NAMA : SULAIDI
NIM : 20212110011
MATA KULIAH : EVALUASI PEMBELAJARA
BAHASA DAN SASTRA
INDONISIA
Program Pascasarjana
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, taufiq serta
hidayahnya sehingga kami mendapat kemampuan dan kesempatan untuk menyusun makalah
ini sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai Mahasiswa Program Pascasarjan Universitas
Muhammadiyah Surabaya pada Prodi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Panji Hermoyo selaku Dosen
pengampu Mata Kuliah evaluasi pembelajaran bahasa dan sastra indonisia, karena sudah
memberi kesempatan kepada kami untuk menyusun Makalah tentang proses pembelajaran
bahasa
Sebagai penulis kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengertian baru bagi pembaca. kami juga berharap kepada pembaca supaya
makalah ini juga bisa dijadikan rujukan dan pijakan baru dalam memperluas tentang proses
pembelajaran bahasa
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................... 8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah salah satu sendi terpenting dalam kehidupan setiap orang. Setiap
mereka tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Pertama kali seorang anak memperoleh bahasa
yang didengarkan langsung dari bapak atau ibu sewaktu anak tersebut terlahir ke dunia ini.
Kemudian seiring berjalannya waktu dan seiring pertumbuhan si anak maka Mereka akan
memperoleh bahasa selain bahasa yang diajarkan ibubapaknya itu baik berupa bahasa kedua,
ketiga, bahasa Asing ataupun seterusnya yang disebut dengan akuisisi bahasa (language
acquisition) dimana hal tersebut tergantung dengan lingkungan sosial dan tingkat kognitif
yang dimiliki oleh anak tersebut melalui proses pembelajaran dilingkungannya (Natsir,
2017).
Mempelajari bahasa adalah pekerjaan yang panjang dan kompleks. Hal ini tentu
sajakarena mempelajari bahasa melibatkan berbagai aspek, baik aspek intelektual, respon
fisik, maupun aspek emosional. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan dalam keberhasilan
lagi mempelajari bahasa berarti berusaha menggapai bahasa baru yaitu bahasa kedua (Yanti
Oktavianti, 2016).
Pembelajaran bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah
seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Untuk masalah yang dibicarakan
ini ada pakar yang menyebut dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning) dan ada
bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar,
1
dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau
bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah. Bagi mereka yang mengunakan istilah
pemerolehan bahasa kedua (ketiga, dan seterusnya) beranggapan bahwa bahasa kedua itu
juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal,
maupun informal dalam lingkungan kehidupan. Dalam masyarakat yang bilingual atau
multilingual pemerolehan bahasa kedua secara informal ini bisa saja terjadi, seperti di daerah-
daerah pinggiran Jakarta di mana bahasa Melayu Betawi bertumpang tindih dengan bahasa
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa naturalistik dan
tipe formal di dalam kelas. Yang pertama tipe naturalistik bersifat alamiyah, tanpa guru dan
dijumpai. Seorang kanak-kanak yang didalam lingkungan keluarganya B1, misalnya bahasa
X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman-teman lain yang berbahasa lain. namon,
karena disekitarnya seperti teman kuliyah, teman sepemondokan, pedagang dipasar, dan
sebaganya. Belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan
bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah di dalam lingkungan keluarga atau
Tipe kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan
alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara
formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.
kedua atau bahasa asing telah demikian lama dengan biaya yang cukup besar, tetapi belum
Menurut Nurrhadi (1990) dalam sejarah perkembangannya ada empat tahap penting yang
dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an. Tahap pertama adalah periode antara
1880-1920. Pada tahap ini terjadi rekonstruksi bentuk-bentuk metode langsung yang pernah
digunakan atau dikembangkan pada zaman Yunani dulu. Metode langsung yang pernah
3
digunakan pada awal abad-abad Masehi direkonstruksi dan diterapkan di sekolah-sekolah
(biasanya sekolah biara). Selain itu, dikembangkan juga metode bunyi (phonetic method)
Tahap kedua adalah masa antara tahun 1920-1940. Pada masa ini di Amerika dan
Kanada terbentuk forum belajar bahasa asing yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-
Tahap ketiga, adalah masa antara tahun 1940-1970 yang kemunculannya dilatarbelakangi
oleh situasi peperangan (Perang Dunia II), di mana orang berikhtiar mencari metode belajar
bahasa asingyang paling cepat dan efisien untuk dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak
nama American Army Method, yang lahir dari markas militer Amerika, untuk keperluan
ekspansi perang. Pada periode ini dalam dunia linguistik muncul juga pendekatan baru yang
disebut dengan nama pendekatan linguistik. Pendekatan ini merupakan imbas dari lahirnya
keberhasilan American Ermy Method. Metode audiovisual dan audiolingual ini lahir dari
pandangan kaum behavioris dan akibat adanya penemuan alat-alat bantu belajar bahasa. Yang
audiovisual, dan mulai populernya aalis kontrastif, yang berusaha mencari landasan teori
pembelajaran bahasa kedua. Konsep dan hakikat belajar bahasa dirumuskan kembali,
4
kemudian diarahkan pada pengembangan sebuah model pembelajaran yang efektif dan
Pembelajaran bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut sebagai teori
karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih umum disebut sebagai suatu
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2.
Kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi,
b. Hipotesis kontrastif
Hipotesis ini dikembangkan oleh charles Fries (1945) dan Robert Lado (1975). Hipotesis
ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena adanya
perbedaan antara B1 dan B2. Sedangkan kemudahan dalam belajar B2 disebabkan oleh
adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya perbedaan antara B1 dan B2 akan
menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan menimbulkan kesalahan,
c. Hipotesis Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Krashen mengajukan sembilan
Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah dan
terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak melalui usaha belajar yang
formal. Sebaliknya, yang dimaksud dengan belajar adalah usaha sadar untuk secara formal
5
dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan kaidah-
tertentu yang dapat diprediksikan. Urutan ini bersifat alamiah. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pola pemerolehan unsur-unsur bahasa yang relatif stabil untuk bahasa pertama,
3. Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan
bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar dan proses bawah sadar menghasilkan
pemerolehan. Semua kaidah tata bahasa yang kita hafalkan tidak selalu membantu kelancaran
dalam berbicara. Kaidah tata bahasa yang kita kuasai ini hanya berfungsi sebagai monitor
saja dalam pelaksanaan berbahasa. Jadi, ada hubungan yang erat antara hipotesis monitor ini
4. Hipotesis Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melalui masukan yang dapat
dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk.
Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa maupun kanak-kanak, yang sedang belajar bahasa.
Orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan
lebih baikdibandingkan orang dengan kepribadian dan sikap yang lain. Sesorang dengan
kepribadian terbuka dan hangat akan lebih berhasil dalam belajar bahasa kedua dibandinhkan
6
6. Hipotesis Pembawaan (Bakat)
Bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua.
Krashen menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa
Sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehingga seseorang tidak atau
kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa
kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensif, dan sebagainya,
yang dapat mengurangi kesempatan bagi masukan untuk masuk ke dalam sistem bahasa yang
Bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi
penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seorang anak pada tahap permulaan belajar
bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan
Hipotesis ini, yang berkaitan dengan hipotesis ketiga (hipotesis monitor), menyatakan bahwa
cara seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada
yang terus-menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah
menggunakannya. Namun, diantara keduanya ada pula yang menggunakan monitor itu sesuai
d. Hipotesis Bahasa-Antara
Bahasa antara (Interlanguage) adalah bahasa ujaran atau ujaran yang digunakan seseorang
yang sedang belajar bahasa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat
menguasai dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri
7
bahasa pertama dan ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik
tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Bahasa antara ini
merupakan produk dari strategi sesorang dalam belajar bahasa kedua. Artinya, bahasa ini
merupakan kumpulan atau akumulasi yang terus menerus dari suatu proses pembentukan
penguasaan bahasa.
e. Hipotesis Pijinisasi
Dalam proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara
terbentukjuga yang disebut bahasa pijin (pidgin), yakni sejenis bahasa yang digunakan oleh
satu kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada di dalam dua bahasa tertentu.
Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing-masing
memiliki bahasa sendiri. Jadi bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik
dan tipe formal di dalam kelas. Pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan
Tipe kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-
b. Hipotesis kontrastif
8
c. Hipotesis Krashen
1. Faktor motivasi
2. Faktor usia
5. Faktor Lingkungan
DAFTAR PUSTAKA