Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316166525

PERANG MELAWAN STUNTING DENGAN BAHAN MAKANAN LOKAL; Upaya


Mengurangi Balita Pendek pada Suku Lani di Distrik Bokondini

Chapter · December 2015

CITATIONS READS

0 3,700

1 author:

Agung Dwi Laksono


National Research and Innovation Agency Republic of Indonesia (Badan Riset dan Inovasi Nasional)
348 PUBLICATIONS   1,695 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Environmental Health View project

Health Ethnography Study View project

All content following this page was uploaded by Agung Dwi Laksono on 17 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Policy Brief Status Gizi dan Kesehatan Anak Berbasis Konteks Budaya Lokal
©2015 health advocacy

Penulis
Agung Dwi laksono
Tri Juni Angkasawati
Gurendro Putro
Wahyu Dwi Astuti
Weny Lestari
Syarifah Nuraini
Septa Agung Kurniawan
Harumanto
Astutik Supraptini

Editor
Lestari Handayani

Buku ini diterbitkan atas kerjasama:

HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: healthadvocacy@information4u.com
dengan
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

Cetakan 1, Desember 2015


Desain Cover : ADL
Penata Letak : ADL
ISBN 978-602-6958-00-6

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk
fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Riset Etnografi Kesehatan telah selesai dilaksanakan sebanyak tiga periode oleh
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Setidaknya ada 62 etnik yang telah dipelajari dan dituliskan dalam bentuk buku
etnografi kesehatan, yaitu pada tahun 2012 sebanyak 12 etnik, tahun 2014
sebanyak 20 etnik, dan tahun 2015 sebanyak 30 etnik.
Pada riset tersebut ditemukan berbagai unsur budaya yang unik pada setiap
etnik. Keunikan spesifik lokal pada tiap etnik dan wilayah ini dengan sendirinya
mempunyai value atau nilai yang mempengaruhi kehidupan, termasuk di
dalamnya aneka praktek kesehatan dalam keseharian.
Permasalahan kesehatan seringkali berkaitan erat dengan adat budaya
setempat yang bersifat spesifik lokal. Hal ini merupakan konteks lokal yang
seringkali terabaikan dalam perumusan sebuah kebijakan, yang acapkali
diberlakukan secara generik sama untuk seluruh wilayah Indonesia. Konteks
yang spesifik lokal ini menjadi penting apabila kita ingin mewujudkan kebijakan
kesehatan yang benar-benar membumi, yang diharapkan dapat dengan mudah
untuk dimengerti dan diimplementasi para pelaksana kebijakan di daerah.
Policy brief yang disusun dengan basis konteks budaya lokal ini secara khusus
ditujukan kepada policy maker di tingkat kabupaten. Meski demikian policy brief
ini juga akan disampaikan kepada unit utama di Kementerian Kesehatan, baik
ibu Menteri Kesehatan, Dirjen Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Dirjen
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, maupun Dirjen Bina Upaya
Kesehatan. Hal ini penting untuk disampaikan agar rekomendasi yang
disarankan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk berbagai daerah lain
dengan etnik yang serupa.

Surabaya, Desember 2015

Kepala Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii

MEMERANGI STUNTING DENGAN BAHAN MAKANAN LOKAL 1


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara
Agung Dwi Laksono, Ari Wahyudi, Arih Diyaning Intiasari

BALITA GARIS MERAH, POTRET STATUS GIZI BALITA DI KINDISFEY 7


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Sorong Selatan
Gurendro Putro dan Septa Agung Kurniawan

STUNTING ETNIK DAYAK OT DANUM, ”PENDEK ASAL KUAT” 19


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunung Mas
Tri Juni Angkasawati dan Harumanto

”KELALAH”, KEJADIAN SAKIT AKIBAT MELANGGAR “PANTANG 25


MAKAN”
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar
Wahyu Dwi Astuti dan Astutik Supraptini

KEMATIAN BAYI, HARUSKAH TERUS BERTAMBAH? 31


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Indragiri Hilir
Tri Juni Angkasawati dan Syarifah Nuraini

KEMATIAN BAYI DAN BALITA 37


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten
Weny Lestari

iv
PERANG MELAWAN STUNTING
DENGAN BAHAN MAKANAN LOKAL
Upaya Mengurangi Balita Pendek pada Suku Lani di Distrik Bokondini
(Berdasar Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015)

Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara


Disusun oleh: Agung Dwi Laksono, Ari Wahyudi, Arih Diyaning Intiasari

RINGKASAN EKSEKUTIF
Policy brief berbasis konteks lokal ini ditujukan untuk mengurangi angka
stunting (pendek dan sangat pendek) yang tinggi pada balita di Suku Lani di
Distrik Bokondini, Tolikara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, serta penyakit yang disebabkan
oleh higiene sanitasi yang buruk ditemukan sebagai kemungkinan
penyebab stunting.

PENGANTAR

Balita stunting adalah salah satu masalah utama pada status gizi balita di Indonesia
selain balita gizi buruk (underweight). Stunting merupakan akumulasi kondisi balita
yang pendek dan sangat pendek. Indikator stunting pada balita dihitung
berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) (Badan Litbangkes, 2010).
Prevalensi balita stunting secara nasional mencapai angka 37,2% berdasarkan data
hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Angka tersebut secara
nasional meningkat bila dibandingkan dengan prevalensi balita stunting pada
Riskesdas tahun 2007 yang
berada pada kisaran angka 36,8%.
Bagaimana dengan Tolikara? Angka prevalensi balita stunting
…ternyata memiliki prevalensi sebenarnya menurun sehingga
balita stunting yang sangat hanya 31,2% pada tahun 2010
(Badan Litbangkes. 2007; 2010;
tinggi pada tahun 2013, yaitu 2013)
mencapai 52,01%. Bagaimana dengan Tolikara?
Kabupaten Tolikara berada pada

1
peringkat paling bawah dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM). Tolikara memiliki prevalensi balita stunting yang sangat tinggi pada tahun
2013, yaitu mencapai 52,01%. Prevalensi ini naik dari pencapaian pada tahun 2007
sebesar 50,8%. Kondisi balita stunting di Kabupaten Tolikara pada tahun 2013 jauh
lebih buruk dari rata-rata nasional, dan juga capaian di Provinsi Papua pada tahun
yang sama, yang berada pada kisaran 40,1%. Kondisi Tolikara pada tahun 2015
masih menjadi tanda tanya besar.
Apa yang kemungkinan bisa menjadi penyebab hal tersebut?

METODE
Policy brief ini diangkat dari hasil riset etnografi kesehatan yang dilakukan di Distrik
Bokondini Kabupaten Tolikara. Dua peneliti yang tinggal membaur di masyarakat
melakukan pengukuran antropometri pada 31 balita di Posyandu Puskesmas
Bokondini pada tanggal 19 Mei 2015. Peneliti mengolah data antropometri
tersebut dengan software AnthroPlus yang dikeluarkan oleh WHO (2009) dan
melakukan observasi untuk melihat kondisi-kondisi lokal yang kemungkinan bisa
menjadi penyebab atau pendukung terjadinya stunting pada balita.

Penelitian ini lebih merupakan evaluasi kebijakan program yang berkaitan dengan
gizi balita. Evaluasi dilakukan terhadap output berupa status gizi balita. Status gizi
pada policy brief ini dmenyoroti indikator Tinggi Badan per Umur (TB/U).

2
HASIL

Hasil pengukuran anthropometri pada


balita di Posyandu Puskesmas
Bokondini pada tanggal 19 Mei 2015
menunjukkan hasil yang mengejutkan.
Lebih dari 90% balita yang berkunjung
di Posyandu mempunyai status gizi
pendek dan sangat pendek (stunting).
Angka ini jauh di atas angka capaian
Kabupaten Tolikara pada tahun 2013.
Hasil pengamatan menunjukkan
realita bahwa mayoritas masyarakat
suku Lani di Bokondini mempunyai status sosial ekonomi yang rendah. Rata-rata
mereka bekerja sebagai pekebun alami, tanpa intensifikasi. Masyarakat pada
umumnya hanya menanam buah dan sayuran. Beras menjadi komoditi yang tidak
mudah untuk mereka dapatkan. Mereka harus membeli di Wamena atau
menunggu bantuan dari pemerintah. Situasi seperti ini berkontribusi besar pada
ketersediaan pangan nabati dalam keluarga, apalagi ketersediaan pangan hewani
yang harganya relatif lebih mahal.

Menurut Rosalind Gibson (2005), status gizi stunting sangat terkait erat dengan
konsumsi mineral Zn dan protein. Secara umum sumber protein hewani
mengandung mikronutrien Zn relatif tinggi, namun jenis protein hewani ini
merupakan hal langka bagi suku Lani. Orang Lani berkesempatan mengkonsumsi
makanan berbahan daging hewan pada saat-saat pesta saja, tidak dalam
keseharian.
Kondisi memprihatinkan yang terjadi pada
Kemiskinan dan sanitasi keluarga-keluarga suku Lani ini didukung
yang buruk seperti dua pula oleh situasi lingkungan yang jauh
sisi pada uang koin, tertinggal, lapangan kerja minim,
pembangunan belum merata, dan minimnya
semacam paket yang infrastruktur. Kondisi ini terjadi pada hampir
saling melengkapi. semua bidang seperti kesehatan,
Demikian pula yang pendidikan.
berlaku pada suku Kemiskinan tersebut juga berdampak pada
pemenuhan prioritas kebutuhan hidup
Lani…
sehari-hari. Perhatian orang tua terhadap
anak menjadi sangat minim, bahkan hampir

3
tidak ada. Pendidikan dan kesehatan adalah
contoh ‘bidang’ yang dianaktirikan dan tidak Anak-anak tersebut
diperhatikan. Tidak sedikit anak yang
terpaksa bekerja membantu orangtua di sudah terbiasa hanya
kebun, termasuk juga menjual hasil kebun memakan dua-tiga
ke pasar. Anak-anak rela meninggalkan potong erom (ubi jalar)
bangku sekolah demi membantu orangtua
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
untuk memenuhi
Mereka sudah terbiasa hanya makan dua- kebutuhan pangan
tiga potong erom (ubi jalar) untuk hariannya.
memenuhi kebutuhan pangan hariannya.
Kemiskinan dan sanitasi yang buruk pada suku Lani di Bokondini. seperti dua sisi
uang koin, semacam paket yang saling melengkapi. Sering kita jumpai anak-anak
yang tidak berpakaian karena mereka memang tidak memiliki pakaian yang cukup.
Tidak menggunakan alas kaki saat bermain atau berjualan di pasar. Kampanye gaya
hidup sehat seperti cuci tangan pakai sabun atau gosok gigi tiap hari, sama sekali
tidak nampak dilakukan dalam keseharian. Secara faktual, kondisi tersebut
dianggap wajar bagi orang tua suku Lani di Bokondini. Mereka percaya bahwa
mereka telah melaksanakan kewajiban sebagai orang tua ala suku Lani.
Indikator stunting secara umum menggambarkan status gizi yang bersifat kronis,
artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, serta sering menderita penyakit secara
berulang karena hygiene dan sanitasi yang kurang baik (Badan Litbangkes, 2007).
Ketiga hal tersebut menjadi penyebab utama asupan protein yang kurang,
sekaligus mendegradasi protein yang tersimpan dalam tubuh akibat sering sakit
yang berlangsung lama. Ketiga hal tersebut semuanya ditemukan dalam
keseharian suku Lani di Bokondini.
Dewasa ini beberapa keluarga suku Lani di Bokondini sudah mulai menggunakan
jamban sebagai tempat buang air besar. Mereka tidak sedikit yang masih
menggunakan lokasi kebun dan sungai sebagai tempat buang air besar dalam
keseharian.

KESIMPULAN
Balita stunting di Posyandu Puskesmas Bokondini sangat tinggi, mencapai 90,32%.
Beberapa hal yang kemungkinan bisa menjadi penyebab adalah kemiskinan, pola
asuh yang tidak tepat, serta penyakit akibat higiene sanitasi yang buruk.

4
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Kondisi di Bokondini yang terjadi pada saat ini bila tetap berlangsung terus
menerus, dan tidak ada intervensi apapun, bisa dipastikan balita stunting (pendek
dan sangat pendek) akan terus meningkat. Ada kemungkinan seluruh balita di
Bokondini akan menjadi stunting. Perlu ada upaya intervensi berbasis konteks
lokal, untuk menjamin keberhasilan akselerasi pengurangan balita stunting di
Bokondini.
Intervensi yang direkomendasikan adalah dengan meminimalisir faktor-faktor
penyebab kronisnya status gizi balita stunting di Bokondini. Dinas Kesehatan perlu
menggandeng klasis atau gereja sebagai pihak yang berpengaruh dan di”dengar”
masyarakat suku Lani di Bokondini untuk melakukan beberapa hal berikut:
1. Melatih masyarakat untuk memanfaatkan dan mengolah makanan tinggi
protein-tinggi kalori yang bersumber pada bahan makanan lokal atau yang
tersedia di sekitar Bokondini.
2. Merangsang masyarakat untuk beternak dengan memanfaatkan halaman
yang masih cukup luas. Misalnya, pemerintah daerah/kecamatan/desa
memberi sepasang unggas untuk dipelihara sebagai modal awal. Bimbingan
teknis diperlukan untuk mengkondisikan hal ini.
3. Melakukan edukasi pada masyarakat tentang gaya hidup sehat dengan
sanitasi yang baik, melalui peran-peran kader kesehatan yang direkrut
sampai pada tingkat dusun.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Balitbangkes Kemenkes RI.; Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Balitbangkes Kemenkes RI.; Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2014). Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes, Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2007-2008. Kemenkes RI.; Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008). Laporan Propinsi Papua Riset Kesehatan Dasar
2007-2008. Kemenkes RI.; Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Pelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta

5
Rosalind Gibson, 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford; Oxford University Press
World Health Organization (2009). WHO AnthroPlus for personal computers Manual: Software for
assessing growth of the world's children and adolescents. Geneva; WHO

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Agung Dwi Laksono;
HP. 081332162622
Email “agung_dwilaksono@yahoo.co.id”

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai