Waktu: 2 x 60 menit
KEMUNCULAN KASUS
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang
tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020,
China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru coronavirus. Pada tanggal 30 Januari
2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) dan
pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemic
Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus meningkat dan
menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 13 April 2020, Covid-19
ditetapkan sebagai bencana nasional.
Sampai dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 70.736 kasus konfirmasi
COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%). Peningkatan jumlah kasus berlangsung
cukup cepat, dan menyebar ke berbagai negara dalam waktu singkat. Sampai dengan tanggal 9
Juli 2020, WHO melaporkan 11.84.226 kasus konfirmasi dengan 545.481 kematian di seluruh
dunia (Case Fatality Rate/CFR 4,6%).
Peraturan terkait:
a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan
Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Jenis Penyakit Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya Penetapan didasari oleh
pertimbangan bahwa Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) telah dinyatakan
WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
b. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Keputusan Presiden tersebut
menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat (KKM) dan menetapkan KKM COVID-19 di Indonesia yang wajib
dilakukan upaya penanggulangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentagn penetapan bencana nonalam
penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional
d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19).
Etiologi:
International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama
penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.
Penularan
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-19 utamanya
ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 μm. Cara Penularan:
1. Penularan langsung dari droplet: terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1
meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin)
sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata).
2. Penularan tidak langsung: melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar
orang yang terinfeksi misalnya, stetoskop atau thermometer, dsb
Penemuan kasus
Sakit ringan Sakit ringan Gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan,
tanpa hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot.
komplikasi Waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena
gejala dan tanda tidak khas.
Sakit sedang Pneumonia Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis pneumonia
ringan (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) dan tidak ada tanda
pneumonia berat.
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau
kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit
dan tidak ada tanda pneumonia berat
Sakit Kritis Acute Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.
Respiratory Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru):
Distress opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan
Syndrome penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul.
(ARDS) Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal
jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif
(seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa penyebab
edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor
risiko.
Kriteria ARDS pada dewasa:
• ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan
PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5
cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5
cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Pemeriksaan Diagnostik
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi COVID-
19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test)
seperti pemeriksaan RTPCR.
Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
3) Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
f. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
g. Hipertensi
h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
i. Tuberculosis
j. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit COVID-19
Pengobatan
- Terapi suportif sesuai gejala yang terjadi pada pasien
- Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi COVID-19.
KASUS DEFINISI
SUSPEK Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan ISPA* DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala
memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia
yang melaporkan transmisi lokal**.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan.
KONFIRMASI Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
KONTAK Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
ERAT COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable
atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi
setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).
Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang mengandung virus SARSCoV-2 yang masuk ke
dalam tubuh melalui hidung, mulut dan mata, untuk itu pencegahan penularan COVID-19 pada
individu dilakukan dengan beberapa tindakan, seperti:
a. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir
selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptic berbasis alkohol (handsanitizer)
minimal 20 – 30 detik. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang
tidak bersih.
b. Menggunakan APD berupa masker yang menutupi hidung dan mulut jika harus keluar
rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya
(yang mungkin dapat menularkan COVID-19).
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet
dari orang yang yang batuk atau bersin
d. Membatasi diri terhadap interaksi / kontak dengan orang lain yang tidak diketahui
status kesehatannya.
KARANTINA
adalah proses mengurangi risiko penularan dan identifikasi dini COVID-19 melalui upaya
memisahkan individu yang sehat atau belum memiliki gejala COVID-19 tetapi memiliki riwayat
kontak dengan pasien konfirmasi COVID-19 atau memiliki riwayat bepergian ke wilayah yang
sudah terjadi transmisi lokal. Tindakan karantina dilakukan terhadap populasi berisiko seperti
kontak erat dan pelaku perjalanan dari luar negeri.
Lokasi karantina dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut
mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat. Penting untuk memastikan bahwa
lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis
yang diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat digunakan
untuk observasi harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan
menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan
masyarakat.
ISOLASI
adalah proses mengurangi risiko penularan melalui upaya memisahkan individu yang sakit baik
yang sudah dikonfirmasi laboratorium atau memiliki gejala COVID-19 dengan masyarakat luas.
Isolasi dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria discarded.
Isolasi Mandiri/Perawatan di Rumah dilakukan terhadap orang yang bergejala ringan dan
tanpa kondisi penyerta seperti (penyakit paru, jantung, ginjal dan kondisi immunocompromise).
Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan dan
kontak erat yang bergejala dengan tetap memperhatikan kemungkinan terjadinya perburukan
Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan 1997, virus
polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak ditemukan lagi sejak tahun 1996. Namun pada
tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio importasi pertama di Kecamatan Cidahu
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang
menyerang 305 orang dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47
kabupaten/kota di 10 provinsi.
Selain itu juga ditemukan 46 kasus Vaccine Derived Polio Virus (VDPV) yaitu kasus Polio yang
disebabkan oleh virus dari vaksin, yang terjadi apabila banyak anak yang tidak di imunisasi,
dimana 45 kasus di antaranya terjadi di semua kabupaten di Pulau Madura dan satu kasus
terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI),
dua kali mop-up, lima kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya.
Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami kelumpuhan ditemukan pada tanggal 20
Februari 2006 di Aceh. Sejak saat itu hingga sekarang tidak pernah lagi ditemukan kasus Polio di
Indonesia.
Etiologi
Klasifikasi
Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam
waktu 7-21 hari.
Gejala
Kebanyakan orang terinfeksi (90%) tidak memiliki gejala atau gejala yang sangat ringan dan
biasanya tidak dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam, kelelahan, sakit kepala,
muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai.
1. Data cakupan imunisasi polio, di tingkat puskesmas, desa terjangkit dan desa sekitar
beresiko selama 3-5 tahun terakhir, dan tata laksana rantai dingin vaksin
2. Frekuensi pelayanan imunisasi masyarakat setempat
3. Ketenagaan, ketersediaan vaksin dan kualitas vaksin diantaranya penyimpanan vaksin
dan control suhu penyimpanan
4. Daerah kumuh atau padat atau daerah pengungsi
5. Mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis poliomyelitis
Penegakan Diagnosis
1. Kasus AFP : semua anak kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14 hari), serta bukan disebabkan oleh
ruda paksa.
2. Hot case adalah kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan <6 bulan
sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat perlu dilakukan pengambilan sample
kontak. Kategori hot case dibuat berdasarkan kondisi specimen yang tidak adekuat pada
kasus yang sangat menyerupai polio.
3. Hot case cluster adalah 2 kasus AFP atau lebih, berada dalam satu lokasi (wilayah
epidemologi), beda waktu kelumpuhan satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 1
bulan.
4. VDPV (vaccine derived polio virus) adalah kasus polio (confirmed polio) yag disebabkan
virus polio vaksin yang telah bermutasi
5. Kasus polio pasti (confirmed polio case) : kasus AFP yang pada hasil laboratorium
tinjanya ditemukan virus polio liar (VPL), cVDPV, atau hot case dengan salah satu
specimen kontak VPL/VDPN
6. Kasus polio kompatibel : kasus polio yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan
sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis)
Treatment/Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk polio, yang ada hanya perawatan untuk meringankan gejala. terapi fisik
digunakan untuk merangsang otot dan obat antispasmodic diberikan untuk mengendurkan
otot-otot dan meningkatkan mobilitas. Meskipun ini dapat meningkatkan mobilitas, tapi tidak
dapat mengobati kelumpuhan polio permanen.
Apabila sudah terkena Polio, tindakan yang dilakukan yaitu tatalaksana kasus lebih ditekankan
pada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak diusahakan
kembali berfungsi senormal mungkin dan penderita dirawat inap selama minimal 7 hari atau
sampai penderita melampaui masa akut.
Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah
bertambah beratnya cacat. Kasus polio dengan gejala klinis ringan dapat dirawat di rumah, bila
gejala klinis berat dirujuk ke RS.
Kronologis:
1. Penemuan kasus polio pertama kali terdeteksi di Kabupaten Yahukimo Propinsi Papua
pada tahun 2018. Kasus polio terjadi pada seorang Balita laki-laki usia 31 bulan yang
mengalami kelumpuhan pada 27 November 2018 dengan riwayat status vaksinasi polio
0 kali.
2. Selanjutnya ditemukan kasus baru pada tanggal 13 Februari 2019 pada 2 orang anak
sehat dengan VDPV positif
Sejumlah kasus AFP baru di provinsi Papua dan Papua Barat dilaporkan per 3 Mei 2019. Jumlah
kasus AFP dilaporkan telah meningkat tahun ini menjadi 17 kasus di Papua dan 2 kasus di Papua
Barat. Polio di Papua diakibatkan oleh Vaccine-Derived Poliovirus Type 1 cVDPV1 (circulated
Vaccine Derived Polio Virus type 1) yang terdeteksi pada 2019 (WHO, 2020).
Jenis KLB polio di Kabupaten Yahukimo merupakan cVDPV terkait dengan rendahnya cakupan
vaknisasi polio di daerah tersebut.
Langkah-langkah strategis penanganan KLB Polio di Papua khususnya dan Indonesia pada
umumnya, antara lain:
1. Kementerian Kesehatan telah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua dan
pemangku kepentingan terkait lainnya untuk penanganan KLB Polio.
2. Tim investigasi telah dikirimkan ke lokasi untuk melakukan investigasi epidemiologi.
3. Pelaksanaan segera Outbreak Response Immunization (ORI) untuk kelompok usia rentan
di wilayah terkena KLB Polio.
4. Penguatan surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP) di Puskesmas, Rumah Sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya di seluruh kabupaten/kota Provinsi Papua dan pelaporan setiap minggu
melalui Early Warning Alert and Response System (EWARS).
5. Penyiapan sumber daya yang diperlukan untuk penanganan KLB Polio.
6. Penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan dan pengendalian Polio.
7. Penguatan surveilans di pintu pelabuhan keluar/masuk negara.
8. Penyampaian surat edaran No. SR.03.04/11/636/2019 tentang Kewaspadaan dan Respon
terhadap KLB Polio cVDPV tipe 1 kepada seluruh Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan
Kota serta Kantor Kesehatan Pelabuhan se-Indonesia (dokumen terlampir).
Pada maret 2020, Komite Kegawatdaruratan di bawah International Health Regulations (2005)
memutuskan bahwa Indonesia tidak lagi sebagai negara yang terjangkit meskipun tetap rentan
akan terinfeksi kembali oleh virus polio atau cVDPV1. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah
mengakhiri KLB Polio di Provinsi Papua. Hal tersebut disampaikan oleh Regional Director Dr.
Poonam Khetrapal Singh kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI drg. Oscar
Primadi melalui surat nomor P7/48/48 pada 26 Mei 2020 tentang Penghentian Outbreak Polio
di Papua.
Etiologi
Corynebacterium diphtheria
Transmisi
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena kontak dekat dengan kasus
atau carier. Penularan dari manusia ke manusia secara langsung umumnya terjadi melalui
droplet (batuk, bersin, berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge
dari lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan barang-barang
yang terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap udara panas, suhu dingin dan
kering.3,9,13,16,17
Periode Penularan
1. Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-empat setelah
terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
2. Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan lesi kulit masih dapat
terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
3. Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai enam bulan lebih
setelah terinfeksi.
Manifestasi Klinis
Penyakit difteri juga dapat membentuk membran adheren pada nasofaring yang pada akhirnya
bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat yang ditimbulkan oleh
eksotoksin dari difteri dapat menyebabkan miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal.
1. Adanya penderita
2. Difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri,
3. Penurunan cakupan imunisasi,
4. Terdapat perubahan virulensi bakteri
Treatment/Penatalaksanaan
Terapi
Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat difteri maka terapi
spesifik yaitu:
a. Antitoksin Difteri merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin
hanya menetralisir toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat dengan jaringan.
Pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko miokarditis dan neuritis. Tes
sensitivitas dapat dilakukan sebelum pemberian antitoksin difteri. Klasifikasi pemberian:
- Bila membran hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja maka Anti Difteri
Serum (ADS) dapat diberikan 20.000 unit intramuskular
- Bila sedang maka ADS dapat diberikan sebesar 60.000 unit intramuscular
- Pada membran yang telah meluas maka dapat diberikan ADS sebanyak 100.000-
120.000 unit intramuskular
b. Antibiotik Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi
pemberian adalah sebagai berikut:
- Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2 juta
unit/dosis (pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.
- Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4 dosis.
Pemberian peroral dan parenteral
- Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena
- Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari
Terjadi peningkatan jumlah kasus difteri pada anak-anak usia > 1 tahun di Papua Barat
pada tahun 2019. Kasus difteri di Provinsi Papua Barat 2019 terjadi pada anak-anak usia
> 1 tahun. Baik pada tahun 2018 maupun 2019, kasus kematian akibat difteri terjadi
pada anak-anak yang tidak pernah mendapatkan imunisasi. Tidak ditemukan hasil positif
pada kasus difteri Manokwari namun hasil laboratorium positif C. diphteriae ditemukan
pada kontak erat kasus. Hasil laboratorium positif C. diphteriae ditemukan pada kasus
difteri Kota Sorong. Tidak ada hubungan epidemiologi (keterkaitan tempat, waktu, dan
orang) antara kasus pertama dan kasus kedua yang terjadi di Kota Sorong.
Langkah yang dilakukan pemerintah pusat dan pemda untuk mengatasi KLB ini adalah
sbb:
1. Pemeriksaan swab tenggorok terhadap kontak erat kasus difteri
2. Pemberian profilaksis (obat pencegahan) dengan Eritromisin terhadap kontak kasus
difteri.
3. Pelaksanaan ORI (Outbreak Response Immunization) difteri. ORI difteri dilakukan
sebanyak 3 putaran dengan interval 0-1-6 bulan.
4. ORI di Kabupaten Manokwari dilakukan secara selektif di 7 wilayah puskesmas.
Cakupan ORI putaran pertama sebesar 93% dan ORI putaran kedua per tanggal 24
Oktober 2019, cakupan ORI putaran kedua sebesar 66.72%. ORI di Kota Sorong
dilakukan di 10 wilayah puskesmas.
5. Identifikasi kontak erat
Langkah intervensi:
1. Penanganan jangka pendek: menganggarkan pembiayaan khususnya mengenai
kegiatan sosialisasi di masyarakat dan ORI (Outbreak Response Immunization).
2. Penanganan jangka panjang: membuat team work untuk menindaklanjuti arahan
Wali Kota dan terjun ke lapangan guna mempromosikan kesehatan khusus untuk
pencegahan Difteri yang salah satunya dicegah melalui imunisasi.