Anda di halaman 1dari 2

Hadits kedelapan dari kitab “Al-Arba’in” karya Imam Nawawi membahas tentang

masalah dalam konteks perang.

Sabda Nabi:

َ َّ‫ت َأ ْن ُأقَاتِ َل الن‬


َ‫اس َحتَّى يَ ْشهَدُوا َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوَأ َّن ُم َح َّم َداً َرسُوْ ُل هللاِ َويُقِ ْي ُموْ ا الصَّالةَ َويُْؤ تُوا ال َّز َكاةَ فَِإ َذا فَ َعلُوا َذلِك‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
‫ْالم َو ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللاِ تَ َعالَى‬ِ ‫ق اِإل س‬ ِّ ‫ص ُموا ِمنِّي ِد َماءهَ ْم َوَأ ْم َوالَهُ ْم ِإالَّ بِ َح‬ َ ‫َع‬

“Aku diperintah untuk memerangin manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, serta
menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Lalu jika mereka telah melakukan itu,
maka darah dan hartanya terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab
mereka pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, Muslim) Dari segi sanad dan matan, hadits
ini berstatus shahih.

Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat masyhur Abdullah bin Umar. Dilahirkan 10
tahun sebelum hijriah dan wafat pada tahun 73 hijriah. Beliau adalah anak kandung
dari Umar bin Khattab. Putra Umar ini adalah seorang ahli hadits dan fikih di
kalangan sahabat dan banyak mengeluarkan fatwa. Di samping itu, merupakan
sahabat yang sangan konsisten ingin meneladani Nabi dalam segala aspeknya dan
sangat dermawan.

Hadits ini harus dipahami dalam konteks perang. Karena, diksi yang dipakai dalam
hadits ini adalah “uqaatila” atau “qitaal” yang menunjukkan peperangan antara dua
kubu. Sehingga, tidak bisa diterapkan dalam kondisi damai atau normal. Terlebih,
dalam perang ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi sehingga tidak asal-
asalan. Masalah syarat ini akan dibahas dalam fikih jihad.

Dalam Islam, perang adalah alternatif ketika cara-cara persuasif tidak diindahkan
lagi seperti dakwah dan semacamnya. Dan perang pada umumunya terjadi, ketika
umat Islam diserang. Dalam kondisi diperangi, umat Islam wajib membela diri
sebagaimana anjuran Nabi.

Bila dalam suatu peperangan pihak yang diperangi bersyahadat: mengakui Allah
sebagai Tuhan dan Nabi sebagai utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
maka mereka tidak boleh diperangi. Harta dan darah mereka menjadi haram untuk
direnggut. Harus diperlakukan secara benar sesuai koridor Islam. Adapun masalah
perhitungan mereka, mutlak urusan Allah. Tugas Nabi dan umatnya hanyalah
berdakwah dan menjalankan perintah Allah.

Syekh Ibnu Utsaimin Ra dalam penjelasan hadits Al-Arba`in mengemukakan


beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini:
Peertama, Nabi SAW adalah seorang hamba yang mendapat mandat perintah dari
Allah. Jadi, dia bertindak bukan atas hawa nafsu pribadi.

Kedua, boleh tidak menerangkan sesuatu ketika sudah maklum. Sebagaimana dalam
hadits ini, Allah yang memerintahkan Nabi untuk berperang tidak disebut karena
sudah maklum.

Ketiga, dalam kondisi perang, wajib umat Islam berpartisipasi berperang hingga
pihak yang diperangi melakukan beberapa hal yang tersebut dalam hadits.

Keempat, syahadat wajib dengan hati dan lisan. Jika, sudah melafalkan dengan lisan,
dan tidak diketahui sebenarnya dalam hati, maka diberlakukan sesuai lahiriahnya.

Kelima, dalam syahadat wajib meyakini bahwa tidak ada sesembahan lain yang
berhak disembah selain Allah.
Keenam, perang disudahi ketika sudah ada pengakuan syahadat dari pihak yang
diperangi.

Ketujuh, wajib menegakkan shalat. Kedelapan, wajib menunaikan zakat. Kesembilan,


bolehnya mengungkapkan ucapan lisan sebagai perbuatan. Karena, perkataan
adalah perbuatan lisan.

Kesepuluh, dalam konteks perang darah dan harta orang kafir halal.

Sebagai penutup, hadits ini sekali lagi harus dipahami dalam konteks perang yang
syarat-syaratnya sangat ketat. Tidak berlaku dalam kondisi damai. Pada kesempatan
lain, insya Allah akan dibahas tentang syarat-syarat berlakunya perang dalam
Islam. (Aza)

Anda mungkin juga menyukai