DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................i
DAFTAR TABEL................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
BAB I....................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II...................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
2.1 Definisi Lupus Nefritis..........................................................................................4
Lupus Nefritis............................................................................................................... 15
2.4.2.3 Progresi Penyakit menjadi Fibrosis dan Sklerosis.........................................16
2.6 Penilaian Aktivitas Penyakit dan Kerusakan Organ pada Lupus Nefritis...........21
2. 7 Biopsi Ginjal...................................................................................................... 23
2.7 Pemeriksaan Laboratorium pada Lupus Nefritis.................................................25
i
ii
2.9 Rasio Protein/Kreatinin Urine Sewaktu sebagai Prediktor Protein Urine 24 Jam
RINGKASAN......................................................................................................... 52
SUM MARY .......................................................................................................................... 54
PUSTAKA ACUAN............................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
disebabkan oleh karena disregulasi sistem imun dengan variasi manifestasi klinis dan
patologik yang melibatkan hampir seluruh organ dalam tubuh. Penyebab SLE tidak
besar dalam penyakit ini.1 Penderita dapat memiliki manifestasi klinis dan ekspresi
serologik yang berbeda. Kejadian penyakit SLE 10 – 15 kali lebih banyak mengenai
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan
Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke
Keterlibatan ginjal pada penyakit SLE adalah yang paling umum dan memiliki
angka kejadian yang tinggi selama penjalanan penyakit SLE dengan lesi, patologi
ginjal yang bervariasi dan gambaran klinis yang berbeda. Penderita SLE dengan
keterlibatan ginjal disebut juga lupus nefritis. Hampir 50% dari penderita SLE akan
Lupus nefritis merupakan salah satu penentu prognosis yang buruk diantara
1
2
menyebabkan end stage renal disease. Penderita dengan end stage renal
oleh
karena itu diagnosis dini dan perawatan yang sesuai untuk lupus nefritis akan
Biopsi ginjal masih merupakan standar baku untuk diagnosis lupus nefritis, tetapi
pemeriksaan ini bersifat invasif terutama bila harus dilakukan serial dan hasil biopsi
atau proses penyakit yang kronik.5 Saat ini diagnosis glomerulonefritis pada SLE
tidak invasif dan dapat digunakan untuk menganalisis penyakit ginjal, juga dapat
pengobatan untuk glomerulopathy.
dari urine 24 jam karena alasan bahwa adanya variasi yang besar dari konsentrasi
protein urine sepanjang hari. Tetapi harus diakui bahwa pengumpulan urine 24 jam
memiliki
banyak kesulitan seperti pengaruh kondisi penderita, cara pengumpulan yang benar
sampel urine sewaktu dianggap sebagai pemeriksaan yang layak untuk kuantifikasi
proteinuria. Rasio protein/kreatinin urine (UPCR) telah diteliti cukup akurat dan
metode yang mudah untuk mengestimasi protein dalam urine pada wanita hamil,
penderita transplantasi ginjal, dan diabetik nefropati juga pada anak-anak. Namun
3
penggunaan rasio ini untuk evaluasi dan monitoring penderita dengan lupus nefritis
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai penyakit lupus nefritis, proteinuria
urine dan analisis protein urine sewaktu sebagai alternatif kuantifikasi protein urine
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tubulointertisial yang disebabkan oleh deposit komplek imun pada ginjal. Komplek
kronis dan menyebabkan kerusakan ginjal yang dapat berakhir pada gagal ginjal
kronis.8
Tidak semua gangguan ginjal pada penderita SLE merupakan lupus nefritis.
gram per 24
jam atau tes dipstik protein urine >+3 dengan atau tanpa celullar cast berupa red
mediated glomerulonephritis.10,11
4
5
.2
dari 25% pasien LN berakhir pada kondisi end stage renal disease (ESRD) setelah
dan 10 tahun penyakit pada tahun 1990 tercatat adalah antara 83-93% dan 74-
84%.12
gangguan ginjal daripada penderita SLE dewasa dengan gejala lebih berat dan
SLE lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (rasio 9:1), lupus nefritis juga
lebih banyak ditemukan pada wanita. Namun, klinis keterlibatan ginjal pada
penderita SLE pria lebih banyak terjadi dan lebih memiliki prognosis buruk
tahun setelah tegak diagnosis SLE. Hanya sekitar 5 % kasus LN muncul setelah
beberapa tahun onset penyakit SLE (delayed lupus nephritis). Kejadian delayed
nephritis (LN yang terjadi kurang dari 5 tahun onset penyakit SLE). 14
LN,
pertama kali dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1974
mengalami revisi di tahun 1982, 1995 dan revisi terakhir tahun 2003 oleh
Tabel 2.3 Klasifikasi Lupus Nefritis tahun 2003 oleh I nternational Society of
Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
Immunofluorescence and
Class IV-G (A) Active Subendothelial immune deposits
electron microscopy
lesions - Diffuse Clinical evidence of renal disease including
global proliferative lupus Clinical manifestations
hypertension, edema, active urinary sediment,
nephritis
Light microscopy
Class V
Membranous lupus
nephritis Immunofluorescence and
electron microscopy
Diffuse thickening of glomerular
basement membrane without
inflammatory infiltrate;
possibly, subepithelial
deposits and surrounding
basement membrane spikes on
special stains, including silver
and trichrome;
DNA/RNA menjadi antigen), yang mengalami nekrosis atau komponen sel yang
terlepas.19 Otoantigen nuklear sirkuler ini akan menstimulasi sel imun alamiah
Sel-sel imun yang teraktivasi adalah sel dendritik dan sel B yang berperan
sebagai antigen presenting cell (APC) terhadap sel limfosit T. Sel dendritik
yaitu sitokin IFN-, TNF-, dan mengaktivasi sel T yang kemudian mengaktifkan
10
imun yang akan juga mengaktivasi sel T. Terbentuknya deposit imun yang makin
menyebabkan kerusakan dan bersifat sitotoksis terhadap sel-sel seperti sel podosit
Diantara otoantibodi tersebut yang banyak ditemukan pada nefritis adalah anti
dsDNA.19
Patogenik antibodi anti-dsDNA deposit sebagai komplek imun dan bila antibodi
yang sangat susceptible terhadap deposit komplek imun yang berasal dari
sirkulasi karena menerima jumlah yang banyak dari cardiac output dan
memiliki permukaan kapiler glomerular yang luas. Komplek imun ini deposit
11
yang menjadi sasaran antara lain, laminin, fibronektin, kolagen IV, heparan
ikatan
otoantibodi dengan protein renal yang berbeda dapat berdeposit pada sel
glomerulus yang berbeda dan menyebabkan tipe/jenis patologi ginjal yang
berbeda pula.7,20
3) Teori planted antigen. Mekanisme ketiga deposit komplek imun in situ ini
karena diperantarai oleh histon yang bermuatan positif dan menempel pada
12
Gambar 2.1 Mekanisme deposit komplek imun pada membran glomerulus basalis
7
beratnya LN. Ini menjelaskan bahwa formasi komplek imun pada mesangium
menyebabkan lesi kelas I dan II, deposit di subendotelial menyebabkan lesi kelas
III dan IV dan deposit komplek imun di subepitelial menyebabkan lesi kelas V
dan overlapping bentuk pada kelas III/IV dan IV/V pada klasifikasi ISN/RPS.18 Deposit
melalui perantara aktivasi komplemen, atau berikatan dengan FcRs pada sel renal
dan TLRs yang kemudian diikuti dengan regulasi renal dan kemokin inflamasi
13
irreversible.7
2.4.2.1 Aktivasi Komplemen dan Kerusakan Jaringan pada Lupus Nefritis
peranan dalam klirens materi apoptosis dan komplek imun. Oleh karena itu pada
Aktivasi komplemen yang terjadi melalui jalur klasik, lektin dan alternatif akan
dan C5 dan akan melepaskan produk proinflamasi (C3a dan C5a) yang akan
oksidan dan protease yang merusak membran glomerulus basalis. MAC juga akan
14
Gambar 2.2 Kaskade aktivasi komplemen.
Dikutip dari: Davidson7
merupakan komponen pertama dari jalur klasik yang berikatan langsung dengan
sel apoptosis dan imunoglobulin yang beragregasi. Antibodi anti C1q akan
berikatan dengan C1q dan mengganggu klirens komplek imun dan materi
apoptosis.7
15
2.4.2.2 F c receptors (Fc Rs) dan Toll-like receptors (TLRs) dan Sel Imun
adalah peranannya mengaktivasi FcRs dan TLRs. Aktivasi FcRs yang berikatan
dengan otoantibodi dan TLRs terutama TLRs 9 sebagai bagian dari kelompok
imun alamiah akan mengenali DNA/RNA dari komplek imun dan merangsang sel
dendritik intrarenal melepaskan IFN dan TNF. Sel-sel inflamasi ini akan
dan IL-23 dan mediator inflamasi seperti iNOS dan ROS. Makrofag juga berperan
merekrut netrofil ke lokasi inflamasi dan mengaktifkan (diferensiasi) sel T. Sel T
(Th1) akan mengeluarkan sitokin proinflamasi ( IL-12, IL-8 dan IFN) yang akan
mengaktifkan dan merekrut sel dendritik dan makrofag lebih banyak lagi. Sel T
menyebabkan kerusakan renal melalui disrupsi fungsi seluler, sifat sitotoksis yag
diperantarai oleh interaksi dengan komplemen dan lepasnya mediator inflamasi. 7,20
16
peningkatan apoptosis sel endotel dan kerusakan pada membran glomerulus akibat
dari mediator inflamasi iNOS dan ROS. Kerusakan juga berlanjut pada tubulus
renal. Selain itu kerusakan vaskuler (apoptosis sel endotel, trombosis dan
retikulum endoplasma, stres mitokondrial dan akumulasi zat radikal aktif. Semua
parenkim yang apoptosis dengan jaringan fibrosis. Jika proses inflamasi yang
jaringan berjalan lambat dan fibrosis semakin bertambah dan dan jaringan fibrosis
lebih menjadi sklerosis. Kondisi ini bila lanjut akan menyebabkan gangguan
ginjal kronik dan berakhir dalam keadaan end stage renal disease (ESRD). 7,20
18
mikroskopik urine
2) Gangguan ginjal akut atau kronis dapat terjadi pada LN. Ditandai dengan
3) Sindrom nefritik akut dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan ginjal,
V atau membranoproliferatif.
lupus. Dilaporkan, proteinuria ditemukan pada 100% penderita LN, dan sindrom
19
Penderita LN aktif memiliki keluhan dan gejala fisik seperti SLE yang aktif,
system (CNS) disease. Umumnya keluhan gejala ini merupakan keluhan utama
pada saat datang, terutama pada penderita LN proliferatif lokal atau difus.
Sebagian
protein urine positif dengan kelainan mikroskopik urine. Kondisi ini merupakan
tipikal LN mesangial atau membranous. Gejala yang berkaitan dengan nefritis
diagnosis SLE dapat ditegakkan bila terdapat 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE.
20
Tabel 2.5 Kriteria Ameri can College of Rheumatology (ACR) tahun 1997 untuk SLE
Kriteria Definisi
Malar rash Eritema yang rata atau sedikit menimbul di atas permukaan kulit
wajah, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika
nasolabialis
Discoid rash Ruam berbentuk bulatan menimbul di atas permukaan kulit
dengan lapisan yang terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada
lesi lama mungkin berbentuk jaringan parut
Fotosensitivitas Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar
matahari, diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
Ulserasi oral atau nasofaring Biasanya tidak disertai nyeri, ditemukan melalui pemeriksaan
fisik Artritis non erosif Artritis non erosif yang mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak,
Pleuritis atau perikarditis 1te.r aPslae unryietirsi a: tariuw taeyrdaat pnayt erfiu spil esiunroav aiatal
u terdengar bunyi gesekan
atau adanya bukti efusi pleura, atau
2. Perikarditis : bukti pemeriksaan EKG atau didapatkan bunyi gesekan perikardium atau terdapat efusi
perikardium
Kelainan ginjal 1. Proteinuria persisten > 0,5 gr/24 jam atau pemeriksaan protein
urine sewaktu > 3+, atau
2. Silinder seluler : dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran
Kelainan neurologis 1. Kejang spontan bukan karena obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis atau gangguan
keseimbangan elektrolit, atau
2. Psikosis tanpa sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis atau gangguan
keseimbangan elektrolit
2. Leukopenia : <4000/mm pada ≥2x pengukuran, atau
3. Limfopenia : <1500/mm3 pada ≥2x pengukuran, atau
4. Trombositopenia : <100000/mm3 tanpa obat-obatan yang
dapat menimbulkan trombositopenia
Kelainan imunologi 1. Anti-DNA : titer abnormal antibodi terhadap native DNA,
atau
2. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos,
atau
3. Antifosfolipid antibodi positif berdasarkan pada :
a. Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-
kardiolipin, atau
b. Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode
standard, atau
c. Uji serologis positif palsu selama minimal 6 bulan dan
dikonfirmasi oleh uji imobilisasi Treponema pallidum
atau uji fluoresensi absorbsi antibodi Treponema
Antibodi antinuklear positif Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunofluoresensi
atau cara lain yang setara, yang dilakukan pada saat yang sama
tanpa adanya sindroma lupus karena obat
Dikutip dari: Hochberg MC22
Dari kriteria ACR, diagnosis LN adalah sebagai gangguan ginjal pada penderita
21
persisten >0,5 gram per 24 jam atau tes dipstik protein urine > +3 dengan atau
2.6 Penilaian Aktivitas Penyakit dan Kerusakan Organ pada Lupus Nefritis
Penilaian terhadap aktivitas penyakit pada penderita SLE secara umum adalah
hal yang penting bagi dokter klinis untuk mengambil keputusan dalam manajemen
terapi. Sedangkan penilaian kerusakan organ pada penderita SLE adalah untuk
alternatif atau terapi yang lebih intensif. Kriteria flare pada renal adalah
eritrosit pada sedimen urine. Untuk penyakit nefritis pada SLE, parameter yang
2) Hematuria dengan >5 RBC/ LPB, kecuali yang disebabkan oleh batu
22
atau dalam 10 hari, dan saat terapi untuk menilai remisi, perbaikan atau
persisten.24
Sedangkan untuk menilai kerusakan organ pada SLE dimulai dari onset
index. Indeks ini untuk menilai 12 organ yang dapat mengalami kerusakan sejak
onset SLE. Kerusakan didefinisikan pada SLE apabila kriteria parameter yang
terdapat, kriteria:24
23
2. 7 Biopsi Ginjal
progresivitas ( flare) pada lupus glomerulonefritis. Secara rutin, biopsi ginjal ini
inflamasi serta kerusakan jaringan ginjal yang memerlukan jenis terapi berbeda
24
Indikasi biopsi ginjal pada penderita SLE dilakukan bila terdapat beberapa
keadaan sebagai berikut:27
1) Gagal ginjal akut yang ditandai dengan peningkatan kreatinin darah 2 kali
normal.
2) Protein urine 500 mg/24 jam dengan atau tanpa sedimen urine.
imnosupresif.25
Dengan biopsi ginjal, kita akan mengetahui kelas histopatologi LN seperti yang
biopsi ginjal antara lain, diperlukan keahlian teknik biopsi dalam menemukan
kemungkinan terdapat lesi, lesi yang ditemukan pada biopsi dapat heterogen,
adanya transisi dari satu tipe ke tipe lainnya selama perjalanan LN, adanya lesi
parenkim tambahan dan tidak sesuainya lesi yang ditemukan dengan parameter
25
kelainan seperti trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap komponen
darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Risiko biopsi berupa perdarahan
6,4% biopsi.27 Tabel 2.7 Jenis komplikasi perdarahan pasca biopsi renal yang telah
Microhematuria (new or old) 90-100%
dilaporkan
Macrohaematuria 5-10%
Perirenal hematoma, clinical relevant < 5%
Surgical intervention < 0.2%
Arteriovenous fistula 5-10%
Lesions of other organs near kidney < 5%
Nephrectomy 1/2000 - 1/5000
28
Dikutip dari: Vogt
Biopsi ginjal merupakan standar baku untuk diagnosis LN, yang memberikan
pemeriksaan biopsi bersifat invasif terutama bila harus dilakukan serial dan hasil
kunjungan awal terapi dan follow up. Klasifikasi WHO adalah panduan untuk
ginjal pada penderita SLE diantaranya adalah proteinuria semikuantitatif +3 dan
27
apabila ditemukan indikator hematuria dan celullar cast berupa red atau white
celullar cast. Dan untuk keberhasilan terapi adalah bila didapatkan hasil follow
up sedimen urine inaktif (<5 red blood cells, <5 leukocytes, 0 red blood cell
casts).16,27,29
untuk melihat warna dan kejernihan, kimiawi dan mikroskopik urine untuk
yang dilakukan tanpa menggunakan media mikroskop atau dapat dilakukan secara
kasat mata meliputi warna, kejernihan, busa, bau, rasa dan volume urine.30 Pada
spesimen urine dalam keadaan segar, karena eritrosit, lekosit, silinder mudah
hancur dan larut dalam urine yang alkali. Pendinginan urine dapat menyebabkan
lainnya. Urine yang diambil adalah urine pancar tengah (midstream) untuk
1) Sebelum pengumpulan spesimen urine, glans penis pria atau meatus uretra
wanita dicuci dan dibersihkan dengan sabun atau larutan antiseptik.
28
2) Setelah itu, urine pancar tengah didapatkan dengan cara membuang terlebih
dahulu urine bagian awal, lalu menampung urine bagian tengah ke dalam
akhir ke toilet.
berikut: 32
adalah 12 mL (10-15mL).
yang rapuh.
5) Sedimen urine kemudian ditungang ke atas kaca objek, ditutup dengan kaca
29
kecil dan untuk mengetahui komposisi sedimen secara umum, maka digunakan
perbesaran besar.32
Cellular casts red cell atau hemoglobin menandakan penyakit yang berasal dari
intrinsik ginjal dan selalu bersifat patologis. Eritrosit dalam bentuk dismorfik
berasal dari kerusakan glomerulus (eritrosit yang melintasi barier filtrasi glomerulus
sudah mengalami proses lisis dan degenerasi. Cellular casts dalam bentuk
berasal dari tubulus ginjal. Cellular casts dalam bentuk granular ditemukan dalam
bentuk tidak berwarna dengan granular kasar atau halus, sedangkan cellular cast
bentuk tubular ditemukan dalam bentuk seperti nukleus yang besar khas dan
Kreatinin adalah substansi endogen berasal dari produksi kreatin dan kreatin
30
fosfat oleh otot rangka melalui proses dehidrasi non enzimatik. Karena kreatinin
berasal dari substansi endogen, maka jumlahnya dalam darah memiliki hubungan
dengan keadaan filtrasi oleh ginjal dan ekskresinya ke urine. 33,34 Bila terjadi
gangguan fungsi ginjal maka ekskresi kreatinin akan terhambat dan kadarnya
Pada LN, kreatinin darah diperiksakan selama dilakukan pada saat kunjungan
pertama atau dalam 10 hari, dan saat terapi untuk menilai remisi, perbaikan atau
persisten LN. Kadar kreatinin darah >5 mg/dL merupakan kriteria flare pada renal
berdasarkan MEX-SLEDAI.24
sefalosporin.34
31
dengan enzim reaksi mediasi yang melibatkan kreatin kinase, piruvat kinase dan
fotometri.34
Ada 3 penanda serologi yang berperan pada aktivitas penyakit LN, yaitu anti-
dsDNA, komplemen C3 dan C4. Sebagai tambahan, anti-C1q juga sangat spesifik
untuk aktivitas LN, walaupun penanda serologi ini belum banyak digunakan di
namun demikian terdapat banyak kasus dimana tidak terdapat korelasi antara
penting pada proses kerusakan glomerulus dan hanya anti-dsDNA yang berikatan
dsDNA dengan aviditas tinggi (tes fiksasi komplemen, presipitasi dan Farr assay)
32
adanya defek homozigot atau parsial dari C4A dan/C4B yang mempengaruhi
rendahnya sintesis komplemen C4 dan katabolisme yang tinggi dari C4 yang tidak
33
turbidimetri.38
Prevalensi antibodi anti-C1q pada pasien SLE adalah sekitar 30-60% dan
sekitar 50-100% pasien tersebut mengalami LN. Hal ini menunjukkan
C1q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anti ds-DNA, C3 dan C4, namun
adapula penelitian yang tidak menemukan korelasi anti-C1q dengan LN. 39
Prinsip pemeriksaan antibodi anti-C1q dengan antigen C1q yang sudah direkatkan
kedua, dilakukan penambahan substrat yang akan dikatalisir oleh enzim dan
34
Definisi proteinuria secara umum adalah apabila ekskresi protein dalam urine >
150 mg per 24 jam. Proteinuria dikenal sebagai faktor risiko independen untuk
penyakit kardiovaskular dan ginjal dan sebagai prediktor dari kerusakan organ
bersifat lanjut. Deteksi peningkatan ekskresi protein dalam urine secara khusus
memiliki nilai diagnostik dan prognostik dalam mendeteksi dan konfirmasi inisial
menjadi alat skrining bagi penderita yang berisiko mengalami gangguan ginjal. 40
Protein dalam urine menjadi salah satu parameter yang digunakan dalam
panduan klasifikasi WHO untuk LN, apabila biopsi ginjal tidak dapat dilakukan.
Pada LN, perubahan proteinuria sangat penting, karena bagi SLE yang memiliki
(lupus nefritis).41
karena dua mekanisme, yaitu peningkatan ekskresi protein secara abnormal lewat
kerusakan tubulus (atrofi) yang menyebabkan gangguan reabsorpsi oleh sel epitel
42
pada tubulus proksimal ginjal.
35
basalis) dan
36
Gambar 2.5 Sistem filtrasi glomerulus
Dikutip dari: Tryggvason K, dkk 43
Sehingga hanya protein yang berukuran kecil (berat molekul <70 kDa) dan
Kemudian, semua protein yang dapat melewati filtrasi glomerulus ini hanya
ditemukan dalam sejumlah kecil pada urine dalam kondisi fisiologis karena
disebabkan mekanisme reabsorpsi total yang efisien dari sel epitel tubulus
normal mengandung protein <150 mg per 24 jam dengan komposisi 20% low
molecular-weight albumin (65 kDa) dan 40% berasal dari protein uromodulin
non selektif dengan ukuran BM >100 kDa (high molecul weight/ HMW protein)
dan bermuatan negatif dapat melewati filtrasi glomerulus. Apabila protein yang
lolos dari filtrasi ini bersifat masif (ekskresi protein LMW, intermediate dan
HMW) karena kerusakan glomerular yang kronis, maka sel epitel tubulus
sel tubular (atrofi) sehingga terjadi kerusakan tubulointertisial yang berat. Sebagai
38
akibatnya proteinuria banyak keluar bersama urine dan terjadi proteinuria pada
penderita LN.42,45
Keterangan :
(A) Kondisi fisiologis: semua LMW dan sebagian albumin yang melewati filtrasi
direabsorpsi seluruhnya oleh sel tubulus (absen proteinuria).
(B) Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan gangguan restriksi
berdasarkan muatan menyebabkan albumin dan sebagian kecil protein HMW
mencapai lumen tubulus dan secara kompetitif tereabsorpsi sel tubulus
menyebabkan keluarnya sebagian protein LMW, albumin dan sedikit HMW
bersama urine (proteinuria selektif). Kondisi ini ditemukan pada keadaan
fisiologis dan awal kerusakan glomerulus.
39
secara umum.
Tabel 2.10 Kemungkinan kerusakan ginjal dari proteinuria yang terjadi secara
umum
Protein dalam urine dapat disebabkan adanya deposit imun pada sepanjang
endotel, kerusakan podosit atau jejas dan perubahan histologi pada membran
40
basalis glomerulus. Selain itu proteinuria juga menggambarkan fibrosis dan atrofi
intertisial dan tubular.48
diagnosis dan sistem aktivitas penyakit LN. Berdasarkan kriteria ACR tahun
proteinuria persisten >0,5 gram per 24 jam atau tes dipstik protein urine >+3.
Sebagai kriteria respon terhadap terapi obat yang diberikan, maka penderita
proteinuria <3,5 gram/24 jam dikatakan sebagai respon parsial dan apabila
proteinuria turun hingga <0,5 gram/24 jam setelah terapi dikatakan respon
komplit.9,29
41
proteinuria >0,5 gram/24 jam. 29 Berdasarkan panduan WHO, proteinuria digunakan
untuk memprediksi lokasi deposit dan lesi bila tidak dilakukan biopsi, namun
parameter protein urine dilakukan dalam 1-3 bulan sekali dengan metode dipstik,
dan proteinuria 24 jam, baik dimulai dari onset penyakit maupun onset terapi.9
urine, analisis urine sewaktu, dan pemeriksaan protein urine 24 jam adalah
berat jenis, pH, darah, lekosit esterase, nitrit, protein, glukosa, keton, bilirubin dan
urobilinogen. Untuk diagnosis dan manajemen LN parameter dipstik urine yang
menentukan adalah protein urine. Uji strip reagen untuk protein memiliki prinsip
kerja protein error of indicator. Saat pH dijaga agar konstan (pH 3,0) dengan
hidrogen
42
Bila urine mengalami dilusi (dengan berat jenis rendah) akan menyebabkan
konsentrasi protein urine menurun dan tidak dapat dideteksi oleh tes dipstik. Oleh
karena itu tes dipstik baru akan bermakna apabila kandungan protein urine lebih
dari 300-500 mg/24 jam (atau albumin >10-20 mg/24 jam). Selain itu pengganggu
tes ini yang akan menyebabkan hasil yang false positif bila pH urine >7 (alkali),
gross hematuria, adanya mukus, semen dan lekosit pada urine, agen iodinasi
karena variasi ekskresi protein dalam sehari dan kurang sensitif dalam mendeteksi
Untuk pemeriksaan jumlah protein yang ada pada urine yang bersifat
semikuantitatif juga dapat memakai metode manual Bang. Dengan prinsip protein
akan membentuk endapan atau menggumpal bila dipanaskan dalam suasana asam,
metode ini akan mendeteksi protein urine dari kadar <10 mg sampai dengan >500
mg%. Prosedur pemeriksaan adalah 0,5 mL reagen Bang yang terdiri dari
campuran Na acetat, asam asetat pekat yang dicampur dalam 100 mL aquades
43
sedikit sekali = <10 mg%), + (kekeruhan sedikit tanpa butir-butir = 10-50 mg%),
untuk kuantifikasi protein urine karena ekskreasi protein urine sangat bervarisi
sepanjang hari sejalan dengan ritme sirkadia (tergantung asupan cairan dan
aktivitas fisik). Namun, pemeriksaan dapat menjadi tidak akurat jika ada
pengumpulan dan penangan sampel urine 24 jam, pasien harus diberikan instruksi
yang jelas dan detail tentang cara pengumpulan urine 24 jam. 51
I selama 12 jam pertama. Contoh dari pukul 5.00 pagi sampai dengan
pukul 17.00 sore. Urine hasil berkemih berikutnya 12 jam kedua (mulai
pukul 17.00 sampai dengan 5.00 pagi keesokan hari) ditampung dalam
botol II.
44
4) Urine tidak boleh ada yang terbuang selama pengumpulan, dan tidak
tercampur feses.
total urine diukur dan dicatat. Urine yang sudah tidak terpakai dapat dibuang. 31
urine dengan prediksi kreatinin 24 jam. Rumus prediksi kreatinin total urine 24
Bila prediksi kreatinin 24 jam – kreatinin total urine / prediksi kreatinin 24 jam
>0,2 maka pengumpulan urine 24 jam dikatakan tidak akurat dan dieksklusi.51 Pada
usia lebih tua, produksi kreatinin urine per hari lebih rendah karena
metode ini adalah protein dalam suasana asam akan mengendap. Prosedurnya
adalah:52
45
2) Asamkan urine dalam tabung I dengan asam asetat glasial 10% beberapa
4) Tabung Esbach dibolak-balik beberapa kali ( 10 kali) agar urine dan
g/L. Hasil nilai endapan kemudian dikalikan dengan jumlah volume urine
(gram)
per 24 jam.
karena lebih nyaman dalam pengumpulan sampel khususnya bagi penderita rawat
sama baiknya dengan pemeriksaan protein urine 24 jam untuk kuantifikasi protein
urine harian.51
46
Prinsip kedua rasio ini adalah karena volume ekskresi albumin atau protein
sangat bervariasi dalam sehari, sedangkan ekskresi kreatinin urine sehari adalah
konstan baik dalam keadaan fisiologis dan patologis. Oleh karena itu, digunakan
tersebut dengan cara konsentrasi albumin atau protein dibagi dengan konsentrasi
kreatinin.53
untuk mendeteksi proteinuria yang dicurigai lebih dari 300 mg/24 jam. Penderita
yang memiliki gambaran proteinuria persisten seperti LN, maka analisis UPCR
menjadi pilihan untuk memantau dan evaluasi terapi untuk mereduksi
proteinurianya.51
atau pancar tengah (midstream). Pemilihan waktu pengambilan urine yang ideal
adalah urine pagi hari setelah bangun tidur pagi ( first morning urine) dikarenakan
urine pada saat pagi hari setelah bangun tidur pagi, spesimen tersebut sudah
tertampung dalam vesika urinaria selama kurang lebih 8 jam sehingga urine lebih
pekat, dan kadar protein yang ada belum dipengaruhi oleh asupan cairan dan
aktivitas fisik. Walaupun spesimen urine pertama pagi hari merupakan spesimen
urine ideal, namun spesimen ini kurang nyaman untuk dikumpulkan. Pasien harus
mengambil wadah minimal satu hari sebelum pemeriksaan dan spesimen urine
tersebut harus ditambahkan pengawet jika tidak akan dianalisis dalam waktu 2
47
mengganggu kadar protein dan sedimen urin adalah toluena, dan asam borat
konsentrasi 1 gr/dL. Pengawet urine seperti formalin 10%, natrium fluorida dan
asam klorida (HCl) tidak cocok karena ada yang tidak sesuai untuk pemeriksaan
dengan strip reagen dan ada yang dapat merusak sedimen urine atau
Alternatif lain adalah spesimen urine sewaktu (random). Untuk kemudahan dan
kapan pun tanpa membutuhkan persiapan pasien terlebih dahulu. Spesimen urine
langsung, demikian pula jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Oleh karena
cukup (pasien diminta untuk minum air sebanyak 750-950 cc setiap jam selama 2
Sampel kemudian diberi label identitas, tanggal dan jam pengambilan urine.
Kemudian protein dan kreatinin urine masing-masing diukur dan dikalkulasi rasio
protein dye binding assay ( pyragalol red ) untuk protein urine dan kreatinin urine
UPCR 0,2 adalah normal dan bila rasio 3,5 adalah rentang proteinuria
nefrotik.54
Pemeriksaan UPCR juga dapat dilakukan dengan tes dipstik. Beberapa tes
dipstik (contoh: Auction stick 10PA dan Clinitek Atlas PRO12) memiliki reagen
pad khusus untuk deteksi protein 30 mg/dL ( protein high-pad) dengan metode
2) Keluarkan satu strip untuk pemeriksaan dan segera tutup kembali tabung stik
reagen.
3) Masukkan stik reagen ke dalam wadah pot urine hingga seluruh pad reagen
4) Kemudian keluarkan stik reagen secara perlahan dan buang kelebihan urine
pada stik dengan cara menempelkan stik pada tisu pada salah satu sisi stik.
5) Baca pad dengan posisi horisontal agar tidak terjadi kontaminasi antar reagen
6) Cocokkan warna sesuai dengan standar warna pada dinding tabung. Atau
7) Rasio protein/kreatinin urine dikalkulasi secara otomatis oleh alat analisis
berdasarkan pembacaaan absorban cahaya dari hasil protein dan kreatinin
pemeriksaan yang dapat diterima secara rutin untuk penyakit nefropati diabetik,
nefropati pediatrik, transplantasi ginjal, kehamilan dan eklampsi tetapi saat ini
belum menjadi pemeriksaan rutin pada LN. Bahkan untuk pasien dengan
penurunan fungsi ginjal, UPCR urine sewaktu memiliki spesifitas dan sensitifitas
Rasio protein/kreatinin dengan sampel urine sewaktu adalah tes yang mudah,
dengan biaya yang murah dan mudah dalam pengerjaan. Pengumpulan sampel
urine tidak memerlukan waktu tertentu, dapat dikumpulkan kapan saja. Tetapi
penyakit. Setiap penelitian tentang korelasi antara rasio protein/kreatinin urine dan
50
variasi regresi koefisien membuat sulit untuk menentukan rumus regresi untuk
protein urine yang konsisten. Variasi ini disebabkan karena perbedaan kelompok
subyek, waktu pengambilan sampel urine sewaktu atau fungsi ginjal pada
Selain itu pada LN, masih dalam pertanyaan apakah rasio protein/kreatinin dari
menilai perubahan proteinuria 24 jam dalam kisaran 0,5-3 g/24 jam yang
yang memberikan hasil korelasi kuat sangat bermakna antara UPCR dan protein
urine 24 jam, tetapi adapula penelitian yang mendapatkan hasil adanya korelasi
lemah antara UPCR dan protein urine 24 jam khususnya pada tingkat-tingkat
tertentu kadar protein urine 24 jam (<500 mg/24 jam atau antara 500-1000 mg/24
jam dimana merupakan kadar remisi pada LN), walaupun didapatkan hasil
korelasi kuat sangat bermakna antara UPCR dan protein urine 24 jam secara
umum.58
Leung dkk 59, mendapatkan hasil adanya korelasi kuat secara bermakna dan
UPCR sewaktu; 0,37;0,45;0,7 dan 1,84 mg/mg ekuivalen dengan nilai protein
urine 4 jam; >0,3;0,5;1,0 dan 3,5 gram/24 jam. Birmingham dkk (2007)41
51
menyatakan bahwa UPCR urin sewaktu tidak dapat menggantikan protein urine
24 jam dalam flare pada LN, namun penelitian ini tidak lebih jauh
memastikan
seperti ketidak mungkinan UPCR dalam akurasi diagnosis flare LN. Salesi dkk
bermakna antara UPCR dan protein urine 24 jam dengan menggunakan urine
bahwa korelasi antara UPCR urine sewaktu dan protein urine 24 jam lebih tinggi
dengan protein urine 24 jam atau dengan UPCR. Marques dkk (2013),
mendapatkan hasil adanya korelasi kuat sangat bermakna antara protinuria 24 jam
58
dengan UPCR urine sewaktu pada LN, namun korelasi lemah bila kadar protein
urine <500 mg/24 jam dan rentang protein urine 500-1000 mg/24 jam. Setiap
yang menolak untuk pengumpulan urine 24 jam, maka penelitian lanjut yang lebih
luas (spesifitas, sensitifitas dan nilai cutt-of UPCR) diperlukan untuk melihat
RINGKASAN
Protein dalam urine menjadi salah satu parameter yang digunakan dalam panduan
klasifikasi WHO untuk LN. Proteinuria dikenal secara umum sebagai faktor risiko
independen untuk penyakit kardiovaskular dan ginjal dan sebagai prediktor dari
kerusakan organ bersifat lanjut. Deteksi peningkatan ekskresi protein dalam urine
secara khusus memiliki nilai diagnostik dan prognostik dalam mendeteksi dan
kriteria ACR tahun 1997, diagnosis keterlibatan ginjal pada penderita SLE
diantaranya adalah
proteinuria persisten >0,5 gram per 24 jam atau tes dipstik protein urine > +3.
Sebagai kriteria respon terhadap terapi obat yang diberikan, maka penderita dengan
protein urine 3,5 gram/24 jam kemudian setelah terapi didapatkan protein urine <3,5
gram/24 jam dikatakan sebagai respon parsial dan apabila protein urine turun hingga
protein dari pengumpulan urine 24 jam yang akurat (proteinuria 24 jam) karena
alasan bahwa adanya variasi yang besar dari konsentrasi protein urine sepanjang hari.
Namun, pemeriksaan urine 24 jam cukup sulit untuk penderita dan pada klinisi
52
53
menyebabkan keraguan apakah pengumpulan urine 24 jam sesuai dan komplit atau
tidak.
koefisien korelasi yang tinggi antara rasio protein/kreatinin urine sewaktu dan
proteinuria 24 jam.
SUMMARY
Urine protein is a one of the parameters used in the WHO classification guide for
Based on the 1997 ACR criteria, the diagnosis of renal involvement in patients with
SLE includes persistent proteinuria> 0.5 grams per day or urine dipstick protein>
+3. As a response criteria given drug therapy, patients with urine protein 3.5
gram/24 hours subsuquently after therapy obtained urine protein<3.5 gram/24 hour
and <0.5 gram/24 hours are said to be partial and complete responses.
collection troublesome
for the patient and caused hesitation for clinician whether the 24-hour urine
54
55
PUSTAKA ACUAN
1. Seshan SV, Jennette JC. Renal disease in systemic lupus erythematosus with
emphasis on classification of lupus glomerulonephritis: advances and
implications. Arch Pathol Lab Med. 2009 Feb;133(2):233-48.
2. Ortega LM, Schultz DR, Lenz O, Pardo V, Contreras GN. Review: Lupus
nephritis: pathologic features, epidemiology and a guide to therapeutic
decisions. Lupus. 2010 Apr;19(5):557-74.
6. Solorzano GT, Silva MV, Moreira SR, Nishida SK, Kirsztajn GM. Urinary
protein/creatinine ratio versus 24-hour proteinuria in the evaluation of lupus
nephritis. J Bras Nefrol. 2012 Mar;34(1):64-7.
7. Davidson A, Berthier C, Kretzler M. Pathogenetic Mechanism in Lupus
Nephritis. Dalam: Wallace D, Hahn B, editor. Dubois' Lupus Erythematosus
and Related Syndromes. Edisi ke-8. Los Angeles: Elsevier Saunders; 2013.
hlm. 249-68.
9. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD,
et al. American College of Rheumatology guidelines for screening,
10. Anders HJ, Weening JJ. Kidney disease in lupus is not always 'lupus
nephritis'. Arthritis Res Ther. 2013 Mar 1;15(2):108.
56
57
11. Anders HJ, Appel GB. Lupus nephritis: Implications of the new ACR lupus
nephritis guidelines. Nat Rev Nephrol. 2012 Sep;8(9):500-1.
12. Mok CC. Biomarkers for lupus nephritis: a critical appraisal. J Biomed
Biotechnol. 2010;2010:638413.
14.
15. Weening JJ, D'Agati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel GB, et
al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus
revisited. J Am Soc Nephrol. 2004 Feb;15(2):241-50.
16. Appel GB, Silva FG, Pirani CL, Meltzer JI, Estes D. Renal involvement in
systemic lupud erythematosus (SLE): a study of 56 patients emphasizing
histologic classification. Medicine (Baltimore). 1978 Sep;57(5):371-410.
18. Lech M, Anders HJ. The pathogenesis of lupus nephritis. J Am Soc Nephrol.
2013 Sep;24(9):1357-66.
19. Hahn BH. The Pathogenesis of SLE. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, editor.