Patofisiologi Pruritus
Oleh :
Pembimbing:
Pruritus atau gatal merupakan gejala utama penyakit kulit dan dapat didefinisikan
sebagai suatu sensasi yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk. Setiap manusia
pasti pernah mengalami hal ini. Penting untuk membedakan apakah gatal bersifat akut
(dengan onset detik hingga minggu seperti pada gigitan serangga) atau kronik (onset
bulanan). Gatal kronik merupakan fenomena multidimensi yang terdiri atas aspek
sensori, emosi, dan kognitif. Pada kebanyakan kasus, gatal kronik terjadi akibat
interaksi aksis otak-kulit. Meski gatal dan nyeri merupakan dua sensasi yang berbeda,
keduanya memiliki banyak kesamaan. Keduanya merupakan sensasi tidak nyaman,
melibatkan jaras persarafan yang sama, dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup
pasien. Meski demikian, pola respons perilaku yang terbentuk berbeda. Nyeri akan
membangkitkan refleks withdrawal, sementara gatal membangkitkan refleks
menggaruk. . Konsep bahwa gatal ditransmisikan ke sistem saraf pusat (SSP) dan
diproses di otak, membuka wawasan pendekatan baru dalam terapi antipruritus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPIDEMIOLOGI
Gatal lebih merupakan gejala dibandingkan suatu penyakit, oleh karena itu data
epidemiologi menjadi terbatas. Pada sebuah studi potong lintang besar di Norwegia,
prevalensi pruritus diperkirakan 8% pada kelompok usia dewasa. Gatal merupakan
gejala utama dari sebagian besar penyakit kulit. Prevalensi gatal pada berbagai
penyakit kulit dan sistemik dapat dilihat pada gambar di bawah.
Kelompok III: Pruritus dengan gambaran lesi akibat garukan kronis, seperti
prurigo nodularis
Pada beberapa pasien, gatal dapat disebabkan oleh lebih dari satu penyebab (kategori:
“campuran”), sementara pada kelompok pasien lainnya, tidak terdapat penyakit yang
dapat diidentifikasi. Gatal akut dan kronik perlu dibedakan karena terapi yang
mengurangi gatal sementara biasanya tidak dapat ditujukan kepada proses patologis
yang mendasari gatal kronik.
Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu
terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di dekat junction
dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal
korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang
ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di
thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke
pusat persepsi di korteks serebri.
Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C
tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang merupakan
polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor merupakan
serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan kimiawi.
Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus mekanik, namun
memberi respon terhadap stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini
merupakan pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama
dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A merupakan penghantar sinyal saraf yang
cepat. Kecepatan hantarannya mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf C
merupakan penghantar sinyal saraf yang lambat. Kecepatan hantarannya hanya
12m/detik, terlebih lagi pada serabut saraf C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik.
Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat
setelah stimulus terjadi.
Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik perhatian
terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild surface stimuli), sehingga
diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu terjadi. Namun demikian, seiring
dengan perkembangan ilmu kedokteran dan penemuan teknik mikroneurografi (di
mana potensial aksi serabut saraf C dapat diukur menggunakan elektroda kaca yang
sangat halus) berhasil menemukan serabut saraf yang terspesiaslisasi untuk
menghantarkan impuls gatal, dan dengan demikian telah mengubah paradigma bahwa
pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala ringan. Saraf yang menghantarkan
sensasi gatal (dan geli, tickling sensation) merupakan saraf yang sama seperti yang
digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut
saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer,
maupun di sistem saraf pusat. Ini merupakan serabut saraf tipe C – tak termielinasi.
Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketika
dilakukan blokade terhadap penghantaran saraf nyeri dalam prosedur anestesi.Namun
demikian, telah ditemukan pula saraf yang hanya menghantarkan sensasi pruritus.
Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf tipe C adalah nosiseptor polimodal (merespons
stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan
nosiseptor mekano-insensitif, yang tidak dirangsang oleh stimulus mekanik namun
oleh stimulus kimiawi.
Dari 20% serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan
histamin negatif), sedangkan hanya 5% yang histamine positif dan merangsang gatal.
Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang paling banyak dipelajari saat ini.
Selain dirangsang oleh pruritogen seperti histamin, serabut saraf yang terakhir ini juga
dirangsang oleh temperatur.
Gambar 1 – Jaras naik dan turun yang memodulasi pruritus, gambaran tersimplifikasi
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan bahwa
selsel keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor yang diduga
terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor)
dan reseptor vanilloid TRPV1 ; serta PAR 2 (proteinase activated receptor type 2),
juga kanal ATP berbasis voltase.
Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut saraf
intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal, bukan hanya
persarafan saja. TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang terkandung
dalam cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak bersama-sama dengan
TRPV1 dan menyebabkan endokanabioid juga dapat merangsang TRPV1 dan
memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus. Melaui jaras asenden,
stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri. Saat ini, melalui PET (ositron-
emission tomography) dan fMRI (functional MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan
terkuak bahwa girus singuli anterior (anterior singulate) dan korteks insula terlibat
dan berperan dalam “kesadaran” sensasi gatal6 , menyebabkan efek emosional
berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat
dalam inisasi tindakan menggaruk. Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila
serabut-serabut persarafan nosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan
nosiseptor polimodal terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri,
dan akan menginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun demikian,
setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada, maka sensasi
gatal akan muncul lagi. Perlu diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan
dari serabut saraf histamin positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal yang
dicetuskan oleh rangsangan nosiseptor polimodal. Pada hewan, ditemukan refleks
garuk (scratch reflexes) yang timbul akibat adanya eksitasi terhadap reseptor pruritus.
Fenomena refleks ini kontras dengan fenomena refleks tarik (withdrawal reflex)
apabila terjadi rangsang nyeri.
Jaringan perifer yang dapat membangkitkan gatal hanya kulit, membran mukosa,
dan kornea. Yang menarik adalah bahwa saraf di lapisan dalam dari dermis retikular
dan lemak subkutan tidak mentransmisikan sensasi gatal, dan penyakit inflamasi
terkait area ini, seperti panikulitis, akan membangkitkan sensasi nyeri bukan gatal.
Hilangnya epidermis akan menghilangkan persepsi pruritus, mengindikasikan bahwa
reseptor pruritus terletak paling banyak di lapisan ini. Pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya dan studi ultrastruktural kulit manusia menunjukkan adanya serabut saraf
intraepidermal dengan ujung saraf bebas hingga ke stratum granulosum. Banyak
serabut saraf epidermal menunjukkan hasil positif untuk pewarnaan neuropeptida
yang berperan dalm transmisi rasa gatal. Akhir-akhir ini, Mrgrps, turunan dari
reseptor terkait protein G, diekspresikan secara eksklusif di neuron sensorik perifer,
dan berfungsi sebagai reseptor gatal.
Kemajuan ilmu pengetahuan saat ini membantu pemahaman neurofisiologi gatal pada
dekade terakhir. Studi mikroneurografi dengan menggunakan bantuan stimulasi
elektrik mengindetifikasikan serabut saraf C yang sensitif terhadap histamin yang
berperan dalam transmisi sensasi gatal. Serabut saraf ini sensitif terhadap rangsang
pruritogenik dan termal, juga capsaicin, tetapi tidak berespons terhadap stimuli
mekanik. Respons terhadap stimuli gatal dan perubahan suhu menjadi perhatian
karena peningkatan suhu kulit akan menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap
rangsang gatal dan sebagian besar pasien mengeluhkan gatal menjadi lebih berat bila
berada pada lingkungan yang hangat. Pada gatal kronik, terjadi aktivitas spontan pada
serabut saraf C. Sebaliknya, sebagian besar serabut saraf C bersifat sensitif terhadap
stimuli mekanik dan panas, dan sama sekali tidak sensitif terhadap histamin.
Sensasi pruritus dapat sangat bervariasi dalam hal kualitas. Pasien dapat mengalami
sensasi terbakar atau tertusuk, tetapi korelasi psikologi maupun neurofisiologi
mengenai hal tersebut belum dapat dijelaskan.
Proses sentral rangsang gatal dipelajari dengan teknik neuroimaging seperti positron
emission tomography dan functional magnetic resonance imaging pada subjek sehat
dan pasien dermatitis atopik. Pada studi ini, ditunjukkan bahwa gatal yang diinduksi
oleh histamin melibatkan berbagai bagian otak yang berperan dalam fungsi sensorik
dan motorik, serta emosi. Sebuah studi menunjukkan proses sentral dari gatal pada
dermatitis atopi, berbeda dengan orang sehat. Korteks cinguli anterior dan posterior
serta korteks prefrontal lateral dorsal, yang terlibat dalam emosi, reward, dan memori
pengalaman negatif, secara signifikan teraktivasi pada pasien dengan dermatitis atopi,
namun tidak pada subjek sehat. Aktivasi precuneus, yang terletak dekat korteks
cinguli posterior, tampak khas untuk proses gatal, dan jarang ditemukan pada
gambaran nyeri. Precuneus terlibat dalam mengingat kembali memori episodik, dan
dapat dihubungkan dengan komponen afektif pada stimulus gatal.
2.7.1 ANAMNESIS
Lesi kulit sekunder terkait gejala gatal meliputi ekskoriasi, likenifikasi, hiper- dan
hipopigmentasi. Likenifikasi diakibatkan garukan atau gosokan terus-menerus, dan
terdiri atas plak tebal sirkumskrip dengan relief kulit yang makin jelas. Hipo atau
hiperpigmentasi pasca inflamasi sering ditemukan pada kulit tipe IV sampai VII. Plak
likenifikasi paling sering ditemukan di lokasi ynag mudah terjangkau pasien (leher
belakang / tengkuk, di bawah siku, pergelangan kaki, bokong, dan genitalia). Butterfly
sign terdiri atas kulit normal di tengah punggung yang dibatasi daerah berbentuk
seperti kupu-kupu, kontras dengan daerah hiperpigmentasi akibat garukan pasien.
Tanda ini muncul akibat ketidakmampuan pasien meraih punggung bagian tengah.
Kuku jari tangan yang mengkilat dapat disebabkan gosokan berulang. Nodus prurigo
adalah papul ekskoriasi yang membentuk nodul pada pasien dengan pruritus kronik.
Pada banyak kasus, tipe gatal ini disertai dengan sensasi nyeri dan terbakar, sugestif
untuk komponen neuropatik. Nodus prurigo sering terkait dengan tekanan stres
emosional dan kelainan obsesif kompulsif; meski demikian, lesi ini juga dapat
merupakan manifestasi gatal pada pasien dengan dermatitis atopik atau gagal ginjal
kronik. Nodul-nodul tersebut biasanya tersebar di bagian ekstensor dari ekstremitas.
Beberapa keadaan gatal memiliki pola klinis spesifik. Selain adanya gatal
yang hebat, urtikaria kronik biasanya tidak menunjukkan lesi sekunder akibat
garukan. Gatal neuropatik pada penyakit tertentu, seperti neuralgia pasca herpetik,
pruritus brakioradial dan notalgia parestesika, biasanya disertai nyeri dan rasa
terbakar. Dermatitis atopik juga dikaitkan dengan rasa terbakar setelah mengaaruk.
Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemeriksaan feses untuk ovum
dan parasite, pemeriksaan penyaring hepatitis B atau C, elektroforesis plasma protein
dan imunoelektroforesis. Pemeriksaan CT Scan toraks dan abdomen membantu
menyaring limfoma. Biopsi kulit tiak memastikan penyebab gatal dan berguna untuk
menyingkirkan penyakit kulit yang jelas seperti mastositosis sistemik, pemfigoid
bulosa atau cutaneous T cell lymphoma.
Beberapa diagnosis banding pruritus tanpa penyakit kulit primer dapat dilihat pada
tabel berikut:
2.7.5 KOMPLIKASI
Gatal dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara bermakna. Gangguan yang
terjadi berupa sulit tidur, sulit berkonsentrasi, penurunan fungsi seksual, agitasi, dan
depresi. Dapat terjadi infeksi sekunder akibat garukan, terutama pada pasien
dermatitis atopik. Sebuah studi multinasional pada pasien hemodialisis menunjukkan
bahwa pruritus berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas sebesar 17%.
1. DERMATITIS ATOPIK
Pruritus pada dermatitis atopik masih merupakan ranah yang kontroversial dan dasar
molecular gatal belum dapat dijelaska. Apakah gatal mendahului garukan, atau
sebaliknya masih belum dapat disimpulkan. Siklus gatal-garuk pada pasien dermatitis
atopi menyebabkan kerusakan kulit yang kemudian akan memperberat pruritus.
Alloknesis merupakan gejala utama pada dermatitis atopi. Hal tersebut menjelaskan
keluhan gatal saat perubahan suhu, berkeringat, mengenakan maupun tidak
mengenakan pakaian, dan saat kontak dengan bahan wol.
Pruritus sentral/ neurogenik pada dermatitis atopi disebabkan respons yang buruk
terhadap antihistamin H1, yang bersifat sedatif ringan. Intensitas gatal berhubungan
dengan faktor mental dan stres kognitif seperti kecemasan dan depresi. Garukan
nokturnal merupakan masalah yang terjadi selama fase tidur superfisial,
mengakibatkan gangguan tidur dan komplikasinya mengakibatkan kelelahan dan
mudah tersinggung. Sebagai terapi dapat diberikan peptida opioid.
2. PSORIASIS
Beberapa studi menunjukkan bahwa gatal sebagai gejala utama psoriasis. Diantara
seluruh pasien dengan psoriasis, 77% nya mengalami gatal pada kesehariannya.
Keluhan tersebut juga dapat terjadi pada daerah tubuh yang bebas lesi psoriasis. Pada
psoriasis, gatal di kulit kepala membutuhkan penanganan yang khusus dibanding gatal
pada area tubuh lainnya.
1. NEURALGIA PASCAHERPETIK
Neuralgia pascaherpetik (NPH) biasanya menyebabkan nyeri neuropatik dan
seringkali meninmbulkan gatal neuropatik pada 30-58% pasien. Pruritus dapat
menyertai infeksi herpes zoster akut dan NPH pada lesi di kepala, wajah, dan leher.
2. PRURITUS BRAKIORADIAL
Pruritus brakioradialis, suatu gatal terlokalisir, umum terjadi. Pruritus ini umum
ditemui pada pasien dengan kulit terang, usia paruh baya, memiliki aktivitas bermain
golf, tenis, berlayar, atau aktivitas di luar ruangan lain. Pruritus brakioradial akan
berkembang menjadi pruritus persisten pada lengan atas, siku, dan lengan bawah. Hal
ini disebabkan oleh kerusakan kulit akibat pajanan sinar matahari menahun dan
kekeringan pada kulit. Keluhan gatal disertai sensasi terbakar. Gatal dapat meluas.
Patofisiologi pruritus ini dipikirkan melibatkan kompresi akar saraf spinal C4-C6 dan
pada kasus jarang, berkaitan dengan tumor saraf spinal. Hingga saat ini, pajanan sinar
UV dipikirkan sebagai faktor pencetus
3. NOTALGIA PARESTETIKA
Pruritus merupakan salah satu gejala penyakit ginjal kronik (PGK) yang sangat
mengganggu. Pruritus mengenai 42% pasien hemodialisis (HD) berdasarkan laporan
Dialysis Oucome and Practice Pattern Study (DOPPS). Laporan DOPPS dan sebuah
penelitian besar di Jepang menunjukkan gatal yang berhubungan dengan PGK
memicu depresi, gangguan tidur dan peningkatan mortalitas. Penggarukan sering
terjadi dan pasien mengalami ekskoriasi yang berat, likenifikasi, atau berupa nodul
prurigo. Punggung dan lengan tempat fistula arteriovenosa sering terkena pada pasien
dialisis. Pasien pruritus yang berhubungan dengan PGK sering memiliki kulit kering
namun pemberian emolien hanya memberikan perbaikan minimal.
Faktor etiologi lain dapat berupa peningkatan kadar kalsium, pelepasan sitokin
pruritogenik selama HD, kerusakan pada serabut saraf C, proliferasi pada ujung saraf
sensorik pada kulit, peningkatan jumlah sel mast pada dermis, peningkatan kadar
histamin plasma, hiperparatiroidisme sekunder, dan kadar kation divalen yang
abnormal. Hiperparatirodisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal sering
dijumpai namun jarang menyebabkan pruritus ginjal. Proliferasi yang terjadi pada
ujung saraf pada kulit merupakan respons terhadap garukan dan gosokan berulang.
Peningkatan kadar histamin dengan atau tanpa peningkatan jumlah sel mast di dermis,
sepertinya juga tidak terlalu penting karena antihistamin jarang efektif.
Pruritus akibat kolestasis sangat mengganggu. Tanda khas klinis pruritus kolestasis
adalah gatal dimulai dan paling berat terjadi pada telapak tangan dan telapak kaki,
yang biasanya tidak dilaporkan pada penyakit lain, yang kemudian menjadi
generalisata. Gatal yang sangat berat pada penyakit hati dapat merupakan indikasi
transplantasi hati, walaupun tidak ada tanda gagal hati fulminan. Mekanisme sentral
dan perifer berperan penting. Pruritus berhubungan dengan kadar plasma empedu
yang tinggi, namun sedikit atau tidak terdapat bukti akan adanya korelasi antara
konsentrasi garam empedu pada kulit atau serum dengan gatal yang terjadi, walaupun
pemberian kolesteramin yang menurunkan kadar garam empedu, dapat memberikan
perbaikan gejala. Pasien juga mengalami peningkatan kadar plasma opioid dan
pruritus dapat perbaikan pada pemberian antagonis opioid seperti nalokson,
naltrekson dan butorfanol. Selain itu, pada hewan uji coba dengan kolestasis terdapat
hubungan antara peningkatan kadar peptide opioid dan garukan, dan perbaikan
dengan naloxone. Jadi, kombinasi penurun garam empedu dan opioid dapat menjadi
terapi pruritus kolestasis.
Gatal generalisata yang sangat berat merupakan ciri dan gejala pada tirotoksikosis.
Hal ini diduga terkait peningkatan jumlah aliran darah, yang meningkatkan suhu kulit
sehingga terjadi penurunan ambang gatal pada kulit. Hipotiroidisme lebih jarang
terjadi gatal. Gatal generalisata bukan gejala pasien diabetes mellitus.Gatal lokal pada
skalp dan ekstremitas bawah dalam bentuk liken simpleks kronik dapat juga
merupakan manifestasi neuropati diabetik. Selain itu, gatal pada badan tanpa
penyebab yang pasti sering dikaitkan dengan diabetes dan neuropati diabetik.
Gatal dapat menjadi gejala umum pada kelainan hematologi. Pada limfoma sel-T
kulit yang luas dan limfoma sel-T kulit tipe eritroderma termasuk sindrome Sezary
(leukemia sel T), gatal yang sangat berat sulit diatasi. Pada pasien polisitemia vera,
gatal juga terjadi pada 50% pasien, dan seringkali dicetuskan akibat adanya kotak
dengan air (bath itch) dan dikaitkan dengan peningkatan kadar histamin darah. Pada
penyakit limfoproliferatif lainnya, gatal juga dapat dipicu oleh kontak dengan air.
Pada penyakit Hodgkin, gatal muncul pada 15-19% pasien. Pruritus juga dapat terjadi
pada limfoma non Hodgkin. Data terbaru menunjukkan abnormalitas fungsi sel mast
pada pasien dengan penyakit mieloproliferatif, dengan adanya peningkatan pelepasan
faktor pruritogenik. seperti IL-31, histamin, dan leukotrien, ketika dibandingkan
dengan sel mast normal. Pada mastositosis kutan, gatal sering terjadi lanjutan dari
garukan, walaupun dapat meluas pada kasus berat, dimana biasanya berhubungan
dengan gejala sistemik. Gatal dapat juga terjadi pada pasien leukemia mieloid dan
limfatik,serta mielodisplasia.
5. PRURITUS PARANEOPLASTIK
Gatal kronik dapat terjadi pada keganasan hematologi maupun tumor solid. Gejala
tersebut dapat muncul bertahun-tahun sebelum gejala tumor terdeteksi. Gatal dapat
juga terjadi sebagai bagian dari tanda penyakit kulit epidermal atau dermal primer
yang berhubungan dengan keganasan, seperti keratosis seboroik eruptif,
dermatomiositis akantosis nigrikans maligna, eritroderma, dermatosis akantolitik
transien (penyakit Grover) dan dermatomiositis. Onset pruritus pada usia pertengahan
atau usia tua dengan kulit yang normal menyebabkan perlu dilakukan investigasi
apakah adanya penyakit sistemik yang mendasarinya, termasuk neoplasia internal,
walaupun penyebab yang jarang.
Gatal merupakan gejala awal penyakit HIV dan dapat berhubungan dengan penyakit
kulit atau penyakit sistemik (ginjal, hati, reaksi obat, limfoma, infeksi kulit dan
sistemik termasuk Staphylococcus aureus dan Pityrosporum). Gatal juga dapat terjadi
sebagai gejala primer HIV. Kelainan yang paling sering ditemukan adalah folikulitis
eosinofilik. Tipe umum lain gatal pada HIV berupa reaksi hipersensitivitas gigitan
serangga, papul pruritik, xerosis kutis, dermatitis likenoid, dan dapat juga sebagai
eksaserbasi dermatitis seboroik dan psoriasis.
Prevalensi pruritus pada pasien rawat psikiatri sekitar 42% berhubungan dengan stress
psikososial. Pasien dengan depresi, fibromialgia, dan penyakit somatoform lain dapat
menderita gatal derajat berat yang memberi respon baik terhadap selektif serotonin
reuptake inhibitor (SSRIs). Delusional Parasitosis juga merupakan tipe gatal yang
sulit diatasi. Pasien seringkali menganggap gatal yang terajdi disebabkan oleh infeksi
parasit walaupun secara klinis tidak ditemukan parasit. Pasien sering membawa bukti
dalam bentuk fragmen, walaupun pada pemeriksaan hanya ditemukan debris non
spesifik. Pasien sering menolak berobat ke psikiatri. Delusi parasitosis dapat diatasi
dengan agen antipsikotik seperti pimozide yang sering digunakan oleh ahli
dermatologi. Olanzapin (5 mg/hari) juga merupakan pilihan lain untuk mengatasi
gatal psikogenik yang berat. Pruritus lokal dalam bentuk prurigo nodularis atau
pruritus anogenital dapat menjadi manifestasi penyakit obsesif-kompulsif dan juga
ansietas.
Gatal merupakan gejala kulit yang paling sering ditemukan pada usia di atas 65 tahun.
Setidaknya 50% pasien berusia 70 tahun atau lebih tua menderita pruritus
berkepanjangan yang sangat mengganggu. Gatal idiopatik atau sering secara tidak
sesuai disebut pruritus senilis, sering merupakan suatu tantangan dalam diagnosis dan
terapi. Gatal pada kulit menua dapat disebabkan oleh berbagai faktor meliputi kulit
kering, penyakit inflamasi seperti eksema dan skabies, ataupun penyakit sistemik
(kolestasis dan gagal ginjal). Beberapa obat-obatan (opioid, angiotensin
convertingenzim inhibitor) dapat menginduksi pruritus tanpa menimbulkan lesi kulit.
Walaupun pada banyak kasus, penyebabnya tidak dapat ditemukan. Walaupun kulit
kering merupakan faktor yang berperan, dapat juga bukan penyebab pruritus, banyak
pasien usia lanjut dengan kulit menua tanpa xerosis. Faktor lain yang juga berperan
penting antara lain perubahan serabut saraf dan kehilangan input dari serabut nyeri
yang menyebabkan disinhibisi gatal sentral. Perubahan lain yang dapat menyebabkan
gatal adalah penurunan lipid permukaan kulit, penurunan klirensmaterial dari dermis
yang diabsorbsi secara transepidermal, penurunan produksi keringat dan sebum, dan
berkurangnya perbaikan barier.
Skar luka bakar sering terjadi pada anak-anak dan dewasa dan terkait dengan pruritus
yang signifikan. Tingkat prevalensi gatal dari ringan hingga berat pada bulan ke 3, 12,
dan 24 setelah luka bakar terjadi yaitu 87%, 70%, dan 67%. Dibandingkan dengan
kulit sehat, burn graft skin menunjukkan peningkatan serabut saraf SP serta
peningkatan ambang luka tusuk, panas, raba, dan getar. Keloid sering dikaitkan
dengan rasa gatal pada bagian perifer dan dapat terasa nyeri pada bagian tengah. Hal
ini mungkin dikarenakan terperangkapnya serabut-serabut saraf kecil.
3. PRURITUS AKUAGENIK
Pertama kali dikenalkan oleh Shelley dan digambarkan oleh Graves dkk, pruritus
akuagenik adalah pruritus yang jarang terjadi, sangat berat, etiologinya belum
diketahui, dan ditemukan pada usia pertengahan hingga usia lanjut. Gejala khasnya,
adanya gatal lokal tanpa disertai kelainan kulit yang nyata dan dipicu kontak dengan
air. Seringkali dikaitkan dengan penyakit limfoproliferatif seperti polisitemia vera.
Sayangnya, belum ada obat anti pruritus yang bersifat umum. Tata laksana pruritus
tergantung kepada identifikasi dan menyingkirkan penyebab, baik sistemik maupun
lokal di kulit. Harapan palsu dengan terapi dengan efektivitas yang baik untuk pasien
tanpa penyebab yang jelas tidak boleh diberikan. Baru-baru ini agonis reseptor opioid
kappa, nalfurafine, di Jepang secara resmi disetujui untuk penggunaan klinis pada
pruritus terkait CKD. Efektivitas obat ini pada pruritus yang terkait kondisi lain masih
perlu penjelasan lebih lanjut. Penting untuk mengetahui riwayat terperinci, termasuk
kualitas, waktu dan distribusi gatal, sehingga terapi dapat lebih terfokus. Sensasi gatal
meningkat bila kulit hangat, sehingga perlu untuk mendinginkan kulit dengan cara
mandi, mamakai pakaian tipis dan menggunakan pendingin udara bila diperlukan.
Losio pendingin seperti calamin maupun mentol 1% dapat membantu. Sebagai
catatan, sekelompok pasien gatal kronik melaporkan mandi dengan air hangat
meringankan gejala untuk beberapa jam. Langkah terapi untuk pruritus generalisata
ditampilkan pada gambar 103-3.
Salisilat topikal
Uji klinik telah membuktikan pengolesan solusi asam salisilat topikal pada kulit dapat
mengurangi pruritus. Asam salisilat topikal merupakan agen keratolitik, dapat
meningkatkan hidrasi dan melunakkan stratum korneum dengan menurunkan pH.
Aspirin topikal menurunkan secara signifikan pruritus pasien liken simpleks kronik-
bentuk pruritus lokal; namun salisilat oral tidak meringankan gatal kecuali pada
polisitemia vera.
Imunomodulator topikal
Meskipun imunomodulator topikal, seperti takrolimus maupun pimekrolimus,
awalnya sering digunakan terutama pada dermatitis atopi, pengobatan ini diharapkan
dapat digunakan pada penyakit lain. Pruritus pada dermatitis iritan kronik di tangan,
dematitis seboroik, penyakit graft-vs-host, liken sklerosus, pruritus anogenital dan
prurigo nodularis dapat diobati secara baik dengan inhibitor kalsineurin topikal.
Takrolimus dan pimekrolimus mempengaruhi secara langsung terhadap serabut saraf
C.
Capsaicin
Polidocanol
Merupakan surfaktan non-ion dengan efek anestesi dan melembabkan. Sebuah uji
klinis melaporkan kombinasi urea 5% dan polidocanol 3% (Lauromacrogol) terbukti
mengurangi pruritus secara signifikan pada pasien dermatitis atopi, dermatitis kontak
dan psoriasis.
Antihistamin topikal
Doxepin merupakan antidepresi trisiklik dengan kandungan AH1 dan AH2 poten dan
memiliki efek samping seperti atropin (antikolinergik). Pada uji besar tersamar ganda
plasebo kontrol, Doxepin 5% krim dilaporkan dapat meredakan pruritus pada pasien
dermatitis atopi. Walaupun absorpsi perkutan, menyebabkan efek samping mengantuk
dilaporkan terjadi pada 25% pasien. Efek samping lain adalah dermatitis kontak
alergi.
Kanabinoid topikal
Kombinasi Kanabinoid topikal dan krim barier dilaporkan memiliki efek antipruritus
pada pasien dermatitis atopi dan pruritus uremik pada uji klinis tanpa kontrol.
Antihistamin
Pruritus oleh histamin dimediasi oleh reseptor H1. Antihistamin H2 tidak efektif
mengurangi gatal. Antihistamin H1 generasi satu (klasik) berdaya kerja seperti atropin
(antikolinergik) dan bersifat sedatif. Generasi dua antihistamin H1 (sedasi ringan)
memiliki lipofilisitas lebih rendah dan efek samping minimal. Antihistamin sedatif
(generasi satu) bermanfaat pada pasien urtikaria kronik berat dengan arau tanpa
angioedem sebab menekan gatal dan kecemasan, yaitu hidroksisizin dan doxepin.
Antihistamin H1 generasi kedua dapat digunakan di siang hari pada pasien urtikaria.
Namun, peranan non sedasi AH terbatas pada kelainan pruritus lainnya.
Antidepresan
Antidepresi oral dan inhibitor re-uptake noropinephrine selektif, mirtazapine, efektif
mengatasi gatal pada beberapa pasien. Tidak seperti SSRIs lainya, mirtazapin
merupakan inhibitor nonadrenergik α2 presinaptik sentral dan antidepresi
serotonergik spesifik. Bersifat relatif aman tanpa efek samping serius dan dapat
menjadi pilihan terapi pruritus nokturnal. Efektif mengatasi pruritus sistemik,
penyakiyt kulit inflamasi dan khususnya pruritus nokturnal dengan dosis rendah 15
mg pada malam hari. Pada studi open label terbaru, inhibitor re-uptake
noropinephrine lain, paroxetik dan fluvoxamin juga efektif mengatasi pruritus kronik.
Talidomid
Efektif sebagai antipruritus pada penyakit kulit inflamasi, seperti prurigo nodularis,
prurigo aktinik, eksema dan pruritus idiopatik pada orang tua. Secara khusus efektif
mengatasi pruritus pada pasien multipel mieloma dan penyakit limfoproliferatif.
Talidomid telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai agen imunomodulator.
Aktivitas antipruritus berkaitan dengan beberapa mekanisme, termasuk menghambat
sintesis TNF-α. Meskipun TNF-α tidak memiliki efek pruritogenik langsung, namun
kadarnya meningkat pada banyak penyakit kulit pruritik. Talidomid juga dapat secara
langsung menekan saraf perifer dan sentral. Efek samping utama adalah neuropati
perifer dan bersifat teratogenik.
Neuroleptik
Gabapentin, analog dari neurotransmitter asam γ-aminobutyric memiliki efek anti
pruritus dan digunakan sebagai anti kejang, dengan mekanisme di SSP masih kurang
diketahui. Gabapentin efektif mengatasi pruritus brakhioradial, pruritus multipel
sklerosis dan pruritus neuropatik lainnya seperti pruritus uremik. Gabapentin
mengubah sensasi dan pruritus yang terkait kerusakan nervus pada penyakit kulit dan
sistemik. Gabapentin dapat menghambat jalur pruritus sentral demikian juga pada
sensasi nyeri. Pregabalin merupakan terapi nyeri neuropatik yang memiliki struktur
dan fungsi yang sama dengan gabapentin dengan efek samping yang lebih sedikit dan
dapat mengatasi pruritus neuropatik atau mengubah sensasi pruritus pada penyakit
sistemik.
Fototerapi
Telah digunakan selama lebih dari 3 dekade untuk mengatasi berbagai tipe pruritus.
Riset menyatakan Narrow Band-UVB sama efektifnya dengan Broad Band -UVB
atau PUVA dalam mengatasi pruritus. Fototerapi mengurangi kepadatan sel mast
dengan cara menginduksi apoptosis, menyebabkan disfungsi nervus perifer dan
mengurangi kation bivalen kulit. Fototerapi efektif mengatasi pruritus pada pasien
dermatitis atopi, psoriasis dan CKD. Remisi dapat bertahan sampai 18 bulan.
Pruritus kronik berperan dengan stres dan faktor psikogenik. Diketahui bahwa pada
individu dermatitis atopik menunjukkan respon simpatomimetik dan
parasimpatomimetik abnormal terhadap sensasi gatal dan stres psikis. Terapi perilaku
dapat menurunkan gatal dan garukan. Intervensi lainnya adalah dengan menurunkan
stres dan biofeedback. Mengurangi stres dapat dilakukan dengan terapi meditasi yang
dapat menjadi terapi penunjang guna mengurangi intensitas gatal.
KEPUSTAKAAN
1.Yosipovitch G, Patel TS. Pathophysiology and clinical aspect of pruritus. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in
General medicine. 8th edition. New York: McGraw-Hill; 2012:1146-58