Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

TAKSONOMI HEWAN VERTEBRATA


IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN KUNCI DETERMINASI
KELAS AMFIBI

OLEH:
KELOMPOK II/ B
1. WELI DANIATI : 2110421008
2. ELZAM NAUFAL ZULFIKRI : 2110421020
3. SENRIELLA HABINUYA : 2110421030
4. INAYA CITA ARISTY : 2110422026
5. DEBBY RAHMADANI : 2110422030
6. NABILA FIRDAYANTI : 2110423028

ASISTEN PJ KELOMPOK : 1. YUDHA OKPRIANDA


2. CHERIA HAFIZAH PUTRI

LABORATORIUM PENDIDIKAN I
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelas Amfibi adalah hewan yang hidupnya di darat dan di air. Amfibi yang hidup
di dunia terdiri dari tiga Ordo yang pertama adalah Caudata atau Salamander,
Cecilia atau Gymnopiona dan Anura (Ario, 2010). Kehidupan herpetofauna seperti
amfibi secara signifikan dipengaruhi oleh suhu (Izza dan Kurniawan, 2014). Hal ini
disebabkan karena amfibi adalah hewan polikiotermik (Adhiaramanti et al., 2016)
dimana suhu tubuh berfluktuasi terhadap suhu lingkungan (Qurniawan dan
Eprilurahman, 2012). Menurut Kusrini (2013) amfibi sangat tergantung pada air.
Berdasarkan dari data IUCN 2013 Indonesia merupakan negara kelima di
dunia yang memiliki jumlah spesies amfibi yang beragam, dengan total sebanyak
392 spesies dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia, salah satunya ialah
Provinsi Banten (Pratihar et al., 2014). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
keanekaragaman amfibi di suatu habitat itu rendah salah satunya adalah faktor
lingkungan, faktor predator dan aktivitas manusia. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan menurut Giollespie et al. (2015) amfibi akan memberikan respon negatif
terhadap kondisi hutan tropis yang mendapat gangguan karena aktivitas manusia.
Sedangkan menurut Yudha et al., (2013) angka keanekaragaman suatu jenis dapat
berbeda karena faktor aktivitas manusia di habitat tersebut. Menurut Nesty et al.,
(2013) variasi morfologi yang terjadi pada suatu sepesies dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan seperti kondisi habitat, jarak antar populasi, dan isolasi geografis.
Secara umum amfibi bisa dikelompokkan berdasarkan habitat dan kebiasaan
hidup, yaitu: terestrial yang hidup di atas permukaan tanah dan agak jauh dari air
kecuali pada saat musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus melanostictus
merupakan salah satu contohnya, arboreal merupakan kelompok yang hidup di atas
pohon. Jenis-jenis katak pohon umumnya arboreal misalkan Rhacophorus
reinwardtii, R. margaritifer, Nyxticalus margaritifer dan Polypedates leucomysta.
Akuatik merupakan kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar
badan air. Phrynoidis aspera, Limnonectes kuhlii, dan L.macrodon merupakan jenis
yang umum dijumpai di sekitar perairan. Fossoria merupakan kelompok yang hidup
di dalam lubang-lubang tanah. Jenis-jenis seperti Kaloula baleata atau K.pulchra
biasanya berada di dalam lubang-lubang di tanah dan hanya keluar pada saat hujan.
Sesilia juga umumnya bersifat fossorial (Kusrini, 2013).
Amfibi memiliki peran yang penting dalam menjaga ekosistem yaitu sebagai
predator pada tingkatan rantai makanan di suatu ekosistem terutama pada
pengendalian populasi serangga. Selain itu amfibi juga berperan sebagai
bioindikator yang mampu menggambarkan suatu kualitas lingkungan (Qurniawan
dan Trijoko, 2012).
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui morfologi dari hewan kelas Amfibi
2. Untuk mengetahui ukuran serta jumlah bagian-bagian tubuh dari kelas Amfibi
3. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi dan pengklasifikasian kelas Amfibi
4. Untuk membuat kunci determinasi dari objek praktikum yang diamati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Amfibi berasal dari kata “amphi” yang artinya rangkap, dan “bios” yang artinya
kehidupan. Amfibi adalah hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua
alam yaitu di air dan di daratan. Amfibi mempunyai ciri-ciri yaitu tubuh diselubungi
kulit yang berlendir, mempunyai jantung yang terdiri dari tiga ruangan yaitu dua
serambi dan satu bilik, merupakan hewan berdarah dingin (poikiloterm),
pernapasan pada saat masih kecebong berupa insang, setelah dewasa alat
pernapasannya berupa paru-paru dan kulit. Hidung mempunyai katup yang
mencegah air masuk ke dalam rongga mulut ketika menyelam, serta berkembang
biak dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantan di luar tubuh
induknya atau pembuahan eksternal (Septina, 2021).
Amfibi merupakan hewan berdarah dingin, artinya hewan yang
memanfaatkan suhu lingkungan untuk mengatur suhu tubuhnya. Sehingga tidak
dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri. Amphibia dapat bertelur di tempat lembap
atau berair. Habitat Amphibi diantaranya yaitu hutan, kolam, sawah, dan danau.
Amphibi mempunyai kulit basah dan lembut agar oksigen dapat dengan mudah
masuk menembus kulit. Sebagian besar amphibi dewasa bernapas menggunakan
kulit dan juga melalui paru-paru. Kelembapan kulit Amfibi dijaga oleh kelenjar
khusus di bawah kulitnya. Amfibi menjaga kelembapan kulitnya dengan selalu
berada di dekat air. Sebagian besar Amfibi lahir dan tumbuh di air tawar kemudian
setelah dewasa berpindah ke daratan kering dan kembali ke air untuk berkembang
biak. Sebagian besar amphibia menelurkan telur yang lembut (Swambara et al.,
2019).
Menurut Firizki (2021), Amfibi terbagi menjadi tiga ordo yang meliputi
Caecilia (Gymnophiona), Caudata dan Anura. Ordo Caecilia (Gymnophiona)
mempunyai beberapa ciri-ciri umum yaitu tidak mempunyai kaki, sehingga disebut
apoda, tubuh menyerupai cacing, memiliki segmen, tidak memiliki tungkai, dan
ekor mereduksi. Ordo ini mempunyai mata yang tereduksi, tertutup oleh kulit atau
tulang, retina pada beberapa spesies berfungsi sebagai fotoreseptor. Pada bagian
anterior terdapat tentakel yang fungsinya sebagai organ sensor. Kelompok ini
menunjukkan 2 bentuk dalam daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan
bernapas dengan insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya
ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik (Widzasta, 2018).
Ordo Caecilia mempunyai 5 famili yaitu Rhinatrematidae, Ichtyopiidae,
Uraeotyphilidae, Scolecomorphiidae, dan Caecilidae. Famili yang ada di Indonesia
adalah Ichtyopiidae. Anggota famili ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik,
ekornya pendek, mata relatif berkembang, dan reproduksi secara ovipar. Larva
berenang bebas di air dengan tiga pasang insang yang bercabang yang segera hilang
walaupun membutuhkan waktu yang lama di air sebelum metamorfosis (Widzasta,
2018).
Ordo Urodela dikenal juga dengan nama ordo Caudata. Ordo ini mempunyai
ciri tubuh memanjang, mempunyai anggota gerak dan ekor serta tidak memiliki
tympanum. Tubuh dapat dibedakan antara kepala, leher, dan badan. Terdapat
beberapa spesies yang mempunyai insang dan yang lainnya bernapas dengan paru-
paru. Terdapat mata yang kecil pada bagian kepala dan pada beberapa jenis, mata
mengalami reduksi. Fase larva hampir mirip dengan fase dewasa. Anggota ordo
Urodela hidup di darat akan tetapi tidak dapat lepas dari air. Pola persebarannya
meliputi wilayah Amerika Utara, Asia Tengah, Jepang dan Eropa. Urodela
mempunyai 3 sub ordo yaitu Sirenidea, Cryptobranchoidea dan Salamandroidea.
Sub ordo Sirenidae hanya memiliki 1 famili yaitu Sirenidae, sedangkan sub ordo
Cryptobranchoidea memiliki 2 famili yaitu Cryptobranchidae dan Hynobiidae. Sub
ordo Salamandroidea memiliki 7 famili yaitu Amphiumidae, Plethodontidae,
Rhyacotritoniade, Proteidae, Ambystomatidae, Dicamptodontidae dan
Salamandridae (Khatimah, 2018).
Anura merupakan ordo yang memiliki jumlah spesies terbesar dibandingkan
Ordo lainnya. Anura mempunyai arti tidak memiliki ekor. Anggota ordo Anura
mempunyai ciri umum tidak mempunyai ekor, kepala bersatu dengan badan, tidak
mempunyai leher dan tungkai berkembang baik. Tungkai belakang lebih besar dari
pada tungkai depan. Hal ini mendukung pergerakannya yaitu dengan melompat.
Pada beberapa famili terdapat selaput diantara jari-jarinya. Membrana tympanum
terletak di permukaan kulit dengan ukuran yang cukup besar dan terletak di
belakang mata. Kelopak mata dapat digerakkan. Mata berukuran besar dan
berkembang dengan baik. Fertilisasi secara eksternal dan prosesnya dilakukan di
perairan yang tenang dan dangkal (Maulana, 2021).
Pada ordo Anura terdapat perbedaan antara katak dengan kodok. Katak
merupakan hewan Amphibia pemakan serangga yang mana kelompok hewan ini
fase daur hidupnya berlangsung di air dan di darat. Katak memiliki kulit yang halus
dan cenderung lembap. Kulit katak berlendir, tubuhnya ramping dan terlihat elastis.
Ujung jari berbentuk bulat kecil digunakan untuk menempel di pohon. Tungkai
katak lebih panjang dan berselaput. Lompatan pada katak bisa panjang dari
tubuhnya dan tidak beracun (Rohadian et al., 2022).
Kodok memiliki kulit yang kasar, bertubuh pendek, gempal atau kurus, jari
mirip cakar yang dapat digunakan untuk menggali. Memiliki punggung agak
bungkuk, mempunyai empat kaki dan tidak mempunyai ekor. Kodok umumnya
lembap, dengan kaki belakang yang panjang. Sebaliknya katak atau bangkong
berkulit kasar berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan
kaki belakangnya sering pendek, sehingga sebagian besar kodok kurang pandai
melompat jauh. Ada yang beracun karena memiliki kelenjar yang menonjol di
bagian leher dan pundak memancarkan racun ringan (Hidayah, 2018).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Amfibi dilaksanakan pada hari Senin, 9 Mei 2022 di Laboratorium
Pendidikan I, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Andalas.
3.2 Alat dan Bahan
Pada praktikum amfibi, alat yang disiapkan adalah penggaris, sterofoam hitam,
kamera, sarung tangan, wadah, dan alat tulis. Bahan atau objek yang digunakan
adalah Fejervarya cancrivora, Duttaphrynus melanotictus, Amnirana
nicobariensis, dan Polypedates leucomystax.
3.3. Cara Kerja
Cara kerja pada praktikum kali ini disiapkan masing-masing spesies dan diletakkan
di atas sterofoam hitam. Kemudian diambil gambar menggunakan kamera digital
dengan penggaris sebagai alat pembanding ukuran. Selanjutnya dilakukan
pengukuran morfometrik yaitu head width, snout-vent length, head length, tibia
length, foot length, dan thigh length.dan pengamatan morfologi yaitu lipatan atau
garis dorsolateral, kelenjar paratoid, kepala lebih lebar dari badan, timpanum
terlihat, bentuk pupil, tekstur kulit, webbing kaki belakang, bentuk ujung jari, dan
keterangan warna tubuh. Setelah melakukan pengukuran dan pengamatan
dilanjutkan dengan mencatat hasil pada tabel yang telah disediakan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi

Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

4.1.1 Fejervarya cancrivora


Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Family : Ranidae
Genus : Fejervarya Gambar 1. Fejervarya cancrivora
Spesies : Fejervarya cancrivora Sumber : Kelompok 2

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil


pengukuran lebar kepala 1,5 cm, panjang ventilasi mulut 7 cm, panjang kepala 2
cm, panjang tibia 3 cm, panjang kaki 4 cm, panjang paha 2,5 cm. Sedangkan pada
garis dorsolateral, kelenjar paratoid itu tidak ada. Dan pada pernyataan kepala lebih
lebar dari badan itu tidak benar, serta timpanumnya terlihat. Bentuk pupil mata ialah
horizontal, dengan tekstur yang halus. Webbing kaki belakangnya setengah jari
dengan bentuk ujung jari sama besar. Untuk warnanya itu bagian atas berwarna
putih dan bagian bawah berwarna kecoklatan, dengan corak bintik hitam bagian
atas.
Fejervarya cancrivora ini kodok yang sering dijumpai di daerah berawa,
khususnya dekat lingkungan buatan manusia. Merupakan satu-satunya jenis amfibi
modern yang mampu hidup di daerah yang berair. Kebanyakan aktif di waktu gelap
dan pagi hari, di siang hari kodok ini berlindung di balik rerumputan atau celah di
pematang, dan tiba-tiba melompat ke air apabila hendak terpijak. Pada malam hari,
terutama sehabis hujan turun, kodok jantan berbunyi-bunyi memanggil betinanya
dari tepi air (Riko dan Titin, 2012).
Salah satu jenis penyakit yang menyerang katak adalah parasit. Parasit
merupakan organisme yang pertumbuhan dan hidupnya bergantung pada organisme
lain yang dinamakan inang. Inang ini dapat berupa hewan, tumbuhan atau manusia.
Infeksi endoparasit pada katak liar maupun budidaya tidak begitu diperhatikan
karena infeksi yang diakibatkan tidak menimbulkan dampak yang begitu besar
dibandingkan infeksi bakteri dan jamur. Padahal serangan endoparasit dapat
membuat katak kehilangan nafsu makan, lemas, tidak lincah dan apabila dibiarkan
terus menerus akan mengalami kematian. Kerugian lain berupa kerusakan organ
saluran pencernaan, paha, pertumbuhan katak terhambat dan menurunnya kualitas
katak sehingga nilai jualnya rendah. Selain itu, endoparasit pada katak jika
termakan manusia dapat menyebabkan penyakit yaitu sparganosis (Hou et al,
2012).
4.1.2 Duttaphyrinus melanosticus
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Family : Bufonidae
Genus : Duttaphrynus Gambar 2. Duttaphyrinus melanosticus
Spesies : Duttaphrynus melanosticus Sumber : Kelompok 2

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil


pengukuran lebar kepala 3 cm, panjang ventilasi mulut 8,5 cm, panjang kepala 2,5
cm, panjang tibia 3 cm, panjang kaki 2 cm, panjang paha 3 cm. Garis dorsolateral
dan kelenjar paratoid tidak ada. Dan pada pernyataan kepala lebih lebar dari badan
itu tidak benar, serta timpanumnya terlihat. Bentuk pupil mata ialah horizontal,
dengan tekstur yang kasar. Webbing kaki belakangnya kurang dari setengah jari
dengan bentuk ujung jari kecil dari jari. Untuk warnanya itu bagian atas berwarna
merah kecoklatan dengan corak bintik hitam. Dan bagian bawah berwarna hijau
kecoklatan dan ada bintik hitam.
Duttaphyrinus melanosticus merupakan kodok paling umum ditemukan di
berbagai tempat termasuk perkampungan dan kota, lahan olahan, tempat terbuka,
kebun, parit di pinggiran jalan serta biasa berada di tanah kering, di atas rumput dan
di atas serasah (Kusrini, 2013). Penyebarannya terdapat di Asia Tenggara,
Kepulauan Sunda dari Sumatra dan Jawa, wilayah pesisir, dan Myanmar
mempunyai kesamaan DNA. Duttaphyrinus melanosticus juga tersebar di India,
terutama di pulau Andaman dan pulau Nicobar. Di Indonesia jenis ini ditemukan di
semua pulau besar seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Papua (Reilly
et al, 2017). Menurut Döring et al, (2017), Duttaphyrinus melanosticus diketahui
mampu hidup di habitat manusia dan menyebar dengan luas ke berbagai daerah.
Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kemampuannya memakan berbagai
jenis serangga.
4.1.3 Amnirana nicobariensis
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Amnirana Gambar 3. : Amnirana nicobariensis
Spesies : Amnirana nicobariensis Sumber : Kelompok 2

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil


pengukuran lebar kepala 1cm, panjang ventilasi mulut 4 cm, panjang kepala 1,5
cm, panjang tibia 2 cm, panjang kaki 2,5 cm, panjang paha 2 cm. Sedangkan pada
garis dorsolateral itu ada , kelenjar paratoid itu tidak ada. Dan pada pernyataan
bahwa kepala lebih lebar dari badan itu tidak benar, serta timpanumnya terlihat.
Bentuk pupil mata ialah horizontal, dengan tekstur yang halus. Webing kaki
belakangnya setengah jari dengan bentuk ujung jari sedikit lebih besar dari pada
jari. Dimana pada bagian dorsal berwarna coklat tua dengan bintik hitam dan pada
bagian ventral berwarna putih keabuan.
Amnirana nicobariensis atau kongkang jangkrik merupakan salah satu jenis
katak dengan persebaran yang cukup luas dari Pulau Nicobar, Semenanjung
Malaysia, hingga Jawa dan Bali. Persebaran yang luas menimbulkan adanya variasi
morfologi berdasarkan faktor ekologis dan habitatnya. Penelitian yang dilakukan
Wati et al., (2013). Amnirana adalah satu dari contoh spesies pada famili Ranidae
yang memiliki persebaran paling luas, sesuai dengan pernyataan Polgar dan Jafar
2017 bahwa persebaran paling luas pada amphibi famili ranidae tetaplah pada
spesies amnirana nicobariensis dari waktu ke waktu. Warna punggung dan kaki
umumnya berwarna coklat terang hingga coklat tua dengan beberapa bintik-bintik
yang berwarna lebih gelap, terutama di daerah lipatan paha.Punggung dan kaki
biasanya berwarna cokelat muda hingga tua, dengan beberapa pola yang lebih gelap
di sekitar kloaka. Pola dua garis agak kabur terkadang muncul sejajar dengan tulang
belakang. Bagian sisi tubuh biasanya lebih gelap hingga kehitaman, memanjang
dari antara hidung dan mata terus sampai ke bagian ujung tubuhnya (Iskandar,
2018).
4.1.3 Polypedates leucomystax
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Rhacophoridae
Genus : Polypedates
Spesies : Polypedates leucomystax

Gambar 4. Polypedates. leucomystax


Sumber : Kelompok 2
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil
pengukuran lebar kepala 1 cm, panjang ventilasi mulut 5 cm, panjang kepala 1,5
cm, panjang tibia 2 cm, panjang kaki 2 cm, panjang paha 2,3 cm. Sedangkan pada
garis dorsolateral, kelenjar paratoid itu tidak ada. Dan pada pernyataan bahwa
kepala lebih lebar dari badan itu tidak benar, serta timpanumnya terlihat. Bentuk
pupil mata ialah horizontal, dengan tekstur yang halus. Webbing kaki belakangnya
setengah jari dengan bentuk ujung jari sedikit lebih besar dari pada jari. Dimana
pada bagian dorsal berwarna hijau tua dengan bercak kuning kehijauan dan pada
bagian ventral berwarna putih keabuan.
Polypedates leucomystax dikenal dengan nama katak pohon bergaris karena
adanya garis di punggungnya. Spesies ini tersebar luas dari ketinggian 200-1.400
mdpl (Alikondra, 2012). Katak pohon P. leucomystax tersebar di beberapa negara
Asia, di Indonesia tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Di
Sumatera Barat dapat ditemukan di beberapa daerah yaitu Padang, Padang Panjang,
Solok, Payakumbuh, Pesisir Selatan, Sijunjung, Dharmasraya, dan Alahan Panjang.
Jumlah karakter signifikan yang cukup banyak ini menunjukkan bahwa telah terjadi
diferensiasi karakter morfologi yang tinggi pada spesies P. leucomystax di
Sumatera Barat. Inger dan Voris (2011) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah
karakter yang menunjukkan variasi dan diferensiasi pada seluruh populasi yang
diuji, maka semakin tinggi juga tingkat variasi dari spesies tersebut.

4.2 Kunci Determinasi


1. A. Bentuk tubuh ramping ................................................................................... 2
B. Bentuk tubuh bulat ......................................................................................... 5
2. A. Warna kulit coklat tua ................................................................................... 3
B. Warna kulit tidak coklat tua ........................................................................... 4
3. A. Webbing kaki sejari ................................................. .Amnirana nicobariensis
B. Webbing kaki setengah jari ........................................................................... 5
4. A. Bentuk ujung jari tidak membesar ................................................................ 5
B. Bentuk ujung jari sedikit membesar ……………………………………….. 6
5. A. Mempunyai kelenjar paratoid……………………………………………… 6
B. Tidak mempunyai kelenjar paratoid………………... .Fejervarya cancrivora
6. A. Tekstur tubuh kasar ............................................. .Duttaphrynus melanotictus
B. Tekstur tubuh halus ................................................. Polypedates leucomystax
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pratikum yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut yaitu:
a. Fejervarya cancrivora mempunyai kulit yang halus, memiliki bintik hitam pada
bagian dorsal, pada bagian ventral berwarna putih kecoklatan. Tidak terdapat
kelenjar paratoid, bentuk pupil horizontal, serta terdapat webbing kaki yang
ukurannya setengah jari kaki.
b. Duttaphrynus melanostictus mempunyai kulit yang kasar, pada bagian dorsal
berwarna merah kecoklatan, memiliki bitnik hitam, sedangkan pada bagian
ventral berwarna hijau kehitaman yang ditambah bintik hitam. Terdapat kelenjar
paratoid, bentuk pupil horizontal, serta terdapat webbing yang ukurannya kurang
dari setengah jari.
c. Amnirana nicobariensis mempunyai kulit yang halus dengan warna coklat tua
berbintik hitam dan pada ventral berwarna putih keabu-abuaan. Tidak terdapat
kelenjar paratoid, bentuk pupil horizontal, serta terdapat webbing yang
ukurannya sejari.
d. Polypedates leucomystax mempunyai kulit yang halus dengan warna hijau tua
dengan bercak kuning kehijauan pada bagian dorsal dan pada bagian ventral
berwarna putih keabu-abuan. Tidak terdapat kelenjar paratoid, bentuk pupil
horizontal, serta terdapat webbing yang ukurannya setengah jari.
5.2 Saran
Diharapkan kepada semua praktikan untuk lebih berani dalam memegang objek
praktikum karena akan berguna jika misalnya suatu saat nanti salah satu dari objek
pratikum masuk ke dalam rumah, praktikan tidak langsung membunuhnya, serta
lebih teliti pada saat pengamatan morfologi dan dalam melakukan pengukuran agar
mendapatkan hasil yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

Adhiaramanti, Titis & Sukiya. 2016. Keanekaragaman Anggota Ordo Anura di


Lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta. Journal Biologi, 5(6): 65-71.
Alikondra, H. S. 2012. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa. Bagian III
(Pengelolaan Margasatwa). Jurusan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
IPB. Bogor.
Ario, A. 2010. Panduan Lapangan Satwa Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Jakarta : Convation International Indonesia.
Döring, B., Mecke, S., Kieckbusch, M., O’Shea, M., & Kaiser, H. 2017. Food
Spectrum Analysis of The Asian toad, Duttaphrynus melanostictus
(Schneider, 1799) (Anura: Bufonidae), From Timor Island, Wallacea.
Journal of Natural History, 51: 607–623.
Firizki, D. T. 2021. Karakterisasi suara microhyla achatina (tschudi, 1838) di
Coban Kodok Kecamatan Pujon dan Coban Pelangi Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang Jawa Timur (Anura: Amphibia). Doctoral
Dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Gillespie, G., Howard, S., Stroud, J.T., UI-Hasanah, A., Campling, M., Lardner, B.,
Scroggie, M.P., & Kusrini, M. 2015. Responses of Tropical Forest
Herpetofauna to Moderate Anthropogenic Disturbance & Effect of Natural
Habitat Variation in Sulawesi, Indonesia [Electronic Version]. Biological
Conservation, 192: 161-173.
Hidayah, A. 2018. Keanekaragaman Herepetofauna di Kawasan Wisata Alam
Coban Putri Desa Tlekung Kecamatan Junrejo Batu Jawa Timur. Doctoral
Dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Hou, X., MacManus D.P., Lou Z., Chen, S., & Li Y. 2012. Differentiation and
Diagnosis of Migrating Cerebral Sparganosis. Journal Case Reports
fromChina 1(2): 13-18.
Inger, R. F & H. K Voris. 2011. Biogeographycal Relations of The Frog and Snake
of Sundaland. Journal of Biogeography 28: 863-891.
Iskandar, D. T. 2018. The Amphibians of Java and Bali. Research and Development
Centre for Biology-LIPI. Bogor.
Izza, Q & Kurniawan, N. 2014. Eksplorasi Jenis-Jenis Amfibi di Kawasan OWA
Cangar dan Air Terjun Watu Ondo, Gunung Welirang, Tahura R.Soerjo.
Jurnal Biotropika, 2(2): 103-107.
Khatimah, A. 2018. Keanekaragaman Herpetofauna di Kawasan Wisata River
Tubing Ledok Amprong Desa Wringinanom Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang. Doctoral Dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Kusrini, M.D. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Fakultas
Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Maulana, M. N. 2021. Studi Keanekaragaman Ordo Anura dengan Berbagai Tipe
Habitat di Gunung Sawal Ciamis Sebagai Sumber Belajar Biologi. Doctoral
Dissertation, Universitas Siliwangi.
Nesty, R. Tjong, D.H. & Herwina, H. 2013. Variasi Morfometrik Kodok
Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799) (Anura: Bufonidae) di
Sumatera Barat yang Dipisahkan oleh Bukit Barisan. Jurnal Biologi
Universitas Andalas. 2 (1) : 37-42.
Polgar, G. & Jaafar, Z. 2017. Endangered Forested Wetlands of Sundaland:
Ecology, Connectivity, and Conservation. Springer. Basel.
Pratihar, S., Jr, H.O.C., Dutta, S. Khan, M.S., Patra, B.C., Ukuwela, K.D.B., Das,
A., Li P., Jiang, J., Lewis, J.P., Pandey, B.N., Razzaque, A., Hassapakis, C.,
Deuti, K., & Das, S. 2014. Diversity and Conservation of Amphibians in
South and Southeast Asia. Sauria, 36(1): 9–59.
Qurniawan, T.F. & Trijoko. 2012. Species Composition of Amphibian in Gunung
Kelir Stream, Jatimulyo Village, Kulon Progo. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Qurniawan, T.F., & Eprilurahman, R. 2012. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna
di Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Biota. 17(2): 78-84.
Reilly, S.B., Wogan, G.O., Stubbs, A.L., Arida, E., Iskandar, D.T., & McGuire, J.A.
2017. Toxic Toad Invasion of Wallacea: A Biodiversity Hotspot
Characterized by Extraordinary Endemism. Tropical Conservation Science.
23(12) : 5029-5031.
Riko YA, Rosidah & Titin H. 2012. Intensitas dan Prevalensi Ektoparasit pada Ikan
Bandeng (Chanos chanos) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk
Cirata Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal Perikanan Kelautan, 3(4): 1-
10.
Rohadian, A. R., Susatya, A., & Saprinurdin, S. 2022. Keanekaragaman Jenis Ordo
Anura pada Beberapa Habitat di Kawasan Hutan Pendidikan Palak Siring
Kemumu Kabupaten Bengkulu Utara. Journal of Global Forest and
Environmental Science, 2(1) : 1-15.
Septina, B. 2021. Modul Taksonomi Vertebrata (Kelas Amphibia). Doctoral
Dissertation. Universitas Islam Negeri Raden Intan.
Swambara, I. G. N. A. Y., Sumaryo, S., & Estananto, E. 2019. Sistem Monitoring
dan Kontrol Smart Terrarium Untuk Pemeriksaan Kesehatan Pada Reptil
Berbasis Android. Eproceedings of Engineering, 6 (2).
Wati, M., D.H. Tjong & Syaifullah. 2013. Studi Fenetik Katak Rana nicobariensis
(Stoliczka, 1870) (Ranidae) di Pulau Siberut dan Daerah Dataran Rendah
Sumatra Barat. Prosiding Semirata, 1(1): 119-124.
Widzasta, F. 2018. Studi Spesies Amphibia Pada Habitat Terpapar Limbah Cair
Industri Pt Petrokimia Gresik, Jawa Timur. Doctoral Dissertation,
Universitas Brawijaya.
Yudha, D. S., Eprilurahman, R., Trijoko, Alawi, M. F., & Tarekat, A.A. 2013.
Keanekaragaman Jenis Katak dan Kodok (Ordo Anura) di Sepanjang Sungai
Opak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Biologi, 18(2): 52-59.

Anda mungkin juga menyukai