I. Pendahuluan
Kepedulian pada jiwa-jiwa adalah inti dari seluruh tugas gembala sidang karena dengan
peduli pada jiwa, maka seorang gembala sidanng sedang memperdulikan kehidupan
jemaatnya. Dengan mengerjakan tugas ini, seorang gembala sidang sedang berurusan
langsung dengan bagian terdalam dari kehidupan manusia yakni spiritual. Penulis
menyebutkan tiga bagian dalam kehidupan manusia yang harus dipedulikan. Pertama
kebutuhan fisik, kedua kebutuhan moral,dan yang terakhir kebutuhan spiritual. Kondisi
spiritual seorang akan mempengaruhi kedua kebutuhan yang lainnya. Dan hal itu dapat
terlaksana dengan adanya perkunjungan pastoral.
II. Pembahasan
2.1 Konseling Pastoral
E. P. Gintings, Konseling Pastoral: Terhadap Masalah Umum Kehidupan, Bandung: Jurnal Info
1
Kata pastoral berasal dari bahasa latin yang berarti gembala (pastor). Seseorang yang
bersifat pastoral ialah seseorang yang bersifat gembala yang bersedia memelihara,
melindungi dan menolong orang lain. Kata gembala juga digambarkan sebagai seseorang
yang lemah-lembut,dan memberikan kebebasan kepada manusia yang ditolongnya itu untuk
mengambil sikap dan keputusan sendiri.5 Fungsi pelayanan konseling pastoral menurut
William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, adalah upaya pendampingan yang bersifat
membimbing dan memperbaiki (reparative), serta membawa pemulihan dan kesembuhan
(psikoterapi) dalam konflik dan penderitaan yang paling dalam, yang menghalang-halangi
pertumbuhan kepribadian, spiritualitas dan karakter anggota Jemaat.6 Jadi, konseling pastoral
ialah suatu fungsi yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis
dan konseling pastoral ini berperan untuk membantu klien agar mampu meningkatkan
kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya.
3
Magdalena Tomatala, Konselor Komponen, (Jakarta: Leadership Foundation, 2003),18.
4
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: ANDI, 2005), 7.
5
AART Martin Van Beek, Konseling Pastoral, (Semarang: Satya Wacana, 1987), 6-7.
6
Howard Clinebell, Tipe-Tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta : Kanisius, BPK
Gunung Mulia, 2002), 53-54.
7
Piet Noordermeer, Pesan Alkitab Untuk Alkitab, (Kaliurang:San Juang, 2007), hal 8
8
Hardiwiratno, Proyek Media Keluarga Keuskupan Agung Semarang, (Yogyakarta:Kanisius, 1994),hal.203
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kunjungan keluarga:
Bila bertemu dengan orang lain atau keluarga tertentu, langsung spontan mau mengajak
orang atau keluarga itu untuk ikut kegiatan seperti kita karena dianggap bermanfaat bagi
hidupnya. Apa yang kita anggap baik, mau kita limpahkan kepada orang lain. Hal tersebut
memang tidak salah juga. Namun kalau kita sedang melakukan kunjungan keluarga,
hendaklah hati-hati.
2. Pertemuan Terbuka
Sikap yang perlu diperhatikan dalam kunjungan keluarga adalah sikap terbuka. Jangan
berpikir apa yang akan kita katakan, karena persoalannya bukan terletak pada apa yang kita
anggap penting bagi kita, yang mau diungkapkan kepada mereka, tetapi apa yang penting
bagi mereka atau apa yang mereka kemukakan. Bila menghadapi keluarga yang belum kita
kenal, tidak perlu cemas karena Sabda Yesus member kekuatan kepada kita “Roh Kuduslah
yang akan memberikan kata-kata yang harus diucapkan (Mrk 13:11). Hal yang terpenting
adalah berkata dengan jujur, sederhana yang keluar dari hati. Bagi keluarga yang belum kita
kenal perlu dijelaskan untuk apa dan atas nama siapa kita datang berkunjung. Kita juga
mengungkapkan alasan kunjungan dan bertanya apakah kunjungan kita mengganggu atau
tidak. Kadang dalam kunjungan kehadiran kita ditolak namun tidak perlu kecewa karena itu
hak mereka. Tetapi juga sering kunjungan kita diterima dengan gembira, dipersilakan masuk
dalam rumah. Pembicaraan hendaknya berlangsung dua arah.
Dalam berbicara hendaknya jangan terlalu cepat. Kadang-kadang keluarga yang kita
kunjungi berbicara tentang sesuatu hal atau mungkin dia bertanya sesuatu. Maka hendaklah
kita menjawab dengan jelas dan jujur. Seandainya tidak tahu jawabannya maka dengan jujur
mengatakan bahwa tidak tahu. Mereka berbicara tentang rumah, kebun dan peralatan
dapurnya atau berterus terang berbicara tentang keadaan rumah tangga, imannya dan lain-
lain. Kalau sudah terbuka seperti ini maka kita bisa mengarahkan pada tema yang kita anggap
penting untuk mereka namun tetap membiarkan mereka untuk meneruskan cerita dan yang
menjadi titik pusat perhatian adalah keluarga. Maka keluarga sendiri yang akan menentukan
apa yang akan dibicarakan bersama dan apa yang tidak dibicarakan bersama.
Memberi tanggapan secara efektif adalah suatu sikap yang sangat penting dalam
menciptakan suasana yang kondusif. Untuk menciptakan suasana yang kondusif maka
dibutuhkan:
A. Kehangatan
Belajar dari sikap Yesus terhadap wanita yang berdosa di sumur (Yoh 4:1-42), Sikap
yang tidak mengadili dapat dirasakan sebagai kehangatan yang membantu menciptakan
suasana aman dalam diri mereka yang kita ajak bicara.
B. Dukungan
C. Kemurnian Sikap
9
Hardiwiratno, Menuju Keluarga Yang Bertanggung Jawab, (Jakarta:Obor, 1994), hal 203
Umat dapat saling mengenal manfaat kunjungan keluarga adalah: lebih akrab satu
sama lain, karena sikap orang yang terlibat dalam kunjungan keluarga tersebut dimungkinkan
untuk saling mengenal satu dengan yang lain dalam keterlibatannya masing-masing.
Misalnya: para pengurus lingkungan yang tergabung dalam team pemandu, dalam tugasnya
menghubungi keluarga-keluarga dan mendata keluarga katolik di lingkungannya, menjadi
semakin mengenal lebih dekat kehidupan keluarga yang dikunjunginya, dan semakin akrab
dengan kehidupan sesama yang lain dalam lingkungan.
Kunjungan keluarga dapat memperbesar rasa persaudaraan antar umat katolik, yaitu
sebagai satu saudara berdasarkan iman yang sama akan Yesus Kristus, dan dapat
memperdalam ikatan kekeluargaan dengan warga yang lain. Sebagai contoh para pengunjung
semula tidak mengenal keluarga yang akan dikunjungi, mereka datang hanya dengan
membawa bekal iman yang sama. Para pengunjung tidak merasa kuatir kalau kunjungannya
akan ditolak.
Kunjungan keluarga dapat meningkatkan sikap saling memperhatikan diantara sesama
warga stasi, karena kunjungan datang dengan sikap ramah dan berusaha memperhatikan
keadaan keluarga yang dikunjungi. Pembicaraan dalam pertemuan biasanya berkisar pada
pengalaman hidup dan keprihatinan yang ada dalam keluarga serta masyarakat, sehingga
suasana pertemuan cukup mendukung untuk menciptakan sikap saling memperhatikan
kebutuhan sesama. Umat dapat saling membantu didalam kesulitan. Oleh karena para
pengunjung memberikan perhatian yang tulus terhadap keluarga-keluarga yang dikunjungi,
terutama keluarga-keluarga yang membutuhkan bantuan, maka keluarga yang mengalami
kesulitan merasa perlu membuka diri dan menceritakan kesulitankesulitan hidupnya dalam
pertemuan kunjungan tersebut, sehingga kesulitan dapat dihadapi secara bersama-sama.
Pertama-tama haruskita ingat, bahwa kunjungan rumah tangga adalah pelayanan yang
ditugaskan Tuhan kepada Gereja. Karena itu yang harus dilakukan disitu bukanlah hal-hal
yang dipikirkan penatua dan bukan juga hal-hal yang diinginkan oleh keluarga yang
dikunjungi. Yang harus dilakukan dalam kunjungan ialah hal-hal yang ada hubungannya
dengan Firman Tuhan.
Charles Stewart yang dikutip dalam “Tipe-Tipe dasar pendampingan dan konseling
Pastoral” menyarankan 3 dimensi dasar yang berhubungan dengan strategi dalam rangka
pastoral keluarga:
1. Menyediakan kelompok yang dapat bertumbuh dalam hal saling membangun dan
mendukung dan upaya gotong royong. Agar dalam kelompok itu memiliki sikap
kepedulian yang tinggi untuksaling mengenal satu dengan yang lain dan berjuanng
bersama dalam mempertahankan keluarga.
2. Dalam setiap kelompok tersedia kesempatan untuk saling meneladani aspek-aspek
dari sistem keluarga misalnya dalam hal berkomunikasi, mengambil keputusan,
menjalankan disiplin, bergaul, cara menanggulangi masalah dan lain-lain. Dengan
saling meneladani keluarga dapat memiliki dorongan serta daya untuk tetap
berada dalam hubungan keluarga yang baik.
3. Membantu keluarga untuk menemukan dan mengembangkan kekuatan mereka
melalui kasih, ppemeliharaan, kebahagiaan, dan penciptaan yang ditinggikan.
Banyak krisis dalam keluarga yang membutuhkan konseling pastoral keluarga.
Dengan kunjungan rumah tangga ini membutuhkan hubungan yang timbal balik,
antar anggota keluarga, kesadaran akan peran serta tanggung jawab dan kesadaran
akan keberadaan keluarga yang dibina, dibimbing untuk membangun
kebersamaan. Kunjungan rumah tangga juga dapat mmembantu dan menolong
keluarga untuk menghadapi segala tantangan atau masalah dengan memberikan
motivasi dan arahan.12
2.6 Tinjauan Teologis
11
Howard Clinebell, Tipe-tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius, 2002), hal
383
12
Howard Clinebell, Tipe-tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,... hal 384-385
Rumah tangga menurut ajaran Gereja Katolik memiliki hakikat yaitu sebuah
perjanjian antara seoranng laki dengan perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh
hidup. Hal ini juga ditegaskan oleh seruan Apostolik Amoris Laetitia art 63 yang menyatakan
bahwa: “Perjanjian perkawinan yanng berasal dari penciptaan dan diwahyukan dalam sejarah
keselamatan, menerima kepenuhan pewahyuan maknanya dalam Kristus dan Gerejanya.
Melalui Gereja-Nya, Kristus menganugerahkan kepada keluarga, rahmat yang diperlukan
untuk memberi kesaksian tentang kasih Allah dan menghayati hidup persektuan. Injil
keluarga terbentang dalam sejarah dunia, mulai dari penciptaan manusia menurut gambar dan
citra Allah (kej. 1:26-27), sampai pencapaian kepenuhan misteri perjanjian dalam Kristus
pada akhir zaman dengan perkawinan dengan anak domba (Why. 19:9).
Dari peryantaan di atas ditegaskan bahwa rumah tangga diartikan sebagai perjanjian
kasih yang berasal dari sang pencipta dan diwahyukan dalam sejarah keselamatan. Perjanjian
perkawinan tersebut mencapai kepenuhan dalam diri Kristus dan Gereja-Nya. Melalui rumah
tangga Yesus juga memberikan rahmat agar perkawinan dan keluarga yang dibangun menjadi
sarana untuk menjadi saksi dari kasih Allah dalam hidup persekutuan.13
III. Kesimpulan
Konsep rumah tangga keluarga Kristen yang ideal adalah keluarga yang terbentuk atas
dasar ikatan cinta, suatu cinta yang total, setia, dan tidak dapat ditarik kembali, menghasilkan
kesatuan yang sempurna. Keluarga adalah kuminitas cinta kasih yang alami dan intim yang
dapat membentuk pengorbanan diri. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadi
gambar dan citra keluarga yang ilahi, Trinitas yang Maha Kudus, artinya, sifat-sifat serta
pembawaan yang mendasar yang sama dari suatu keluarga hendaknya juga ditemukan dalam
keduanya, baik keluarga ilahi maupun keluarga manusiawi. Keluarga yang sehat adalah
keluarga yang hidup dalam relasi baik, saling memberi dan menerima, saling menolong, serta
keluarga yanghdup dalam tanggung jawab dalam tugas dan peran sebagai anggota keluarga.
Dengan demikian, kunjungan kepada rumah tangga juga sangat diperlukan untuk
membentuk ataupun membangun spiritual keluarga yang baik sehingga keluarga tersebut
menjadi keluarga Kristen yang ideal serta keluarga juga bisa mempertahankan hubungan
rumah tangga dengan baik.
13
Sabti Herma Nugraheni, Tinjuan Pastoral Tentang Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Univ.Sanata Dharma,
2018), hal. 10-11