Anda di halaman 1dari 173

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN CKD

DENGAN INTERVENSI INOVASI BERKUMUR AIR MATANG DAN


MENGHISAP ES BATU TERHADAP PENURUNAN RASA HAUS
DI RUANG HEMODIALISA RSUD JAYAPURA TAHUN 2020

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


memperoleh gelar Ners

Disusun Oleh :

Nama : Yudi Hadi Prayitno, S.Kep


NIM : 2019086026040
Peminatan : Keperawatan Medikal Bedah-HD

TAHAP PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN CKD


DENGAN INTERVENSI INOVASI BERKUMUR AIR MATANG DAN
MENGHISAP ES BATU TERHADAP PENURUNAN RASA HAUS
DI RUANG HEMODIALISA RSUD JAYAPURA TAHUN 2020

Diajukan oleh:
Yudi Hadi Prayitno, S.Kep
2019086026040

Telah diseminarkan dan diujikan pada tanggal 20 Januari 2021


dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Tim Penguji
Nama : Rohmani, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB (..........................)
NIP : 19830706 200912 1 002

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

Fransisca B. Batticaca, S.Pd., Ns., Sp.Kep.Kom


NIP. 19621029 198802 2 001

i
HALAMAN PERSETUJUAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa


Karya Ilmiah Akhir Ners yang berjudul:

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN CKD


DENGAN INTERVENSI INOVASI BERKUMUR AIR MATANG DAN
MENGHISAP ES BATU TERHADAP PENURUNAN RASA HAUS
DI RUANG HEMODIALISA RSUD JAYAPURA TAHUN 2020

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Nama : Yudi Hadi Prayitno, S.Kep
NIM : 2019086026040

Telah disetujui sebagai Karya Ilmiah Akhir Ners dan dinyatakan


Telah memenuhi syarat untuk diterima

Pembimbing I, Pembimbing II,

Hotnida Erlin Situmorang, S.Kep., Ns., M.Ng Angela L. Thome, S.Kep., Ns., M.Kep
NIP. 19770928 201404 2 001 NUP. 9914011909

ii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhir Ners ini merupakan hasil karya saya sendiri, disusun berdasarkan
pedoman tata cara penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners Program Studi Ilmu Keperawatan,
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.. Semua sumber baik yang dikutip
maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat pernyaaan yang tidak benar, saya bersedia dituntut dan menerima segala tindakan
atau sanksi sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Jayapura, 20 Januari 2021


Pembuat Pernyataan

Yudi Hadi Prayitno, S.Kep


NIM. 2019086026040

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:
“Memulai dengan penuh keyakinan, menjalankan dengan penuh keikhlasan,
menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan”

“Ijasah hanya tanda pernah sekolah, bukan pernah berfikir. Karena ilmu disaat kamu
miskin akan menjadi hartamu, dan disaat kamu kaya akan menjadi perhiasanmu”.
(Rocky Gerung)

“Ikatlah ilmu dengan menulis”

Persembahan:
Karya Ilmiah Akhir Ners ini, penulis persembahkan kepada:
1. Allah SWT atas segala penyertaan dan bimbingan-Nya serta kasih serta hikmat,
kepandaian, kekuatan dan kesehatan bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Kedua orang tua yang tercinta dan saya kasihi yang senantiasa memberikan motivasi,
doa dan cinta kasih sayang.
3. Teman-teman seperjuangan Ners Angkatan XI tahun 2019 yang saya cintai dan
banggkan atas motivasi, doa dan bantuannya selama penelitian ini.
4. Almamaterku tercinta Tahap Pendidikan Profesi Ners Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada kita, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners (KIAN) Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Pada Pasien CKD dengan Intervensi Inovasi Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu Terhadap Penurunan Rasa Haus di Ruang Hemodialisa
RSUD Jayapura Tahun 2020 ini dengan tepat waktu.
Tujuan dari penyusunan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini selain untuk
melengkapi tugas pada akhir Stase Tahap pendidikan Profesi, juga merupakan
sebagai salah satu syarat mahasiswa untuk dapat menyelesaikan Tahap Pendidikan
Profesi Ners pada Fakultas Kedokteran (FK) Program Studi Ilmu Keperawatan
(PSIK) Universitas Cenderawasih Jayapura.
Di dalam pengerjaan maupun penyusunan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini
telah melibatkan banyak pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh
sebab itu, di sini penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Ibu Fransisca B. Baticaca, S.Pd., Ns., M.Kep., Sp.Kep.Kom Selaku Ketua
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Cenderawasih yang telah banyak membantu maupun memfasilitasi kami selama
praktika klinik pada hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini.
2. Ibu Juliawaty, S.Kp., M.Kep., Sp.An. selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Ners kultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang telah banyak
membantu, memfasilitasi maupun mengerahkan segala pikiran untuk
mengarahkan kami selama praktika klinik pada Tahap pendidikan Profesi
hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini.
3. Ibu Hotnida Erlin Situmorang, S.Kep., Ns., M.Ng. selaku Pembimbing I yang
telah banyak membantu maupun membimbing kami dengan penuh kesabaran
selama penyusunan hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini.
4. Ibu Angela L. Thome, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku Pembimbing II yang telah
banyak membantu maupun membimbing kami selama penyusunan hingga
terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini.

v
5. Sahabat dan rekan pejuang Ners Angkatan ke-11 tercinta yang telah kompak
dalam memberi dukungan dan saling memotivasi satu dan yang lain.
6. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan Karya Tulis
Ilmiah Akhir Ners ini yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners
ini sepenuhnya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk mewujudkan
kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini penulis sangat hargai. Semoga
Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners ini dapat bermanfaat bagi Ilmu Keperawatan
khusunya dan Kedokteran Medis umumnya.

Jayapura, 20 Januari 2021

Penulis,

Yudi Hadi Prayitno, S.Kep


NIM. 2019086026040

vi
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien CKD dengan Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang dan Menghisap Es Batu Terhadap Penurunan Rasa Haus
di Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura Tahun 2020

Yudi Hadi Prayitno 1, Hotnida Erlin Situmorang2, Angela L. Thome3

ABSTRAK

Latar Belakang: Pasien Chronic Kidney Deseases (CKD) mempunyai kondisi


dimana ginjal tidak dapat membuang hasil metabolik yang menumpuk dalam darah,
yang menyebabkan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi
pengganti ginjal yang paling banyak dipilih adalah terapi hemodialisis. Pasien CKD
yang menjalani hemodialisis sering merasakan haus akibat dari adanya program
pembatasan cairan yang diwajibkan. Kumur air matang dan menghisap es batu
merupakan salah satu dari banyak metode manajemen rasa haus pada pasien CKD.
Tujuan: Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk menganalisis
intervensi inovasi berkumur air matang dan menghisap es batu terhadap penurunan
rasa haus pada pasien CKD. Metode: Dalam penelitian ini menggunakan instrumen
Thirst Distres Scale. Hasil: Dalam pemberian intervensi selama 3x pertemuan,
terjadi perubahan pada observasi membran mukosa bibir, pengukuran antropometri
dan produksi saliva. Kesimpulan: Intervensi ini menunjukkan adanya penurunan
rasa haus yang signifikan saat pasien diberikan intervensi inovasi berkumur air
matang dan menghisap es batu.

Kata Kunci: Chronic Kidney Deseases, penurunan rasa haus, berkumur air matang,
menghisap es batu

1
Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Ners, Universitas Cenderawasih
2, 3
Dosen Universitas Cenderawasih

vii
Analysis of Nursing Clinical Practices in CKD Patients with Innovative
Interventions Rinsing Clean Water and Sucking Ice Cubes
Against Decreasing Thirst in the Hemodialysis Room
at the Jayapura Hospital in 2020

Yudi Hadi Prayitno 1, Hotnida Erlin Situmorang2, Angela L. Thome3

ABSTRACT

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) patients have a condition in which


the kidneys are unable to get rid of metabolic products that have accumulated in the
blood, which causes changes in fluid and electrolyte balance. The most preferred
renal replacement therapy is hemodialysis therapy. CKD patients undergoing
hemodialysis often feel thirsty as a result of the mandatory fluid restriction program.
Gargling boiled water and sucking on ice cubes is one of the many methods of thirst
management in CKD patients. The objective of research: This Ners' Final
Scientific Work (KIAN) aims to analyze the innovative intervention of gargling
boiled water and sucking ice cubes to reduce thirst in CKD patients. Methods: In
this study, the Thirst Distress Scale was used. Results: During the intervention for
3 times, there were changes in the observation of the lip mucous membrane,
anthropometric measurements and saliva production. Conclusion: This
intervention showed a significant reduction in thirst when the patient was given the
innovative intervention to gargle boiled water and suck ice cubes.

Keywords: Chronic Kidney Deseases, decreased thirst, gargling boiled water,


sucking ice cubes

1
Student of the Nurse Professional Education Program, Cenderawasih University
2,3
Lecturer of Cenderawasih University

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Halaman Pengesahan KIAN …………………………………………………. i
Halaman Persetujuan KIAN …………………………………………………. ii
Pernyataan Orisinalitas ……………………………………………………..... iii
Motto dan Persembahan ……………………………………………………… iv
Kata Pengantar ……………………………………………………………….. v
Abstrak ……………………………………………………………………….. vii
Abstract ………………………………………………………………………. viiii
Daftar Isi ……………………………………………………………………... ix
Daftar Gambar ……………………………………………………………….. xii
Daftar Skema ………………………………………………………………… xiii
Daftar Tabel …………………………………………………………………. xiv
Daftar Singkatan …………………………………………………………….. xv
Daftar Lampiran …………………………………………………………….. xvi
BAB I Pendahuluan …………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………………….. 7
1.3 Manfaat Penelitian ……………………………………………………… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..... 10
2.1 Konsep Teori CKD ………………………………………………............ 10
2.1.1 Definisi ……………………………………………………………. 10
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Ginjal …………………………………….. 11
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko ……………………………………….. 24
2.1.4 Patofisiologi ………………………………………………………. 25
2.1.5 Pathway CKD …………………………………………………….. 28
2.1.6 Manifestasi Klinis ………………………………………………… 30
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang …………………………………………. 31

ix
2.1.8 Penatalaksanaan …………………………………………………. 31
2.2 Konsep Hemodialisa ……………………………………………………. 38
2.2.1 Definisi …………………………………..……………………….. 38
2.2.2 Tujuan Hemodialisa ………………………………..……………... 39
2.2.3 Prinsip Hemodialisa ………………………………………..……... 39
2.2.4 Indikasi ……….…………………………..……………………….. 41
2.2.5 Perawatan Hemodialisa ………………………………..………….. 44
2.2.6 Proses Hemodialisa ………………………………………..…….... 51
2.2.7 Adekuasi Hemodialisa …………………………………..………... 52
2.3 Konsep Teori Haus …... ………………………………………………… 52
2.3.1 Definisi ……………………………………..…………………….. 52
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Rasa Haus ………………………….. 53
2.3.3 Fisiologi Munculnya Rasa Haus …………………………………. 56
2.4 Inovasi Terapi Manajemen Haus…... …………………………………… 59
2.4.1 Menghisap Es Batu ……………………………………..………… 60
2.4.2 Berkumur Air Matang ……………………………………………. 62
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan CKD …... ………………………………... 66
2.5.1 Pengkajian ……………………………………..…………………. 66
2.5.2 Diagnosa Keperawatan …………………………………………… 75
2.5.3 Intervensi Keperawatan ………………………………………….. 76
2.6 Kerangka Teori …... …………………………………………………….. 80
2.7 Kerangka Konsep …... ………………………………………………….. 80
BAB III TINJAUAN KASUS ………………………………………………. 81
3.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……………………………………………. 81
3.2 Pengkajian …... …………………………………………………………. 82
3.2.1 Identitas Pasien …………………………………………………… 82
3.2.2 Data Fokus ………………………………………………………... 84
3.2.3 Genogram ………………………………………............................. 86
3.2.4 Data Khusus ………………………………………………………. 87

x
3.2.5 Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan ……………………………….. 88
3.2.6 Pemeriksaan Fisik ………………………………………................ 93
3.3 Klasifikasi Data ………………………………………………………..... 102
3.4 Analisa Data ………. ……………………………………………………. 103
3.5 Rencana Asuhan Keperawatan …………………....................................... 107
3.6 Catatan Perkembangan …………………………………………………... 118
BAB IV ANALISA SITUASI ……………………………………………….. 122
4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………………. 122
4.2 Analisa Masalah Keperawatan pada Pasien Kelolaan ………………….... 124
4.3 Analisis salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait …... 135
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan …………………................. 141
BAB V PENUTUP …………………………………………………………... 144
5.1 Kesimpulan……………………………………………………….. ……... 144
5.2 Saran ……………………………………………………….. …………… 146
5.2.1 Bagi Institusi Akademik ………………………………………….. 146
5.2.2 Bagi Perawat ……………………………………………………… 146
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya …………………………………………. 148
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 147
Lampiran

xi
Daftar Gambar

Halaman
Gambar 2.1 Letak Ginjal 12
Gambar 2.2 Anatomi Ginjal 17
Gambar 2.3 Mekanisme Hemodialisa 38
Gambar 2.4 Visual Analog Scale of Thristy 65

xii
Daftar Skema

Halaman
Skema 2.1 Pathway 28
Skema 2.2 Kerangka Teori 80
Skema 2.3 Kerangka Konsep 80
Skema 3.1 Genogram 86

xiii
Daftar Tabel

Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi CKD 30
Tabel 2.2 Strategi Pembatasan Asupan Cairan 60
Tabel 2.3 Thirst Distress Scale 64
Tabel 2.4 Dialysis Thrist Inventory 66
Tabel 2.5 Intervensi Keperawatan 76
Tabel 3.1 Balance Cairan 100
Tabel 3.2 Pemeriksaan Penunjang 101

xiv
Daftar Singkatan

CKD Cronic Kidney Disease


USRDS United States Renal Data System
CDC Centers for Disease Control and Prevention
WHO World Health Organization
KDIGO Kidney Disease: Improving Global Outcomes
NKF National Kidney Foundation
GFR Glomerulo Filtration Rate
ADH Antidiuretic Hormone
EPO Eritroprotein
USG Ultrasonografi
ISK Infeksi Saluran Kemih
CMV Cytomegalovirus
LFG Laju Filtrasi Glomerulus
CAPD Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
SHR Sindrom Hepatorenal
QB Quick of Blood
ABL Arterial Blood Line
VBL Venus Blood Line
TDS Trirst Distres Scale
VAS Visual Analogy Scale
DTI Dialysis Thirst Inventory

xv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit gagal ginjal kronik atau disebut juga dengan CKD (Chronic Kidney

Disease) adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan faal ginjal

yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan

internalnya yang berlangsung dari perkembangan gagal ginjal yang progresif dan

lambat yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan menetap sehingga

mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) berakibat ginjal tidak

dapat memenuhi kebutuhan dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon

sakit (Smeltzer dan Bare, 2012).

Penyakit Ginjal Kronik termasuk dalam masalah kesehatan yang terjadi di

masyarakat dan telah meliputi secara global. Angka kejadian dan prevalensi gagal

ginjal terus menerus meningkat. Peningkatan jumlah penderita ini disertai dengan

semakin buruknya prognosis dan biaya perawatan yang cukup tinggi. Seiring

meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan penyakit komorbid lain seperti

diabetes melitus maupun hipertensi, prevalensi CKD juga mengalami peningkatan.

Diperkirakan sebanyak 1 dari 10 populasi secara global mengalami CKD pada

stadium tertentu. Global Burden of Disease tahun 2010 menyebutkan bahwa CKD

merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia pada tahun 1990. Hal ini

mengalami peningkatan menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010 (Widiani, 2020).
2

Secara global angka kejadian gagal ginjal kronis meningkat setiap tahunnya,

dimana angka kejadian CKD di seluruh dunia pada tahun 2010 berjumlah sekitar 2

juta orang dan yang melakukan hemodialisis serta trasnplantasi berjumlah 651 ribu

orang. Menurut Global Burden of Disease Study (2010), CKD menduduki peringkat

ke 27 sebagai penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 1990, peringkat

tersebut naik menjadi peringkat ke-18 pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2017). Hal

tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita CKD dalam 2 dekade

terakhir.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2016, mengemukakan bahwa

angka kejadian CKD di seluruh dunia mencapai 10% dari populasi, sementara itu

pasien CKD yang menjalani hemodialisis diperkirakan mencapai 1,5 juta orang di

seluruh dunia. Angka kejadian CKD diperkirakan meningkat 8% setiap tahunnya.

CKD menempati penyakit kronis dengan angka kematian tertinggi ke-20 di dunia

(Indonesian renal registry, 2016).

Peningkatan pasien gagal ginjal terjadi di negara maju dan negara

berkembang. Gagal ginjal kronis merupakan masalah kesehatan yang signifikan

dan terus berkembang di Amerika Serikat. Gagal ginjal kronis menempati posisi

ke-9 dari 15 penyebab utama kematian yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun

2015 (Murphy, dkk, 2017). Data Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) tahun 2017 menyebutkan bahwa diperkirakan sebesar 15% orang dewasa di

Amerika Serikat memiliki gagal ginjal kronis yaitu sekitar 30 juta orang. Terapi

penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal diperlukan untuk

bertahan hidup ketika ginjal berhenti bekerja. Berdasarkan USRDS (2017), tercatat
3

sebanyak 87,3% individu di Amerika Serikat mulai terapi penggantian ginjal

dengan hemodialisis, 9,6% dengan dialisis peritoneal, dan 2,5% menerima

transplantasi ginjal.

Data Indonesia Renal Registry pada tahun 2016 mengemukakan bahwa di

Indonesia, jumlah pasien CKD yang mendaftar ke unit hemodialisis terus

meningkat 10% setiap tahunnya. Prevalensi CKD dipekirakan mencapai 400 per

1 juta penduduk dan prevalesi pasien CKD yang menjalani hemodialisis mencapai

15.424. Sampai dengan tahun 2016, sebanyak 15.424 orang penduduk Indonesia

mengalami ketergantungan pada hemodialisa. Hal ini terjadi seiring dengan

meningkatnya angka usia harapan hidup penduduk Indonesia karena pertumbuhan

ekonomi yang cukup baik pada beberapa tahun terakhir. Berdasarkan perkiraan

(WHO, 2012) angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 71 tahun dan

pada tahun yang sama WHO memperkirakan angka kematian yang disebabkan

oleh penyakit kronis di Indonesia mencapai 54% dari seluruh penyebab kematian.

Salah satu penyakit kronis yang angka kejadiannya diperkirakan meningkat setiap

tahunnya adalah penyakit gagal ginjal kronis.

Data Riskesdas (2018) menyebutkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronik

di Indonesia sekitar 1,5%. Dimana prevalensi dari kelompok umur usia lanjut (55

- 64 tahun) dengan 6,29% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur

lainnya. Prevalensi kasus gagal ginjal kronis permil berdasarkan diagnosis dokter

pada semua umur penduduk di Provinsi Papua menempati urutan ke-33 yaitu

sebanyak 12.736 penderita. Data di Ruangan Hemodialisa RSUD Jayapura tahun

2020 pada bulan November menunjukkan jumlah kasus penyakit gagal ginjal
4

kronis yang dilakukan oleh pasien yang rutin melakukan hemodialisis sebanyak

256 pasien.

Terapi pengganti pada pasien CKD untuk dapat mempertahankan hidup

adalah hemodialisis, yang bertujuan menghasilkan fungsi ginjal sehingga dapat

memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup pada

penderita CKD. Terapi hemodialisis adalah suatu tekhnologi tinggi sebagai terapi

pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari

peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin,

asam urat dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah

darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis

dan ultra filtrasi (Suciati & Sureskiarti, 2017).

Hemodialisis merupakan terapi pengganti yang sangat membantu pasien

sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat

menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat

meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal. Pasien gagal

ginjal menjalani proses hemodialisa 1-3 kali seminggu dan setiap kalinya

memerlukan waktu 2-5 jam, kegiatan ini akan berlangsung terus menerus

sepanjang hidupnya. Pengaturan pola makan atau diet pada penderita gagal ginjal

yang menjalani hemodialisa merupakan anjuran yang harus dipatuhi oleh setiap

penderita gagal ginjal selain terapi dialisis atau cuci darah.

Status hidrasi yang normal menjadi hal yang sangat penting bagi pasien

CKD. Status hidrasi yang melebihi ambang batas yang ditoleransi (overhidrasi)

akan membuat pasien jatuh pada kondisi yang tidak baik. Besarnya dampak yang
5

ditimbulkan dari adanya overhidrasi terhadap hidup pasien CKD membuat hal ini

harus ditangani dengan baik. Salah satu penatalaksanaan yang sering dilakukan di

rumah sakit untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan program

pembatasan intake cairan (Sulistyaningsih, 2014).

Adanya pembatasan intake cairan yang dilakukan pada pasien yang

melakukan hemodialisis, menimbulkan beberapa efek yang paling sering terjadi,

salah satunya adalah timbul rasa haus yang menyebabkan mulut pasien kering

karena produksi saliva yang berkurang (xerostomia), sehingga pasien akan minum

banyak atau berlebihan untuk mengurangi keluhannya tersebut, terutama pada

pasien yang mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering.

Hal ini dikarenakan dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama

tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan (Potter & Perry, 2008).

Pada pasien CKD apabila tidak melakukan pembatasan asupan cairan, maka

cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema disekitar

tubuh seperti tangan, kaki dan wajah. Penumpukkan cairan juga dapat terjadi

di rongga perut (acites). Kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat dan

memperberat kerja jantung.

Menurut Fransiska (2013) cara untuk mengatasi rasa haus terhadap pasien

CKD yang menjalankan program pembatasan intake cairan dengan menghisap es

batu, bilas mulut dengan obat kumur maupun air matang dan juga mengunyah

permen karet yang rendah gula. Beberapa penelitian serupa (Arfany, dkk., 2015)

menyimpulkan bahwa menghisap es batu lebih efektif dibandingkan dengan

mengunyah permen karet yang rendah gula dalam mengatasi rasa haus yang
6

dialami oleh pasien CKD yang sedang melakukan hemodialisis.

Hasil penelitian Fransiska (2013), menunjukkan bahwa terdapat beberapa

cara untuk mengurangi rasa haus yang dapat dilakukan oleh penderita CKD. Salah

satunya adalah berkumur dengan air dingin yang dicampur dengan daun mint.

Menurut penelitiannya, berkumur dengan bahan tersebut akan berdampak pada

penurunan rasa kering di mulut akibat program pembatasan intake cairan,

sehingga hal tersebut akan dapat menurunkan rasa haus yang muncul. Gerakan

berkumur juga akan membuat otot-otot bibir, lidah dan pipi berkontraksi.

Kontraksi tersebut akan merangsang kelenjar saliva di mulut untuk menghasilkan

saliva. Akumulasi saliva di mulut mencegah mulut dari kering dan haus karena

osmoreseptor mengirimkan sinyal ke hipotalamus bahwa kebutuhan akan air

terpenuhi.

RSUD Jayapura merupakan salah satu rumah sakit rujukan terbesar di kota

Jayapura, Papua. Selain itu RSUD Jayapura mempunyai fasilitas unit hemodialisa,

dimana di unit hemodialisa memiliki daya tampung sebanyak 13 bed dan 13 mesin

hemodialisis yang masih berfungsi di ruang hemodialisa. Berdasarkan hasil studi

pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 dan 21 Januari 2020 kepada 5 pasien

yang sedang hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura, sebagian besar

pasien mengatakan bahwa mengetahui harus membatasi cairan yang dikonsumsi.

Sebanyak 3 dari 5 pasien mengatakan bahwa ia tidak tahu cara untuk mengurangi

rasa haus yang sering timbul akibat program pembatasan intake cairan, sehingga

ketika rasa haus itu timbul tindakan yang dilakukan oleh pasien adalah ingin

minum dalam jumlah yang banyak. Pada saat pasien mengkonsumsi cairan yang
7

berlebihan, pasien mengatakan seluruh tubuhnya akan terasa bengkak, yang

membuat berat badan pasien meningkat dan juga membuat pasien tersebut bisa

sesak nafas.

Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan, peneliti ingin melakukan

pelaksanaan asuhan keperawatan dengan intervensi inovasi berkumur air matang

dan menghisap es batu terhadap penurunan rasa haus di Ruang Hemodialisa

RSUD Jayapura.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIA-N) ini bertujuan untuk

melakukan analisa terhadap kasus kelolaan pada pasien CKD dengan intervensi

inovasi berkumur air matang dan menghisap es batu terhadap penurunan rasa

haus di Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura, Papua.

1.2.1 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kasus kelolaan pada pasien dengan diagnosa medis

CKD yang sedang menjalankan hemodialisis.

b. Mengidentifikasi intervensi inovasi pemberian terapi berkumur air

matang terhadap penurunan rasa haus yang diterapkan pada pasien

kelolaan dengan diagnosa medis CKD yang sedang menjalankan

hemodialisis.
8

c. Mengidentifikasi intervensi inovasi pemberian terapi menghisap es batu

terhadap penurunan rasa haus yang diterapkan pada pasien kelolaan

dengan diagnosa medis CKD yang sedang menjalankan hemodialisis.

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat Aplikatif

a. Bagi Pasien

Diharapkan intervensi inovasi berkumur air matang dan menghisap

es batu dapat diterapkan oleh pasien maupun keluarga pasien sebagai

salah satu tindakan alternatif untuk mengurangi rasa haus yang sering

dirasakan oleh pasien.

b. Bagi Perawat

Diharapkan intervensi inovasi ini dapat diterapkan pada

penatalaksanaan asuhan keperawatan bagi pasien yang sedang

menjalankan program pembatasan intake cairan yang melakukan

hemodialisis.

c. Bagi Tenaga Kesehatan

Diharapkan intervensi inovasi ini dapat diaplikasikan dan juga bisa

memotivasi untuk memberikan intervensi inovasi yang lainnya.

1.3.2 Manfaat Teoritis

a. Bagi Penulis

Dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan analisa


9

pengaruh intervensi inovasi berkumur air matang dan menghisap es batu

terhadap penurunan rasa haus pada pasien yang sedang menjalankan

program pembatasan intake cairan.

b. Bagi Rumah Sakit

Sebagai referensi dan sumber informasi yang harus dilakukan

dalam melakukan pelaksanaan praktik pelayanan keperawatan,

khususnya pada pasien CKD yang sedang menjalankan program

pembatasan intake cairan.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber informasi dalam kegiatan belajar tentang masalah

keperawatan pada pasien CKD.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Chronic Kidney Disease (CKD)

2.1.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis

dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

irreversibel dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Sulystianingsih, 2018).

Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini

merupakan masalah kesehatan penting mengingat selain insiden dan

pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal yang

harus di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat

mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal

ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti

karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang

sering dilakukan adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis. Diantara kedua

jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum

untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam Wardana,

2018)

Penyakit ginjal kronik stadium awal sering tidak terdiagnosis,

sementara PGK stadium akhir yang disebut juga penyakit ginjal kronis
11

memerlukan biaya perawatan dan penanganan yang sangat tinggi untuk

hemodialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ini baik pada stadium awal

maupun akhir memerlukan perhatian. Penyakit ginjal kronik juga merupakan

faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit

kardiovaskuler pada PGK lebih tinggi daripada kejadian berlanjutnya PGK

stadium awal menjadi stadium akhir (Wardana, 2018).

Kriteria penyakit CKD menurut Kidney Disease: Improving Global

Outcomes (KDIGO) 2012 yang mengacu pada National Kidney Foundation-

KDQOL (NKF-KDQOL) tahun 2002, adalah kerusakan ginjal yang terjadi

lebih dari tiga bulan; berupa kelainan struktural atau fungsional; dengan atau

tanpa penurunan LFG dengan manifestasi :

a. Kelainan patologis

b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urine

c. GFR < 60 ml/menit/1.73m2

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

a. Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang

peritonium di depan dua kosta terakhir dan tiga oto-otot besar tranversus

abdominalis, kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal di pertahankan

dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Di sebelah posterior

dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan di


12

anterior dilindungi oleh bantalan yang tebal (Haryono, 2012).

Pada orang dewasa panjang ginjal 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan

beratnya antara 120-150 grm. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk

dan ukuran tubuh. Sebanyak 95% orang dewasa memiliki jarak antara

katup ginjal antara 11-15 cm. Perbedaan panjang kedua ginjal lebih dari

1.5 cm atau perubahan bentuk merupakan tanda yang pentig karena

kebnyakan penyakit jinjal dimanifestasikan dengan perubahan struktur.

Permukaan anterior dan posterior katup atas dan bawah serta pinggir

lateral ginjal berbentuk konveks, sedangkan pinggir medialnya berbentuk

konkaf karena adanya hilus. Terdapat beberapa struktur yang masuk atau

keluar dari ginjal melalui hilus antara lain arteri dan vena renalis, saraf dan

pembuluh darah bening. Ginjal diliputi oleh kapsula tribosa tipis

mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan di bawahnya dan dapat

dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal (Wardana, 2018).

Bila ginjal kita iris memanjang, akan tampak bahwa ginjal terdiri

dari tiga bagian, yaitu bagian kulit (Korteks), Sumsum ginjal (medulla),

dan bagian rongga ginjal ( Pelvis renalis).

Gambar 2.1 Letak Ginjal (Sumber: Wardana, 2018)


13

1. Kulit Ginjal (Korteks)

Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan

penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah

ini banyak mengandung kapiler-kapiler darah yang tersusun

bergumpal-gumlpal disebut glomerulus. Tiap glomerulus dengan

simpai bownman disebut badan Malpighi. Penyaringan darah terjadi

pada badan Malpighi, yaitu di antara glomerulus dan simpai bowman.

Dan zat-zat yang terlarut dalam darah akan masuk ke dalam sampai

bownman. Dari sini zat- zat tersebut akan menuju ke pembuluh yang

merupakan lanjutan dari simpai bowman yang terletak di dalam

sumsum ginjal (Wardana, 2018).

Unit fungsional ginjal adalah nefron. Pada manusia setiap ginjal

mengandung 1- 1,5 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur

dan fungsi yang sama. Nefron dibagi dalam dua jenis yaitu:

a) Nefron kortikalis yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada

bagian luar dari korteks dengan lengkungan henle yang pendek dan

tetap berada pada korteks atau mengadakan penetrasinya hanya

sampai ke zona luar dari medula

b) Nefron juxtamedullaris yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada

bagian dalam dari korteks-medula dengan lengkungan henle yang

panjang dan turun jauh ke dalam zona dalam dari medulla, sebelum

berbalik dan kembali ke korteks.


14

Bagian- bagian nefron terdiri dari grlomerulus, kapsula bowman,

tubulus dan duktus pengumpul.

a) Glomerulus

Glomerulus adalah bagian ginjal yang merupakan anyaman

pembuluh darah kapiler khusus yang dindingnya bertaut menjadi

satu dengan dinding kapsula bowman. Glomerulus ginjal

berfungsi untuk menyaring darah, hasil saringan glomerulus adalah

urin primer yang mengandung air, garam, asam amino, glukosa,

urea, dan zat–zat lain. Molekul besar dalam darah seperti sel darah

dan protein tidak mampu melewati penyaringan ini sehingga tidak

terdapat dalam urin. Hasil penyaringan ini kemudian akan

ditampung oleh kapsula bowman.

b) Kapsula Bowman

Struktur kantong yang terletak pada permulaan dari

komponen tubulus dari sebuah nefron pada ginjal mamalia.

Sebuah glomerulus dibungkus kantung tersebut. Cairan dari darah

pada glomerulus dikumpulkan di kapsula Bowman. Cairan ini

nantinya akan diproses menjadi urin.

c) Tubulus

Haryono (2012) menyebutkan bahwa tubulus terbagi menjadi

3 (tiga) bagian:

1) Tubulus Proksimal

Bagian nefron di dalam ginjal yang merupakan saluran


15

berkelok-kelok, berhubungan langsung dengan kapsula bowman,

dan berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (ansa

henle desenden). Tubulus kontortus proksimal berfungsi sebagai

tempat terjadinya penyerapan kembali (reabsorpsi) zat–zat yang

diperlukan oleh tubuh. Proses reabsorpsi akan mengurangi isi

filtrat glomerulus sekitar 80–85%. Urin hasil reabsorpsi dari

proses ini disebut Urin Sekunder. Mukosa Tubulus Kontortus

Proksimal dilapisi oleh sel selapis kuboid dengan inti sel bulat,

biru, dan biasanya letaknya saling berjauhan satu sama lain.

2) Tubulus Henle

Bagian nefron dalam ginjal berbentuk seperti huruf U yang

menghubungkan antara tubulus kontortus proksimaldengan

tubulus kontortus distal. Lengkung henle berfungsi untuk

membuat cairan di medula ginjal dalam konsentrasi asam, karena

pada lengkung henle terdapat NaCl (garam) dalam konsentrasi

tinggi, sehingga cairan dalam lengkung henle selalu dalam

keadaan hipertonik. Ansa henle juga berfungsi untuk

memekatkan atau mengencerkan urin, karena terjadi proses

rearbsorpsi di dalamnya. Lengkung henle terbagi menjadi 2

bagian, yaitu :

i. Lengkung henle desenden (melengkung ke bawah)

Bagian dinding ansa henle desenden (turun) permeabel

terhadap air dan ion-ion namun impermeabel terhadap Na dan


16

Klorida. Artinya pada saat urin melewati bagian ini air akan

keluar dari dindingnya.

ii. Lengkung henle asenden (melengkung ke atas)

Bagian dinding ansa henle asenden (naik) permeabel

terhadap Na dan Kloria, namun Impermeabel terhadap air.

Artinya pada saat urin melewati bagian ini air akan tetap

berada dalam dinding, sedangkan Natrium dan Klorida akan

keluar dari dinding sesuai dengan kebutuhan tubuh.

3). Tubulus Distal

Tubulus distal berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat

tertentu.

d) Duktus Pengumpul (duktus kolektifus)

Suatu duktus pengumpul menerima cairan dari delapan nefron

yang lain. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medulla

untuk menggosokan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.

2. Sumsum ginjal (Medulla)

Adalah lapisan dalam dari ginjal. Medula ginjal berfungsi sebagai

tempat pengumpulan urin, Reabsropsi (penyerapan kembali zat yang

dibutuhkan tubuh), dan augmentasi (pelepasan zat yang berlebihan atau

tidak berguna ke dalam urin). Medula ginjal disusun oleh struktur

berbentuk piramid yang mengandung banyak pembuluh dara, bagian ini

berfungsi untuk mengumpulkan urin. Medula ginjal terdapat saluran


17

yang merupakan lanjutan dari saluran yang ada di korteks, yaitu

lengkung henle yang berfungsi dalam proses reabsorpsi dan pengaturan

konsentrasi urin. Cairan yang terkumpul pada medula ginjal ini

kemudian akan disalurkan menuju pelvis renalis (rongga ginjal).

3. Rongga ginjal (Pelvis renalis )

Adalah tempat bermuaranya tubulus ginjal. Pelvis ginjal

berfungsi sebagai tempat penampungan urin dan membawa urin

tersebut ke ureter. Urin dari ureter akan dibawa ke kandung kemih dan

disimpan sementara pada Kandung kemih sampai waktunya

dikeluarkan melalui Uretra.

Gambar 2.2 Anatomi Ginjal (Sumber: Wardana, 2018)

b. Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan salah satu bagian dari sistem ekskresi pada

manusia. Terdapat sepasang ginjal pada manusia. Panjang ginjal manusia

sekitar 10 cm dengan berat kurang lebih 200 gram. Sebagai alat ekskresi,

ginjal mengeluarkan sisa penyaringan darah yang berupa urine. Berikut


18

adalah beberapa fungsi ginjal manusia. Ginjal memiliki beberapa fungsi

yaitu:

1. Menyaring Darah

Konsumsi makanan yang kita makan setiap hari sebagai

penghasil energi setelah melalui proses pencernaan pastilah akan

menghasilkan banyak zat sisa dan limbah serta racun atau toksin. Zat-

zat tersebutlah yang akan dikeluarkan oleh ginjal karena jika tidak maka

akan sangat berbahaya bagi tubuh kita.

Nefron adalah salah satu bagian ginjal yang menjalankan fungsi

ini. Apabila seseorang tidak memiliki ginjal, maka orang tersebut akan

mati karena tubuhnya teracuni oleh kotoran yang dihasilkan oleh tubuh

manusia itu sendiri. Untuk melakukan hal tersebut, ginjal harus

menyaring sekitar 200 liter darah dan menghasilkan 2 liter zat-zat sisa

dan air per harinya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Anda buang air kecil

sebanyak kurang lebih 2 liter per harinya.

2. Membentuk Urine

Proses pembentukan urin terdiri dari tiga tahap yaitu filtrasi,

reabsorpsi, dan augmentasi. Semuanya terbentuk di dalam ginjal

tepatnya di bagian nefron. Urine adalah salah satu hasil dari sistem

ekskresi pada manusia yang merupakan hasil penyaringan darah oleh

ginjal. Urine mengandung zat-zat berbahaya yang harus dikeluarkan

oleh tubuh. Berikut adalah 3 proses pembentukan urine:


19

a) Filtrasi (Penyaringan)

Pengaruh Hormon ADH pada pembentukan urine filtrasi

merupakan perpindahan cairan dari glomelurus menuju ke ruang

kapsula bowman dengan menembus membran filtrasi. Membran

filtrasi terdiri dari tiga lapisan, yaitu sel endotelium glomelurus,

membran basiler, dan epitel kapsula bowman. Tahap ini adalah

proses pertama dalam pembentukan urine. Darah dari arteriol masuk

ke dalam glomerulus dan kandungan air, glukosa, urea, garam, urea,

asam amino lolos ke penyaringan dan menuju ke tubulus.

Glomerulus adalah kapiler darah yang bergelung-gelung di

dalam kapsula bowman. Ukuran saringan pada glomerulus membuat

protein dan sel darah tidak bisa masuk ke tubulus. Pada glomerulus

terdapat sel-sel endotelium yang berfungsi untuk memudahkan

proses penyaringan.

Filtrasi menghasilkan urine primer/filtrat glomerulus yang

masih mengandung zat-zat yang masih bermanfaat seperti glukosa,

garam, dan asam amino. Urin primer mengandung zat yang hampir

sama dengan cairan yang menembus kapiler menuju ke ruang antar

sel. Dalam keadaan normal, urin primer tidak mengandung eritrosit,

tetapi mengandung protein yang kadarnya kurang dari 0,03%.

Kandungan elektrolit (senyawa yang larutannya merupakan

pengantar listrik) dan kristaloid (kristal halus yang terbentuk dari

protein) dari urin primer juga hampir sama dengan cairan jaringan.
20

Kadar anion di dalam urin primer termasuk ion Cl- dan ion HCO3-,

lebih tinggi 5% daripada kadar anion plasma, sedangkan kadar

kationnya lebih rendah 5% daripada kation plasma. selain itu urin

primer mengandung glukosa, garam-garam, natrium, kalium, dan

asam amino.

b) Reabsorpsi (Penyerapan kembali)

Reabsorpsi terjadi di dalam tubulus kontortus proksimal dan

dilakukan oleh sel-sel epitelium di tubulus tersebut. Fungsinya

adalah untuk menyerap kembali zat-zat di urine primer yang masih

bermanfaat bagi tubuh seperti glukosa, asam amino, ion- ion Na+,

K+, Ca, 2+, Cl-, HCO3-, dan HbO42-. Air akan diserap kembali

melalui proses osmosis di tubulus dan lengkung henle. Zat-zat yang

masih berguna itu akan masuk ke pembuluh darah yang mengelilingi

tubulus. Hasil dari reabsorpsi adalah urine sekunder/filtrat tubulus

yang kadar ureanya lebih tinggi dari urine primer. Urine sekunder

masuk ke lengkung henle. Pada tahap ini terjadi osmosis air di

lengkung henle desenden sehingga volume urin sekunder berkurang

dan menjadi pekat. Ketika urine sekunder mencapai lengkung henle

asenden, garam Na+ dipompa keluar dari tubulus, sehingga urea

menjadi lebih pekat.

c) Augmentasi (Pengumpulan)

Setelah melewati lengkung henle, urine sekunder akan

memasuki tahap augmentasi yang terjadi di tubulus kontortus distal.


21

Disini akan terjadi pengeluaran zat sisa oleh darah seperti H+, K+,

NH3, dan kreatinin. Ion H+ dikeluarkan untuk menjaga pH darah.

Proses augmentasi menghasilkan urine sesungguhnya yang sedikit

mengandung air. Urine sesungguhnya mengandung urea, asam

urine, amonia, sisa-sisa pembongkaran protein, dan zat-zat yang

berlebihan dalam darah seperti vitamin, obat-obatan, hormon, serta

garam mineral. Kemudian urine sesungguhnya akan menuju tubulus

kolektivus untuk dibawa menuju pelvis yang kemudian menuju

kandung kemih (vesika urinaria) melalui ureter. Urine inilah yang

akan keluar menuju tubuh melalui uretra. Urine adalah hasil ekskresi

dari penyaringan ginjal. Urine mengandung zat-zat yang sudah tidak

diperlukan bagi tubuh atau yang kadarnya melebihi batas normal.

Kandungan utama urine adalah air, urea, dan amonia. Terdapat tiga

proses pembentukan urine yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi.

3. Menjaga Keseimbangan Air dalam Tubuh

Ginjal setiap hari mengeluarkan sekitar 2 liter air dari dalam

tubuh. Sebagian air dikeluarkan supaya tidak terjadi kelebihan air di

dalam darah. Jika kelebihan, maka darah akan mengencer dan sangat

berbahaya bagi tubuh. Tubuh menjaga keseimbangan air dengan

mempertahankan tekanan osmotik ekstraseluler (di luar sel). Jika

tekanan tersebut berlebihan, maka akan dikeluarkan dari tubuh salah

satunya melalui ginjal.


22

4. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa

Ginjal berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan kadar

asam dan basa dari cairan tubuh dengan cara mengeluarkan kelebihan

asam/basa melalui urine.

5. Mengatur kadar kalium dalam darah

Kalium (K) atau potasium adalah mineral yang berfungsi untuk

membuat semua sel, jaringan, dan organ dalam tubuh tetap berfungsi

dengan baik. Kalium sangatlah penting bagi tubuh. Namun jika

kadarnya terlalu berlebihan maka akan terjadi hiperkalemia yang dapat

menyebabkan otot jantung berhenti berdetak atau berdetak tidak

beraturan. Jika kadarnya di dalam darah kurang, maka akan terjadi

kelelahan, kulit kering, kelemahan otot, dan gerak refleks menjadi

lambat. Maka dari itu, ginjal menjadi penting karena berfungsi sebagai

pengatur kadar kalium di dalam darah dengan cara membuang atau

menyerap kembali kalium yang masuk ke dalam nefron.

6. Mengekskresikan zat-zat yang merugikan bagi tubuh

Ginjal akan mengekskresikan (mengeluarkan) zat-zat yang

merugikan bagi tubuh seperti urea, asam urat, amoniak, creatinin,

garam anorganik, bakteri, dan juga obat-obatan. Jika zat tersebut tidak

dikeluarkan maka akan menjadi racun yang dapat membahayakan

kesehatan di dalam tubuh.

7. Memproses ulang zat

Ginjal akan mengembalikan kembali zat yang masih berguna bagi


23

tubuh kembali menuju darah. Zat tersebut berupa glukosa, garam, air,

dan asam amino. Proses pengembalian zat yang masih berguna ke

dalam darah disebut reabsorpsi.

8. Mengatur volume cairan dalam darah

Ginjal dapat mengontrol jumlah cairan darah yang dipertahnkan

agar tetap seimbang didalam tubuh. Tanpa adanya kontrol dari ginjal

maka tubuh akan menjadi kering karena kekurangan cairan darah atau

sebaliknya, tubuh tenggelam karena kebanjiran cairan di dalam tubuh

yang menumpuk tidak terbuang.

9. Mengatur keseimbangan kandungan kimia dalam darah

Salah satu contohnya yaitu mengatur kadar garam didalam darah.

10. Mengendalikan kadar gula dalam darah

Ginjal amat penting untuk mengatur kelebihan atau kekurangan

gula dalam darah dengan menggunakan hormon insulin dan adrenalin.

Ini penting untuk menghindari diabetes. Insulin berfungsi sebagai

hormon penurun kadar gula dalam darah jika kadar gula dalam darah

berlebih. Adrenalin berfungsi untuk menaikkan kadar gula dalam darah

jika kadar gula di dalam darah tidak mencukupi.

11. Penghasil zat dan hormon

Ginjal merupakan penghasil zat atau hormon tertentu seperti

eritropoietin, kalsitriol, dan renin. Hormon yang dihasilkan oleh ginjal

yaitu hormon Eritroprotein atau yang disingkat dengan EPO berfungsi

untuk merangsang peningkatan laju pembentukan sel darah merah oleh


24

sumsum tulang. Renin berfungsi untuk mengatur tekanan darah di

dalam tubuh, sementara kalsitriol merupakan fungsi ginjal untuk

membentuk vitamin D, menjaga keseimbangan kimia di dalam tubuh,

serta untuk mempertahankan kalsium di dalam tulang yang ada di

dalam tubuh.

12. Menjaga tekanan osmosis

Ginjal menjaga tekanan osmosis dengan cara mengatur

keseimbangan garam-garam di dalam tubuh.

13. Menjaga pH Darah

Ginjal berfungsi sebagai penjaga kadar pH darah agar tidak

terlalu asam. Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4

melalui pertukaran ion hidronium.

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari CKD berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain.

Menurut Pernefri dalam Wardana (2018), penyebab CKD paling banyak di

Risiko adalah hipertensi (34%), nefropati diabetika (27%) dan glomerulopati

primer (14%). Faktor risiko CKD terdiri dari diabetes mellitus, berusia ≥ 50

tahun dan memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ginjal (Harrison, 2012).

Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan faktor risiko

untuk mendeteksi CKD. Delapan faktor tersebut meliputi usia tua, anemia,

wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskuler perifer dan riwayat gagal

jantung kongestif atau penyakit kardiovaskuler (Gopalan, 2008).


25

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian

Renal Registry (IRR) pada tahun 2010 didapatkan urutan etiologi terbanyak

penyakit ginjal hipertensi (35%), nefropati diabetika (26%), glumerulopati

primer (12%). Menurut National Kidney Foundation (2009), faktor resiko

penyakit gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau

hipertensi, obesitas, perokok, berumur lebih dari 50 tahun dan individu

dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit ginjal

dalam keluarga.

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung dari penyakit yang

mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada

diabetes mellitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi

nefropati diabetik, dimana terjadi peningkatan tekanan glomerular sehingga

terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi glomerular. Proses tersebut akan

menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang mengarah pada

glomerulosklerosis (Sudoyo dalam Wardana, 2018).

Tekanan darah yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya CKD.

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal

sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi (The National Institute of Diabetes

and Digestive and Kidney Diseases , 2014).

Glomerulonefritis, terjadi saat antigen dari luar memicu antibodi

spesifik dan membentuk kompleks imun yang terdiri dari antigen, antibodi
26

dan sistem komplemen. Endapan kompleks imun akan memicu proses

inflamasi dalam glomerulus. Endapan kompleks imun akan mengaktivasi

jalur klasik dan menghasilkan Membrane Attack Complex yang menyebabkan

lisisnya sel epitel glomerulus (Sudoyo dalam Wardana, 2018).

Mekanisme progresif berupa hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron

yang masih sehat sebagai kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron.

Namun, proses kompensasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti

oleh proses maladaptif berupa nekrosis nefron yang tersisa. Proses tersebut

akan menyebabkan penurunan fungsi nefron secara progresif. Selain itu,

aktivitas dari renin-angiotensin-aldosteron juga berkontribusi terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis dan progresivitas dari nefron. Hal ini disebabkan

karena aktivitas renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan

tekanan darah dan vasokonstriksi dari arteriol aferen (Tortora, 2011).

Pasien yang mengalami CKD, terjadi peningkatan kadar air dan natrium

dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu

keseimbangan glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake natrium

yang akan menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan volume cairan

ekstrasel. (Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen

tubulus menuju kapiler peritubular sehingga dapat terjadi hipertensi.

Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan merusak

pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal mengakibatkan

gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari hipertensi (Saad, 2014).


27

Gangguan proses filtrasi menyebabkan banyak substansi dapat

melewati glomerulus dan keluar bersamaan dengan urine, contohnya seperti

eritrosit, leukosit, dan protein. Penurunan kadar protein dalam tubuh

mengakibatkan edema karena terjadi penurunan tekanan osmotik plasma

sehingga cairan dapat berpindah dari intravaskular menuju interstitial. Sistem

renin-angiotensin-aldosteron juga memiliki peranan dalam hal ini.

Perpindahan cairan dari intravaskular menuju interstitial menyebabkan

penurunan aliran darah ke ginjal. Turunnya aliran darah ke ginjal akan

mengaktivasi sistem renin- angiotensin-aldosteron sehingga terjadi

peningkatan aliran darah. Gagal ginjal kronik menyebabkan insufisiensi

produksi eritropoetin (EPO). Eritropoetin merupakan faktor pertumbuhan

hemopoetik yang mengatur diferensiasi dan proliferasi prekursor eritrosit.

Gangguan pada EPO menyebabkan terjadinya penurunan produksi eritrosit

dan mengakibatkan anemia (Kidney Failure, 2013).


28

2.1.5 Pathway

Diabetes melitus Hipertensi Ginjal polikistik


Glomerulonefritis kronik,
pielonefritis kronik

↑ viskositas darah ↑ volume darah ke ginjal Terbentuk kista pada

↓ ukuran ginjal, terbentuk parenkim ginjal

jaringan parut
↓ perfusi ke ginjal Ginjal tidak mampu menyaring darah yang
terlalu banyak

Kerusakan ginjal

↓ GFR

Gangguan fungsi ginjal berlangsung kronik

PGK (CKD)

Kerusakan glomerulus Kerusakan tubulus ↓ produksi eritropoetin

Terganggunya fungsi ↓ fungsi sumsum tulang


↑ permeabilitas kapiler ↓ jumlah glomerulus absorbsi, sekresi, eksresi belakang
yang berfungsi

Loss Protein
↓ produksi sel darah merah
Menumpuknya toksik
↓ klirens ginjal metabolit (fosfat, hidrogen, ….( 1 )
Proteinuria masif
urea, amonia, kreatinin, dsb)

Anemia 1
Tertimbunnya produk
Hipoalbumin
hasil metabolisme
protein di dalam darah
Uremia PK: Anemia
↓ tekanan onkotik

Transudasi cairan intravascular ke


intertisiil
Pada GI Pada kulit Pada neuromuskular

Hipovolemi
Iritasi saraf perasa
Gangguan
Pruritus Kulit kering nyeri
keseimbangan asam
Aktivasi renin angio- tensin
basa
aldosteron … (2)
Digaruk
Iritasi lambung Nyeri Nyeri otot
2
Retensi Na & air kepala

Asam lambung ↑ Risiko kerusakan


Edema
integritas kulit

Mual, muntah Nyeri akut


Nausea
Kelebihan volume
cairan Berlebihan &
berkepanjangan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


29

1 2

↓ produksi sel Aktivasi renin angiotensin


darah merah aldosteron

↓ hemoglobin ↑ tekanan darah

Suplai O2 ke PK : hipertensi
jaringan ↓

Metabolisme basal
terganggu

↓ ATP untuk
beraktivitas

Intoleransi
aktivitas
30

2.1.6 Manifestasi Klinis

Pasien CKD stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1.73 m2 )

biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum

ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala

tersebut dapat ditemukan pada CKD stadium 4 dan 5 (dengan GFR ≤ 30

mL/menit/1.73 m2) bersamaan dengan poliuria, hematuria dan edema. Selain

itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan peningkatan limbah

nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam

basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan

fungsi pada semua sistem organ tubuh (Arora, 2014).

Kelainan hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD.

Anemia normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan karena

defisiensi pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga pembentukan sel

darah merah dan masa hidupnya pun berkurang (Arora, 2014).

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD

Klasifikasi CKD
Berdasarkan GFR Penjelasan GFR (mL/menit/1,73m2)
Stage
0 Memiliki faktor risiko ≥ 90 dengan faktor risiko
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal ≥ 90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan GFR Ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan GFR Sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan GFR Berat 15-29
5 Gagal ginjal ≤ 15
31

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang (Wardana, 2018)

a. Radiologi

Untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal

b. Foto polos abdomen

Menilai bentuk dan besar ginjal serta adakah batu/obstruksi lain

c. Pielografi Intra Vena

Menilai sistem pelviokalises dan ureter, berisiko terjadi penurunan faal

ginjal pada usia lanjut, diabetes mellitus dan nefropati asam urat.

d. USG

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, anatomi sistem

pelviokalises dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi

sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.

e. Renogram

Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler, parenkim)

serta sisa fungsi ginjal.

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik menurut Wardana (2018) adalah:

a. Terapi Konservatif

Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap pasien (CKD)

dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun. Tujuan

terapi konservatif:

1. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi


32

2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksik asotemia

3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal

4. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit

Prinsip terapi konservatif dalam mencegah memburuknya fungsi ginjal :

1. Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

2. Hindari keadaan yang menyebabkan dipresi volume cairan ekstraseluler

dan hipotensi

3. Hindari gangguan keseimbangan elektrolit

4. Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani

5. Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi

6. Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat

7. Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa

indikasi medis yang kuat

Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat

1. Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular

2. Kendalikan terapi ISK

3. Diet protein yang proporsional

4. Kendalikan hiperfosfatemia

a) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum ≥ 10 mg%

b) Terapi hiperfosfatemia

c) Terapi keadaan asidosis metabolik

5. Kendalikan keadaan hiperglikemia

6. Terapi alleviative gejala asotemia


33

7. Pembatasan konsumsi protein hewani

8. Terapi keluhan gatal-gatal

9. Terapi keluhan gastrointestinal

10. Terapi keluhan neuromuskuler

11. Terapi keluhan tulang dan sendi

12. Terapi anemia

13. Terapi setiap infeksi

b. Terapi Simtomatik

1. Asidosis metabolik

Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan

serum K+ (hiperkalemia). Suplemen alkali dengan pemberian kalsium

karbonat 5 mg/hari. Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH

≤ atau sama dengan 7.35 atau serum bikarbonat ≤ atau sama dengan 20

mEq/L.

2. Anemia

a) Anemia normokrom normositer

Berhubungan dengan retensi toksik polyamine dan defisiensi

hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Factor). Anemia

ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin

(r-HuEPO) dengan pemberian 30-530 U per kg BB.

b) Anemia hemolisis

Berhubungan dengan toksik asotemia. Terapi yang dibutuhkan


34

adalah membuang toksik asotemia dengan hemodialisis atau

peritoneal dialisis.

c) Anemia Defisiensi Besi

Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan

saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser (terapi pengganti

hemodialisis). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah

merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah dan efektif,

namun harus diberikan secara hati-hati.

Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal:

1) HCT ≤ atau sama dengan 20%

2) Hb ≤ atau sama dengan 7 mg%

3) Klien dengan keluhan: angina pektoris, gejala umum anemia dan

high output heart failure.

Komplikasi tranfusi darah:

1) Hemosiderosis

2) Supresi sumsum tulang

3) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia

4) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV

5) Pada Human Leukosite Antigen (HLA) berubah, penting untuk

rencana transplantasi ginjal.

3. Kelainan Kulit

a) Pruritus (uremic itching)

Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal,


35

insiden meningkat pada klien yang mengalami HD. Keluhan gatal

tersebut diantaranya:

1) Bersifat subyektif.

2) Bersifat obyektif: kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula

dan lichen symply.

Beberapa pilihan terapi adalah sebagai berikut:

1) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme

2) Terapi lokal: topikal emmolient (tripel lanolin)

3) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg,

terapi ini bisa diulang apabila diperlukan

4) Pemberian obat Diphenhidramine 25-50 P.O Hidroxyzine 10 mg

P.O.

b) Easy Bruishing :

Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa

berhubungan denga retensi toksik asotemia dan gangguan fungsi

trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.

c) Kelainan neuromuskular, terapi pilihannya:

1) HD reguler

2) Obat-obatan: Diazepam, sedatif

3) Operasi sub total paratiroidektomi

4) Hipertensi
36

Bentuk hipertensi pada klien dengan CKD berupa: volume

dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya.

Program terapinya meliputi:

i. Restriksi garam dapur

ii. Diuresis dan Ultrafiltrasi

iii. Obat-obat antihipertensi

c. Terapi pengganti

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik

stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat

berupa hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal (Suwitra,

2006).

Dialisis yang meliputi:

1. Hemodialisa

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu

cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal

ginjal (LFG).

2. Dialisis Peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi

medik CAPD, yaitu pasien anak- anak dan orang tua (umur lebih dari

65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem


37

kardiovaskular, pasien-pasien 24 yang cenderung akan mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)

dengan residual urin masih cukup dan pasien nefropati diabetik disertai

co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan

pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri

(mandiri) dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2008).

3. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi

dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh

(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih

70-80% faal ginjal alamiah

b) Kualitas hidup normal kembali

c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan

dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.


38

2.2 Konsep Hemodialisa

Gambar 2.3 Mekanisme Hemodialisa (Sumber: Wardana, 2018)

2.2.1 Definisi

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu

dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai

pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses

difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma. H & Huda. A, 2012).

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah

buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal

atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat

(Nursalam, 2008). Hemodialisis adalah cara terpilih pada pasien yang

mempunyai laju katabolisme tinggi secara hemodinamik stabil (Stein, 2011).


39

2.2.2 Tujuan Hemodialisa

Tujuan Hemodialisis menurut Kellenbach dalam Kamasita (2018)

adalah untuk mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan keseimbangan

elektrolit yang terjadi pada pasien CKD. Hal tersebut dikarenakan sistem

ginjal buatan yang dilakukan oleh dialiser memungkinkan terjadinya

pembuangan sisa metabolisme berupa ureum, kreatinin dan asam urat,

pembuangan cairan, mempertahankan sistem buffer tubuh, serta

mengembalikan kadar elektrolit tubuh

2.2.3 Prinsip Hemodialisa

Menurut Wardana (2018) prinsip hemodialisa terdiri dari:

a. Akses Vaskuler

Seluruh dialisis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik

biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara.

Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.

b. Membran semi permeable

Hal ini ditetapkan dengan dialiser aktual dibutuhkan untuk mengadakan

kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialisis dapat terjadi.

c. Difusi

Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan

pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.

d. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi

rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang


40

menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan dan mencegah

kehilangan zat yang dibutuhkan.

e. Konveksi

Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan

akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan

tersebut.

f. Ultrafiltrasi

Proses dimana cairan dipindahkan saat dialisis dikenali sebagai ultrafiltrasi

artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga

tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:

1. Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat

cairan dalam membran. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan

dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula

tekanan positif mendorong cairan menyeberangi membran.

2. Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membran

oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan negatif menarik

cairan keluar darah.

3. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan

yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan

tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik

cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang

menyebabkan membran permeable terhadap air.


41

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri, 2011)

secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari

15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi

dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani

dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu

apabilaterdapat komplikasi akut seperti edema paru, hiperkalemia, asidosis

metabolik berulang dan nefropatik diabetik.

2.2.4. Indikasi

Secara khusus, indikasi pasien yang memerlukan hemodialisa adalah

pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.

Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat

indikasi:

a. Hiperkalemia ≥ 17 mg/lt

b. Asidosis metabolik dengan pH darah ≤ 7.2

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum ≥ 200 mg% dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis

metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau

berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin ≥ 100 mg%

e. Kelebihan cairan

f. Mual dan muntah hebat

g. BUN ≥ 100 mg/dl (BUN = 2.14 x nilai ureum)

h. Preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah)


42

i. Sindrom kelebihan air

j. Intoksikasi obat jenis barbiturat

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi

elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang

tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) ≥ 120 mg% atau ≥ 40 mmol per liter dan kreatinin ≥

10 mg% atau ≥ 90 mmol perliter. Indikasi elektif yaitu LFG antara 5 dan 8

mL/menit/1.73m², mual, anoreksia, muntah dan astenia berat (Sukandar,

2008).

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri, 2011)

secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15

mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi

dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani

dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu

apabila terdapat komplikasi akut seperti edema paru, hiperkalemia, asidosis

metabolik berulang dan nefropatik diabetik. Selain beberapa indikasi medis

diatas, terdapat kontra indikasi untuk pasien yang akan melakukan

hemodialisa, antara lain :

a. Malignansi stadium lanjut kecuali multiple myeloma terkait tumor,

cenderung mengarahan ke keadaan buruk

b. Penyakit Alzheimer’s

Penyakit Alzheimer adalah suatu kondisi dimana sel-sel saraf di otak mati,
43

sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik.

c. Multi-infarct dementia

Multi-infarct dementia adalah penyebab umum kehilangan memori yang

disebabkan oleh beberapa serangan stroke (gangguan aliran darah ke otak).

Gangguan aliran darah menyebabkan jaringan otak rusak.

d. Sindrom Hepatorenal

Sindrom Hepatorenal adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien

penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang

ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari

sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR bersifat

fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal

pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat

vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana

sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang

menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.

e. Sirosis hati tingkat lanjut dengan enselopati

Sirosis adalah perusakan jaringan hati normal yang meninggalkan jaringan

parut yang tidak berfungsi di sekeliling jaringan hati yang masih berfungsi.

f. Hipotensi

Hipotensi (tekanan darah rendah) adalah suatu keadaan dimana tekanan

darah lebih rendah dari 90/60 mmHg atau tekanan darah cukup rendah

sehingga menyebabkan gejala-gejala seperti pusing dan pingsan.


44

g. Penyakit terminal

Penyakit terminal adaah penyakit pada stadium lanjut, penyakit utama

yang tidak dapat disembuhkan bersifat progresif, pengobatan hanya

bersifat paliatif (mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas

hidup).

2.2.5 Perawatan Hemodialisa

a. Perawatan sebelum Hemodialisis (Pra HD)

1. Persiapan Mesin

a. Listrik

b. Air (sudah melalui pengolahan)

c. Saluran pembuangan

d. Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)

e. Persiapan peralatan+obat-obatan

f. Dialyzer/Ginjal Buatan (GB)

g. AV blood line

h. AV fistula/abocath

i. Infuse set

j. Spuit 50 cc dan 5 cc

k. Heparin

l. Xylocain (anestesi lokal)

m. NaCl 0.9 %

n. Kain kasa
45

o. Duk steril

p. Sarung tangan steril

q. Bak kecil steril

r. Mangkuk kecil steril

s. Klem

t. Plester

u. Desinfektan

v. Gelas ukur/mat kan

w. Timbangan BB

x. Formulir hemodialisis

y. Sirkulasi darah, langkah-langkah:

1) Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas

2) Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah

3) Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru

VBL dihubungkan dengan alat penampung/mat-kan

4) Letakkan posisi GB terbalik, yaitu tanda merah dibawah, biru

diatas

5) Gantungkan NaCl 0.9% (2-3 kolf)

6) Pasang infuse set pada kolf NaCl

7) Hubungkan ujung infuse set dengan ujung merah ABL atau

tempat khusus

8) Tutup semua klem yang ada pada selang ABL, VBL (untuk

hubungan tekanan arteri, tekanan vena, pemberian obat-


46

obatan).

9) Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infuse set

10) Jalankan Qb dengan kecepatan ≤ 100 ml/m

11) Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebas udara)

dengan cara menekan-nekan VBL

12) Air trap/bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian

13) Setiap kolf NaCl sesudah/hendak mengganti kolf baru Qb

dimatikan

14) Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan

ujung VBL, klem tetap dilepas

15) Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U

16) Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500

U dan klem infus dibuka

17) Jalankan sirkulasi darah+soaking (melembabkan GB) selama

10-15 menit sebelum dihubungkan dengan sirkulasi sistemik

(pasien)

b. Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD)

1. Pasien

a) Sarana hubungan sirkulasi/akses sirkulasi

b) Dengan internal A-V shunt/fistula cimino

c) Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan dan tangan

d) Teknik aseptik dan antiseptik


47

e) Anestesi lokal

f) Punksi vena (outlet), dengan AV fistula no G.14 s/d G.16 atau

abocath, fiksasi, tutup dengan kassa steril

g) Berikan bolus heparin (dosis awal)

h) Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril

i) Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)

j) Desinfektan, Anestesi lokal

k) Punksi outlet/vena

l) Bolus heparin (dosis awal)

m) Fiksasi, tutup kassa steril

n) Punksi inlet (vena/arteri femoralis)

o) Raba arteri femoralis, tekan arteri femoralis 0.5-1 cm ke arah medial

vena femoralis

p) Anestesi lokal

q) Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5 menit

r) Fiksasi, tutup kassa steril

2. Memulai hemodialisis

a) Ujung ABL dihubungkan dengan punksi inlet

b) Ujung VBL dihubungkan dengan punksi outlet

c) Semua klem dibuka, kecuali klem infuse set 100 ml/m, sampai

sirkulasi darah terisi darah semua

d) Jalankan pompa darah (blood pump) dengan QB


48

e) Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL

dengan punksi outlet)

f) Fiksasi ABL dan VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)

g) Cairan priming ditampung di gelas ukur dan jumlahnya dicatat

(cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan)

h) Jalankan pompa darah dengan QB = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa

dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari keadaan pasien)

i) Hubungkan selang-selang untuk monitor: venous pressure, arteri

pressure, hidupkan air/blood leak detector

j) Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan).

k) Heparin dilanjutkan dengan NaCl

l) Ukur TD, nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/lemah

lakukan mengukur TD, nadi lebih sering

m) Isi formulir HD antara lain: nama, umur, BB, TD, suhu, nadi, tipe

GB, cairan primming yang masuk, makan/minum, keluhan selama

HD, masalah selama HD.

3. Mesin

Memprogram mesin hemodialisis:

a) Qb: 200-300 ml/m

b) Qd: 300-500 ml/m

c) Temperatur: 36-40 ˚C

d) TMP.UFR

e) Heparinisasi
49

f) Dosis awal: 25-50 U/kg BB, dosis selanjutnya (maintenance) = 500-

1000 U/kg BB

g) Observasi, Monitor selama hemodialisa: KU pasien, TTV, perdarah,

tempat punksi inlet, outlet, keluhan/komplikasi hemodialis

h) Peralatan Qb dan Qd

i) Temperature

j) Koduktiviti

k) Pressure/tekanan: arterial, venous, dialysate, UFR

l) Air leak dan blood leak

m) Heparinisasi

n) Sirkulasi ekstra corporeal

o) Sambungan-sambungan

4. Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post HD)

a) Mengakhiri HD

Persiapan alat:

1) Kain kassa

2) Plester, verband gulung

3) Alkohol/betadine

4) Antibiotik

5) Bantal pasir (1-1/2 keram): pada punksi femoral

Langkah-langkah :

1) Menit sebelum hemodialisis berakhir Qb diturunkan sekitar 100

cc/m, UFR = 0
50

2) Ukur Td, nadi

3) Blood pump stop

4) Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut, bekas punksi inlet

ditekan dengan kassa steril yang diberi betadine

5) Hubugkan ujung ABL dengan infuse set 50-100 cc

6) Darah dimasukkan ke dalam tubuh, dorong dengan NaCl sambil

Qb dijalankan

7) Setelah darah masuk ke tubuh blood pump stop, ujung VBL

diklem

8) Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet dan outlet ditekan dengan

kassa steril yang diberi betadine

9) Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi

inlet dan outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain

kassa/band aid lalu pasang verband

10) Ukur TTV

11) Timbang BB (kalau memungkinkan)

12) Isi formulir hemodialisis

13) Pakai sarung tangan

14) Sebelum ABL dan VBL dilepas dari kanula maka kanula arteri

dan kanula vena harus diklem lebih dulu

15) Kanula arteri dan vena dibilas dengan NaCl yang diberi 2500 U-

3000 U heparin

16) Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan konektor


51

17) Lepas klem pada kedua kanula

18) Fiksasi

19) Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat dari luar, untuk

mengetahui ada bekuan atau tidak

(Sumber: Kusuma H & Huda A.N, 2012)

2.2.6 Proses Hemodialisa

Secara keseluruhan sistem hemodialisa terdiri dari 3 elemen dasar, yaitu

sistem sirkulasi darah diluar tubuh (ekstrakorporeal), dialiser dan sistem

sirkulasi dialisat.

a. Sistem Sirkulasi Darah Ekstrakorporeal

Selama hemodialisa darah pasien mengalir dari tubuh kedalam dialiser

melalui akses arteri, kemudian kembali ke tubuh melalui selang vena dan

akses vena. Sistem sirkulasi darah di luar tubuh ini disebut sistem sirkulasi

darah ekstrakorporeal.

b. Dialiser

Dialiser adalah suatu alat berupa tabung atau lempeng, terdiri dari

kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dibatasi oleh

membran semipermieabel. Di dalam dialiser ini terjadi proses pencucian

darah melalui proses difusi dan ultrafiltrasi, sehingga dihasilkan darah

melalui yang sudah ”bersih” dari zat-zat yang tidak dikehendaki.

c. Sistem Sirkulasi Dialisat

Dialisat adalah cairan yang digunakan dalam proses diálisis. Dialisat


52

dialirkan ke dalam kompartemen pada dialiser dengan kecepatan tinggi

(1.5 x 500 ml/menit).

2.2.7 Adekuasi Hemodialisis

Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang

direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal

ginjal yang menjalani terapi hemodialisis (NKF dalam Wardana, 2018).

Standar tetap dari adekuasi hemodialisis adalah berdasarkan klirens urea dan

waktu dialisis. Standar tetap tersebut dapat diukur secara kuantitatif dengan

menggunakan formula Daugirdas sebagai berikut:

Kt/V = -Ln (R-0,008 x t) + (4 – 3,5 x R) xUF/W

Keterangan:

K : Klirens urea pada dialiser (mL/menit)

t : durasi hemodialisis (jam)

V : volume cairan tubuh dalam liter (pria 65% berat badan, wanita 55% berat

badan)

Ln : Logaritma natural

UF : BB pre dialisis – BB post dialisis

W : BB post dialisis. (Breitsameter, 2012).


53

2.3 Konsep Teori Haus

2.3.1 Definisi

Haus adalah kata yang sering kita dengar sehari–hari. Beberapa literatur

memiliki definisi haus yang berbeda-beda. Berikut ini adalah definisi haus

menurut beberapa literatur :

a. Haus merupakan salah satu stimulus paling kuat yang terkait keinginan

untuk minum sebagai akibat sensasi kekeringan di mulut dan tenggorokan

(Kara, 2013).

b. Haus adalah perasaan sadar yang menginginkan cairan dan merupakan

salah satu faktor utama untuk menentukan asupan cairan (Potter & Perry,

2010).

c. Haus merupakan pengaturan primer asupan cairan akibat kehilangan

cairan yang bermakna (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

d. Haus merupakan keinginan sadar individu akan air sebagai pengaturan

utama asupan cairan (Guyton, 2012).

Kesimpulan dari definisi haus menurut beberapa literatur di atas adalah

sebagai perasaan sadar dan salah satu stimulus paling kuat yang terkait

keinginan akan cairan atau keinginan untuk minum sebagai akibat sensasi

kekeringan dimulut dan tenggorokan serta kehilangan cairan yang bermakna

selain itu haus merupakan pengaturan primer dan salah satu faktor utama

untuk menentukan asupan cairan.


54

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi rasa haus (dispogenic factor)

Mekanisme rasa haus merupakan pengaturan primer asupan cairan

tubuh. Pusat rasa haus ada di hipotalamus. Beberapa stimulus memicu pusat

ini, termasuk volume vaskuler, tekanan osmotik cairan tubuh, dan angiotensin

(suatu hormon yang dilepaskan sebagai respon akibat penurunan aliran darah

ke ginjal) (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

Faktor yang dapat mempengaruhi rasa haus yaitu usia, jenis kelamin

dan ukuran tubuh, suhu lingkungan, gaya hidup.

a. Usia

Bayi dan anak-anak yang sedang tumbuh mengalami perpindahan

cairan yang jauh lebih cepat daripada orang dewasa karena laju

metabolisme mereka lebih tinggi meningkatkan kehilangan cairan tubuh.

Bayi lebih banyak kehilangan cairan lewat ginjal dibanding dengan orang

dewasa karena ginjal bayi yang belum matang kurang mampu untuk

menyimpan air. Selain itu, bayi mengalami peningkatan kehilangan cairan

yang tidak dirasakan karena bayi memiliki pernafasan yang cepat dan

permukaan tubuh yang secara proporsional lebih besar dibanding orang

dewasa.

Usia lanjut mengalami proses penuaan normal memengaruhi ketidak

seimbangan cairan dalam tubuh. Respon terhadap rasa haus sering kali

kurang dirasakan. Kadar hormon antidiuretik (ADH) tetap normal atau

mungkin meningkat, tetapi nefron kurang mampu menyimpan air sebagai

respon terhadap ADH. Peningkatan kadar faktor natriuretik atrial yang


55

muncul pada lansia dapat turut andil pada gangguan kemampuan untuk

menyimpan air. Perubahan normal pada proses menua dapat meningkatkan

resiko dehidrasi (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

b. Jenis kelamin dan ukuran tubuh

Faktor yang mempengaruhi rasa haus selain usia ada juga faktor

jenis kelamin. Laki–laki membutuhkan lebih banyak cairan daripada

perempuan karena laki–laki memproduksi keringat lebih banyak

dibanding perempuan. Selain itu laki–laki mengalami metabolisme yang

lebih tinggi dan memiliki massa otot yang lebih besar dibanding

perempuan sehingga laki–laki membutuhkan asupan cairan yang lebih

besar daripada perempuan (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

Individu yang memiliki persentase lemak tubuh lebih tinggi

cenderung memiliki cairan tubuh lebih sedikit karena sel lemak

mengandung lebih sedikit atau sama sekali tidak memiliki air dan jaringan

tanpa lemak memiliki kandungan air yang lebih tinggi. Pada individu

gemuk, kandungan cairan tubuh lebih sedikit sekitar 30% sampai 40% dari

berat badan individu tersebut. Wanita secara proporsional mempunyai

lemak tubuh yang lebih tinggi dan cairan tubuh lebih sedikit dibandingkan

pria. Air menyusun sekitar 60% berat badan pada pria dewasa, namun

hanya 52% untuk wanita dewasa (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder,

2011).
56

c. Suhu lingkungan

Kehilangan cairan tubuh melalui berkeringat akan meningkat apabila

suhu lingkungan tinggi karena tubuh akan berupaya untuk menghilangkan

panas. Kehilangan ini akan lebih besar pada individu yang belum

beradaptasi dengan lingkungan. Garam dan air tubuh akan hilang melalui

keringat. Apabila hanya air yang digantikan, maka akan terjadi risiko

deplesi garam. Deplesi garam akan menyebabkan individu mengalami

keletihan, kelemahan, sakit kepala dan gejala gastrointestinal seperti mual

dan anoreksia. Efek yang lebih buruk akan terjadi jika air tidak segera

digantikan, maka individu akan mengalami heatstroke. Heatstroke dapat

terjadi pada lansia dan orang sakit selama periode panas yang

berkepanjangan serta atlet dan para buruh apabila produksi panas mereka

melebihi kemampuan tubuh untuk menghilangkan rasa panas (Kozier,

Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

d. Gaya hidup

Stress dapat meningkatkan metabolisme seluler, kadar konsentrasi

glukosa darah dan kadar katekolamin serta produksi ADH, yang perannya

menurunkan produksi urine. Seluruh respon tubuh terhadap stress adalah

meningkatkan volume darah dalam tubuh. Faktor gaya hidup yang lain

adalah konsumsi alkohol dan tembakau yang berlebihan dapat

mengakibatkan depresi pernafasan selanjutnya meningkatkan resiko

terjadinya asidosis respiratorik akibat peningkatan pemecahan jaringan

lemak. Selain itu konsumsi alkohol meningkatkan risiko penurunan kadar


57

kalsium, magnesium, dan fosfat (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder,

2011; Potter & Perry, 2010).

2.3.3 Fisiologi munculnya rasa haus

Asupan cairan rata–rata orang dewasa dalam keadaan aktivitas sedang

dan suhu sedang yaitu sekitar 1500 ml cairan per hari tetapi kebutuhan asupan

cairan orang dewasa adalah 2500 ml per hari, untuk memenuhinya maka

dibutuhkan tambahan 1000 ml yang didapatkan dari makanan dan oksidasi

makanan selama proses metabolik. Kandungan air yang terdapat di dalam

makanan cukup besar yaitu sekitar 750 ml per hari. Kandungan air dalam

sayuran segar 90%, buah-buahan segar 85% dan daging tanpa lemak 60%.

Salah satu faktor yang mempengaruhi asupan cairan adalah rasa haus. Pusat

rasa haus terletak di hipotalamus. Tekanan osmotik cairan tubuh, volume

vaskular, dan angiotensin (hormon yang dilepaskan sebagai respon

penurunan aliran darah ke ginjal) adalah stimulus yang dapat memicu pusat

rasa haus (Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011).

Osmolalitas plasma dapat meningkat ketika terjadi defisiensi cairan dan

ingesti natrium klorida, sehingga merangsang osmoreseptor (pusat haus) di

hipotalamus anterior dekat dengan neuron yang mensekresikan hormon

antidiuretik (ADH) karena osmoreseptor sensitif terhadap perubahan kecil

pada osmolalitas plasma dan meregulasi antidiuretic hormone (ADH) serta

menyebabkan osmoreseptor kehilangan air, berdepolarisasi dan mengecil.

Peningkatan osmolalitas (impuls) memberi sinyal ke korteks serebral untuk


58

meningkatkan sekresi ADH dan menstimulasi munculnya rasa haus yang

dapat dihilangkan dengan minum air. Perubahan komponen utama cairan

ekstraseluler juga terjadi yaitu peningkatan Na+ sehingga akan menyebabkan

perubahan volume ekstraselular. Turunnya tekanan vena sentral atau central

venous pressure (CVP) yang menggambarkan volume darah dideteksi oleh

reseptor regangan atrium dan reseptor regangan tekanan rendah

(kardiopulmonal). Penurunan volume darah dalam jumlah yang cukup untuk

mengurangi tekanan darah akan mengaktifasi refleks baroreseptor

kardiovaskular, dan impuls akan ditransmisikan ke osmoreseptor dalam

hipotalamus untuk mengaktifasi mekanisme rasa haus. Pelepasan renin oleh

ginjal juga akan terjadi. Renin akan memecah angiotensin plasma menjadi

angiotensin I, angiotensin converting enzim (ACE) akan merubah angiotensin

I menjadi angiotensin II yang akan meningkatkan sekresi ADH maka akan

timbul rasa haus (Ward, Clarke, & Linden, 2009; Slone, 2014).

Osmoreseptor terus memantau tekanan osmotik serum dan saat

osmolalitas mengalami peningkatan maka hipotalamus distimulus.

Peningkatan osmolalitas plasma terjadi saat keadaan tertentu yang memicu

untuk peningkatan asupan cairan per oral. Hipotalamus juga dapat distimulus

ketika seseorang kehilangan cairan berlebihan dan hipovolemia saat

mengalami muntah dan perdarahan yang berlebihan (Potter & Perry, 2010).

Rasa haus normalnya segera hilang dengan cara minum air, bahkan

sebelum cairan itu diserap saluran cerna. Orang yang mempunyai fistula

esophagus (suatu keadaan dimana air keluar dari esophagus dan tidak pernah
59

tepat masuk saluran cerna karena bocor) juga mengalami pengurangan rasa

haus setelah minum namun pengurangan rasa haus ini hanya berlangsung

selama 15 menit atau lebih. Bila air benar-benar masuk lambung, peregangan

lambung dan bagian lain saluran cerna bagian atas akan mengurangi rasa haus

lebih lama untuk sementara waktu sekitar 5-30 menit. Mekanisme ini terjadi

untuk melindungi individu agar tidak meminum air terlalu banyak, karena

cairan bisa diserap tubuh dan didistribusikan ke seluruh tubuh sekitar 30

menit hingga 1 jam (Guyton, 2012; Kozier, Glenora, Berman, & Snyder,

2011).

2.4 Inovasi Terapi Manajemen Haus: Berkumur Air Matang dan Mengulum Es

Batu

Rasa haus merupakan salah satu stimulus paling kuat terhadap keinginan

untuk minum sebagai akibat sensasi kekeringan di mulut dan tenggorokan

(Kara, 2013). Rasa haus normalnya segera hilang dengan cara minum air namun

pada pasien PGK harus membatasi asupan cairan agar tidak terjadi over hidrasi

yang akan mengakibatkan komplikasi serta menurunkan kualitas hidup pasien

(Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011; Suyatni, Armiyati, & Mustofa,

2016).

Minum/konsumsi air terlalu banyak pada pasien PGK dapat menyebabkan

over hidrasi karena pasien PGK mengalami penurunan fungsi ginjal, bila hal ini

tidak dicegah maka akan terjadi komplikasi serta menurunkan kualitas hidup

pasien PGK. Pasien PGK harus membatasi asupan cairannya sehingga


60

memerlukan manajemen rasa haus yang dapat mengurangi sensasi rasa haus dan

tidak meminum air telalu banyak (Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016; Kozier,

Glenora, Berman, & Snyder, 2011). Strategi untuk membatasi asupan cairan

yang masuk dalam tubuh untuk mencapai keseimbangan cairan tubuh dapat

dilihat di tabel 2.2.

Tabel 2.2 Strategi Pembatasan Asupan Cairan


Hal – hal yang bisa dilakukan Strategi yang bisa dilakukan
Penurunan asupan cairan Isap es batu dan es loli, minum
menggunakan gelas kecil, asup tablet
bersama makanan (kecuali disarakan
sebaliknya)
Peningkatan kesadaran (pengetahuan) Edukasi tetang kandungan cairan makanan
misalnya jeli, yogurt, sup, es krim, dll.
Memantau asupan cairan yang dibutuhkan
sepanjang hari menggunakan teko atau
botol yang awalnya berisi volume harian
yang diinginkan.
Pencegahan rasa haus Mengurangi asupan garam
Teknik Gunakan buah (dalam pembatasan kalium
jika mungkin). Makan permen bebas gula
atau permen karet.
Perawatan mulut teratur Gunakan pelembab bibir, obat kumur, dll
Sumber : Webster-Gandy, Madden, & Holdsworth (2014)

Beberapa cara manajemen rasa haus yaitu dengan mengulum es batu,

berkumur, mengunyah permen karet rendah gula dan menggunakan frozen

grapes atau buah yang dibekukan (Solomon, 2006 dalam Suyatni, Armiyati, &

Mustofa, 2016).
61

2.4.1 Menghisap es batu

Mengulum es batu merupakan salah satu dari banyak metode

manajemen rasa haus pada pasien PGK. Penelitian yang dilakukan Arfany,

Armiyati & Kusuma (2015), menyebutkan bahwa dengan mengulum es

batu selama 5 menit akan dapat menurunkan rasa haus pasien PGK. Dia

memberikan alasan bahwa dengan mengulum es batu, lama kelamaan es

batu akan mencair. Es batu yang telah mencair tersebut menurutnya akan

memberikan efek dingin dan menyegarkan sehingga keluhan haus pasien

berkurang.

Hasil penelitian mengenai efektivitas mengulum es batu pada pasien

hemodialisa didapatkan hasil bahwa mengulum es batu dapat mengurangi

rasa haus pada pasien penyakit ginjal kronik karena kandungan air di

dalam es batu memberikan rasa dingin di mulut dan air yang mencair di

dalam mulut juga dapat mengurangi rasa haus yang timbul. Potongan

kecil es batu yang terbuat dari air 10 ml dikulum sampai mencair,

responden mengatakan merasakan sensasi dingin di dalam mulut dan air

yang mencair menyebabkan rasa haus responden berkurang (Suyatni,

Armiyati, & Mustofa, 2016; Arfany, Armiyati, & Kusuma, 2014).

Conchon & Fonseca (2014), dalam penelitiannya menyebutkan, 10

ml es batu yang dikulum oleh pasien postoperasi efektif mengurangi rasa

haus pasien pada periode pemulihan di Recovery Room (RR). Dia juga

menambahkan bahwa es lebih efektif daripada air dalam menurunkan rasa

haus. Jumlah es yang dikulum pada manajemen rasa haus tetap harus
62

dipertimbangkan sebagai jumlah cairan yang dikonsumsi (Fransisca,

2013).

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ada pengaruh

pemberian fruit frozen terhadap penurunan keluhan rasa haus dan mulut

kering pasien CHF yang menjalani restriksi cairan di RS Dr. Kariadi

Semarang (Sujudi, Zuhri, Kusumantoro, 2014). Riset di SMC Telogorejo

Semarang menunjukkan ada perbedaan efektifitas mengunyah permen

karet rendah gula dan mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus

dimana mengulum es batu lebih efektif dibandingkan dengan mengunyah

permen karet rendah gula dengan p value 0,000 (Arfany, Armiyati dan

Kusumo, 2015).

2.4.2 Berkumur Air Matang

Berkumur adalah suatu proses menggerak-gerakkan air dalam mulut

secara berulang dengan kuat dan menjangkau bagian lingual, bukal, dan

labial permukaan gigi. Obat kumur memiliki efek terapeutik yang

digunakan untuk menghilangkan atau merusak bakteri, menghilangkan

bau busuk, mengurangi infeksi atau mencegah terjadinya karies. Bahan

antibakteri yang terdapat dalam obat kumur berfungsi menghambat

pertumbuhan bakteri plak gigi, dikumur dalam mulut 30 detik lalu

dikeluarkan (Pratiwi dalam Fauziah, 2019).

Hasil penelitian tentang manfaat berkumur ini menyatakan bahwa

berkumur menggunakan obat kumur rasa mint dapat mengurangi rasa haus

pada responden karena kandungan dari mint yang mengakibatkan sensasi


63

segar masih ada ketika obat kumur sudah tidak berada dalam mulut. Selain

itu pada saat berkumur otot-otot pengunyah (musculus masseter) bekerja

sehingga dapat merangsang kelenjar parotis yaitu kelenjar yang

memproduksi saliva, konsekuensinya terjadi peningkatkan produksi saliva

sehingga rasa haus berkurang (Ardiyanti, Armiyati, & Arif, 2015; Suyatni,

Armiyati, & Mustofa, 2016; Syaifuddin, 2014; Slone, 2014).

Hasil penelitian lain tentang Efektivitas mengulum es batu dan

berkumur air matang terhadap penurunan rasa haus pasien PGK, di

dapatkan hasil bahwa mengulum es batu maupun berkumur air matang

sama efektifnya terhadap penurunan rasa haus pasien PGK (Makrumah,

2017).

Lama waktu pasien dapat menahan rasa haus setelah menggunakan

berbagai metode rasa haus dapat menjadi alternatif pilihan intervensi yang

sesuai untuk pasien. Penelitian ini meneliti tentang perbedaan efektifitas

lama menahan rasa haus pada “manajemen rasa haus” mengulum es batu,

berkumur air matang dan berkumur dengan obat kumur. Penelitian ini

dapat menjadi rekomendasi bagi perawat dan pasien untuk memilih

manajemen rasa haus yang tepat (Wardana, 2018).

Metode berkumur dengan air matang pada pasien hemodialisa

dengan CKD ini dilakukan setelah calon responden yang terpilih setuju.

Penerapan selanjutnya diawali dengan menjelaskan prosedur penerapan.

Instrumen penerapan menggunakan instrument pengukuran Visual Analog

Scale (VAS) untuk mengukur rasa haus, skala pengukuran berada dalam
64

rentang 0-10. Nilai 0 digunakan untuk kategori “tidak haus”, dan nilai 10

digunakan untuk kategori “sangat haus sekali”. Pengukuran lama waktu

menahan rasa haus menggunakan stopwatch. Lama menahan rasa haus di

ukur dengan menghitung lama waktu pasien menahan rasa haus setelah

diberikan intervensi sampai merasa haus kembali.

Perlakukan pada responden dilakukan dengan memberikan air

matang 25 ml untuk berkumur selama 30 detik yang di ukur dengan

stopwatch setelah itu air bekas kumuran dibuang pada gelas yang sudah di

siapkan untuk memastikan volume air yang keluar tidak kurang dari 25 ml.

Lama waktu menahan rasa haus di ukur dengan menanyakan lama pasien

menahan rasa haus dari waktu awal setelah selesai perlakuan sampai mulai

merasa haus lagi.

Penelitian mengenai rasa haus sudah banyak dilakukan. Penelitian

pendahuluan telah menggunakan bermacam-macam instrumen untuk mengukur

rasa haus. Beberapa instrument untuk mengukur rasa haus adalah sebagai

berikut:

a. Trirst Distres Scale (TDS)

Instrument trirst distress scale (TDS) sudah dilakukan uji validitas dan

reliabilitas. Uji reliabilitas didapatkan nilai Cronbach’s Alpha Coefficient =

0,78 (Kara, 2013).


65

Tabel 2.3 Trirst Distres Scale

No Item
1 Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidak nyaman
2 Rasa haus saya membuat saya minum sangat banyak
3 Saya sangat tidak nyaman ketika saya haus
4 Mulut saya terasa sangat kering ketika saya haus
5 Saliva saya sangat sedikit ketika saya haus
6 Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan
Sumber : Kara (2013)

b. Visual Analogy Scale (VAS)

Instrument visual analogy scale (VAS) (garis 0-10 cm pada ujung kiri

tidak haus dan ujung kanan haus berat) telah digunakan oleh beberapa peneliti

sebelumnya. Penelitian Igbokwe & Obika (2008) sudah melakukan uji

reliabilitas didapatkan hasil nilai Cronbach’s alpha coefficient = 0,96.

Kategori skor VAS meliputi 0 tidak haus, 1-3 haus ringan, 4-6 haus sedang,

7-10 haus berat (Kara, 2013; Stafford, Deborah, O' Dea, & Norman, 2012).

Visual Analog Scale (VAS)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Haus Haus Berat
Gambar 2.4 Visual Analog Scale of Thirsty
Sumber : Stafford, Deborah, O' Dea, & Norman (2012)
66

c. Dialysis Thirst Inventory (DTI)

Instrumen ini dapat dipakai untuk mengukur rasa haus pasien sebelum

dan setelah menjalani terapi hemodialisis. DTI adalah sebuah kuesioner yang

sudah divalidasi dimana di dalamnya terdiri dari 5 item, yang mana setiap

item mempunyai 5 poin yang berasal dari skala Likert (tidak pernah = 1

sampai sangat sering = 5). Respon dari kelima item kemudian dijumlahkan,

10 hampir tidak pernah haus, 15 kadang-kadang, 20 hampir sering haus dan

25 sangat sering haus. Masing-masing dari item pertanyaan diberikan skala

dengan tipe 1 tidak sampai 5 sangat sering, untuk jawaban tidak pernah dan

hampir tidak pernah dikategorikan tidak ada haus, kadang-kadang dan sangat

sering dikategorikan ada haus (Said & Mohammed dalam Wardana, 2018).

Tabel 2.4 Dialysis Thirst Inventory


No Item Pertanyaan
1 Haus adalah masalah untuk saya
2 Saya merasa haus sepanjang hari
3 Saya merasa haus sepanjang malam
4 Kehidupan sosial saya dipengaruhi oleh haus saya
5 Saya haus sebelum sesi dialisis
6 Saya haus selama sesi dialisis
7 Saya haus setelah sesi dialisis
Sumber : Said & Mohammed (2013)

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan CKD

2.5.1 Pengkajian

Pada pengkajian yang dilakukan pada pasien CKD diperoleh secara

autoanamnesis dan alloanamnesis. Dimana identitas pasien meliputi nama

(anonim), usia, jenis kelamin, agama, alamat, pekerjaan dan diagnosa medis.
67

a. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Keluhan yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output

sedikit sampai tidak dapat BAB, gelisah sampai penurunan kesadaran,

anoreksia, dypsnea, nausea, vomiting, mulut terasa kering (xerostomia),

nafas berbau (ureum) dan gatal pada kulit. Pada kasus CKD dapat

terjadi pada segala usia dan jenis kelamin (tidak ada perbandingan

antara pria dan wanita).

2. Riwayat Penyakit

Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi penyakit

terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan

keluhan yang pasien rasakan saat ini, seperti berapa lama keluhan

penurunan jumlah urine dan apakah penurunan jumlah urine tersebut

ada hubungannya dengan predisposisi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji apakah ada riwayat penyakit infeksi sistem perkemihan,

diabetes mellitus, hipertensi dan batu ginjal. Kemudian tentang riwayat

mengkonsumsi obat-obatan dan riwayat alergi.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Kaji apakah ada riwayat penyakit ginjal dari keluarga

b. Primary Survey

Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik, diantaranya:


68

1. Airway

Observasi apakah ada sekret, benda asing/perdarahan pada rongga

mulut dan lidah jatuh kebelakang.

2. Breathing

Observasi apakah pasien terlihat sesak nafas dan cepat kelelahan, nafas

berbau amoniak.

3. Circulation

Dilihat tekanan darah pasien apakah meningkat atau tidak, nadi yang

teraba kuat, adanya peningkatan JVP, disritmia dan terdapat edema

pada ekstremitas atau bahkan edema nasarka, CRT ≥ 3 detik, akral

pasien dingin dan adanya perdarahan terutama pada lambung.

c. Secondary Survey

1. Brain

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien CKD seperti reaksi pupil,

pelo, kesemutan, tremor, kram otot/kejang, gangguan status mental,

penurunan kesadaran dan nyeri.

2. Breathing

Pada pasien CKD dilihat apakah pasien takipnea, dispnea, peningkatan

frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul), batuk produktif dan cuping

hidung.

3. Blood

Edema jaringan umum dan pitting pada ekstremitas, disritmia jantung,


69

nyeri dada, hematoma, kecenderungan perdarahan dan hipotensi

ortostatik menunjukkan hipovolemia.

4. Bladder

Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria dan perubahan warna urine.

5. Bowel

Pola/konsistensi/warna, abdomen kembung, diare/konstipasi,

penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati,

mual/muntah.

6. Bone

Pruritus, ada/berulangnya infeksi, nyeri otot/tulang, kaku sendi,

bengkak, patah tulang.

d. Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan Menurut Gordon

1. Pola persepsi kesehatan-manajemen kesehatan

Personal hygiene kurang, konsumsi toksik, konsumsi makanan tinggi

kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen,

kontrol tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada penderita

tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.

2. Pola nutrisi dan metabolik

Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,

peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan

(malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada 28 mulut

(pernafasan amoniak), penggunanan diuretik, demam karena sepsis dan


70

dehidrasi.

3. Pola eliminasi

Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),

abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.

4. Pola aktivitas dan latihan

Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatasan gerak sendi.

5. Pola istirahat dan tidur

Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)

6. Pola kognitif perseptual

Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,

perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri

kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-hati/ distraksi,

gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas

pada telapak kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati

perifer), gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.

7. Persepsi diri dan konsep diri

Perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan,

menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan

kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tidak mampu

bekerja, mempertahankan fungsi peran.

8. Pola reproduksi dan seksual

Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.


71

e. Pengkajian Fisik

1. Keluhan umum:

Keluhan umum yang sering pasien rasakan selama menjalankan

hemodialisis seperti lemas, nyeri pinggang, mual muntah, kram otot

serta haus.

2. Tingkat kesadaran

Metode GCS adalah metode untuk menilai tingkat kesadaran yang

sudah ada sejak tahun 1974. Metode ini diperkenalkan oleh Graham

Teasdale dan Bryan Jennett. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya

bahwa cara mengukur tingkat kesadaran adalah dengan cara memeriksa

tiga aspek yaitu mata, respons verbal, dan gerakan tubuh. Tingkat

kesadaran pada pasien yang menjalani terapi dialysis umumnya pada

tingkat kesadaran yang baik (composmentis) dengan nilai GCS di atas

angka 13. Namun, keadaan lainnya yang dapat dipertimbangkan untuk

dilakukannya HD darurat jika pasien mengalami penurunan kesadaran

karena uremia, elektrolit Kalium serum > 6 mEq/L, Ureum darah >

200mg/dL, pH darah ≤ 7,1, overload cairan dan anuria berkepanjangan.

3. Tanda vital

Tanda-tanda vital pasien yang tidak stabil seperti tekanan darah

meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia, pernapasan

kusmaul, tidak teratur

4. Head to toe

Pemeriksaan yang didapatkan pada pasien yang menderita CKD seperti


72

berikut:

a) Kepala

1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,

edema periorbital

2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar

3) Hidung: pernapasan cuping hidung

4) Mulut: ulserasi dan perdarahan, nafas berbau amoniak, mual,

muntah serta cegukan, peradangan gusi

b) Leher: pembesaran vena leher

c) Dada: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan

kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner,

friction rub pericardial

d) Abdomen: nyeri area pinggang, asites

e) Genital: atropi testikuler, amenore

f) Ekstremitas: capirally refill time ≥ 3 detik, kuku rapuh dan kusam

serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,

foot drop, kekuatan otot

g) Kulit: kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat atau

hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar

(purpura), edema.

f. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium
73

Tujuan dilakukannya pemeriksaan laboratorium adalah:

a) Untuk menetapkan adanya CKD

b) Menentukan derajat CKD

c) Menetapkan gangguan sistem

d) Membantu menetapkan etiologi

1) Laboratorium darah: BUN, kreatinin, elektrolit, hematologi,

protein, antibody.

2) Laboratorium Urine: warna, pH, volume, glukosa, protein, keton

Dalam menetapkan gagal ginjal yang paling lazim diuji adalah

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).

2. Pemeriksaan EKG

Melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis

(misalnya voltase rendah), aritmia dan gangguan elektrolit

(hiperkalemia, hipokalsemia).

3. Ultrasonografi (USG)

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan

parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,

kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari

adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau

massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah lanjut.

4. Foto polos abdomen

Sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk fungsi

ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal, apakah ada batu atau obstruksi
74

lain.

5. Pielografi intravena (PIV)

Pada CKD yang berlanjut tidak bermanfaat lagi oleh karena ginjal tidak

dapat mengeluarkan kontras dan pada CKD ringan memiliki resiko

penurunan faal ginjal lebih berat, terutama pada usia lanjut, diabetes

mellitus dan nefropati asam urat.

6. Pemeriksaan pielografi retrogad

Bila dicurigai adanya obstruksi yang reversibel

7. Pemeriksaan foto dada

Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid

overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial. Tidak

jarang ditemukan juga infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang

menurun.

8. Pemeriksaan radiologi tulang

Mencari osteodistrofi (terutama falang/jari) dan klasifikasi metastatik.

g. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit CKD menurut Corwin (2009)

adalah:

1. Pada penurunan cadangan ginjal dan insufisiensi ginjal, tujuan

penatalaksanaan adalah memperlambat kerusakan nefron lebih lanjut,

terutama dengan restriksi protein dan obat-obat antihipertensi.

2. Pada gagal ginjal, terapi ditujukan untuk mengoreksi


75

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

3. Pada penyakit ginjal stadium akhir, terapi berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.

4. Pada semua stadium, pencegahan infeksi perlu dilakukan.

2.5.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon

individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau

potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat

secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi

secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan

merubah status kesehatan klien (Carpenito dalam Wardana, 2018).

Diagnosa keperawatan pada pasien CKD menurut Moorhead &

Bulechek, 2013:

a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penyakit

(hipertensi/diabetes mellitus)

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan natrium

e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan faktor biologis

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

kebutuhan oksigen
76

g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan volume cairan.

2.5.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.5 Intervensi Keperawatan (Sumber: Nurarif & Kusuma, 2015)

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Monitor Pernafasan
pola nafas keperawatan selama 1x4 1. Monitor kecepatan, irama,
berhubungan jam diharapakan pola nafas kedalaman dan kesulitan
dengan dapat teratasi dengan bernafas
hiperventilasi indikator: 2. Catat pergerakkan dada, catat
Status Pernafasan Frekuensi ketidaksimetrisan,
pernafasan membaik dengan penggunaan otot bantu nafas
skala target outcome dan retraksi pada otot
dipertahankan pada 2 supradaviculas dan intercosta
(Deviasi yang cukup berat 3. Monitor suara nafas tambahan
dari kisaran normal) seperti ngorok dan mengi
ditingkatkan ke 4 (Deviasi 4. Monitor pola nafas
ringan dari kisaran normal) 5. Monitor saturasi oksigen pada
pasien yang tersedasi
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
7. Terapi Oksigen
8. Berikan oksigen tambahan
seperti yang diperintahkan
9. Monitor aliran oksigen
10. Monitor efektifitas terapi
oksigen.

2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen Sensasi Perifer


perfusi jaringan keperawatan selama 1x4 2. Monitor sensasi tumpul atau
perifer jam diharapakan perfusi tajam dan panas dan dingin (
berhubungan jaringan perifer dapat yang dirasakan pasien)
dengan diabetes teratasi dengan indikator: 3. Monitor adanya parasthesia
77

mellitus Perfusi Jaringan: Perifer 4. dengan tepat


Pengisian kapiler jari, suhu 5. Monitor adanya penekanan
kulit ujung kaki dan tangan dari gelang, alat-alat medis,
baik dengan skala target sepatu dan baju
outcome dipertahankan 6. 2.4 Lindungi tubuh terhadap
pada 3 (deviasi sedang dari perubahan suhu yang ekstrim
kisaran normal) 2.5Instruksikan pasien untuk
ditingkatkan ke 4 menggunakan waktu sebagai
penanda

3 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Pengaturan Hemodinamik


jantung keperawatan selama 1x4 1. Lakukan pengkajian
berhubungan jam diharapakan curah komprehensif terhadap status
dengan perubahan jantung dapat teratasi hemodinamik dengan tepat
afterload dengan indikator: 2. Monitor dan dokumentasi
Fungsi Ginjal tekanan nadi proporsional
Hipertensi dengan skala 3. Identifikasi adanya tanda dan
target outcome gejala peringatan dini sistem
dipertahankan pada 2 hemodinamik yang
(cukup berat) ditingkatkan dikompromikan
ke 4 (ringan) 4. Monitor adanya tanda dan
gejala masalah status volume
5. Tentukan status perfusi

4 Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan Manajemen Elektrolit/cairan


cairan keperawatan selama 1x4 1. Pantau kadar serum abnormal
berhubungan jam diharapakan volume 2. Pantau adanya tanda dan
dengan kelebihan cairan dapat teratasi dengan gejala overhidrasi yang
asupan natrium indikator: memburuk atau dehidrasi
Eliminasi Urine Intake 3. Timbang berat badan harian
cairan dengan skala target dan pantau gejala
outcome dipertahankan pada 4. Perlu adanya tanda dan gejala
2 (banyak terganggu) retensi cairan
ditingkatkan ke 4 (sedikit 5. Monitor tanda-tanda vital,
terganggu) yang sesuai
6. Monitor manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit.
78

5 Ketidakseimbanga Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi


n nutrisi kurang keperawatan selama 1x4 1. Tentukan status gizi pasien
dari kebutuhan jam diharapakan nutrisi dan kemampuan pasien untuk
tubuh berhubungan kurang dari kebutuhan memenuhi kebutuhan gizi
dengan faktor tubuh dapat teratasi dengan 2. Bantu pasien dalam
biologis indikator: menentukan pedoman
Pengetahuan Diet Sehat piramida makanan yang
Intake nutrisi yang sesuai paling cocok dalam
dengan kebutuhan individu memenuhi kebutuhan nutrisi
dengan skala target outcome dan preferensi
dipertahankan pada 2 3. Atur diet yang diperlukan
(pengetahuan terbatas) 4. Ciptakan lingkungan yang
ditingkatkan ke 4 optimal pada saat
(pengetahuan banyak) mengkonsumsi makan
5. Anjurkan pasien mengenai
modifikasi diet yang
diperlukan

6 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung: Rehabilitasi


aktivitas keperawatan selama 1x4 1. Rutin mengecek pasien baik
berhubungan jam diharapakan intoleransi secara fisik dan psikologis
dengan aktivitas dapat teratasi 2. Instruksikan pasien tentang
ketidakseimb dengan indikator: pentingnya untuk segera
angan antara suplai Keefektifan Pompa Jantung melaporkan bila merasakan
kebutuhan oksigen Keseimbangan intake dan nyeri dada
output dalam 24 jam dengan 3. Monitor EKG
skala target outcome 4. Monitor sesak napas,
dipertahankan pada 3 kelelahan, takipnea
(deviasi sedang dari kisaran 5. Lakukan terapi relaksasi
normal) ditingkatkan ke 4
(deviasi ringan dari kisaran
normal) pada 3 (deviasi
sedang dari kisaran normal)
ditingkatkan ke 4 (deviasi
ringan dari kisaran normal)
79

7 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Elektrolit/cairan


integritas kulit keperawatan selama 1x4 1. Pantau kadar serum abnormal
berhubungan jam diharapakan integritas 2. Pantau adanya tanda dan
dengan gangguan kulit dapat teratasi dengan gejala overhidrasi yang
volume cairan indikator: memburuk atau dehidrasi
Keseimbangan Cairan 3. Timbang berat badan harian
Serum Elektrolit dengan dan
skala
80
2.6 Kerangka Teori

CKD
Over
dengan Rasa haus
cairan
HD

Manajemen rasa haus : Manajemen rasa haus :


Berkumur air matang mengulum es batu

Usia Jenis kelamin Ukuran tubuh Suhu lingkungan Gaya hidup

Skema 2.2 Kerangka Teori


(Kara, 2013; Potter & Perry, 2010; Kozier, Glenora, Berman, & Snyder, 2011; Guyton,
2012; Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016; Ardiyanti, Armiyati, & Arif, 2015; Arfany,
Armiyati, & Kusuma, 2014; Webster-Gandy, Madden, & Holdsworth, 2014)

2.7 Kerangka Konsep


Variabel dependen

Lama waktu menahan rasa


Manajemen rasa haus :
haus setelah berkumur
Berkumur dengan obat kumur
dengan obat kumur

Usia Jenis kelamin Ukuran tubuh Suhu lingkungan Gaya hidup

Variabel confounding
Skema 2.3 Kerangka Konsep
81

BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hasil

pengamatan tentang data umum pasien dan tentang gambaran lokasi umum praktik

keperawatan yaitu ruang Hemodialisa RSUD Jayapura, Papua. Pengambilan data

dilakukan pada tanggal 27 dan 30 Januari 2020 dengan jumlah sampel sebanyak 1

pasien. Adapun hasil tinjauan dari kasus kelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut:

3.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Penatalaksanaan asuhan keperawatan ini dilakukan di RSUD Jayapura

yang terletak di Jalan Kesehatan No.1, Kelurahan Bhayangkara, Distrik Jayapura

Utara, Kota Jayapura - Papua. RSUD Jayapura merupakan salah satu dari 3

rumah Sakit rujukan milik Pemerintah Provinsi Papua dan merupakan Rumah

Sakit rujukan tertinggi di Provinsi Papua yang berkedudukan di kota Jayapura.

Diresmikan sebagai Rumah Sakit dengan nama RSUD Dok II pada tanggal 3

Juni 1959, dibangun tahun 1958 pada masa perang Pasifik. Fasilitas yang

tersedia di RSUD Jayapura ini antara lain Instalasi rawat jalan, instalasi farmasi,

ruang rawat inap, fisioterapi, dan IGD 24 Jam. Untuk fasilitas rawat jalan terdiri

dari poliklinik, medical check up, dan resume medis. Fasilitas pemeriksaan

penunjang terdiri dari laboratorium patologi klinik, patologi anatomi, radiologi,

hemodialisa, CT-scan, OK sentral, Laundry, Farmasi, gizi. Untuk unit rawat inap

terdapat beberapa ruangan yaitu Ruang Bedah Pria, Ruang Bedah Wanita, Ruang

Orthopedia, Ruang Penyakit Dalam Pria, Ruang Penyakit Dalam Wanita, Ruang
82

Paru, Ruang Neurologi, Ruang Kanak-Kanak, Ruang Gynekologi, ICU, ICCU,

HCU, ESWL Center, dan sedang dibangun Ruang Perawatan Penyakit Jantung.

Penerapan asuhan keperawatan ini, dilakuan diruang hemodialisa. Kasus

yang ditangani di ruang hemodialisa ini meliputi kasus gagal ginjal kronik,

diabetes mellitus, CHF dan sirosis hepatis. Adapun batasan-batasan ruang

hemodialisa yaitu sebagai berikut: sebelah selatan terdapat Ruang CT Scan,

sebelah barat terdapat ruang Radiologi, sebelah utara terdapat Instalasi Gawat

Darurat dan sebelah Timur terdapat halaman parker pengunjung Rumah Sakit

dan Perumahan Dokter RSUD Jayapura. Bangunan pada ruang hemodialisa

terdiri 1 ruang kepala ruangan, 1 ruangan perawat, 1 kamar mandi perawat, 1

ruang mahasiswa, 1 dapur, 2 ruang tindakan, 1 gudang, 2 kamar tidur dengan

kapasitas 13 tempat tidur dengan 1 kamar mandi disetiap kamar tidur, 1 ruang

isolasi dengan kapasitas 1 tempat tidur.

3.2 Pengkajian

Nama Mahasiswa : Yudi Hadi Prayitno, S.Kep

NIM : 2019086026040

Ruang : Ruang Hemodialisa, RSUD Jayapura

3.2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. JK

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan


83

Suku bangsa : Kei

Pendidikan terakhir : S1 (Sarjana)

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Perumahan Doyo Baru, Distrik Waibu

Kabupaten Jayapura

No. Telepon / HP : 082144181989

Tanggal Pengkajian : 27 Januari 2020

Sumber informasi : Pasien dan keluarga

Diagnosis Medis : Nefrolitiasis, CKD

Definisi :

Gagal ginjal kronik adalah kondisi

ginjal tidak dapat membuang hasil metabolik

yang menumpuk dalam darah, yang

menyebabkan perubahan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam basa (LeMone, P.,

Burke, K.M,. & Bauldoff dalam Warsono,

2020).

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu

sindrom klinis yang disebabkan penurunan

fungsi ginjal yang bersifat menahun,

berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal

ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular

(LFG) kurang dari 50ml/menit. Gagal ginjal


84

kronik sesuai dengan tahapannya dapat

ringan, sedang dan berat. Gagal ginjal tahap

akhir adalah tingkat gagal ginjal yang dapat

mengakibatkan kematian kecuali jika

dilakukan terapi pengganti (Wardana, 2018).

3.2.2 Data Fokus

a Keluhan Utama

Klien mengatakan seringkali merasa haus

b Riwayat Penyakit Sekarang

Klien mengatakan kedua kaki bengkak, terutama saat klien tidak banyak

beraktivitas dan duduk dengan posisi menggantung terlalu lama. Klien

mengatakan sering mengkonsumsi nasi, ayam goreng, daging dan sayuran

hijau berkuah. Klien seringkali merasa haus dan biasanya minum air putih

3-4 gelas perhari (+/- 600 cc) dan biasa minum teh manis saat pagi dan sore

hari (2 gelas atau +/- 200 cc). Klien mengatakan bahwa berat badan pada

hari Kamis 23 Januari 2020 adalah 82 kg (berat badan setelah menjalani

hemodialisa sebelumnya). Sedangkan berat badan klien pada hari Senin,

tanggal 27 Januari 2020 (saat pra hemodialisa) adalah 85 kg atau

mengalami kenaikan seberat 3 kg.

c Riwayat Penyakit Dahulu

Klien mengatakan telah menjalani hemodialisa sejak bulan September

tahun 2017 atau sekitar 2,5 tahun. Hemodialisa yang rutin dilakukan klien

adalah 2x selama satu minggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Awal
85

klien menjalani program hemodialisa adalah karena klien mengalami

penyakit batu ginjal akibat kebiasaan lama klien yang sering meminum

obat sembarangan saat mengalami suatu keluhan kesehatan. Sebelumnya

klien pernah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo untuk

Tindakan penghancuran batu ginjal dengan bantuan obat. Awalnya

memang batu ginjal keluar semua melalui urine selama 1 bulan. Namun

keluhan semakin diperparah karena akibat batu ginjal yang ada dalam

saluran kemih dan ginjal klien, telah merusak fungsi ginjal klien sehingga

klien diharuskan menjalani program hemodialisa. Untuk mengurangi nyeri

saat berkemih, klien masih mengkonsumsi syrup Batugin 3 x 10 ml peroral

setiap harinya. Hasil pengkajian didapatkan informasi bahwa di dalam

keluarga klien tidak ada yang memiliki Riwayat batu ginjal, baik dari

orang tua maupun keturunan klien.


86

3.2.3 Genogram

Generasi 1
Tn. DK Ny. SS

Generasi 2
Ny. AK Ny. CK Tn. JSK

Tn. RK Ny. M Tn. S Ny.G

Generasi 3
Tn. AK Ny. PK Tn. TK Ny. CK Ny. T Tn.S

Tn. JK Ny. E

Generasi 4

An. AK
Tn.YK Nn.MK An. AK

Keterangan :

: Laki-laki (meninggal) : Status perkawinan

: Perempuan (meninggal) : Garis keturunan

: Laki-laki : Tinggal serumah

: Perempuan

: Pasien, Laki-laki usia 49 Tahun dengan CKD


87

3.2.4 Data khusus

a. Primary survey

1) Airway

Saat pengkajian tidak ada sumbatan di jalan napas klien, klien tidak

ada batuk dan tidak ada pengumpulan sekret

2) Breathing

Saat pengkajian RR pasien 26 x/menit

3) Circulation

Klien sementara hemodialisa selama 4 jam dengan target terbuang

2000 ml/ 2 liter

4) Fluid

Klien tidak terpasang infus

b. Secondary survey

1) Brain

Saat pengkajian kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15 (E4 M6 V5)

reaksi pupil mata isokor (kanan/kiri)

2) Blood

Saat pengkajian didapatkan TD: 203/110 mmHg, Nadi: 88x/mnt, nadi

cepat dangkal dan reguler, akral teraba hangat, CRT <2 detik saat

hemodialisa terapi injeksi heparin 0,5 cc dan diinjeksi melalui mesin

dan tampak edema di kaki kiri / kanan.


88

3) Bladder

Klien mengatakan minum air putih dibatasi, dalam 24 jam hanya

menghabiskan ± 600 cc/ hari. Klien tidak terpasang kateter.

4) Bowel

Saat pengkajian klien tidak ada distensi abdomen, bising usus 7-12

x/menit.

5) Bone

Pada saat pengkajian didapatkan kekuatan otot klien

5 5

5 5

Kaki klien tampak edema khususnya pada bagian punggung kaki kiri

maupun kanan, CRT < 2 detik. Klien mengatakan dapat berjalan secara

mandiri meskipun kadang terasa sedikit lemas. Klien dapat bisa

beraktivitas secara mandiri. Aktivitas mandiri klien lebih banyak

dilakukan secara mandiri.

3.2.5 Pengkajian pola fungsi kesehatan menurut Gordon

a. Pola persepsi kesehatan-manajemen kesehatan

Klien mengatakan bahwa ketika sehat klien mampu melakukan

aktivitas seperti biasanya, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga :

bekerja, mengepel, menyapu dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Ketika klien sakit, sebagian aktivitas pasien yang dirasa cukup berat bagi

klien dibantu oleh keluarga, namun ADL pasien masih dapat dilakukan
89

secara mandiri.

Klien mengatakan mudah lelah, badan terasa lemas, tidak terlalu

bersemangat dalam beraktivitas.

b. Pola nutrisi – metabolik

Sebelum sakit Selama sakit


- Makan 3x sehari (1 porsi - Makan 3x sehari (1 porsi
dihabiskan) kadang-kadang tidak
- Jenis makanan : nasi, sayur, lauk dihabiskan)
pauk - Jenis makanan : nasi, sayur,
- Nafsu makan baik lauk-pauk
- Nafsu makan berkurang
- Minum kurang lebih 5-7 - Klien mengatakan minum
gelas/hari tidak melebihi batas yang
ditentukan (4-5 gelas/hari) 500 –
600 ml

c. Pola eliminasi

Sebelum sakit Selama sakit


- BAB 1x sehari dan warna - BAB 2 hari sekali dan warna
kecoklatan kecokelatan
- BAK lancar, kurang lebih 4 - 5x - BAK kurang lebih 4-5x sehari
sehari dan warna kuning (kurang dari 500 cc) warna
kuning pekat
- Tidak menggunakan kateter
90

d. Pola aktivitas dan latihan

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4


- Makan / minum √
- Mandi √
- Toileting √
- Berpakaian √
- Mobilisasi ditempat tidur √
- Berpindah √
- Ambulasi ROM √

Keterangan :

0 : mandiri

1 : dibantu alat

2 : dibantu orang lain

3 : dibantu orang lain dan alat

4 : tergantung total

e. Pola istirahat tidur

Sebelum sakit Selama sakit

- Istirahat siang 2 - 3 jam - Istirahat siang 2 - 3 jam

- Istirahat malam 7 - 8 jam - Istirahat malam 5 - 6 jam

f. Pola persepsi diri – konsep diri

1) Sebelum sakit : klien mampu berkomunikasi dengan baik dan suara

jelas dan klien tidak mengalami gangguan pengecapan, pendengaran,

perubahan penciuman dan penglihatan.


91

2) Setelah sakit : klien mengatakan tidak mengalami gangguan

pancaindra semua masih berfungsi dengan baik, orientasi waktu dan

tempat baik.

g. Pola persepsi diri-konsep diri

1) Sebelum sakit

Citra tubuh : tidak mengalami cacat fisik

Identitas diri : klien seorang laki-laki yang sudah menikah dan

mempunyai 3 orang anak

Ideal diri : klien tidak mengalami masalah dengan anggota

tubuhnya

Harga diri : klien tidak mengalami gangguan rendah diri

2) Saat sakit

Citra tubuh : klien merasa rendah diri dengan sakit yang

dideritanya sekarang

Identitas diri : klien seorang laki-laki yang sudah menikah dan

mempunyai 3 orang anak

Ideal diri : klien mengalami masalah dengan anggota

tubuhnya yaitu kaki. Walaupun saat berjalan

klien dapat melakukannya secara mandiri, namun

pada beberapa aktivitas berat klien harus dibantu

oleh keluarga.
92

Harga diri : klien ingin segera sembuh agar bisa beraktivitas

seperti sediakala tanpa harus terus-menerus

bergantung pada orang lain.

h. Pola peran-hubungan

Tn. JK berperan sebagai ayah. Tn. JK mempunyai 3 orang anak yaitu 2

orang putra dan 1 orang putri. Tn. JK sebagai kepala rumah tangga. Istri

dan anak-anak Tn. JK membantu melakukan beberapa aktivitas mandiri

yang dirasa cukup berat bagi Tn. JK. Dalam satu rumah terdapat 5 orang

termasuk klien.

i. Pola seksualitas-reproduktif

Klien mengatakan selama sakit klien tidak berhubungan intim dengan

istri klien.

j. Pola koping-ketahanan stres

Klien hanya mengeluh saat ini kondisinya belum stabil seperti saat

sebelum sakit, masih sering drop dan tidak bisa melakukan aktivitas

sendiri. Klien berkonsultasi dengan keluarga dan tim medis dalam

mengatasi penyakitnya.

k. Pola nilai-keyakinan

Klien beragama Kristen Protestan


93

1) Sebelum sakit: klien beribadah di gereja, mengikuti ibadah

persekutuan kaum bapak.

2) Saat sakit: klien semenjak sakit tidak aktif mengikuti ibadah dan

kegiatan-kegiatan yang ada di gereja. Namun klien merasakan jika

lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa selama sakit,

meskipun hanya beribadah dari rumah. Klien selalu berdoa untuk

kesembuhannya.

3.2.6 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum: klien tampak lemah

b. Kesadaran: Compos Mentis (E4 M6 V5, GCS = 15)

c. Tanda-tanda vital:

Tekanan darah : 203/110 mmHg

Nadi : 88 x/i

Suhu badan : 35,6 oC

Respirasi : 26 x/i

d. BB Kering: 82 kg

BB Pre HD: 85 kg

BB Post HD: 83 kg

Kenaikan BB klien: 3 kg

e. Waktu dialisa: 4 jam

f. Pemeriksaaan Kepala

Inspeksi : Simetris, kulit kepala bersih, penyebaran rambut


94

merata, warna rambut hitam bergelombang dan

mulai beruban serta tidak ditemukan adanya

kelainan.

Palpasi : Tidak ditemukan adanya benjolan maupun massa,

tidak ditemukan adanya nyeri tekan.

g. Pemeriksaan Mata

Inspeksi : Sklera putih, konjungtiva anemis, palpebra tidak

ada edema, refleks cahaya +, pupil isokor.

Palpasi : Tidak ditemukan adanya massa maupun

pembengkakan pada kelopak mata maupun adanya

nyeri tekan.

h. Pemeriksaan Telinga

Inspeksi : Bentuk telinga simetris kanan/kiri, tampak tidak

ditemukan adanya serumen maupun alat bantu

pendengaran, liang telinga tampak bersih dan fungsi

pendengaran baik.

Palpasi : Tidak ditemukan adanya massa maupun benjolan

asing, tidak terdapat adanya nyeri tekan.

i. Pemeriksaan Hidung

Inspeksi : Bentuk hidung tampak simetris kanan/kiri, tidak


95

terdapat pergeseran tulang rawan hidung, Pernafasan

cuping hidung tidak ada, posisi septum nasal simetris,

lubang hidung bersih, tidak ada penurunan ketajaman

penciuman dan tidak ada kelainan.

j. Pemeriksaan Mulut

Inspeksi : Bibir tampak simetris (tidak sumbing), mukosa bibir

lembab, fungsi pengecapan baik, tidak terdapat

kesulitan menelan maupun perubahan suara, tidak

ditemukan adanya lesi maupun sariawan, gigi dan

lidah tampak bersih, tidak ditemukan karies maupun

perdarahan pada gusi.

k. Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Tidak ditemukan adanya lesi maupun jaringan parut

Palpasi : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

l. Pemeriksaan Thorax

Inspeksi : Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 26 kali/menit,

irama nafas teratur, pola napas dispnea pernafasan

cuping hidung tidak ada, penggunaan otot bantu

nafas tidak ada, tidak ditemukan adanya penggunaan

alat bantu pernafasan.

Palpasi : Vokal premitus teraba diseluruh lapang paru


96

Ekspansi paru simetris, pengembangan sama di

paru kanan dan kiri, tidak ada kelainan

Perkusi : Sonor, batas paru hepar ICS 5 dekstra

Auskultasi : Suara afas vasikuler, tidak ditemukan adanya suara

nafas tambahan (ronchi maupun wheezing).

m. Pemeriksaan Sistem Pencernaan dan Status Nutrisi

BB Kering: 82kg

BB Pre HD: 85 kg

BB Post HD: 83kg

TB: 172 Cm

BAB 1x/hari konsistensi lunak, diet lunak, jenis diet : Diet rendah

protein rendah garam, nafsu makan menurun , porsi makan habis ¼

porsi .

Inspeksi : Warna kulit cokelat tua, bentuk membesar, tidak

tampak adanya benjolan asing, tidak ada bayangan

vena, tidak terlihat adanya benjolan abdomen, dan

tidak terpasang drain, serta tidak tampak adanya lesi

maupun jaringan parut.

Auskultasi : Bunyi peristaltik usus 7-12 kali

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, teraba adanya penumpukan

cairan / asites, dan tidak ada pembesaran pada hepar

dan lien.
97

Perkusi : Shifting Dullness : (+)

n. Pemeriksaan Sistem Syaraf

Memori: Panjang

Perhatian: Dapat mengulang

Bahasa: komunikasi verbal menggunakan bahasa Indonesia Kognisi dan

Orientasi: dapat mengenal orang, tempat dan waktu

Refleks Fisiologis:

1) Patella: 2

2) Achilles: 2

3) Bisep: 2

4) Trisep: 2

5) Brankioradialis: 2

6) Tidak ada keluhan pusing Istirahat/ tidur 5 jam/hari

Pemeriksaan syaraf kranial :

1) N1 (Olfaktorius): Pasien mampu membedakan bau minyak kayu putih

dan alkohol

2) N2 (Optikus): Pasien mampu melihat dalam jarak 30 cm

3) N3 (Oculomotorius): Pasien mampu mengangkat kelopak mata

4) N4 (Trochearis): Pasien mampu menggerakkan bola mata kebawah

5) N5 (Trigeminus): Pasien mampu mengunyah

6) N6 (Abducen): Pasien mampu menggerakkan mata kesamping

7) N7 (Fasialis): Pasien mampu tersenyum dan mengangkat alis mata


98

8) N8 (Auditorius): Pasien mampu mendengar dengan baik

9) N9 (Glosophareal): Pasien mampu membedakan rasa manis dan asam

10) N10 (Vagus): Pasien mampu menelan

11) N11 (Accesoris): Pasien mampu menggerakkan bahu dan melawan

tekanan

12) N12 (Hypoglosus): Pasien mampu menjulurkan lidah dan

menggerakkan lidah keberbagai arah.

o. Pemeriksaan Sistem Perkemihan

Inspeksi Kebersihan: Bersih

Kemampuan berkemih: Mandiri

Produksi Urine: +/- 500 ml/hari

Warna: Kuning

Bau: Khas urine

Palpasi Tidak ada distensi dan nyeri tekan pada kandung

kemih

p. Pemeriksaan Sistem Muskuloskeletal dan integumen

Inspeksi Tidak ada kelainan tulang belakang

Tidak ada fraktur

Turgor kulit baik dan tidak terdapat luka

Palpasi Terdapat pitting edema grade +3 (ekstremitas bawah

RL +3 dan LL +3)
99

q. Pemeriksaan Sistem Endokrin

Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, getah bening dan trias DM

r. Kemanan Lingkungan

Total skor penilaian risiko pasien jatuh dengan skala morse adalah 40

(resiko sedang)

s. Pengkajian Psikososial

Persepsi pasien terhadap penyakitnya adalah merupakan cobaan Tuhan.

Ekspresi pasien terhadap penyakitnya adalah menerima. Pasien kooperatif

saat interaksi. Pasien tidak mengalami ganguan konsep diri dilihat dari

citra tubuh persepsi pasien terhadap kondisi kakinya tidak jadi masalah

meskipun sesekali harus memerlukan bantuan saat berjalan, dari perilaku

pasien hanya harus mengikuti anjuran dari dokter dan perawat dan pasien

ingin cepat sembuh.

t. Pengkajian Spiritual

Kebiasaan beribadah :

Sebelum sakit pasien kadang- kadang beribadah

Setelah sakit pasien mengatakan lebih sering beribadah dan mendekatkan

diri kepada Tuhan


100

u. Personal Hygiene

Mandi 1 kali sehari

Keramas 2 kali seminggu

Memotong kuku setiap 1 minggu sekali

Ganti pakaian 2 kali sehari

Sikat gigi 2 kali sehari

v. Balance Cairan

Tabel 3.1
Balance cairan per hari perawatan Tn. JK
Di Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura – Papua

Intake/ Output/
Hari 1 Hari 2 Hari 1 Hari 2
24 jam 24 jam
Minum 600 cc BAK (Urine) 150 cc
peroral

Cairan infus - BAB (Feses) -

Obat IV 8 cc Muntah (jika -


ada)
Air Drain -
metabolisme 410 cc
(5ml/kgBB/hr)
IWL:
(10cc/kgBB/24 jam) 820 cc

Total/24 jam 1018 cc Total 24/jam 970 cc


101

w. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 3.2
Pemeriksaan Penunjang Pada pasien Tn. JK
di Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura
Tanggal 27 Januari 2020

Jenis
Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Hemoglobin 9,0 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 28.1 % 37,0 – 54,0 %
Albumin 3,2 g/dl 3,5 – 5,5 g/dl
Ureum 132,7 mg/dl 19,3 – 49,2 mg/dl
Kreatinin 14,1 mg/dl 0,7 – 1,3 mg/dl
102

3.3 Klasifikasi Data

Data Subjektif Data Objektif


Klien mengatakan: Klien tampak:
Klien sering merasa kehausan Kesadaran: Composmentis
Kedua kaki klien bengkak, (E4M5V6)
terutama pada saat klien duduk Edema pada ekstremitas bagian
terlalu lama dengan posisi kaki bawah
tergantung ke bawah (ke lantai) TTV saat pengkajian :
Klien biasanya minum air putih 3 – TD : 203/110 mmHg
+
4 gelas ( /- 600 ml) per hari dan N. : 88 x/i
kadang minum teh manis 2 gelas SB : 35,6oC
per hari (400 ml) R : 26 x/i
Klien mengatakan nyeri saat TTV setelah selesai hemodialisa:
berkemih TD : 180/100 mmHg
Klien mengatakan sesekali kencing N. : 76 x/i
bercampur darah SB : 35,8oC
Klien mengatakan setiap berkemih R : 24 x/i
volumenya <1 gelas (<100 ml) BB Kering: 82 kg
Klien mengatakan bahwa kebiasaan BB Pre HD: 85 kg
BAK klien sehari 5-6 kali dengan BB Post HD: 83 kg
volume <500 ml Pengkajian nyeri PQRST
Klien mengatakan perutnya P : Nyeri karena nefrolitiasis
semakin membesar dan kaki Q : Kualitas nyeri hilang timbul
kiri/kanan mulai bengkak R : Saluran kencing dan genetalia
klien
S : Skala 5 (dari rentang skala 1-
10)
T. : Saat klien berkemih / BAK
Penggunaan heparin yang
diindikasikan : 5000-6000 mg
103

3.4 Analisa Data

No Data Masalah Penyebab

1 DS (Klien mengatakan): Kelebihan volume Batu ginjal

Klien sering merasa kehausan cairan

Kedua kaki klien bengkak, terutama Gangguan fungsi

saat klien duduk terlalu lama dengan dan struktur

posisi kaki tergantung ke bawah (ke jaringan ginjal

lantai)

Klien biasanya minum air putih Gagal ginjal akut


3-4 gelas per hari (600-800 ml)
dan kadang minum teh manis 2
Penurunan
gelas per hari (400 ml)
Klien mengatakan setiap reabsorbsi dan
berkemih volumenya <1 gelas
sekresi urin
(<100 ml)
Klien mengatakan bahwa
kebiasaan BAK klien sehari 5-6
kali (<500 ml)
Retensi cairan Na
DO (Klien tampak):
dan elektrolit
Kesadaran: Compos Mentis
(E4M5V6)
Edema pada ekstremitas bagian Cairan tubuh
bawah
meningkat, edema
TTV saat pengkajian:
TD : 203/110 mmHg
N. : 88 x/i Kelebihan volume
SB : 35,6oC
cairan tubuh
R : 26 x/i
TTV setelah selesai hemodialisa:
TD : 180/100 mmHg
N. : 76 x/i
SB : 35,8oC
R : 24 x/i
104

BB Kering: 82 kg
BB Pre HD: 85 kg
BB Post HD: 83 kg

2 DS (Klien mengatakan): Nyeri akut Pengendapan

Nyeri saat berkemih garam mineral

Klien mengatakan sesekali kencing

bercampur darah Batu ginjal

Klien mengatakan BAK 5-6 kali/hari

Klien mengatakan setiap berkemih Obstruksi tractus

volumenya +/- <1 gelas (100 ml) urinarius

DO (Klien tampak) :

Pengkajian nyeri PQRST Peningkatan


P: Nyeri karena nefrolitiasis
tekanan
Q: Kualitas nyeri hilang timbul
hidrostatik
R: Saluran kencing dan genetalia
klien
S : Skala 5 (dari rentang skala 1-
10)
Distensi pada
T: Saat klien berkemih / BAK
TTV saat pengkajian : ginjal
TD : 203/110 mmHg
N. : 88 x/i
Kontraksi uretra
SB : 35,6 oC
R : 26 x/i meningkat

Trauma jaringan

Inflamasi /

peradangan
105

Rangsangan

terhadap mediator

nyeri

Persepsi nyeri

Nyeri akut

3 DS (Klien mengatakan) Risiko perdarahan Nefrolitiasis

Klien mengatakan sesekali kencing

bercampur darah Gangguan fungsi

dan struktur

DO (Klien tampak) jaringan ginjal

Kesadaran: Compos Mentis

(E4M5V6)

Peggunaan heparin yang Distensi pada

diindikasikan 5000-6000 mg ginjal

(selama dialisis)

Pemeriksaan TTV: Kontraksi uretra

TD : 203/110 mmHg meningkat


x
N. : 88 /i
SB : 35,6 oC
Trauma jaringan
R : 26 x/i

Inflamasi /

peradangan

Tindakan invasive
106

Penggunaan

heparin di atas

dosis normal

Perlambatan

pembekuan darah

Risiko perdarahan
107

Rencana Asuhan Keperawatan


Pada Tn. JK dengan Diagnosis Medis Nefrolitiasis, CKD
Di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura
Tahun 2020
Nama klien : Tn. JK Hari / tanggal : Senin, 27 Januari 2020
No. RM : 51 33 99 Nama perawat : Yudi Hadi Prayitno, S.Kep
No Diagnosa Keperawatan NOC (Tujuan) NIC (Intervensi) Rasional Implementasi Evaluasi
45 20
1 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan Tindakan 1. Observasi 1. Tekanan darah Jam 08. WIT Jam 12. WIT
berhubungan dengan mekanisme keperawatan selama 1x5 jam, status dan nadi 1. Mengobservasi S (Klien mengatakan) :
regulatori (gagal ginjal) dengan diharapkan kelebihan hemodinamik mewakili ststus status - Badan lebih segar
retensi air, ditandai dengan: volume cairan klien dapat termasuk hemodinamik hemodinamik - Sedikit lemas
DS (Klien mengatakan): teratasi dengan kriteria hasil: tekanan darah tubuh sebagai (Tekanan darah,
- Rasa haus sedikit
- Klien mengatakan sering merasa a. Terbebas dari edema dan dan nadi. control dan dan nadi setiap
teratasi dengan
haus efusi dasar jam)
manajemen haus
- Kedua kaki klien bengkak, terutama b. Bunyi nafas bersih, tidak intervensi Respon :

saat klien duduk terlalu lama dengan ada dispneu selanjutnya Jam 08.45 WIT :
O (Klien tampak) :
posisi kaki tergantung ke bawah (ke c. Memelihara tekanan 2. Timbang berat 2. Penimbangan TD: 190/115
Edema di kaki masih
lantai) vena sentral ditandai badan berat badan mmHg N: 76 x/m
ada
dengan frekuensi nadi adalah sebagai Jam 09.45 WIT :
- Klien biasanya minum air putih Pitting edema masih
dalam ambang batas pengawasan TD: 180/110
3 – 4 gelas per hari (600-800 ml) >2 detik
normal (60-100 x/menit) status cairan mmHg N: 84 x/m
dan kadang minum teh manis 2 TTV Post
dan vital sign dalam terbaik. Jam 10.45 WIT :
108

gelas per hari (400ml) batas normal. Peningkatan TD: 170/110 Hemodialisa :
- Klien mengatakan setiap d. Terbebas dari kelelahan BB spontan mmHg N: 92 x/m TD : 180/100 mmHg
berkemih volumenya <1 gelas dan kecemasan mengindikasik Jam 11.45 WIT : N : 88 x/i
(<100 ml) an adanya TD: 180/100 SB : 35,8 oC

- Klien mengatakan bahwa penumpukan mmHg N: 88 x/m R : 24 x/i

kebiasaan BAK klien sehari 5-6 cairan A:


00
kali dengan volume <500 ml abnormal Jam 07. WIT Masalah kelebihan

DO (Klien tampak) : 3. Kaji lokasi dan 3. Edema terjadi 2. Menimbang berat volume cairan belum
luas edema pada jaringan badan klien teratasi
- Kesadaran : Compos Mentis
yang Respon: BB pre
(E4M5V6)
tergantung hemodialisa: 85 P:
- Edema pada ekstremitas bagian
pada tubuh, kg Lanjutkan intervensi
bawah
biasanya pada BB post nomor 2, 4, 5
- TTV saat pengkajian :
tangan dan hemodialisa 83 kg
TD : 203/110 mmHg
kaki.
N. : 88 x/i
4. Rencanakan 4. Pembatasan Jam 07.15 WIT
SB : 35,6oC
pembatasan cairan efektif 3. Mengkaji lokasi
R : 26 x/i
cairan dalam dan luas edema
- TTV setelah selesai
menghindari Respon: Lokasi
hemodialisa:
akibat edema pada kaki
TD : 180/100 mmHg
kelebihan kiri/kanan
N. : 76 x/i
volume cairan khususnya pada
SB : 35,8oC
109

R : 24 x/i yang meluas punggung kaki,


BB Kering: 82 kg 5. Siapkan untuk 5. Dilakukan pitting edema >2
BB Pre HD: 85 kg dialisis sesuai untuk detik, kedalaman
+
BB Post HD: 83 kg indikasi memperbaiki /- 0,5 cm
kelebihan
volume cairan Jam 07.25 WIT
dan untuk 4. Merencanakan
menghilangkan pembatasan cairan
toksik dan sisa dengan teknik
metabolisme berkumur air
tubuh yang tak hangat dan
mampu lagi mengulum es batu
disaring oleh sebanyak 10 ml
ginjal. Respon:
Menganjurkan
klien membatasi
cairan masuk
dengan berkumur
air matang dan
mengulum es
batu, serta
menjelaskan untuk
110

meminum air
putih matang saja
sebanyak 600
ml/hari

Jam 07.30 WIT


5. Menyiapkan
perlatan untuk
dilakukannya
dialysis
Respon :
Pemasangan
dializer berjalan
dengan baik dan
pasien menolerir
pemasangan alat
dengan baik
111

2 Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan Tindakan 1. Gunakan teknik 1. Komunikasi Jam 08.35 WIT Jam 12.30 WIT
peningkatan kontraksi uretral dan keperawatan selama 1x5 jam, komunikasi terapeutik 1. Menggunakan S (Klien mengatakan) :
trauma jaringan, ditandai dengan: nyeri akut yang dialami klien terapeutik meningkatkan teknik komunikasi - Merasa sedikit lebih
DS (Klien mengatakan): dapat berkurang bahkan untuk hubungan terapeutik untuk nyaman
- Nyeri saat berkemih hilang, dengan kriteria hasil: mengetahui saling percaya mengetahui - Nyeri berkurang
- Klien mengatakan sesekali kencing a. Klien mampu pengalaman klien dan pengalaman nyeri setelah diberikan
bercampur darah mengontrol nyeri (tahu nyeri memudahkan Respon : pijatan / massage
penyebab nyeri, mampu serta Klien bersedia O (Klien tampak) :
- Klien mengatakan BAK 5-6
menggunakan Teknik meningkatkan kooperatif dan
kali/hari - Menunjukkan hasil
non farmakologi untuk klien untuk mengatakan nyeri
- Klien mengatakan setiap berkemih pemeriksaan nyeri :
mengurangi nyeri) kooperatif di bagian
volumenya +/- <1 gelas (100 ml) P : Batu ginjal
b. Melaporkan bahwa nyeri 2. Evaluasi 2. Membantu kemihnya muncul
DO (Klien tampak) : Q : Hilang dan timbul
berkurang dengan pengalaman mengevaluasi saat BAK, kadang
- Pengkajian nyeri PQRST saat BAK
menggunkan manajemen nyeri masa penyebab dan disertai darah
P: Nyeri karena nefrolitiasis R : Pada saluran
nyeri lampau faktor yang
Q: Kualitas nyeri hilang timbul kencing hingga ujung
c. Menyatakan rasa nyaman meningkatkan Jam 08.45 WIT
R: Saluran kencing dan penis
setelah nyeri berkurang nyeri 2. Mengevaluasi
genetalia klien S : Skala nyeri yang
3. Jelaskan 3. Mewaspadaka pengalaman nyeri
S: Skala 5 (dari rentang skala 1- dirasakan klien pada
penyebab nyeri n klien akan masa lampau
10) skala 4 dari rentang
dan pentingnya kemungkinan Respon :
T: Saat klien berkemih / BAK skala 1-10)
penanganan terjadinya Klien mengatakan
T : Pada saat berkemih
- TTV saat pengkajian : terhadap komplikasi dan nyeri ini muncul
A : Masalah nyeri akut
TD : 203/110 mmHg
112

N. : 88 x/i kejadian nyeri nyeri yang sejak awal klien belum teratasi
SB : 35,6 oC lebih berat didiagnosis batu
R : 26 x/i 4. Ajarkan tentang 4. Menghilangka ginjal pada bulan P : Lanjutkan intervensi
teknik non n ketegangan September 2017 nomor 4,5,6
farmakologi otot dan lalu, untuk
penanganan membantu mengurangi nyeri
nyeri dengan dalam relaksasi yang dirasakan,
teknik distraksi, otot klien biasanya
relaksasi duduk sejenak dan
5. Berikan 5. Meningkatkan Tarik nafas dalam
Tindakan relaksasi, kemudian
nyaman, contoh menurunkan menghembuskann
pijatan ketegangan ya lewat mulut
punggung dan otot dan
tingkatkan meningkatkan Jam 08.55 WIT
istirahat koping 3. Menjelasan
6. Monitor tanda- 6. Ambang respon penyebab
tanda vital klien normal tanda nyeri dan
vital pentingnya
menunjukkan penanganan nyeri.
keberhasilan Respon :
tindakan Klien tampak
113

keperawatan memahami, saat


dan indikator diberikan umpan
keberhasilan balik klien mampu
penanganan menjelaskan
nyeri. penyebab
nyerinya

Jam 09.10 WIT


4. Mengajarkan
teknik non
farmakologi
penanganan nyeri
dengan teknik
distraksi
Respon :
Klien tampak
memperagakan
dan
mempraktekkan
dengan benar,
merasa nyaman
Jam 12.25 WIT
114

5. Memberikan
tindakan nyaman
dengan pijatan
punggung
Respon :
Klien mengatakan
merasa lebih
nyaman (post
BAK) dan
berpamitan pulang

Jam 12.35 WIT


6. Memonitor
tanda-tanda vital :
TD : 180/100
mmHg
N : 82 x/i
SB : 35,9 oC
R : 22 x/i
115

3 Risiko perdarahan berhubungan Setelah dilakukan Tindakan 1. Monitor tanda 1. Penurunan Jam 10.15 WIT Jam 12.35 WIT
dengan trauma, trombositopenia, keperawatan selama 1x5 jam, penurunan trombosit 1. Memonitor S (Klien mengatakan)
ditandai dengan: risiko perdarahan klien dapat trombosit merupakan tanda-tanda Masih lemas dan
DS (Klien mengatakan) teratasi dengan kriteria hasil: disertai gejala tanda penurunan mengantuk
- Klien mengatakan sesekali kencing a. Tidak ada hematuria klinis kebocoran trombosit disertai Setelah kencing
bercampur darah b. Tekanan darah dalam pembuluh gejala klinis mengatakan warna urine
ambang batas normal darah Respon : kemerahan
DO (Klien tampak) c. Tidak ada distensi 2. Anjurkan 2. Aktivitas Hasil pemeriksaan O (Klien tampak)

- Kesadaran : CM (E4M5V6) abdominal pasien untuk pasien yang trombosit 115.000 Anemis
d. Hemoglobin dalam batas banyak istirahat tidak terkontrol mcL, klien tampak Sediaan heparin yang
- Penggunaan heparin yang
normal (Bed Rest) dapat anemis digunakan 5000 mg
diindikasikan 5000-6000 mg
menyebabkan Pemeriksaan TTV :
(selama dialisis)
20
risiko Jam 10. WIT TD : 180/100 mmHg
- Pemeriksaan TTV :
perdarahan 2. Menganjurkan N : 88 x/i
TD : 203/110 mmHg
3. Awasi adanya 3. Peningkatan pasien untuk SB : 35,8 oC
N. : 88 x/i
perubahan nadi dengan banyak istirahat R : 24 x/i
SB : 35,6oC
tanda-tanda penurunan Respon : Trombosit : 115.000
R : 26 x/i
vital secara tekanan darah Klien tampak Hb : 11,7
mendadak dapat mengantuk berat A:
menunjukkan Masalah belum teratasi
kehilangan P:
volume darah Lanjutkan intervensi
116

sirkulasi Jam 10.25 WIT nomor 3,4,5,6


4. Observasi 4. Perdarahan sub 3. Mengobservasi
adanya akut dapat tanda-tanda vital
epistaksis, terjadi terhadap Respon :
perdarahan gusi gangguan TD : 170/100
dan hematuria factor mmHg
pembekuan N : 92 x/i
5. Awasi nilai Hb, 5. Indikator SB : 36,3 oC
trombosit dan adanya R : 22 x/i
factor perdarahan
pembekuan aktif atau Jam 10.40 WIT
adanya 4. Mengobservasi
komplikasi adanya epistaksis,
6. Berikan obat 6. Meningkatkan perdarahan gusi
sesuai indikasi :
sintesis dan hematuria
Vitamin D dan
C protombin dan Respon :
koagulasi Klien mengatakan
sesekali kencing
bercampur darah,
klien tampak
anemis
117

Jam 10.15 WIT


5. Awasi Hb,
trombosit dan
factor pembekuan
Respon :
Hb. 11,7
Trombosit :
115.000 mcL
Penggunaan
heparin : 5000-
6000 mg

Jam 10.55 WIT


6. Memberikan obat
sesuai indikasi
(Vitamin K, D,
dan C)
Respon :
Klien mengatakan
vitamin yang
sering dikonsumsi
adalah vitamin C
118

3.6 Catatan Perkembangan

Hari / Nomor
Implementasi Evaluasi
Tanggal Diagnosis
Senin, 1 Jam 09.45 WIT Jam 12.20 WIT
27 Januari 1. Mengobservasi status hemodinamik dan dialisis S (Klien mengatakan) :
2020 Respon : - Badan lebih segar
TD : 180/110 mmHg - Sedikit merasakan lemas
N : 92 x/i
- Masih sering merasakan haus
SB :35,6 oC
O (Klien tampak) :
R :22 x/i
- Edema di kaki masih ada
Qb : 250
- Pitting edema masih > 2 detik
Qd : 500
- TTV Post Hemodialisa :
V/APressure : 114/124
TD : 180/100 mmHg
TMP : 175
N : 88 x/i
UFrate : 1103
SB :35,8 oC
UFremoved : 175
R :24 x/i
BB Post HD : 83 kg
Jam 10.45 WIT
A:
2. Mengobservasi status hemodinamik dan dialisis
Masalah kelebihan volume cairan
Respon :
belum teratasi
TD : 170/100 mmHg
P : Lanjutkan intervensi :
N : 88 x/i
SB :36,2 oC - Rencanakan pembatasan cairan
R :24 x/i - Siapkan untuk kembali dialisis
Qb : 250 sesuai indikasi
Qd : 500
V/APressure : 116/118
TMP : 176
UFrate : 1102
UFremoved : 3151

Jam 11.45 WIT


3. Mengobservasi status hemodinamik dan dialisis
Respon :
TD : 180/100 mmHg
N : 88 x/i
SB :35,8 oC
R :24 x/i

Jam 12.00 WIT


4. Menimbang berat badan post hemodialisa
Respon : BB Post HD : 83 kg
119

2 Jam 09.10 WIT Jam 12.30 WIT


1. Mengajarkan teknik non farmakologi penanganan S (Klien mengatakan) :
nyeri dengan teknik distraksi - Merasa sedikit lebih nyaman
Respon : Klien mengatakan nyeri berkurang dan dengan tekni distraksi
merasa nyaman dengan teknik distraksi - Nyeri berkurang setelah
diberikan massage
25
Jam 12. WIT O (Klien tampak) :
2. Memberikan tindakan nyaman dengan massage
- Menunjukkan hasil pemeriksaan
punggung.
nyeri :
Respon : Klien mengatakan lebih nyaman saat
P : batu ginjal
massage dilakukan pasca BAK
Q : hilang timbul saat BAK
R : pada saluran kencing hingga
Jam 12.35 WIT
ujung penis
3. Memonitor Tanda-Tanda Vital klien :
S : skala nyeri yang dirasakan
TD : 180/100 mmHg
klien skala 4 dari rentang skala
N : 82 x/i
nyeri 1-10
SB :35,8 oC
T : pada saat berkemih (BAK)
R :22 x/i
A:
Masalah nyeri akut belum teratasi
P:
Lanjutkan intercensi nomor 4, 5,
dan 6

3 Jam 09.45 WIT Jam 12.30 WIT


1. Mengawasi Tanda-Tanda Vital : S (Klien mengatakan) :
Jam 09.45 WIT - Masih lemas dan mengantuk
TD : 180/110 mmHg O (Klien tampak)
N : 84 x/i - Anemis
Jam 10.45 WIT
- Sediaan heparin yang digunakan :
TD : 170/100 mmHg
5000mg
N : 92 x/i
- Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital :
Jam 11.45 WIT
TD : 180/100 mmHg
TD : 180/100 mmHg
N : 88 x/i
N : 88 x/i
Trombosit : 115.000 mcL
Hb : 11,7
Jam 09.55 WIT
A:
2. Mengawasi faktor pembekuan
Masalah risiko perdarahan belum
Respon : Heparin yang digunakan 5000mg
teratasi
P:
Lanjutkan intervensi nomor 3, 4,
5, 6
120

Hari / Nomor Implementasi Evaluasi


Tanggal Diagnosis
Senin, 1 Jam 06.45 WIT Jam 12.20 WIT
14 1. Mengobservasi adanya pembatasan pasien dalam S (Klien mengatakan) :
Desember kebutuhan cairan - Rasa haus sedikit tertahankan
2020 Respon : dengan manajemen haus
Tampak oedem di kaki kiri/ kanan pasien dan - Sedikit merasakan lemas pasca
lingkar perut pasien tampak lebih besar dari Hemodialisa
sebelumnya. O (Klien tampak) :
BB Pra HD : 86 kg
- Edema di kaki masih ada
BB kering : 83 kg
- Pitting edema masih > 2 detik
- TTV Post Hemodialisa :
Jam 07.05 WIT
BB Post HD : 84 kg
2. Mengkaji masih adanya faktor yang menyebabkan
A:
adanya kelebihan volume cairan
Masalah kelebihan cairan belum
Respon :
teratasi
Pasien mengatakan sering merasakan haus, keluarga
P : Lanjutkan intervensi :
mengatakan pola pembatasan cairan dengan
- Rencanakan pembatasan cairan
manajemen haus yang telah diberikan dulu tidak
dengan teknik inovasi mengulum
lama diterapkan.
es batu sebanyak 10 ml

Jam 09.05 WIT - Siapkan untuk kembali dialisis


3. Mengobservasi penerapan manajemen haus dengan sesuai indikasi

teknik inovasi berkumur air hangat pada pasien.


Respon :
Klien dapat menahan haus selama 1 jam 17 menit

Jam 09.25 WIT


4. Melibatkan keluarga dalam penerapan manajemen
haus di rumah : dengan teknik inovasi berkumur air
matang selama 30 detik
Respon :
Keluarga bersedia dilibatkan dalam penerapan
manajemen haus pasien selama di rumah.

Kamis, 1 Jam 07.10 WIT Jam 12.20 WIT


17 1. Mengobservasi adanya pembatasan pasien dalam S (Klien mengatakan) :
Desember kebutuhan cairan - Rasa haus sedikit tertahankan
2020 Respon : dengan manajemen haus
Oedem di kaki kiri/kanan pasien masih tampak - Merasa lebih efektif mengulum es
seperti hari sebelumnya batu dari pada berkumur air
BB Pra HD : 85 kg matang
121

BB kering : 83 kg O (Klien tampak) :


20
Jam 07. WIT - Edema di kaki masih ada
2. Mengkaji masih adanya faktor yang menyebabkan - TTV Post Hemodialisa :
adanya kelebihan volume cairan BB Post HD : 84 kg
Respon : A:
Pasien mengatakan masih sering merasakan haus, Masalah kelebihan volume cairan
keluarga mengatakan klien masih menerapkan belum teratasi
program manajemen haus dengan berkumur air P : Lanjutkan intervensi :
matang yang telah diajarkan.
- Rencanakan pembatasan cairan
dengan teknik inovasi berkumur
Jam 07.40 WIT
air matang dan mengulum es batu
3. Mengobservasi penerapan manajemen haus dengan
sebanyak 10 ml
teknik inovasi mengulum es batu sebanyak 10 ml.
- Siapkan untuk kembali dialisis
Respon :
sesuai indikasi
Klien dapat menahan haus selama 1 jam 42 menit

Jam 09.25 WIT


4. Melibatkan keluarga dalam penerapan manajemen
haus di rumah : dengan teknik inovasi mengulum es
batu (10 ml)
Respon :
Keluarga bersedia dilibatkan dalam penerapan
manajemen haus pasien selama di rumah.
122

BAB IV

ANALISA SITUASI

4.1 Profil Lahan Praktik

Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura adalah Rumah Sakit milik

Pemerintah Provinsi Papua dan merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di

Provinsi Papua. Permintaan akan pelayanan kesehatan saat ini semakin

meningkat. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya kesadaran

masyarakat mengenai pentingnya kesehatan dan juga adanya upaya dari

manajemen RSUD Jayapura untuk memperbaiki kualitas pelayanan terhadap

masyarakat.

Visi RSUD Jayapura adalah terwujudnya rumah sakit nasional di Kawasan

timur Indonesia dengan pelayanan kesehatan terlengkap, terbaik, terpercaya,

bermutu dan dibanggakan. Sedangkan misi RSUD Jayapura adalah :

4.1.1 Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berstandar paripurna.

4.1.2 Terwujudnya penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penelitian dengan

standar SDM professional.

4.1.3 Terciptanya pelayanan kesehatan dengan aksesibilitas yang mudah

terjangkau.

4.1.4 Terlaksananya pelayanan administrasi berteknologi, yang efisien, efektif

dan akuntabel.

4.1.5 Terciptanya rumah sakit dengan medical tourism di kawasan Asia Pasifik.

4.1.6 Terselenggaranya tata kelola rumah sakit berbasis peningkatan mutu dan
123

keselamatan pasien.

Motto dari RSUD Jayapura yaitu keselamatan pasien adalah prioritas kami.

Sedangkan nilai dasar yang diterapkan di RSUD Jayapura adalah panutan, ramah,

inovasi, melayani, dan aman. Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura selalu

melakukan penilaian terhadap kinerja dan kualitas pelayanan untuk melihat

perbaikan ataupun kekurangan, baik dalam hal fasilitas maupun sumber daya

manusia, sehingga pelayanan yang baik dapat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini

juga terkait dengan pelayanan di instalasi atau unit lain seperti unit hemodialisa

yang saling terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ruang Hemodialisa RSUD Jayapura bukan merupakan unit dari Staf

Medis Fungsional (SMF) Penyakit Dalam seperti kebanyakan SMF medis di

rumah sakit lain. Ruangan HD memiliki fasilitas 13 tempat tidur dan 13 mesin

hemodialisis. Pada saat ini jumlah pasien pada bulan Desember 2020 yang rutin

menjalani hemodialisis sebanyak 68 pasien yang terbagi menjadi tiga waktu

pelaksanaan, yaitu pada hari senin dan kamis pada pagi, siang dan sore.

Sedangkan pada hari selasa dan jum'at pada pagi dan siang hari, dan hari sabtu

hanya pada pagi hari saja. Jadwal hemodialisa diatur dua kali dalam satu minggu

terdiri dari 3 waktu yaitu jadwal senin dan kamis, selasa dan jum’at, rabu dan

sabtu. Pelaksanaan hemodialisa di pagi hari dimulai dari jam 06.00-11.00 WIT,

siang pada pukul 11.00-17.00 WIT dan sore pada pukul 17:00-22:00 WIT.

Waktu kerja karyawan di Ruang Hemodialisa diatur dalam tiga shift yakni pagi,

siang dan sore.


124

Karyawan Ruang Hemodialisa berjumlah 29 orang terdiri dari dokter

penanggung jawab, Kepala Ruangan (Ns. Teddy Wopari, S.Kep), 9 perawat yang

sudah tersertifikasi, 4 orang perawat pelaksana yang belum tersertifikasi, 1 orang

tenaga administrasi, 1orang teknisi dan 1 orang cleaning service.

Ruangan Hemodialisa terbagi dalam beberapa ruangan: ruang pelayanan

atau tindakan hemodialisa, ruang istirahat, ruang dokter penanggung jawab, ruang

kepala ruangan, ruang CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis), ruang

administrasi, ruang re-use dan bilas, 1 gudang alat kesehatan dan satu gudang

BHP (Bahan Habis Pakai), 3 toilet (2 toilet untuk karyawan dan 1 toilet pasien dan

penunggu), dapur dan nurse station.

4.2 Analisa Masalah Keperawatan Pada Pasien Kelolaann

Kasus kelolaan utama dalam karya akhir ilmiah Ners ini adalah pasien

dengan Chronic Kidney Desease (CKD) stage V. Perjalan penyakit dari PGK

yaitu berlanjut menjadi gagal ginjal terminal atau end stage renal disease. Pada

tahap ini ginjal tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangan substansi

tubuh. Hal ini menyebabkan perlunya penanganan lebih lanjut. Hal yang

diperlukan dapat berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal. Gagal ginjal

kronik ditentukan berdasarkan dua kriteria. Pertama yaitu kerusakan ginjal yang

terjadi lebih dari tiga bulan. Hal ini dapat disertai kelainan struktural maupun

fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang

bermanifestasi adanya kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan pada ginjal

yang berupa kelainan pada komposisi darah, urin atau kelainan pada tes
125

pencitraan ( imaging test). Kedua yaitu LFG kurang dari 60 ml/ menit/1,73 m2

(Widiani 2020).

Tn. JK didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronik stage V sejak

tahun 2017 dan menjalankan hemodialisis secara rutin sampai saat ini. Riwayat

hipertensi tidak terkontrol sejak 7 tahun yang lalu dengan tekanan darah tertinggi

203/110 mmHg. Riwayat penyakit asma disangkal, riwayat penyakit jantung

disangkal, riwayat penyakit diabetes disangkal, riwayat pernah terkena batu

saluran kemih, riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal, dan riwayat

merokok disangkal serta riwayat minum alkohol. Informasi dari catatan medis

klien diperoleh penyebab utama keadaan yang dialami pasien saat ini adalah

penyakit penyerta nefrolitiasis dan hipertensi yang tidak terkontrol serta

dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta gaya hidup.

Berdasarkan proses perjalanan penyakit pada pasien didapatkan riwayat

hipertensi sejak tiga tahun yang lalu dan didapatkan batu pada ginjal kanan. Kedua

keadaan tersebut termasuk faktor resiko terjadinya penyakit ginjal kronik. Adapun

penyebab utama penyakit ginjal kronik berupa hipertensi, diabetes mellitus,

obstruksi (batu saluran kemih), infeksi, penyakit sistemik.

Penelitian mencatat bahwa 35% hingga 65% dari penderita hipertensi

berkembang menjadi proteinuria, dengan satu pertiganya berkembang menjadi

insufisiensi ginjal dan 6 hingga 10% meninggal akibat uremia. Hipertensi

merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Hipertensi menyebabkan

banyak nefron fungsional mengalami gannguan secara progresif dan ireversibel.

Sklerosis terjadi akibat peningkatan tekanan dan regangan yang berlangsung


126

secara lama pada arteriol dan glomeruli pada pembuluh darah glomeruli. Hal ini

sering fisebut dengan glomerulosklerosis. Tubuh akan mengkompensasi akibat

dari berkurangnya jumlah nefron yaitu dengan peningkatan aliran darah. Hal ini

akan menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan keluaran

urine di dalam nefron yang tidak mengalami kerusakan. Namun proses ini akan

menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik

akan semakin banyak terbentuk sehingga menyebabkan obliterasi glomerulus. Hal

ini mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan akan membentuk

lingkaran setan dan berakhir sebagai penyakit gagal ginjal kronik (Kadir, 2018).

Peningkatan sistole maupun diastole tekanan darah dapat disebabkan oleh

beberapa hal, tetapi sebenarnya peningkatan ini terjadi akibat 2 parameter yang

meningkat yaitu peningkatan tahanan perifer total tubuh dan peningkatan cardiac

output/curah jantung. Sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang

menyebabkan terjadinya peningkatan salah satu atau keduanya, maka akan

menyebabkan orang tersebut mengalami peningkatan tekanan darah (hipertensi)

(Sibernagl dalam Kadir, 2018).

Hipertensi renal merupakan hipertensi sekunder yang angka kejadiannya

sekitar 5 %, jauh lebih sedikit dibanding dengan hipertensi primer. Tetapi kejadian

hipertensi renal yang terjadi dapat merupakan komplikasi dari hipertensi primer.

Hipertensi primer yang menetap dan tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan

ginjal dan kemudian kerusakan ginjal dapat menyebakan hipertensi menjadi lebih

parah dan dapat menyebabkan komplikasi yang lainnya. Sedangkan penyakit

ginjal yang didapat (Renal disease) terutama yang menyebabkan peningkatan


127

resistensi peredaran darah ke ginjal dan penurunan fungsi kapiler glomerulus akan

menyebabkan terjadinya hipertensi, dan apabila penyakit ginjal tidak diobati maka

akan menyebabkan hipertensi menetap dan memperparah kerusakan ginjal (Kadir,

2018).

Melihat tingginya penyakit penyerta hipertensi pada kasus CKD, Sukandar,

dalam Tuloli (2019) menyatakan bahwa hipertensi menjadi faktor resiko

penyebab CKD karena hipertensi merupakan salah satu faktor inisiasi yang

mengawali kerusakan ginjal dan juga sebagai faktor progresif yang dapat

mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah faktor inisiasi.

Hasil penelitian Supadmi (2011), menunjukkan bahwa hipertensi

merupakan salah satu faktor risiko gagal ginjal. Oleh sebab itu, pengontrolan

tekanan darah pada pasein penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis sangat penting untuk mencegah dan memperlambat kerusakan ginjal,

dimana penatalaksanaan hipertensi secara menyeluruh berdasarkan JNC VII

dalam Chbanian untuk semua usia pasien CKD dengan atau tanpa diabetes

diharapkan tekanan darah sistolik < 150 mmHg dan diastolik < 90 mmHg (Kadir,

2018).

Obstruksi atau batu saluran kemih (batu ginjal) dapat menyebabkan gagal

ginjal. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan intratubular, selain itu

diikuti pula dengan vasokonstriksi dari pembuluh-pembuluh darah, yang akan

berujung pada iskemik ginjal. Dalam jangka waktu yang berkepanjangan, hal ini

akan menyebabkan glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan fibrosis ginjal

(Widiani, 2020).
128

Faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik merupakan penyebab terjadinya batu

saluran kemih. Pada pasien didapatkan faktor intrinsik yang meliputi umur

(umumnya terjadi pada usia 30-60 tahun), jenis kelamin (laki-laki tiga kali lebih

tinggi dari pada perempuan). Sedangkan faktor ekstrinsik pada pasien meliputi

asupan air (kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air

yang dikonsumsi akan menyebabkan peningkatan insiden batu saluran kemih)

(Coe dan Evan dalam Widiani, 2020).

Fungsi utama ginjal adalah mengekskresi bahan limbah dari darah dalam

bentuk urine. Pembentukan urine penting dalam menjaga homeostasis tubuh.

Urine terbentuk melalui 3 proses utama yaitu filtrasi yang berlaku pada bagian

glomerulus dan Bowman’s capsule, sekresi dan reabsorpsi. Kemudian cairan

tersebut akan disalurkan ke kalises dan seterusnya ke pelvis ginjal untuk

disalurkan ke ureter. Secara ringkas fungsi ginjal dapat dibagikan kepada dua

yaitu fungsi ekskresi dan fungsi non ekskresi. Fungsi ekskresinya ialah

menyaring limbah dari darah yaitu melalui urine. Seterusnya ginjal juga

regulating water fluid level dalam tubuh kita. Ginjal mengatur level ini dengan

mengkontrol sekresi hormon ADH (Aldrosterone Diuretic Hormone) dan

aldostrone. Ginjal juga menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit yang

dikontrol oleh kompleks sistem buffer. Selain itu, ginjal juga mempertahankan

pH plasma sekitar 7.4 (Aditya, 2018).

Beberapa diagnosa keperawatan yang akan dibahas pada Tn. JK adalah

kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori (gagal

ginjal) dengan retensi air, Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan kontraksi
129

uretral dan trauma jaringan, dan Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma,

trombositopenia.

4.2.1 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori

(gagal ginjal) dengan retensi air dijadikan sebagai prioritas masalah yang

perlu penanganan khusus.

Program pembatasan cairan sangatlah penting bagi pasien yang

menjalani hemodialisis. Jumlah cairan yang dikonsumsi penderita penyakit

ginjal kronik harus dibatasi dan dipatuhi. Parameter yang efektif agar bisa

terkontrol dengan berat badan pasien itu sendiri. Jika pasien mengalami

peningkatan berat badan, akan menyebabkan komplikasi penyakit lainnya

dan juga membuat edema pada tubuh. Aturan yang dipakai untuk

menentukan asupan cairan adalah produksi urine yang dikeluarkan selama

24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan ini membutuhkan

pengaturan yang harus dijaga dan dipatuhi, karena pada pasien CKD sering

merasakan rasa haus dan mulut yang terasa kering.

Hasil pengkajian kepada Tn. JK didapatkan data tentang asupan cairan

≥ 1200 ml/hari. Bila menerapkan aturan yang dipakai untuk menetukan

asupan cairan berdasarkan rumus Holliday dan Segard, maka kebutuhan

cairan pasien dengan berat badan kering 82 kg adalah sebesar 2740 ml/hari.

Sedangkan kebutuhan cairan pasien dalam 24 jam hanya ≤ 700 ml. Hasil

pengukuran antropometri pada berat badan dan lingkar perut mengalami

peningkatan. Dimana berat badan pasien naik ≥ 3 kg serta lingkar perut 106

cm. Asupan cairan pada gagal ginjal kronik juga membutuhkan regulasi
130

yang sangat hati-hati dalam gagal ginjal lanjut. Pentingnya pencegahan

kelebihan cairan karena jika asupan terlalu bebas dapat menyebabkan

kelebihan beban sirkulasi, edema, dan intoksikasi cairan. Kekurangan cairan

juga dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan memburuknya fungsi

ginjal. Aturan untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24 jam

ditambah 500 ml mencerminkan keluaran cairan yang tidak disadari.

Sedangkan akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama

periode intradialitik (Haryanti dan Nisa dalam Prajayanti, 2018).

Pasien sering mengeluhkan kaki dan perutnya yang bengkak serta

mulutnya yang terasa kering dan juga tidak bisa menahan rasa haus yang

menyebabkan pasien minum yang berlebihan. kondisi ini terjadi akibat dari

penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berpengaruh pada retensi

cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium terjadi karena ginjal tidak

mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada

GGK tahap akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan

cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi, sehingga natrium dan cairan

tertahan di dalam tubuh (Ferrario, at al, 2014; LeMone, Burke, & Bauldoff,

2011; Shantier & O’Neil, 2010; Smeltzer & Bare dalam Arif Rahman,

2014).

Kelebihan cairan pada pasien Tn. JK disebabkan karena terganggunya

fungsi ginjal untuk menjalankan fungsi ekskresinya. Gambaran kejadian

kelebihan cairan seperti asites dan efusi pleura menunjukkan jumlah yang

sedikit, dapat disebabkan oleh terapi hemodialisis. Pada mesin dialisis


131

dilakukan penarikan cairan sampai tercapai berat badan kering, yaitu berat

badan dimana sudah tidak ada cairan berlebihan dalam tubuh. Kelebihan

cairan tubuh dialirkan ke dalam mesin dialyzer yang alirannya dikontrol

oleh pompa. Cairan tersebut kemudian akan dikeluarkan dari sirkulasi

sistemik secara simultan selama proses hemodialisa (Hsu dalam Aisara,

2018).

Edema perifer pada pasien merupakan akibat dari penumpukan cairan

karena berkurangnya tekanan osmotik plasma dan retensi natrium dan air.

Akibat peranan dari gravitasi, cairan yang berlebih tersebut akan lebih

mudah menumpuk di tubuh bagian perifer seperti kaki, sehingga edema

perifer akan lebih cepat terjadi dibanding gejala kelebihan cairan lainnya.

Karena hal tersebut kejadian edema perifer pada pasien cukup tinggi

(Aisara, 2018).

Kepatuhan dalam program pembatasan cairan sering dilanggar pada

pasein yang menderita penyakit ginjal kronik. Banyak faktor yang

membuat pasien melanggar program pembatasan cairan ini. Salah satunya

adalah terapi pengobatan yang dalam jangka panjang.

4.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan kontraksi uretral dan trauma

jaringan.

Pada pasien Tn. JK dengan diagnosa medis Chronis Kidney Desease

(CKD) dengan penyakit penyerta nefrolitiasis, tidak dipungkiri dengan

berjalannya waktu pengobatan, selain disertai tekanan darah yang tinggi


132

pasien juga masih bermasalah dengan rasa nyeri yang dideritanya sewaktu

berkemih.

Obstruksi atau batu saluran kemih (batu ginjal) dapat menyebabkan

gagal ginjal. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan intratubular,

selain itu diikuti pula dengan vasokonstriksi dari pembuluh-pembuluh

darah, yang akan berujung pada iskemik ginjal. Dalam jangka waktu yang

berkepanjangan,hal ini akan menyebabkan glomerulosklerosis, atrofi

tubulus, dan fibrosis ginjal (Hervinda dalam Widiani, 2020).

Faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik merupakan penyebab terjadinya

batu saluran kemih. Pada pasien didapatkan faktor intrinsik yang meliputi

umur (umumnya terjadi pada usia 30-60 tahun), jenis kelamin (laki-laki tiga

kali lebih tinggi dari pada perempuan). Sedangkan faktor ekstrinsik pada

pasien meliputi asupan air (kurangnya asupan air dan tingginya kadar

mineral kalsium pada air yang dikonsumsi akan menyebabkan peningkatan

insiden batu saluran kemih). Perlu diketahui pula bahwa penyakit komorbid

lain seperti diabetes melitus meningkatkan resiko kerusakan ginjal melalui

mekanisme tertentu (Widiani, 2020).

Nyeri pinggang yang dialami pasien secara umum dapat berasal dari

berbagai sumber yaitu dari gangguan sistem digestif, sistem muskoskletal,

maupun sistem urinaria. Nyeri pinggang kanan bukan merupakan gejala

yang khas. Cukup banyak penyakit-penyakit dimana manifestasi dapat

berupa nyeri pinggang. Karakteristik dari nyeri pinggang yang meliputi

lokasi nyeri, sifat nyeri, jenis nyeri, awal mula nyeri muncul serta keluhan
133

penyerta dapat membantu dalam mengecilkan kemungkinan-kemungkinan

penyakit yang timbul akibat nyeri pinggang. Nyeri pada bagian flank (antara

abdomen atas dan pinggang) dapat menjadi petunjuk bahwa sumber nyeri

berasal dari area retroperitoneal, dimana penyebab yang paling sering yaitu

peregangan kapsul ginjal (Sindhughosa dalam Widiana, 2020).

4.2.3 Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma, trombositopenia

Pasien mengatakan bahwa sesekali kencing bercampur darah. Selain

itu, penggunaan heparin yang diindikasikan bagi Tn. JK selama proses

dialisis adalah sebanyak 5000-6000 mg (pada pelaksanaannya sebanyak

5000 mg). Perdarahan pada penyakit ginjal kronis sering kali

dikesampingkan. Pedoman dan konsensus-konsensus baru masih terfokus

pada laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate) dan albumin, tetapi

risiko perdarahan sering kali tidak dinilai. Risiko perdarahan pada penyakit

ginjal kronis dapat diperparah dengan adanya komorbiditas penyakit

kardiovaskular karena sering kali mendapatkan terapi antikoagulan. Salah

satu penelitian dari American Society of Nephrology menunjukkan bahwa

rata-rata insidensi perdarahan mayor pada penyakit ginjal kronis adalah

2.5% orang per tahun. Insidensi perdarahan meningkat dengan pemberian

warfarin (3.1% orang per tahun), aspirin (4.4% orang per tahun), dan

kombinasi warfarin-aspirin (6.3% orang/tahun) (Hernaningsih, Widodo,

Aprianto, 2019).
134

Penambahan heparin selama proses hemodialisis diberikan melalui

pasien dan alat. Heparin yang ditambahkan kepada Tn. JK sebanyak 5000

mg ini meliputi loading dose dan maintenance dose. Heparin sebagai

antikoagulan yang ditambahkan selama proses hemolisis tentunya turut

menambah antikoagulan di sirkulasi penderita. Sebenarnya antikoagulan

alami telah tersedia pada setiap orang, antikoagulan alami ini yang

mempertahankan darah tetap cair pada pembuluh darah. Namun dengan

adanya tambahan antikoagulan dari luar maka dapat terjadi kelebihan

antikoagulan pada tubuh penderita. Kelebihan antikoagulan ini dapat

menyebabkan kecenderungan terjadi perdarahan pada penderita. Oleh

karenanya perlu diwaspadai adanya perdarahan pada penderita pasca

hemodialisis.

Perdarahan pada pasien gagal ginjal kronik tentunya sangat krusial,

yang mana perdarahan dapat menyebabkan anemia. Sedangkan penderita

gagal ginjal kronik sendiri mudah terjadi anemia karena produksi hormon

eritropoietin yang turun dan menumpuknya ureum yang seharusnya dibuang

melalui ginjal menyebabkan uremia dan terjadinya hemolitik pada eritrosit.

Akibat lebih jauh dari anemia adalah hipoksemia dan akhirnya hipoksia

jaringan karena fungsi hemoglobin adalah mengikat oksigen. Sedangkan

hemoglobin berkadar rendah pada anemia. Akibat hipoksia adalah terjadi

metabolisme anaerob pada sel dan menghasilkan asam laktat. Produksi asam

laktat ini akan menambah kondisi asidosis metabulik yang memang mudah

terjadi pada penderita gagal ginjal kronik, akibat produk asam yang
135

seharusnya dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan.

Mengingat efek yang mungkin timbul akibat perdarahan pada pasien

gagal ginjal kronik, maka diupayakan semaksimal mungkin mencegah

terjadinya perdarahan pasca hemodialisis antara lain dibuat kebijakan

pemeriksaan serial untuk APTT (Activated Partial Thromboplastin Time),

sehingga dapat diketahui kecenderungan meningkat dan kapan mulai

menurun seiring dengan half life heparin, agar dapat dipersiapkan

penanganan untuk mencegah perdarahan (Hernaningsih, 2019).

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam

keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari

hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau

end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau

permanen.

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya

memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan

penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan

kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal. (Kusuma. H & Huda. A, 2012).

Tujuan Hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik

dari dalam tubuh dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran

darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
136

ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan dikembalikan lagi kedalam

tubuh pasien (Smeltzer dan Bare, 2009).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap

dalam gizi yang baik. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan

tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk

dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada

ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq hal ini guna

mengendalikan tekanan darah dan edema (Suciati & Sureskiarti, 2017). Asupan

tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien

untuk minum. Manfaat dari pembatasan cairan adalah mencegah terjadinya

kelebihan volume cairan yang tidak dapat menyebabkan terjadinya edema paru,

asites, dan komplikasi kardiovaskular pada pasien hemodialisis.

Beberapa cara untuk mengurangi rasa haus pada pasien yang menjalani

hemodialisis adalah menghisap es batu, berkumur dengan obat dan mengunyah

permen karet. Intervensi menghisap es batu dan berkumur dengan air matang

merupakan terapi alternatif yang dapat diberikan kepada pasien yang menderita

penyakit ginjal kronik yang menjalankan program pembatasan cairan. Tujuannya

untuk merangsang kelenjar ludah yang menyebabkan mulut pasien itu merasa

kering dan haus (Solomon, 2006 dalam Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016).

Menurut penelitian Fransisca dalam Najikhah (2020) beberapa cara untuk

mengurangi rasa haus yang dapat dilakukan oleh penderita CKD. Salah satunya

adalah berkumur dengan air dingin yang dicampur dengan daun mint. Menurut

penelitian yang dilakukan, berkumur dengan bahan tersebut akan berdampak pada
137

penurunan rasa kering di mulut akibat program pembatasan intake cairan,

sehingga hal tersebut akan dapat menurunkan rasa haus yang muncul. Hasil

penelitian lain tentang efektivitas mengulum es batu dan berkumur air matang

terhadap penurunan rasa haus pasien CKD, di dapatkan hasil bahwa mengulum es

batu maupun berkumur air matang efektif terhadap penurunan rasa haus pasien

CKD (Makrumah, 2017).

Penelitian Najikhah dan Warsono (2020) tentang penurunan rasa haus pada

pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan berkumur air matang didapatkan

hasil bahwa berkumur dengan air matang dapat menurunkan rasa haus pada pasien

CKD. Lama waktu menahan rasa haus berkumur air matang rata-rata 50 menit.

Pasien yang sensitif terhadap mint dan es dapat memilih mengurangi rasa haus

dengan berkumur menggunakan air matang. Hasil penelitian menjadi rujukan

pasien hemodialisis untuk melakukan perwatan diri (self care) dalam pembatasan

intake cairan dengan pemilihan intervensi manajemen rasa haus yang tepat.

Penelitian Armiyati Y., Khiriyah & Mustofa (2019) menunjukkan hasil

mengulum es batu paling lama dalam menahan rasa haus dibandingkan dengan

berkumur air matang dan berkumur dengan obat kumur. Hal ini karena air yang

terkandung didalam es batu membantu memberikan efek dingin yang dapat

menyegarkan dan mengatasi haus sehingga pasien dapat menahan rasa haus lebih

lama. Temuan penelitian ini menunjukkan rata- rata lama waktu menahan rasa

haus responden yang diberi perlakuan mengulum es batu adalah 93 menit.

Saat kelenjar ludah gagal memberikan cairan yang cukup untuk

melembabkan mulut maka menghasilkan rasa haus. Efek pada rasa haus
138

mengubah sensasi oral. Rasa haus normalnya akan segera hilang dengan cara

minum, rasa haus juga dapat diatasi hanya dengan membasahi mulut tanpa ada air

yang tertelan. Membasahi mulut dengan berkumur dapat mengurangi rasa haus.

Berkumur menyebabkan otot-otot penguyah berkerja merangsang kelenjar parotis

yang memproduksi kelenjar saliva menjadi meningkat sehingga rasa haus

mengalami penurunan (Ardiyanti, A., Armiyati, Y., & Arif, M. S., 2015) .

Intervensi inovasi berkumur air matang dan menghisap es batu yang

bertujuan untuk mengurangi rasa haus pada pasien, dilakukan dan diobservasi

pada waktu 3 kali pertemuan. Dimana pertemuan ke-2 pada tanggal 27 Januari

2020, pertemuan ke-3 pada tanggal 14 Desember 2020 dan pertemuan ke-4 pada

tanggal 17 Desember 2020. Intervensi yang dilakukan juga baik untuk program

kesehatan mulut pasien CKD yang memiliki aroma khas amoniak serta bisa

dilakukan secara mandiri saat dirumah nanti dan di lakukan feedback saat sedang

menjalankan hemodialisis.

Hasil akhir dari penerapan intervensi inovasi kepada klien diperoleh melalui

observasi terhadap keluhan subjektif rasa haus pasien serta ada tidaknya

perubahan berat badan klien. Selain itu produksi saliva juga diobservasi lebih

lanjut untuk mengetahui apakah ada efeknya terhadap produksi saliva, serta

keadaan membran mukosa bibir pasien dengan inovasi berkumur air matang dan

menghisap es batu tersebut.


139

4.3.1 Keadaan membran mukosa bibir

Hasil observasi menunjukkan adanya perubahan setelah diberikan

intervensi berkumur air matang dan menghisap es batu. Pasien selama

diberikan intervensi selama 3x6 jam, pada pertemuan ke-2 dan ke-3 belum

menunjukkan hasil yang signifikan, pada pertemuan ke-4 menunjukkan

perubahan pada mukosa bibir pasien, yang mulanya mulut pasien terasa

kering, saat diberikan intervensi terasa segar dan mukosa bibir menjadi

lembab. Hasil wawancara yang dilakukan kepada klien setelah penerapan

kedua intervensi inovasi tersebut didapatkan hasil jika mukosa bibir klien

terasa lebih lembab setelah penerapan intervensi inovasi menghisap es batu.

Namun, klien mengatakan bahwa itu tidak berlangsung lama karena setelah

efek dingin dari es batu tersebut hilang klien merasakan mukosa bibir nya

tiba-tiba kering. hasil ini berbeda dengan penerapan intervensi berkumur air

matang. Klien mengatakan jika saat berkumur tidak ada perubahan

signifikan pada produksi saliva namun efek yang dirasakan klien setelahnya

adalah merasakan bibir yang tidak kering dalam jangka waktu yang lebih

lama dari pada intervensi inovasi menghisap es batu, khususnya setelah 2

kali intervensi yang sama diberikan kepada klien.

Hasil ini membuktikan jika menghisap es batu memberikan efek

lembab sementara pada mukosa bibir klien selama es batu yang diberikan

masih tersisa. Namun, untuk jangka panjang efek dari pemberian intervensi

inovasi berkumur air matang jauh lebih lama menjaga kelembaban mukosa

bibir klien dan produksi saliva daripada menghisap es batu. Sehingga, dapat
140

disimpulkan bahwa pemberian intervensi inovasi berkumur air matang lebih

efektif menjaga kelembaban membran mukosa bibir klien daripada

intervensi inovasi, menghisap es batu.

4.3.2 Keluhan subjektif rasa haus

Keluhan rasa haus merupakan keluhan utama yang dirasakan oleh

pasien. Karena keluhan rasa haus ini adalah salah satunya yang

menyebabkan pasien melanggar program pembatasan cairan yang

membuat ia minum berlebihan. Hasil saat dilakukan wawancara terhadap

rasa haus pasien menunjukkan perubahan yang signifikan. Pada pertemuan

ke-2 dan ke-3 pasien mengatakan bahwa mulutnya masih terasa kering dan

merasa sangat haus. Pada pertemuan ke-4 pasien mengatakan ada

perubahan terhadap rasa haus yang pasien rasakan. Pasien dan keluarga

mengatakan rasa haus pasien berkurang dan mulutnya terasa segar, terlebih

selama 3 hari pasca pertemuan ke-3 pasien dibantu keluarga benar-benar

menerapkan intervensi inovasi yang diajarkan perawat.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Suyatni, Armiyati, &

Mustofa (2016) mengenai efektivitas mengulum es batu pada pasien

hemodialisa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mengulum es

batu dapat mengurangi rasa haus pada pasien penyakit ginjal kronik karena

kandungan air di dalam es batu memberikan rasa dingin di mulut dan air

yang mencair di dalam mulut juga dapat mengurangi rasa haus yang

timbul. Potongan kecil es batu yang terbuat dari air 10 ml dikulum sampai
141

mencair, responden mengatakan merasakan sensasi dingin di dalam mulut

dan air yang mencair menyebabkan rasa haus responden berkurang.

Hasil penelitian Sujudi, Zuhri dan Kusumantoro (2014) juga

menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian terapi inovasi mengulum es

batu sebanyak 10ml terhadap penurunan keluhan rasa haus dan mulut

kering pasien CHF yang menjalani restriksi cairan di RS Dr. Kariadi

Semarang. Riset di SMC Telogorejo Semarang menunjukkan ada

perbedaan efektifitas mengunyah permen karet rendah gula dan mengulum

es batu terhadap penurunan rasa haus dimana mengulum es batu lebih

efektif dibandingkan dengan mengunyah permen karet rendah gula dengan

p value 0,000. (Arfany, Armiyati dan Kusumo, 2015)

4.3.3 Kenaikan pengukuran antropometri

Antropometri pada pasien CKD hal yang sangat penting yang harus

diperhatikan lebih lanjut. Hasil yang didapatkan saat melakukan

pengukuran pada BB dan lingkar perut pasien terjadi perubahan yang

awalnya BB meningkat ≥ 3 kg dan pada hari terakhir terjadi penurunan BB

≤ 1 kg. Pada lingkar perut pasien yang awalnya 106 cm dan pada hari

terakhir dilakukan pemeriksaan 102 cm. Hasil observasi menunjukkan

adanya perubahan pada berat badan dan lingkar perut pasien.

Intervensi yang dilakukan pada pasien Tn.JK yang mengeluhkan

sering merasa haus dan mulutnya yang terasa kering, bisa menjadikan terapi

ini sebagai terapi alternatif yang bisa digunakan secara mandiri untuk
142

mengatasinya. Implementasi terapi berkumur air matang dan menghisap es

batu terhadap penurunan rasa haus pada Tn.JK menunjukkan hasil yang

signifikan. Selama proses asuhan keperawatan 3x6 jam, intervensi ini

diberikan secara continue dan dipertahankan. Hasil intervensi yang

didapatkan pada pasien adalah meningkatnya jumlah saliva yang dapat

mengatasi mulut yang kering dan rasa haus yang berlebihan.

Hasil penelitian sebelumnya tentang efektivitas mengulum es batu dan

berkumur air matang terhadap penurunan rasa haus pasien PGK , di

dapatkan hasil bahwa mengulum es batu maupun berkumur air matang sama

efektifnya terhadap penurunan rasa haus pasien PGK (Makrumah, 2017).

Hasil penelitian Wardana (2018) menunjukkan hasil lama waktu

pasien dapat menahan rasa haus setelah menggunakan berbagai metode rasa

haus dapat menjadi alternatif pilihan intervensi yang sesuai untuk pasien.

Penelitian tersebut meneliti tentang perbedaan efektifitas lama menahan rasa

haus pada manajemen rasa haus mengulum es batu, berkumur air matang

dan berkumur dengan obat kumur. Penelitian tersebut dapat menjadi

rekomendasi bagi perawat dan pasien untuk memilih manajemen rasa haus

yang tepat.

4.4 Alternatif Pemecahan Yang Dapat Dilakukan

Penerapan intervensi inovasi untuk mengatasi keluhan yang pasien rasakan

yaitu mulut terasa kering dan rasa haus yang berlebihan, tentu akan dihadapkan

dengan masalah yang berhubungan pada es batu. Pasien yang tidak suka es batu
143

atau yang tidak tahan akan dingin, tidak bisa melakukan terapi ini. Alternatif yang

dianjurkan jika tidak bisa menghisap es batu, bisa dilakukan dengan cara

berkumur, mengunyah permen karet rendah gula dan menggunakan frozen grapes

atau buah yang dibekukan (Solomon, 2006 dalam Suyatni, Armiyati, & Mustofa,

2016).

Keterbatasan dalam penerapan intervensi tersebut sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Najikahah dan Warsono (2020) tentang

penurunan rasa haus pada pasien CKD dengan bekumur air matang. Pasien yang

sensitif terhadap mint dan es dapat memilih mengurangi rasa haus dengan

berkumur menggunakan air matang. Hasil penelitian menjadi rujukan pasien

hemodialisis untuk melakukan perwatan diri (self care) dalam pembatasan intake

cairan dengan pemilihan intervensi manajemen rasa haus yang tepat baik saat

perawatan maupun setelah di rumah.

Keterbatasan yang sering terjadi dalam penelitian manajemen rasa haus

adalah peneliti tidak menanyakan kapan terakhir pasien minum sebelum diberikan

intervensi inovasi. Meskipun peneliti sudah melakukan seleksi dengan memilih

pasien yang tinggal di dataran rendah atau dataran tinggi emua, penelitian

terkadang belum memperhatikan kondisi lingkungan sekitar tempat tinggal

responden yang bisa mempengaruhi hasil penelitian. Observasi lingkungan sekitar

pasien selama intervensi inovasi diberikan sangat penting supaya penelitian yang

dilakukan mendapatkan hasil yang lebih optimal (Khoiriyah, 2019).


144

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil intervensi dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

5.1.1 Kasus kelolaan dengan diagnosa medis Chronic Kidney Desease (CKD)

Stage V dengan penyakit penyerta adalah Hipertensi Stage III. Pasien telah

menjalankan secara rutin hemodialisis selama +/- 3 tahun. Hasil pengkajian

didapatkan diagnosa yang menjadi prioritas yaitu diagnosa kelebihan

volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori (gagal ginjal)

dengan retensi air. Masalah keperawatan kelebihan volume cairan

berhubungan dengan kelebihan asupan cairan diberikan intervensi

berdasarkan Nursing Outcomes Classification (NOC) dan Nursing

Interventions Classification (NIC) selama 3x6 jam. Tujuan yang akan

dicapai berdasarkan NOC dengan indikator intake cairan dengan skala

target outcome dipertahankan pada 2 (banyak terganggu) ditingkatkna ke

4 (sedikit terganggu). Berdasarkan tujuan yang ada diberikan tindakan

berdasarkan NIC yaitu manajemen elektrolit/cairan. Implementasi

dilakukan selama 3 kali pertemuan berdasarkan intervensi keperawatan

yang telah disusun. Kemudian di evaluasi setiap akhir pertemuan. Hasil

evaluasi didapatkan pada masalah kelebihan volume cairan berhubungan


145

dengan mekanisme regulatori (gagal ginjal) dengan retensi air belum

teratasi, karena keluhan pada kelebihan cairan pada pasien masih ada

walaupun sudah berkurang serta pasien rutin melakukan cuci darah 2 kali

seminggu.

5.1.2 Intervensi yang diberikan kepada Tn. JK adalah berkumur air matang

untuk menurunkan rasa haus yang pasien rasakan. Pertemuan ke-2 sampai

pertemuan ke-4, hasil dari observasi membran mukosa bibir terjadi

perubahan, yang sebelum diberikan terapi mukosa bibir pasien kering dan

setelah diberikan terapi mukosa bibir lembab. Hasil wawancara secara

subjektif pasien mengatakan ada perubahan, dari awalnya mulut pasien

terasa kering dan merasa haus hingga mulut terasa segar dan rasa haus

berkurang. Pada hasil pengukuran antropometri yang dilakukan, yaitu BB

dan lingkar perut pasien terjadi perubahan yang awalnya BB meningkat ≥

3 kg dan pada hari terakhir terjadi penurunan BB ≤ 1 kg. Pada lingkar perut

pasien yang awalnya 106 cm dan pada hari terakhir dilakukan pemeriksaan

102 cm.

5.1.3 Intervensi yang diberikan kepada Tn.JK adalah menghisap es batu untuk

menurunkan rasa haus yang pasien rasakan. Pertemuan ke-2 sampai

pertemuan ke-4, hasil dari observasi membran mukosa bibir terjadi

perubahan, yang sebelum diberikan terapi mukosa bibir pasien kering dan

setelah diberikan terapi mukosa bibir lembab. Hasil wawancara secara

subyektif pasien mengatakan ada perubahan, dari awalnya mulut pasien

terasa kering dan merasa haus hingga mulut terasa segar dan rasa haus
146

berkurang. Pasien juga mengatakan jika intervensi inovasi mengulum es

batu dirasakan lebih efektif mengurangi rasa haus dari pada berkumur air

matang. Pada hasil pengukuran antropometri yang dilakukan, yaitu BB dan

lingkar perut pasien terjadi perubahan yang awalnya BB meningkat ≥ 3 kg

dan pada hari terakhir terjadi penurunan BB ≤ 1 kg. Pada lingkar perut

pasien yang awalnya 106 cm dan pada hari terakhir dilakukan pemeriksaan

102 cm. Kemudian jumlah produksi saliva pasien mengalami peningkatan,

dimana bertambah +/_ 4 cc dari sebelum diberikan intervensi.

5.2 Saran

5.2.1 Institusi akademik

Institusi akademik diharapkan lebih banyak memberikan referensi

tentang aplikasi tindakan-tindakan intervensi inovasi seperti berkumur air

matang dan menghisap es batu pada kasus tertentu seperti penyakit dengan

Chronic Kidney Desease (CKD), sehingga mahasiswa mampu

meningkatkan cara berpikir kritis dalam menerapkan intervensi yang

dilakukan secara mandiri sesuai bidang keperawatan dan jurnal-jurnal

penelitian terbaru.

5.2.2 Perawat

Perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan secara maksimal,

baik dari segi edukasi maupun intervensi, sehingga mampu meningkatkan

kualitas hidup untuk terhindar dari kelebihan volume caira pada pasien

Chronic Kidney Desease (CKD). Hasil penelitian ini juga dapat digunakan
147

acuan penyusunan standar operasional prosedur manajemen rasa haus

pasien CKD yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian ini juga dapat

dapat dijadikan sebagai rekomendasi pada pasien CKD yang menjalani

hemodialisis. Perawat/ praktisi dapat memilih penggunaan inovasi

intervensi baik dengan berkumur air matang maupun menghisap es batu

untuk manajemen rasa haus dengan asumsi pasien tidak mengalami sensitif

terhadap es batu.

5.2.3 Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan

dengan cara memodifikasi intervensi yang sudah ada dengan yang baru,

sehingga dapat diberikan pada pasien Chronic Kidney Desease (CKD)

yang mempunyai keluhan rasa haus yang sedang menjalani hemodialisis.


148

Daftar Pustaka

Aisara S., Azmi S. & Yanni M. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas: Volume 7 Nomor 1 (halaman 43-50).

Arfany. 2015. Efektifitas Mengunyah Permen Karet Rendah Gula Dan Mengulum Es Batu
Terhadap Penurunan Rasa Haus Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal.
STIKES Telogorejo Semarang. Dalam
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/
index.php/ilmukeperawatan/article/view/276. Diakses pada tanggal 3
Desember 2020 Pukul 00.20 WIT

Armiyati Y., Khoiriyah & Mustofa A., 2019. Optimizing of Thirst Management on CKD
Patients Undergoing Hemodialysis by Sipping Ice Cube. Media
Keperawatan Indonesia : Volume 2 Nomor 1, Februari 2019 (halaman
38-48).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Hasil


Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf

Fida, Husain & Silvitasari. 2020. Management Keperawatan Mengurangi Rasa Haus Pada
Pasien Dengan Chronic Kidney Disease : Literature Review. Jurnal
Ilmiah Kesehatan : 12-19.

Fransisca, dkk. 2011. 24 Penyebab Gagal Ginjal Rusak. Jakarta: Penerbit Cerdas
Sehat.

Fransiska, Kristina. 2013. Dialife: Berat interdialisis. Edisi Juli-Agustus 2013. Buletin
Informasi Kesehatan Ginjal. www.burungmanyar.nl. Diakses pada
tanggal 3 Desember 2020 Pukul 22.10 WIT.

Indonesian Renal Registry (IRR). 9th Report Of Indonesian Renal Registry 2016.
Perkumpulan Nefrologi Indonesia; 2016. Halaman 1-46.

Kamasita, Suryono, Nurdian Y., Hermansyah, Junaidi & Fatekurohman. 2018. Pengaruh
Hemodialisis Terhadap Kinetik Segmen ventrikel Kiri Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Stadium V. NurseLine Journal: Volume 3
Nomor 1, Mei 2018 (halaman 10-19).

Kidney International Supplements. 2011. Chapter 1: Definition and classification


of CKD. Kidney Int Suppl. 2014. Volume 3 Nomor 1 (halaman
19-62)
149

Kusuma H. & Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta :
Penerbit Mediaction Jogja.

Makrumah, Nala. 2017. Efektifitas mengulum Es Batu dan Berkumur Air Matang Terhadap
Lama Waktu Menahan Haus Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RS
Roemani Muhammadiyah Semarang. Repository Unimus: 13 Juli 2017.

Najikhah & Warsono. 2020. Penurunan rasa Haus Pada Pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) Dengan Berkumur Air Matang. Jurnal Unimus – Ners Muda:
Volume 1 Nomor 2, Agustus 2020 (halaman 108-113).

Nanda. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nawatriaji B. & Santoso D. 2018. Analisis Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien
Chronic Kidney Disease di Ruang Hemodialisa RS PKU
Muhammadiyah Gombong. Repository Ners Profession Of Nursing
Program Muhammadiyah Health Science Institute Of Gombong, Mei
2018.

Prajayanti E. D. & Sari. 2018. Pojok Baca (Balance Cairan) untuk Survivor Hemodialisis.
Gemassika: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Volume 2 Nomor
2, November 2018 (halaman 136-144).

Price, S.A., & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Alih bahasa, Brahm U. Pendit....(et. al). Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Smeltzer & Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8 Volume 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Sulistyaningsih, D. R. 2014. Hubungan Tingkat Stres dengan Kualitas Hidup Pasien


Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Semarang. Diakses pada tanggal 3 Desember 2020,
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/jikk/article/view/317

Tuloli T. S., Madania, Mustapa M. A. & Tuli E. 2019. Evaluasi Penggunaan Obat Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD
Toto Kabila periode 2017-2018. E-Journal Poltekkes Tegal: Volume 8
Nomor 2, Juni 2019 (halaman 25-32).
U S Renal Data System, USRDS. 2017. Annual data report: Atlas of chronic kidney
disease and end-stage renal disease in the United States. National
Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases: Bethesda, MD. http://www.usrds.org –
Diakses Desember 2020.

Wardana W. & Ismahmudi. 2018. Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada pasien CKD
150

(Chronic Kidney Disease) dengan Intervensi Inovasi Terapi Rendam


Kaki Air Hangat Terhadap Tingkat Kelelahan di Ruang Hemodialisa
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2018. Repository
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Widiani, Helen. 2020. Penyakit Ginjal Kronik Stadium V Akibat Nefrolitiasis. Intisari
Sains Medis: Volume 11 Nomor 1, Februari 2020 (halaman 160-164).

Wijayanti W., Isroin L. & Purwanti. 2017. Analisis Perilaku Pasien Hemodialisis dalam
Pengontrolan Cairan Tubuh. Indonesian Journal for Health Sciences
(IJHS): Volume 1 Nomor 1, Maret 2017 (halaman 10-16).

Wiliyanarti P. F. & Muhith. 2019. Life Experience of Chronic Kidney Disease Undergoing
Hemodialysis Theraphy. Nurse Line Journal: Volume 4 Nomor 1, Mei
2019 (halaman 54-60)..

World Health Organization (WHO). 2010. Why Urban Health Matters.


Diakses dari: http://www.who.int/world-
healthday/2010/media/whd2010background.pdf
151

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS CENDERAWASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Kampus UNCEN Abepura. Jln. Raya Sentani – Abepura, Jayapura 99351; Telp/Fax. (0967) 584764

LAPORAN KEGIATAN PEMBIMBINGAN KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIAN) PROFESI NERS SEMESTER GENAP T.A 2019/2020

NAMA HARI TANGGAL WAKTU NAMA JUDUL TOPIK KET. PARAF (CI) FOTO KEGIATAN
DOSEN MAHASISWA KASUS PEMBAHASAN
PEMBIMBING

Hotnida Erlin Senin 7 s/d 8 16.00 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Mekanisme
Situmorang, Selasa Desember Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Bimbingan dan
S.Kep., Ns., M.Ng 2020 Pasien CKD dengan Penyusunan KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Hotnida Erlin Rabu 9 Desember 17.38 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Judul Utama
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020
152

Hotnida Erlin Sabtu 12 Desember 08.26 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan BAB I KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Hotnida Erlin Rabu 16 Desember 11.57 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan BAB II KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Hotnida Erlin Rabu 23 Desember 15.18 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan BAB III KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020
153

Hotnida Erlin Minggu 27 Desember 05.00 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan BAB IV & V
Intervensi Inovasi KIAN
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Hotnida Erlin Selasa 29 Desember 19.01 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
Situmorang, 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Revisi Akhir
S.Kep., Ns., M.Ng Pasien CKD dengan KIAN dan
Intervensi Inovasi Cover KIAN
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020
154

Angela L. Thome, Senin 7 s/d 8 16.00 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Mekanisme
S.Kep., Ns., Selasa Desember Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Bimbingan dan
M.Kep 2020 Pasien CKD dengan Penyusunan
Intervensi Inovasi KIAN
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Angela L. Thome, Rabu 9 Desember 16.57 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Judul Utama
M.Kep Pasien CKD dengan KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Angela L. Thome, Sabtu 12 Desember 08.26 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
M.Kep Pasien CKD dengan BAB I KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020
155

Angela L. Thome, Jum’at 25 Desember 11.11 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
M.Kep Pasien CKD dengan BAB II KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Angela L. Thome, Jum’at 25 Desember 12.16 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
M.Kep Pasien CKD dengan BAB III KIAN
Intervensi Inovasi
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Angela L. Thome, Selasa 29 Desember 22.40 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Penyusunan
M.Kep Pasien CKD dengan BAB IV & V
Intervensi Inovasi KIAN
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020
156

Angela L. Thome, Sabtu 2 Januari 21.47 WIT Yudi Hadi Analisis Praktik Klinik Bimbingan
S.Kep., Ns., 2020 Prayitno, S.Kep Keperawatan Pada Revisi Akhir
M.Kep Pasien CKD dengan KIAN dan
Intervensi Inovasi Cover KIAN
Berkumur Air Matang
dan Menghisap Es Batu
Terhadap Penurunan
Rasa Haus di Ruang
Hemodialisa RSUD
Jayapura Tahun 2020

Jayapura, Januari 2021


Ka. Prodi Profesi Ners

Juliawati, S.Kp., M.Kep.,Sp.Kep.An


NIP.19710712 2009122 001
157

Anda mungkin juga menyukai