Anda di halaman 1dari 28

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PRAKTIKUM ALTERASI HIDROTERMAL


ACARA III & IV: PETROGRAFI, MINERAGRAFI, DAN PARAGENESA

LAPORAN

OLEH:
SITTA ZEALISA QUR’ANY
D061191088

GOWA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembentukan endapan bijih hasil dari endapan hidrotermal di suatu daerah

berhubungan erat dengan kondisi geologi yang berkembang sepanjang umur

geologi melibatkan pembentukan gunungapi, intrusi, dan pensesaran yang

berdampak pada proses alterasi dan mineralisasi. Proses ini melibatkan air meteorik

dan air magmatik yang bercampur menjadi fluida hidrotermal, kemudian mulai

bergerak dan mengasimilasi batuan samping, sehingga batuan yang dilewatinya

terubah. Proses ini disebut dengan alterasi hidrotermal dan daerah tempat pengaruh

interaksi larutan tersebut dengan batuan samping atau wall rock disebut dengan wall

rock alteration yang pada umumnya akan membentuk zona kumpulan mineral-

mineral tertentu yang terbentuk dari hasil ubahan akibat larutan hidrotermal.

Salah satu bukti adanya alterasi hidrotermal adalah kehadiran urat yang

memiliki kadar mineral logam dan juga adanya ubahan pada batuan samping. Urat

merupakan daerah tempat mineralisasi bijih terjadi dan membentuk tubuh yang

diskordan (memotong tubuh batuan yang ada di sekelilingnya). Kebanyakan urat-

urat terbentuk pada zona-zona patahan atau mengisi rongga-rongga pada batuan

atau daerah rekahan. Batuan yang telah terlaterasi tentunya akan membentuk suatu

tekstur khusus, dimana dari tekstur khusus tersebut dapat menunjukkan proses atau

jenis endapannya. Selain itu, studi tentang alterasi juga dapat dikembangkan

melalui sayatan tipis dan poles untuk mengetahui mineral ubahan dan mineral biji

yang terkandung di dalamnya melaluli analisis petrografi dan mineragrafi.


1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari praktikum ini yaitu agar praktikan dapat mengetahui dan

menentukan mineral alterasi dan mineral bijih pada analisis petrografi dan

mineragrafi. Adapun tujuan dari praktikum ini, antara lain:

1) Mengetahui jenis alterasi dengan pengamatan thin section.

2) Mengetahui tekstur khusus yang dijumpai pada pengamatan sayatan poles.

3) Mengetahui paragenesa mineral bijih yang dijumpai pada pengamatan

sayatan poles.

1.3 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan selama praktikum yaitu antara lain:

1) Alat tulis menulis

2) Mikroskop perbesaran 40x

3) Mikroskop polarisasi

4) Sampel sayatan tipis

5) Sampel sayatan poles

6) Buku referensi

7) Lembar kerja praktikum

8) Pensil warna
BAB II
METODOLOGI

2.1 Metode Praktikum

Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pendeskripsian sampel

secara langsung dengan jumlah 2 sampel yaitu 1 sampel sayatan tipis dan 1 sampel

sayatan poles yang masing-masing memiliki 10 DMP untuk diamati di laboratorium

Petrografi dan laboratorium Preparasi.

2.2 Tahapan Praktikum

Praktikum ini melalui 4 tahapan yang dimulai dari tahapan pendahuluan,

tahapan praktikum, tahapan analisis data, dan diakhiri dengan tahapan penyusunan

laporan.

2.2.1 Tahapan Pendahuluan

Tahapan ini meliputi persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam

praktikum berupa sampel sayatan tipis dan sampel sayatan poles, pemberian tugas

pendahuluan, dan studi literatur yang bertujuan agar praktikan memahami materi

pada acara yang akan dipraktikumkan.

2.2.2 Tahapan Praktikum

Pada tahapan ini, praktikan terlebih dahulu diberikan respon berupa soal-soal

mengenai materi dari acara yang akan dipraktikumkan dengan batas waktu tertentu.

Praktikan kemudian melakukan praktikum dengan mengamati secara langsung

sampel melalui mikroskop dengan mengisi data-data pada lembar kerja praktikum
berupa nomor sayatan atau nomor contoh, lokasi sampel tersebut diambil, nama

batuan, gambar manual sampel tersebut, tipe batuan, tipe struktur, megaskopis,

mikroskopis, dan pendeskripsian sampel berupa komposisi mineral, jumlah dalam

presentase, dan keterangan optik mineral.

2.2.3 Tahapan Analisis Data

Tahapan ini merupakan tahapan setelah dilakukannya praktikum. Praktikan

akan mengolah data dari hasil deskripsi yang kemudian digunakan untuk

menentukan mineral alterasi atau mineral bijih pada masing-masing 1 DMP yang

diamati serta disesuaikan dari referensi terpercaya. Dalam melakukan tahapan

analisis data ini, praktikan dibentuk dalam satu kelompok yang nantinya akan

dibimbing oleh masing-masing asisten.

2.2.4 Tahapan Penyusunan Laporan

Setelah analisis data selesai dilakukan, maka praktikan menyusun laporan

praktikum berdasarkan data-data yang ada serta didukung oleh referensi yang

terpecaya seperti buku, jurnal, dan semacamnya yang kemudian akan diperiksa oleh

asisten masing-masing kelompok asistensi sebelum dikumpulkan.


Gambar 2.1 Diagram alir praktikum
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Megaskopis

Gambar 3.1 Kenampakan megaskopis

Jenis batuannya yaitu batuan beku, memiliki warna segar abu-abu, warna

lapuk kekuningan, dan struktur masif. Tidak dijumpai adanya mineral primer dan

tekstur batuan asal. Terdapat tekstur yang terbentuk akibat proses alterasi

hidrotermal yaitu vuggy texture dan disseminated texture. Mineral alterasi yang

dijumpai berupa alunit dengan warna kekuningan dan serisit yang berwarna putih.

Mineralisasi yang dijumpai berupa mineral sfalerit berwarna abu-abu kehitaman

karena kandungan Fe yang meningkat, memiliki kekerasan 3,5-4 skala Mohs, berat

jenisnya berkisar 3,9-4,1 gram, dan dijumpai dalam bentuk massive. Terdapat pula

mineral kalkopirit berwarna kekuningan dan pirit berwarna kuning, memiliki

kekerasan 6-6,5 skala Mohs, berat jenis berkisar 5-5,2 gram, dan dijumpai dalam

tekstur disseminated.
3.2 Petrografi

Analisis pada pengamatan petrografi dilakukan dengan pendeskripsian

mineral alterasi dan mineral primer antara lain berupa warna mineral pada nikol

sejajar dan nikol silang, relief, intensitas, pleokroisme, belahan, dan pecahan.

Adapun DMP pada sampel sayatan tipis yang diamati yaitu 10 DMP.

3.2.1 Sampel ZL01

A. DMP 1

Al Al

Ser Ser
Feld
Feld

a b
Gambar 3.2 DMP 1 a) Kenampakan nikol silang b) Kenampakan nikol sejajar (Al: alunit,
Ser: serisit, Feld: feldspar)

Pada kenampakan nikol silang sampel ini memiliki campuran warna abu-abu,

jingga kecoklatan, serta hitam dan pada kenampakan nikol sejajar memiliki warna

putih kekuningan serta beberapa bagian berwarna hitam. Terdiri dari mineral

primer, mineral alterasi, dan opak. Adapun mineral primer maupun mineral alterasi

yang dapat diidentifikasi pada DMP ini antara lain:

1. Alunit

Memiliki warna interferensi kuning kecoklatan di orde 2 menurut tabel

Michael Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,010-0,020 mm


dan warna absorbsi abu-abu. Memiliki relief yang sedang dengan intensitas

yang sedang juga. Tidak memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya

pecahan.

2. Serisit

Memiliki warna interferensi abu-abu dan warna absorbsi tidak berwarna.

Memiliki relief yang sedang dengan intensitas yang rendah. Tidak memiliki

belahan dan dijumpai adanya pecahan.

3. Feldspar

Memiliki warna interferensi abu-abu terang di orde 1 menurut tabel Michael

Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,008 mm dan warna

absorbsi tidak berwarna. Memiliki relief yang rendah dengan intensitas yang

tinggi. Berbentuk subhedral-anhedral dan tidak terdapat pleokorisme.

Memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya pecahan.

4. Opak

Memiliki warna interferensi dan absorbsi hitam.

B. DMP 2

Feld Feld

Al Al

Ser Ser

a b
Gambar 3.3 DMP 2 a) Kenampakan nikol silang b) Kenampakan nikol sejajar (Al: alunit,
Ser: serisit, Feld: feldspar)
Pada kenampakan nikol silang sampel ini memiliki campuran warna abu-abu,

jingga kecoklatan, serta hitam dan pada kenampakan nikol sejajar memiliki warna

putih kekuningan serta beberapa bagian berwarna hitam. Terdiri dari mineral

primer, mineral alterasi, dan opak. Adapun mineral primer maupun mineral alterasi

yang dapat diidentifikasi pada DMP ini antara lain:

1. Alunit

Memiliki warna interferensi kuning kecoklatan di orde 2 menurut tabel

Michael Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,010-0,020 mm

dan warna absorbsi abu-abu. Memiliki relief yang sedang dengan intensitas

yang sedang juga. Tidak memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya

pecahan.

2. Serisit

Memiliki warna interferensi abu-abu dan warna absorbsi tidak berwarna.

Memiliki relief yang sedang dengan intensitas yang rendah. Tidak memiliki

belahan dan dijumpai adanya pecahan.

3. Feldspar

Memiliki warna interferensi abu-abu terang di orde 1 menurut tabel Michael

Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,008 mm dan warna

absorbsi tidak berwarna. Memiliki relief yang rendah dengan intensitas yang

tinggi. Berbentuk subhedral-anhedral dan tidak terdapat pleokorisme.

Memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya pecahan.

4. Opak

Memiliki warna interferensi dan absorbsi hitam.


C. DMP 3

Ser Feld Feld


Ser

Al Al

a b
Gambar 3.4 DMP 1 a) Kenampakan nikol silang b) Kenampakan nikol sejajar (Al: alunit,
Ser: serisit, Feld: feldspar)

Pada kenampakan nikol silang sampel ini memiliki campuran warna abu-abu,

jingga kecoklatan, serta hitam dan pada kenampakan nikol sejajar memiliki warna

putih kekuningan serta beberapa bagian berwarna hitam. Terdiri dari mineral

primer, mineral alterasi, dan opak. Adapun mineral primer maupun mineral alterasi

yang dapat diidentifikasi pada DMP ini antara lain:

1. Alunit

Memiliki warna interferensi kuning kecoklatan di orde 2 menurut tabel

Michael Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,010-0,020 mm

dan warna absorbsi abu-abu. Memiliki relief yang sedang dengan intensitas

yang sedang juga. Tidak memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya

pecahan.

2. Serisit

Memiliki warna interferensi abu-abu dan warna absorbsi tidak berwarna.

Memiliki relief yang sedang dengan intensitas yang rendah. Tidak memiliki

belahan dan dijumpai adanya pecahan.


3. Feldspar

Memiliki warna interferensi abu-abu terang di orde 1 menurut tabel Michael

Levy karena mempunyai nilai rentang warna pada 0,008 mm dan warna

absorbsi tidak berwarna. Memiliki relief yang rendah dengan intensitas yang

tinggi. Berbentuk subhedral-anhedral dan tidak terdapat pleokorisme.

Memiliki belahan dan tidak dijumpai adanya pecahan.

4. Opak

Memiliki warna interferensi dan absorbsi hitam.

3.2.2 Interpretasi Batuan Asal

Penentuan batuan asal didasarkan oleh mineral primer yang diamati melalui

pengamatan secara megaskopis ataupun melalui analisis petrografi. Pada sampel

ZL01 yang dijumpai adanya mineral primer berupa feldspar dan selebihnya tidak

dapat diidentifikasi karena proses alterasi hidrotermal yang terjadi menyebakan

terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder berupa serisit dan alunit.

Komposisi mineral alterasi pada sampel ZL01 adalah lebih dari setengah komposisi

mineral primer. Keadaan sampel batuan tersebut yang telah teralterasi kuat

menyebabkan penentuan batuan asal tidak dapat dilakukan.

3.3 Alterasi dan Mineralisasi

Berdsarkan hadirnya mineral primer yaitu feldspar serta mineral alterasi

berupa alunit dan serisit pada pengamatan petrografi, maka dapat ditentukan

intensitas kehadiran mineral tersebut pada sampel batuan.


Tabel 3.1 Mineral ubahan dan intensitas ubahan berdasarkan hasil pengamatan petrografi
(Feld: feldspar, Al: alunit, Ser: serisit, Op: Opak)
Mineral

Feld Al Ser Op Intensitas


ZL01

Sedang-Kuat

Keterangan: : dominan, : sedang, : rendah

Berdsarkan kehadiran mineral primer yaitu feldspar serta mineral alterasi

berupa alunit dan serisit pada pengamatan megaskopis dan analisis petrografi serta

intensitasnya, maka dapat ditentukan zona alterasi sampel ZL01.

Tabel 3.2 Himpunan Mineral Alterasi (Guilbert & Park, 1986)

Berdasarkan himpunan mineral alterasi yang dijumpai pada sampel ZL01

termasuk dalam zona serisitik overprinting argilik lanjut. Himpunan mineral yang

dijumpai pada sampel ZL01 termasuk dalam zona serisitik karena hadirnya mineral

serisit dalam jumlah yang banyak. Suhu pembentukan tipe alterasi ini adalah 230-

400o C, salinitas beragam, pH asam-netral, dan merupakan zona yang tembus air

pada batas urat. Kemudian berdasarkan kehadiran mineral alunit maka dapat
ditentukan bahwa sampel ZL01 juga mengalami alterasi argilik lanjut. Tipe alterasi

ini terjadi seiring menurunnya temperatur pada 180 oC dan pH yang semakin asam.

Gambar 3.5 Diagram hubungan antara suhu–pH dan jenis alterasi serta himpunan mineral-
mineral pencirinya (Corbett & Leach, 1996)

Menurut klasifikasi (Corbett & Leach, 1996) dalam penentuan suhu dan pH,

jenis alterasi dengan himpunan mineral pencirinya, maka sampel ZL01 termasuk

dalam kelompok phillik dengan interpretasi temperatur sedang, dan Ph normal yang

dicirikan oleh hadirnya mineral serisit dan pirit. Sedangkan munculnya alunit

diinterpretasikan karena adanya penambahan suhu larutan yang bersifat asam,

sehingga terjadi overprinting antara philik-argilik sempurna.


Gambar 3.6 Mineral alterasi penunjuk temperature (Hedenquiest, 1995)

Berdasarkan klasifikasi Hedenquiest (1995), Mineral yang dijumpai pada

sampel ZL01 memiliki kestabilan suhu yang sama, mineral pirit stabil pada suhu

1000C-3000C dan mineral alunit stabil pada suhu 100 0C-3000C, sehingga kisaran

temperatur pembentukan tipe alterasi ini berada pada kisaran suhu 100 0C-3000C

dengan kondisi PH asam-netral.

3.3.1 Intensitas Ubahan

Berdasarkan kenampakan secara megaskopis dan pengamatan secara

petrografi dimana mineral sekunder berupa serisit dan alunit memiliki intensitas

atau jumlah yang lebih dari setengah komposisi mineral pada sampel ZL01

dibandingkan mineral primer. Maka dapat ditentukan bahwa sampel ZL01 telah

mengalami alterasi kuat.


Tabel 3.3 Intensitas ubahan batuan (Morisson,1995)

3.4 Mineragrafi

Kalkopirit Sfalerit

Pirit

Gambar 3.7 Kenampakan sayatan poles

Pada kenampakan sayatan poles sampel ZL01, dijumpai mineralisasi berupa

pirit, kalkopirit, dan sfalerit. Pirit dapat dijumpai dengan warna putih kekuningan,

tidak memiliki bias ganda, memiliki belahan yang buruk (001), dan isotropik lemah.

Kalkopirit pada kenampakan mineragrafi berwarna kuning dengan bentuk

subhedral-anhedral, mempunyai ukuran <0,01 mm, tidak dijumpai adanya

pleokorisme, dan bersifat isotropik. Kalkopirit umum dijumpai bersama pirit dalam

bentuk disseminated mengisi rekahan-rekahan pada batuan. Sfalerit dapat dijumpai

dengan warna abu-abu ketika berada di sayatan poles, umumnya dijumpai dengan

tekstur chalcopyrite disease yang disebabkan oleh proses penggantian yang


melibatkan reaksi cairan pembawa tembaga dengan FeS dalam sfalerit, tidak

reflektif, tidak memiliki bias ganda, memiliki belahan yang sempurna (011), dan

bersifat isotropik.

Tabel 3.4 Mineral bijih yang teridentifikasi dari hasil pengamatan mineragrafi (Py: pirit,
Cpy: kalkopirit, Sfa: sfalerit, Gal: galena, Ars: arsenopirit, Tet: tetrahidrit, Kov:
kovelit, Kal; kalkosit)
Mineral

Py Cpy Sfa Gal Ars Tet Kov Kal


ZL01

Keterangan: : dominan, : sedikit

3.4.1 Paragenesa

Cpy Sfa Py

Sfa
Py

Py Py

Py

Py
a b

Py Cpy Sfa

Py

Py

Py

Py
c d
Gambar 3.8 Pengamatan mikroskop pada paralel nikol a) Adanya pertumbuhan bersama
atau intergrowth antara pirit dan kalkopirit b) Pirit hadir mengisi rekahan c)
Pirit hadir mengisi rekahan d) Adanya pertumbuhan bersama atau intergrowth
antara pirit dan kalkopirit dan tekstur khusus sfalerit berupa chalcopyrite
disease (Py: pirit, Cpy: kalkopirit, Sfa: sfalerit)

Cpy

Py
Py

Py
Py
Py

Py
a b
Py
Py

Sfa
Py

Py Py
Py

c d
Gambar 3.9 Pengamatan mikroskop pada paralel nikol (a) Pirit hadir mengisi rekahan (b)
Adanya pertumbuhan bersama atau intergrowth antara pirit dan kalkopirit (c)
Pirit hadir mengisi rekahan (d) Pirit hadir mengisi rekahan Py: pirit, Cpy:
kalkopirit, Sfa: sfalerit).

Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafi pada sayatan poles dijumpai

adanya tekstur khusus pada mineral pirit, kalkopirit, dan sfalerit yaitu tekstur

pengisian (cavity filling) pada gambar 3.8 (b), (c), gambar 3.9 (a), (c), dan (d),

tekstur pertumbuhan bersama (intergrowth) pada gambar 3.8 (a), (d), dan gambar

3.9 (b), dan tekstur chalcopyrite disease pada gambar 3.8 (d).
Tekstur pengisian (cavity filling) teramati pada mineral pirit yang hadir

mengisi rekahan-rekahan pada sampel batuan ZL01 yang dianalisis secara

mineragrafi. Tekstur pengisian terjadi akibat adanya mineral lain yang mengisi pori

atau rekahan pada mineral yang terbentuk sebelumnya.

Tekstur intergrowth (tumbuh bersama) terjadi akibat perubahan temperatur

yang tinggi serta pengaruh dari jenis mineral yang menyebabkan terjadinya

penyimpangan struktur kristalografi atau dengan kata lain susunannya tidak

beraturan hadir pada sebagian pirit dan kalkopirit. Hal ini menunjukkan suatu

waktu, pirit dan kalkopirit terbentuk secara bersamaan.

Tekstur chalcopyrite disease yang dijumpai pada mineral sfalerit, dimana

terdapat bercak-bercak mineral kalkopirit seperti ‘blubby’ dengan ukuran

mikrometer pada mineral sfalerit. Tekstur ini terbentuk sebagi hasil penggantian

sfalerit yang mengandung Fe asli dengan agregat kalkopirit dan sfalerit rendah Fe

sebagai bagian integral dari proses mineralisasi. Dimana terjadi penggantian Fe

yang dikendalikan secara difusi oleh Cu dan co-presipitasi sfalerit-kalkopirit.

Tabel 3.5 Paragenesis mineral bijih


Mineral Tahap 1 Tahap 2

Pirit

Sfalerit

Kalkopirit

Ket: : Proses pembentukan

Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafi dan tekstur yang dijumpai (bentuk

individu kristal dan sifat kontak antar butiran yang berdampingan) maka dapat

diurutkan pembentukan mineral bijih. Mineral bijih yang hadir dari analisis
mineragrafi adalah pirit, kalkopirit, dan sfalerit. Urutan pembentukan mineral bijih

berdasarkan pengamatan tekstur yaitu diawali dengan pembentukan sfalerit dan

pirit yang hadir mengisi rekahan pada batuan sebagai tahap 1. Kehadiran pirit secara

umum dalam bentuk menyebar (disseminate). Kemudian terbentuk pirit yang pada

umumnya tersebar dan menunjukkan kehadiran kalkopirit relatif tidak lama setelah

pirit dalam bentuk pertumbuhan bersama (intergrowth) di tahap 2. Kalkopirit juga

hadir menggantikan mineral Fe pada sfalerit dengan Cu, sehingga menimbulkan

‘kesan blubby’ pada sfalerit.

Berdasarkan data yang diperoleh dari analisis petrografi dan analisis

mineragrafi, maka dapat diketahui secara keseluruhan urutan pembentukan mineral

gangue/alterasi dan mineral bijih pada daerah penelitian.

Tabel 3.6 Paragenesa mineral bijih, gangue, dan alterasi yang terbentuk pada tiap tahap
mineralisasi di daerah penelitian
Tahap Mineralisasi

Mineral ……………………………………………………………...
300OC 250OC 200OC
Bijih/Alterasi/
Awal Tengah Akhir
Gangue
Qz-base metal

Tekstur Disseminated Vuggy

Mineral Bijih

Pirit

Sfalerit

Kalkopirit

Alterasi/Gangue

Feldspar
Serisit

Alunit

Keterangan: : melimpah, : cukup melimpah, : kurang melimpah

3.5 Genesa

Endapan epitermal high sulphidation dicirikan dengan batuan induk berupa

batuan vulkanik bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol berupa struktur

berupa sesar secara regional atau intrusi subvulkanik, kedalaman formasi batuan

sekitar 500-2.000 meter dan temperatur (100-320)oC. Endapan epitermal high

sulfidation terbentuk oleh sistem dari fluida hidrotermal yang berasal dari intrusi

magmatik yang cukup dalam, fluida ini bergerak secara vertikal dan horizontal

menembus rekahan-rekahan pada batuan dengan suhu relatif tinggi (200-300)oC,

fluida ini didominasi oleh fluida magmatik dengan kandungan acidic yang tinggi

berupa HCl, SO2, H2S (Pirajno, 1992).

Gambar 3.10 Skema endapan epitermal high sulphidation (Buchanan, 1981)


Endapan epitermal high sulphidation terbentuk dari reaksi batuan induk

dengan fluida magama asam panas, yang menghasilkan suatu karakteristik zona

alterasi (ubahan) yang akhirnya membentuk endapan Au, Cu, dan Ag. Sistem bijih

menunjukkan kontrol permeabilitas yang tergantung oleh faktor litologi, struktur,

alterasi di batuan samping, mineralogi bijih dan kedalaman formasi. High

sulfidation berhubungan dengan pH asam yang timbul dari bercampurnya fluida

yang mendekati pH asam dengan larutan sisa magma yang bersifat encer sebagai

hasil diferensiasi magma, di kedalaman yang dekat denga tipe endapan porfiri dan

dicirikan oleh jenis sulfur yang dioksidasi menjadi SO (Pirajno, 1992).

Gambar 3.11 Skema endapan epitermal high sulphidation (Sillitoe, 1999)


Endapan epitermal high sulphidation terbentuk dalam suatu sistem

magmatic-hydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrotermal yang asam,

dimana terdapat fluks larutan magmatik dan vapor yang mengandung H2O, CO2,

HCl, H2S, dan SO2 dengan variabel input dari air meteorik lokal. Pada sistem

epitermal sulfida tinggi, sulfida terbentuk dalam sistem hidrotermal magmatik yang

didominasi oleh fluida hidrotermal asam, yang dicirikan dengan terbentuknya

asosiasi mineral ubahan seperti pirofilit, alunit, serta mineral bijih berupa pirit,

enargit, dan luzonit. Sistem ini didominasi oleh SO2 yang menunjukkan kondisi

oksidasi (White, 1991).

Tabel 3.7 Karakteristik lapangan untuk membedakan tipe endapan epitermal (Corbett &
Leach, 1996)

Menurut klasifikasi (Corbett & Leach, 1996) dalam penentuan jenis endapan

epitermal dipengaruhi oleh beberapa parameter yang tertera pada tabel. Pada

sampel ZL01 dijumpai adanya mineral alterasi serisit beserta alunit serta tekstur
khusus yaitu vuggy. Mineral altersi tersebut dibentuk oleh adanya reaksi antara

larutan panas yang berasal dari magma dengan air meteorik yang kemudian

membentuk larutan bersifat sangat asam dan dalam kondisi oksidasi. Pada suhu

yang lebih tinggi dengan pH larutan mendekati netral terbentuk mineral ubahan

serisit. Asam sulfur ini merupakan larutan yang sangat aktif dan akan menyebabkan

terjadinya leaching atau pencucian pada batuan samping dan menghasilkan alterasi

argilik lanjut (advanced argillic) ditandai oleh kehadiran mineral alunit. Suhu dari

larutan berkisar antara 200–300°C. Adapun mineralisasi yang dijumpai antara lain

piri, kalkopirit, dan sfalerit, dimana pirit dijumpai tersebar dalam tekstur

disseminated. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sampel ZL01 mengalami

endapan jenis epitermal high sulphidation.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat

ditarik kesimpulan yaitu:

1) Mineral alterasi yang dijumpai pada pengamatan thin section yaitu serisit dan

alunit. Selain itu terdapat mineral primer yaitu feldspar, sehingga jenis

alterasinya yaitu serisitik. Serisitik dicirikan oleh kehadiran mineral serisit

yang dominan.

2) Tekstur khusus yang dijumpai pada pengamatan mineragrafi yaitu tekstur

pengisian oleh pirit dan sfalerit, intergrowth antara pirit dan kalkopirit, dan

chalcopyrite disease pada sfalerit.

3) Paragenesa mineral bijih terbagi menjadi dua tahap. Pada tahap pertama

diawali dengan pembentukan mineral pirit dan sfalerit, serta terjadi pengisian

rekahan oleh pirit, kemudian pada tahap kedua mineral hadirnya mineral

kalkopirit.

4.2 Saran

1) Baik praktikan maupun asisten dapat lebih memperhatikan kebersihan

laboratorium.

2) Praktikan dapat diajari lebih banyak lagi mengenai paragenesa mineral bijih.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, R. L., Dkk. 2010. Atlas of Alteration A Field and Petrographic Guide to
Hydrothermal Alteration Minerals. Geological Association of Canada
Mineral Deposits Division: Canada.

Azizah, Nurul. 2017. Identifikasi Sistem Epitermal Sulfida Tinggi Berdasarkan


Data Magnetik Dan Variational Mode Decomposition. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember: Surabaya.

Bonewitz, Ronald Louis. 2012. Nature Guide Rocks and Mineral. Dorling
Kindersley: London.

Corbett, G.J., & T.M. Leach. 1998. Southwest Pacific Gold-Copper Systems:
Structure, Alteration, and Mineralization. Special Publication 6 Edition:
Society of Economic Geologists.

Guilbert, J.M. and Park, C. F.1986. The Geology of Ore Deposits. W. H. Freeman
and Company: New York.

Marshal, Dan, Dkk. 2004. Ore Mineral Atlas. Geological Association of Canada
Mineral Deposits Division: Canada.

Maulana, Adi. 2017. Endapan Mineral. Penerbit Ombak: Yogyakarta.

Nugraha, Fuad Ivan. 2017. Album Mineral Optik. Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional Yogyakarta: Yogyakarta.

Pirajno, F. 1992. Hydrothermal Mineral Deposits. Principles and Fundamental


Concepts for the Exploration Geologist. Berlin, Heidelberg, New York,
London, Paris, Tokyo, Hong Kong: Springer-Verlag.

Rahmaningrum, A. Nurul Novia, Asrafil. 2021. Alterasi Dan Mineralisasi Bijih


Pada Batuan Diorit Di Daerah Wombo, Sulawesi Tengah. JGE (Jurnal
Geofisika Eksplorasi) Vol. 07 No. 02, Juli 2021 (138-149). Universitas
Tadulako: Palu.

Sillitoe, R H, 1999. Epithermal models: Genetic types, geometrical controls and


shallow features, in Mineral Deposit Modeling. Geological Association of
Canada, Special Paper 40:4.
Subandrio, A. S., N. I. Basuki. 2010. Alteration and Vein Textures Associated with
Gold Mineralization at the Bunikasih Area, Pangalengan, West Java.
https://media.neliti.com/media/publications/68544-EN-alteration-and-vein-
textures-associated.pdf. Diakses pada tanggal 25 Maret 2022 pada pukul
10.03 WITA.

White and Hedenquist. 1995. Epithermal Gold Deposits: Styles, Characteristics


and Exploration. SEG Newsl, 23.

White, N. 1991. High Sulfidation Ephitermal Gold Deposits: Characteristic and a


model for their origin. Geological Survey of Japan, Report 277:9.
L

Anda mungkin juga menyukai