Oleh:
Ezra Lenny Leo 140070200011021
Dionisius Christian Bria Seran 140070200011078
Diandra Laksmita Resmi 140070200011096
Galuh Iman Nirwana 140070200011123
Adianto Jayanagara 140070200011151
Mia Intan Annisa 140070200011164
Pembimbing:
Dr. dr. Tita Hariyanti, M.Kes
dr. Didik Sulistyanto
Gambar 1.1 Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
1
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka balita termasuk
golongan masyarakat kelompok rentan gizi, yaitu kelompok yang paling mudah,
menderita kelainan gizi, sedangkan pada ssat ini mereka sedang mengalami
proses pertumbuhan yang relative pesat. ( Santoso & Lies, 2003). Factor yang
mempengaruhi status gizi pada balita banyak sekali diantaranaya adalah tingkat
pendidikan yang baik dirumah dapat bertindak sebagai factor bersifat protektif
yang mengurangi efek merugikan dariberat lahir rendah atau keadaan gizi
kurang dalam awal usia balita terhadap perkembangannya. Sebaliknya kondisi
gizi yang sama cenderung menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap
perkembangan anak (Henningham & Mc Gregor, 2009).
Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak.
Berinvestasi pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada
kemajuan suatu negara (Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur
lima tahun (balita) merupakan masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan
dalam siklus hidup manusia. Anak mengalami pertumbuhan fisik yang paling
pesat dan masa ini juga disebut masa emas perkembangan otak. Oleh karena
itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak langsung pada pertumbuhan
dan perkembangan kognitif dan psikomotoriknya (Boggin, 1999).
Bila dibandingkan dengan pertumbuhan berdasarkan standar WHO, adanya
178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat Stunting
menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang
melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak
Stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah (WHO, 2011).
Kebanyakan kasus gangguan pertumbuhan terjadi pada masa-masa awal
kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001).
Pada kenyataannya, terbukti bahwa hampir semua gangguan pertumbuhan anak
di negara berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan
(De Onis and blossner, 1997 dalam Semba and Bloem, 2001).
Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang
menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak
Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan
tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi
memberi kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut
2
terkait praktek pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia
dini (WHO/UNICEF, 2003).
Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa
masalah kekurangan gizi pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator.
Indikator tersebut diantaranya berat kurang atau underweight jika dilihat dari
berat badan menurut umur (BB/U), pendek atau Stunting jika dilihat dari tinggi
badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau wasting jika dilihat dari berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat kurang dan kurus merupakan
dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut, sedangkan pendek
merupakan manifestasi kekurangan gizi yang bersifat kronis (Kementrian
Kesehatan, 2010).
Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi
badan dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai
terlihat ketika anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan
hal yang buruk karena semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk
mengatasi Stunting. (Hendricks, 2005 dalam Candra, 2011).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek (Stunting)
secara nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari
keadaan tahun 2007 dimana prevalensi kependekan sebesar 46,8%. Prevalensi
kependekan sebesar 35,6% terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek.
Bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek
turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2010. Sedangkan
prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 17.1% pada
tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi kependekan di atas angka
prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebutdariyang memiliki prevalensi
tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa TenggaraTimur,(2) Papua Barat, (3)
Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) SumateraBarat,(6) Sumatera
Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) KalimantanTengah,(10) Aceh,
(11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14) Lampung,
(15) SulawesiTengah. Berdasarkan usia balita, kejadian Stunting banyak
terdapat pada balita usia 24 hingga 59 bulan. Buruknya status gizi balita ini
merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai faktor determinan yang
berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat tinggal dan akses
3
pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa
Stunting berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua, berat lahir, umur
balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, Stunting pada balita
juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran
(status sosio-ekonomi) dalam rumah tangga (Semba et al., 2008).
Dalam rangka menurunkan angka kejadian Stunting, sudah diadakan suatu
penyuluhan dan konseling tentang Stunting dan PMBA baik di posyandu maupun
dari rumah ke rumah oleh kader. Kader adalah seorang sukarelawan kesehatan
yang direkrut dari, oleh dan untuk masyarakat yang bertugas untuk membantu
kelancaran pelayanan kesehatan. Peran penting kader kesehatan adalah
sebagai perantara antara tenaga kesehatan (Dokter puskesmas, bidan
puskesmas) kepada masyarakat (Ismawati et al, 2010).
1.3 Sasaran
Sasaran kegiatan ini adalah kader desa Turen, yang menajdi kader
PMBA dan telah dilatih SS oleh TOT Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
4
1. Memberikan data bagi pemerhati masalah Stunting dan
penanggulangannya berbasis kemampuan kader dalam memberikan
penyuluhan mengenai PMBA sebagai pertimbangan untuk penelitian lebih
lanjut.
2. Memberikan data tingkat pemahaman kader terhadap materi PMBA dan
pelaksanaan penyampaian materi oleh kader terhadap masarakat.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan program yang dimonitoring
secara berkelanjutan.
5
BAB 2
GAMBARAN WILAYAH
6
Kesehatan Kabupaten Malang dan Kantor Bupati Malang serta salah satu rumah
sakit umum pemerintah daerah yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan
Kepanjen berada kurang lebih 18 kilometer.
2.1.2 Topografi
Stuktur jenis tanah di wilayah Kecamatan Turen merupakan jenis tanah
pesolik, topografi sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian ± 300-
460 m di atas permukaan air laut, dengan kemiringan kurang dari 15% dan datar
85%, dengan curah hujan rata – rata 1.419 mm pertahun, dengan pembagian
wilayah.
Turen Bagian Timur terdiri dari Desa Pagedangan, Sananrejo, dan
Sanankerto merupakan daerah datar, dimana daerah ini irigasi pengairan lancar
dan cocok untuk pengembangan tanaman pangan (padi, jagung, dll), tanaman
sayuran (Cabe, sawi, wortel dll) ; tanaman buah – buahan (durian, apokat,
pisang dll) tanaman tebu.
Turen bagian Selatan terdiri dari desa Undaan, desa Gedogwetan, desa
Gedogkulon dan desa Tawangrejeni, daerah ini merupakan daerah pertanian
sawah, perkebunan serta potensial untuk pengembangan peternakan ayam ras,
sapi perah dan daerah industri/pengrajin, serta sebagai daerah pertambangan
galian c.
Turen bagian Tengah terdiri dari kelurahan Turen, kelurahan Sedayu,
desa Jeru, desa Talok, desa Kedok, dan desa Tanggung, yang merupakan
daerah perkotaan dan pinggir perkotaan selain sebagai daerah sentra ekonomi,
juga sebagai daerah pengembangan/pemekaran kota Turen dan daerah
industri/pengrajin serta daerah pertanian unggulan. Di Kelurahan Turen dan
Sedayu terdapat industri besar, yaitu industri Amunisi PT PINDAD.
Turen bagian Utara terdiri dari desa Talangsuko, desa Tumpukrenteng
daerah ini merupakan daerah pertanian sawah serta potensial untuk
pengembangan peternakan ayam ras, sapi perah,perkebunan dan daerah
industri/pengrajin.
2.1.3 Demografi
Penduduk Kecamatan Turen menurut data sampai dengan bulan
Desember 2015 yang berjumlah kurang lebih 116.377 jiwa dipilah menurut jenis
7
kelamin di temukan data bahwa laki-laki 58.574 jiwa dan perempuan sejumlah
57.803 jiwa.
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk per desa Tahun 2015 (Sumber: Profil
Kecamatan Turen Tahun 2015)
Jumlah Penduduk
Nama Desa
Laki-Laki Perempuan Total
Sanankerto 2107 2234 4341
Sananrejo 3761 3663 7424
Kedok 2968 3237 6205
Tumpak Renteng 2664 2617 5281
Talang Suko 3766 3719 7485
Jeru 3274 3220 6494
Tanggung 3439 3318 6757
Turen 6346 6316 12662
Pagedangan 4517 3984 8501
Talok 4578 4510 9088
Sedayu 2816 2808 5624
Undaan 2017 2039 4056
Gedog Kulon 1477 1517 2994
Gedog Wetan 4265 4241 8506
Tawang Rejeni 3377 3348 6725
Sawahan 4396 4381 8777
Kemulan 2806 2651 5457
JUMLAH 56574 57803 116377
Usia produktif (15 s/d 64 tahun) berkisar 80.267 (68,53%). Jumlah bumil
pada tahun 2016 sebanyak 1.964 orang, bayi sebanyak 1.760 bayi dan balita
sebanyak 8.923 anak.
Secara terperinci komposisi penduduk kecamatan Turen penduduk tahun
2016 menurut kelompok usia baik laki-laki maupun perempuan tergambar dalam
piramida dibawah ini :
8
Dengan penduduk sebanyak 117.126 jiwa yang menempati wilayah
seluas 6.041 km2 , kepadatan penduduk sebesar 19.39 jiwa/km2 dan
terkelompokkan menjadi 34.759 Kepala Keluarga. Jumlah keluarga miskin
sebanyak 9.506 Kepala Keluarga dengan jumlah anggota sebanyak 25.599
orang. Pendidikan penduduk Kecamatan turen terbanyak adalah setingkat
Sekolah Dasar (SD) kemudian disusul setingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Kecamatan Turen memiliki wilayah kerja sebanyak 2 (dua) kelurahan dan
15 (lima belas) desa, 177 (seratus tujuh puluh tujuh) RW dan 712 (tujuh ratus
dua belas) RT.
9
Puskesmas Induk : 1 Puskesmas
Puskesmas Pembantu : 4 Pustu
Polindes : 15
Ponkesdes : 17
Posyandu Lansia : 35 pos
Posyandu Balita : 148 pos
Posyandu Pratama : 140
Posyandi Madya :0
Posyandu Purnama :0
Posyandu Mandiri :8
Rumah Sakit Swasta :1
Rumah Bersalin :1
BP Swasta :3
Apotek :6
Toko Obat :2
10
Gambar 2.2 Peta Penyebaran Tenaga dan Sarana Kesehatan di Kecamatan
Turen (Sumber: Laporan Kesehatan Puskesmas Turen, 2015)
11
Desa Turen merupakan desa yang kami intervensi. Secara geografis,
wilayah Desa Turen dibatasi oleh :
Sebelah Utara :Desa Kedok dan Pagedangan
Sebelah Timur :Desa Pagedangan dan Talok
Sebelah Selatan :Desa Sedayu
Sebelah Barat :Desa Tanggung dan Jeru
Menurut Laporan Tahunan Puskesmas Turen tahun 2015, tercatat rincian
penduduk Desa Turen :
Penduduk Laki-laki : 6346 jiwa
Penduduk Perempuan : 6316 jiwa
Total Penduduk : 12662 jiwa
12
BAB 3
METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA
13
BAB 4
ANALISIS DATA
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan dan Usia di Puskesmas Turen
Tahun 2013
JUMLAH
STATUS GIZI (TB/U)
BALITA
NO DESA SANGAT
PENDEK NORMAL JANGKUNG
L P PENDEK
L P L P L P L P
1 SANAN KERTO 89 72 1 2 6 8 82 61 0 1
2 SANAN REJO 140 132 3 2 11 11 125 118 1 1
3 KEDOK 206 227 2 3 7 11 197 212 0 1
TUMPUK
4 109 124 3 2 12 11 93 111 1 0
RENTENG
5 TALANGSUKO 200 193 1 2 10 8 187 183 2 0
6 JERU 241 257 4 3 14 18 223 236 0 0
7 TANGGUNG 150 151 2 3 8 9 139 138 1 1
8 TUREN 433 427 5 3 8 8 419 414 1 2
9 PAGEDANGAN 348 314 3 3 11 12 333 299 1 0
10 TALOK 226 239 2 2 7 9 216 228 1 0
11 SEDAYU 119 96 4 1 4 4 110 90 1 1
12 UNDAAN 87 99 4 4 6 4 77 90 0 1
13 GEDOG KULON 75 67 3 4 6 5 66 58 0 0
14 GEDOG WETAN 183 160 2 4 8 6 173 148 0 2
15 TAWANG REJENI 185 211 3 2 10 9 172 200 0 0
16 SAWAHAN 247 219 2 2 8 11 237 205 0 1
17 KEMULAN 109 109 2 3 10 6 96 100 1 0
314
JUMLAH 3,097 46 45 146 150 2945 2891 10 11
7
14
Tabel 4.2 Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan dan Usia di Puskesmas Turen
Tahun 2014
JUMLAH
STATUS GIZI (TB/U)
BALITA
NO DESA SANGAT
PENDEK
PENDEK NORMAL JANGKUNG
L P
L P L P L P L P
1 SANAN KERTO 149 114 0 0 4 3 145 111 0 0
2 SANAN REJO 416 291 1 1 12 11 403 279 0 0
3 KEDOK 241 242 0 1 8 10 233 231 0 0
TUMPUK
4 95 120 0 1 8 7 87 112 0 0
RENTENG
5 TALANGSUKO 249 265 1 0 9 8 239 257 0 0
6 JERU 278 289 1 1 12 14 265 274 0 0
7 TANGGUNG 129 143 0 0 7 6 122 137 0 0
8 TUREN 472 459 1 1 10 12 461 445 0 1
9 PAGEDANGAN 451 405 1 1 5 8 445 396 0 0
10 TALOK 278 293 0 0 8 4 270 289 0 0
11 SEDAYU 153 113 0 0 7 5 146 108 0 0
12 UNDAAN 83 79 0 0 3 2 80 77 0 0
13 GEDOG KULON 81 86 0 0 2 1 79 85 0 0
14 GEDOG WETAN 177 190 0 0 4 5 173 185 0 0
TAWANG
15 151 144 1 0 11 9 139 135 0 0
REJENI
16 SAWAHAN 274 266 0 0 4 6 270 260 0 0
17 KEMULAN 191 173 0 0 6 5 185 168 0 0
JUMLAH 3868 3,672 6 6 120 116 3742 3549 0 1
Tabel 4.3 Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan dan Usia di Puskesmas Turen Tahun 2015
JUMLAH
STATUS GIZI (TB/U)
BALITA
NO DESA SANGAT
PENDEK NORMAL JANGKUNG
L P PENDEK
L P L P L P L P
1 SANAN KERTO 141 130 5 5 16 16 119 109 1 0
2 SANAN REJO 267 247 5 3 6 8 256 236 0 0
3 KEDOK 250 225 5 5 18 20 227 200 0 0
TUMPUK
4 168 175 3 4 10 11 155 160 0 0
RENTENG
5 TALANGSUKO 243 260 5 6 14 17 224 237 0 0
6 JERU 281 284 7 6 18 18 255 260 1 0
15
7 TANGGUNG 173 171 4 4 12 14 157 153 0 0
8 TUREN 454 450 16 15 36 35 402 400 0 0
9 PAGEDANGAN 391 415 11 10 21 22 359 383 0 0
10 TALOK 304 331 6 7 16 17 282 307 0 0
11 SEDAYU 156 118 3 6 19 17 129 93 5 2
12 UNDAAN 122 110 3 3 7 7 112 100 0 0
13 GEDOG KULON 100 73 1 3 6 5 93 65 0 0
14 GEDOG WETAN 210 209 4 6 15 16 191 187 0 0
15 TAWANG REJENI 251 226 6 7 15 18 230 201 0 0
16 SAWAHAN 307 298 9 8 14 13 284 277 0 0
17 KEMULAN 207 168 0 0 29 35 177 128 1 5
JUMLAH 4025 3,890 93 98 272 289 3652 3496 8 7
16
untuk mencari faktor resiko terjadinya prevalensi Stunting yang tinggi di Desa
Turen.
Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang. Informan berasal dari 1
Kepala Puskesmas Turen, 1 Ahli gizi Puskesmas Turen, 1 Bidan kelurahan
Turen, 1 Ketua kader kelurahan Turen. Sebanyak 3 informan berjenis kelamin
perempuan dan 1 orang laki-laki. Jenis kelamin dan peran informan dikode
seperti pada tabel 4.4
Stunting di Turen
4.3.2 Kuesioner
17
Kuesioner berisikan pertanyaan tentang pengetahuan Stunting dan
PMBA. Kesioner telah dibagikan kepada 20 kader Kelurahan Turen yang telah
mendapat pelatihan PMBA dan sudah dilakukan SS sebelumnya. Berikut adalah
nilai yang didapat oleh 20 kader dalam megerjakan kuesioner yang kami
bagikan, dalam Tabel 4.4.
18
Berdasar data di atas nilai terendah adalah 47 yang didapat kader kode
13 dan 19. Sedangkan nilai tertinggi adalah 84 didapat kader kode 07. Dapat
dsimpulkan bahwa tidak semua kader memiliki tingkat pengetahuan yang sama
mengenai PMBA dan Stunting sekalipun dilatih dalam hari dan acara yang sama.
Dalam hal ini adanya kemungkinan saat pemberian materi tidak semua kader
memperhatikan, sehingga ketika peneliti mengadakan penyuluhan dibuat suatu
games yang menarik bagi kader dan berisi materi PMBA. Dengan begitu
diharapkan materi akan lebih diperhatikan dan mudah ditangkap oleh kader.
19
kami simpulkan bahwa kader PMBA di Kelurahan Turen membutuhkan
penyuluhan ulang mengenai ketrampilan dalam memberikan konseling kepada
sasaran.
20
“kalau untuk menilai apa konseling yang dilakukan kader sudah sesuai
dengan pelatihan memang belum ada indikator yang sederhana untuk
bisa dipraktekan di lapang….” Kode 01
4.4.2 Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan kepada masyarakat dengan harapan peningkatan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang Stunting dan PMBA.
.Penyuluhan di Kecamatan Turen sudah dilakukan secara rutin 1 bulan sekali
terhadap masyarakat saat Posyandu, namun dalam beberapa waktu materi
kurang dapat tersampaikan karena kurangnya waktu dan banyak masyarakat
yang kurang memperhatikan karena harus segera melanjutkan kegiatannya
masing-masing.
“.. Sudah ada penyuluhan Stunting biasanya satu bulan sekali saat
Posyandu..”-Kode 02, 03, dan 04
“.. kadang kami melakukan penyuluhan pas ketemu dijalan atau pas saya
main ke rumahnya tetangga.” Kode 04
“.. Pernah juga saya ngasihkan penyuluan pas tahlilan warga atau acara
PKK. Tapi ya namanya ibu-ibu sukanya ngomong sendiri, jadi materi yang
saya kasih kurang diperhatikan.”
“Sebenarnya lebih enak kalau saya langsung ke rumah warganya
masing-masing, kalau begitu mereka enak nggak perlu diminta kumpul,
cukup saya yang gerak, dan enaknya mereka lebih perhatian jadi sambil
merawat anak saya bisa sambil ngasihkan konseling kalau di rumah
langsung.” Kode 04
“.. Kegiatan penyuluhan di Turen ini sudah berjalan tapi mungkin dari
warga sendiri juga sibuk dengan pekerjaannya jadi kalau berlama-lama di
Posyandu biasanya tidak bisa, jadi memang lebih enaknya mungkin dari
kader yang melakuakn konseling ke warga di rumah-rumah.”– kode 01
4.4.3 Masyarakat
Masyarakat masih belum bisa meluangkan waktu untuk mengikuti
penyuluhan dikarenakan kesibukannya dalam bekerja. Selain itu beberapaorang
masih beranggapan jika kader tidak lebih pintar dari masyarakat itu sendiri
sehingga enggan jika diberi penyuluhan atau konseling oleh kader.
21
“.. Sebenarnya untuk penyuluhan sudah direncanakan 1 bulan sekali saat
Posyandu, namun para ibu memiliki kesibukan menjadi pekerja sehingga
untuk meluangkan waktu ke Posyandu agak susah. Kalaupun ada yang
bisa biasanya keburu-buru jadi pas kami mau memberikan penyuluhan
mereka sudah pulang duluan.” Kode 04
“.. Kalaupun kader bisa menyampaikan materi biasanya kader ke dating
ke rumah warga satu-satu begitu, jadi mereka malakukan konseling,
karena kalo menunggu Posyandu justru nggak bisa tersampaikan seperti
harapan biasanya, soalnya waktunya terbatas, kadang bisa cuman 10
menit. Padahal yang dibutuhkan disini kader bisa tahu apa masalah yang
dihadapi masing-masing ibu dan membantu ibu untuk memilih solusi
masalah.” Kode 02
“Seringnya ya mbak dan mas dokter muda pas kami menyampaikan
materi ibunya bilang iya iya, padahal nantinya nggak dilakukan karena
merasa yang saya sampaikan ini mungkin salah soalnya kami kader
dianggap sama-sama warga biasa dan kadang memang pendidikan
mereka diatas kader, jadi kurang percaya.” Kode 04
“…Kalau pihak Puskesmas yang dating langsung ke warga mereka nurut
dan mau melakukan yang disarankan” Kode 04
22
BAB 5
DIAGNOSIS KOMUNITAS
23
Diagram ishikawa di atas diperoleh dari wawancara dengan tiga
informan. Setiap informasi dicatat hingga tersedia rekapan dialog wawancara
dengan seluruh informan sebagai data primer. Selanjutnya data dikelompokkan
berdasarkan ide pokok yang terkandung dari setiap dialog lalu dibuat hubungan
sebab-akibat untuk menyusun kerangka diagram ishikawa.
Diagram terdiri atas empat kerangka utama yang mengarah pada
permasalahan kesehatan di Turen yaitu tingkat pengetahun kader tentang materi
PMBA. Kerangka tersebut digunakan untuk mencari akar masalah dari berbagai
aspek.
Dari aspkek metode, didapatkan belum adanya indikator kelayakan
kader dan evaluasi kegiatan oleh puskesmas serta cara penyampain materi yang
kurang tepat oleh kader.
Selain itu, dari enviroment didapatkan kurangnya waktu untuk
melakukan konseling terhadap warga sehingga materi tidak tersampaikan
dengan lengkap dan sebagaimana mestinya.
24
adalah kurangnya pengetahuan kader tentang materi PMBA. Dengan pemberian
materi ulang serta pembuatan indicator diharapakan dapat mengatasi masalah
satunting yang ada di Turen.
25
BAB 6
TINJAUAN PUSTAKA
26
pengasuh yang rendah (Bove et al, 2014) (Saaka and Abaah, 2015)
(Muhangi et al, 2013).
2. Makanan tambahan yang tidak adekuat
Kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak adekuat, dan
kebersihan makanan dan minuman menjadi masalah utama. Kualitas
makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah,
keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani
yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan
tambahan yang mengandung energi yang rendah. Cara pemberian makanan
yang tidak adekuat seperti frekuensi pemberian makanan yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan usia. Sedangkan Kebersihan
makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi suatu patogen, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan
persiapan makanan yang tidak bersih. Anak Stunting juga dikaitkan dengan
budaya dan pengetahuan masyarakat akan gizi. Pemenuhan gizi yang
kurang pada masyarakat dengan kemiskinan merupakan salah satu faktor
munculnya Stunting. Karena pola makan sering kali seiring dengan kondisi
kesejahteraan dan ekonomi. Budaya makan juga mempengaruhi misalnya
konsumsi ikan laut masyarakat yang masih rendah, padahal protein dan
omega yang dikandung sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak (Stewart et al, 2013) (Dinkes Sumsel, 2011).
3. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang salah dapat berkontribusi terhadap
keadian Stunting, bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif dan
penghentian menyusui yang terlalu cepat. Seperti yang telah diketahui ASI
mengandung makro dan mikronutrien yang paling pas untuk bayi dengan
kandungan protein yang tinggi yang melebihi susu sapi. ASI dapat mencegah
terjadinya malnutrisi dan Stunting (Rachmi et al, 2016) (IDAI, 2013).
4. Infeksi
Faktor yang terakhir adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada
usus : diare, environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,
malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi dan adanya inflamasi.
Terdapat beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit
infeksi dengan Stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan salah satu
27
faktor risiko kejadian Stunting pada anak usia dibawah 5 tahun (Rachmi et al,
2013) (Paudell et al, 2012).
28
6.4 Diagnosis Stunting
Status gizi diartikan sebagai keadaan gizi seseorang yang diukur atau
dinilai pada suatu waktu. Penilaian status gizipada dasarnya merupakan proses
pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting
baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan
dengan baku yang telah tersedia. Komponen penilaian satus gizi meliputi asupan
pangan, pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan klinis, dan riwayat mengenai
kesehatan, pemeriksaan antropometris, dan data psikososial.
Anamnesis tentang asupan pangan merupakan tahap penilaian status gizi
yang paling sulit. Komponen anamnesis asupan pangan mencakup ingatan
pangan 24 jam, kuesioner frekuensi pangan, riwayat pangan, catatan pangan,
pengamatan dan konsumsi pangan keluarga.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan dalam penilaian status gizi meliputi
pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Bagian tubuh yang harus diperhatikan
adalah kulit, gigi, gusi, bibir, lidah, mata, dan alat kelamin (khusus laki-laki)
(Arisman, 2008).
Pemeriksaan antropomentris merupakan pemeriksaan yang berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter pemeriksaan antropometris
meliputi umum, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,
lingkar dada, dan jaringan lunak. Cara pemaparan indikator antopometris meliputi
persentasi, persentil dan z-score atau simpanganbaku terhadap nilai median
acuan. Sedangkan index antopomenteri yang sering digunakan yaitu berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB). Index ini berguna dalam pengklasifikasian status
gizi (Arisman, 2008;Suparsana et al., 2001).
29
tinggi jika z-score >2 SD.
Stunting sudah dimulai sejak sebelum kelahiran disebabkan karena gizi ibu
selama kehamilan buruk, pola makan yang buruk, kualitas makanan yang buruk,
dan intensitas frekuensi menderita penyakit sering. Berdasarkan ukuran tinggi
badan, seorang anak dikatakan stunted jika tinggi badan menurut umur kurang
dari -2 SD z-score berdasarkan refrensi internasional WHO-NCHS (UNICEF,
2010).
30
BAB 7
PLAN OF ACTION
31
FAKTOR RESIKO CONTRIBUTING RISK FACTOR
Predisposing :
• Kurang kepedulian kader untuk
rutin dalam menyampaikan materi
PMBA kepada ibu hamil dan ibu
baduta.
Behaviour Enabling:
Kader tidak rutin menyampaikan PMBA Penyuluhan terhadap ibu hamil dan ibu
baduta masih kurang secara kualitas
dan kuantitas
Reinforcing:
Tidak ada reward dari Puskesmas
terkait pengadaan penyuluhan
32
FAKTOR RESIKO CONTRIBUTING RISK FACTOR
Predisposing:
Dari pihak puskesmas belum
memiliki indikator untuk
mengetahui kelayakan kader
dalam memberi materi PMBA
Beberapa ibu hamil dan ibu
Ekstrinsik baduta bekerja di luar rumah
Belum ada indikator kelayakan sehingga sulit untuk mengatur
kader jadwal.
Ibu hamil dan ibu baduta Enabling
kurang waktu untuk menerima Penyuluhan terhadap masyarakat
materi PMBA masih kurang secara kualitas dan
kuantitas
Reinforcing
Sikap tertutup dan penarikan diri
ibu hamil dan ibu baduta terhadap
kader
7.5 Metode
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, kami menyusun rangkaian
acara yang berjudul NOSTALGIA yang terdiri dari 1 program utama dan 2
program pendampingan
1. Pelatihan Kader NOSTALGIA
Merupakan suatu upaya untuk melatih kader tentang metode penyuluhan
yang menarik dan tepat untuk PMBA, saling berbagi pengetahuan tentang
PMBA dan meningkatkan motivasi kader dalam upaya menurunkan angka
Stunting di kecamatan Turen.
2. Kegiatan Pendampingan
Upaya menerapkan penyuluhan materi PMBA oleh kader di kegiatan homecare
sehingga ibu hamil dan ibu baduta jadi semakin lebih mengenal tentang materi
33
pmba karena kunjungan dan tanya jawab tentang materi pmba dengan dokter
muda sebagai pendamping kader. Kegiatan ini dilakukan lebih perorangan dari
rumah ke rumah ibu hamil dan ibu baduta. Kegiatan pendampingan ini dilakukan
saat sebelum dan sesudah kegiatan progam utama NOSTALGIA dilaksanakan
sekaligus sebagai bahan evaluasi untuk melihat tingkat pengetahuan dan
penerapan kader terkait PMBA.
7.6 Timeline Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 2016.
Persiapan seminar Pembuatan PPT 18/08/16- Editing PPT seminar proposal, Gedung Faal
proposal seminar proposal, 20/08/16 editing lembar balik untuk kader Lantai 2
pembuatan lembar
balik untuk kader,
form untuk
3
persiapan kegiatan
GeBraK TB
34
Presentasi Untuk Proposal 20/08/16 Presentasi Gedung Faal
rencana kegiatan mendiskusikan kegiatan Tanya jawab Lantai 2
NOSTALGIA rencana kegiatan
agar kegiatan bisa
berjalan baik.
3.
35
Pembuatan - Untuk arsip Hasil 2 september Pengolahan hasil Puskesmas
Laporan Hasil kegiatan dan Kegiatan 2016 – 6 kegiatan dan evaluasi kegiatan
Kegiatan evaluasi September
kegiatan agar 2016
bisa lebih baik
6.
lagi
kedepannya
36
BAB 8
EVALUASI HEALTH PROMOTION ACTION
37
8.2 Evaluasi Pengetahuan Kader Dari Kuesioner Yang Diberikan
38
yang dialami saat 2. Kader sudah menggunakan indikator konseling sebagai
memberikan asupan pedoman dengan baik dan menyesuaikan dengan bahasa
makanan ke bayi sehari-hari masyarakat
dan/atau anaknya.
2. Menggunakan indikator
konseling sebagai
pedoman saat
memberikan konseling.
IMPACT:
Meningkatnya kemampuan Adanya peningkatan nilai kemampuan konseling dan diskusi
kader dalam memberikan yang interaktif antara kader dan ibu baduta.
konseling tentang PMBA
melalui pemberian indikator
pedoman konseling.
OUTCOME:
Menurunya angka anak Belum dapat dievaluasi
Stunting di kelurahan Turen.
39
BAB 9
PEMBAHASAN
40
Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari laporan tahunan
Puskesmas Turen pada tahun 2015 yang diperoleh dari hasil rekapitulasi tiap
tahun oleh bidang KIA dan Gizi pelayanan kesehatan. Dari data Status Gizi Balita
Berdasarkan Tinggi Badan (TB) dan Usia di Puskesmas Turen Tahun 2015
didapatkan angka kejadian Stunting masih tinggi yaitu lebih dari 5%. Dan jumlah
terbanyak ada di tiga desa yaitu Desa Sanankerto, Turen dan Sedayu. Hal
tersebut merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan untuk meningkatkan
kualitas gizi.
Selain itu kami juga melakukan pengumpulan data primer melalui
wawancara terhadap petugas kesehatan yaitu kepala Puskesmas, PJ KIA di
Puskesmas, PJ Gizi, dan bidan desa Turen. Kami juga memperoleh data
kuantitatif berupa data statistik yang diperoleh dari Puskesmas Turen dan
pembagian kuisioner dan data kualitatif dengan metode wawancara pada 20
kader di desa Turen. Setelah menganalisis hasil dari wawancara dan data
tersebut, didapatkan empat komponen utama dalam masalah Stunting di
kecamatan Turen yaitu kader, metode, waktu dan media evaluasi.
Berdasarkan data primer dan sekunder tersebut maka kami
menyimpulkan bahwa ada dua penyebab utama yang mengakibatkan tingginya
angka Stunting di Kecamatan Turen adalah kurangnya tingkat pengetahuan
kader kesehatan terkait PMBA dan cara penyampaian konseling PMBA yang
belum optimal. Permasalahan utama digunakan sebagai acuan untuk
merencanakan kegiatan intevensi pada kader pada program “Nostalgia”.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kader dalam
memberikan penyuluhan yang menarik dan pemberian indicator kelayakan kader
untuk membanu para kader memudahkan penyampaian materi PMBA kepada
warga.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, kami menyusun rangkaian
acara yang berjudul “Nostalgia : No Stunting, Keluarga Bahagia” yang terdiri dari
1 program utama dan 1 program lanjutan
1. Pemberian Materi PMBA ulang
Merupakan suatu upaya untuk mengingat kembali materi tentang PMBA
(Pemberian Makanan Bayi Anak) berupa ASI eksklusif, MPASI dan bayi
sakit serta melatih kader tentang metode penyuluhan yang tepat untuk
PMBA, saling berbagi pengetahuan tentang PMBA serta Stunting dan
41
meningkatkan motivasi kader dalam upaya pencegahan Stunting di
kecamatan Turen.
2. Indikator Kelayakan Kader
Merupakan suatu indikator yang disusun berdasarkan materi PMBA yang
terdiri dari pelaksanaan penyuluhan, konseling tiap umur baduta dan
komunikasi. Diharapkan indicator ini dapat membantu kader dalam
penyampaian konseling PMBA kepada warga di kecamatan Turen.
Program utama pemberian materi ulang PMBA “Nostalgia” dilaksanakan
pada tanggal 30 Agustus 2016 di Puskesmas Turen. Acara dimulai pada pukul
07.30, acara terlambat 30 menit dari jadwal yang direncakan karena ada
beberapa kader yang belum hadir, acara ini dihadiri oleh 20 Kader desa Turen
yang diundang dari 20 posyandu serta fasilitator PMBA. Tidak ada kendala
dalam mengundang 20 kader dan fasilitator. Dokter Muda mampu memimpin dan
mengarahkan kader baik saat materi dan games. Acara berlangsung meriah,
para kader sangat aktif dalam tanya jawab tentang ASI eksklusif serta MPASI
dan sharing bersama seputar pengalamannya sebagai kader. Secara
keseluruhan, acara ini mendapat sambutan dan antusiasme yang baik dari
Kader, maupun perangkat Puskesmas Turen.
Acara diawali dengan sambutan dari dr Didik S. selaku kepala
Puskesmas Turen.Selanjutnya perkenalan oleh dokter muda dan dilanjutkan ke
pemberian materi oleh Dokter muda. Pemberian materi dibagi menjadi 2 sesi.
Sesi 1 terdiri dari materi pemantauan pertumbuhan yaitu tentang penimbangan
dan cara mengisi KMS dan dilanjutkan dengan ASI eksklusif bagi Ibu dan bayi.
Sedangkan pada sesi 2 terdiri dari materi makanan pendamping ASI (MPASI),
Bayi sakit dan cara penyampaian konseling. Di setiap sesi diselingi oleh games
yang berkaitan dengan materi PMBA dengan Kader dibagi menjadi 2 dan 4
kelompok. Selanjutnya tanya jawab tentang PMBA dan sharing bersama seputar
pengalamannya sebagai kader, acara berlangsung meriah, para kader sangat
aktif dalam tanya jawab dan sharing pengalaman.
Acara dilanjutkan dengan pengenalan dan penjelasan tentang isi
Indikator. Indikator dibagi menjadi beberapa sesi yaitu pelaksanaan awal
konseling, konseling berdasarkan usia dan komunikasi. Kader terlihat sangat
antusias dan aktif melakukan Tanya jawab.Selanjutnya acara pembagian
doorprize bagi kader yang mendapatkan nilai terbaik. Acara pemberian materi
42
PMBA “Nostalgia” ditutup dengan kesan dan pesan dari para kader setelah
mengikuti rangkaian acara “Nostalgia”.
Program ini selanjutkan akan dilanjutkan di puskesmas Turen , kami telah
memberikan soft file dan hardcopy Indikator kelayakan kader yang akan
didistribusikan dan digunakan oleh puskesmas Turen untuk memberikan umpan
balik pada kader PMBA yang memberikan konseling. Diharapkan dengan adanya
program ini, para kader PMBA di desa Turen khususnya dapat dengan mudah
mensosialisasikan PMBA kepada warga di desa Turen.
43
BAB 10
PENUTUP
10.1 Kesimpulan
1. Masalah utama yang berhubungan dengan kesehatan yang menjadi prioritas
atau diagnosa komunitas kecamatan Turen adalah masih tingginya angka
kejadian Stunting di kecamatan Turen
2. Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kejadian Stunting. Salah
satunya adalah pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai
pentingnya ASI eksklusif sehingga kesadarannya masih rendah. Jumlah
petugas puskesmas yang terbatas membuat sosialisasi Pemberian Makanan
Bayi Anak (PMBA) membutuhkan peran yang besar dari para kader
posyandu. Namun kurangnya pengetahuan dari para kader posyandu
puskesmas Turen tentang PMBA dan Stunting menyebabkan mereka tidak
bisa memberikan informasi yang memadai untuk masyarakat.
3. Strategi untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan Stunting di
kecamatan Turen adalah dengan memaksimalkan peran kader posyandu
untuk melakukan konseling PMBA pada masyarakat dengan cara memberikan
mereka materi dan indikator kelayakan kader untuk melakukan konseling
PMBA dengan baik dan efisien.
10.2 Saran
1. Dibutuhkan kerjasama dari semua pihak untuk mewujudkan program ini.
Kader posyandu yang menjadi ujung tombak dari program ini diharapkan
mempunyai peran aktif untuk memberikan informasi tentang PMBA dan
Stunting baik kepada sesama kader maupun kepada masyarakat.
44
DAFTAR PUSTAKA
45
MCA, 2013. Stunting dan Masa Depan Indonesia. (Online). (http://mca-
indonesia.go.id/wp-content/uploads/2015/01/Backgrounder-Stunting-
ID.pdf, diakses pada tanggal 14 Agustus 2016)
Muhangi L., Lule S., Mpairwe H., Ndibazza J., Kizza M., Nampijja M., Nakazibwe
E., Kihembo M., Elliot A., Webb E., 2013. Maternal HIV Infection and
Other Factors Associated with Groeth Outcomes of HIV Uninfected
Infants in Uganda. National Library of Medicine National Institute of
Health.
Paudell R., Pradhan B., Wagle R., Pahari D., Onta S., 2012. Risk Factors for
Stunting Among Children. Kathmandu Medical University.
Rachmi Cut N., Kingsley A., Mu Li., Baur L., 2016. Stunting, Underweight and
Overweight in Children Aged 2.0-4.9 Years in Indonesia : Prevalence
Trends and Associated Risk Factors. PLOS One.
Riskesdas, 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. (Online).
(http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf, diakses pada tanggal 16 Agustus 2016)
Saaka M. and Abaah I., 2015. Maternal and Infant Factors Associated with Child
Growth in The First Year of Life. Science Journal of Public Health.
Santoso,S. & Lies, A. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta
Semba, Richard D. and Martin W. Bloem. 2001. Nutrition and health in
developing countries. New Jersey: Humana Press.
Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in
Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. 371: P. 322-328.
www.thelancet.com.
Stewart C., Iannotti L., Dewey K., Michaelsen K., Onyango A., 2013.
Contextualising Complementary Feeding in A Broader Framework for
Stunting Prevention.
WHO, 2010. Prevalence and Trends of Stunting among Preschool Children
1990-2020 (Online).
(http://www.who.int/nutgrowthdb/publications/Stunting1990 2020/en/,
diakses pada tanggal 15 Agustus 2016).
WHO. 2011. Nutrition: Complementary Feeding. http://www.who.int/nutrition/t
opics/comple mentary_feeding/en/index.html.
46
WHO/UNICEF. 2003. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children. WHO
Regional Publications, European Series, No. 87, P. 17.
47