budaya masyarakat akan menampilkan bagaimana cara manusia atau
masyarakat merefleksikan kehadiran Allah itu dalam relasi-relasi social di tengah masyarakat.

10
Joko Tri Prasetya, “Ilmu Budaya Dasar”, (Jakarta: PT. Trineka Cipta, 2004), 29
11
W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 15
12
Charles H. Kraft, Anthropology For Christian Witness, (New York: Orbis Books, 2011), 5

8
Model antropologi juga berupaya untuk memahami Allah dan kehendak-Nya dengan
bertolak dari kebudayaan. Injil-Alkitab-Tradisi, ketiga ini dijadikan sebagai penuntun untuk
menemukan kebenaran Allah di dalam budaya. Model yang dipakai dalam kontekstualisasi
antropologi ialah analisa budaya untuk mencari dan menemukan makna atau nilai. Nilai-nilai
hidup itu kemudian direfleksikan dengan Allah dan kehendak-Nya bagi kehidupan manusia
khususnya pada jemaat Gatik dalam suatu budaya tertentu. Alkitab dan tradisi dijadikan sebagai
sandaran untuk berefleksi. Makna atau nilai hidup dalam suatu budaya dapat dipahami dalam
terang dan tradisi, agar kekuatan nilai hidup yang baik dan berguna untuk hidup bersama.
Teologi kontekstual mesti memandang tradisi sebagai bagian dalam rangkaian teologi itu sendiri,
karena teologi ini perlu bertumbuh sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam
konteks masyarakat terkhususnya di jemaat Gatik.

Dalam rangka membangun teologi yang kontekstual, model antropologi seperti yang
dikatakan oleh Bevans, maka nilai-nilai budaya Tunjuitam di Gatik akan diangkat dan
direfleksikan sebagai bagian dari pekerjaan Allah. Sebab dalam budaya Allah bekerja sehingga
manusia ciptaan-Nya di mana saja, termasuk di Gatik hidup dalam tuntunan kasih Allah, kasih
yang saling peduli dan berbagi berkat dari pekerjaan mereka. Menurut Bevans budaya positif
adalah bagian dari pekerjaan Allah. Oleh karena itu Bevans mengatakan bahwa seorang
pemberita injil bukan sama seperti seorang saudagar mutiara yang pergi menawarkan mutiaranya
di tempat lain. Tetapi sama seperti orang yang mencari harta karun yang pergi untuk menemukan
kekayaan yang tersembunyi bertahun-tahun di tempat lain. Ini dimaksudkan bahwa dalam
budaya manusia ada kekayaan kehendak Allah yang telah tersembunyi dalam budaya.13 Oleh
karena itu berefleksi teologi secara kontekstual bererti berefleksi tentang nilai-nilai hidup yang
terdapat dalam suatu budaya dalam hubungan dengan kesaksian Alkitab dan tradisi kristiani,
seperti yang terdapat dalam ajaran dan teologi Kristen protestan.

Dalam membangun suatu pemikiran teologis yang kontekstual, maka salah satu hal penting
adalah adat atau kebudayaan. Suatu budaya dikatakan kontekstual bukan tergantung dari
identitas yang dimiliki, tetapi dari nilai yang dapat dimaknai oleh setiap orang khususnya di
dalam masyarakat setempat. Jadi kebudayaan, adat dan injil tidak dapat dilepas-pisahkan. 14 Hal

13
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Ledalero Maumere, 2002), 97-99
14
Robert J. Schreiter-Terj Stephe Suleeman, Rancang Bangunan Teologi Lokal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
47

9
ini disebabkan karena berteologi secara kontekstual adalah suatu kebudayaan gereja dalam
rangka menggagas nilai-nilai local atau budaya sebagai kekayaan teologi.

Nilai-nilai budaya yang positif ini dipahami oleh Bevans sebagai pekerjaan Allah. Oleh
karena itu budaya dapat dipakai sebagai dasar untuk berefleksi tentang Allah dan pekerjaan-Nya
dalam kehidupan manusia. Bevans dalam bukunya model-model teologi kontekstual meletakan
pendekatan antropologi sebagai salah satu model dalam membangun teologi kontekstual. Model
antropologi sangat menaruh perhatian besar pada nilai dan kebaikan manusia. Menurutnya dalam
setiap pribadi, masyarakat serta budaya, Allah menyatakan kehadiran ilahi-Nya. Model
antropologi juga berupaya untuk memahami Allah dan kehendak-Nya dengan bertolak dari
kebudayaan. Injil-Alkitab-Tradisi, ketiga ini dijadikan sebagai penuntun untuk menemukan
kebenaran Allah di dalam budaya. Model yang dipakai dalam kontekstualisasi antropologi ialah
analisa budaya untuk mencari dan menemukan makna atau nilai. Nilai-nilai hidup itu kemudian
direfleksikan dengan Allah dan kehendak-Nya bagi kehidupan manusia khusunya pada jemaat
Gatik dalam satu budaya tertentu. Model antropologi menjadikan manusia sebagai pelaku budaya
sehingga sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam budaya merupakan konteks pewahyuan
Allah.15 Oleh karena itu dalam membangun suatu pemikiran teologi yang kontekstual dari
budaya Tunjuitam di Gatik, maka nilai-nilai hidup ini perlu dipegang dan terus dilakukan.

Hidup berbagi kasih adalah wujud dan pemahaman hidup orang-orang Gatik, bahwa hidup
berbagi dalam kedukaan, sama-sama menanggung beban yang dirasakan oleh keluarga berduka,
merupakan sikap hidup yang telah mencerminkan dalam diri Yesus yang selalu melaksanakan
kehendak Allah dalam wujud mengasihi, menguatkan, sesame manusia. Secara teologis
keterlibatan jemaat dalam budaya Tunjuitam adalah upaya melibatkan diri dengan pergumulan
orang lain. Keberadaannya dinilai tidak menjadi beban bagi jemaat, tetapi merupakan skspresi
kehidupan jemaat yang memahami pentingnya nilai-nilai solidaritas social dari budaya
Tunjuitam. Pelaksanaannya yang telah dilakukan turun-temurun dari setiap generasi di jemaat
Gatik adalah sebuah upaya mengaktualisasikan imannya kepada Allah dalam realitas budaya
setempat.

2.1.1. Solidaritas Sosial


15
Pears Angie, Doing Contextual Teologhy, (Routlede: London and New York, 2010), 26

10
Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial, dimana mereka tidak bisa hidup sendiri
dalam kesehariannya. Manusia saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam berbagai hal,
termasuk dalam hal kedukaan. Setiap peristiwa kedukaan yang terjadi dalam suatu lingkungan
baik itu jemaat atau masyarakat, didesa atau dikota turut menyita perhatian semua warganya
tanpa kecuali. Relasi sosial ini bersifat intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas,
akhirnya menimbulkan kolektifitas dan solidaritas yang tumbuh semakin kuat.

Tunjuitam sebagai ruang mengutuhkan, menguatkan, menopang. Hal ini dilaksanakan


dengan melibatkan keluarga yang secara geografis berjauhan dan dekat. Keluarga-keluarga ini,
harus diundang/ diberitahukan dulu baru hadir. Walaupun mereka telah mendengar bahwa ada
keluarga yang meninggal tetapi jika tidak diundang, mereka tidak akan hadir. Alasannya bahwa
jika mereka tidak diundang maka mereka tidak dianggap sebagai keluarga, sehingga mereka
tidak perlu hadir dan hal yang sama akan diperlakukan juga bagi yang berduka, ketika mereka
(yang tidak diundang) mengalami kedukaan maupun acara-acara lain (seperti: pernikahan,
baptisan, peneguhan sidi), mereka tidak akan mengundang juga. Peristiwa saling tidak
mengundang ini akan berlangsung lama apabila dari keluarga yang berseteru tidak
segeramendamaikan. Dengan demikian, saling mengundang di Tunjuitam dirasakan sebagai
ikatan kekeluargaan yang memiliki nilai solidaritas/caring community, walaupun tidak terkait
hubungan darah.

Tunjuitam sebagai bentuk ungkapan terima kasih. Dari pelaksanaan Tunjuitam


mengungkapkan bahwa setiap orang harus memiliki rasa terima kasih kepada orang yang sudah
membantu dan menolong. Ucapan terima kasih dalam konsep orang di GATIK adalah sebagai
cara “balas budi” terhadap kebaikan, kerelaan keluarga/kerabat/ jemaat yang telah membantu
keluarga dalam kedukaan. Ucapan terima kasih terlihat dalam jamuan makan bersama yang
disediakan oleh keluarga yang berduka kepada keluarga/tetangga/ kerabat dan pelayanan.
Dengan menerima makanan dari keluarga yang berduka, maka semua anggota keluarga telah
disatukan dalam hubungan yang baru. Konflik telah diselesaikan dan kehidupan bersama dimulai
denga pola yang baru, yang mempererat hubungan kekeluargaan. Pola ini suatu pemulihan atas
komunikasi, kepedulian, saling menopang, membimbing dan menasihati yang dibangun oleh
semua keluarga.

11
Di Gatik, Tunjuitam terkenal sebagai budaya dan merupakan salah satu cara jemaat
menghayati kehidupan kolektifitas atau kehidupan bersama serta mengutuhkan kekerabatan
dengan keluarga dan juga jemaat. Kesadaran kolektif ini yang dikatakan oleh Durkheim sebagai
“solidaritas mekanik” atas dasar totalitas kepercayaan bersama yang rata-rata terdapat pada
jemaat tersebut, karena kesadaran untuk bersyukur maka jemaat Gatik diikat oleh kesadaran
kolektif ini dan kesadaran tersebut yang mempersatukan jemaat. 16 Solidaritas mekanik ini juga
menekankan adanya kesadaran kolektif atau kesadaran akan adanya tanggung jawab bersama.
Durkheim juga mengatakan bahwa fakta-fakta social adalah cara bertindak, berfikir, dan
merasakan sesuatu yang ada di luar individu yang memiliki daya paksa atas dirinya.17

Hal lain yang dapat dilihat pada saat melaksanakan Tunjuitam adalah keluarga, jemaat,
bahkan semua orang yang berkumpul bersama. Ini menandakan bahwa keluarga dihargai sebagai
suatu system social terkecil yang berdampak besar dalam menciptakan solidaritas social.
Keluarga adalah pusat yang strategi untuk mengerti dan memahami akan fungsi fisikal,
emosional, hubungan social dan religious dari anggota keluarga secara mendalam. Menurut
William J. Goode, jika sebuah keluarga mengalami masalah maka akan terputusnya struktur
social, hubungan social, peranan dan fungsi social.18 Tunjuitam bukan hanya sebuah
tradisi/budaya yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada leluhur
tetapi bertujuan menyatukan keluarga, generasi, tetapi juga sebagai perekat social atas status,
jabatan social dalam jemaat.

2.2. Kerangka Berpikir

Budaya sebagai hasil cipta dan karsa manusia dihasilkan melalui akal budi manusia. Akal
budi adalah pemberian Allah kepada manusia, itu yang membedakan manusia dengan makluk
ciptaan lainnya. Melalui pemberian akal budi, manusia dapat mengembangkan diri termasuk
menciptakan nilai-nilai hidup yang berguna untuk kehidupan manusia (jemaat).

Nilai-nilai hidup yang positif dan baik dalam budaya dapat dipahami sebagai pekerjaan
Allah di dalam kehidupan manusia, termasuk nilai budaya Tunjuitam di jemaat Gatik. Suatu

16
Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 1986), 181
17
L. Layendeck, Tata, Perubahan, Ketimpangan, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 1997), 283
18
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), 184

12
budaya hidup berbagi berkat dari segi ekonomi, saling membantu penguatan jiwa keluarga itu
semua adalah pemberian Allah melalui Tunjuitam. Tunjuitam terkenal sebagai salah satu cara
jemaat Gatik menghayati kehidupan kolektifitas atau kehidupan bersama serta
mengutuhkan.Oleh karena itu, pelaksanaan Tujuitam bagi orang di Gatik merupakan pewarisan
nilai-nilai luhur dari orang totua/leluhur adalah baik, maka perlu untuk diwariskan dari generasi
ke generasidengan cara menunjukan nilai solidaritas social dan makna sesungguhnya dari
Tunjuitam.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian lapangan. Penelitian ini
menggunakan metode deskrptif kualitatif yang dimengerti sebagai metode penelitian yang
13
mendeskripsikan atau menguraikan peristiwa atau masalah yang diteliti. Dengan demikian
laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data yang mendeskripsikan secara kualitatif
untuk gambaran penyajian laporan.19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada:

1. Tempat: Jemaat GPM Galala-Hative Kecil


2. Waktu: 1 Bulan

3.3. Sumber Data

Sumber data diperoleh dari informan kunci yang terdiri dari 10 orang anggota jemaat asli
Gatik, jemaat pendatang dan lembaga gereja yaitu ketua majelis jemaat/pendeta jemaat serta data
sekunder berupa buku-buku penunjang mengenai objek penelitian.

3.4. Teknik Pengumpulan Data


1. Wawancara: teknik pengumpulan data dimana peneliti melakukan penelitian langsung
dengan dialog langsung dengan narasumber untuk memperoleh data dan gambaran
mengenai masalah yang diteliti.
2. Kepustakaan: teknik pengumpulan data melalui buku-buku yang sesuai dengan masalah
yang diteliti.

3.5. Teknik Analisa Data

Berdasarkan masalah yang diteliti, penulis memilih untuk menggunakan teknik analisa data
kualitatif. Dimana teknik analisa data kualitatif merupakan teknik pengumpulan dan analisa data
yang diperoleh dari narasumber yang bermanfaat dan mendukung teori dan informasi yang
dibutuhkan penulis.

3.6. Cara Penyajian

Seluruh penulisan ini akan disajikan dalam bentuk skripsi sebagai berikut:

19
Lexy Moleang, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Penerbit Rosdakarya, 2000), 14

14
BAB I Pendahuluan di dalamnya terdapat Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Kerangka Teori, Kerangka Berpikir, Metodologi
Penulisan dan Cara Penyajian. BAB II berisi Deskripsi dan Analisa Data, BAB III berisi Refleksi
Teologi dan BAB IV berisi Penutup.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Prasetya. Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Trineka Cipta, 2004)

Bakker. W. M, Filsafat Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,)

Kraft. Charles H, Anthropology For Christian Witness, (New York: Orbis Books, 2011)

15
Bevans. Stephen B, Model-model Teologi Kontekstual, (Ledalero Maumere, 2002)

Schreiter. Robert J-Terj Suleeman Stephe, Rancang Bangunan Teologi Lokal, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991)

Angie Pears, Doing Contextual Teologhy, (Routlede: London and New York, 2010)

Jhonson. Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Moderen-Jilid I, (Jakarta: PT. Gramedia
Pusaka Utama, 1986)

Layendeck. L, Tata, Perubahan, Ketimpangan, (Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama,


1997)

Goode. William J, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983)

Moleang. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Penerbit Rosdakarya, 2000)

Journal-Journal:

R. A. Emmons & R. Stern (2013). Gratitude as a psychotherapeutic intervention. Journal of


Clinical Psychology: In Session, 69, 846–855.
N. Park, C. Peterson & M. E. P. Seligman, (2004). Strengths Of Character And Well–
Being. Journal of Social and Clinical Psychology, 23(5), 603-619.
R. A. Emmons, M.E. McCullough (2003). Counting Blessings Versus Burdens: An
Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life. Journal of
Personality and social Psychology, 84(2), 3377-389. Doi: 10.1036/0022-3514.84.2.377.

Dokumen-dokumen:

Dokumen Gereja Protestan Maluku (GPM) tentang Pemekaran Klasis, (Biro:


Dokumentasi)

Renstra Jemaat GPM Galala-Hative Kecil, (Sekretariat Jemaat Gatik, 2017)

Lain-Lain:

16
Hasil Wawancara dengan Pdt. Drs. A. J. S. Werinussa, M.Si (Ketua Sinode GPM) pada 03
Februari 2021, dikantor Sinode GPM.

Hasil Wawancara dengan Bpk.Yafet Akerina (Masyarakat Pendatang yang melakukan


Tunjuitam), pada tanggal 11 Februari 2021.

17

Anda mungkin juga menyukai