Anda di halaman 1dari 29

Standar Pemetaan Indonesia

(Survey Terestris)
Ihsan,M.T.

Muhammad Ihsan,M.T.
Setiap kegiatan pemetaan memiliki
standar dan aturan yang harus
ditaati. Aturan dibentuk untuk
menjaga kualitas hasil pemetaan. Di
Indonesia, aturan terkait pemetaan
telah diatur dalam beberapa dokumen
hukum.

Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Standar Nasional Indonesia
Jaring Kerangka Horizontal

Muhammad Ihsan,M.T.
jaring kontrol horizontal
sekumpulan titik kontrol horizontal yang
satu sama lainnya dikaitkan dengan data
ukuran jarak dan/atau sudut, dan
koordinatnya ditentukan dengan metode
pengukuran/pengamatan tertentu dalam
suatu sistem referensi koordinat
horizontal tertentu

Muhammad Ihsan,M.T.
Kelas Jaring Titik Kontrol
Kelas jaring horizontal ditentukan berdasarkan Panjang sumbu Panjang
elips kesalahan

Kela C (ppm) Aplikasi Tipikal


s 𝑟 = 𝑐 𝑑 + 0.2
3A 0,01 Jaring tetap (GPS)
r = Panjang maksimum sumbu Panjang
2A 0,1 Survey geodetic berskala nasional yang diperbolehkan (mm)
A 1 Survey geodetic berskala regional c = factor empiric yang menggambarkan
B 10 Survey geodetic berskala local tingkat presisi
D = jarak antar titik dalam km
C 30 Survey geodetic untuk perapatan
D 50 Survey pemetaan

Muhammad Ihsan,M.T.
Jika kelas jarring control project pengukuran
topografi adalah kelas D, dan jarak antar titik BM
adalah 100 meter, maka tingkat akurasi dari titik
tersebut adalah sebagai berikut

Diketahui
1. Kelas jarring control : Kelas D (nilai c = 50 ppm)
2. Jarak antar titik : 100 meter (0.1 km) 𝑟 = 𝑐 𝑑 + 0.2

r = Panjang maksimum sumbu


Ditanya
Panjang yang diperbolehkan (mm)
Standar akurasi
c = factor empiric yang
menggambarkan tingkat presisi
Jawab
D = jarak antar titik dalam km
𝑟 = 𝑐 𝑑 + 0.2
𝑟 = 50 0.1 + 0.2
𝑟 = 50 0.3
𝑟 = 15𝑚𝑚

Muhammad Ihsan,M.T.
Orde Jaring Titik Kontrol
Orde jaring horizontal ditentukan berdasarkan Panjang sumbu
Panjang elips kesalahan

Jaring C (ppm) Aplikasi Tipikal Jarak Kelas


00 0,01 Jaring tetap (GPS) 1000 3A
0 0,1 Survey geodetic 500 2A
berskala nasional
1 1 Survey geodetic 100 A
berskala regional
2 10 Survey geodetic 10 B
berskala local
3 30 Survey geodetic untuk 2 C
perapatan
4 50 Survey pemetaan 0,1 D
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Survey GPS Kontinu Orde 00 ITRF
Survey GPS Orde 0
Survey GPS Orde 1
Survey GPS Orde 2
Survey GPS Orde 3
Poligon (Terestris), Survey Orde 4
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Orde 4 – Pemetaan (menggunakan metode GNSS)

Orde 4 ( )

0,25 Jam
4
< 10
100 m

Muhammad Ihsan,M.T.
Orde 4 – Pemetaan (Metode Pemetaan Terestris)

Orde 4 ( )
1

Measurement (EDM)
d 10
2

Muhammad Ihsan,M.T.
Pemilihan Titik Kerangka
a) distribusinya sesuai dengan desain jaringan yang telah dibuat;
b) kondisi dan struktur tanahnya yang stabil ;
c) mudah dicapai (lebih baik dengan kendaraan bermotor) dan ditemukan kembali;
d) sebaiknya ditempatkan di tanah milik negara;
e) tidak mengganggu (terganggu oleh) fasilitas dan utilitas umum;
f) ditempatkan pada lokasi sehingga monumen tidak mudah terganggu atau rusak, baik
akibat gangguan, manusia, binatang, ataupun alam;
g) penempatan titik pada suatu lokasi juga harus memperhatikan rencana penggunaan lokasi
yang bersangkutan pada masa depan;
h) titik-titik harus dapat diikatkan ke beberapa titik yang telah diketahui koordinatnya
dari orde yang lebih tinggi, untuk keperluan perhitungan, pendefinisian datum, serta
penjagaan konsistensi dan homogenitas dari datum dan ketelitian titik-titik dalam
jaringan.
i) Untuk pengamatan GNSS, titik memiliki ruang pandang langit bebas ke segala arah
j) Jauh dari objek reflektif
k) Jauh dari objek yang menimbulkan interferensi elektris

Muhammad Ihsan,M.T.
Pemilihan Titik Kerangka
a) distribusinya sesuai dengan desain jaringan yang telah dibuat;
b) kondisi dan struktur tanahnya yang stabil ;
c) mudah dicapai (lebih baik dengan kendaraan bermotor) dan ditemukan kembali;
d) sebaiknya ditempatkan di tanah milik negara;
e) tidak mengganggu (terganggu oleh) fasilitas dan utilitas umum;
f) ditempatkan pada lokasi sehingga monumen tidak mudah terganggu atau rusak, baik
akibat gangguan, manusia, binatang, ataupun alam;
g) penempatan titik pada suatu lokasi juga harus memperhatikan rencana penggunaan lokasi
yang bersangkutan pada masa depan;
h) titik-titik harus dapat diikatkan ke beberapa titik yang telah diketahui koordinatnya
dari orde yang lebih tinggi, untuk keperluan perhitungan, pendefinisian datum, serta
penjagaan konsistensi dan homogenitas dari datum dan ketelitian titik-titik dalam
jaringan.
i) Untuk pengamatan GNSS, titik memiliki ruang pandang langit bebas ke segala arah
j) Jauh dari objek reflektif
k) Jauh dari objek yang menimbulkan interferensi elektris

Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Standar Nasional Indonesia
Jaring Kerangka Vertikal

Muhammad Ihsan,M.T.
jaring kontrol vertical
Serangkaian titik kontrol vertikal yang
satu sama lainnya diikatkan dengan
ukuran beda tinggi
ortometrik mengacu pada titik datum

Muhammad Ihsan,M.T.
Kelas Jaring Titik Kontrol
Kelas jaring vertikal ditentukan berdasarkan Panjang sumbu
Panjang elips kesalahan

Kelas Or C Aplikasi Tipikal


de (mm) 𝑟 = 𝑐 𝑑 (𝑘𝑚)
LAA L0 2 Jaring kontrol
r = akurasi beda tinggi dalam satuan mm
LA L1 4 Jaring control
c = factor empiric yang menggambarkan
LB L2 8 Jaring control tingkat presisi
LC L3 12 Jaring control D = jarak toleransi perseksi (km)
LD L4 18 pemetaan

Muhammad Ihsan,M.T.
Jika kelas jarring control project pengukuran
topografi adalah kelas LD, dan jarak antar titik BM
adalah 100 meter, maka tingkat akurasi dari titik
tersebut adalah sebagai berikut

Diketahui
𝑟 = 𝑐 𝑑 + 0.2
1. Kelas jarring control : Kelas LD (nilai c = 18 mm)
2. Jarak antar titik : 100 meter (0.1 km)
r = Panjang maksimum sumbu
Panjang yang diperbolehkan (mm)
Ditanya
c = factor empiric yang
Standar akurasi perseksi
menggambarkan tingkat presisi
D = jarak antar titik dalam km
Jawab
𝑟 = 𝑐 𝑑 (𝑘𝑚)
𝑟 = 18 0.1
𝑟 = 5,6920 𝑚𝑚

Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Kelas LD
a) Panjang jalur/jumlah jarak ke rambu muka dan belakang pengukuran sipatdatar antara
dua TTG, tidak boleh lebih dari 4 kali jarak lurus antar kedua TTG tersebut;
b) pengukuran setiap seksi dilakukan pergi-pulang secara independen atau dengan dua
kedudukan alat (double stand);
c) pengukuran dalam satu seksi dianggap selesai jika selisih beda tinggi antara
pengukuran pergi dan pengukuran pulang lebih kecil atau sama dengan 18 mm√d;
d) pengukuran ulang dalam satu seksi harus dilakukan jika selisih beda tinggi pergi dan
pulang tidak memenuhi toleransi 18 mm√d. Pengukuran ulang paling sedikit dilakukan
satu kali pengukuran pergi dan satu kali pengukuran pulang atau double stand.
Pengukuran ulang dianggap selesai jika selisih beda tinggi ukuran pergi dan pulang
telah memenuhi toleransi 18 mm√d;
e) pengikatan ke titik kontrol yang memiliki orde lebih tinggi, maka harus dilakukan
prove datum ke tiga TTG.

Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.
Muhammad Ihsan,M.T.

Anda mungkin juga menyukai