Anda di halaman 1dari 28

Diskusi Pengayaan Tahap 1

Patofisiologi Pruritus

Oleh :

dr. Aisha Triani

dr.Adianto Jaya Nagara

dr. Redha Cipta utama

Pembimbing:

Dr. dr. Qaira Anum, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RSUP DR. M. DJAMIL


PADANG
BAB 1
PENDAHULUAN

Pruritus atau gatal merupakan gejala utama penyakit kulit dan dapat didefinisikan
sebagai suatu sensasi yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk. Setiap manusia
pasti pernah mengalami hal ini. Penting untuk membedakan apakah gatal bersifat akut
(dengan onset detik hingga minggu seperti pada gigitan serangga) atau kronik (onset
bulanan). Gatal kronik merupakan fenomena multidimensi yang terdiri atas aspek
sensori, emosi, dan kognitif. Pada kebanyakan kasus, gatal kronik terjadi akibat
interaksi aksis otak-kulit. Meski gatal dan nyeri merupakan dua sensasi yang berbeda,
keduanya memiliki banyak kesamaan.  Keduanya merupakan sensasi tidak nyaman,
melibatkan jaras persarafan yang sama, dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup
pasien. Meski demikian, pola respons perilaku yang terbentuk berbeda. Nyeri akan
membangkitkan refleks withdrawal, sementara gatal membangkitkan refleks
menggaruk. . Konsep bahwa gatal ditransmisikan ke sistem saraf pusat (SSP) dan
diproses di otak, membuka wawasan pendekatan baru dalam terapi antipruritus.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPIDEMIOLOGI
Gatal lebih merupakan gejala dibandingkan suatu penyakit, oleh karena itu data
epidemiologi menjadi terbatas. Pada sebuah studi potong lintang besar di Norwegia,
prevalensi pruritus diperkirakan 8% pada kelompok usia dewasa. Gatal merupakan
gejala utama dari sebagian besar penyakit kulit. Prevalensi gatal pada berbagai
penyakit kulit dan sistemik dapat dilihat pada gambar di bawah.

2.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Gatal dapat berasal dari kulit atau dari SSP. Tidak terdapat klasifikasi definitif
yang menjelaskan pruritus. Klasifikasi yang diajukan oleh The International Forum
for the Study of Itch (IFSI) membedakan pruritus menjadi tiga kelompok yakni:

 Kelompok I: Pruritus pada kelainan kulit (inflamasi)

 Kelompok II: Pruritus pada selain kelainan kulit (tidak inflamasi)

 Kelompok III: Pruritus dengan gambaran lesi akibat garukan kronis, seperti
prurigo nodularis
Pada beberapa pasien, gatal dapat disebabkan oleh lebih dari satu penyebab (kategori:
“campuran”), sementara pada kelompok pasien lainnya, tidak terdapat penyakit yang
dapat diidentifikasi. Gatal akut dan kronik perlu dibedakan karena terapi yang
mengurangi gatal sementara biasanya tidak dapat ditujukan kepada proses patologis
yang mendasari gatal kronik.
Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu
terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di dekat junction
dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal
korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang
ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di
thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke
pusat persepsi di korteks serebri.
Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C
tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang merupakan
polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor merupakan
serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan kimiawi.
Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus mekanik, namun
memberi respon terhadap stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini
merupakan pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama
dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A merupakan penghantar sinyal saraf yang
cepat. Kecepatan hantarannya mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf C
merupakan penghantar sinyal saraf yang lambat. Kecepatan hantarannya hanya
12m/detik, terlebih lagi pada serabut saraf C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik.
Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat
setelah stimulus terjadi.
Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik perhatian
terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild surface stimuli), sehingga
diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu terjadi. Namun demikian, seiring
dengan perkembangan ilmu kedokteran dan penemuan teknik mikroneurografi (di
mana potensial aksi serabut saraf C dapat diukur menggunakan elektroda kaca yang
sangat halus) berhasil menemukan serabut saraf yang terspesiaslisasi untuk
menghantarkan impuls gatal, dan dengan demikian telah mengubah paradigma bahwa
pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala ringan. Saraf yang menghantarkan
sensasi gatal (dan geli, tickling sensation) merupakan saraf yang sama seperti yang
digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut
saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer,
maupun di sistem saraf pusat. Ini merupakan serabut saraf tipe C – tak termielinasi.
Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketika
dilakukan blokade terhadap penghantaran saraf nyeri dalam prosedur anestesi.Namun
demikian, telah ditemukan pula saraf yang hanya menghantarkan sensasi pruritus.
Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf tipe C adalah nosiseptor polimodal (merespons
stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan
nosiseptor mekano-insensitif, yang tidak dirangsang oleh stimulus mekanik namun
oleh stimulus kimiawi.
Dari 20% serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan
histamin negatif), sedangkan hanya 5% yang histamine positif dan merangsang gatal.
Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang paling banyak dipelajari saat ini.
Selain dirangsang oleh pruritogen seperti histamin, serabut saraf yang terakhir ini juga
dirangsang oleh temperatur.

Gambar 1 – Jaras naik dan turun yang memodulasi pruritus, gambaran tersimplifikasi
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan bahwa
selsel keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor yang diduga
terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor)
dan reseptor vanilloid TRPV1 ; serta PAR 2 (proteinase activated receptor type 2),
juga kanal ATP berbasis voltase.
Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut saraf
intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal, bukan hanya
persarafan saja. TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang terkandung
dalam cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak bersama-sama dengan
TRPV1 dan menyebabkan endokanabioid juga dapat merangsang TRPV1 dan
memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus. Melaui jaras asenden,
stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri. Saat ini, melalui PET (ositron-
emission tomography) dan fMRI (functional MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan
terkuak bahwa girus singuli anterior (anterior singulate) dan korteks insula terlibat
dan berperan dalam “kesadaran” sensasi gatal6 , menyebabkan efek emosional
berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat
dalam inisasi tindakan menggaruk. Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila
serabut-serabut persarafan nosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan
nosiseptor polimodal terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri,
dan akan menginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun demikian,
setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada, maka sensasi
gatal akan muncul lagi. Perlu diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan
dari serabut saraf histamin positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal yang
dicetuskan oleh rangsangan nosiseptor polimodal. Pada hewan, ditemukan refleks
garuk (scratch reflexes) yang timbul akibat adanya eksitasi terhadap reseptor pruritus.
Fenomena refleks ini kontras dengan fenomena refleks tarik (withdrawal reflex)
apabila terjadi rangsang nyeri.

Keterlibatan Pemrosesan Sensasi Gatal di Sistem Pusat Melaui jaras asenden,


stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri. Saat ini, melalui PET (ositron-
emission tomography) dan fMRI (functional MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan
terkuak bahwa girus singuli anterior (anterior singulate) dan korteks insula terlibat
dan berperan dalam “kesadaran” sensasi gatal , menyebabkan efek emosional
berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat
dalam inisasi tindakan menggaruk. Selain itu, korteks prefrontal, orbitofrontal,
serebelum, dan periaqueductal gray diketahui memiliki keterlibatan dalam pruritus.
Endovanilloid dan endokanabinoid ditemukan di sistem pusat dan dapat meregulasi
TPRV1 secara terpusat. Kontras terhadap kejadian gatal yang muncul di perifer, gatal
sentral adalah kopmleks dan belum dimengerti secara mendalam. Gatal jenis ini
dipersepsi terjadi di kulit, namun tidak diinisiasi dari kulit melainkan berasal dari
sistem saraf pusat. Gatal jenis ini cenderung diakibatkan disfungsi proses dari
informasi sensoris di jaras pusat. Terjadi interaksi kompleks antara eksitasi di perifer
dengan disinhibisi (dis-, menegatifkan kata inhibisi) pusat. Peptida opioid selain
bekerja di perifer, juga berperan penting di pusat. Morfin, sebagai contoh, dapat
mengurangi rasa nyeri, namun meningkatkan rangsang gatal. Nalokson (atau peptida-
µ opioid lain) justru mengurangi rasa gatal. Peptida ini memodulasi kanal ion kalsium
di serabut saraf C yang terletak di sistem saraf pusat. µ(miu) opioid menginhibisi
pruritus central, sementara κ(kappa)-opioid memiliki efek antirpruritus. Dengan
diketahui mekanisme ini, ketidakseimbangan kedua sistem ini di sistem saraf pusat
dapat menimbulkan pruritus sentral. Mekanisme ini juga menjadi dasar penggunaan
obat-obat antipruritus secara efek farmakologis.

Mediator yang Berperan Dalam Gatal Pruritoseptif


Senyawa terpenting adalah histamin. Histamin merupakan produk degranulasi
sel mast dan basofil, selain dapat dihasilkan oleh makrofag dan limfosit. Jenis
histamin H1 ditemukan menyebabkan gatal. Histamin banyak dilepaskan setelah
terjadi cidera yang melibatkan dermal. Sementara itu, reseptor H3 terlibat dalam
modulasi gatal, dan bekerja antagonis dengan H1. H4 juga dapat menyebabkan gatal.
Serotonin terutama terlibat dalam gatal pusat, dan mungkin berperan dalam gatal
neurogenik pada pasien uremia (gagal ginjal). Keduanya merupakan golongan
amina.Asetilkolin, bekerja melalui reseptor muskarinik, menyebabkan gatal di
individu atopik; dan sensasi terbakar di individu non-atopik. Pada penderita dermatitis
atopik, ACh yang dihasilkan oleh keratinosit akibat inflamasi dapat mencetuskan rasa
gatal.6
Eikosanoid dilepaskan oleh infiltrat leukosit dan sel mast, dan bekerja dengan
mengaktifkan TRPV1 dan TRPV4. Prostaglandin mengurangi ambang letup gatal
akibat eikosanoid (memudahkan tiimbulnya gatal). Sebagai contoh, endovanniloid
mengaktifkan TRPV1 dengan memengaruhi kanal ion kalsium terutama di sel neuron
dan non-neuronal (termasuk keratinosit), sehingga meningkatkan kecenderungan
untuk gatal. Aktivasi TRPV1 keratinosit menyebabkan pelepasan mediator
pruritogenik. Penggunaan vanniloid topikal (seperti capsaicin) mendesensitisasi
TRPV1 baik neuronal maupun non-neuronal, sehingga melawan aktivitas pruritogenik
dan mencegah timbulnya gatal.
Sitokin, seperti IL-2 dan IL-31 terlibat dalam pruritus. IL-2 terutama adalah
penginduksi yang poten, sementara IL-31 ditemukan menyebabkan pruritus
di individu atopik yang overekspresi IL-31.
NEUROPEPTIDA yang terpenting adalah substansi P (SP) yang dihasilkan akibat
aktivasi serabut saraf C (disebut dengan refleks aksonal), selain juga akan melepaskan
mediator eikosanoid inflamasi dan histamin. Substansi P akan meningkat jumlahnya
apabila terjadi inflamasi, sehingga zat ini adalah salah satu mediator terpenting yang
berperan dalam gatal akibat inflamasi. Substansi P secara selektif menyebabkan
pelepasan histamin oleh sel mast. Aktivitasnya menurun akibat stress, serta meningkat
akibat penuaan dan keadaan malam. CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) juga
neurotransmiter golongan péptida utama, disamping neuropeptida lain seperti VIP
(Vasoactive intestinal peptide), endothelin, neurotensin, dan neurotrophin, serta
neurokinin A (NKA). Neurotrophin, seperti NGF bekerja dengan menurunkan
ambang gatal, meningkatkan regulasi reseptor vanilloid, serta meningkatkan produksi
substansi P. Berperan terutama pada gatl akibat dermatitis atopik. Menggaruk
Memodulasi dan Meregulasi Gatal Tindakan menggaruk (scratching) merupakan
tindakan yang mengaktivasi serabut saraf A-β termielinasi yang akan menekan proses
rangsang gatal di tingkat substansia gelatinosa korda spinalis dan mengaktivasinya.
Mekanisme modulasi gatal pada umumnya menggunakan sistem gerbang (gated
mechanism) Selain itu, akar dorsal juga menerima sinyal inhibisi dari daerah
periakuaduktus otak tengah. Selain itu, menggaruk akan merangsang serabut saraf C
polimodal yang akan menimbulkan impuls nyeri dan menginhibisi timbulnya impuls
gatal.

2.3 SIKLUS GATAL GARUK


Gatal dan menggaruk terkait satu sama lain baik pada gatal akut maupun kronik.
Gatal diduga merupakan mekanisme pertahanan hewan untuk mengeliminasi parasit
diantara kulitnya yang berambut. Menggaruk juga merupakan reaksi dari rangsang
gatal. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa garukan yang berulang akan
mengaktivasi korteks prefrontal, yaitu daerah di otak yang mengatur tindakan dan
sistem habituasi. Garukan repetitif pada keadaan kronik seperti dermatitis atopik dan
psoriasis akan menimbulkan kerusakan pada kulit dan mengakibatkan sekresi
berbagai neuropeptide dan opiate yang kemudian akan memperkuat terjadinya siklus
gatal-garuk ini.
2.4 TRANSMISI GATAL PADA KULIT

Jaringan perifer yang dapat membangkitkan gatal hanya kulit, membran mukosa,
dan kornea. Yang menarik adalah bahwa saraf di lapisan dalam dari dermis retikular
dan lemak subkutan tidak mentransmisikan sensasi gatal, dan penyakit inflamasi
terkait area ini, seperti panikulitis, akan membangkitkan sensasi nyeri bukan gatal.
Hilangnya epidermis akan menghilangkan persepsi pruritus, mengindikasikan bahwa
reseptor pruritus terletak paling banyak di lapisan ini. Pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya dan studi ultrastruktural kulit manusia menunjukkan adanya serabut saraf
intraepidermal dengan ujung saraf bebas hingga ke stratum granulosum. Banyak
serabut saraf epidermal menunjukkan hasil positif untuk pewarnaan neuropeptida
yang berperan dalm transmisi rasa gatal. Akhir-akhir ini, Mrgrps, turunan dari
reseptor terkait protein G, diekspresikan secara eksklusif di neuron sensorik perifer,
dan berfungsi sebagai reseptor gatal.

Keratinosit mengekspresikan bermacam-macam reseptor dan mediator neural, yang


semuanya terlibat dalam timbulnya sensasi gatal. Mediator yang dimaksud mencakup
opioid, protease, substansi P (SP), nerve growth factor (NGF), dan neurotrophon 4.
Sedangkan reseptor yang dimaksud adalah reseptor opioid  dan , proteinase
activated receptor-2 (PAR-2), reseptor vanilloid, tropomyosin-related kinase A
(TRKA), transient receptor potential vanilloid (TRPV) ion channels, gastrin
releasing peptide receptor, dan cannabinoid receptors 1 dan 2. Keratinosit juga
memiliki kanal ion berupa voltage gated adenosine triphosphate channels dan
reseptor adenosine yang sama dengan serabut saraf C. Karena kanal-kanal tersebut
berperan dalam timbulnya sensasi nyeri, temuan ini menunjukkan bahwa keratinosit
dapat berperan sebagai reseptor gatal.

2.5 SERABUT SARAF C, SERABUT KHUSUS UNTUK SENSASI GATAL

Kemajuan ilmu pengetahuan saat ini membantu pemahaman neurofisiologi gatal pada
dekade terakhir. Studi mikroneurografi dengan menggunakan bantuan stimulasi
elektrik mengindetifikasikan serabut saraf C yang sensitif terhadap histamin yang
berperan dalam transmisi sensasi gatal. Serabut saraf ini sensitif terhadap rangsang
pruritogenik dan termal, juga capsaicin, tetapi tidak berespons terhadap stimuli
mekanik. Respons terhadap stimuli gatal dan perubahan suhu menjadi perhatian
karena peningkatan suhu kulit akan menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap
rangsang gatal dan sebagian besar pasien mengeluhkan gatal menjadi lebih berat bila
berada pada lingkungan yang hangat. Pada gatal kronik, terjadi aktivitas spontan pada
serabut saraf C. Sebaliknya, sebagian besar serabut saraf C bersifat sensitif terhadap
stimuli mekanik dan panas, dan sama sekali tidak sensitif terhadap histamin.

Sensasi pruritus dapat sangat bervariasi dalam hal kualitas. Pasien dapat mengalami
sensasi terbakar atau tertusuk, tetapi korelasi psikologi maupun neurofisiologi
mengenai hal tersebut belum dapat dijelaskan.

2.6 PEMROSESAN SENTRAL RANGSANG GATAL

Proses sentral rangsang gatal dipelajari dengan teknik neuroimaging seperti positron
emission tomography dan functional magnetic resonance imaging pada subjek sehat
dan pasien dermatitis atopik. Pada studi ini, ditunjukkan bahwa gatal yang diinduksi
oleh histamin melibatkan berbagai bagian otak yang berperan dalam fungsi sensorik
dan motorik, serta emosi. Sebuah studi menunjukkan proses sentral dari gatal pada
dermatitis atopi, berbeda dengan orang sehat. Korteks cinguli anterior dan posterior
serta korteks prefrontal lateral dorsal, yang terlibat dalam emosi, reward, dan memori
pengalaman negatif, secara signifikan teraktivasi pada pasien dengan dermatitis atopi,
namun tidak pada subjek sehat. Aktivasi precuneus, yang terletak dekat korteks
cinguli posterior, tampak khas untuk proses gatal, dan jarang ditemukan pada
gambaran nyeri. Precuneus terlibat dalam mengingat kembali memori episodik, dan
dapat dihubungkan dengan komponen afektif pada stimulus gatal.

2.7 TEMUAN KLINIS

2.7.1 ANAMNESIS

Anamnesis lengkap diperlukan guna menentukan penyebab pruritus apakah akibat


penyakit kulit primer atau penyakit sistemik. Selain itu, dapat membedakan pruritus
generalisata atau lokalisata. Anamnesis sistematis mengenai riwayat obat yang
dikonsumsi dan pemeriksaan fisis, sifat gatal mencakup pemeriksaan kelenjar getah
bening merupakan titik masuk pendekatan gatal. Anamnesis juga harus
mempertimbangkan aspek multidimensi gatal serta mencakup derajat, lokasi, dan
waktu terjadinya gatal. Pasien dengan pruritus generalisata dan riwayat keluarga
mengalami hal serupa diasumsikan mengalami skabies, hingga terbukti tidak
menderita skabies. Pasien dengan gatal terlokalisir, khususnya dengan distribusi
dermatomal dan disertai dengan keluhan sensoris lainnya seperti sensasi terbakar,
hilangnya sensasi, atau nyeri sebaiknya dievaluasi secara cermat untuk gatal
neuropatik.

2.7.2 LESI KULIT

Lesi kulit sekunder terkait gejala gatal meliputi ekskoriasi, likenifikasi, hiper- dan
hipopigmentasi. Likenifikasi diakibatkan garukan atau gosokan terus-menerus, dan
terdiri atas plak tebal sirkumskrip dengan relief kulit yang makin jelas. Hipo atau
hiperpigmentasi pasca inflamasi sering ditemukan pada kulit tipe IV sampai VII. Plak
likenifikasi paling sering ditemukan di lokasi ynag mudah terjangkau pasien (leher
belakang / tengkuk, di bawah siku, pergelangan kaki, bokong, dan genitalia). Butterfly
sign terdiri atas kulit normal di tengah punggung yang dibatasi daerah berbentuk
seperti kupu-kupu, kontras dengan daerah hiperpigmentasi akibat garukan pasien.
Tanda ini muncul akibat ketidakmampuan pasien meraih punggung bagian tengah.
Kuku jari tangan yang mengkilat dapat disebabkan gosokan berulang. Nodus prurigo
adalah papul ekskoriasi yang membentuk nodul pada pasien dengan pruritus kronik.
Pada banyak kasus, tipe gatal ini disertai dengan sensasi nyeri dan terbakar, sugestif
untuk komponen neuropatik. Nodus prurigo sering terkait dengan tekanan stres
emosional dan kelainan obsesif kompulsif; meski demikian, lesi ini juga dapat
merupakan manifestasi gatal pada pasien dengan dermatitis atopik atau gagal ginjal
kronik. Nodul-nodul tersebut biasanya tersebar di bagian ekstensor dari ekstremitas.
Beberapa keadaan gatal memiliki pola klinis spesifik. Selain adanya gatal
yang hebat, urtikaria kronik biasanya tidak menunjukkan lesi sekunder akibat
garukan. Gatal neuropatik pada penyakit tertentu, seperti neuralgia pasca herpetik,
pruritus brakioradial dan notalgia parestesika, biasanya disertai nyeri dan rasa
terbakar. Dermatitis atopik juga dikaitkan dengan rasa terbakar setelah mengaaruk.

2.7.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorik yang perlu dipertimbangkan pada evaluasi gatal generalisata


diringkas pada gambar berikut.

Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemeriksaan feses untuk ovum
dan parasite, pemeriksaan penyaring hepatitis B atau C, elektroforesis plasma protein
dan imunoelektroforesis. Pemeriksaan CT Scan toraks dan abdomen membantu
menyaring limfoma. Biopsi kulit tiak memastikan penyebab gatal dan berguna untuk
menyingkirkan penyakit kulit yang jelas seperti mastositosis sistemik, pemfigoid
bulosa atau cutaneous T cell lymphoma.

2.74 DIAGNOSIS BANDING

Beberapa diagnosis banding pruritus tanpa penyakit kulit primer dapat dilihat pada
tabel berikut:
2.7.5 KOMPLIKASI

Gatal dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara bermakna. Gangguan yang
terjadi berupa sulit tidur, sulit berkonsentrasi, penurunan fungsi seksual, agitasi, dan
depresi. Dapat terjadi infeksi sekunder akibat garukan, terutama pada pasien
dermatitis atopik. Sebuah studi multinasional pada pasien hemodialisis menunjukkan
bahwa pruritus berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas sebesar 17%.

2.8 PERJALANAN KLINIS

Pruritus generalisata dapat hilang dan timbul. Perubahan gambaran klinis


kemungkinan berkaitan dengan perubahan musim, misalnya eksaserbasi dermatitis
atopik pada musim dingin, atau perubahan cuaca menjadi dingin atau lembab. Pruritus
berkaitan dengan penyakit sistemik biasanya multifaktorial, melibatkan faktor
sistemik dan eksternal, termasuk suhu dan kelembaban. Gatal kronik berkaitan dengan
penyakit kulit dapat mencakupp sensitisasi saraf pusat.
BAB 3

GATAL SEBAGAI GEJALA

3.1 GATAL YANG DISEBABKAN OLEH PENYAKIT KULIT

1. DERMATITIS ATOPIK

Pruritus pada dermatitis atopik masih merupakan ranah yang kontroversial dan dasar
molecular gatal belum dapat dijelaska. Apakah gatal mendahului garukan, atau
sebaliknya masih belum dapat disimpulkan. Siklus gatal-garuk pada pasien dermatitis
atopi menyebabkan kerusakan kulit yang kemudian akan memperberat pruritus.
Alloknesis merupakan gejala utama pada dermatitis atopi. Hal tersebut menjelaskan
keluhan gatal saat perubahan suhu, berkeringat, mengenakan maupun tidak
mengenakan pakaian, dan saat kontak dengan bahan wol.

Pruritus sentral/ neurogenik pada dermatitis atopi disebabkan respons yang buruk
terhadap antihistamin H1, yang bersifat sedatif ringan. Intensitas gatal berhubungan
dengan faktor mental dan stres kognitif seperti kecemasan dan depresi. Garukan
nokturnal merupakan masalah yang terjadi selama fase tidur superfisial,
mengakibatkan gangguan tidur dan komplikasinya mengakibatkan kelelahan dan
mudah tersinggung. Sebagai terapi dapat diberikan peptida opioid.

2. PSORIASIS

Beberapa studi menunjukkan bahwa gatal sebagai gejala utama psoriasis. Diantara
seluruh pasien dengan psoriasis, 77% nya mengalami gatal pada kesehariannya.
Keluhan tersebut juga dapat terjadi pada daerah tubuh yang bebas lesi psoriasis. Pada
psoriasis, gatal di kulit kepala membutuhkan penanganan yang khusus dibanding gatal
pada area tubuh lainnya.

3.2 GATAL NEUROPATIK

1. NEURALGIA PASCAHERPETIK
Neuralgia pascaherpetik (NPH) biasanya menyebabkan nyeri neuropatik dan
seringkali meninmbulkan gatal neuropatik pada 30-58% pasien. Pruritus dapat
menyertai infeksi herpes zoster akut dan NPH pada lesi di kepala, wajah, dan leher.

2. PRURITUS BRAKIORADIAL

Pruritus brakioradialis, suatu gatal terlokalisir, umum terjadi. Pruritus ini umum
ditemui pada pasien dengan kulit terang, usia paruh baya, memiliki aktivitas bermain
golf, tenis, berlayar, atau aktivitas di luar ruangan lain. Pruritus brakioradial akan
berkembang menjadi pruritus persisten pada lengan atas, siku, dan lengan bawah. Hal
ini disebabkan oleh kerusakan kulit akibat pajanan sinar matahari menahun dan
kekeringan pada kulit. Keluhan gatal disertai sensasi terbakar. Gatal dapat meluas.
Patofisiologi pruritus ini dipikirkan melibatkan kompresi akar saraf spinal C4-C6 dan
pada kasus jarang, berkaitan dengan tumor saraf spinal. Hingga saat ini, pajanan sinar
UV dipikirkan sebagai faktor pencetus

3. NOTALGIA PARESTETIKA

Parestetika notalgia adalah gatal kronis terlokalisir yang terjadi di daerah


interskapular, khususnya pada dermatom T2-T6, tetapi seringkali meluas hingga
melibatkan bahu, punggung, dan dada. Tidak terdapat tanda spesifik pada kulit.
Sebagian sensasi dirasakan sebagai gatal, dan sebagian sebagai parestesia. Etiologi
kelainan ini adalah terjepitnya saraf spinal T2-T6 rami posterior.

3.3 GATAL SISTEMIK

1. PRURITUS PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

Pruritus merupakan salah satu gejala penyakit ginjal kronik (PGK) yang sangat
mengganggu. Pruritus mengenai 42% pasien hemodialisis (HD) berdasarkan laporan
Dialysis Oucome and Practice Pattern Study (DOPPS). Laporan DOPPS dan sebuah
penelitian besar di Jepang menunjukkan gatal yang berhubungan dengan PGK
memicu depresi, gangguan tidur dan peningkatan mortalitas. Penggarukan sering
terjadi dan pasien mengalami ekskoriasi yang berat, likenifikasi, atau berupa nodul
prurigo. Punggung dan lengan tempat fistula arteriovenosa sering terkena pada pasien
dialisis. Pasien pruritus yang berhubungan dengan PGK sering memiliki kulit kering
namun pemberian emolien hanya memberikan perbaikan minimal.

Patofisiologi pruritus yang berhubungan dengan PGK belum sepenuhnya dimengerti.


Pemahaman saat ini diduga peran sentral pada sistem imun dan opioidergik.
Dinyatakan bahwa pruritus yang berhubungan dengan PGK adalah manifestasi dari
terganggunya sistem imun akibat keadaan proinflamasi. Sesuai dengan teori ini,
imunomodulator seperti sinar UVB, takrolimus dan talidomid dapat mengurangi
pruritus yang berhubungan dengan PGK. Ketidakseimbangan sistem opioidergik
endogen juga diduga berperan dalam patofisiologi pruritus yang berhubungan dengan
PGK. Peningkatan rasio serum β-endorfin terhadap dinorfin A telah dilaporkan pada
pasien HD dibandingkan dengan kontrol sehat, rasio meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas rasa gatal. Selain itu, agonis reseptor kappa, nalfurafin,
menunjukkan secara signifikan dapat mengurangi intensitas gatal dan ekskoriasi pada
pasien HD.

Faktor etiologi lain dapat berupa peningkatan kadar kalsium, pelepasan sitokin
pruritogenik selama HD, kerusakan pada serabut saraf C, proliferasi pada ujung saraf
sensorik pada kulit, peningkatan jumlah sel mast pada dermis, peningkatan kadar
histamin plasma, hiperparatiroidisme sekunder, dan kadar kation divalen yang
abnormal. Hiperparatirodisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal sering
dijumpai namun jarang menyebabkan pruritus ginjal. Proliferasi yang terjadi pada
ujung saraf pada kulit merupakan respons terhadap garukan dan gosokan berulang.
Peningkatan kadar histamin dengan atau tanpa peningkatan jumlah sel mast di dermis,
sepertinya juga tidak terlalu penting karena antihistamin jarang efektif.

2. PRURITUS PADA KOLESTASIS

Pruritus akibat kolestasis sangat mengganggu. Tanda khas klinis pruritus kolestasis
adalah gatal dimulai dan paling berat terjadi pada telapak tangan dan telapak kaki,
yang biasanya tidak dilaporkan pada penyakit lain, yang kemudian menjadi
generalisata. Gatal yang sangat berat pada penyakit hati dapat merupakan indikasi
transplantasi hati, walaupun tidak ada tanda gagal hati fulminan. Mekanisme sentral
dan perifer berperan penting. Pruritus berhubungan dengan kadar plasma empedu
yang tinggi, namun sedikit atau tidak terdapat bukti akan adanya korelasi antara
konsentrasi garam empedu pada kulit atau serum dengan gatal yang terjadi, walaupun
pemberian kolesteramin yang menurunkan kadar garam empedu, dapat memberikan
perbaikan gejala. Pasien juga mengalami peningkatan kadar plasma opioid dan
pruritus dapat perbaikan pada pemberian antagonis opioid seperti nalokson,
naltrekson dan butorfanol. Selain itu, pada hewan uji coba dengan kolestasis terdapat
hubungan antara peningkatan kadar peptide opioid dan garukan, dan perbaikan
dengan naloxone. Jadi, kombinasi penurun garam empedu dan opioid dapat menjadi
terapi pruritus kolestasis.

Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan pasien pruritus kolestasis mempunyai


kadar autotoksin serum yang meningkat dan substrat asam lisofosfatidik (LPA), suatu
sinyal fosfolipid. Aktivitas autotoksin pada pruritus kolestasis berhubungan dengan
intensitas pruritus. LPA dan autotoksin merupakan target potensial dalam terapi
pruritus kolestasis.

3. PRURITUS PADA KELAINAN ENDOKRIN

Gatal generalisata yang sangat berat merupakan ciri dan gejala pada tirotoksikosis.
Hal ini diduga terkait peningkatan jumlah aliran darah, yang meningkatkan suhu kulit
sehingga terjadi penurunan ambang gatal pada kulit. Hipotiroidisme lebih jarang
terjadi gatal. Gatal generalisata bukan gejala pasien diabetes mellitus.Gatal lokal pada
skalp dan ekstremitas bawah dalam bentuk liken simpleks kronik dapat juga
merupakan manifestasi neuropati diabetik. Selain itu, gatal pada badan tanpa
penyebab yang pasti sering dikaitkan dengan diabetes dan neuropati diabetik.

4. PRURITUS PADA PENYAKIT HEMATOLOGI DAN KEGANASAN


LIMFORETIKULAR

Gatal dapat menjadi gejala umum pada kelainan hematologi. Pada limfoma sel-T
kulit yang luas dan limfoma sel-T kulit tipe eritroderma termasuk sindrome Sezary
(leukemia sel T), gatal yang sangat berat sulit diatasi. Pada pasien polisitemia vera,
gatal juga terjadi pada 50% pasien, dan seringkali dicetuskan akibat adanya kotak
dengan air (bath itch) dan dikaitkan dengan peningkatan kadar histamin darah. Pada
penyakit limfoproliferatif lainnya, gatal juga dapat dipicu oleh kontak dengan air.
Pada penyakit Hodgkin, gatal muncul pada 15-19% pasien. Pruritus juga dapat terjadi
pada limfoma non Hodgkin. Data terbaru menunjukkan abnormalitas fungsi sel mast
pada pasien dengan penyakit mieloproliferatif, dengan adanya peningkatan pelepasan
faktor pruritogenik. seperti IL-31, histamin, dan leukotrien, ketika dibandingkan
dengan sel mast normal. Pada mastositosis kutan, gatal sering terjadi lanjutan dari
garukan, walaupun dapat meluas pada kasus berat, dimana biasanya berhubungan
dengan gejala sistemik. Gatal dapat juga terjadi pada pasien leukemia mieloid dan
limfatik,serta mielodisplasia.

5. PRURITUS PARANEOPLASTIK

Gatal kronik dapat terjadi pada keganasan hematologi maupun tumor solid. Gejala
tersebut dapat muncul bertahun-tahun sebelum gejala tumor terdeteksi. Gatal dapat
juga terjadi sebagai bagian dari tanda penyakit kulit epidermal atau dermal primer
yang berhubungan dengan keganasan, seperti keratosis seboroik eruptif,
dermatomiositis akantosis nigrikans maligna, eritroderma, dermatosis akantolitik
transien (penyakit Grover) dan dermatomiositis. Onset pruritus pada usia pertengahan
atau usia tua dengan kulit yang normal menyebabkan perlu dilakukan investigasi
apakah adanya penyakit sistemik yang mendasarinya, termasuk neoplasia internal,
walaupun penyebab yang jarang.

6. PRURITUS PADA INFEKSI HIV

Gatal merupakan gejala awal penyakit HIV dan dapat berhubungan dengan penyakit
kulit atau penyakit sistemik (ginjal, hati, reaksi obat, limfoma, infeksi kulit dan
sistemik termasuk Staphylococcus aureus dan Pityrosporum). Gatal juga dapat terjadi
sebagai gejala primer HIV. Kelainan yang paling sering ditemukan adalah folikulitis
eosinofilik. Tipe umum lain gatal pada HIV berupa reaksi hipersensitivitas gigitan
serangga, papul pruritik, xerosis kutis, dermatitis likenoid, dan dapat juga sebagai
eksaserbasi dermatitis seboroik dan psoriasis.

3.4 PRURITUS PSIKOGENIK

Prevalensi pruritus pada pasien rawat psikiatri sekitar 42% berhubungan dengan stress
psikososial. Pasien dengan depresi, fibromialgia, dan penyakit somatoform lain dapat
menderita gatal derajat berat yang memberi respon baik terhadap selektif serotonin
reuptake inhibitor (SSRIs). Delusional Parasitosis juga merupakan tipe gatal yang
sulit diatasi. Pasien seringkali menganggap gatal yang terajdi disebabkan oleh infeksi
parasit walaupun secara klinis tidak ditemukan parasit. Pasien sering membawa bukti
dalam bentuk fragmen, walaupun pada pemeriksaan hanya ditemukan debris non
spesifik. Pasien sering menolak berobat ke psikiatri. Delusi parasitosis dapat diatasi
dengan agen antipsikotik seperti pimozide yang sering digunakan oleh ahli
dermatologi. Olanzapin (5 mg/hari) juga merupakan pilihan lain untuk mengatasi
gatal psikogenik yang berat. Pruritus lokal dalam bentuk prurigo nodularis atau
pruritus anogenital dapat menjadi manifestasi penyakit obsesif-kompulsif dan juga
ansietas.

3.5 PRURITUS TIPE LAINNYA

1. USIA LANJUT DAN GATAL

Gatal merupakan gejala kulit yang paling sering ditemukan pada usia di atas 65 tahun.
Setidaknya 50% pasien berusia 70 tahun atau lebih tua menderita pruritus
berkepanjangan yang sangat mengganggu. Gatal idiopatik atau sering secara tidak
sesuai disebut pruritus senilis, sering merupakan suatu tantangan dalam diagnosis dan
terapi. Gatal pada kulit menua dapat disebabkan oleh berbagai faktor meliputi kulit
kering, penyakit inflamasi seperti eksema dan skabies, ataupun penyakit sistemik
(kolestasis dan gagal ginjal). Beberapa obat-obatan (opioid, angiotensin
convertingenzim inhibitor) dapat menginduksi pruritus tanpa menimbulkan lesi kulit.
Walaupun pada banyak kasus, penyebabnya tidak dapat ditemukan. Walaupun kulit
kering merupakan faktor yang berperan, dapat juga bukan penyebab pruritus, banyak
pasien usia lanjut dengan kulit menua tanpa xerosis. Faktor lain yang juga berperan
penting antara lain perubahan serabut saraf dan kehilangan input dari serabut nyeri
yang menyebabkan disinhibisi gatal sentral. Perubahan lain yang dapat menyebabkan
gatal adalah penurunan lipid permukaan kulit, penurunan klirensmaterial dari dermis
yang diabsorbsi secara transepidermal, penurunan produksi keringat dan sebum, dan
berkurangnya perbaikan barier.

2. PRURITUS TERKAIT LUKA BAKAR DAN SKAR

Skar luka bakar sering terjadi pada anak-anak dan dewasa dan terkait dengan pruritus
yang signifikan. Tingkat prevalensi gatal dari ringan hingga berat pada bulan ke 3, 12,
dan 24 setelah luka bakar terjadi yaitu 87%, 70%, dan 67%. Dibandingkan dengan
kulit sehat, burn graft skin menunjukkan peningkatan serabut saraf SP serta
peningkatan ambang luka tusuk, panas, raba, dan getar. Keloid sering dikaitkan
dengan rasa gatal pada bagian perifer dan dapat terasa nyeri pada bagian tengah. Hal
ini mungkin dikarenakan terperangkapnya serabut-serabut saraf kecil.

3. PRURITUS AKUAGENIK

Pertama kali dikenalkan oleh Shelley dan digambarkan oleh Graves dkk, pruritus
akuagenik adalah pruritus yang jarang terjadi, sangat berat, etiologinya belum
diketahui, dan ditemukan pada usia pertengahan hingga usia lanjut. Gejala khasnya,
adanya gatal lokal tanpa disertai kelainan kulit yang nyata dan dipicu kontak dengan
air. Seringkali dikaitkan dengan penyakit limfoproliferatif seperti polisitemia vera.

3.6 TERAPI PRURITUS

Sayangnya, belum ada obat anti pruritus yang bersifat umum. Tata laksana pruritus
tergantung kepada identifikasi dan menyingkirkan penyebab, baik sistemik maupun
lokal di kulit. Harapan palsu dengan terapi dengan efektivitas yang baik untuk pasien
tanpa penyebab yang jelas tidak boleh diberikan. Baru-baru ini agonis reseptor opioid
kappa, nalfurafine, di Jepang secara resmi disetujui untuk penggunaan klinis pada
pruritus terkait CKD. Efektivitas obat ini pada pruritus yang terkait kondisi lain masih
perlu penjelasan lebih lanjut. Penting untuk mengetahui riwayat terperinci, termasuk
kualitas, waktu dan distribusi gatal, sehingga terapi dapat lebih terfokus. Sensasi gatal
meningkat bila kulit hangat, sehingga perlu untuk mendinginkan kulit dengan cara
mandi, mamakai pakaian tipis dan menggunakan pendingin udara bila diperlukan.
Losio pendingin seperti calamin maupun mentol 1% dapat membantu. Sebagai
catatan, sekelompok pasien gatal kronik melaporkan mandi dengan air hangat
meringankan gejala untuk beberapa jam. Langkah terapi untuk pruritus generalisata
ditampilkan pada gambar 103-3.

3.6.1 TERAPI ANTIPRURITUS TOPIKAL


Saat ini masih kekurangan uji klinis untuk terapi topikal antipruritus. Banyak agen
topikal dikatakan efektif untuk pruritus, namun, beberapa pernyataan hanya didasari
pengalaman pribadi. Meskipun dapat mengurangi pruritus akibat penyakit radang
kulit, kortikosteroid bukan antipruritus intrinsik. Antihistamin hanya dapat bersifat
antipruritus bila pruritus disebabkan oleh histamin seperti pada urtikaria.

Ringkasan terapi topikal antipruritus terlihat pada gambarl 103-3.

Krim barier dan terapi kombinasi


Emolien dan krim perbaikan barier dapat mengurangi pruritus dengan meningkatkan
fungsi barier, yaitu membantu stratum korneum menahan air dan menyuplai barier
eksogen untuk menghambat transepidermal water loss (TEWL). Beberapa krim barier
sering merupakan terapi efektif pruritus terkait kulit kering maupun dermatitis atopik;
namun mekanisme efek antipruritus ini belum dimengerti sepenuhnya. Perbaikan
barier mengurangi fisura dan paparan serabut saraf C. Pasien dermatitis atopik yang
diberi emolien seramid mengalami perbaikan TEWL dan derajat keparahan penyakit.
Lipid, oklusif dan humektan menurunkan kerusakan kulit dengan mengurangi kontak
antara protein kulit, lipid adan surfaktan. Keasaman stratum korneum juga
mengurangi gatal. Larutan pH tinggi meningkatkan pembengkakan stratum korneum,
mengubah rigiditas lipid dan meningkatkan sekresi protease serin, hal ini
menunjukkan suasana pH netral maupun asam lebih tidak merusak.

Salisilat topikal
Uji klinik telah membuktikan pengolesan solusi asam salisilat topikal pada kulit dapat
mengurangi pruritus. Asam salisilat topikal merupakan agen keratolitik, dapat
meningkatkan hidrasi dan melunakkan stratum korneum dengan menurunkan pH.
Aspirin topikal menurunkan secara signifikan pruritus pasien liken simpleks kronik-
bentuk pruritus lokal; namun salisilat oral tidak meringankan gatal kecuali pada
polisitemia vera.

Imunomodulator topikal
Meskipun imunomodulator topikal, seperti takrolimus maupun pimekrolimus,
awalnya sering digunakan terutama pada dermatitis atopi, pengobatan ini diharapkan
dapat digunakan pada penyakit lain. Pruritus pada dermatitis iritan kronik di tangan,
dematitis seboroik, penyakit graft-vs-host, liken sklerosus, pruritus anogenital dan
prurigo nodularis dapat diobati secara baik dengan inhibitor kalsineurin topikal.
Takrolimus dan pimekrolimus mempengaruhi secara langsung terhadap serabut saraf
C.

Pendingin dan Counter-irritants


Terdapat sekelompok neuron sensori yang secara langsung mengetahui perubahan
suhu melalui kanal ion TRP pada ujung saraf kulit. Ini termasuk reseptor vaniloid,
seperti TRVP1, yang berespons terhadap hangat dan capsaicin. Reseptor ini bekerja
secara sinergis dengan reseptor pruritus lain, seperti reseptor PAR-2 dan SP
(Neurokinin 1). Reseptor ini merupakan target terapi gatal. Reseptor lain yang masih
merupakan satu famili termasuk reseptor dingin, yaitu TRPM8. Menthol telah lama
digunakan untuk terapi topikal simtomatis antipruritus melalui aktivasi serabut saraf
yang memancarkan sensasi dingin. Mentol meringankan pruritus melalui reseptor
TRPM8 di keratinosit dan serat saraf. Krim mentol 1% sering digunakan pada pasien
pruritus; tetapi konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit.
Beberapa pasien melaporkan bahwa mandi dengan air biasa dan pemberian es
cenderung berespons baik dengan pengobatan menthol.

Capsaicin

Capsaicin topikal, komponen aktif pada cabai, menyebabkan pelepasan neuropeptida,


termasuk SP, dari serabut saraf C. Mekanisme pasti belum dimengerti sepenuhnya;
aplikasi capsaicin pada kulit jangka panjang menurunkan cadangan SP, desensitasi
neuron dan menghilangkan gatal pada lokasi aplikasi. Capsaicin mengaktifkan
reseptor vaniloid TRVP1, yang banyak di lapisan epidermis kulit. Beberapa laporan
mendukung penggunaan capsaicin pada gangguan pruritus lokal kronik, khususnya
yang berasal dari neurpati termasuk pruritus brachioradial, notalgia paresthetica, gatal
post-herpetik, pruritus terkait CKD, psoriasis, dan dermatitis atopik. Sayangnya
kepatuhan pengobatan biasanya rendah karena pada aplikasi awal menyebabkan
sensasi rasa terbakar, akan tetapi rasa ini dapat menghilang dengan sendirinya setelah
beberapa hari atau dengan pemakaian anastesi topikal.

3.7 ANESTESI TOPIKAL


Pramoxine
Meredakan pruritus, terutama bila diaplikasikan pada area wajah dengan menghambat
transmisi impuls saraf. Uji tersamar ganda pada manusia menunjukkan bahwa
pramoxin menghambat gatal yang diinduksi histamin dan CKD

Polidocanol
Merupakan surfaktan non-ion dengan efek anestesi dan melembabkan. Sebuah uji
klinis melaporkan kombinasi urea 5% dan polidocanol 3% (Lauromacrogol) terbukti
mengurangi pruritus secara signifikan pada pasien dermatitis atopi, dermatitis kontak
dan psoriasis.

Antihistamin topikal
Doxepin merupakan antidepresi trisiklik dengan kandungan AH1 dan AH2 poten dan
memiliki efek samping seperti atropin (antikolinergik). Pada uji besar tersamar ganda
plasebo kontrol, Doxepin 5% krim dilaporkan dapat meredakan pruritus pada pasien
dermatitis atopi. Walaupun absorpsi perkutan, menyebabkan efek samping mengantuk
dilaporkan terjadi pada 25% pasien. Efek samping lain adalah dermatitis kontak
alergi.

Kanabinoid topikal
Kombinasi Kanabinoid topikal dan krim barier dilaporkan memiliki efek antipruritus
pada pasien dermatitis atopi dan pruritus uremik pada uji klinis tanpa kontrol.

Terapi topikal masa depan


Walaupun saat ini belum ada yang tersedia, beberapa obat topikal baru yang
menghambat serin protease dapat digunakan sebagai terapi antipruritus. Obat ini
memiliki kesamaan dengan prostaglandin (PG) D2 yang telah dicoba pada manusia
dan juga memiliki efek terapi potensial pada gatal.

3.8 TERAPI ANTIPRURITUS SISTEMIK

Antihistamin
Pruritus oleh histamin dimediasi oleh reseptor H1. Antihistamin H2 tidak efektif
mengurangi gatal. Antihistamin H1 generasi satu (klasik) berdaya kerja seperti atropin
(antikolinergik) dan bersifat sedatif. Generasi dua antihistamin H1 (sedasi ringan)
memiliki lipofilisitas lebih rendah dan efek samping minimal. Antihistamin sedatif
(generasi satu) bermanfaat pada pasien urtikaria kronik berat dengan arau tanpa
angioedem sebab menekan gatal dan kecemasan, yaitu hidroksisizin dan doxepin.
Antihistamin H1 generasi kedua dapat digunakan di siang hari pada pasien urtikaria.
Namun, peranan non sedasi AH terbatas pada kelainan pruritus lainnya.

Opiat antagonis dan agonis antagonis

Seperti yang sebelumnya telah dikatakan, agonis reseptor µ-opioid dapat


menyebabkan pruritus generalisata. Antagonis µ-opioid , seperti naloxon dan
naltrexon, telah digunakan sebagai terapi pruritu pada kolestasis, uremia dan penyakit
kulit. Efikasi antagonis opioid didukung uji klinis dengan kontrol. Naltrekson efektif
pada beberapa kasus berat yang sangat menggangu. Namun antagonis-µ memiliki
efek samping hepatotoksik, mual dan muntah, kesulitan tidur, dan analgesia reversal.
Agonis ĸ-reseptor juga menghambat efek reseptor µ. Uji coba pada binatang, Agonis
ĸ-reseptor menghambat pruritus karena SP atau histamin. Agonis κ, nalfurafine
(TRK-820) terbukti efektif dalam terapi pruritus uremik berat. Butorphanol
merupakan analgesik agonis-antagonis opioid yang bekerja sebagai agonis-κ dan
antagonis-µ. Penelitian memaparkan butorphanol epidural merupakan terapi efektif
pada pruritus kronik yang disebankan penyakit sistemik dan penyakit inflamasi kulit.
Butorphanol intranasal efektif untuk pasien dengan pruritus berat dan kronik karena
penyakit sistemik dan penyakit kulit inflamasi.

Antidepresan
Antidepresi oral dan inhibitor re-uptake noropinephrine selektif, mirtazapine, efektif
mengatasi gatal pada beberapa pasien. Tidak seperti SSRIs lainya, mirtazapin
merupakan inhibitor nonadrenergik α2 presinaptik sentral dan antidepresi
serotonergik spesifik. Bersifat relatif aman tanpa efek samping serius dan dapat
menjadi pilihan terapi pruritus nokturnal. Efektif mengatasi pruritus sistemik,
penyakiyt kulit inflamasi dan khususnya pruritus nokturnal dengan dosis rendah 15
mg pada malam hari. Pada studi open label terbaru, inhibitor re-uptake
noropinephrine lain, paroxetik dan fluvoxamin juga efektif mengatasi pruritus kronik.
Talidomid
Efektif sebagai antipruritus pada penyakit kulit inflamasi, seperti prurigo nodularis,
prurigo aktinik, eksema dan pruritus idiopatik pada orang tua. Secara khusus efektif
mengatasi pruritus pada pasien multipel mieloma dan penyakit limfoproliferatif.
Talidomid telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai agen imunomodulator.
Aktivitas antipruritus berkaitan dengan beberapa mekanisme, termasuk menghambat
sintesis TNF-α. Meskipun TNF-α tidak memiliki efek pruritogenik langsung, namun
kadarnya meningkat pada banyak penyakit kulit pruritik. Talidomid juga dapat secara
langsung menekan saraf perifer dan sentral. Efek samping utama adalah neuropati
perifer dan bersifat teratogenik.

Neuroleptik
Gabapentin, analog dari neurotransmitter asam γ-aminobutyric memiliki efek anti
pruritus dan digunakan sebagai anti kejang, dengan mekanisme di SSP masih kurang
diketahui. Gabapentin efektif mengatasi pruritus brakhioradial, pruritus multipel
sklerosis dan pruritus neuropatik lainnya seperti pruritus uremik. Gabapentin
mengubah sensasi dan pruritus yang terkait kerusakan nervus pada penyakit kulit dan
sistemik. Gabapentin dapat menghambat jalur pruritus sentral demikian juga pada
sensasi nyeri. Pregabalin merupakan terapi nyeri neuropatik yang memiliki struktur
dan fungsi yang sama dengan gabapentin dengan efek samping yang lebih sedikit dan
dapat mengatasi pruritus neuropatik atau mengubah sensasi pruritus pada penyakit
sistemik.

3.9 Terapi Nonfarmakologis Pruritus

Fototerapi
Telah digunakan selama lebih dari 3 dekade untuk mengatasi berbagai tipe pruritus.
Riset menyatakan Narrow Band-UVB sama efektifnya dengan Broad Band -UVB
atau PUVA dalam mengatasi pruritus. Fototerapi mengurangi kepadatan sel mast
dengan cara menginduksi apoptosis, menyebabkan disfungsi nervus perifer dan
mengurangi kation bivalen kulit. Fototerapi efektif mengatasi pruritus pada pasien
dermatitis atopi, psoriasis dan CKD. Remisi dapat bertahan sampai 18 bulan.

Cutaneus field stimulation (CSF) dan akupuntur


CSF merupakan teknik baru yang menstimulasi serat aferen secara elektrik, termasuk
serat C nosiseptif. CSF memiliki kesamaan dengan stimulasi elektrik nervus yang
melalui kulit, mengaktivasi serabut saraf bermielin yang besar, namun target CFS
lebih ditujukan serabut nervus yang tidak bermielin. CFS bekerja melalui mekanisme
penghambatan endogen pusat yang normalnya aktif saat digaruk. CFS mengatasi
pruritus lokal dan menyebabkan degenerasi serabut saraf epidermis. Bagaimanapun
CFS dalam praktek hanya digunakan pada pruritus lokal. Sebagai tambahan
akupuntur pada titik yang tepat mengatasi pruritus pada kondisi gatal hipersensitivitas
tipe I pada kedua pasien sehat maupun pasien dengan eksema atopik.

Terapi perilaku dengan target sistem saraf pusat

Pruritus kronik berperan dengan stres dan faktor psikogenik. Diketahui bahwa pada
individu dermatitis atopik menunjukkan respon simpatomimetik dan
parasimpatomimetik abnormal terhadap sensasi gatal dan stres psikis. Terapi perilaku
dapat menurunkan gatal dan garukan. Intervensi lainnya adalah dengan menurunkan
stres dan biofeedback. Mengurangi stres dapat dilakukan dengan terapi meditasi yang
dapat menjadi terapi penunjang guna mengurangi intensitas gatal.
KEPUSTAKAAN

1.Yosipovitch G, Patel TS. Pathophysiology and clinical aspect of pruritus. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in
General medicine. 8th edition. New York: McGraw-Hill; 2012:1146-58

2.Burns T. Breathnach S. Cox N. Griffiths C. (editor). Rook’s textbook of dermatology:


volume 1, eight edition. Oxford: Wiley-Blackwell Publishers; 2010. p.931-48
3. Greaves MW. Recent advances in pathophysiology and current management of itch. Ann
Acad Mes Singapore. 2007 Sep;36(9):788-92
4 Burton G. Pathophyisiology of pruritus. Australian College of Veterinary Scientists
Dermatology Chapter Science Week Proceeding. 2006; 34(6):18-25

Anda mungkin juga menyukai