Anda di halaman 1dari 8

Modul 4

Hukum Administrasi Negara

Secara umum, barang adalah bagian dari kekayaan yang merupakan satuan tertentu
yang dapat dinilai/dihitung/diukur/ditimbang dan dinilai, tidak termasuk uang dan surat
berharga. Pengertian akan barang milik negara diatur dalam ketentuan PP No 6 Tahun 2006 yang
pada ketentuan umumnya sebagai berikut.

Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Sementara itu, barang milik daerah adalah yang pengadaannya
dibiayai oleh anggaran pemerintah daerah (APBD). Pada dasarnya, barang milik negara dapat
diklasifikasikan dalam dua jenis utama:

1. benda privat atau privatedomain,

2. benda publik atau publicdomain.

Benda privat atau private domain adalah barang-barang milik negara yang pemanfaatannya hanya
untuk peningkatan pegawai. Contohnya adalah mobil dinas pegawai. Barang-barang, seperti rumah
dinas atau mobil dinas, diberikan kepada aparat sebagai fasilitas khusus. Dengan demikian,
masyarakat umum tidak bisa menikmati barang milik negara tersebut.

Barang atau benda public domain merupakan benda atau barang milik negara yang digunakan
untuk kepentingan umum. Artinya, masyarakat umum dapat memanfaatkan atau
menggunakan barang publik tersebut, seperti jalan raya, jembatan, gedung-gedung
pemerintahan, jaringan-jaringan listrik, ataupun bentuk-bentuk barang dinas yang digunakan oleh
umum, tanpa memerlukan izin.

B. PENGADAAN BARANG MILIK NEGARA

Secara umum, pengadaan barang milik negara pada saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010. Pengadaan barang dan jasa ini dibagi dalam dua kelompok besar:

1.pengadaan barang dan jasa secara swakelola,

2.pengadaan barang dan jasa melalui pemilihan penyedia barang/jasa.

Pengadaan barang dan jasa secara swakelola, menurut ketentuan umum, PP Nomor 54 Tahun 2010
dimaksudkan sebagai pengadaan barang/jasa.

Sementara itu, pengadaan barang dan jasa melalui pemilihan penyedia barang dan jasa
dikelompokkan dalam lima metode pengadaan yang meliputi:

1.pelelangan umum,
2.pelelangan terbatas,

3.pemilihan langsung,

4.penunjukan langsung,

5.pengadaan barang dalam rangka bencana alam.

C. PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA

Secara umum, pengelolaan barang tidak diatur dalam ketentuan yang ada. Oleh karena itu,
pengertian mengenai pengelolaan barang milik negara justru tecermin dari wewenang dan tanggung
jawab pejabat pengelola, seperti menteri keuangan selaku bendahara umum negara atau pengelola
barang milik negara. Ia selaku pengelola BMN berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2006 mempunyai
tanggung jawab dan wewenang sebagai berikut.

1.Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan barang milik


negara.

2.Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik negara.

3.Menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik negara: Peraturan Menteri
Keuangan RI Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

.....DLL

D. TATA CARA PELAKSANAAN PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA

Tahapan proses penatausahaan penetapan penggunaan BMN ataupun BMD dapat dibagi dalam
jenjang:

1.tahap persiapan,

2.tahap pengajuan usul,

3.tahap penetapan status penggunaan,

4.tahap pendaftaran, pencatatan, dan penyimpanan dokumen.

Tahap persiapan ditandai dengan kegiatan dari pihak pengguna atau kuasa pengguna barang untuk
menyelesaikan segala dokumen yang berkaitan dengan tanah, seperti IMB atau sertifikat
kepemilikan tanah tersebut. Penyelesaian dokumen yang berkaitan dengan tanah tersebut
sangat dibutuhkan guna menjadi dasar pengajuan penentuan status penggunaan tanah yang
diajukan kepada pengelola barang.
Tahap pengajuan usulan dilakukan oleh kuasa pengguna barang dengan mengirim
permohonan/usulan kepada pihak pengguna barang. Pengajuan permohonan ini dilampiri
dokumen asli kepemilikan ataupun IMB. Kemudian, oleh pengguna barang usulan tersebut paling
lambat satu bulan diteruskan kepada pihak pengelola barang. Tahap selanjutnya adalah tahap
penetapan usulan yang dilakukan oleh Pengelola dengan membuat surat penetapan penggunaan
barang. Setelah ditetapkannya penggunaan barang, tahap selanjutnya adalah tahap pendaftaran.
Pihak pengelola barang akan mendaftar barang tersebut dalam daftar barang milik negara serta
menyimpan dokumen aslinya. Sementara itu, pihak pengguna barang mencatatnya dalam daftar barang
milik negara yang ada pada pengguna barang dan menyimpansalinan dari dokumen yang berkait
dengan BMN tersebut. Demikian juga yang dilakukan oleh kuasa pengguna barang.

Untuk selanjutnya, tahap-tahap prosedur penetapan penggunaan barangmilik negara, selain tanah
dan bangunan, ataupun yang berkaitan dengan BMN yang penggunaannya ada pada pihak lain
diatur dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan RI No 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

E. PENGHAPUSAN

Untuk menghadapi kondisi penurunan potensi kemanfaatan yang ada pada barang; pihak
pengelola, pengguna, ataupun kuasa atas barang milik negara melakukan penghapusan barang milik
negara.

Dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata


Cara Pelaksanaan Penggunaan Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara, istilah penghapusan barang milik negara diartikan sebagai berikut.

Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara dari daftar barang dengan
menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna barang
dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi dan
fisik barang yang berada dalam penguasaannya.

Tidak semua barang milik negara dapat dihapuskan begitu saja tanpa alasan yang dibenarkan.
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar penghapusan suatu barang milik negara
berdasarkan ketentuan di atas sebagai berikut.

1.Memenuhi persyaratan teknis.

2.Memenuhi persyaratan ekonomis.

3.Barang hilang, kondisi kekurangan perbendaharaan, atau kerugian karena kematian hewan atau
tanaman.

Adapun tahap-tahap dari prosedur penghapusan barang milik negara secara umum terbagi dalam
tiga tahap utama:
1.tahap persiapan penghapusan BMN,

2.tahap peghapusan BMN,

3.tahap pelaporan penghapusan BMN.

KB 2

Dalam pengelolaan barang atau benda milik negara, dibedakan pola utilitas terhadap barang milik
negara menjadi dua hal:

1)penggunaan,

2)pemanfaatan milik negara.

Dalam penggunaan barang, pengguna adalah lembaga negara dan digunakan untuk menjalankan
fungsi dan tugas lembaga negara tersebut. Untuk pemanfaatan barang milik negara, pemanfaatannya
dilakukan diluar tugas pokok fungsi kementerian ataupun lembaga negara tersebut.
Dalam pemanfaatan barang milik negara, pemakainya bisa dilakukan pihak ketiga yang
bukan pengguna barang, yakni pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara.
Tentu saja hal itu diperkenankan sepanjang pemanfaatan oleh pihak ketiga tidak mengubah
status kepemilikan barang milik negara tersebut.

Dalam pemanfaatan barang milik negara yang digunakan oleh pihak ketiga, ada beberapa pola yang
dapat digunakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 96/PMK.06/2007:

1)sewa;

2)pinjam pakai;

3)kerja sama pemanfaatan;

4)bangun guna serah dan bangun serah guna.

Dalam pemanfaatan barang milik negara, ditentukan bahwa apabila BMN tersebut bukan berupa tanah
atau bangunan, pemanfaatannya harus dilakukan oleh pengelola barang, yakni pejabat yang
berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan
barang milik negara. Untuk barang milik negara yang bukan berbentuk tanah atau bangunan,
pemanfaatannya dilakukan oleh pengguna barang, tetapi dilakukan dengan persetujuan dari
pengelola barang.

A. Sewa Barang Milik Negara

Dalam pengelolaan barang atau benda milik negara, salah satu tujuannya adalah upaya agar
barang atau benda milik negara dapat bermanfaat sebesar mungkin, baik bagi negara maupun bagi
masyarakat yang memerlukannya. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan kemanfaatan
barang atau benda milik negara dilakukan dengan mempersilakan pihak ketiga turut
memanfaatkan dengan cara menyewa.Pengertian penyewaan dalam Peraturan Menteri Keuangan RI
Nomor 96/PMK.06/2007 diartikan sebagai berikut.

Sewa adalah pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan uang tunai.

Dalam proses persewaan barang milik negara, pihak penyewa BMN tersebut dapat berasal dari berbagai
pihak seperti:

1)badan usaha milik negara;

2)badan usaha milik daerah;

3)badan hukum lainnya;

4)perorangan.
Persewaan barang milik negara secara umum juga dibedakan dari barang yang akan disewakan,
yang dalam ketentuan positif dibagi dalam tiga kelompok barang:

1)penyewaan tanah atau bangunan oleh pengelola barang,

2)penyewaan sebagian tanah atau bangunan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang,

3)penyewaan barang milik negara, selain tanah atau bangunan oleh pengguna barang.

B. Pinjam Pakai Barang Milik Negara Dalam mengoptimalkan kemanfatan barang milik negara,
dapat dilakukan model pemanfaatan barang milik negara, selain sewa, yaknimenggunakan pinjam
pakai. Pengertian pinjam pakai, menurut Lampiran III PMK No 96/PMK.06 /2007, dinyatakan sebagai
berikut.

Pinjam pakai barang milik negara adalah penyerahan penggunaan barang milik negara antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu, tanpa menerima imbalan.
Setelah jangka waktu berakhir, barang milik negara tersebut diserahkan kembali kepada
pemerintah pusat.

Tidaklah semua BMN dapat dijadikan objek pinjam pakai, baik yang dilakukan oleh pengelola
BMN maupun pengguna barang. Untuk menentukan apakah suatu barang itu dapat menjadi objek
pinjam pakai atau tidak, dalam Lampiran III PMK Nomor 096/PMK.06/2007, telah ditetapkan
parameter yang harus dipenuhi BMN yang dapat dijadikan objek pinjam pakai.

Selama proses pinjam pakai, pihak peminjam wajib mengelola tanah atau bangunan yang
dipinjampakaikan. Hal tersebut harus digunakan sebaik-baiknya dan digunakan sesuai peruntukan
dalam perjanjian pinjam pakai dan tidak diperkenankan mengubah, baik menambah maupun
mengurangi bentuk bangunan. Pengeluaran untuk pembiayaan pemeliharaan dan segala biaya
yang timbul selama masa pelaksanaan pinjam pakai menjadi tanggung jawab peminjam.

Prosedur untuk melakukan perjanjian pinjam pakai tidak jauh berbeda dengan prosedur yang
harus dilalui dalam pemanfaatan BMN yang menggunakan model sewa-menyewa. Pada tahap
awal, harus dibedakan terlebih dulu praktik pinjam pakai dalam dua jenis:

1)pinjam pakai yang dilakukan oleh pengelola barang,

2)pinjam pakai BMN yang dilakukan oleh pihak pengguna barang.

C. Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara


Pola lain pemanfaatan barang milik negara dapat pula dilakukan melalui model kerja sama
pemanfaatan barang milik negara. Pengertian kerja sama pemanfaatan barang milik negara,
menurut Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, sebagai berikut.

Pendayagunaan barang milik negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.

Dalam pemanfaatan barang melalui kesepakatan kerja sama, menurut Lampiran IV


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, subjek-subjek perjanjian yang
terlibat dapat dikelompokkan berdasarkan objek barang yang ada dalam perjanjian tersebut.
Adapun pihak yang berwenang dan dapat melakukan perjanjian kerja sama sebagai berikut.

1)Pengelola barang untuk objek adalah tanah atau bangunan yang kewenangannya ada pada
pengelola barang.

2)Pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang

a)Sebagian tanah atau bangunan yang berlebih dari tanah atau bangunan yang sudah digunakan
oleh pengguna barang dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya.

b)Barang milik negara, selain tanah atau bangunan.

Sementara itu, pihak ketiga yang dapat dijadikan mitra dalam perjanjian kerja sama
pemanfaatan barang milik negara:

1)badan usaha milik negara (BUMN),

2)badan usaha milik daerah (BUMD),

3)badan hukum lainnya.

Berbeda dengan perjanjian sewa-menyewa barang milik negara, yaitu penyewa hanya membayar
biaya sewa atas barang milik negara, dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan, pihak mitra
kerja sama diwajibkan untuk membayar kewajiban-kewajiban selama jangka waktu perjanjian:

1)biaya kontribusi tetap,

2)pembagian keuntungan hasil pendapatan kerja sama pemanfaatan barang milik negara.

Prosedur yang ditempuh dalam rangka mempersiapkan perjanjian kerja sama pemanfaatan barang milik
negara dibedakan berdasarkan kewenangan atas BMN yang akan dijadikan objek dalam perjanjian kerja
sama pemanfaatan.

D. Kerja Sama Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna


Dalam proses pemerintahan sehari-hari, terkadang terdapat kebutuhan sarana prasarana
gedung/bangunan yang seharusnya didirikan. Akan tetapi, karena keterbatasan anggaran atau
ketiadaan anggaran untuk hal tersebut, pemerintah atas pertimbangan tersebut dalam upaya
mengoptimalkan fungsi dan manfaat barang milik negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah
pusat, terdapat model pemanfaatan BMN, khususnya yang berbentuk tanah ataupun lahan
bangunan dalam bentuk:

1.bangun guna serah (BGS),

2.bangun serah guna (BSG).

Bangun guna serah dalam Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 diartikan
sebagai berikut.

Pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau
sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu
tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah serta bangunan dan/atau sarana,
berikut fasilitasnya diserahkan kembali kepada pengelola barang setelah berakhirnya jangka waktu.

Sementara itu, untuk model bangun serah guna, menurut LampiranV Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 diartikan sebagai berikut. Pemanfaatan tanah milik
pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya
dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada pengelola barang untuk kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut selama jangka waktu yang disepakati.

Prosedur atau tata cara pelaksanaan BGS ataupun BGS, menurut Lampiran 5 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, dibedakan pada siapa pengelolaan tanah itu berada:

1.prosedur BGS atupun BSG atas tanah yang ada pada pengelola barang,

2.prosedur BGS ataupun BSG atas tanah yang ada pada pengguna barang.

Anda mungkin juga menyukai