Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Cahyani selfina w. panda huki

Devit fungki wibowo

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

JL. Panji Suroso No.6

Kel. Polowijen, Kec. Blimbing Kota Malang

Telp.(0341) 488762 , Email : stikeskendedesmalang@gmail.com


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
American Association of Critical-Care Nurses (AACN) mendefinisikan
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab atas
masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yang
resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan
keluarga pasien mendapatkan kepedulian optimal (AACN, 2006). American
Association of Critical Care Nurses (AACN, 2012) juga menjelaskan secara
spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis mencakup diagnosis dan
penatalaksanaan respon manusia terhadap penyakit aktual atau potensial yang
mengancam kehidupan. Lingkup praktik asuhan keperawatan kritis didefinisikan
dengan interaksi perawat kritis, pasien dengan penyakit kritis, dan lingkungan
yang memberikan sumber-sumber adekuat untuk pemberian perawatan.
Pasien dengan fase kritis merupakan pasien dengan satu atau lebih
gangguan fungsi sistem organ vital manusia yang dapat mengancam kehidupan
serta memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, sehingga membutuhkan suatu
penanganan khusus dan pemantauan secara intensif (Kemenkes RI, 2011). Paru-
paru dan jantung merupakan contoh organ vital manusia yang berperan penting
dalam sistem respirasi manusia sebagai penentu kehidupan manusia, sehingga
sebagian besar kasus gangguan pernafasan digolongkan dalam kasus kritis.
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju
ke sel untuk proses metabolisme dalam rangka menghasilkan energi dan
keluarnya karbon dioksida sebagai zat sisa metabolisme dari seluler ke udara
secara bebas. Menurut Ignatavicius dan Workman (2006) dalam Karmiza,
Muharriza, 2013, kegagalan pernapasan lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai
kegagalan ventilasi dan atau kegagalan oksigenasi yang disebabkan karena
gangguan pusat pernapasan, penyakit/gangguan otot dinding dada, peradangan
akut jaringan paru dan beberapa sebab lain seperti trauma yang merusak jaringan
paru-paru maupun organ lain seperti jantung dan otak.
Perawatan kritis adalah perawatan yang penangannya dilakukan di ICU
yang mana ruangan tersebut adalah ruangan penanganan pasien sakit berat dan
kritis yang dirawat secara khusus, dengan perlengkapan khusus, dipantau secara
ketat dan dilakukan total care. Pemantauan dilakukan ketat dan berkelanjutan
pada keluhan atau gejala pasien, tanda-tanda vital, saturasi oksigen, keseimbangan
cairan tubuh dan lain-lain. Bilamana terdapat masalah dari pemantauan ini, maka
akan segera dilakukan penatalaksanaan dan evaluasi. Perawatan dilakukan secara
menyeluruh dalam artian semua kebutuhan dasar pasien diatur dan dibantu
sedemikian rupa untuk mendukung penyembuhan, sehingga perlu dipahami dalam
perawatan penyakit kritis, dasar yang harus dimiliki perawat adalah pengetahuan
terkait patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus-kasus kritis
khususnya kasus gangguan pernafasan.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini, ialah
“Bagaimana patofisilogi, farmakologi, dan terapi diet kasus gangguan
pernafasan?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
patofisilogi, farmakologi, dan terapi diet kasus gangguan pernafasan.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui patofisiologi gangguan pernafasan ARDS.
b. Untuk mengetahui farmakologi gangguan pernafasan ARDS.
c. Untuk mengetahui terapi diet gangguan pernafasan ARDS.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang patofisiologi, farmakologi
dan terapi diet kasus gangguan pernafasan sehingga dapat menjadi bekal dan
pedoman dalam melakukan praktik keperawatan kritis.
2. Bagi institusi
Makalah ini dapat dijadikan masukan atau pedoman dalam mata kuliah
keperawatan kritis dan dalam pembuatan makalah selanjutnya sehingga dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan lebih baik lagi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Menurut (Issa & Shapiro, 2016) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan perawatan di Intensive
Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu mencapai
60%. 1,2 Estimasi yang akurat tentang insidensi ARDS sulit karena definisi yang
tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. Estimasi
insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-150.000 jumlah penduduk
per tahun (1996).
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung, leaky-
capillary pulmonary edema dan adult respiratory distress syndrome. Tidak ada
tindakan yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko
sudah diidentifikasi sebelumnya. Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi
mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial. American European Concencus
Conference Committee (AECC) merekomendasikan pembatasan volume tidal,
positive end expiratory pressure (PEEP) dan hiperkapnea.
1. Defisini Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai
hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks
dan penurunan compliance atau daya regang paru.
Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai
kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena peningkatan
tekanan kapiler paru. Bentuk yang lebih ringan dari ARDS disebut ALI karena
ALI merupakan prekursor ARDS.
Gambar 1. The Berlin Definition of Acute Respiratory Distress Syndrome

American European Concencus Conference Committee (AECC) pada


tahun 1994 merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda
yang terdiri dari empat komponen yaitu:

Tabel 1
Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus
Conference Committee (AECC) pada tahun 1994
Waktu PaO2/FiO2 Foto PaoP
Thorak
s ≤18 mmHg atau tidak
ALI Akut ≤300mmHg Infiltrat
ada tanda klinis dari
bilateral
peningkatan tekanan
atrium kiri
≤18 mmHg atau tidak
ARDS Akut ≤200mmHg Infiltrate
ada tanda klinis dari
bilateral
peningkatan tekanan
atrium kiri

2. Etiologi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling
tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat
toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian
ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko
ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan
penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan
kerusakan berat pada epitel alveolar. Faktor risiko terjadinya ARDS yaitu :

Tabel 2
Faktor Risiko Klinik ARDS
Akibat Sistemik Akibat Paru Sendiri
Luka Berat Aspirasi asam lambung
Sepsis Emboli karena pembekuan darah,
lemak, udara atau cairan amnion
Pankreatitis TBC miliar
Tranfusi berulang Radang paru eosinofilik akut
DIC Cryptogenic organizing
pneumonitis
Luka bakar Obstruksi saluran nafas atas
Obat-obatan atau overdosis Asap rokok yang mengandung
kokain
Opiate Near-drowning
Aspirin, phenothiazines, tricyclisis Terhisap gas beracun : nitrogen
antidepresan, amiodarone, dioksida, chlorine, sulfur dioksida,
kemotrapi, nitrofurantion, ammonia, asap, keracunan oksigen
protamine
Thrombotic thrombocytopenic Trauma paru
purpura
Cardiopulmonary bypass Ekspose radiasi
Trauma Kepala High altitude exposure
Paraquat Lung reexpansion or reperfusion

3. Patofisiologis Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Acute respiratory distress syndrome (ARDS) menyebabkan terjadinya
kegagalan nafas tipe I atau dikenal dengan hipoksemia (Ramah & dr. Putu
Kurniyanta, 2016). Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal
napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi
PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas
hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada
lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang
sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara
lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi
parenkim paru atau sirkulasi paru. Istilah hipoksemia dan hipoksia sering tumpang
tindih dalam patofisiologi gagal napas tipe hipoksemia. Yang dimaksudkan
dengan hipoksemia adalah, PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan
dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru.
Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau
berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan
penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2
ke jaringan.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi
akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung,
anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat
meningkat atau normal. Secara umum, tekanan parsial O 2 dalam darah arteri
mencerminkan:
a. Tekanan parsial O2 di gas inspirasi
b. Menit ventilasi
c. Jumlah darah yang mengalir melalui kapiler paru
d. O2 saturasi hemoglobin dalam darah mengalir melalui kapiler paru (efek
metabolisme jaringan dan curah jantung)
e. Difusi melintasi membran alveolar
f. Cocok ventilasi-perfusi
Kegagalan tipe I ditandai dengan tekanan parsial abnormal rendah dari O2
dalam darah arteri. Ini mungkin disebabkan oleh gangguan yang menghasilkan
daerah penerbangan ventilasi-perfusi atau kanan ke kiri shunt intrapulmonary dan
ditandai oleh tekanan parsial rendah O2 dalam darah arteri (PaO2 <60 mmHg
sementara menghirup udara ruangan), peningkatan PaO2- perbedaan PaO2,
campuran vena dan Vd / VT.
Empat mekanisme patofisiologis untuk hipoksemia terlihat dalam berbagai
macam penyakit :
a. ventilasi / perfusi ketimpangan
b. peningkatan shunt,
c. gangguan difusi,
d. hipoventilasi alveolar
Ventilasi/perfusi adalah mekanisme yang paling umum dan sering terjadi
pada saat penurunan ventilasi, biasanya perfusi atau pada saat daerah paru-paru
dengan penurunan lebih besar pada ventilasi daripada perfusi. Manakala pada
kasus shunt, darah vena campuran terdeoksigenasi baik intrapulmonary ataupun
intrakardial bypasses ventilasi alveoli, sehingga menghasilkan "campuran vena".
Penyakit yang meningkatkan jalur difusi oksigen dari ruang alveolar ke kapiler
paru, menurunkan luas permukaan kapiler atau memperpendekkan waktu transit
dari darah melalui kapiler paru mencegah kesetimbangan oksigen alveolar dengan
darah kapiler paru. Dengan tidak adanya penyakit paru yang mendasarinya,
hipoksemia hipoventilasi menyertainya ditandai dengan biasa DA-aO2, perbedaan
oxsigen alveolar ke arteri. Sebaliknya, gangguan di mana salah satu dari tiga
mekanisme lain yang operatif ditandai dengan memperluas dari gradien
arteri/alveolar mengakibatkan hipoksemia berat. Hipoksemia akibat ventilasi atau
perfusi ketimpangan atau kelainan difusi dapat dengan mudah diperbaiki dengan
menambah terinspirasi oksigen, sedangkan bahkan konsentrasi yang sangat tinggi
dari oksigen inspirasi bisa tidak benar hipoksemia disebabkan oleh peningkatan
shunt murni.
4. Diagnosis klinis Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang
menjadi faktor risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi interkostal,
adanya ronkhi kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang
tidak respons dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris.
Sebagian besar kasus disertai dengan Mutiple Organ Dysfunction Syndrome
(MODS) yang umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan
saluran cerna seperti perdarahan saluran cerna.
5. Pemeriksaan penunjang Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
a. Laboratorium:
1. AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia
(pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada
proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
2. Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel,
peningkatan kadar amilase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab
ARDSnya)
3. Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravaskular diseminata
yang merupakan bagian dari MODS.
b. Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru
yang relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-
opak yang difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya
tampak gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran
jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan limfosit pada area
dorsal paru (foto supine).
6. Pendekatan terapi terkini untuk Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi
pasien ARDS dengan atau tanpa Multiple Organ Dysfungsi Syndrome (MODS)
meliputi:
a. Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
b. Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.
c. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ dengan
cara meminimalkan angka metabolik.
d. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
e. Dukungan nutrisi.
Gambar 2. Manajemen ARDS
7. Terapi farmakologis ARDS
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat
terbatas. Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak
memang bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih
kontroversi. Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan
manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa.
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa
randomized controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan
kortikosteroid sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat.
Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis
1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan
kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator dalam
hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak terbukti
menurunkan angka mortalitas.
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2)
mungkin dapat menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan
dengan menurunkan impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS
mengalami perbaikan oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin
intravena mempunyai dampak aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara
pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata
memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS.

Gambar 4. Terapi Farmakologis Sebagai Salvage Terapi Pada ARDS


Khan, Kantrow, & Taylor, 2015 menyebutkan usaha untuk
mengembangkan terapi farmakologis untuk ARDS sejauh ini masih belum
berhasil, belum ada farmakoterapi yang secara jelas dapat mengurangi
angka kematian ARDS meskipun telah banyak studi dilakukan untuk
meneliti agen-agen yang potensial. Kesimpulan yang bisa ditarik dari
berbagai studi yang meneliti berbagai macam agen adalah meskipun
didapatkan hasil yang efektif saat dilakukan percobaan secara in vitro atau
pada binatang, kebanyakan terapi potensial gagal mengurangi angka
mortalitas atau hasil lain yang penting pada percobaan pada manusia,
beberapa jenis agen memperbaiki oksigenasi namun tidak mengurangi
angka mortalitas ARDS.
a. Kortikosteroid
Berdasarkan patofisiologi inflamasi pada ARDS, telah banyak
dilakukan penelitian tentang kortikosteroid dosis tinggi. Pada beberapa
penelitian, tujuannya adalah untuk mencegah ARDS pada pasien dengan
risiko (contoh: syok septik), sedangkan pada penelitian lain steroid
diberikan pada kasus ARDS yang telah bermanifestasi. Yang umum
diberikan adalah Metilprednisolon 30mg/kgBB setiap 6 jam selama 1-2
hari, namun tidak satupun dari penelitian-penelitian tersebut yang
menunjukkan keuntungan dari pemberian steroid, salah satu penelitian
menyebutkan kejadian infeksi yang lebih tinggi pada pasien yang
mendapat terapi steroid. Penggunaan steroid telah lama diperkirakan akan
berguna pada fase lebih lanjut ARDS, yaitu fase fibroproliferatif. Tingkat
sitokin plasma yang meningkat secara persisten tampaknya berhubungan
dengan perburukan survival rate ARDS. Hal ini mendukung teori yang
menyebutkan bahwa ARDS fase lanjut (>7 hari setelah onset) ditandai
dengan inflamasi persisten yang mungkin memberikan respon terhadap
steroid. Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang diberikan
steroid menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah, oksigenasi yang
lebih baik, penurunan disfungsi organ, dan ekstubasi lebih awal. Saat yang
tepat untuk memberikan steroid masih menjadi perdebatan, namun dinilai
masih masuk akal untuk mempertimbangkan pemberian steroid pada
pasien yang tidak membaik dalam 7-14 hari, karena pada subgrup
penelitian didapatkan keuntungan dan tidak terbukti adanya kerugian.

b. Vasodilator inhalasi
Vasodilator inhalasi, termasuk nitric oxide dan prostacyclin, secara
selektif menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang membantu
memperbaiki status oksigenasi tanpa efek samping buruk pada
hemodinamik sistemik. Nitric oxide menyebabkan dilatasi pembuluh darah
dengan meningkatkan pengubahan cyclic guanosine monophosphate yang
mengarah pada relaksasi otot polos. Prostacyclin seperti epoprostenol dan
alprostadil bekerja pada reseptor prostaglandin dengan meningkatkan level
cyclic adenosine monophosphate yang menyebabkan relaksasi pembuluh
darah. Selain vasodilatasi, agen-agen ini juga menyebabkan efek pulmonal
dan kardiovaskular yang menguntungkan, seperti mengurangi tahanan
vaskular paru, mengurangi afterload ventrikel kanan, dan meningkatkan
volume sekuncup ventrikel kanan. Hasil 58 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 4.
No. 2 Mei 2018: 51-60 penelitian menyebutkan bahwa vasodilator inhalasi
tidak berhubungan dengan lama menggunakan ventilator dan angka
kematian. Namun karena terapi inhalasi ini memberikan efek memperbaiki
oksigenasi, maka dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan hipoksemia
refrakter.
c. NSAID
Bukti klinis terbaru menyebutkan bahwa terdapat jalur tambahan
yang melibatkan platelet pada onset dan fase resolusi jejas ARDS. Studi
observasional menunjukkan bahwa anti-platelet potensial memiliki peran
preventif pada pasien dengan risiko terjadi ARDS.
d. Terapi baru (Novel therapy)
Sebelumnya telah dibahas bahwa klirens cairan alveolar
dipengaruhi oleh katekolamin. Sebuah studi meneliti efek pemberian
salbutamol intravena dibandingkan dengan plasebo terhadap 40 pasien
dengan ARDS. Pasien yang mendapat salbutamol intravena mengalami
pengurangan jumlah cairan di paru, namun mengalami kejadian aritmia
yang lebih tinggi. Studi ini dihentikan lebih awal karena terdapat
peningkatan angka mortalitas pada kelompok pasien yang mendapatkan
salbutamol intravena.2 Studi serupa menggunakan albuterol aerosol untuk
pasien ARDS, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Oleh
karena itu pemberian 2 agonis belum direkomendasikan untuk ARDS.
Terapi sel punca (stem cell) untuk ARDS sedang diteliti lebih lanjut
karena didapatkan hasil yang menguntungkan saat dilakukan pemberian
sel punca melalui endotrakeal maupun intravena pada binatang.
8. Terapi diet ARDS
Telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat memperbaiki
sistem imun dan meningkatkan hasil terapi penyakit inflamasi, seperti
sepsis dan ARDS. Strategi yang telah dilakukan antara lain suplementasi
arginin, glutamin, asam lemak 𝜔-3, dan antioksidan. Sebuah studi
randomized meneliti efek nutrisi enteral modifikasi yang meliputi
pemberian eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, dan bermacam-
macam antioksidan dibandingkan dengan nutrisi enteral kontrol pada
pasien dengan ARDS, dengan hasil kelompok yang diberi nutrisi enteral
modifikasi tersebut mengalami perbaikan oksigenasi, pengurangan jumlah
neutrofil pada cairan bilasan alveolar, penurunan lama rawat, dan
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik. Formula yang diperkaya dengan
asam lemak 𝜔-3 dapat memberikan efek baik untuk pasien ARDS karena
berkompetisi dengan 𝜔-6 PUFA dan meminimalkan sintesis eikosanoid
proinflamatori. Banyak studi lain yang meneliti pemberian nutrisi enteral
modifikasi (sering disebut imunonutrisi) dengan hasil yang masih
kontroversi, sehingga peran imunonutrisi pada manajemen ARDS masih
belum jelas. Hal lain yang terkait dengan ini adalah seberapa banyak
nutrisi enteral yang harus diberikan. Pada sebuah studi randomized
controlled trial terbaru, jumlah pemberian nutrisi enteral tidak
mempengaruhi hasil terapi dari ALI (Khan et al., 2015).

B. Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Menurut (Bararah Taqiyyah & Jauhar Mohammad.2013, Hal : 283)
pengkajian yang akan dilakukan pada pasien ARDS adalah sebagai berikut
:

a. Identitas
Identitas pada klien diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Keluhan menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan
dari tim Kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit saat ini : Pengkajian ringkas dengan PQRST
dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian :
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
b) Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan
atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik
atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
c) Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
d) Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
e) Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul
mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul
gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa
yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai
obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu. Catat
adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam
tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam
bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta
adanya anoreksia dan mual.
3) Riwayat Penyakit Keluarga : Secara patologi ARDS tidak
diturunkan/tidak?
Pengkajian primer
a. Airway : Mengenali adanya sumbatan jalan napas
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
3) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
4) Jalan napas bersih atau tidak
b. Breathing
1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu /
bradipneu, retraksi.
2) Frekuensi pernapasan : cepat
3) Sesak napas atau tidak
4) Kedalaman Pernapasan
5) Retraksi atau tarikan dinding dada atau tidak
6) Reflek batuk ada atau tidak
7) Penggunaan otot Bantu pernapasan
8) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
9) Irama pernapasan : teratur atau tidak
10) Bunyi napas Normal atau Tidak
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
4) Papiledema
5) Penurunan haluaran urine
d. Disability
1) Keadaan umum : GCS, kesadaran, nyeri atau tidak
2) adanya trauma atau tidak pada thorax
3) Riwayat penyakit dahulu / sekarang
4) Riwayat pengobatan
5) Obat-obatan / Drugs
Pemeriksaan fisik
a. Mata 
1) Konjungtiva pucat (karena anemia)
2) Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
3) Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau
endokarditis)
b. Kulit 
1) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah
perifer)
2) Sianosis secara umum (hipoksemia)
3) Penurunan turgor (dehidrasi)
4) Edema 
5) Edema periorbital
c. Jari dan kuku
1) Sianosis 
2) Clubbing finger
d. Mulut dan bibir 
1) Membrane mukosa sianosis
2) Bernafas dengan mengerutkan mulut 
e. Hidung : Pernapasan dengan cuping hidung
f. Vena leher : Adanya distensi/bendungan 
g. Dada 
1) Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas
pernafasan, dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
2) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan 
3) Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara
melewati saluran /rongga pernafasan)
4) Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
5) Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction
rub, /pleural friction)
6) Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
h. Pola pernafasan 
1) Pernafasan normal (eupnea)
2) Pernafasan cepat (tacypnea)
3) Pernafasan lambat (bradypnea)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Hipertemia
b. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
c. Gangguan Pertukaran Gas
3. INTERVENSI/PERENCANAAN
No Diagnosa Tujuan & Intervensi (SIKI)
(SDKI) kriteria hasil
(SLKI)
1 Hipertermia Setelah Intervensi Utama :
(D.0130)
diberikan Manajemen Hipertermia
intervensi selama a. Observasi
1 x 24 jam 1. Identifikasi penyebab
Termoregulasi hipertermia (misalnya
Membaik dengan dehidrasi, terpapar lingkungan
kriteria hasil : panas, penggunaan incubator)
a. Menggigil 2. Monitor suhu tubuh
menurun 3. Monitor kadar elektrolit
b. Kejang 4. Monitor haluaran urine
menurun 5. Monitor komplikasi akibat
c. Takikardi hipertermia
menurun b. Terapeutik
d. Takipnea 1. Sediakan lingkungan yang
menurun dingin
e. Bradikardi 2. Longgarkan atau lepaskan
menurun pakaian
f. Suhu tubuh 3. Basahi dan kipasi permukaan
membaik tubuh
g. Ventilasi 4. Berikan cairan oral
membaik 5. Ganti linen setiap hari atau
h. Tekanan darah lebih sering jika mengalami
membaik hyperhidrosis (keringan
berlebih)
6. Lakukan pendinginan
eksternal (misalnya selimut
hiportermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian antipiretik
atau aspirin
8. Berikan oksigen jika perlu
c. Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
d. Kolaborasi
1. Pemberian cairan elektrolit
intravena, jika perlu
Regulasi Temperatur
a. Observasi
1. Monitor suhu bayi sampai
stabil (36,5C-37,5C)
2. Monitor suhu tubuh anak tiap
dua jam, jika perlu
3. Monitor tekanan darah,
frekuensi pernapasan dan nadi
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor dan catat tanda dan
gejala hiportemia atau
hipertemia
b. Terapeutik
1. Pasang alat pemantau suhu
continue, jika perlu
2. Tingkatkan asupan nutrisi dan
cairan yang ade kuat
3. Bedong bayi segera stelah
lahir untuk mencegah
kehilangan panas
4. Masukan bayi BBLR kedalam
plastic setelah lahir
5. Gunakan topi bayi untuk
mencegah kehilangan panas
bayi baru lahir
6. Tempatkan bayi baru lahir
dibawah radiant warmer
7. Pertahankan kelembaban
incubator 50% atau lebih
untuk mengurangi kehilangan
panas karena proses evaporasi
8. Atur suhu incubator sesuai
kebutuhan
9. Hangatkan terlebih dahulu
bahan-bahan yang akan kontak
denganbaik (misalnya
bedongan, stetoskop)
10. Hindari meletakan bayi dekat
jendela atau di area aliran
pendingin ruangan atau kipas
angina
11. Gunakan matras penghangat,
selimut hangat dan
pengahangat ruangan untuk
menaikan suhu tubuh, jika
perlu
12. Gunakan Kasur pendingin,
water circulating blankets, ice
pack atau gel pad dan
intravascular cooling
catheterization untuk
menurunkan suhu tubuh
13. Sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien
c. Edukasi
1. Jelaskan cara pencegahan heat
exhaustion dan heat stroke
2. Jelaskan cara pencegahan
hipotermi karena terpapar
udara dingin
3. Demonstrasikan teknik
perawatan metode kanguru
(PMK) untuk bayi BBLR
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
2 Bersihan Setelah Intervensi utama :
Jalan Napas Latihan batuk efektif
diberikan
Tidak Efektif a. Observasi
(D.0001) intervensi selama
1. Identifikasi kemampuan batuk
1 x 24 jam
2. Monitor adanyan retensi
Bersihan Jalan
sputum
Napas Meningkat
3. Monitor tanda dan gejala
dengan kriteria
infeksi saluran napas
hasil :
4. Monitor input dan output
a. Batuk efektif
cairan
meningkat
b. Terapeutik
b. Produksi
1. Atur posisi semi fowler /
sputum
fowler
menurun
2. Pasang perlak dan bengkok di
c. Mengi
pangkuan pasien
menurun
3. Buang sekret pada tempat
d. Wheezing
sputum
menurun
e. Dispnea c. Edukasi
menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
f. Frekuensi batuk efektif
napas 2. Anjurkan tarik napas dalam
membaik melalui hidung ditahan selama
g. Pola napa 2 detik, kemudian keluarkan
membaik dari mulut dengan bibir
mencucu (di bulatkan) selama
8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik
napas dalam selama 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat
setelah tarik tarik napas dalam
yang ke 3
d. Kolaborasi
1. Pemberian mukolitik
(ekspektoran), jika perlu
Manajemen jalan napas
a. Observasi
1. Monitor posisi selang
endotrakheal (ETT), terutama
setelah mengubah posisi
2. Monitor tekanan balon ETT
setiap 4-8 jam
3. Monitor kulit area stoma
trakheostomi (Mis.
Kemerahan, drainase,
perdarahan)
b. Terapeutik
1. Pasang orofaringheal airway
(OPA) untuk mncegah ETT
tergigit
2. Cegah ETT terlipat (Kinking)
3. Berikan p-oksigenasi 100%
selama 30 detik (3-6kali
ventilasi) sebelum dan setelah
penghisapan
4. Berikan volume pre-
oksigenasi (bagging atau
ventilasi mekanik) 1,5 kali
volme tidal
5. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 1,5 detik jika
diperlukan (bukan secara
berkala/rutin)
6. Ganti viksasi ETT setiap 24
jam
7. Ubah posisi ETT secara
bergantian (kiri dan kanana)
tutup setiap 24 jam
8. Lakukan perawatan mulut
(mis.dengan sikat gigi, kasa,
pelembab bibir)
9. Lakukan perawatan stoma
trakeostomi
c. Edukasi
1. Jelaskan pada pasien dan
keluarga tujuan dan prosedur
pemasangan jalan napas
bauatan.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi intubasi ulang jika
terbentuk mucous plug yang
tidak dapat dilakukan
penghisapan
Pemantauan respirasi
a. Observasi
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalam dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti
bradipneu takipneu,
hiperventilasi, kusmaul,
cheyne-stokes,biot,ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk
efektif
4. Monitor adanya produksi
sputum
5. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan pemantauan, jika
perlu
3 Gangguan Setelah Inervensi utama :
Pertukaran Pemantauan respirasi
diberikan
Gas (D.0003) a. Observasi
intervensi selama
1. Monitor frekuensi, irama,
1 x 24 jam
kedalam dan upaya napas
Pertukaran Gas
2. Monitor pola napas (seperti
Meingkat dengan
bradipneu takipneu,
kriteria hasil :
hiperventilasi, kusmaul,
a. Dispnea
cheyne-stokes,biot,ataksik)
meningkat
3. Monitor kemampuan batuk
b. Bunyi napas
efektif
tambahan
4. Monitor adanya produksi
menurun
sputum
c. PCO2
5. Monitor adanya sumbatan
membaik
jalan napas
d. PO2 membaik
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
e. Pola napas
paru
membaik
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan pemantauan, jika
perlu
Terapi oksigen
a. Observasi
1. Monitor kecepatan aliran
oksigen
2. Monitor posisi alat terapi
oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara
periodik dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. Oksimetri,
analisa gas darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
6. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
aktelektasi
8. Monitor timgkat kecemasan
akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas hidung
akibat pemasangan oksigen
b. Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut,
hidung dan trakhea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan
napas
3. Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan,
jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat
pasein di transportasi
6. Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
c. Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen
dirumah
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas dan
tidur

4. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

N Diagnosa Hari/ Implementasi Ja Evaluasi para


o Tangga m f
l/

Jam
Observasi
1 Hipertermi 1. ajarkan
1. Identifikasi
a kompres
penyebab
hangat jika
hipertermia
demam
(misalnya
2. ajarkan
dehidrasi,
cara
terpapar
pengukuran
lingkungan
suhu
panas,
penggunaan 3. ajarkan
incubator) penggunaan
2. Monitor suhu pakaian
tubuh yang dapat
3. Monitor menyerap
kadar keringat
elektrolit
4. anjurkakn
4. Monitor
menciptakan
haluaran
lingkungan
urine
yang
5. Monitor
nyaman
komplikasi
5. anjurkan
akibat
menggunak
hipertermia
an pakaian
Terapeutik
yang
1. Sediakan
longgar
lingkungan
yang dingin
2. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap
hari atau lebih
sering jika
mengalami
hyperhidrosis
(keringan berlebih)
6) Lakukan
pendinginan
eksternal (misalnya
selimut
hiportermia atau
kompres dingin
pada dahi, leher,
dada, abdomen,
aksila)
7) Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
8) Berikan oksigen
jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah
baring
Kolaborasi
2. Pemberian
cairan elektrolit
intravena, jika
perlu

Observasi
2 Bersihan 1. monitor
5. Identifikasi
Jalan pola napas
kemampuan
Napas (frekuensi,
batuk
Tidak kedalaman,
6. Monitor adanyan
Efektif usia napas)
retensi sputum
2. monior
7. Monitor tanda
bunyi napas
dan gejala
tambahan
infeksi saluran
(mis.
napas
Gurgling
8. Monitor input
mengi,
dan output
wheezing
cairan
ronkhi
Terapeutik
kering)
4. Atur posisi semi
fowler / fowler 3. monitor
5. Pasang perlak spuntum
dan bengkok di (jumlah,
pangkuan pasien warna,
6. Buang sekret aroma
pada tempat
sputum
Edukasi
5. Jelaskan tujuan
dan prosedur
batuk efektif
6. Anjurkan tarik
napas dalam
melalui hidung
ditahan selama 2
detik, kemudian
keluarkan dari
mulut dengan
bibir mencucu
(di bulatkan)
selama 8 detik
7. Anjurkan
mengulangi tarik
napas dalam
selama 3 kali
8. Anjurkan batuk
dengan kuat
setelah tarik
tarik napas
dalam yang ke 3
Kolaborasi
2. Pemberian
mukolitik
(ekspektoran),
jika perlu

Observasi
3 Gangguan 1. monitor
11. Monitor
Pertukara frekuensi,
frekuensi, irama,
n Gas irama,
kedalam dan
kedalaman
upaya napas
dan uapaya
12. Monitor pola
napas.
napas (seperti
2. memonitor
bradipneu pola napas
takipneu, 3. memonitor
hiperventilasi, kemampuan
batuk efektif
kusmaul,
cheyne- 4. memonitor
adanya
stokes,biot,ataksi
produksi
k) spuntum
13. Monitor
5. melakukan
kemampuan aukultasi
batuk efektif bunyi napas

14. Monitor adanya


produksi sputum
15. Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
16. Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
17. Auskultasi
bunyi napas
18. Monitor
saturasi oksigen
19. Monitor nilai
AGD
20. Monitor hasil
x/ray toraks
Terapeutik
3. Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
4. Dokumentasikan
hasil
pemantauan
Edukasi
3. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
4. Informasikan
pemantauan, jika
perlu

C. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan ARDS hanyalah pencegahan
sekunder dan tersier. Pencegahan sekunder dilakukan dengan identifikasi
faktor risiko pada pasien-pasien risiko tinggi untuk dapat mendeteksi awal
gejala distress pernapasan. Pengawasan PaO2/FiO2 dan deteksi dini terutama
harus dilakukan pada pasien-pasien pneumonia, sepsis, aspirasi, pasien rawat
intensif, dan trauma toraks.
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan meminimalisir
penggunaan ventilator. Pemantauan penanda biologis/biomarker serta
evaluasi orang sistem skoring pada pasien risiko tinggi juga dapat dilakukan
untuk mencegah perburukan ARDS. 
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah sekumpulan


gejala dan tanda yang terdiri dari empat komponen yaitu: gagal napas akut,
terdapat gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan gambaran
edema paru pada foto toraks dan tidak ada hipertensi atrium kiri serta tekanan
kapiler wedge paru <18 mmHg. ARDS merupakan kegagalan nafas tipe 1 atau
sering disebut hipoksemia. Prinsip-prinsip dasar penangan ARDS adalah
pertama: pemberian oksigen, PEEP danventilasi tekanan positif, kedua: atasi
infeksi, MODS dan penyebab dasarnya, ketiga: pengaturan ventilasi mekanik
yang hati- hati terutama volume tidal.
DAFTAR ISI

American Association Of Critical-Care Nurses (AACN). 2012. About Critical Care


Nursing. Diunduh Dari Https://Www.Aacn.Org

Issa, N., & Shapiro, M. (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome. Trauma,
Critical Care And Surgical Emergencies: A Case And Evidence-Based Textbook,
(1967), 252–260.
Khan, A., Kantrow, S., & Taylor, D. E. (2015). Acute Respiratory Distress Syndrome.
Hospital Medicine Clinics, 4(4), 500–512.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Ehmc.2015.06.010

https://www.alomedika.com/penyakit/icu/ards/edukasi-dan-promosi-kesehatan

Anda mungkin juga menyukai