OLEH:
KELOMPOK 1
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah yang Maha kuasa karna atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya guna
memenuhi tugas dari mata kuliah Sosio Antropologi Kesehatan dan dalam makalah ini kami
membahas tentang peranan antropologi dalam pembangunan dan pelayanan kesehatan
Dalam pembuatan makalah ini kami merujuk pada buku – buku referensi, internet,
dan berbagai sumber.Dalam Penulisan makalah ini kami telah membahas dan memahami
dengan baik. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih :
1. Kepada Dosen kami Ibu Indah Akifah, S.KM., M.PH. yang telah memberikan dan
membimbing dalam penulisan makalah ini kepada kami.
2. Kepada teman – teman Kelas B Kesehatan Masyarakat 2021 yang telah memberikan
pikiran, ide, dan saran dalam penulisan makalah ini. Dan,
3. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dengan adanya bahasan, Penyajian makalah ini mengenai peranan antropologi dalam
pembangunan dan pelayanan kesehatan dengan materi yang menarik dan mudah dibaca.Kita
sebagai kaum pelajar/mahasiswa tentunya tertarik dan ikut berpartisipasi pembahasan materi.
Tak ada gading yang takretak, begitu pula dalam penulisan makalah ini.Kami menyadari
banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk perbaikannya dari
para pembaca kami harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua.
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..ii
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..16
3.2 Saran ………………………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
keterkaitan fungsional guna mendukung, melegitimasi dan mengevaluasi komplek tindakan
manusia tersebut. Dengan kata lain, pembangunan akan menyinggung isu pemeliharaan nilai
dan norma masyarakat, namun sekaligus membuka ruang bagi isu perubahan sosial.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Antropologi adalah ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menggambarkan
manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia"
atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau
secara etimologis antropologi berarti ilmu yang memelajari manusia.
David Hunter , Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia.
Berdasarkan etimologinya
Kata antropologi berasal dari kata yunani “Antropo” yang berarti manusia dan “logy”
atau “logos” berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia. Menurut Ralfh L Beals dan
Harry Hoijen : 1954: 2 antropologi adalah ilmu yang mempelajarai manusia dan semua apa
yang dikerjakannya.Tulian DarwinThe origin of spicies” Antropologi fisik berkembang
pesat dengan melakukan penelitian-penelitian terhadap asal mula dan perkembangan
manusia. Manusia asalnya monyet, karena makhluk hidup mengalami evolusi.Antropologi
ingin membuktikan dengan melakukan berbagai penelitian terhadap kera dan monyet di
seluruh dunia.
3
Membicarakan Antropologi hanyalah berfikir tentang fosil-fosil.Memang pemikiran yang
demikian tidak selamanya salah karena mempelajari fosil merupakan suatu cabang penelitian
Antropologi.Arkheologi pada dasarnya berbeda dengan Antropologi, di mana sesungguhnya
arkheologi merupakan salah satu cabang Antropologi.
Penelitian yang dilakukan oleh para antropolog harus berdasarkan observasi yang
mendalam tentang keadaan masyarakat dan membuat suatu alternatif kebijakan terhadap
masalah yang terjadi dengan mengetahui sektor-sektor dan unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat.
Kultur Dalam Orientasi Pembangunan
4
kultur, menurut aliran cultural developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur
sesuatu yang mendasar keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan
dunia luar tanpa meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan
berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur
kebudayaan tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur kemajuan demi keperluan
hidup masa kini.
Kebijakan Pembangunan
5
dengan menggabungkan tujuan pemerataan yang lebih luas dan keseimbangan regional.
Sebagian besar kebijakan regional ditanding oleh program nasional yang memiliki
kecendrungan yang mendorong pertumbuhan kota saja(1996:259).
Hal ini didukung dengan pendapat Marx “Kalian miskin bukan karena apa yang bisa
dan tidak bisa kalian lakukan, bukan karena dosa warisan atau kehendak tuhan ataukarena
nasib buruk.Kalian miskin karena kondisi politik dan ekonomi yang buruk. Kondisi ini di
sebut kapitalisme”(2003: 25). Pemerintah sebagai tempat ekonomi dan politik yang
buruk.Kebijakan pembangunan hanya menguntungkan pertumbuhan pusat saja.Pengenalan
kebijakan dengan menggunakan teknologi dan pengenalan mode produksi pertanian modern
yang dikenal dengan revolusi hijau oleh pemerintah, tidak bisa membangkitkan pertumbuhan
pendapatan malah merusak sistem pertanian.Hal ini sesuai dengan pendapat Lyotard bahwa
keinginan untuk makmur lebih dari keinginan untuk memperoleh pengetahuan yang awalnya
memaksa teknologi menjadi bentuk perintah perbaikan kinerja dan realisasi produk
(2004:96).Kebijakan yang dipaksakan sungguh tidak efisien dalam suatu pembangunan.
Kegagalan menjadi sebuah peljaran untuk mencari cara yang baik dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
6
transportasi, hiburan dan pariwisata, pandangan hidup dan keyakinan keagamaan (Suparlan,
1997).
7
seluruh kecamatan dewasa ini. Sebagian besar puskesmas dipimpin oleh dokter, dan
puskesmas pembantu dipimpin oleh seorang paramedis yang bukan dokter. Mereka
bertanggungjawab terhadap kesehatan penduduk di wilayah kerjanya; dan melaksanakan
pelayanan penyuluhan kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Puskesmas bekerja
sama dengan pamong setempat, dan juga melibatkan peran serta masyarakat dalam
melaksanakan berbagai fungsi tersebut (Brotowasisto, 1990 dan Tjiong, 1991)
Foster & Anderson (1986) mengemukakan bahwa kegunaan antropologi bagi ilmu-
ilmu kesehatan terletak dalam tiga kategori utama. Pertama, antropologi memberikan suatu
cara yang jelas dalam memandang masyarakat secara keseluruhan maupun para anggota
individunya, karena menggunakan pendekatan menyeluruh yang bersifat sistem. Kedua,
antropologi memberikan suatu model yang berguna secara operasional untuk menguraikan
proses-proses perubahan sosial dan kebudayaan, dan membantu untuk memahami keadaan di
mana para warga dari kelompok sasaran melakukan respon terhadap kondisi yang berubah
dan adanya kesempatan baru. Ketiga, para ahli antropologi menawarkan kepada ilmu-ilmu
kesehatan mengenai suatu metodologi penelitian yang longgar dan efektif untuk menggali
serangkaian masalah teoretis dan praktis yang sangat luas, dan yang sering dihadapi dalam
berbagaiprogram kesehatan.
8
dilaksanakan secara khusus dengan waktu yang relatif cukup. Upaya ini tidaklah mudah bagi
petugas kesehatan, dan harus dilaksanakan oleh peneliti yang kompeten (Kalangie, 1999).
Rogers dan Shoemaker (1971) menyimpulkan bahwa proses adopsi ini tidak berhenti
segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak berdasarkan dari pengalamannya di
lapangan dan penelitian mengenai penerapan teori ini. Situasi ini dapat berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungannya kelak. Mereka membagi lebih lanjut proses
pembuatankeputusan tentang inovasi ini menjadi empat tahap utama. Mula-mula individu
menerima informasi dan pengetahuan berkaitan dengan suatu ide baru (knowledge).
Pengetahuan ini menimbulkan minatnya untuk mengenal lebih jauh tentang objek atau topik
tersebut, dan fase ini dipergunakan oleh inovator untuk membujuk atau meningkatkan
motivasinya guna bersedia menerima objek atau topik yang dianjurkan tersebut (persuation).
Tergantung kepada hasil persuasi inovator dan pertimbangan pribadi individu, maka dalam
tahap decision dibuatlah keputusan untuk menerima atau justru menolak ide baru tersebut.
Inovator harus bersikap tidak cepat merasa puas jika suatu ide telah diterima, sebab kini
individu memasuki tahap penguatan (confirmation) di mana dia meminta dukungan dari
lingkungannya atas keputusan yang telah diambilnya itu. Bila lingkungan memberikan
dukungan positif maka perilaku yang baru itu atau adopsi tetap dipertahankan, sedangkan bila
ada keberatan dan kritik dari lingkungan, terutama dari kelompok acuannya, maka biasanya
adopsi itu tidak jadi dipertahankan dan individu kembali lagi ke perilaku yang semula.
Sebaliknya, sesuatu penolakan pun dapat berubah menjadi adopsi apabila lingkungannya
justru memberikan dukungan atau tekanan agar individu menerima ide baru tersebut.Rogers
(1983) menambahkan tahap implementationdi antara tahap decision dan confirmation.
Green (1980) menyebutkan bahwa kesehatan juga dipengaruhi oleh perilaku, dan
perilaku ini dapat berubah oleh beberapa faktor berikut: Pertama, faktor-faktor predisposisi
9
(predisposising factors) yang mencakup : sikap, nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma
sosial, tabu/pantangan dan faktor demografi. Kedua, faktor-faktor pendukung (enabling
factors) yaitu tersedianya sarana atau sumber yang diperlukan dalam mendukung perilaku
tersebut, dan terjangkaunya sumber tersebut oleh sasaran. Ketiga, faktor-faktor pendorong
(reinforcing factors) yaitu petugas kesehatan dan atau petugas lain yang mempunyai
tanggung jawab terhadap perubahan perilaku masyarakat. Agar perubahan-perubahan yang
diintroduksikan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik dan mengurangi resiko sekecil
mungkin, maka perubahan-perubahan tersebut harus direncanakan terlebih dulu. Brickman, et
al. (1985) mengajukan models of helping and coping. Pertama, model moral, yaitu
masyarakat bertanggung jawab bagi permasalahan dan penyelesaiannya. Kedua, model
kompensasi, yaitu masyarakattidak bertanggung jawab bagi permasalahan tetapi bertanggung
jawab untuk penyelesaiannya. Ketiga, model medik, yaitu masyarakat tidak bertanggung
jawab bagi permasalahan atau pemecahannya. Keempat, model pencerahan, yaitu masyarakat
tidak bertanggung jawab bagi pemecahannya tetapi bertanggung jawab bagi
permasalahannya.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penerimaan, pelaksanaan dan penyebaran atas program pem-bangunan kesehatan di
suatu masyarakat pedesaan. Suatu desa di kaki Gunung Sumbing (Kabupaten Magelang)
dipakai sebagai kasus untuk melihat permasalahan program ini sebagai suatu proyek inovasi.
Beberapa penelitian antropologi kesehatan dan masalah sosial kesehatan pernah dihasilkan
dari wilayah ini dan sekitarnya, antara lain Rienks dan Poerwanta (1985), dan Sciortino
(1995, 1999).
10
pertanian bertujuan untuk memperoleh uang.Perubahan sosial yang terjadi dengan tidak
adanya rasa kebersaman antara petani.Pemilik lahan sebagai orang yang berkuasa untuk
menggerakkan buruh dengan sistem upah.Kebersamaan sebagai modal sosial semakin
menghilang.Bukan hal yang aneh orang kelaparan di lumbung padi.Antropologi dapat meihat
permasalahan tersebut sebagai pembuat langkah kebijakan. Dalam buku Theories Of
Development, Richard Feet dan Elaine Hartwick menerangkan tentang strategi dalam
pertanian berpendapat “Progress in agriculture was thought to be essential for providing food
and raw material, yealding saving and tax revenue, for development elsewhere in an
economy, earning foreign exchange, and forming a market for industrial goods. intersectoral
relations, between industry and and agriculture would determine the course of structural
transformation in a developing economy (1999:44). Pertanian harus memajukan petani dalam
memperoleh keuntungan dan mengakses kedalam sumber daya yang produktif. Hasil surplus
produksi pertanian yang meningkat harus dapat dialihkan pada golongan-golongan sosial
yang mampu untuk mengubah surplus menjadi modal kerja untuk membangun dengan
menginvestasikan dengan berhasil guna ke dalam usaha non-pertanian, sehingga diperoleh
tabungan sebagai akumulasi modal(koenjaraningrat:1990)
11
pertanian dan perikanan di Oseania dan Malaysia dengan menggunakan metode-metode
antropologi. Spesialisasi antropologi lain baru berkembang pesat setelah Perang Dunia II.
Kala itu antropologi banyak dihubungkan dengan berbagai permasalahan pembangunan di
negara-negara berkembang.Misalnya saja, antropologi pembangunan.Pada spesialisasi ini,
metode, konsep, dan teori-teori antropologi digunakan mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan pembangunan masyarakat desa, masalah sikap petani terhadap teknologi baru, dan
sebagainya.Sejak saat itu, aspek masalah pembangunan masyarakat desa menjadi topik
hangat untuk penelitian-penelitian bermutu.Salah satu persoalan pembangunan masyarakat
desa yang umum saat itu ialah kesehatan masyarakat.Pada masa itu, para ahli antropologi
banyak mendapat permintaan dari para dokter kesehatan masyarakat atau para dokter ahli gizi
untuk membantu pekerjaan mereka.Para ahli antropologi biasanya diminta membantu
meneliti atau dimintai data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang
kesehatan.Mulai dari pembahasan sikap penduduk tentang sakit, sikap terhadap dukun,
terhadap obat-obatan tradisional, tentang kebiasaan-kebiasaan atau pantangan-pantangan
makan, dan sebagainya.
Tidak jarang pula para ahli antropologi sosial budaya maupun antropologi biologi
meningkatkan perhatian mereka pada studi lintas-budaya mengenai sistem kesehatan,
termasuk pada faktor-faktor bioekologi sosial budaya.Faktor tersebut berpengaruh terhadap
kesehatan, yaitu timbulnya penyakit baik pada masa kini maupun sepanjang sejarah
kehidupan manusia.Namun sebagian dari mereka hanya berminat pada masalah-masalah
teoretis.Hal itu semata-mata karena didorong oleh perasaan ingin tahu tentang perilaku
kesehatan manusia dalam manifestasinya yang seluas-luasnya.Lalu sebagian lainnya lebih
tertarik pada masalah-masalah terapan.Alasannya, karena didorong oleh keyakinan bahwa
dalam teknik-teknik penelitian antropologi, teori-teori maupun datanya dapat dan harus
digunakan dalam program-program untuk memperbaiki perawatan kesehatan
masyarakat.Sejak saat itulah muncul spesialisasi antropologi kesehatan dan terus berkembang
hingga saat ini.Budaya sebagai salah satu unsur dalam antropologi juga erat kaitannya dengan
dunia kesehatan masyarakat.Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.Istilah untuk hal itu adalah Cultural Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
12
keseluruhan struktur struktur sosial, religius, dan lain-lain. Tidak hanya itu, kebudayaan juga
bisa mencakup segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yang meliputi sistem ide atau gagasan dalam pikiran manusia.Dalam hal ini, kebudayaan
dinilai mampu mempengaruhi tingkat pengetahuan manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.Kebudayaan diwujudkan dalam benda-benda yang
diciptakan oleh manusia, baik berupa perilaku maupun benda-benda yang bersifat
nyata.Misalnya pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, dimana kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Mengacu pada esensi budaya, nilai budaya sehat merupakan bagian yang tidak
terpisahkan akan keberadaanya sebagai upaya mewujudkan hidup sehat. Budaya hidup sehat
pun telah menjadi bagian dari budaya manusia yang ditemukan secara universal.Dari budaya
pula, hidup sehat dapat ditelusuri, yaitu melalui komponen pemahanan tentang sehat, sakit,
derita akibat penyakit, cacat dan kematian.Beragam nilai masyarakat yang dilaksanakan dan
diyakini, serta kebudayaan dan teknologi yang berkembang, juga dapat menjadi acuan
menelusuri pola hidup sehat.Setiap masyarakat tentu memiliki pemahaman yang berbeda-
beda tentang keadaan sehat dan keadaan sakit.Pemahaman tersebut sangat bergantung pada
kebudayaan tiap masyarakat. Dalam tahap penyembuhan di masa lalu, kebudayaan memaksa
masyarakat untuk menempuh cara ‘trial and error’. Hal tersebut ditempuh karena
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan masih sangat kurang. Sehingga segala cara pun
dicoba meskipun risiko akan kematian pasien juga tidak kecil. Namun, semua pengalaman
berbahaya itu justru memunculkan konsep sehat tradisional kuratif.Konsep tersebut lahir dari
perpaduan antara pengalaman empiris masyarakat dengan konsep kesehatan yang semakin
hari semakin bertambah.Konsep sehat tradisional kuratif pun semakin lengkap dengan tetap
dijalankannya konsep budaya sebagai sistem kepercayaan masyarakat. Contohnya, di
kalangan masyarakat Indonesia terdapat sebuah cara penyembuhan penyakit kuning
(hepatitis) yang dipengaruhi konsep kebudayaan. Untuk masalah kesehatan satu ini,
penggunaan kunyit sebagai obat dipercaya mampu menyembuhkan.Masyarakat Indonesia
percaya alam semesta telah menyediakan obat untuk segala macam penyakit, dan persamaan
13
warna antara obat dan penyakit menjadi kesimpulan mereka untuk menyembuhkan.Contoh
lainnya ialah sistem pengairan yang dipraktikkan kebudayaan bangsa Kreta dan bangsa
Minoa pada tahun 3.000 sebelum Masehi.Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa
kebudayaan, pengetahuan serta teknologi yang berkembang di masyarakat sangat
berpengaruh terhadap konsep kesehatan mereka.Sebagaimana dikemukakan oleh Foster dan
Anderson (2009), kesehatan berhubungan dengan perilaku.Perilaku sehat dapat dipandang
sebagai suatu respon rasional terhadap hal-hal yang dirasakan akibat sakit. Dengan kata lain,
ada suatu hubungan intim dan tidak dapat ditawar-tawar lagi antara penyakit, obat-obatan dan
kebudayaan. Teori penyakit, termasuk di dalamnya etiologi, diagnosis, prognosis, perawatan,
dan perbaikan atau pengobatan keseluruhannya adalah bagian dari kebudayaan.Bagi para
antropolog banyak hal yang bisa mereka garap dalam ilmu kesehatan, baik lembaga atau
masyarakat.
2. Dengan antropologi, petugas kesehatan bisa merumuskan program perilaku sehat dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit bisa dilakukan dengan lebih
mudah dan tepat.
14
meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat dengan tetap pula dengan bertumpu
pada akar kepribadian masyarakat yang terbangun.
6. Memberikan suatu model yang secara operasional berguna untuk menguraikan proses
sosial budaya di bidang kesehatan.
7. Sumbangan terhadap metode penelitian dan hasil penelitian, baik dalam merumuskan
suatu pendekatan yang tepat maupun membantu analisis dan interprestasi hasil tentang
suatu kondisi yang ada di masyatakat.
Dapat disimpulkan, manfaat antropologi bagi dunia kesehatan adalah sebagai sarana
untuk berkomunikasi dan berinteraksi.Interaksi bisa dilakukan antara petugas kesehatan
dengan pasien, petugas kesehatan dengan keluarga pasien, atau antarpetugas dengan sesama
profesi kesehatan.Pengetahuan tentang budaya suatu penduduk penting kaitannya dengan
petugas kesehatan.Tujuannya, agar seorang petugas kesehatan selalu memperhatikan
budayasuatu penduduk dalam interaksi terapeutiknya dan dalamrangka menyukseskan
program kesehatan.Dengan pemahaman budaya, penyelesaian kasus kesehatan di masyarakat
pun bisa dilakukan karena lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat. Selain
biasmempermudah penanganan kasus karena dapat diterima oleh klien dengan baik, klien
juga akan merasa lebih familier dengan petugas kesehatan. Pada masyarakat awam misalnya,
akan sangat senang bila dipanggil dengan sebutan yang biasa mereka gunakan keseharian,
terutama untuk orang tua. Selain sebagai rasa menghormati, penggunaan panggilan seperti
kebiasaan masyarakat juga akan terdengar lebih akrab. Pembuka percakapan dengan sebutan
yang akrab itulah yang dapat menjadikan interaksi selanjutnya menjadi lebih lancar.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Makalah ini masih banyak mempunyai kekurangan dalam hal-hal penyajiannya maka
dari itu kita harus terus belajar agar dapat menjadi lebih baik lagi. Segala saran yang bersifat
membangun kami sangat menunggunya untuk perbaikan dari makalah ini. Akhir kata kami
ucapkan terimakasih
16
DAFTAR PUSTAKA
(n.d.).
Glinka, J. &. (2010). Pendekatan antropologi dalam mempelajari adaptasi manusia terhadap
kesehatan dan penyakit. peranan Antropologi kesehatan dalam perencanaan
pembangunan kesehatan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
17