Anda di halaman 1dari 10

http://abduljalil.web.ugm.ac.

id/2015/02/12/cyberbullying/

Psikologi
Santri Iku Lakon, Ora Dadi Penonton!

Skip to content
 Home
 abilngaji
← Bangku Mahasiswa
I have story from pare Fajar English Club →

CYBERBULLYING
Posted on February 12, 2015 by Abdul Jalil
LATAR BELAKANG
Media online atau media sosial pada zaman sekarang bukan lagi hal yang tabu, selain
kegunaannya yang berdampak positif seperti sebagai alat komunikasi dan informasi,
media online juga dapat berdampak negatif. Dari anak-anak hingga orang dewasa
pasti mengenal dan menggunakan media online untuk berkomunikasi dan untuk
memperoleh banyak informasi. Hal ini membuat banyak orang yang tidak
menggunakan media onlinedengan baik dan benar, melainkan menggunakannya
untuk hal-hal yang negatif. Salah satu dampak negatif yang sudah tidak asing lagi
dalam penggunaan media ini adalah cyberbullying. Cyberbullying adalah perlakuan
kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan
alat elektronik yang dilakukan secara berulang dan terus menerus pada seorang
target yang kesulitan membela diri (Smith dkk., 2008; dalam klikpsikologi, 2013).
Singkatnya cyberbullying merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan
seseorang melalui media sosial atau media online dengan menggunakan sarana
teknologi komunikasi dan media elektronik terhadap orang lain dengan tujuan
tertentu. Cyberbullying pada umumnya dilakukan melalui media situs jejaring sosial
seperti Facebook, Twiter, Yahoo Massenger, dan Email. Pelaku
dari cyberbullying itu sendiri kebanyakan adalah para remaja. Mereka malakukan
hal tersebut dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti dendam,
sakit hati, iri, cemburu, marah, dan ingin terlihat hebat, serta dilakukan dengan
sengaja dan secara berulang.
Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying and Self Esteem mengemukakan
bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah remaja yang mempunyai
kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai dan mengontrol
orang lain (Patchin & Hinduja, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan dirinya
sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali ia menganggap orang lain tidak
ada artinya. Selain itu, hasil dari penelitian pada 30 sekolah menengah atas di
Amerika Serikat dengan menggunakan random sampling, juga menekankan
pada self-esteem seorang remaja dalam melakukan cyberbullying, yang mana
seseorang yang melakukan cyberbullyingcenderung mempunyai self-esteem yang
rendah karena hal ini merupakan suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi
dirinya sendiri dan hanya akan mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku
tidak terpuji ini juga sangat berdampak pada pelaku cyberbullying itu sendiri, yang
mana dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada prestasi
akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.
Dalam makalah ini, akan dibahas dua kasus mengenai korban dari cyberbullying.
Kasus yang pertama terjadi pada seorang remaja berumur 12 tahun yang memilih
untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari sebuah gedung pada tahun 2013
yang lalu. Gadis muda ini bernama Rebecca Sedwick, ia mengakhiri hidupnya
dikarenakan di ganggu atau dibully oleh sekelompok gadis-gadis remaja. Rebecca
dihina, diancam, dan dipaksa untuk bunuh diri oleh para pelaku melalui akun
facebook. Penyebab dari cyberbullying ini adalah kecemburuan sosial yang
menyebabkan korban cyber tersebut tidak mampu menahan emosi sehingga ia lebih
memutuskan untuk bunuh diri. Kasus yang kedua tidak jauh berbeda, terjadi pada
seorang remaja cantik bernama Hannah Smith, 14 tahun. Tepat pada bulan Agustus
2013 yang lalu, Hannah ditemukan tewas gantung diri di rumahnya sendiri. Gadis ini
tidak bisa lagi menahan caci maki yang diluntarkan melalui media online yang
ditujukan kepadanya. Meminta Hannah untuk mengakhiri hidupnya adalah yang
diutarakan oleh orang-orang yang tidak dapat diketahui identitasnya yang mana
merupakan pelaku dari cyberbullying ini. Hannah sangat depresi dan sempat
menentang orang-orang yang membullynya melalu media online tersebut. Namun
pada akhirnya Hannah pun tetap tidak kuat dan lebih memilih untuk mengakhiri
hidupnya. Dari kedua kasus diatas, akan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan
berbagai perspektif psikologi.
TUJUAN
Tujuannya adalah untuk lebih mengetahui berbagai permasalahan
mengenai cyberbullying, ditinjau dari berbagai perspektif psikologi.
MANFAAT
1. Untuk memberikan pengetahuan dan informasi tentang cyberbullying
2. Untuk mengurangi tingkat perilaku cyberbullying
3. Untuk memberikan rekomendasi program intervensi

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cyberbullying
Cyber bullying adalah kekerasan yang di lakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang yang menggunakan bantuan alat elektronik yang di lakukan secara berulang
kali atau terus menerus pada seseorang yang sulit membela dirinya (Smith dkk.,
2008; dalam Alamsyah, 2013).

Aspek-aspek Cyberbullying
Bentuk-bentuk praktek cyberbullying yang sering dilakukan antara lain:
1. Mengirimkan email dan sms yang berisikan cacian dan hinaan.
2. Menyebarkan gossip atau berita buruk yang tidak menyenangkan melalui
jejaring sosial berupa komentar, gambar dan status yang dibuat.
3. Menggugah atau membeberkan beberapa identitas target tanpa ijin.
4. Mengunggah video yang memalukan yang bisa di akses semua orang.
Willard (2007; dalam Sylmia, 2012) menyebutkan macam-macam
jenis cyberbullyingsebagai berikut:
1. Flaming (terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan
kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun merujuk
pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
2. Harassment (gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan yang
menggunakan email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan
secara terus menerus
3. Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar keburukan
seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang
tersebut
4. Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan
mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik
5. Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain
6. Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar
mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut
7. Exclusion (pengeluaran) : secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang
dari grup online.
8. Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara
intens sehingga membuat ketakutan besar pada orang tersebut.
Alat yang di gunakan untuk melakukan cyber bullying menurut Sheri Bauman
(2008; dalam Sylmia, 2012) yaitu Instant Message (IM), Chatroom, Trash Polling
Site, Blog, Bluetooth bullying, dan situs-situs jejaring sosial
Bhat (2008; dalam Sylmia, 2012) dalam Australian Journal of Guidance &
Counselling menyebutkan salah satu alat cyberbullying adalah mobile phone. Fitur
yang digunakan dalam mengintimidasi adalah mengirimkan pesan teks atau sms,
gambar, ataupun video yang mengganggu korban.
PEMBAHASAN
Perspektif Psikologi Pendidikan
Cyberbullying yang sering terjadi di media sosial dan elektronik akan sangat
menggangu proses pendidikan baik mulai dari PAUD hingga sampai pada tingkat
Perguruan tingggi, meskipun Guru atau Dosen dalam proses pembelajarannya sudah
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, dan tidak membosankan namun
karena anak tidak konsentrasi penuh meskipun fisiknya berada di dalam kelas akan
tetapi pikirannya tidak tertuju pada pembelajaran, anak akan terganggu
konsentrasinya karena tidak bisa berpikir dengan tenang akibat
adanya cyberbullying yang bisa jadi dilakukan oleh teman, orang yang tidak
dikenali, orang yang lebih tinggi secara status sosial, dan orang yang lebih
berpendidikan di tempat belajarnya.
Cyberbullying dapat mengakibatkan korban akan mengalami low-achievers,
yakni tidak optimal dalam usaha belajarnya. Selama pembelajaran siswa akan
mudah lupa dengan materi yang telah disampaikan oleh Guru maupun Dosen,
sehingga suasana kompetitif yang biasanya terjadi di kelas akan hilang, baik
kompetisi siswa dengan dirinya sendiri (self competition), kompetisi antara siswa
dalam satu kelompok (intra group competition), maupun kompetisi antara
kelompok (inter group competition).
Upaya preventif masalah perilaku yang serius, penanganan masalah perilaku yang
serius dan berbagai kenakalan siswa seringkali melibatkan polisi, pengadilan,
pelayanan sosial, sebagaimana orang tua dan teman sebayanya terlibat. Sekolah
memainkan peran penting bagaiana resources yang ada dapat bekerja sama dalam
menangani masalah yang serius, seperti halnya kasus Rebecca yang telah diceritakan
di atas ia telah diganggu oleh sekelompok gadis sebanyak 15 orang, hendaknya dari
pihak sekolah segera menangani atau menindaklanjutinya untuk keselamatn murid,
sehingga tidak akan sampai melakukan tindakan bunuh diri. Contoh kasus lainnya
dalam pemutaran film waktu di kelas, seorang perempuan yang terus selalu tidak
bisa terhindar dari hpnya baik di luar kelas maupun di dalam kelas sehingga ketika
Dosen menjelaskan seorang tersebut masih terus menggunakan hpnya karena
merasa khawatir yang terus berkelanjutan akibat adanya cyberbullying.
Dari permasalahan di atas, bahwa anak yang bermasalah harus mendapatkan
penanganan tidak hanya dari guru saja, melainkain juga membutuhkan dukungan
dari orangtua dan lingkungan sekitar, sehingga mampu mengurangi perilaku atau
hal-hal yang cenderung tidak di inginkan dan membuat semua anak bisa aktif
sehingga tidak cenderung untuk sibuk sendiri.

Agar anak bisa aktif tidak hanya diam dan cenderung menyendiri maka semua siswa
harus diberi kesempatan untuk memperoleh rewards jika mereka melakukan usaha
keras (untuk menanamkan atribusi usaha pada siswa). Baik berupa pujian,
pemberian permen dan atau acungan jempol, begitu pula bagi anak yang tidak mau
berusaha maka akan mendapatkan punishments, baik berdiri maju kedepan atau
tidak dikasi rewards sendiri.
Siswa laki-laki yang lebih sering terlibat dalam hal bullying sekitar 26% pelaku dan
21% korban, Perilaku bullying lebih sering terjadai di sekolah menengah daripada di
SD. (Alsa, Asmadi. 2013).

Pendekatan Prevensi Bullying bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dan


mempublikasikan kebijakan sekolah anti bullying, mengembangkan pengetahuan
siswa tentang bullying dan efek negatifnya, memberikan pelatihan
ketrampilan social skills: empati, kontrol diri (dorongan), dan manajemen
kemarahan. Siswa diminta aktif pada kegaitan pro sosial. Menerapkan konsekuensi
terhadap perilaku bullying: Kehilangan hak tertentu, hukuman yang keras. Yang
jelas setelah hukuman selesai maka siswa harus diterima oleh sekolah kembali.
Perspektif Psikologi Sosial
Cyberbullying sangat sering dikaitkan dengan konsep bullying lama yang juga
sering dikaitkan dengan agresivitas. Ada banyak teori yang menjelaskan alasan
dibalik munculnya agresivitas pada seseorang. Salah satu teori modern yang banyak
dikenal adalah general aggression model (GAM) yang dikemukakan oleh Anderson
& Bushman (2002; dalam Baron & Branscombe, 2012). General aggression model
theory ini sendiri menerangkan bahwa agresi dipicu oleh beberapa variabel yang
memiliki pengaruh terhadap arousal, jenjang afek, dan kognisi dalam cakupan yang
luas. Menurut teori ini, serangkaian kejadian yang pada akhirnya dapat menuju ke
arah agresivitas bisa dipicu oleh dua macam input variables: (1) faktor-faktor yang
berkaitan dengan situasi saat ini (situational factors) dan (2) faktor-faktor yang
berkaitan dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya (person factors) (Baron &
Branscombe, 2012).
Ketika membahas kasus cyberbullying sendiri ditemukan adanya isu gender yang
sangat menonjol. Seperti yang telah diketahui, selama lebih dari dua-tiga dekade
belakangan ini, berbagai penelitian mengenai agresi telah menunjukkan bahwa laki-
laki pada umumnya cenderung terlibat dalam agresi secara langsung, sedangkan
perempuan lebih banyak terlibat dalam agresi secara tidak langsung, seperti
menggosip dan menyebarkan rumor (Lagerspetz et al, 1988; dalam Kowalski,
Limber, & Agatston, 2008). Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dirancang oleh
Kowalski & Limber (2006; dalam Kowalski, Limber, & Agatston, 2008). Dari hasil
survey yang diberikan kepada para murid sekolah menengah, didapatkan data bahwa
paling sedikit 25% dari responden perempuan dan 11% dari responden laki-laki
pernah terlibat dalam kasus cyberbullying paling tidak sebanyak satu kali dalam
kurun waktu dua bulan sebelumnya.
Selain adanya isu gender, Kowalski & Limber (2006; dalam Kowalski, Limber, &
Agatston, 2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan sosial,
kepercayaan diri (self-esteem) dengan cyberbullying. Kowalski & Limber
membandingkan level kecemasan sosial pada tiga kelompok responden: anak-anak
yang melakukan cyberbullying, anak-anak yang menjadi korban cyber-bullying, dan
anak-anak yang tidak memiliki keterlibatan sama sekali dalam cyberbullying. Hasil
yang diperoleh ternyata menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi
korban cyberbullying memiliki tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dua kelompok lainnya. Selain itu, anak-anak yang menjadi
korban cyberbullying ini juga memiliki tingkat self-esteem paling rendah
dibandingkan yang lain (Kowalski, Limber, & Agatston, 2008).
Faktor lain yang mungkin berpengaruh dalam cyberbullying adalah adanya
pengaruh dari teman sebaya atau konformitas. Remaja yang sedang dalam masa
pertumbuhan, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama lingkungan
keluarga dan teman-teman di sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi
remaja, kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam
membentuk sikap dan perilaku anak. (Warr, 1993; dalam Hinduja & Patchin, 2013).
Selain itu, terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari
konformitas oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih besar terhadap
kecenderungan perilaku yang dipilih seorang remaja dibandingkan dengan dasar
kecenderungan kenakalan yang memang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Warr &
Stafford, 1991; dalam Hinduja & Patchin, 2013). Hal inilah yang kemudian membawa
adanya potensi melakukan cyberbullying karena konformitas dari lingkungan
pergaulan dan kelompok teman sebaya yang dimiliki para remaja yang cenderung
melakukan cyberbullying.
Perspektif Psikologi Perkembangan
Melalui perspektif psikologi perkembangan, fenomena cyberbullying dapat
dijelaskan melalui teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada individu
usia remaja. Pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson, remaja masuk ke
dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity confusion. Dalam tahap
ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial moratorium, yaitu suatu transisi para
remaja, dari anak-anak yang masih membutuhkan tuntunan, menuju ke masa
dewasa dimana remaja mulai menanggung beban tanggung jawabnya sendiri
(Santrock, 2012). Dalam masa ini orang tua dan masyarakat cenderung memberikan
sedikit kebebasan bagi para remaja untuk bereksperimen dalam tujuan mencari jati
dirinya. Berbagai pengalaman ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu
dimana posisi yang tepat dan cocok bagi anak untuk hidup. Dalam tahap ini remaja
yang berhasil dalam mengatasi krisis jati dirinya maka akan membentuk pribadi
yang sukses dan diterima oleh masyarakat. Sementara itu, remaja yang tidak mampu
menanggulangi konflik kebutuhan dan krisis identitas di dalam dirinya akan terjatuh
ke dalam suatu kondisi yang disebut oleh Erikson sebagai identity
confusion (Santrock, 2012). Para remaja yang kehilangan identitas dirinya dan tidak
berhasil dalam meregulasi konflik di dalam dirinya ini cenderung mudah
mendapatkan masalah di lingkungannya, baik di dalam lingkungan sekolah maupun
keluarga dan masyarakat. Dampak dari identitiy confusion ini sendiri bisa jadi salah
satu dari dua kondisi berikut ini: (1) individu akan menarik diri dan mengisolasi
dirinya dari masyarakat dan sosial, seperti teman-teman dan keluarga, atau (2)
individu jatuh terbenam di dalam dunianya dengan teman-temannya dan kehilangan
identitasnya di dalam kerumunan orang-orang tersebut (Santrock, 2012). Dua
kemungkinan ini yang paling dekat dan menjelaskan mengapa kebanyakan
kasus cyberbullying terjadi pada remaja. Bila seorang remaja jatuh ke dalam kondisi
pertama, besar kemungkinannya ia menjadi korban dari cyberbullying, karena
individu tersebut mengisolasi dirinya sendiri. Sementara para
pelaku cyberbullying sendiri besar kemungkinannya merupakan remaja yang jatuh
ke dalam kondisi kedua, dimana mereka melakukan tindak kejahatan melalui media
internet karena adanya pengaruh dari teman-teman sebayanya, sebagaimana
penjelasan dari adanya faktor konformitas yang telah dijelaskan dalam perspektif
psikologi sosial.
REKOMENDASI PROGRAM
Teknik Assertive Training
Fenomena cyberbullying merupakan hal yang sangat marak terjadi di dunia maya,
dan tak jarang hal tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan bagi
korbannya. Johnson (2011:6) mengungkapkan bahwa penanganan
kasus cyberbullying tidak hanya diberikan kepada korbannya saja. Dalam hal ini,
penanganan atau intervensi psikologis yang diberikan adalah konseling. Konseling
ini dapat membantu korban mengatasi trauma dari cyber-bullying dan
merehabilitasi pelaku. Korban juga dapat melatih keterampilan ketegasan,
kemampuan sosialisasi, dan meningkatkan konsep diri melalui konseling ini.
Adapun teknik yang dilakukan dalam konseling ini adalah assertive training.
Assertive training (Joyce & Weil, 1980:414) merupakan metode pelatihan yang
sangat terbuka untuk membantu seseorang memperoleh keterampilan sosial yang
akan memungkinkan mereka mengekspresikan diri secara nyaman dan lancar dalam
situasi yang sebelumnya membuat mereka merasa cemas dan terhambat.
Teknik assertive tranining meliputi peningkatan penggunaan ekspresi dalam
berbicara, pengungkapan perasaan bertentangan melalui batas yang ditetapkan, dan
peningkatan perilaku self-initiative. Hargie, et al. (Smith & Sharp, 1994:123)
mengungkapkan bahwa teknik assertive training sangat direkomendasikan untuk
membantu merespon situasi yang sulit ketika perlu memilih bersikap pasif atau
agreasi. Teknik assertive training juga dapat meningkatkan self-confidence dan
hubungan interpersonal.
Peran konselor dalam assertive training ini adalah berusaha memberikan
keberanian dalam diri client, termasuk diantaranya adalah korban cyberbullying,
dalam mengatasi kesulitannya terhadap orang lain (Willis, 2009).
Korban cyberbullying nantinya diharapkan dapat mempraktikan, kecakapan-
kecakapan bergaul yang diperoleh dari teknik assertive training ini, sehingga
mereka mampu mengatasi ketidakmampuannya dan mempelajari cara
mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih
terbuka, sekaligus disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan
reaksi yang terbuka tersebut (Corey, 2009).
Penanganan Cyberbullying di Sekolah
Fenomena cyberbullying dapat diatasi oleh pihak sekolah dengan cara
meningkatkan self-esteem pada murid-muridnya (Seligman, 1995). Self-
esteem tersebut dapat ditingkatkan melalui pembentukan sekaligus penggunaan
program peer support, dimana teman-teman di sekolah membantu teman yang lain
jika ia memiliki masalah dalam hubungan interpersonalnya, dan juga melatihnya
untuk memiliki sikap empati, serta tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk
apapun dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Cowie & Wallace, 2000).
Sekolah dapat memberikan penyuluhan kepada murid-muridnya
mengenai cyberbullying, dan mengembangkan beberapa strategi untuk
mencegahnya (Twyman dkk, 2010). Strategi-strategi tersebut diantaranya berupa
pemberian hukuman terhadap pelaku cyberbullying, mengembangkan sebuah peta
lokasi yang mengindikasikan adanya cyberbullying di suatu tempat, mengingatkan
secara kontinyu kepada para staf-staf sekolah untuk senantiasa waspada terhadap
adanya cyberbullying, memberitahukan tanda-tanda atau indikator
adanya cyberbullying kepada seluruh warga sekolah, menyediakan support group di
sekolah untuk murid-murid baru yang masih asing dengan keadaan sekolah,
mendorong para korban cyberbullying untuk merespon terhadap
tindakan cyberbullying secara tepat (tidak lantas menggunakan obat-obatan
terlarang, bunuh diri, dan lain sebagainya), serta mendorong para bystander untuk
menjadi teman dari murid yang menjadi korban cyberbullying (Brunner & Lewis,
2007). Hal-hal tersebut dapat diberikan oleh pihak sekolah demi terciptanya
lingkungan belajar yang kondusif, dan terbebas dari adanya gangguan yang
berkaitan dengan cyberbullying ketika proses belajar-mengajar di sekolah
berlangsung (Stauffer dkk, 2012).
Poland (2010), mengungkapkan bahwa beberapa upaya untuk
memberantas cyberbullying di sekolah meliputi pemberian edukasi
mengenai cyberbullying kepada guru-guru dan orang tua, serta membatasi
penggunaan telepon selular oleh murid-murid ketika mereka berada di sekolah. Para
spesialis dalam bidang media perpustakaan di sekolah dapat bekerja sama dengan
guru-guru untuk mengajarkan mengenai cyberbullying kepada murid-muridnya,
dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengatasinya. Selain itu, jika
seorang murid di sekolah meyakini bahwa dirinya merupakan korban dari cyber-
bullying, maka ia dapat menyerahkan bukti berupa screen capture atau print-
out yang berisikan konten cyberbullying terhadap dirinya kepada pihak sekolah
yang berwajib (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, konselor, guru, dan lain
sebagainya) (Frederick, 2009).
Abil, Adel, Ayu, Dhia, Elok, Ershanti, Ophil, Pitaloka, Ema’.

About Abdul Jalil


Diamku ‫ هللا‬Gerakku ‫ ُم َح َّمد‬. Wong Lamongan, S1 di Psikologi UGM. I'm free man & traveler all id:
abilngaji
View all posts by Abdul Jalil →

This entry was posted in Psikologi. Bookmark the permalink.

← Bangku Mahasiswa
I have story from pare Fajar English Club →
5 Responses to CYBERBULLYING
1. r says:
April 17, 2016 at 16:37

Daftar pustaka?
Reply
2. Pingback: Cyber Bullying – fikrialvian
3. Pingback: CyberBullying | Sobat Sukses
4. Pingback: CYBERBULLYING – Sobat Sukses

5. Farid says:
December 15, 2017 at 14:39

Gak ada…

Maaf banget ya… 🙁


Reply
Leave a Reply
Your email address will not be published.

Comment 
Name 
Email 
Website 

Post Comment

 Stats
 Users 2
 Posts 398
 Comments 56
 Pages 1

Search
 
 Bagikan!

Anda mungkin juga menyukai