Anda di halaman 1dari 8

Lentera Kecil

Mengajarkan
& Mengasuh
dengan
Empati
Saya lahir dan dibesarkan sebagai anak tunggal hampir sebagian
kehidupan saya. Jadi anak tunggal berarti kamu memiliki segala per-
hatian orangtua dan kalau dalam kasus ini saya jadi tak terbiasa
untuk berbagi.

Ketika punya saudara, kita tentu dituntut untuk berkompromi sementa-


ra saya terbiasa selalu menang sendiri. Hal ini membuat saya jadi
orang yang sulit berbagi dan mengerti perasaan orang lain, karena
saya terbiasa untuk dimengerti. Setelah bersekolah di asrama selama
3 tahun, saya mulai belajar untuk berbagi karena untuk bertahan
disana saya harus berbaur.

Salah satu kritik yang saya sering dengar dulu, saya adalah orang
yang egois dan pelit. Mungkin memang benar, dulu saya memang tak
paham kenapa harus membagi sesuatu yang memang milik saya?
Saya juga merasa kebingungan ketika diminta untuk jadi lebih sensitif
dalam memahami perasaan orang lain.

Bagaimana caranya memahami perasaan orang lain?

Ternyata yang membuat saya tahu cara memahami orang lain adalah
memperbanyak interaksi dengan orang lain. Mengakrabkan diri
dengan emosi dan kondisi orang lain. Hal ini tentunya tak bisa dilaku-
kan hanya lewat gadget. Sementara, saya dibesarkan bersama
gadget, karena kedua orang tua saya sangat sibuk. Padahal untuk
memahami emosi orang lain harus ada kondisi yang nyata yang mem-
berikan kita kesempatan untuk mengamati. Sebagai anak yang kedua
orangtuanya kerja dan selalu dimanja, saya tak punya kesempatan
dan tak diajarkan cara mengerti perasaan orang lain.
Saya lahir dan dibesarkan sebagai anak tunggal hampir sebagian
kehidupan saya. Jadi anak tunggal berarti kamu memiliki segala per-
hatian orangtua dan kalau dalam kasus ini saya jadi tak terbiasa
untuk berbagi.

Ketika punya saudara, kita tentu dituntut untuk berkompromi sementa-


ra saya terbiasa selalu menang sendiri. Hal ini membuat saya jadi
orang yang sulit berbagi dan mengerti perasaan orang lain, karena
saya terbiasa untuk dimengerti. Setelah bersekolah di asrama selama
3 tahun, saya mulai belajar untuk berbagi karena untuk bertahan
disana saya harus berbaur.

Salah satu kritik yang saya sering dengar dulu, saya adalah orang
yang egois dan pelit. Mungkin memang benar, dulu saya memang tak
paham kenapa harus membagi sesuatu yang memang milik saya?
Saya juga merasa kebingungan ketika diminta untuk jadi lebih sensitif
dalam memahami perasaan orang lain.

Bagaimana caranya memahami perasaan orang lain?

Ternyata yang membuat saya tahu cara memahami orang lain adalah
memperbanyak interaksi dengan orang lain. Mengakrabkan diri
dengan emosi dan kondisi orang lain. Hal ini tentunya tak bisa dilaku-
kan hanya lewat gadget. Sementara, saya dibesarkan bersama
gadget, karena kedua orang tua saya sangat sibuk. Padahal untuk
memahami emosi orang lain harus ada kondisi yang nyata yang mem-
berikan kita kesempatan untuk mengamati. Sebagai anak yang kedua
orangtuanya kerja dan selalu dimanja, saya tak punya kesempatan
dan tak diajarkan cara mengerti perasaan orang lain.
Mungkin memang pada akhirnya saya belajar sendiri, tapi inilah yang
mendorong saya untuk bertekad bahwa suatu hari saya ingin menga-
jarkan cara berempati. Saya ingin menjadikan empati salah satu hal
penting yang akan saya tanamkan dalam kehidupan keluarga se-
hari-hari.

Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya di


posisi orang lain. Sejak awal kita lahir sebagai makhluk sosial yang
tak bisa bertahan sendiri. Terutama seorang bayi yang terlahir tak
berdaya, harus dirawat dan diasuh hingga kemudian bisa menjadi
pribadi yang mandiri.

Oleh karena itu, empati adalah salah satu bekal untuk anak bertahan
dan beradaptasi pada berbagai situasi sosial di kemudian hari. Se-
bagai orangtua, kita tentu berharap anak bisa memiliki teman yang
tulus dan baik. Oleh karenanya akhlak dan karakter yang baik perlu
kita tanamkan sejak dini agar anak juga bisa memiliki lingkaran
teman yang baik. Karena teman yang memiliki value/nilai yang sama
dalam kehidupan akan bersatu dengan sendirinya.

Mendidik dengan empati berarti ada upaya menempatkan diri pada


posisi orang lain. Karena tanggung jawab pendidikan anak bukan be-
rawal dari sekolah, tapi dimulai dirumah. Proses belajar dirumah yang
penuh empati adalah proses berulang untuk bertukar pendapat dan
saran. Ada timbal balik dan proses dinamis dalam belajar, dimana
orangtua dan anak saling bertukar pikiran dan menemukan hal baru
bersama-sama. Hal ini juga salah satu upaya untuk mendidik anak
jadi pribadi yang cerdas dan kritis dengan cara mendidik yang men-
dorong inisiatif anak.
Berbeda dengan cara mendidik tradisional ketika orang tua yang
menyuapi pengetahuan terus menerus, sementara anak menerima
saja. Pendidikan jenis ini, anak berarti ikut terlibat dalam menentukan
hal apa yang ingin dipelajari terlebih dahulu sesuai minatnya.

Mendidik dengan empati berarti jadi orangtua yang bersedia mema-


hami. Tak hanya ingin didengarkan, tapi memberikan kesempatan
bagi anak untuk berpendapat. Memberikan kesempatan anak untuk
berbicara bukanlah mendidik anak jadi pintar melawan, justru sebali-
knya ini jadi kesempatan bagi anak untuk menjelaskan alasan dari
perilakunya.

Hal ini kemudian dapat membantu orang tua memahami anak dan
meluruskan keliru yang diperbuat. Kesediaan mendidik dengan
empati perlu dibuktikan dengan perilaku yang konsisten agar anak
bisa melihat pola perilaku orangtua. Maka untuk mendidik anak jadi
penuh empati, bertindaklah seperti orang tua yang penuh empati.

Saat ini tak hanya di Indonesia, berbagai daerah di dunia mengalami


krisis empati pada generasi mudanya. Hal ini menyebabkan anak
menjadi hanya memikirkan diri sendiri, berkurangnya kepedulian, dan
berkurang rasa kasih sayang bagi sesama. Orang tua masa kini tak
jarang lebih banyak mengajarkan cara untuk berkompetisi, bukan
saling mengerti dan berkolaborasi. Sehingga, bagaimana bisa
menuntut anak untuk menjadi orang yang bisa berbagi dan memahami
tanpa diajarkan caranya? Keberadaan gadget juga tak membantu
kondisi ini, kecanduan gadget dan games jadi salah satu hambatan
berkembangnya empati pada anak.
Maka orang tua perlu menjadi tegas dalam penggunaan gadget
agar jadi efektif, bukan menjadikan ketergantungan dengan gadget
sebagai suatu yang wajar. Perlu ada alokasi waktu dan aturan yang
jelas bagi penggunaan gadget, terutama bagi anak dengan usia
yang lebih muda.

Salah satu manfaat empati pada anak adalah ketika anak tumbuh
menjadi remaja. Pada proses pencarian jati diri anak ketika masa
remaja, kelak anak dengan empati yang baik tidak mudah terbawa
arus pergaulan. Karena berempati berarti memahami kondisi orang
lain, bukan berarti harus menjadi mereka atau sekedar ikut-ikutan
untuk diterima. Sudah banyak penelitian yang menghubungkan empati
dengan terbentuknya perilaku prososial yaitu perilaku menolong
orang lain.

Pengasuhan memiliki makna adanya upaya pemenuhan kebutuhan


bagi anak oleh orangtua, termasuk kebutuhan akan sosialisasi dan
kasih sayang. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa gaya pengasu-
han orangtua (parenting style) bisa mempengaruhi perkembangan
empati anak. Secara garis besar ada 4 gaya pengasuhan anak
menurut Baumrind. Gaya pengasuhan ini terdiri atas otoriter, permisif,
demokratis, dan ignorance (abai). Pengasuhan permisif atau bisa dib-
ilang serba boleh dan minim aturan akan menghambat perkemban-
gan empati pada anak sesuai pada penelitian. Anak dengan empati
yang baik akan tumbuh jadi anak yang mampu beradaptasi pada
situasi sosial dan menolong sesama. Sedangkan anak dengan empati
rendah dapat mengembangkan perilaku antisosial. Perilaku antisosial
ini sendiri secara ilmiah bukan perilaku yang penyendiri, tapi maknan-
ya perilaku yang menyimpang dari norma yang ada.
Berempati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang
lain dan memahami. Memahami disini juga termasuk pada mengerti
kondisi emosional seseorang, tapi tanpa terlarut dalam emosi orang
lain. Maka tak heran kalau kemampuan berempati jadi salah satu
tolak ukur kecerdasan emosi. Cara termudah untuk mengajarkan
empati pada anak adalah dengan menjadi teladan bagi anak. Su-
dahkah kita mempraktekkan empati dalam kehidupan sehari-hari?
Berikut adalah skill dasar apa yang dibutuhkan untuk jadi orangtua
penuh empati :

Pertama, tentu skill dalam berkomunikasi. Tak hanya didengarkan oleh


anak, tapi juga mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh
anak. Seringkali kita mengajarkan tentang tata krama, cara meng-
hargai orangtua, dan berkomunikasi tanpa benar-benar memberikan
contoh. Perlakukan anak dengan berharga dan baik, secara bergan-
tian saling mendengarkan. Jangan potong ucapannya dan jelaskan
mengapa anak perlu melakukan hal yang sama. Jadilah contoh yang
baik bagi anak ketika berkomunikasi dengan sesama, orang yang
lebih tua, bahkan lebih muda.

Kedua, skill menjadi aktor. Bermain peran bisa jadi salah satu sarana
yang baik untuk menumbuhkan empati terutama pada anak usia dini.
Bermain peran atau role playing tak akan seru dilakukan sendirian,
orangtua perlu ikut terlibat dengan anak. Anak bisa belajar mempo-
sisikan diri sebagai orang lain misalnya pedagang, polisi, seorang
putri dll. Selain membantu menumbuhkan empati, bermain peran juga
terbukti bisa membantu perkembangan imajinasi pada anak.
Ketiga, validasi emosi. Dalam berempati, merasakan adalah hal yang
penting. Bagi beberapa orang berhadapan dengan emosi yang rumit
mungkin tidak mudah. Menemani anak ketika melalui perasaan yang
tak baik-baik saja bisa menjadi peluang besar. Peluang ini berarti
ada kesempatan orang tua menjalin hubungan yang lebih dalam dan
akrab ketika mengurai emosi yang sulit dan bicara dari hati ke hati
dengan anak. Yakinkan anak bahwa apa yang sedang dirasakannya
adalah hal yang nyata dan wajar. Terutama perasaan yang rumit
bagi anak dengan usia yang lebih muda, seperti perasaan kecewa, iri,
bahkan rasa khawatir yang sangat membutuhkan bimbingan orangtua
untuk membantu anak memahami perasaan ini.

Ditulis oleh Anika Fatima,


Founder @semaibersemi
https://www.instagram.com/semaibersemi/
Wadah untuk membantu setiap orang mencintai diri dan bertumbuh.

Referensi :
Chesin, M., Clark, S., Jeglic, E. L. (2009). The role of empathy and
parenting style in the development of antisocial behaviors, Crime &
Delinquency,55(4), 586-599.
https://medium.com/@alonshwartz/our-kids-are-losing-their-em-
pathy-technology-has-a-lot-to-do-with-it-7f18f2654a7f
https://www.zerotothree.org/re-
sources/5-how-to-help-your-child-develop-empathy

Anda mungkin juga menyukai