Anda di halaman 1dari 19

Nama :Yozen Fahrozi

Npm:

Kls

Prodi

Mk

PENDAHULUAN

A. Landasan Hukum dan Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu komponen kurikulum nasional
yang wajib ada pada setiap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Saat ini, setidaknya ketika buku ini
disusun, landasan hukum dari PKn ialah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya pasal 37 ayat (2), di mana disebutkan bahwa isi kurikulum setiap jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan tinggi wajib memuat (a) Pendidikan Agama; (b) Pendidikan
Kewarganegaraan; dan (c) Bahasa. Di samping itu landasan hukum setingkat di bawahnya adalah salah
satunya Keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 tentang Rambu-Rambu Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.

Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan dalam mata kuliah yang ada di Perguruan Tinggi
terkelompokan pada Mata Kuliah Umum (MKU) yang wajib bagi para mahasiswa untuk mengambilnya.
Dalam kurikulum 2004, kurikulum yang berbasis kompetensi, mata kuliah tersebut menjadi mata kuliah
inti (bukan mata kuliah intutisional) dan terkelompokan pada Mata Kuliah Kompetensi Dasar (MKKD²).

Pertanyaannya mengapa Pendidikan kewarganegaraan menjadi mata kuliah into atau wajib? Terdapat
banyak penjelasan dari pertanyaan ini, di

Sebelum ada perubahan, dasar hukum yang digunakan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional.


Di samping MKKD, kelompok mata kuliah lainnya yang terdapat pada setiap perguruan tingg

besarkan kurikulum 2004 adalah Mata Kuliah Kompetensi Utama (MIKU), Mata Kuliah Kompetensi

Pendukung (MKKP), dan Mata Kuliah Kompetensi Lainnya (MKKL).

antaranya adalah menyangkut perspektif arah, fungsi, tujuan dan prinsi pendidikan nasional. Mengenai
arah disebutkan bahwa "pendidika nasional kita diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat
dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan
masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan Pembangunan Nasional dan bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa."

Sedangkan fungsi dan tujuannya disebutkan bahwa "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab."

Adapun prinsip pendidikan nasional, di antaranya, adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskr minatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan.
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggaraka sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dan pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran.

Salah satu implementasi dari arah, fungsi, tujuan dan prinsip pendidikan nasional di atas adalah melalui
mata pelajaran atau mati kuliah pendidikan kewarganegaraan, di mana kehidupan civitas perguruan
tinggi, khususnya civitas kalangan mahasiswa, dikembangkan menjad lingkungan ilmiah yang dinamis,
berwawasan budaya bangsa, bermora keagamaan, dan berkarakter atau berkepribadian Indonesia. Di
titik ini kit bisa memahami bahwa dasar pemikiran dari pendidikan kewarganegaraa adalah arah, fungsi,
tujuan, dan prinsip pendidikan nasional itu sendiri
Bila dilihat dari sisi sejarah perkembangannya, Pendidikan Kewarg negaraan senantiasa mengalami
dinamika, baik dinamika dalam mater dan kurikulum, maupun dinamika dalam hal penyebutan. Misalny

35. Sumarsono dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 5 UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

5 Ibid, pasal 4.

dalam kurikulum 1994 mata kuliah ini hadir dengan sebutan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan atau dikenal dengan mata kuliah PPKn dan sebelumnya bernama Mata Kuliah
Kewiraan. Kemudian pasca diberlakukannya kurikulum tahun 2000 mata kuliah tersebut mengalami
revitalisasi dengan sebuatan Pendidikan Kewarganegaraan.

Pendidikan kewiraan sebagai cikal bakal dari PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan Menhankam
tahun 1973, pada awal penye lenggaraannya merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur
pengajaran khusus di perguruan tinggi.

Kemudian berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Pertahanan dan
Keamanan Negara ditentukan bahwa: 1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada tingkat
perguruan tinggi, merupakan bagian tidak terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan
Nasional. Dan 2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara).

Selanjutnya berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa: 1)
Pendidikan Kewiraan bagi PT adalah bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan. Dan 2) Termasuk isi
kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Berikutnya dalam SK Dirjen tahun 1993
Pendidikan Kewiraan ditegaskan masuk dalam kurikulum Mata Kuliah Dasar Umum bersama-sama
dengan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan IBD sifatnya wajib.

Pada perkembangan kemudian, melalui Keputusan Mendikbud tahun 1994, Pendidikan


Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata Kuliah Umum bersama-sama dengan Pendidikan Agama,
dan Pendidikan Pancasila. Ditambah Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kurikulum nasional wajib
diikuti seluruh mahasiswa.
Pada tahun 1997, melalui Keputusan Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 ditentukan bahwa: 1) Pendidikan
Kewiraan termasuk dalam muatan PKn, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan

4 Bila merujuk lebih jauh lagi pada tahun 1957-an, mata kuliah di atas senantiasa mengalami dinamika
penyebuatan atau peristilahan. Tidak hanya berputar pada penyebutan PKR, PPKn dan Kewiraan Hal
demikian itu seiring dengan perubahan dan perkembangan semangat politik dari satu era ke eva l yakni
1. Civic (1957-1962): 2. Manipol dan USDEK, Pancasila, UUD 1945 (1960-an): 3 Pendidikan
kemasyarakatan (1964); 4. Pendidikan Kewarganegaraan (1968-1969): 5. Pendbdikan Civic dan Huk
(1973): 6. Pendidikan Moral Pancasila/PMP (1975-1984); 7. Filsafat Pancasila (1970-an) Pr (1994); 9.
Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an); 10. Pendidikan Kewarganegaraan (2000 sampa sekarang).

dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum inti. Dan 2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib
untuk ditempuh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi.

Fase berikutnya yang krusial dari mata kuliah di atas adalah ketika fase memasuki era Reformasi. Di
mana dengan keluarnya Keputusan Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000 tentang
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Pendidikan
Kewarganegraan mencakup materi kewiraan dan merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum inti perguruan tinggi di Indonesia. Lalu masih
disebutkan juga bahwa Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk ditempuh setiap
mahasiswa pada PT untuk program diploma III, dan strata 1.

Dalam tahun yang sama keluar Keputusan Dirjen Dikti No. 267/ Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, yang
menentukan antara lain: Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari MPK. MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti perguruan tinggi di Indonesia. Mata
Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi untuk program
Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.

Di penghujung tahun 2000 pemerintah melalui menteri pendidikan nasional mengeluarkan Keputusan
Mendiknas No. 232/U/2000 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa. Dalam peraturan tersebut dijelaskan lebih jauh bahwa:

1. Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma, terdiri atas: a) Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) b) Kelompok Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK)
c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) e)
Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat (MKB).

2. MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengem bangkan manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan
mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

B. Definisi Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk menjelaskan apa itu pendidikan kewarganegaraan, dimulai terlebih dahulu dari ulasan ringkas
mengenai pengertian pendidikan dan kewarganegraan. Kewarganegraan adalah segala hal yang terkait
dengan warga Negara suatu Negara. Adapun pengertian pendidikan sangat beraneka ragam. Di
masyarakat awam, istilah pendidikan seringkali disamamaknakan dengan istilah pengajaran dan
pembelajaran. Padahal dalam tradisi akademis, ketiga istilah itu berbeda makna, khususnya perbedaan
dalam cakupan.

Pengajaran dan pembelajaran adalah salah satu saja dari metode pendidikan. Jadi pendidikan maknanya
lebih luas dari pengajaran dan pembelajaran. Di sini pengajaran adalah proses transfer informasi dari
pendidik pada peserta didik untuk memberikan pengetahuan. Dan pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No. 20 tahun 2003
Pasal 1).

Sementara itu pendidikan bermakna atau memiliki batasan yang luas. Di antaranya pendidikan
didefinisikan, pertama, usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (UU No. 2 tahun 1989). Kedua,
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (UU No. 20 tahun 2003).

Dan ketiga, proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Buku Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2002).
Untuk lebih jauhnya, konsep kewarganegaraan ini akan dijelaskan pada bagian tersendiri dari buku ini,
yaitu bab kewarganegraan.

yang terorganisasi (seperti organisasi sosial, politik, profesi); (b) individu individu dengan Negara.

Batasan lain disampaikan oleh Edmonson (1958), yaitu: civics is usually defined as the study of
government and of citizenship, that is, of the duties, right and privileges of citizenship. Di sini civics
didefinisikan sebagai studi pemerintahan dan kewarganegaraan, khususnya terkait dengan kewajiban,
hak, dan hak istimewa antara keduanya. Dalam hal kaitannya sebagai sebuah studi pemerintahan, civics
oleh para ahli acapkali disebut sebagai cabang ilmu politik. Hal itu setidaknya dapat dibaca dalam buku
Dictionary of Education, dimana Civics (is) the elements of political science or that branch of political
science dealing with the rights and duties of citizens.

Kedua, citizenship, yakni istilah yang hampir sama maknanya dengan civics. Istilah citizenship ini oleh
Stanley E. Dimond dijelaskan bahwa citizenship as it relates to school activities has two-fold meaning. In
a narrow sense, citizenship includes only legal status in country and the activities closely related to the
political function-voting, goverenmental organization, holding of office, and legal right and
responsibility.

Dan ketiga, civic education atau banyak juga yang menyebut citizenship education memiliki dua
terjemahan utama (bahasa Indonesia), yakni pendidikan kewargaan dan pendidikan kewarganegaraan.
Terjemahan pendidikan kewargaan dipegang dan dikembangkan oleh Tim Indonesian Center for Civic
Education (ICCE) UIN Jakarta dan Azyumardi Azra. Sedangkan terjemahan pendidikan kewarganegaraan
dipegang dan dikembangkan oleh Tim Center Indonesian for Civic Education (CICED). Zamroni,
Muhammad Numan Soemantri, dan lain-lain.

Dari satu sisi sebenarnya secara kasat mata kita bisa melihat bahwa tidak ada perbedaan antara kedua
terjemahan di atas. Namun bila dilihat lagi dari sisi lainnya, jelas kita dapat menangkap subtansi
perbedaan dari munculnya dualisme terjemaah tersebut. Di antara subtansi itu adalah bahwa
pendidikan kewargaan lebih berorientasi liberal-global, yakni di mana peserta didik lebih dipersiapkan
bukan hanya sekedar sebagai warga Negara tetapi lebih jauhnya dipersiapkan lagi sebagai warga dunia
atau global society. Sementara itu pendidikan kewarganegaraan berorientasi
Muhammad Numan Sumantri, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung. PT Rosda Karya,
2001. hlm. 281. Lihat juga Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta dan Prenada Media, 2003, hlm. 5.

Dengan demikian kata pendidikan dapat juga didefinisikan sebagai proses pendewasaan seseorang atau
sekelompok orang dengan usaha sadar melalui pengajaran dan pelatihan sehingga terjadi perubahan
pada seseorang atau sekelompok orang tersebut dalam hal pengetahuan, orientasi, dan perilaku yang
bersifat kritis dan emansipatoris.

Di samping itu pendidikan juga dapat diartikan segala proses perubahan sikap dan prilaku individu atau
kelompok individu melalui pengayaan pengetahuan dan penguatan kesadaran. Dari titik ini dapat
dijelaskan juga bahwa pendidikan hanya akan dapat memberi pengaruh berupa perubahan atau
pendewasaan sikap dan perilaku bagi peserta didik ketika segala pengetahuan yang didapatkan pada
proses pendidikan tersebut berubah menjadi kesadaran.

Pendidikan yang berujung pada perubahan sikap dan perilaku yang bersifat emansifatoris seperti
digambarkan di atas adalah pendidikan kritis atau pendidikan yang berparadigma kritis. Di sini
pendidikan kritis memaknai pendidikan sebagai upaya reflektif kritis terhadap "the dominant ideology"
ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis bukan pendidikan yang mengambil jarak dengan
masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan masyarakat dan tidak netral, namun memihak
masyarakat, misalnya, masyarakat du'afa dan mustad'afin.

Bertolak dari batasan-batasan pendidikan di atas, maka di sini pendidikan kewarganegraan dapat
didefinisikan sebagai proses pen dewasaan bagi warga Negara dengan usaha sadar dan terencana
melalu pengajaran dan pelatihan sehingga terjadi perubahan pada warga negar tersebut dalam hal
pengetahuan, sikap dan perilaku yang bersifat kriti dan emansipatoris.

Dalam perkembangan Pendidikan Kewarganegraan selanjutnya. perguruan tinggi, setidaknya ada 4


konsep kunci yang terkait langsu dengan perkembangan atau dinamika definisi pendidikan kewarg
negaraan, yakni Civics, Civic Education, Citizenship, dan Citizensi Education. Pertama, civics oleh Henry
Randall Waite didefinisik sebagai The science of citizenship, the relation of man, the individual, man in
organized collections, the individual in his relation to the state sini batasan civics adalah ilmu
kewarganegaraan yang membicara hubungan manusia dengan (a) manusia dalam perkumpulan-
perkumpulan

yang terorganisasi (seperti organisasi sosial, politik, profesi); (b) individu individu dengan Negara."
Batasan lain disampaikan oleh Edmonson (1958), yaitu: civics is usually defined as the study of
government and of citizenship, that is, of the duties, right and privileges of citizenship. Di sini civics
didefinisikan sebagai studi pemerintahan dan kewarganegaraan, khususnya terkait dengan kewajiban,
hak, dan hak istimewa antara keduanya. Dalam hal kaitannya sebagai sebuah studi pemerintahan, civics
oleh para ahli acapkali disebut sebagai cabang ilmu politik. Hal itu setidaknya dapat dibaca dalam buku
Dictionary of Education, dimana Civics (is) the elements of political science or that branch of political
science dealing with the rights and duties of citizens."

Kedua, citizenship, yakni istilah yang hampir sama maknanya dengan civics. Istilah citizenship ini oleh
Stanley E. Dimond dijelaskan bahwa citizenship as it to school activities has two-fold meaning. In a
narrow sense, citizenship includes only legal status in country and the activities closely related to the
political function-voting, goverenmental organization, holding of office, and legal right and
responsibility.

Dan ketiga, civic education atau banyak juga yang menyebut citizenship education memiliki dua
terjemahan utama (bahasa Indonesia), yakni pendidikan kewargaan dan pendidikan kewarganegaraan.
Terjemahan pendidikan kewargaan dipegang dan dikembangkan oleh Tim Indonesian Center for Civic
Education (ICCE) UIN Jakarta dan Azyumardi Azra. Sedangkan terjemahan pendidikan kewarganegaraan
dipegang dan dikembangkan oleh Tim Center Indonesian for Civic Education (CICED), Zamroni,
Muhammad Numan Soemantri, dan lain-lain.

Dari satu sisi sebenarnya secara kasat mata kita bisa melihat bahwa tidak ada perbedaan antara kedua
terjemahan di atas. Namun bila dilihat lagi dari sisi lainnya, jelas kita dapat menangkap subtansi
perbedaan dari munculnya dualisme terjemaah tersebut. Di antara subtansi itu adalah bahwa
kewargaan lebih berorientasi liberal-global, yakni di mana peserta didik lebih dipersiapkan hanya
sekedar sebagai warga Negara tetapi lebih jauhnya dipersiapkan lagi sebagai warga dunia atau society.
Sementara itu pendidikan kewarganegaraan berorientasi

Muhammad Numan Sumantri. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: PT Rosda Karya.
2001. him. 281. Lihat juga Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi
HAM dan Masyarakat Madani, Jakarts: ICCE UIN Jakarta dan Prenada Media, 2003. hlm.

sebaliknya, yakni peserta didik dipersiapkan sebagai warga Negara yang kritis dan partisipatif dengan
berakar pada nilai-nilai budaya sendiri sehingga berguna bagi dirinya juga bagi masyarakat dan negara.
Bila menyimak perbedaan subtansi perspektif di atas, setidaknya akan muncul dua konsekuensi utama,
yakni antara orientasi liberalisme dan orientasi nasionalisme. Terjemahan yang pertama cenderung
dekat dengan orientasi liberalisme, khususnya dalam pengertian liberalisasi individu atau individualisme.
Dalam perspektif lain, orientasi ini dapat dikatakan progresif-radikal, yakni perubahan cara pandang
yang maju ke depan dengan sangat cepat dan mendasar. Sedangkan terjemahan kedua cenderung
semakna dengan nasionalisme atau kebangsaan. Orientasi ini lebih bersifat progresif-konservatif, yakni
perubahan cara pandang dengan maju kedepan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai budaya sendiri.
2022/02/20 13:3V

Sejauh ini, perbedaan cara pandang di atas paling kurang dapat disimak pada definisi-definisi mengenai
civic education, di antaranya:

Azyumardi Azra

: "Pendidikan kewargaan adalah pendidikan yang cakupannya sangat luas dengan mencakupi pendidikan
demokrasi (Democracy Educational), pendidikan HAM, pemerintahan, konstitusi. rule of law, hak dan
kewajiban warga Negara, partisipasi aktif dan keterlibatan warganegara dalam masyarakat madani,
warisan politik, dan lain-lain."

Tim ICCE UIN Jakarta: "Pendidikan kewargaan adalah program pendidikan yang memuat bahasan
tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan Negara, demokrasi, HAM.
dan Masyarakat Madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip
pendidikan demokratis dan humanis."

UU No. 2 Tahun 1989:

"Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan
dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga Negara dan Negara serta Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara

(PPBN) agar menjadi warga Negara yang dapat diandalkan oleh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia."
Zamroni

"Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan


warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran
kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin
hak-hak warga masyarakat."

Civitas Internasional

: "Civic education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi
dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, Hak Asasi Manusia, penguatan keterampilan
partisipasif yang demokratis, pengembangan budaya dan perdamaian."

Merphin Panjaitan

:"Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi
muda menjadi warga Negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial."

Spedijarto

: "Pendidikan kewarganegraan adalah sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu
peserta didik untuk menjadi warga Negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem
politik yang demokratis."

Dari beragam definisi di atas, lepas dari perbedaan istilah, subtansi pendidikan kewarganegaraan adalah
pendidikan nasionalisme di satu sisi dan pendidikan demokrasi di sisi lain. Pendidikan nasionalisme
merupakan fungsionalisasi pendidikan nilai-nilai kebangsaan, sedangkan pendidikan demokrasi adalah
cerminan kemerdekaan dan kedaulatan individu yang mencakupi sosialisasi dan aktualisasi konsep, nilai,
sistem, budaya dan praktik demokrasi. Ada dua potensi sekaligus dengan pendekan dua subtansi ini,
yakni potensi nasional (kenegaraan dan kebangsaan) dan potensi global (kewargaan dunia).
C. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap pengetahuan ilmiah senantiasa memiliki objek kajian (landasan ontologis). Hal demikian juga
melekat pada Pendidikan Kewarganegraan Objek kajian, atau sering juga disepadankan istilah ruang
lingkup, Pendidikan Kewarganegaraan, apabila menyimak pada batasan-batasan pendidikan
kewarganegraan yang disampaikan para ahli, kita bisa melihat bahwa materi pokok (core materials) dari
pendidikan kewarganegaraan meliputi Nasionalisme (Bangsa dan identitas nasional); Pancasila; Negara;
kewarganegaraan; konstitusi; good governance, pemerintah dan Pemerintahan; hubungan sipil-militer;
hubungan Agama dan Negara; Masyarakat Madani; demokrasi; dan Hak Asasi Manusia. 10

D. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaraan

Di samping landasan ontologis, landasan penting dari sebuah bangunan pengetahuan ilmiah adalah
landasan aksiologis. Artinya adakah fungsi atau manfaat akademis dan praktis dari pengetauan tersebut
bagi setiap orang yang hendak mengkajinya. Pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari
pengetahuan ilmiah maka tidak terlepas dari landasan demikian itu. Salah satunya di lihat dari
kompetensi yang diharapkan serta diwujudkan ketika pendidikan kewarganegaraan dipelajari dan
diajarkan.

Kompetensi diartikan sebagai seperangkat kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah peserta
didik mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan akademik, sikap,
dan

10 Sebenarnya bila disimak dari dinamika sejarah perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan seperti
disinggung sebelumnya, materi atau objek kajian PKn tidaklah sesederhana seperti di atas, melainkan
juga mengalami dinamika dan kompleks. Misalnya pada awal tahun 1979, materi PKn disusun oleh
Lemhannas dan Dirjen Dikti yang terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan
Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional, sistem Hankamrata. Mata
kuliah ini bernama Pendidikan Kewiraan. Lalu pada tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh
Lemhannas dan Dirjen Dikti, terdiri atas pengantar yang berisikan gambaran umum tentang bahan ajar
PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada
Selanjutnya tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan yang bahan
ajarnya disusun kembali oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan strategi pertahanan dan keamanan
nasional, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dan pada tahun 2001, materi disusun oleh
Lemhannas dengan materi pengantar dengan t n tambahan materi demokrasi, HAM, lingkung bela
negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. Akhirnya pada tahun
2002, Kep, Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi PKn mencakup juga pengantar sebagai kaitan
dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional)
hidup

keterampilan. Ada tiga kompetensi dasar yang diharapkan, yakni pertama civic knowledge. Kompetensi
ini merupakan kemampuan dan kecakapan penguasaan pengetahuan yang terkait dengan materi
pendidikan kewarganegaraan; kedua, civic attitude, yakni kemampuan dan kecakapan sikap
kewarganegaraan seperti pengakuan kesetaraan, kepekaan sosial, dan kebersamaan; dan ketiga, civic
skills yakni kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan kewarganegaraan seperti kemampuan
berpartisipasi dalam penyelenggaraan demokrasi dan kebijakan publik. Di kompetensi ketiga ini
menekankan pada perilaku kritis dan partisipatoris. []

BANGSA DAN IDENTITAS NASIONAL

A. Pengantar

Salah satu unsur mutlak pembentuk negara adalah rakyat atau bangsa. Di sini bangsa atau rakyat
merupakan bagian saja dari pengkatagorian umat manusia. Selain bangsa, pengkategorian manusia juga
telah melahirkan berbagai kelompok manusia. Misalnya, dari segi adat istiadat dan bahasa dikenal
dengan berbagai kelompok suku bangsa, seperti suku bangsa Jawa, Arab, dan suku bangsa Eropa.
Kemudian berdasarkan ciri fisik biologis manusia dikelompokan menjadi beberapa ras, seperti
Mongoloid Eropa, Arab, Melayu, dan Melanesia. Menurut Iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, melahirkan kelompok manusia seperti penganut agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Katolik Ortodoks, Yahudi, Hindu dan Budha. Dan berdasarkan hukum (yuridis) formal manusia
dikelompokan ke dalam katagori warga negara dan katagori bukan warga negara.

Apabila bangsa dipersoalkan lebih jauh maka muncul dua konsep lain ke permukaan, yakni suku bangsa
(ethnic group) dan ras. Ras merupakan masyarakat berdasarkan kesamaan ciri-ciri fisik biologis seperti
warna kulit, bentuk wajah (hidung dan mata), bentuk rambut, dan perawakan. Sementara suku dapat
diartikan golongan orang-orang (keluarga) seketurunan. Selain itu suku juga adalah golongan bangsa
2 Gugusan kepulauan, bangsa, dan bahasa antara Rusia di Utara dan Cina di Selatan. Gugusan
kepulauan, bangsa, dan bahasa yang terletak di bagian barat daya lautan pasifik, atan d sebelah timur
laut Australia.

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu PoliA, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992, him. 41
sebagai bagian dari bangsa yang besar. Adapun suku bangsa adalah kesatuan sosial yang dapat
dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas. Suatu ras, suku atau suku
bangsa dapat memiliki lebih dari satu negara seperti suku bangsa Arab yang terkelompokan menjadi
lebih dari sepuluh negara Arab. Demikian juga ras terdiri dari atas satu negara, karena realitas
menunjukan ketiadaan satu ras di dunia yang memiliki satu negara saja. Sebaliknya, suatu negara juga
dapat terdiri dari beberapa suku bangsa dan ras, seperti Indonesia dan Amerika Serikat.

Selain konsep tersebut di atas, konsep lain atau permasalahan baru yang akan muncul dari pembahasan
bangsa kaitannya dengan negara adalah, "konsep bangsa" itu sendiri, "nasionalisme", "proses
pembentukan negara-bangsa", dan "faktor-faktor pembentukan identitas bersama". Belakangan ini,
persoalan bangsa semakin penting artinya dalam ilmu politik, ilmu pemerintah, dan ilmu kenegaraan
lainnya. Hal itu muncul dan makin menguat, khususnya setelah era imperalisme dan kolonialisme
berakhir. Bangsa sebagai salah satu unsur mutlak pembentuk negara makin memperlihatkan
pengaruhnya. Hal itu dapat disimak dari pengakuan dunia internasional, setidaknya melalui penamaan
organisasi antar negara sedunia pasca Perang Dunia II dengan menggunakan nama "Perserikatan
Bangsa-Bangsa" ("United Nation Organitation"), dan tidak menggunakan nama "Perserikatan Negara-
Negara" ("United State Organitation").

Jauh sebelum itu, bangsa sebenarnya sudah menjadi wacana bersama sebelum negara terbentuk.
Misalnya dalam sebuah Declaration of Rights of Man (1789), klausul III menyebutkan: "Bangsa pada
dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan; seorang individu atau sekelompok orang, tidak memiliki
hak untuk memegang kekuasaan yang secara jelas berasal dari bangsa"

Hal senada ditulis oleh Abbe Sieyes, seorang teoretisi nasionalisme Perancis (1748-1836), bahwa
"Bangsa mendahului segala sesuatu. Kehendak bangsa selalu absah: Bangsa adalah hukum itu sendiri."
Klausul dan pandangan mengenai bangsa tersebut telah meletakkan fondasi teori nasionalisme.

Ibid.
lan Adams, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, Alih Bahasa All
Noeraman, Yogyakarta: Qalam, 2004, hlm. 122.Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan konsep bangsa
dalam kaitan nya dengan negara, nasionalisme, proses pembentukan negara-bang (nation state), dan
faktor-faktor pembentukan identitas bersama.

B. Definisi Bangsa

Seperti disebutkan di awal, bangsa merupakan salah satu bagian saja dari katagori-katagori
pengelompokan umat manusia, khususnya pengelompokan dari sudut pandang politik. Saat ini bangsa
dalam ilm sosial tidak lagi dibatasi sebagai sekumpulan manusia yang terikat dalam ikatan negara
ataupun ada di bawah satu pemerintah. Dalam arti kata lain, bukanlah organisasi atau lembaga
kekuasaan yang menjadi ukuran untuk suatu bangsa, melainkan bangsalah yang menjadi ukuran untuk
menentukan sebuah organisasi atau lembaga kekuasaan. Berkaitan dengan itu, pada perjanjian
Versailles telah disepakati dan ditegaskan oleh banyak negara bahwa sebuah negara harus memenuhi
asas nasionalitas, yakn negara harus berdasarkan atas bangsa dan negara hendaklah merupaka bangsa
yang disusun dalam suatu organisasi/negara.?

Menurut Ernest Renan (1823-1892), bangsa adalah "jiwa yang melekat pada sekelompok manusia yang
merasa dirinya bersatu, karena mereka memiliki nasib dan penderitaan yang sama di masa lalu dan
memiliki cita-cita yang sama tentang masa depan". Sementara itu, Rothenbucher berpendapat bahwa
“bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki perasaan memiliki kelas yang sama
(Gefuhlgemeinshaft)”.

Berkaitan dengan pengertian ini, Kranenburg berpandangan bahwa pembentukan sesuatu bangsa selain
faktor perasaan juga dipengaruhi kuat oleh faktor kesadaran. Karena itu Kranenburg menegaskan bahwa
"bangsa ialah setiap individu anggota masyarakat pada umumnya sadar berkeinginan untuk
mengorganisir secara merdeka. Sadar akan perasaan seia-sekata, dan sadar akan keberartiannya untuk
hidup bersama dengan golongan lain dalam satu organisasi atau negara." ng

Pandangan ini menegaskan bahwa sesuatu bangsa, pertama-tama dipersatukan oleh hal-hal yang
bersifat ideal, yaitu, persamaan nasib dan Azhari, SH., Ilmu Negara; Pembahasan Buku Prof. Mr P.
Kanenburg,

cita-cita; kemudian oleh hal-hal yang lebih bersifat psikis, yakni, perasaan, kesadaran dan kehendak;
bukan oleh hal-hal yang bersifat fisikal, seperti ras, agama, suku, bahasa, dan adat istiadat.
Sebagai bukti, misalnya, pertama, kita lihat Amerika Serikat yang merasa sebagai satu bangsa walaupun
memiliki penduduk campuran yang begitu heterogen. Atau Swiss yang merasa sebagai satu bangsa
meskipun Swiss memiliki atau menggunakan bahasa nasional yang berbeda-beda, yakni bahasa Jerman,
bahasa Perancis, bahasa Italia, dan bahasa Romawi. Di Indonesia ada berbagai agama, ratusan suku dan
adat istiadat, namun sebagian besar orang Indonesia melihat diri mereka sebagai satu bangsa, Dan di
India, ada ratusan bahasa yang dipakai, namun mereka merasa satu bangsa. Bangsa Amerika Serikat,
Swiss, Indonesia, dan India merasa satu bangsa, karena direkatkan oleh persamaan sejarah dan cita-cita.

Dan kedua, penduduk Italia Utara yang pada abad ke-19 hidup di bawah kekuasaan Austria, dan
dianggap sebagai warga negara Austria. Mereka sadar bahwa ini bukan keinginan mereka, jadi bukan
keinginan mereka untuk diterima menjadi warga negara Austria. Kemudian, mereka secara sadar ingin
tinggal bersama rekan senegaranya, yaitu orang Italia di satu negara. Atau penduduk Polandia yang
hidup sebagian di bawah kekuasaan Austria, sebagian di bawah Prusia dan sekali lagi di bawah Rusia.
Mereka secara sadar tidak menginginkan situasi seperti itu. Lebih jauh lagi, mereka secara sadar ingin
hidup bersama di bawah negara Polandia.

Menurut lan Adams, secara teoritis, sesungguhnya pendekatan tersebut di atas tidak semuanya
memadai dan memuaskan. Misalnya, kata Adams, pendekatan ini tidak dapat memutuskan persoalan
siapa yang termasuk atau tidak termasuk dalam sebuah bangsa, atau bagaimana misalnya satu
kelompok masyarakat, seperti penganut Protestan di Irlandia Utara, menolak untuk mengidentifikasikan
diri dengan kelompok masyarakat yang lain, seperti masyarakat penganut Katolik."

Tentang ketidakmemadaian secara penuh dari pendekatan per samaan sejarah dan cita-cita, juga
misalnya disampaikan oleh Hans Kohn. la menyebutkan bahwa persamaan fisikal, seperti ras, bahasa,
adat, dan agama terkadang merupakan faktor signifikan yang melatar belakangi pembentukan sesuatu
bangsa, dan sekaligus ciri khas sesuatu bangsa

cita-cita; kemudian oleh hal-hal yang lebih bersifat psikis, yakni, perasaan, kesadaran dan kehendak;
bukan oleh hal-hal yang bersifat fisikal, seperti ras, agama, suku, bahasa, dan adat istiadat.

Sebagai bukti, misalnya, pertama, kita lihat Amerika Serikat yang merasa sebagai satu bangsa walaupun
memiliki penduduk campuran yang begitu heterogen. Atau Swiss yang merasa sebagai satu bangsa
meskipun Swiss memiliki atau menggunakan bahasa nasional yang berbeda-beda, yakni bahasa Jerman,
bahasa Perancis, bahasa Italia, dan bahasa Romawi. Di Indonesia ada berbagai agama, ratusan suku dan
adat istiadat, namun sebagian besar orang Indonesia melihat diri mereka sebagai satu bangsa, Dan di
India, ada ratusan bahasa yang dipakai, namun mereka merasa satu bangsa. Bangsa Amerika Serikat,
Swiss, Indonesia, dan India merasa satu bangsa, karena direkatkan oleh persamaan sejarah dan cita-cita.

Dan kedua, penduduk Italia Utara yang pada abad ke-19 hidup di bawah kekuasaan Austria, dan
dianggap sebagai warga negara Austria. Mereka sadar bahwa ini bukan keinginan mereka, jadi bukan
keinginan mereka untuk diterima menjadi warga negara Austria. Kemudian, mereka secara sadar ingin
tinggal bersama rekan senegaranya, yaitu orang Italia di satu negara. Atau penduduk Polandia yang
hidup sebagian di bawah kekuasaan Austria, sebagian di bawah Prusia dan sekali lagi di bawah Rusia.
Mereka secara sadar tidak menginginkan situasi seperti itu. Lebih jauh lagi, mereka secara sadar ingin
hidup bersama di bawah negara Polandia.

Menurut lan Adams, secara teoritis, sesungguhnya pendekatan tersebut di atas tidak semuanya
memadai dan memuaskan. Misalnya, kata Adams, pendekatan ini tidak dapat memutuskan persoalan
siapa yang termasuk atau tidak termasuk dalam sebuah bangsa, atau bagaimana misalnya satu
kelompok masyarakat, seperti penganut Protestan di Irlandia Utara, menolak untuk mengidentifikasikan
diri dengan kelompok masyarakat yang lain, seperti masyarakat penganut Katolik."

Tentang ketidakmemadaian secara penuh dari pendekatan per samaan sejarah dan cita-cita, juga
misalnya disampaikan oleh Hans Kohn. la menyebutkan bahwa persamaan fisikal, seperti ras, bahasa,
adat, dan agama terkadang merupakan faktor signifikan yang melatar belakangi pembentukan sesuatu
bangsa, dan sekaligus ciri khas sesuatu bangsa sendiri tidak tunduk

pada dominasi negara lain. Negara dengan multibangsa dan bangsa yang terpecah-belah dalam berbagai
negara, jika menggunakan konsepsi di atas, pada prinsipnya adalah salah atau setidak-tidaknya kurang
relevan. Hal demikian diperkuat oleh argumen para ahli ilmu geo-politik yang menyatakan bahwa selain
harus memiliki kesamaan sejarah dan cita cita, sesuatu bangsa juga harus merasa terikat oleh tanah air
yang sama pula. Namun demikian kembali seperti halnya hasil pemikiran-pemikiran lainnya, pemikiran
demikian itu walaupun mengandung kebenaran, tetapi tidak sepenuhnya benar, karena dalam sejarah
kita jumpaí sesuatu bangsa yang tidak memiliki negara atau tanah air sendiri. Misalnya, bangsa Israel,
sebelum sekarang menjadi negara Israel, pernah 'terkatung-katung' berabad-abad lamanya di daratan
Eropa dan tidak mempunyai tanah air sendiri.

C. Bangsa dan Nasionalisme


Istilah "bangsa" (nation) tidak bisa dilepaskan dari konsep nasionalis me. Nation atau bangsa merupakan
konsep turunan dari nasionalisme, di samping tentunya state (negara), dan nation state (negara bangsa).
Dan negara bangsa, sebagai gabungan dari bangsa dan negara, merupkan kom ponen-komponen yang
membentuk identitas nasional atau kebangsaan.¹2

Bangsa dalam pengertian mutakhir, sebenarnya baru dikenal pada akhir abad ke-18, yaitu dengan
munculnya paham nasionalisme. Nasionalisme di sini adalah suatu paham yang menganggap bahwa
kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi (individu) harus diserahkan kepada negara kebangsaan.
Sedangkan dalam Kamus Politik, Nasionalisme adalah perasaan atas dasar kesamaan asal-usul, rasa
kekeluargaan, rasa memiliki hubungan-hubungan yang lebih erat dengan sekelompok orang daripada
dengan orang-orang lain, dan mempunyai perasaan berada di bawah satu kekuasaan. Nasionalisme
diperkuat oleh adanya tradisi-tradisi, adat istiadat, dongeng-dongeng dan mitos-mitos, serta oleh satu
bahasa yang sama; semangat kebangsaan.13

Stanley Benn, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid, menyatakan bahwa dalam mendefinisikan istilah
"nasionalisme" setidaknya ada empat elemen, yaitu:

negara bangsa, setidaknya bagi penulis, makin menarik untuk dibicarakan

lebih lanjut. Pengertian bangsa dalam istilah "suku bangsa" berbeda dengan pengertian bangsa dalam
istilah "negara bangsa". Bangsa dalam istilah negara bangsa mencakup jumlah kelompok masyarakat
(berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dalam istilah suku bangsa Kesamaan
identitas kultural dalam suku bangsa lebih sempit cakupannya daripada identitas kultūral dalam negara-
bangsa.¹6 Pengertian bangsa dalam istilah negara bangsa ini tampaknya persis seperti pengertian.
pengertian bangsa yang diuraikan sebelumnya. Sementara itu pengertian "negara" dalam istilah negara
bangsa juga sama dengan pengertian.

pengertian negara secara umum. Hubungan negara dan bangsa yang melahirkan istilah negara bangsa
dapat diketahui dari aspek kesadaran dan hasrat suatu bangsa untuk bernegara. Mengenai hal ini, Dr.
Friederich Hertz mengemukakan bahwa kesadaran bernegara dari suatu bangsa atau natie mengandung
empat unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Keinginan untuk mencapai persatuan nasional;

2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan nasional;

3. Keinginan untuk mencapai otentisitas bangsa; dan

4. Keinginan untuk mencapai kehormatan bangsa.¹7

Dengan demikian variabel penghubung utama bagi hubungan negara dan bangsa untuk melahirkan
negara bangsa adalah variabel kesadaran dan keinginan atau kehendak.

Adapun proses pembentukan negara bangsa, menurut Hirano Kenichiro," seperti dikutip oleh Ramlan
Surbakti,19 secara umum terdapat dua model utama. Pertama, model ortodoks yang bermula dari
adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa itu membentuk suatu negara tersendiri.
Setelah negara bangsa ini terbentuk, kemudian suat rezim politik (konstitusi) dirumuskan dan
ditetapkan, dan sesuai denga pilihan rezim politik itu, dikembangkan sejumlah bentuk partisipas

Untuk unsur pertama adalah suku bangsa. Di sini suku bangsa adalah golongan sosial yang khusus yang
bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di
Indonesia banyak sekali suku bangsa dengan lebih dari 300 dialek bahasa.

Kedua, agama, yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Indonesia agama
yang tumbuh dan berkembang adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.

Ketiga, Kebudayaan, yakni pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-
perangkat atau model-model penge tahuan secara kolektif digunakan untuk pendukung-pendukungnya
untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau
pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi. Intinya kebudayaan adalah patokan nilai-nilai etika dan moral, baik yang
tergolong sebagai ideal atau yang seharusnya (world view) maupun yang operasional dan aktual di
dalam keseharian. Dan keempat, bahasa, yakni dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter
dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar
manusia. []

Anda mungkin juga menyukai